Cerita ini sebagai janji yang harus
ditepati kepada Rahima tapi yang lain juga boleh ikut
membacanya.
Dear Ima cantik,
Sebelumnya minta maaf dulu
karena tidak ada kisah dari di lereng Pangrango. As you knew it,
rencana gagah itu terpaksa di batalkan karena anak-anak kami belum memenuhi
syarat mengikuti ambisi kedua orang tuanya agar memandang taman bunga abadi
Edelwiss sejak dini. Perjalanan terpaksa terhenti di lerengnya yang memang
disediakan untuk orang tua "normal"; Taman Cibodas yang menurut
sejarahnya mulai di bangun pada tahun 1830. Seperti Dinda
ketahui tempat ini dulunya terkenal sebagai tempat penanaman kina dan
jenis-jenis tumbuhan eksotik yang pertama di Indonesia.
Tapi bagaimanapun kami berdua tidak
bisa disalahkan. Kawasan Taman Nasional ini memiliki daya tarik gila-gilaan
bagi orang tua yang "tidak sabaran" menunggu anak-anaknya besar. Apalagi bagi
petualang berkantong pas-pasan seperti kami, disini adalah sebuah
sorga untuk berolah raga jalan kaki (hiking), mendaki (climbing), berkemah
(camping), memotret (photo hunting), juga menikmati keindahan alam vegetasi
komunitas Edelwiss. Jenis rumputan ini sangat indah bila disaksikan berbarengan
dengan menikmati terbitnya matahari di puncak Gunung Gede. Menurut
brosur, di TN Gunung Gede Pangrango ini terdapat Telaga Biru yang terletak
1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Tapi kami tidak sempat ke sana karena mengejar
waktu untuk mencari tempat bermalam di Taman Safari Indonesia. Telaga itu
disebut Telaga Biru karena airnya biru oleh sebab kehadiran sejenis ganggang
biru di dalamnya. Obyek wisata lainnya adalah Rawa Gayonggong yang terletak 1,8
km dari pintu masuk Cibodas.
Camping Ground Taman Safari
Indonesia di Cisarua dengan Bungalow dan Caravan Hotelnya adalah sebuah
sorga yang lain. Terletak di tengah hutan Cibereum, di belah oleh kelok2 parit
berair bening, di tumbuhi pohon pinus, cemara dan bunga2 liar, dusta bila
saya tidak mimpi menghabiskan waktu libur sekolah anak2 selama mungkin di
sana. Tapi it's a great shame kan bagi spesies perempuan untuk
mengaku kepada species laki-laki sekalipun sedang berkemah bahwa
"hidup nyaman" adalah falsafah hidup yang kudu dipelihara dan dilestarikan? So,
walau kesenangan dalam hati karena kami tidak harus menghabiskan malam-malam
sunyi dalam tenda berteman nyamuk, saya tak lupa monyong-monyong dikit
mengingatkan bahwa saya sudah capek menelusuri list wajib yang harus saya
sediakan sebelum keberangkatan. Kompor, panci, kuali, sodet, centong,
peralat BBQ dan arangnya, sleeping bag, peralatan makan dan lain-lain.
Pokoknya Ima, separuh mobil
van penuh oleh peralatan dapur. Sempat juga terpikir sebetulnya "si
bos" mau ngajak kami camping atau pindah dapur sih? Iba juga melihat
anak2 bersempit ria dengan senjata kebesaran para ibu sepanjang jaman itu.
Agar tidak menyia-nyiakan "jerih payah" saya dalam mengusahakan akomodasi "hidup
nyaman di alam bebas" (dan juga agar saya berhenti berkicau), malam pertama
"si bos" memutuskan agar kami berada di alam terbuka saja.
Dibacanya begini lho Ima: Sampai salah seorang diantara
kami "merengek" minta pindah ke Caravan.
Moonless midnight in first July,
bintang-bintang memperlihatkan diri dalam kebeningan keping-keping berlian. Asap
tipis keluar dari api unggun kecil yang kami pergunakana untuk BBQ, merayap
perlahan-lahan keatas menembus pekat malam. Dari jauh terdengar lengkingan
Gibbon Jawa/Owa, satwa endemik di pulau Jawa yang di habitat aslinya hidup
berkelompok terdiri dari 2-4 ekor. Ada suara jangkrik, tonggeret, dan kelepak
sayap burung hantu. Ada lagi suara cacing bersama sepoi angin dari Timur. Dan
entah suara-suara apa lagi dari nocturnal animal, yang jelas pusat
reproduksi hewan2 langka ini membuat si kecil kami lebih suka merapat di ketiak
ketimbang memikirkan sepertinya kami sedang menjauh beratus tahun dari
peradaban manusia.
Sinar matahari pagi malu-malu
muncrat dari balik derai-derai daun pinus. Sekelompok tupai menyeberang dari
satu dahan ke dahan lainnya dengan kecepatan Jaguard. Kecibak air gunung jatuh
diatas landasan batu. Setangkai rose merah darah yang di petik tangan iseng
hanyat tenang mengikuti arus nasib. Anak-anak bertanya dan bertanya lagi. Kisah
di buku melebar dalam realitas. Seperti dari buku, mereka hanya mengenal
hewan pipih berekor dan berbulu coklat susu itu sebagai Squirrel.
Lantas apa dong bahasa Indonesianya? Alkisah sibuklah kami, adu
(sok) pintar dalam membongkar memori. Maklum lah Ima, tupai kan bukan tanggung
jawab orang tua kota.
Pernah dengar lagu Bougenville
Merah Ungu yang di dendangkan Sam Bimbo di penghujung tahun 70-an? Camping Gound
TSI penuh oleh bunga ini. Keindahannya tidak hanya terletak dalam syair dan
melodi, dalam polarisasi cahaya yang terpantul sebagai warnah putih, oranye
dan shocking pink, bougenville merah ungu adalah fatal attractions, semacam
trespassing with intent to kill somebody. Adalagi satu jenis pohon yang tidak
saya ketahui nama latinnya tapi sebagai perempuan Minang saya mengenalnya
sebagai Puring Merah. Jangan pandangi mereka dari arah datang cahaya, Ima, tapi
jongkoklah di bawah rerimbunnya dari arah berlawanan datang cahaya. Disini dikau
akan melihat peristiwa yang di sebut syair Urdu, rekhti sebagai "
tanah pun bergumam dengan nama Tuhan".
Kami juga tidak lupa jalan-jalan ke
lokasi penangkaran hewan2 langka. Ini kunjungan yang kesekian, untuk
saya, agak kehilangan daya tarik. Yang agak menarik dari sini hanyalah kami
bertemu kembali dengan si "Syeikh", onta ileran dimana bulu di kaki dan
jenggotnya sama panjang. Belakangan anak-anak sepakat untuk merubah namanya
menjadi "Osama Bin Laden". Dan begitu sampai di kelompok Gajah Sumatera
pelajaran "kesetaraan jender" pun tidak terhindarkan. Gajah Sumatera hidup
berkelompok dalam 15 sampai 40 ekor. Komunitas di pimpin oleh "betina" yang
paling cerdik dan paling kuat. Semangat 45 saya melahirkan komentar kalem
dari "gajah jantan" yang sedang pegang setir, "turut berduka cita kepada
seluruh gajah jantan penghuni tanah Sumatera."
Ceritanya masih banyak cuma untuk
mempersingkat waktu sampai di sini saja, Ima. Alam memang cantik bahkan
dalam amburadul bencana. I have seen this for more than 37 years. And
everyday I prey to Allah, He always lead me across the stilt of this life
toward His majestic valley. Amiin.
Evi
|
- Re: [RantauNet] Happy Camp of Indrawanto's Fam E ^!^ E
- Re: [RantauNet] Happy Camp of Indrawanto's Fam Rahima
- Re: [RantauNet] Happy Camp of Indrawanto's Fam Ojie Said
- Re: [RantauNet] Happy Camp of Indrawanto's Fam Rahima
- Re: [RantauNet] Happy Camp of Indrawanto's ... Ojie Said
- [RantauNet] Masalah shalat tahajud di negar... indra junaidi
- Re: [RantauNet] Masalah shalat tahajud... Rahima
- Re: [RantauNet] Masalah shalat tah... indra junaidi