Muhammad Arfian writes:

Assalaamuâalaykum wa Rahmatullaahi wa Barakatuhu

Wa 'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,


E-mail ini saya susun sebelum saya membaca tanggapan dari Uda Muhammad. Walaupun mungkin saya telah lancang dalam bertanya namun saya sangat mengharapkan Uda Muhammad berkenan membaca e-mail ini.

Bagi saya, itu adalah penggunaan kata-kata saja. Da'wah Islam perlu
disampaikan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh obyek da'wah. Penggunaan kata bersih dan peduli saya kira dikarenakan bangsa Indonesia lebih memahami pesan yang ingin disampaikan oleh PKS dalam waktu kampanye yang pendek.

Setahu saya PKS bukanlah partai baru, justru akar rumputnya dimulai sejak lama melalui kajian-kajian di sekolah-sekolah dan kampus-kampus sejak bertahun-tahun yang lalu. Sudah ada pula aleg-aleg dari PK di DPR.


Mengapa PKS menggantikan kalimat-kalimat tauhid dengan pemahaman salafush shalih? Akankah bangsa Indonesia kurang memahami aqidah ahlus sunnah wal jamah?

Bukankah masyarakat kita sudah mengenal kalimat tauhid hanya saja belum dipahami sesuai dengan pehamaman salafush shalih?

Bersih sendiri adalah sebuah kata yang cukup merepresentasikan Islam secara komprehensif, seorang muslim aqidahnya harus bersih dari syirik, hartanya pun bersih dari yang haram dan syubhat dsbnya.

Apakah pengertian tersebut yang disampaikan ke masyarakat umum? Bahwa agar bersih mereka harus bertauhid dengan benar dan membersihkan diri mereka dari kesyirikan? Bahwa mereka tidak boleh mengharapkan terkabulnya do'a melalui orang-orang yang telah meninggal? Bahwa mereka tidak boleh beribadah di kuburan? Serta praktik-praktik syirik lainnya?


Saya percaya, jika memang PKS berada dalam koridor ahlussunnah wal jama'ah, kader-kader PKS memahami hal-hal tersebut namun apakah kalangan pemilih dan peserta kampanye sudah?

Maafkan kekurangpahaman saya, namun yang saya pahami adalah 'bersih' dalam kampanye PKS menuturkan bahwa kader-kader PKS bersih dari korupsi karena seringkali disebutkan tindakan-tindakan aleg-aleg PK yang menolak suap, membongkar KKN, menghemat uang negara, dan lain-lain. Kenapa tidak diceritakan aktivitas pembersihan tauhid mereka?

Saya cukup terkesan dengan usaha perjuangan aleg-aleg dari partai Islam dalam UU Sisdiknas yang tentunya cukup berat. Nah selanjutnya, bagaimana usaha mereka memperbaiki pendidikan tauhid di sekolah misalnya? Sejujurnya saya merasa pemahaman aqidah saya yang saya dapatkan dari sekolah masih sangat kurang dan itulah salah satu hal yang memotivasi saya untuk terus belajar.

Dalam pergaulan sehari-hari saya juga sering mendapati rekan-rekan di kampus yang tidak mengerti perbedaan syi'ah dan sunni. Bahkan banyak yang tidak mengetahui Ahmadiyyah. Mungkin yang pernah diketahui adalah tokohnya pernah datang ke Indonesia dan justru disambut oleh para pejabat negara.

Dan ingat itu adalah kata-kata yang disampaikan dalam kampanye, dan terlalu naif saya rasa kalau kita menganggap segala hal yang disampaikan sebuah partai dalam kampanye mewakili seluruh sikapnya.

Saya melihat sikap PKS dari kegiatan-kegiatannya serta kegiatan tokoh-tokohnya yang tercatat pada sumber publikasi resmi PKS sendiri (www.keadilan.or.id / pk-sejahtera.org) dan sumber-sumber lainnya. Tentunya kegiatan-kegiatan yang disebutkan di situs itu serta kegiatan tokoh-tokohnya cukup representatif.


Saya ingin mengetahui, apakah PKS membawa tokoh fiqh lintas agama dalam kampanye untuk mengingkarinya di depan publik? Jika bukan, apakah alasannya? Mohon dijelaskan.

Jangan hanya berdialog dengan simpatisan, tetapi
berdialoglah juga dengan kader-kadernya secara langsung, tidak hanya lewat e-mail, insya Allaah sanak akan mendapatkan pemahaman lebih lanjut mengenai PKS dan apa yang diperjuangkannya. Kalau cuma baca dan melihat saja, saya rasa tidak akan cukup untuk mengetahui seseorang atau suatu hal.

Seperti saya ungkapkan bahwa saya pernah bertanya kepada kader PKS di tempat kerja saya. Justru karena sulit menilai dari individu maka saya menilai dari sumber resmi dan tokoh-tokoh yang ditampilkannya.


Kenapa harus ada dikotomi seperti ini? Tidakkah kita mengharapkan muslim
yang aqidahnya lurus dan berpemimpin adil?

Uda, mohon dijawablah pertanyaan saya ini? Bukankah Rasulullah sudah mengatakan bahwa akan muncul pemimpin-pemimpin yang zhalim?


Sikapnya tentu saja tidak menyetujui apa yang mereka lakukan, tetapi terus berusaha menda'wahi mereka seperti yang saya katakan di atas agar mereka meninggalkan kelakuannya yang salah itu. Dan menda'wahi seseorang tidak akan bisa dilakukan kalau kita tidak mau berkomunikasi dengan mereka

Ada orang-orang yang berbuat kesalahan karena terbawa hawa nafsu namun sadar akan kesalahannya, ada pula yang memang tidak tahu. Ada pula tokoh-tokoh ahli bid'ah yang yang jelas-jelas berilmu namun tetap menyimpang seperti Washil bin Atha', Jahm bin Shafwan, dan lain-lain.


Washil bin Atha merupakan murid Hasan Al-Bashri yang cerdas dan berakhlaq baik namun ia menyimpang dari jalan (manhaj) ahlus sunnah wal jamaah dengan berpaham Mu'tazilah. Oleh karena itu Hasan Al-Bashri mengusirnya dan ia dicela oleh para ulama.

Apakah sanak merasa bahwa Rasulullaah SAW menjalankan Piagam Madinah dalam keadaan seluruh masyarakat Madinah telah lepas dari kesyirikan? Padahal kita tahu di Madinah saat itu ada kaum Yahudi, Nasrani, Munafiq dan juga penyembah berhala pada saat Rasulullaah SAW datang ke Madinah.


Saya tidak mengatakan semua karena Allah sudah menggariskan tidak mungkin semua orang beriman.


Coba kita tengok sirah nabawiyah. Namun bukankah masyarakat Madinah sebagian (bahkan sebagian besar) sudah beriman saat Rasulullah hijrah?

Dalam sirah nabawiyah yang saya dapatkan (terjemah Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri) disebutkan bahwa beberapa penduduk Yatsrib yang masuk Islam sebelum Rasulullah hijrah. Bukankah telah terjadi Bai'at Aqabah pertama dan kedua? Bukankah Rasulullah telah mengirimkan Mush'ab bin Umair untuk mendakwahkan tauhid?

Dengan izin Allah, dengan dakwah tauhid tersebut dikatakan tak satu perkampungan pun dari perkampungan Anshar melainkan di dalamnya ada sejumlah laki-laki atau wanita yang sudah masuk Islam.

Saya bukan orang yang bisa memberi pendapat apakah mereka yang datang
beraqidah lurus atau tidak. Pemberian pendapat seperti itu haruslah melalui
mekanisme yang benar, karena sama halnya dengan mengatakan seseorang itu
kafir, dan karenanya harus melalui proses pengadilan syari'ah yang jelas.
Selama belum ada keputusan mengenai itu dari pengadilan syari'ah, kita
tidaklah bisa memvonis seseorang aqidahnya lurus atau bengkok.

Apakah mengatakan bahwa Laa Ilaaha Illallah berarti "tidak ada tuhan selain Tuhan" sesuai dengan aqidah yang lurus?


Apakah mengada-adakan fiqh lintas agama sesuai dengan aqidah ahlus sunnah wal jamaah?

Uda mengatakan tanpa pengadilan syari'ah tidak dapat dikatakan lurus bengkoknya aqidah, mengapa dalam pembahasan tauhid mulkiyyah dalam kutipan yang uda bawakan dikatakan bahwa:

"Dan bahwa seseorang tidak dikatakan beriman sebelum dia bertahkim dengan hukum Allah itu."

Saya setuju bahwa penentuan lurus tidaknya aqidah apalagi takfir harus dilakukan berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya oleh orang yang alim. Namun saya rasa banyak orang alim di PKS.

Jika orang yang melakukan hal-hal tersebut terlihat akrab dengan seorang tokoh seperti Hidayat Nur Wahid, siapakah yang diuntungkan? Ingatlah pesan Rasulullah tentang teman dengan perumpamaan penjual minyak wangi dan pande besi.

Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir ketika menafsirkan firman Allah,

"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)." (QS. Al-An'aam 6:68).

berkata:

"dalam ayat ini terdapat peringatan keras bagi orang yang toleran dalam bergaul bersama ahli bid'ah yang mengubah firman Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah Rasull-Nya dan mengembalikan hal tersebut kepada hawa nafsunya yang sesat dan bid'ahnya yang rusak. Maka jika seseorang tidak mengingkri mereka dan mengubah apa yang mereka lakukan, maka minimal adalah tidak duduk bersama mereka. Demikian ini adalah mudah baginya dan tidak sulit. Sebab hadir bersama mereka dalam majlis akan menjadikan menganggap baik terhadap syubhat yang mereka taburkan kepada orang-orang awam sehingga dalam kehadiran itu rerhadap mafsadah yang lebih besar dibanding sekadar mendengar kemunkaran.

Sungguh kami telah menyaksikan dari majlis-majlis yang terkutuk itu keburukan yang tidak terhitung banyaknya dan kami berupaya menegakkan kebenaran yang tidak terhitung banyaknya dan kami berupaya menegakkan kebenaran dan mencegah kebatilan dengan apa yang kami mampu lakukan dan sekuat tenaga kami. Dan siapa yang mengerti syari'at yang suci ini dengan mendalam niscaya dia mengetahui bahwa duduk bersama ahli bid'ah yang menyesatkan terdapat mafsadah yang lebih besar dari sekadar duduk bersama orang yang maksiat kepada Allah dengan melakukan sesuatu yang haram. Terlebih bagi orang yang tidak mendalam ilmunya tentang Al-Qur'an dan Sunnah."

Kutipan di atas serta beberapa kutipan lain saya ambilkan dari terjemah Ilmu Ushul Bida' Dirasah Takmiliyah Muhimmah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdulhamid Al-Halabi Al-Atsari (Membedah Akar Bid'ah, Pustaka Al-Kautsar, 2002).

Saya kembalikan lagi kepada Piagam Madinah, Rasulullaah SAW dalam masyarakat Madinah tetap menghormati para pemimpin kaum non-muslim sepanjang mereka
menghormati perjanjian yang dibuat di antara mereka. Bahkan tokoh munafik
Abdullah bin Ubay tetap dihormati sebagai bekas pemimpin orang Madinah.
Bersama orang-orang non-muslim dilakukan usaha bersama dengan pimpinan tetap di tangan kaum muslimin. Tentunya kita tidak menafikan sirah nabawiyah yang ini kan?

Mohon dilihat kutipan teks perjanjian Rasulullah dengan orang-orang Yahudi pada e-mail saya sebelumnya.


Apakah perjanjian dan berlaku adil mensyaratkan keakraban di depan umum?

Coba kita ingat kisah Abdullah bin Ubay, tiga sahabat yang tidak ikut Perang Tabuk tanpa uzur, serta masjid dhirar.

Berikut ini kisah tentang sikap Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap kemunafikan ayahnya yang berkata dalam salah satu pertempuran:

"Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." (Al-Munafiqun: 8)

Dia menginginkan al-a'azzu (orang yang kuat) adalah dirinya sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah. Ia mengancam akan mengusir Rasulullah dari Madinah. Maka ketika hal itu didengar oleh anaknya, Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, dan dia mendengar bahwa Rasulullah ingin membunuh ayahnya yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, maka Abdullah menemui Rasulullah dan berkata, 'Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa anda ingin membunuh
Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin melakukannya, maka saya bersedia membawa kepalanya kepada anda". Maka Rasulullah bersabda, "Bahkan kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita."


Maka tatkala Rasulullah dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullah bin Abdullah berdiri menghadang di pintu kota Madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya. Maka ketika ayahnya lewat, ia berkata kepada ayahnya, "Mundur!" Ayahnya bertanya keheranan, "Ada apa ini,jangan kurang ajar kamu!" Maka ia menjawab, "Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-dzalil (yang hina)." Maka ketika Rasulullah datang padahal beliau berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anak-nya, Abdullah berkata, "Demi Allah wahai Rasulullah , dia tidak boleh memasuki kota sebelum Anda mengizinkannya." Maka Rasulullah pun mengizinkannya, lalu Abdullah berkata, "Karena Rasulullah mengizinkan maka lewatlah sekarang."

Dinukil dari Kitab Al Wala dan Al Bara, Edisi Indonesia 'Kitab Tauhid 1' karya Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Mufti Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia.

Rasulullah akan bergaul dan bersikap baik kepadanya namun apakah beliau mendekati tokoh orang munafik tersebut? Apakah Rasulullah bermajelis dengannya?

Bagaimana dengan hukum men-sholatkan jenazah orang munafik?

"Dan janganlah kamu sekali-kali men-sholatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS. At-Taubah 9:84).

Bukankah Rasulullah mengucilkan tiga orang sahabat yang tidak ikut Perang Tabuk tanpa udzur hingga mereka bertaubat dan Allah mengampuni mereka? Sampai-sampai bumi ini terasa sempit bagi mereka (QS. At-Taubah 9:117-119).

Masjid dhirar adalah masjid yang dibangun orang-orang munafik untuk merusak. Apakah yang Rasulullah lakukan? Rasulullah memerintahkan untuk menghancurkan dan membakar masjid tersebut. Allah melarang sholat di masjid tersebut.

"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).

Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.

Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang lalim.

Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah 9:107-110)


Dalam Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullaah SAW melakukan perjanjian dengan
orang-orang Quraisy, apakah itu berarti Rasulullaah tidak berbara' dari
mereka? Tolong sampaikan konsep sanak bagaimana melakukan perubahan menuju
kepada yang lebih baik dan diridhai Allaah dalam masyarakat yang majemuk,
dan meliputi orang-orang non-muslim yang walaupun sebagian ada yang
bersahabat dengan kaum muslimin, lebih banyak lagi yang memusuhi Islam.
Mohon rujukannya dari sirah Nabawiyah yang sanak ketahui.



Janganlah konsep saya yang ditanya namun ikutilah manhaj Rasulullah dan salafush shalih dalam melakukan perubahan.


Uda sendiri telah menukil ayat berikut:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd 13:11)

Apakah yang dilakukan Rasulullah? Rasanya sudah dibahas sebelumnya dan dapat dirujuk ke sirah nabawiyah. Bukankah telah saya sebutkan:

"Sedangkan, Perjanjian Hudaibiyah merupakan perjanjian gencatan senjata yang menjadi petunjuk bahwa dibolehkan membuat perjanjian damai dengan orang-orang kafir jika kaum muslimin dalam keadaan lemah. Namun perjanjian tersebut tidak berarti kita tidak bara' terhadap mereka."

Sama halnya dengan kita berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi Islam dan muslimin.

Perlu diingat bahwa dalam Perjanjian Hudaibiyah nampak kerusakan tauhid asma' wash shifat kafir Quraisy yang mengingkari penyebutan Ar-Rahman dan juga nampak ingkarnya mereka terhapda kerasulan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam. Akhirnya yang dituliskan adalah Bismika Allahumma (menggantikan Bismillahirrahmanirrahim) dan Muhammad bin Abdullah (menggantikan Muhammad, Rasul Allah). Namun ini tentunya tidak berarti bahwa kita boleh menafikkan nama Allah dan kerasulan Nabi Muhammad.

Sanak belum menjawab saya mengenai bagaimana 'bergaul' dengan orang-orang
yang sanak anggap nyeleneh itu? Tolong dijawab dengan jelas pertanyaan saya
sebelumnya, bagaimana cara bermuamalah yang baik dengan mereka, termasuk
bermuamalah dengan orang kafir dan non-muslim. Saya sendiri berhusnuzzhon
bahwa Ustadz HNW berkomunikasi dengan mereka sambil menda'wahkan nilai-nilai
Islam kepada partner-partner kerjanya itu.



Sungguh maksud saya menyertakan firman Allah, hadits Rasulullah dan atsar dari salafush shalih dalam e-mail yang telah Uda balas adalah untuk menunjukkan cara generasi terbaik kita bermuamalah dengan ahli bid'ah dan orang-orang non-muslim. Saya tidak mengulangnya di sini agar e-mail ini tidak terlalu panjang. Adapun saya bukanlah orang yang layak untuk menyajikan konsep baru yang berbeda.


Berkenaan dengan ahli bid'ah, banyak keterangan dari salafush shalih yang menunjukkan sikap mereka terhapada ahli bid'ah.

Al Qadhi Abu Ya'la berkata, "Para sahabat dan tabi'in konsensus atas wajibnya memutuskan hubungan dengan ahli bid'ah"

Berkenaan dengan non-muslim, apakah PKS akan memperjuangkan jizyah?

Bukankah Uda katakan bahwa PKS berada dalam koridor ahlussunnah wal jamaah dengan pemahaman salafush shalih?

Seperti pernah saya utarakan, tentunya pemilihan sarana dakwah perlu berhati-hati karena tujuan dakwah yang mulia tidaklah berarti menghalalkan sarana yang diambil.

Sebagai contoh saja (tanpa bermaksud mengatakan bahwa PKS melakukannya), apakah dalam bergaul dengan non-muslim kita boleh mulai memberikan salam kepada mereka dengan tujuan berdakwah?

Padahal Rasulullah bersabda:

"Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani" (HR. Muslim).

Saya menanyakan banyak hal tentang perjuangan PKS bukanlah berarti saya bersu'uzhon. Tidaklah juga saat saya mempertanyakan sesuatu berarti saya mengatakan bahwa itu yang dilakukan PKS. Misalnya saat saya menanyakan apakah pemerintah dulu baru tauhid bukanlah berarti saya menuduh bahwa PKS tidak melakukan perjuangan tauhid. Jika seorang Ibu menasihati anaknya untuk belajar yang tekun tidaklah berarti ia mengatakan anaknya malas karena baik si anakn rajin atau malas tetap harus diingatkan kepada kebaikan.

Tidaklah juga saya dengan menanyakan hal-hal ini berarti saya mengatakan bahwa saya lebih baik dari kader-kader PKS.

Mengenai Gus Dur, kalau sanak menganggap Gus Dur aqidahnya tidak lurus itu
hak sanak mengatakannya, saya sendiri merasa tidak mempunyai hak untuk
mengatakan seperti itu.



Mengapa jadi seperti ini? Bukan pendapat saya yang menjadi ukurannya namun Al-Qur'an dan sunnah Rasul-Nya-lah tempat kembali tentunya sesuai dengan pemahaman salafush shalih.


Apakah menurut Uda pendapat Gus Dur yang menganggap sulitnya mewujudkan moralitas dari agama adalah "karena pihak agama selalu menganggap pihak orang yang tidak beragama (kaum atheis) sebagai lawan, padahal sebenarnya mereka adalah lawan bicara yang baik"? Silakan dilihat pada link di e-mail saya sebelumnya. Di sini saya tidak bermaksud untuk menjatuhkan vonis kafir atau yang semacam itu kepada beliau.

Komunikasi secara langsung akan mengurangi kesalahpahaman mengenai apa yang sanak pikirkan, tetapi kalau kita menjauh dan tidak ingin berkomunikasi, kesalahpahaman itu akan lebih dalam lagi jadinya.

Justru saya menanyakan masalah ini di milis agar terjadi komunikasi langsung dan saya telah mencobanya dengan seorang kader PKS di sini. Insya Allah nanti saya coba tanyakan ke yang lain.


Mohon maaf jika ada kesalahan yang hamba Allah yang miskin ilmu ini. Semoga Allah memberikan pemahaman agama kepada kita semua karena jika Allah menghendaki kebaikan pada seseorang maka Ia akan menjadikannya paham ilmu agama.

Wa Allahu a'lam bish shawab.


Ahmad Ridha



____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke