Bung Mantari yang bijak

sebenarnya konsep negara bangsa sudah mulai ditinggalkan orang. Seiring Thomas 
Friedman menentang teori copernicus dengan mengatakan dunia itu datar maka 
konsep negara bangsa hanyalah tinggal sebatas administrasi dan batas negara 
saja. tetapi dalam segi ekonomi demi mengejar kesejahteraan masyarakat dan di 
picu oleh kemajuan Teknologi informasi maka dunia sudah "borderless" tiada 
berbatas. Liberalisme telah menjalar hingga kenegara negara miskin sekalipun. 
dengan kebebasan berekonomi bahkan kebebasan bertindak sesuai keinginan 
individu sepanjang tidak mengganggu hak dan kehidupan orang lain.

kembali melihat ke china meskipun sosial politik mereka sosialis namun secara 
ekonomi mereka kapitalis dan liberal. dan jangan katakan CHina itu homogen 
sejak jaman kekaisaran dulu china dihiasi dengan konflik etnis bahkan 
penghujung abad 20 saja Partai Komunis China (PKC) telah membunuih 60 - 80 juta 
orang. tahun 2004 saja mereka masih melakukan penindasan terhadap Falun Gong. 
lihat juga masa perang candu bahkan konflik denganTaiwan yang makin memanas 
akhir2 ini. melihat sejarah konflik indonesia belum jadi tandingan 
china..padahal Indonesia lebih heterogen...

dengan kenyataan sejarah yang berdarah berdarah serta dualisme edeologi negara 
mengapa china bisa maju secara ekonomi dan teknologi ? karena mereka mampu 
melihat realita bahwa mereka punya potensi untuk maju. mereka tidak sekedar 
bermimpi namun berusaha mewujudkan dengan bersatu melupakan kesalahan masa 
lalu. mereka meletakkan fondasi perekonomian dengan program yang jelas, terarah 
dan terukur, Penegakan hukum yang kuat serta komitmen pemerintah yang tinggi 
untuk meletakkan kemakmuran rakyat sebagai hukum tertinggi.

faktor yang kita belum punya bukan ? sebenarnya masih banyak yang bisa kita 
pelajari dari china. " mari belajar ke negeri China" sayang .. ada yang 
berpendapat hadist itu palsu. bah..padahal mantap kali itu !

salam

Ben

Mantari Sutan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dunsanak Benni yang saya hormati.
   
  Setuju dengan apa yang dunsanak sampaikan, bahwasanya kesejahteraan yang 
paling utama.  Namun perlu diingat, bahwa kesejahteraan adalah sebuah otput 
dalam berbangsa.
   
  Dunsanak menyutuh saya bercontoh ke Cina.  Memandang bangsa-bangsa China 
sebagai input dalam proses ini, mereka adalah masyarakat yang relatif homogen.  
Kompleksitas mereka sederhanakan dengan pengorbanan besar.
   
  Dunsanak Benni, berkaca ke pengalaman dan melihat di tempat lain.  Mungkin 
kita perlu sampai pada kesimpulan, bahwa permasalahan kita adalah tentang belum 
terbentuknya sebuah bangsa Indonesia.  Enam puluh tahun kita bereksperimen 
untuk itu.  Trial and Error kita juga sudah terbukti belum mensejahterakan 
kita.  
   
  Mari kita berkaca ke dunia luar, Jepang adalah sebuah homogenitas kebangsaan, 
Korea juga.   Negara-negara di Eropah sepertinya juga begitu.  Lihatlah Soviet, 
Yugoslavia dan terakhir Serbia Montenegro.  Sepertinya kebangsaan yang relatif 
homogen adalah input terbaik sebelum kita memulai proses dalam bernegara.  
Mudah-mudahan kita bisa menghasilkan output yang OK dalam proses bernegara ini.
   
  Wassalam,
   
  UBGB
benni inayatullah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Bung Mantari dan Santo Jabok yang saya kasihi..
  Gorbachev dan Yeltsin memang layak untuk ditokohkan tentunya bagi yang 
mencermati dan menyetujui ide ide besar mereka.  Namun mereka bukanlah segala 
galanya bagi keruntuhan uni sovyet (jika ini bisa dianggap suatu prestasi) . 
Uni Sovyet pernah mengalami masa jaya sebagai negara adikuasa dengan  kekuatan 
militer yang luar biasa menandingi Amerika Serikat bahkan dalam teknologi ruang 
angkasapun mereka tidak kalah.
  Faktor utama pecahnya Uni Sovyet menjadi serpihan-serpihan negara kecil 
bukanlah lantaran Glasnost dan Prestroika melainkan karena hukum ekonomi. 
Sedemikian rapuhnya ekonomi sovyet ketika itu mata uang mereka (rubel) bahkan 
tidak laku untuk jual beli, yang laku adalah dolar amerika. Kehidupan begitu 
susahnya sehingga timbul penolakan terhadap sistem ekonomi bahkan sistem 
pemerintahan yang komunis. Glasnost dan perestroika hanyalah menjadi faktor 
pendorong matangnya situasi sosial politik dan ekonomi ketika itu. 
  Ini bukanlah soal sentralisasi, otonomi daerah apalagi komunisme. Sejarah 
berbagai negara membuktikan kekuatan ekonomi sangat menentukan. Lihatlah china 
saat ini yang tumbuh menjadi raksasa ekonomi padahal mereka menggunakan sistem 
komunis yang jauh dari demokratis. PRRI adalah masalah  ekonomi dan kekuasaan 
dimana daerah merasa tidak puas dengan pembagian kesejahteraan dari pusat. 
Disaat jakarta menjadi proyek mercusuar disaat itu pula kelaparan melanda 
daerah2 yang turut berjuang mencapai kemerdekaan. Disisihkannya Hatta dari 
pemerintahan serta menguatnya komunisme hanyalah faktor pendorong saja bukan 
penyebab utama.
  Lihatlah indonesia saat ini negara demokrasi ketiga terbesar didunia.  Tapi 
mengapa demokrasi tidak berkorelasi dengan kesejahteraan ? Kita tidak butuh 
Yeltsin kalau hanya sekedar  untuk melahirkan slogan yang muluk muluk. Kita 
sudah punya presiden yang mimpinya bahkan melebihi mimpi gorbachev dan yeltsin. 
Kita sudah punya Amien Rais yang melahirkan reformasi. Kita sudah punya Munir 
yang berjuang menegakkan HAM hingga tetes darah terakhir. Bangsa ini sudah 
punya segala –galanya. Bangsa ini hanya tidak mempunyai pemimpin yang memiliki 
hati nurani untuk menyadari bahwa hukum  tertinggi adalah kesejahteraan 
masyarakat, Sales Patriae Suprame Lex.
  Sesungguhnya Jika mereka mereka telah menyadari itu tidak sulit menyembuhkan 
bangsa  yang sakit ini. yang dibutuhkan masyarakat tidaklah muluk muluk : Otak 
cerdas, badan sehat, saku penuh. Pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. 
 Jadi mengapa terpaku dengan sistem politik dan slogan-slogan mewah ? Kita 
tidak butuh Yeltsin di negara ini, yang kita kita butuh adalah Pemuda seperti 
Bung Mantari dan Santo Jabok yang memiliki visi besar dan bukannya omong besar 
! Kita butuh Bung Mantari dan Sutan Jabok yang mampu memahami realitas dan 
bukannya ternina-bobokan oleh slogan slogan anti kemapananI  Kita butuh 
pemuda-pemuda seperti Bung Mantari dan santo Jabok yang memiliki empati kepada 
mereka  yang termarginalkan secara ekonomi dan bukannya mengekalkan feodalisme 
dangan menjilat telapak kaki penguasa ! kita kita semua butuh jiwa muda yang 
cerdas, punya visi, boleh berpikir radikal namun tidak melupakan realita. 
Selamat mendepa Jaman !
  Salam
  Ben


            

---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check out new cars at Yahoo! Autos.
  
 


       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke