Data-data akibat dari kerusuhan di atas masih bersifat sementara, karena belum diperoleh data akhir dari keurushan ini dan diperoleh dari hasil pantauan dan informasi dari warga masyarakat pada beberapa kawasan yang menjadi korban dari kerusuhan ini. Itu pun belum semua kawasan karena suasana kota Ambon saat ini masih sangat mencekam, lumpuhnya transportasi dan lalu lintas kendaraan bermotor sehingga kami mengalami kesulitan untuk melakukan pemantauan. Korban meninggal dunia diperkirakan akan terus bertambah, ini bisa diketahui karena ada beberapa tempat yang rawan sampai saat ini belum bisa dievakuasi. Dari informasi sementara yang kami dapat, misalnya di sekitar pasar yang terbakar maupun tempat kejadian lainnya masih diketemukan mayat-mayat yang bergelimpangan di sana-sini.

Kondisi Sosiologis Masyarakat Maluku

Banyak kalangan, diantaranya Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pengamat baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat sangat heran atas peristiwa kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi di Maluku, khusunya di Ambon. Ini karena sejak dahulu masyarakat Maluku sudah dikenal dengan kerukunan antar umat beragama, dengan satu budaya yang namanya Pela-Gandong. Pela-Gandong dapat diartikan bahwa masyarakat Maluku (tidak mengenal apakah Kristen atau Islam) merupakan satu rasa, satu hati dan satu jantung. Ikatan Pela-Gandong ini dilakukan antar kampung dan antar agama. Budaya inilah yang selalu mengikat kerukunan antar umat beragama di Maluku. Kerukunan ini bisa digambarkan dengan suatu budaya dimana apabila ada Desa Kristen yang ingin membangun Rumah Ibadah (Gereja), saudara yang dari Desa Islam (yang terikat sumpah Pela-Gandong) berkewajiban harus membantu untuk membangun rumah ibadah dimaksud, misalnya dalam bentuk memberikan sebagian bahan bangunan maupun hal-hal lainnya (bahan makanan), sebaliknya juga begitu kalau Desa Kristen juga berkewajiban untuk membantunya.

Tapi perkembangan akhir-akhir ini kerukunan antar umat beragama di Maluku, khususnya antar Agama Kristen dan Agama Islam sudah mulai luntur. Secara sadar dapat dianalisa bahwa kelunturan umat beragama di Maluku disebabkan karena adanya unsur-unsur kefanatikan agama yang dibawa oleh pihak luar dan secara jujur pihak luar ini dapat disebutkan: Suku Bugis-Makassar, Buton, Padang dan Jawa. Ajaran-ajaran kefanatikan merekalah yang mempengaruhi masyarakat asli Maluku yang beragama Islam telah ter-kooptasi dengan ajaran-ajaran kefanatikan mereka (mohon maaf bukannya kami sengaja ekstrim untuk menjelekkan saudara-saudara kami selaku orang Maluku yang beragama Islam, tapi kami ungkapkan ini demi tegaknya kembali hidup kerukunan beragama selaku saudara dalam satu budaya Pela-Gandong). Dan ini bukanlah kami diskriminatif, tapi kenyataan inilah yang terjadi.

Secara sadar dapat dikatakan bahwa seandainya kali selaku Asli Maluku Agama Kristen dan Agama Islam tanpa ter-kooptasi dengan kefanatikan yang ada sampai kapan pun tidak mungkin terjadi peristiwa yang sangat memalukan ini.

Pe4ngalaman telah membuktikan bahwa konflik SARA yang terjadi di Maluku di waktu-waktu lalu sampai saat ini selalu dipicu oleh mereka-mereka yang tidak pernah mengenal budaya kerukunan umat beragama masyarakat di Maluku.

Catatan:

  • Informasi dikumpulkan sampai dengan hari Sabtu tanggal 23 Januari 1999 pukul 11.45 WIT
  • Kami juga akan kembali dengan informasi selanjutnya
  • Mohon maaf kami sedikit terlambat karena kebetulah kami lagi terganggu dan kami hanya numpang di e-mail teman kami Tetha.
  • Tolong disebarluaskan jua.


Ocep, Sam, Lawa

Adri Amiruddin
[EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke