Ini kumpulan diskusi ttg demokrasi yang baru saya rangkum ... Monggo dibaca mbak Lina ..... :) eh, spesial juga bagi teman teman yang heran, kenapa kok negara yg ngakunya menerapkan demokrasi tapi kok masih tega menyerang negara dunia ketiga.
salam, Ari Condro === Apa bedanya HAM +Demokrasi dengan Fasisme ? 1. Pertanyaan dari "H. M. Nur Abdurrahman" Jadi apa yang diperbuat oleh Inggris dan Amerika itulah dia cermin HAM + demokrasi sekuler barat yang memaksakan ideologinya atas Afghanistan dan Iraq. Lalu apa beda antara HAM + demokrasi sekuler barat dengan fasisme, hai Dana ? MNA Jawaban dari: "Dana Pamilih" Beda sekali. HAM dan demokrasi Barat itu bermanfaat bagi rakyatnya sendiri tetapi belum tentu bagi rakyat negara lain kalau ada konflik. Umat Islam sendiri banyak yg berbondong2 hijrah ke Eropa Barat mencari keadilan dan kemakmuran yg tidak dapat diberikan oleh negara2 yg berideologi Islam. Masih perlu diberikan lagi contoh2nya? 2. Pertanyaan dari Ari Condro Mmmm, saya tertarik dengan info faktual yang dikemukakan oleh mas DP ini. Karena cacat dalam penegakan HAM kepada pihak diluar internal negara tersebutlah yang banyak menjadi sumber pertanyaan teman teman yang memperjuangkan SI. Contohnya : Amerika dan Inggris adalah negara demokratis, namun, mengapa kedemokratisannya tidak berkorelasi dengan kebijakan politik luar negerinya yang mengakibatkan kesengsaraan pada pihak lain ? Bagaimana konsepsi HAM dan demokrasi dapat menjawab hal ini ? Sebenarnya ini juga terjadi pada konsepsi syariat sendiri sich ... (Akan jadimenleceng jika aplikasi dilapangannya banyak error dan noise) Namun kita lihat dulu, bagaimana HAM dan demokrasi menjawab permasalahan dualisme/standar gandanya ketika dia akan difungsikan juga pada pihak diluar negara/penduduknya. salam, Ari Condro Jawaban dari DP : Saya sendiri tentu tidak dapat memberikan jawaban yg lengkap, karena itu pasti udah di level PhD. Secara orang awam, saya menjawabnya demikian: Pengkotak2an di negara Barat ialah berdasarkan konsep nation-state, negara kebangsaan. Kerajaan Britania Raya itu suatu nation-state, Republik Amerika Serikat, dsb. Setiap nation-state itu memiliki sistem pengaturannya sendiri, yaitu sistem pemerintahan. Tindakan2 pemerintah suatu negara adalah ditujukan pertama2 bagi kesejahteraan rakyatnya yg memiliki KTP atau kewarganegaraan negara ybs. Pemerintah AS bertanggug jawab thd rakyat AS. Pemerintah Inggris bertanggung jawab thd rakyat Inggris. Dalam konsep negara-kebangsaan ini identitas utama ialah kewarganegaraan ybs yg memberikan rincian yg jelas mengenai hak dan kewajiban seorang warganegara. Oleh karena itu kewajiban seorang warganegara itu yg pertama ialah kepada negaranya bukan agamanya. Artinya kita itu WNI dulu baru Islam, Kristen dsb. Bukan sebaliknya. NKRI sebenarnya ialah suatu nation-state. Dalam retorika2 SI itu enggak ada konsep nation state. Jadi asal beragama Islam, maka semua umat Islam adalah suatu kesatuan. Kalau ada seorang muslim di Maroko kakinya keinjak unta yg ditunggangi kafir, maka umat Islam di Ujung Pandang di pesantrennya pak HMNA berhak ikut sakit, ikut protes sambil mengacungkan golok dan badik sambil teriak2 Allahu Akbar. Kesejahteraan warganegara Maroko itu adalah tanggung jawab pemerintah Maroko, bukan tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia. Rasa kesatuan kesukuan berdasarkan agama (religious tribalism) seperti ini sudah lama ditinggalkan di Eropa. Tadinya begitulah permusuhan antara Katolik dan Protestan di abad Kegelapan (Dark Ages). Menurut orang Katolik darah orang Protestan itu halal. Begitu juga sebaliknya. Tindakan2 yg dilakukan AS dan Inggris di Irak itu dibenarkan oleh hukum mereka karena itu tindakan pemerintah yg diambil utk membela kepentingan rakyatnya. Dalam UUD AS itu enggak ada tersirat apalagi tersurat bahwa mereka sebagai kafir berkewajiban melindungi dan menafkahi umat Islam di seantero jagad. Kalau ada konflik2 militer secara insidentil spt ini bukan merefleksikan konspirasi Yahudi-Nasrani thd Islam seperti yg selalu kita dengan dari retorika2 fundies. Karena kalau memang tujuan mereka itu mempersekusi muslim, coba deh lihat orang berkewarganegaraan Inggris atau AS yg muslim itu. Apakah mereka HAM mereka dikurangi oleh perundangan negara? Sama sekali tidak. Juga lalau memang demikian politik luar negeri mereka yg secara definisi itu akan mempersekusi muslim spt kata hadits, mengapa mereka repot2 menyelamatkan muslim di Bosnia dari pembantaian oleh orang Serbia? Jadi di sini HAM dan demokrasi tetap berusaha ditegakkan. Setelah kesalahan besar di Irak ini, AS dan Inggris sekarang lagi berusaha mencuci namanya menghapus hutang luar negerinya negara2 termiskin di Afrika. Mereka ini miskinnya spt kita jaman th 60-an dibawah pemerintah Soekarno. Anak2 pada busung lapar dsb. Jangan lupa bahwa Soeharto itu sebenarnya diturunkan oleh Clinton. Clinton ini muak dg diktator2 yg dulunya dibentuk oleh pemerintah pendahulunya. Anehnya Bush malah mengulangi lagi tindakan2 yg dilakukan pendahulunya dpt Eisenhower etc. Kompleks memang. Karena konsekuensi dari demokrasi ialah kebijakan pemerintah akan diwarnai oleh si pemimpin yg lagi nongkrong di kursinya. Bagi saya yhg penting kita sebagai WNI itu mengurusi urusan kita dulu yaitu menegakkan dg konsisten negara demokratis yg berasas HAM demi kesejahteraan rakyat kita sendiri dulu, bukan demi kesejahteraan rakyat Irak. Nah kalau tujuan kita itu udah tercapai maka kita bisa ikut ekspor contoh hasilnya ke Tim Teng. Jadi jangan karena ada kesalahan oleh AS dan Inggris berarti kita enggak usah menegakkan HAM di Indonesia. Karena yg rugi kita sendiri kalau HAM dilecehkan di negara sendiri thd rakyat sendiri. Kalau rakyat Irak bernasib sial itu memang kasihan. Tapi jangan kita jadi sial bikinan kita sendiri thd sesama bangsa. 3. Pejuang HAM Tanggapan 2 dari DP : Bagi pejuang HAM spt AI, semua upayanya dalam bentuk persuasi. Saya tidak melihat bahwa ada rakyat di dunia ini yg menentang demokrasi baik di Indonesia maupun Irak. Di Irak sendiri rakyatnya sampai ada yg mempertaruhkan nyawanya utk ikut nyoblos. Untung di Indonesia enggak sampai mengenaskan begitu. Siapa yg menentang demokrasi itu? Selalu kelompok yg haus kekuasaan mutlak. Kalau pak HMNA itu menentang demokrasi, mengapa? Di mana ruginya? Apakah takut tidak terpilih sehingga kehilangan kewenangan utk membelanjakan anggaran negara dengan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan? Tanggapan dari HMNA : BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 463. Demokrasi, HAM dan Privacy Dari dahulu (1886) di negeri Belanda dikenal hukum pidana yang menyebutkan pelarangan terhadap tindakan eutanasia (memberi bantuan terhadap upaya bunuh diri). Itu dahulu, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Parlemen negeri Kincir Angin itu, sejak millennium ketiga, tepatnya 21 November 2000, telah melegalkan praktek eutanasia melalui voting dengan skor 104 suara setuju melawan 40 suara tidak setuju. Para pastor di negeri Belanda dan Paus Johannes II di Vatikan mengutuk eutanasia. Itulah dia sebuah contoh nyata aplikasi voting democracy, demokrasi yang dikagumi dan dibangga-banggakan di seantero dunia dewasa ini. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dibentuk oleh huruf-huruf delta, epsilon, mu, omikron, sigma menjadi demos artinya rakyat dan kappa, rho, alpha, tau, epsilon, sigma menjadi krates artinya pemerintah atau daulat, sehingga demokrasi berartilah kedaulatan rakyat, yang kini diperkembang maknanya menjadi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi berlandaskan atas paradigma filsafat humanisme agnostik (tidak mau tahu, indifference, tentang Tuhan), yang menjunjung tinggi "privacy" (kebebasan individu, individual freedom). Yaitu "everybody should be granted unrestricted freedom to believe whatever he likes and to do whatever he pleases so long he does not injure his neighbour", setiap orang harus diberikan secara tak terbatas kemerdekaan untuk mempercayai apa saja yang ia inginkan dan berbuat apa saja yang ia sukai sepanjang ia tidak mencederai orang-orang sekitarnya. Kalau orang bicara tentang hak asasi (bukan azasi) manusia, maka pemahaman tentang kemanusiaan juga bertumpu pada filsafat humanisme agnostik ini. Itulah sebabnya demokarasi tidak dapat dipisahkan dari HAM menurut kacamata agnostic humanism ini. Berdasarkan atas filsafat humanisme agnostik ini, maka kekuasaan peradilan tidaklah menjangkau meliwati pintu kamar tidur. Privacy ini dianut pula di Indonesia oleh sementara orang yang tidak mau tahu tentang Syari'ah dan nilai-nilai agama wahyu sejak Indonesia diperintah oleh Belanda sampai sekarang ini, yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 284, bahwa zina itu hanyalah sekadar delik aduan belaka. Polisi hanya dapat menangkap orang yang berzina jika suami perempuan berzina itu atau isteri laki-laki yang berzina itu berkeberatan dan melapor ke polisi. Polisi tak dapat berbuat apa-apa walaupun menyarakat sekelilingnya melapor ke polisi tentang perzinaan itu. Maka gadis yang hamil karena berzina dengan seorang jejaka, tidaklah dapat ia mengadukan musibah kehamilannya itu ke polisi, berhubung gadis itu tidak punya suami ataupun jejaka itu tidak punya isteri yang akan berkebaratan. Dengan demikian jejaka yang menghamilkan itu tidak dapat diseret oleh polisi untuk disodorkan ke jaksa, untuk selanjutnya didudukkan di kursi terdakwa dalam ruang pengadilan. Nilai budaya siri' yang sudah longgar di kota, namun masih terpelihara di dusun-dusun membuahkan perbuatan menjadi hakim sendiri oleh karena hakim peradilan tidak dapat menyentuh laki-laki penghamil yang "dilindungi" oleh pasal 284 KUHP tersbut, sedangkan gadis yang dihamili tidak dapat menempuh upaya hukum. KUHP tidak melindungi perempuan! Syari'ah memberikan tuntunan berbudaya, tidak terkecuali budaya berdemokrasi. Demokrasi adalah produk akal budi manusia tentulah tidak mutlak benar, karena akal budi manusia itu relatif sifatnya. Demokrasi yang bertumpu di atas paradigma humanisme agnostik yang menjunjung tinggi privacy harus ditolak oleh hamba-hamba Allah yang menerima secara mutlak nilai-nilai transendental agama wahyu. Terhadap substansi yang bertentangan dengan nilai-nilai transendental tidak boleh dimasukkan dalam agenda Parlemen untuk divoting, seperti halnya dengan eutanasia di Negeri Belanda tersebut. Firman Allah dalam Al Quran (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan): WLQD KRMNA BNY ADM (S. BNY ASRA^YL, 70), dibaca: walaqad karramna- bani- a-dama (s. bani- isra-i-l), artinya: sesungguhnya telah Kami muliakan bani Adam (17:70). Eutanasia tidak boleh dibenarkan dengan voting, karena itu bertentangan dengan nilai transendental, manusia itu adalah makhluq yang dimuliakan oleh Allah SWT. Nilai transendental tidaklah tergantung pada tempat dan waktu. Humanisme agnostik yang tidak mau tahu tentang Allah, tidak mau tahu dengan nilai-nilai transendetal, menganggap semua nilai itu dapat bergeser. Demokrasi yang bertumpu pada paradigma filsafat humanisme agnostik harus diluruskan oleh Syari'ah. Demikian pula HAM yang pemahaman tentang kemanusiaan yang bertumpu pada privacy harus diluruskan oleh nilai Syari'ah, yaitu Allah memuliakan makhluq manusia. Nabi Ibrahim AS telah ikhlas menyembelih putera sulungnya, yaitu Isma'il (waktu itu belum nabi), sebaliknya Isma'ilpun telah ikhlas pula untuk disembelih. Namun Allah menggantinya dengan domba. Pesan nilai dalam peristiwa ini ialah manusia tidak boleh dikurbankan untuk maksud apapun juga. Allah memuliakan makhluq manusia. Tidak lama lagi kita akan menapak tilas Nabi Ibrahim AS, menyembelih sembelihan binatang kurban. Aplikasi penghayatan memuliakan makhluq manusia. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b. *** Makassar, 18 Februari 2001 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ************************** Demokrasi untuk Indonesia? Oleh I Wibowo (*) ***************** Saya cenderung mempertanyakan validitas teori bahwa demokrasi adalah penyelamat atas segala kebobrokan di Indonesia saat ini. BERBAGAI studi yang dijalankan banyak ahli menunjukkan, meski demokrasi itu sesuatu hal yang pantas dicita-citakan, ternyata demokrasi malah menghasilkan banyak masalah, bahkan masalah baru yang tidak akan ada seandainya tidak dipraktikkan demokrasi. Mari dimulai dengan pendapat pertama yang diajukan Robert Kaplan dalam buku The Coming Anarchy (2000). Kaplan mengamati apa yang terjadi di Benua Afrika. Dalam observasinya, demokrasi telah gagal menyelamatkan Afrika. Bukan perpolitikan yang rasional yang muncul di benua itu, tetapi pertarungan antarsuku dan antaragama. Masalahnya, demokrasi mengandaikan partai politik yang menjadi interest aggregation. Di Afrika, hal itu tidak terjadi. Partai politik ternyata hanya berbasis agama atau kesukuan, dan pertarungan antarpartai menjadi pertarungan antarsuku dan agama. Ketika dilaksanakan pemilu, yang terjadi medan pertempuran berlumur darah dan bukan arena perebutan kekuasaan yang rasional. Kaplan terang-terangan mengatakan, demokrasi tak akan berjalan di negara yang sedang berkembang, yang mempunyai partai politik berbasis suku atau agama. Kedua hal itu tak mungkin diakomodasi dalam sistem demokrasi yang pada dasarnya adalah sistem yang didasarkan atas toleransi. "Hari ini kalah, tidak apa-apa. Lain kesempatan, berjuang lagi." Ikatan primordial (suku dan agama) tidak mungkin mengatakan hal itu. MANCUR Olson tidak secara langsung bicara tentang demokrasi. Tesisnya mulai dari menjawab pertanyaan, mengapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tidak kunjung datang? Judul bukunya Power and Prosperity (2000). Olson menunjukkan pada fakta adanya apa yang disebut roving bandits dan stationary bandits. Bandit sama jahatnya, tetapi antara dua macam bandit yang disebutkan itu ada perbedaan mencolok. Bandit yang mengembara adalah bandit-bandit yang biasa kita baca dalam buku-buku sejarah. Mereka datang secara bergerombol ke sebuah desa, lalu menjarah habis desa itu. Sangat mungkin bukan hanya harta benda yang dijarah, juga manusia, terutama kaum wanita. Bandit ini akan meneruskan perjalanannya dan meneruskan penjarahan ke desa lain. Demikian seterusnya. Bandit yang kedua tidak mengembara, tetapi menetap di satu tempat. Karena tahu bahwa ia harus di tempat itu dalam jangka waktu panjang, mereka sengaja tidak mau menjarah habis harta dari orang-orang yang ada di situ. Dibiarkan mereka berusaha, bahkan dilindungi usahanya. Namun, mereka harus secara teratur menyetor kepada para bandit itu. Bandit-bandit ini tidak sebuas bandit yang mengembara. Bila tesis Olson ini benar, sebenarnya demokrasi tidak mempunyai masa depan untuk negara yang baru saja keluar dari kediktatoran. Olson mencontohkan Uni Soviet. Begitu negara itu keluar dari kediktatoran dan memeluk sistem demokrasi, keadaannya malah menuju kepada kekacauan. Meski mengumumkan demokrasi, bukan demokrasi yang bertahta di sana, tetapi para bandit. Ini berkaitan erat dengan sistem demokrasi yang mengizinkan pergantian pemimpin maupun legislator (anggota DPR). Karena tahu mereka akan dijatuhkan dalam pemilu, pemimpin dan legislator yang dipilih secara demokratis berkelakuan seperti roving bandits. Mumpung masih berkuasa, menguras kekayaan negara sampai habis, tanpa menyisakan. Sama-sama negara yang keluar dari sistem komunisme, Cina ada dalam kondisi yang jauh lebih menguntungkan. Cina masih ada di bawah kendali Partai Komunis Cina, yang mungkin sekali diejek sebagai otoriter, tetapi mereka berkelakuan sebagai stationary bandits yang tidak menjarah habis kekayaan negara. Demokrasi masih jauh, tidak sempat menghasilkan roving bandits, dan Cina secara relatif mengalami sebuah stabilitas yang tidak dinikmati Rusia. AMY Chua dalam buku World on Fire (2003) semakin menambah rumit masalah demokrasi. Dia sebenarnya tidak bicara tentang demokrasi, tetapi tentang warga negara minoritas. Mengapa kelompok minoritas etnis Cina di Indonesia, misalnya, mengalami perlakuan diskriminatif, bahkan penganiayaan, juga ketika Indonesia sudah masuk ke alam demokrasi? Chua berpendapat, hal ini disebabkan oleh ramuan yang salah antara dua obat kuat. Demokrasi memang bentuk perpolitikan yang ideal untuk dipeluk. Namun, kelompok minoritas akan mengalami kesulitan saat demokrasi dicampur sistem ekonomi pasar bebas. Kelompok minoritas yang dominan di bidang ekonomi menikmati keuntungan besar karena diterapkannya sistem ekonomi pasar, yang membiarkan orang kuat berkompetisi dan mengalahkan yang lemah. Ketidakadilan ini "dibalas" kelompok mayoritas pribumi dengan memakai sistem demokrasi yang didasarkan atas sistem voting. Observasi Chua tidak hanya tak terbatas di Indonesia saja, tetapi di beberapa tempat di Asia dan Afrika. Kelompok minoritas yang dominan di bidang ekonomi pasti akan dijadikan bulan-bulanan kelompok mayoritas pribumi dalam sistem demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi tidak akan dapat menyelamatkan kelompok etnis minoritas yang dominan secara ekonomis. Atau, demokrasi tidak selalu merupakan jalan terbaik untuk menghentikan konflik etnis, bila tidak malah memperparah. Ekonomi pasar bebas tingkat dunia juga tidak menolong tumbuhnya demokrasi. Sering didengung-dengungkan, perdagangan bebas akan mendorong munculnya demokrasi. Ini argumen yang dikemukakan Presiden Clinton saat ia memutuskan untuk memberikan status Most Favoured Nation kepada Cina. Akan tetapi, studi-studi mutakhir menunjukkan, perdagangan bebas berakibat negatif bagi demokrasi. Noreena Hertz dalam Silent Takeover (2001) menjelaskan, perusahaan multinasional (MNC) hanya mempunyai satu kepentingan, keuntungan global. Bagi mereka tidak penting apakah sebuah rezim itu demokratis, otoriter, atau komunis. Rezim yang demokratis adalah mangsa paling empuk bagi perusahaan multinasional. Di negara-negara maju (Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang) kiat-kiat yang dipakai perusahaan multinasional itu benar-benar menggerogoti demokrasi sampai ke akar-akarnya sedemikian rupa sehingga demokrasi akhirnya mati. Para politisi memang dipilih rakyat, tetapi begitu terpilih, politisi tidak peduli lagi dengan konstituennya. Para politisi malah sibuk menjadi pelayan bos-bos perusahaan multinasional. Apa pun yang mereka minta dikabulkan: pengurangan pajak perusahaan, pengendalian serikat buruh, dan pemberian aneka fasilitas impor maupun ekspor. Kebijakan-kebijakan ini (industrial policy) jelas tak menguntungkan, tetapi merugikan para pemilih. Kemiskinan, kerusakan lingkungan, pemutusan hubungan kerja, dan hancurnya pendidikan, harus ditanggung para pemilih, dan pemilih tidak berdaya menghadapi "pengkhianatan" ini. Kata Hertz, perusahaan-perusahaan multinasional yang berdaulat, bukan rakyat atau warga negara. Mereka membiarkan proses demokrasi memilih pemimpin. Begitu pemimpin terpilih mereka dengan mudah menaklukkan para politisi- presiden, perdana menteri, ketua parlemen, anggota parlemen-dengan iming-iming uang dalam jumlah yang menggiurkan. Kolusi antara penguasa dan pengusaha (korupsi global) akhirnya menelikung dan mematikan demokrasi. Memang "dari rakyat", tetapi tidak "untuk rakyat", apalagi "oleh rakyat". Demokrasi pada zaman globalisasi hanya berarti sebuah metode pemilihan pemimpin lewat voting, tidak ada hubungannya dengan kedaulatan rakyat atau warga negara. APAKAH Indonesia berbeda dari negara-negara lain yang menjadi kajian para ahli itu? Apakah Indonesia unik sehingga demokrasi dapat tumbuh kendati berbagai faktor yang telah disebutkan di atas? Untuk melompat mengatakan "ya", kiranya sulit sekali. Fakta empiris selama lima tahun terakhir ini, sejak Indonesia mengumumkan memasuki era demokratisasi, mendukung teori-teori itu, bahkan mengonfirmasikannya. Korupsi, perang suku, perang agama, perang etnis, perusakan lingkungan, kemiskinan, semuanya dapat dituduhkan sebagai akibat dipakainya sistem demokrasi. Demokrasi justru dianggap sebagai biang keladi kekacauan. (*)I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies, Jakarta Tanggapan balik dari DP : DP: Tergantung apa pengertian kita sebagai demokrasi. Demokrasi itu suatu sistem bukan cuma pemilu yg bebas dan terbuka saja. Pemilu itu adalah langkah pertama yg terpenting. Yang harus ditegakkan sebenarnya ialah kepastian hukum yg berpihak kepada kepentingan rakyat. Demokrasi memberi jalan utk ini karena dalam demokrasi UU itu dibentuk oleh wakil2 rakyat. Prinsip2 demokrasi itu sudah benar tinggal kualitas implementasinya. Kualitas implementasi memerlukan tingkat pendidikan minimal yg tinggi, karena infrastruktur utk menjalankan sistem demokrasi modern itu kompleks dan perlu ditangani oleh aparat yg kompeten (alias SDM berkualitas alian pendidikan baik). Kekacauan dalam demokrasi itu adalah akibat kualitas implementasi yg buruk. Kalau kualitas implementasinya baik maka dalam sejarah manusia baru dengan demokrasi moderen itu keadilan dan kemakmuran merata dapat dicapai. Ini suatu fakta yg didukung dengan angka2 statistik yg tegar. 4. Pertanyaan dari : "H. M. Nur Abdurrahman" Tetapi dalam tataran internasional tetap tidak dapat disangkal HAM + demokrasi sekuler barat sama saja dengan fasisme, memaksakan ideologinya kepada bangsa lain. Waar of niet ?! Howgh HMNA Jawaban dari DP : Bagi pejuang HAM spt AI, semua upayanya dalam bentuk persuasi. Saya tidak melihat bahwa ada rakyat di dunia ini yg menentang demokrasi baik di Indonesia maupun Irak. Di Irak sendiri rakyatnya sampai ada yg mempertaruhkan nyawanya utk ikut nyoblos. Untung di Indonesia enggak sampai mengenaskan begitu. Siapa yg menentang demokrasi itu? Selalu kelompok yg haus kekuasaan mutlak. Kalau pak HMNA itu menentang demokrasi, mengapa? Di mana ruginya? Apakah takut tidak terpilih sehingga kehilangan kewenangan utk membelanjakan anggaran negara dengan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan? 5. Tanggapan dari "He-Man" Sebuah kelompok dianggap kelompok ekstrim dan berbahaya kalau dia sudah mengedepankan pendekatan kekerasan baik dari segi wacana maupun aksi. Apa kelompok JIL misalnya membawa wacana buat menggorok orang. Tidak kan , yang punya wacana penghalalan darah non muslim maupun muslim tidak sepaham adalah kelompok fundies. Tidak ada satupun dalil agama yang membenarkan tindakan penghalalan darah muslim lain .Tapi orang fundies secara radikal berakrobat memainkan ayat maupun hadis buat cari pembenaran menggorok leher saudaranya sendiri seagama. Komentar dari Anita : Betul. Saya pribadi sama tidak sukanya dengan 2 pihak baik pihak ekstrim liberal seperti JIL dan pihak ekstrim fundies seperti HT, Salafy, Wahabi, dkk. Segala sesuatu yg ekstrim adalah tidak baik. Berlebihan. Saya lebih cocok dengan Paramadina, NU, Muhammadiyah yg cenderung berada di tengah-tengah, seperti anjuran Nabi Muhammad "yang lebih baik adalah yg berada di tengah-tengah" dan juga ayat Quran (kalau tidak salah) utk jangan berlebih-lebihan. Tapi saya masih mikir lebih baik JIL, karena mereka hanya mengeluarkan wacana, tidak pakai kekerasan fisik. Komentar dari DP : Sikap fasis dan totalitarian itu tidak bisa mengakomodasikan perbedaat pendapat. Apa makna bahwa yg terbaik itu ada di tengah2? Artinya terbuka peluang bagi mereka yg ingin berada di kiri, di kanan, di depan, di belakang. Ini membuktikan bahwa perbedaan pendapat dalam Islam itu memang diakomodasikan. Beda sekali dg praktek di Saudi Arabia dan Iran dimana interpretasi yg berbeda dg penguasa dikriminalisasikan. Bukan begitu pak HMNA? Kalau beda dg Anda, maka layak digurdi pusarnya dan dipenggal lehernya, seperti ucapan Anda sendiri. 6. opini dari HMNA : DP menulis: Kekacauan dalam demokrasi itu adalah akibat kualitas implementasi yg buruk. Kalau kualitas implementasinya baik maka dalam sejarah manusia baru dengan demokrasi moderen itu keadilan dan kemakmuran merata dapat dicapai. === Opini HMNA : Kekacauan dalam demokrasi bukanlah akibat kualitas implementasi yg buruk, melainkan akibat implementasi MAU ATAU TIDAK MAU, SUKA ATAU TIDAK SUKA SENGAJA DIPERBURUK, Akibatnya keadilan tidak berwujud sehingga kemakmuran yang merata mustahil dicapai. Mengapa? dp yang begitu mabuk kepayang oleh demokrasi perhatikan baik-baik: Amerika dan inggris memperalat demokrasi sebagai cara halus untuk mengelabui mata dunia, yaitu demokrasi diubah menjadi sebuah ideologi internasional. Maksudnya, demokrasi dimanipulasi sedemikian rupa oleh negara kapitalis liberal sekuler sehingga menjadi alat ampuh guna mengelabui negara miskin. Kampanye demokrasi di dunia internasional mudah dipahami dalam kerangka kampanye pasar bebas di dunia, yang dilancarkan IMF, Bank Dunia, dan terutama WTO. Pasar bebas sulit terjadi bila tidak ditopang sistem demokrasi. Segera nampak bahwa demokrasi akhirnya hanya instrumen guna terwujudnya pasar bebas. Pemerintah negara-negara miskin yang dipilih secara demokratis (dari rakyat) segera dikuasai kelompok bisnis lokal maupun internasional, menghasilkan kebijakan yang propasar dan probisnis (bukan oleh rakyat). Maka, segera terselenggara kebijakan ekonomi pasar bebas. Maka dengan pasar bebas yang mengejawantah menjadi globalisasi, segera negara kapitalis liberal sekuler yang akhirnya menikmatinya (bukan untuk rakyat). Maka apa yang diteorikan dengan demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat" hanya di atas kertas saja. Dalam kenyataannya berubah di lapangan menjadi dari rakyat, bukan oleh rakyat, bukan untuk rakyat, yaitu dari rakyat, oleh pebisnis untuk negara kapitalis liberal sekuler, yang porsi besarnya untuk amrika dan inggris. Begicccuuu. Howgh Tanggapan DP : Tetapi mengapa demokrasi di negara2 Barat berjalan baik? Demokrasi itu suatu kendaraan bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya keadilan dan kemakmuran. Sebagai kendaraan, demokrasi itu memang sangat canggih. Demokrasi itu kendaraan canggih spt pesawat terbang perlu bandara, controlling tower, pilot dan segala infrastruktur komunikasi dan logistik yg canggih. Demokrasi tidak bisa dikendarai oleh pemimpin dg kaliber supir bis. Harus oleh pilot yg dilatih bertahun2 dan kompeten. Kita baru mulai berdemokrasi. Infrastruktur kita masih spt stasion bus bukan airport. Pelan2 tetapi pasti kita membangun airport itu supaya demokrasinya jalan dg baik. ----- Original Message ----- From: "Lina Dahlan" <[EMAIL PROTECTED]> Mau pakai sistem apapun: demokrasi, kekhalifahan, Kerajaan, bahkan komunismepun..gak masalah (bergantung sosio-kultur suatu bangsa) asal ditangan orang yang bener. Negara lain gak usah ikut campur urusan negara lain meski alasannya HAM. *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/