Minggu, 25 April 2004

Lima Tahun Bersemi, Tiba Musim Berdusta

Oleh : KH A Hasyim Muzadi

Hampir sebulan lalu, bangsa Indonesia dibekap oleh
berjuta kelebatan kata-kata. Bermil-mil rangkaian kata
meluncur deras dari mulut orang-orang yang
mendeklarasikan diri, atau sekurang-kurangnya telah
resmi dibai'at menjadi pemimpin, dalam waktu hanya
sekejap mata.
Penjajaan kata-kata ini kembali akan terulang dalam
dua bulan ke depan menjelang pemilihan umum presiden
(pilpres). Menjadi ironis, karena ini justru terjadi
setiap lima tahun sekali, di saat bangsa Indonesia
benar-benar membutuhkan lahirnya para pemimpin yang
jujur. Pengalaman mengajarkan kita, betapa banyak
kata-kata yang berhamburan, dan betapa tindakan
tersebut tak lebih dari sekadar penjajahan kata-kata,
sehingga menanggalkan makna yang sesungguhnya.
Pembodohan yang disengaja, dan berdusta secara
maksimal. Tindakan ini dilakukan secara turun-temurun
dan secara turun temurun pula kita merencanakannya
dalam kalender kenegaraan bangsa.
Dalam catatan sirah nabawiyah, Baginda Rasulullah,
hanya membutuhkan sekian tahun untuk menyudahi
perlawanan kaum paganis yang musyrikin, tetapi beliau
hingga akhir hayat tiada henti berjuang dengan sekuat
daya dalam menghadapi para pengkhianat seperti
Abdullah Bin Ubay Bin Salul, yang kerapkali
berkeliaran di majelis-majelis kaum muslimin. Bahkan,
hanya beberapa saat setelah Rasulullah wafat, khalifah
pertama Abu Bakar, tugasnya tunggal; menghabisi para
pendusta agama. Mereka adalah pengkhianat yang bebas
bertahun-tahun dalam lindungan ketiak kepalsuan. Para
pengkhianat adalah yang apabila berkata lalu bohong,
jika berjanji lantas diingkari dan kalau dipercaya
malah berkhianat. Apa sebutan yang pantas bagi
pemimpin dan calon pemimpin yang secara periodik
berdusta? Kebohongan yang dirancang selama lima tahun.
Sungguh!!!
Sebagian besar dari para politisi ini, malah sanadnya
sudah diketahui rakyat, sebagai pendusta yang akhirnya
oleh negara diresmikan sebagai pemimpin. Tak sedikit
pula, untuk kepentingan kelompok, mereka menelanjangi
diri sendiri dengan mengaku jujur, meski sebenarnya
berdusta. Bagi mereka yang terbiasa dengan berdusta,
maka sungguh akan sulit baginya untuk bisa membedakan
antara bersikap jujur atau bersikap dusta. Sufi besar
Al-Junaid malah berkata, "Orang yang jujur berubah
empat puluh kali secara positif dalam sehari, sedang
para pendusta berada dalam satu keadaan selama empat
puluh tahun."
Manusia paling hina di sisi Allah adalah yang tanpa
malu-malu berbuat durjana tetapi justru sangat bangga
diri dengan dengan dosa-dosanya. Karena terlalu
jengkelnya Baginda Rasulullah terhadap kelompok ini,
sampai-sampai beliau menghardik dengan ancaman sungguh
amat keras, "Waylun Lil Mujaahir" (terkutuklah
orang-orang yang membanggakan dosa-dosanya. Terjunlah
kalian ke Neraka Wayl). Mengaku jujur padahal berdusta
sungguh sebuah aib yang amat sangat tidak layak
melekat pada diri seorang pemimpin atau calon
pemimpin. Bangsa kita ini, benar-benar membutuhkan
pemimpin yang jujur, seorang As-Shiddiiq; sebuah
julukan yang melekat kuat pada diri Khalifah Abu Bakar
RA.
Bagi orang yang bersikap jujur, janji Allah amat
membanggakan; mengiringi derajat kenabian. "Ulaaika
Ma'al Ladzzina An'amallaahu Alaihim, Minannabiyyin,
Was Shiddiiqiin, Wasy Syuhadaa, Was Shoolihin." (maka
mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu para Nabi,
orang-orang yang menepati kejujuran, para syuhada dan
orang-orang saleh). Betapa mahalnya harga kejujuran
yang derajatnya sudah pasti di sisi Allah, dan betapa
murahnya harga yang harus dibayarkan karena
menggadaikan sikap agung ini. Beberapa kelompok kritis
malah mengantisipasi kian kuatnya kelompok dusta,
dengan menebar jaring khusus melalui antipolitisi
busuk.
Apa yang digambarkan oleh ulama besar Abu Sulaiman
Ad-Darany soal kejujuran sungguh berbanding terbalik
dengan polah tingkah para pemimpin dan calon pemimpin
bangsa ini. Seperti layaknya kiat-kiat niaga, mereka
menjual sebanyak mungkin janji-janji tetapi terus
berusaha sekuat mungkin untuk tidak menepatinya. Orang
yang jujur sejujurnya akan selalu merasa malu kalau
diketahui bahwa dirinya jujur, sehingga untuk
menyampaikan keinginnya ia harus memeras habis kondisi
batinnya.
Menurut Sulaiman ad-Darani, "Jika orang jujur ingin
menggambarkan sesuatu yang ada dalam hatinya maka
lisannya tidak akan mengatakannya." Dengan demikian,
kalau konteks kampanye yang dilakukan ribuan politisi
itu ditarik sejajar dengan kaidah ad-Darany soal
kejujuran, maka betapa bengkaknya jumlah pemimpin dan
calon pemimpin yang belajar untuk tidak jujur. Menjadi
semakin buruk, kalau ada di antara kita yang tidak
bisa mengendalikan kata-kata meski itu bukan isi hati
yang sesungguhnya. Dan itu akan semakin buruk, kalau
apa yang dikatakan sebenarnya bukan yang
diinginkannya. Sungguh, betapa merananya kita kalau
harus dipimpin oleh kelompok semacam ini. Sebenarnya,
apa yang diteriakkan sebagian anak bangsa ini, sudah
bertahun-tahun menjadi jeritan batin terdalam rakyat
Indonesia.
Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan rentannya
rasa aman, kian menguatnya sikap memenangkan kelompok
sendiri, sifat saling menghujat, merenggangnya tali
sosial, merajalelanya pelanggaran terhadap konstitusi
atau semakin bertenaganya hasrat melakukan praktik
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), juga sudah lama
difatwakan para cerdik cendekia. Padahal kalau para
pemimpin dan calon pemimpin mau bersikap jujur, semua
inventaris persoalan-persoalan ini akan dengan mudah
dapat kita selesaikan. Sebab, hanya dengan kejujuran,
semua persoalan, serumit apapun dapat dengan gampang
untuk diurai. Menurut sufi besar, Dzun Nun al-Mishry,
"Kejujuran adalah Pedang Allah. Tidak satu pun
diletakkan di atasnya kecuali itu akan langsung
terpotong."
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutipkan
untuk pembaca sebuah gambaran utuh ulama besar
lainnya, Harits al-Muhasiby, saat oleh majelis ditanya
tanda-tanda kejujuran. Al-Muhasiby berkata, "Orang
yang jujur adalah orang yang tidak peduli akan
ketergantungan kalbu kepada dirinya, tidak pula senang
atas jasa-jasanya kepada manusia untuk dilihat, dan
yang tidak peduli apakah popularitasnya di mata
manusia akan lenyap. Ia bahkan tidak membenci bila
perbuatan buruknya dilihat oleh orang banyak. Jika ia
masih benci juga karena keburukannya diungkap, maka
orang semacam ini perlu menambah imannya. Yang
demikian itu, bukanlah akhlaq orang yang jujur."
Tuntunan al-Muhasiby memang amat-sangat berat untuk
dilakukan, tetapi sekurang-kurangnya bagi pemilih
dapat membaca, siapa yang jujur dan siapa yang
berdusta di antara anak-anak bangsa, para pemimpin dan
calon pemimpin ini yang dilakukan kepada bangsa
sendiri. "Tanda seorang pendusta adalah kegairahannya
untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya."
Dengan tetap selalu bertawakkal dan sambil memohon
taufiq dari Allah SWT, marilah kita bersia-siap untuk
menentukan pilihan terhadap calon pemimpin yang tak
lama lagi akan kembali menghiasi lembaran-lembara
koran dan majalah, diulas di internet, muncul
gambarnya di tabung kaca-tabung kaca serta
suara-suaranya akan memenuhi gelombang radio. Mari
kita bertekad mencari pemimpin yang jujur dan mari
kita menjadi pemilih yang jujur. Wallaahu A'lamu Bish
Showaab.

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke