Pak Saaf,
Kalau membaca tanggapan bapak di bawah ini tentang Bung Hatta, saya yakin
99,9 % Pak Saaf belum membaca "Memoir" Bung Hatta (1979) yang diterbitkan
ulang menjadi "Untuk Negeriku" (2011, dipecah menjadi tiga jilid: 1.
Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi, 2. Berjuang dan Dibuang, dan 3. Menuju
Gerbang Kemerdekaan).

Kejadian-kejadian sekitar Agresi Militer II dan terbentuknya PDRI
dijelaskan Bung Hatta dalam buku ketiga, Menuju Gerbang Kemerdekaan.

Bung Hatta tidak pernah mengabaikan sama sekali peran Sjafruddin
Prawiranegara sebagai Presiden Darurat (tidak pakai apostrof) dalam
perundingan Roem-Roijen seperti pendapat Pak Saaf.

Bung Hatta, sejak pelimpahan mandat 19 Desember 1948, selalu konsekuen
dengan sikap bahwa pimpinan pemerintahan sudah di tangan Sjafruddin
Prawiranegara.

Tapi ketika beliau ditahan di Bukit Menumbing, Bangka, di hari-hari pertama
(Bung Karno, Bung Sjahrir dan Agus Salim masih ditahan di Prapat, belum
dipindahkan ke Bangka menjadi satu dengan Bung Hatta dkk) utusan KTN dari
Australia, Thomas Kingston Critchley, yang memaksa agar wakil perunding
dari Indonesia tetap Soekarno-Hatta, karena dua nama ini yang sudah dikenal
dunia, terutama PBB.

Saya kutipkan bagian ini dari otobiografi Bung Hatta:

------
... Tuan Critchley datang ke Bangka untuk menanyakan kepadaku apabila
perundingan dengan Belanda dapat diteruskan.
    Aku menceritakan kepada Critchley bahwa aku dan Sukarno TIDAK PUNYA
KEKUASAAN LAGI SEBAB KEKUASAAN PIMPINAN NEGARA PADA TANGGAL 19 DESEMBER
1949 SUDAH KAMI SERAHKAN KEPADA MR. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DI SUMATERA
BARAT (Note: huruf besar dari saya - ANB). Critchley mengatakan bahwa dunia
internasional, demikian juga United Nations, hanya kenal sekapada
Sukarno-Hatta sebagai pimpinan negara Republik Indonesia.
------- ("Menuju Gerbang Kemerdekaan" hal. 204).

Intervensi KTN ini, apalagi setelah Bung Karno ikut ditahan di Menumbing,
membuat keputusan wakil perunding Indonesia tidak lagi menjadi hak
eksklusif Bung Hatta yang memutuskan. Sementara kita tahu, di sisi lain,
Bung Karno adalah seorang yang sangat "kompromistis" dalam mengambil sikap.
BK bisa dengan mudah mementahkan apa yang sudah disampaikannya sendiri.
Contoh paling gamblang adalah pidato berulang kali BK (sebelum Agresi
Militer II) bahwa jika pecah perang lagi, dia sendiri yang akan memimpin
perang gerilya melawan Belanda. Tapi ketika saat itu tiba  pada 19 Desember
1948, BK memutuskan untuk menyerah dan ditangkap Belanda, ketimbang
melakukan janjinya sendiri sehingga ini membuat Panglima Sudirman kecewa
besar dari mengkritik langsung pilihan itu dalam pembicaraan mereka di
Istana (sementara di dalam rapat kabinet berlangsung). Saksi kejadian ini
adalah pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowijoyo, yang kelak menulis
dalam memoarnya.

Kekecewaan Panglima APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) ini makin
bertambah-tambah dengan adanya Perjanjian Roem-Roijen yang tidak memberikan
kesempatan kepada kubu PDRI untuk mewakili Indonesia. Sudirman dengan keras
mengecam sikap BK yang menunjuk Roem dari Tracee Bangka sebagai pihak yang
mewakili Indonesia.

Saya kutipkan surat Sudirman (aslinya tulisan tangan) kepada BK yang
disimpan di Arsip Nasional dan saya kutip ulang dalam "Presiden
Prawiranegara":

-----
.... Riwayat masa lampau menyebabkan penderitaan pahit seperti yang kita
alami bersama-sama sejak tanggal 19/12/1948 seharusnya jangan sampai
terulang lagi ... Minta keterangan apakah orang-orang yang masih ditahan
(dalam tawanan) atau dalam pengawasan Belanda berhak berunding? Lebih-lebih
menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status
negara kita, sedangkan TELAH ADA PEMERINTAH PUSAT DARURAT YANG DIRESMIKAN
SENDIRI OLEH PADUKA YANG MULIA PRESIDEN SUKARNO KE SELURUH DUNIA PADA
TANGGAL 19/12/1948 (Note: huruf kapital dari saya -- ANB).
    Sejak tanggal tersebut kekuasaan pimpinan negara telah diserahkan pada
Pemerintah Pusat Darurat, yang DIPIMPIN OLEH YANG MULIA MR. SYAFRUDDIN
PRAWIRANEGARA (Note: huruf kapital dari saya -- ANB). Semoga Pemerintah
Pusat Darurat tetap mendapat perlindungan Tuhan, sehingga senantiasa tegak
teguh dan tetap dalam pendiriannya. Amin.

Panglima Besar APRI
Letnan Jenderal Sudirman
-------- ("Presiden Prawiranegara", hal. 330)

Jadi Pak Saaf bisa lihat sendiri, dan saya sarankan cek ulang, bahwa bukan
saja dua tokoh berpengaruh baik sipil (Bung Hatta) maupun militer (Panglima
Sudirman) sejak awal selalu bersikap selaras dengan isi mandat pelimpahan
wewenang. Bahkan kalau kita mau lakukan analisis diksi terhadap surat
Sudirman yang menyebut Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai "Yang Mulia"
--- sama seperti panggilannya terhadap Bung Karno -- menunjukkan bahwa bagi
Sudirman peristiwa pelimpahan wewenang ini adalah urusan sangat serius yang
diyakininya sepenuh hati.

Jadi Pak Saaf n.a.h.,
jika bagi bapak "masih keberatan jika judul (novel saya "Presiden
Prawiranegara") itu dianggap sebagai sungguhan, maka sesungguhnya bapak
tidak keberatan kepada saya yang hanya mengungkapkan ulang dokumen-dokumen
otentik (yang sudah banyak dilupakan orang) dalam novel saya.

Keberatan bapak sesungguhnya tertuju kepada Bung Hatta dan Panglima
Sudirman sendiri. Tak bisa lain.

Sekali lagi, dengan sepenuh hormat terhadap standing position bapak dalam
masalah ini dan hasil penelitian disertasi bapak, silakan bapak cek ulang
sumber-sumber primer yang saya sebutkan di atas.

Saya sendiri berpendapat: Bung Hatta dan Panglima Sudirman, sudah sejak
awal sangat Istiqomah dalam pandangan dan sikap mereka terhadap status Pak
Sjaf dan PDRI. Jika setelah itu muncul beragam distorsi sejarah yang
mengecilkan, bahkan sampai upaya menihilkan kontribusi Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, adalah hal lain.

Dan khusus untuk otobiografi Bung Hatta yang jelas-jelas menyebutkan Mr.
Sjafruddin sebagai Presiden Darurat (tanpa apostrof), ini juga bagian dari
analisis kontekstual yang saya sarankan kepada Pak Saaf sejak awal untuk
dilakukan.

Sebab ketika otobiografi itu terbit untuk pertama kali (1979), Bung Hatta
sudah cukup berjarak dengan beragam peristiwa yang dialami dan
disebutkannya dalam buku itu, termasuk PDRI. Keuntungannya adalah: dengan
cukup berjarak, maka pendapat yang ditulis BH tentu jauh lebih tenang dan
obyektif.  Sudah tak ada lagi interferensi dari pihak lain, entah BK atau
Critchley dibandingkan saat beliau menjadi tawanan di Bangka.

Wassalam,

ANB
Cibubur

PS:
Meski dalam "Presiden Prawiranegara" saya tidak berpretensi sebagai
sejarawan, dan menyuguhkan sebuah karya sejarah murni, tapi saya memeriksa
banyak dokumen/surat-menyurat otentik. Selain surat-surat Sudirman kepada
BK dan Pak Sjaf, juga surat-surat Kol. AH Nasution kepada Pak Sjaf, Laporan
Residen St. Moh Rasjid ke Pariaman (inspeksi 3 kapal Singapura) yang
berlangsung sehari sebelum Agresi Militer II berlangsung, Laporan Bumi
Hangus Bukittinggi oleh Kepala Kepolisian Sulaiman Effendi, dll. Saya lebih
tertarik mempelajari dokumen-dokumen serupa itu dibandingkan studi para
sejarawan/akademisi tentang PDRI, yang sampai tahap tertentu sudah
bercampur interpretasi subyektif dan bias-bias kepentingan tertentu.
Sedangkan dari dokumen otentik, kadar interpretasi subyektif dan bias
kepentingan bisa saya minimalisir seoptimal mungkin.

Barangkali karena itu Pengamat Militer Prof. Dr. Salim Said bersedia
memberikan endorsement di sampul novel "Presiden Prawiranegara", bukan
endorsement dari sastrawan, karena memang saya tak berpretensi pula untuk
membuat sebuah karya estetik yang "sastrawi".

PPS:
Jika Pak Saf di akhir komentar bapak menyebutkan "jika bangsa ini -- pada
satu saat nanti -- mengakui Pak Saaf sebagai Presiden kedua Republik ini.
Saya akan ikut. Silakan dilanjutkan usaha ini."

Saya tentu menghormati pilihan Pak Saaf itu --dengan kapasitas keilmuan
Bapak yang sesungguhnya luar biasa -- namun cukup puas menempatkan diri
hanya sebagai follower dari ke mana sejarah Indonesia akan bergulir dalam
mencatat kiprah Mr. Sjafruddin Prawiranegara selama 207 hari yang genting
dan hampir membuat negeri ini karam dalam arti sesungguhnya.

Saya tentu tak bisa berharap Pak Saaf bersikap seperti Asvi Warman yang
sejak awal 2000-an tanpa kenal lelah menggulirkan wacana pengakuan terhadap
"Presiden Prawiranegara" dalam kolom-kolomnya di media cetak, atau Prof.
Nina Lubis (Unpad) yang menjadi motor akademisi dalam pengusulan Mr.
Sjafruddin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional, yang baru berhasil pada
usaha ketiga (2011), setelah dua kali sebelumnya (2007 dan 2009) upaya ini
gagal karena terganjal persetujuan dari pihak militer (Testimoni Prof. Nina
Lubis di "Mata Najwa", di mana saat itu saya juga menjadi narasumber
bersama sejarawan muda Bonnie Triyana, pemimpin redaksi majalah "Historia").

PPPS:
Ihwal Kol. Hidayat (Martaatmadja), yang wafat dalam pangkat Letjen (Purn.),
saya menangkap kesan Pak Saaf kurang respek terhadap Kol. Hidayat, mertua
Pak Rais Abin ini, dibanding Kol. AH Nasution. Apakah kesan saya benar?

Saya kira Kol. Hidayat tidak senaif itu "mengungsi ke Aceh yang aman"
(kesannya menghindari perang), sementara saat itu dia tidak melakukan
desersi dan tetap melakukan koordinasi dengan Panglima Sudirman yang sedang
bergerilya di Jawa.

Tetapi tentu saja saya tidak punya banyak data soal ini, kecuali biografi
beliau yang berjudul "Hidayat: Father, Friend, and Gentleman" yang ditulis
putri beliau Dewi Rais Abin. Dalam biografi itu, Kol. Hidayat yang sedang
di Kutaraja (kini Banda Aceh) setelah menemani perjalanan Bung Hatta (Nov
1948) justru sedang di Bukittinggi ketika Agresi Militer II berlangsung.
Kol. Hidayat lah yang mendorong dan meyakinkan Mr. Sjafruddin Prawiranegara
agar lekas-lekas mendeklarasikan PDRI karena Pak Sjaf yang berpikir legal
formal sebagai sarjana hukum justru sangat hati-hati dalam memutuskan
terbentuknya PDRI, berdasarkan hal-hal yang sudah saya sampaikan dalam
posting saya sebelumnya.

* * *

Pada Jumat, 29 Maret 2013, Dr Saafroedin Bahar menulis:

> Bung Akmal, bagus dan terima kasih atas tambahan bahan yang sangat
> berharga ini. Jadi missi pak Sjaf ke Bukit Tinggi bulan November 1948 itu
> bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga militer. Sayangnya Panglima
> Komandemen Sumatera yang baru, Kolonel Hidajat dari Siliwangi, yang datang
> bersama pak Sjaf, tidak ikut bergerilya, malah terus mengungsi ke Aceh yang
> aman dari Agresi Militer Belanda kedua. Beda sekali dengan Panglima
> Komandemen Jawa, Kolonel A.H. Nasution, yang aktif memimpin perang.
> Bung Hatta, kemudian,  menyebut pak Sjaf sebagai " Presiden Darurat" ?
> Bagus dan cukup meyakinkan. Hanya aneh juga, mengapa beliau sebelumnya
> malah mengabaikan sama sekali peran  " Presiden Darurat" ini dalam
> perundingan dengan Belanda, dan ikut menunjuk Mr. Moh. Roem utk mewakili
> Republik berunding dgn Mr. Van Rooyen dari fihak Belanda dan bukannya
> menunggu "Presiden Darurat" ini ? Bukankah hal ini yang menyebabkan
> kemarahan yang amat sangat dari fihak PDRI, sehingga sangat menyukarkan
> missi Dr. Halim utk mengajak pak Sjaf mengembalikan mandatnya kepada
> Presiden Soekarno, yang sudah kembali ke Yogya atas wibawa PBB?. Hanya
> argumen akal sehat, bahwa dunia luar dan bangsa Indonesia hanya mengenal
> Bung Karno, dan bukan pak Sjaf, sebagai pemimpin bangsa Indonesia, yang
> akhirnya menyadarkan pak Sjaf utk mengembalikan mandatnya sebagai " Ketua
> PDRI", bukan sebagai " Presiden Darurat". Jadi - maaf sebesar-besarnya -
> sebutan " Presiden Darurat " kemudian oleh Bung Hatta tersebut juga
> termasuk dalam kategori ' rekonstruksi ahistoris'.
> Sudah barang tentu kita semua menjunjung tinggi kejujuran Bung Hatta,
> namun menjadikan ungkapan simbolis " Presiden Darurat"  yang bersifat
> honoris causa tersebut    sebagai argumen utk mengangkat pak Sjaf sebagai
> presiden sungguhan, belum dapat saya cerna.
> Bagaimanapun juga, saya menilai wacana ttg posisi pak Sjaf dalam
> perjuangan membela dan menegakkan NKRI, sangat bermanfaat bagi kita semua.
> Upaya bung Akmal menulis novel yang didukung oleh penelitian yang cukup,
> jelas layak diacungi dua jempol. Akhirnya perlu saya ulangi lagi, saya sama
> sekali tidak berkeberatan dgn judul " Presiden Prawiranegara" sebagai
> penghormatan kepada pak Sjaf dan sebagai judul novel, tetapi saya masih
> merasa berkeberatan jika judul itu dianggap sebagai sungguhan. Dengan satu
> pengecualian, yaitu jika Bangsa ini - pada suatu saat nanti - mengakui pak
> Sjaf sebagai presiden kedua Republik ini. Saya akan ikut. Silakan
> dilanjutkan upaya ini.
> Wassalam,
> SB.
> Saafroedin Bahar. Taqdir di tangan Allah swt, nasib di tangan kita.
>
> --
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
> - DILARANG:
>   1. E-mail besar dari 200KB;
>   2. E-mail attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi;
>   3. One Liner.
> - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
> http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/
> - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama &
> mengganti subjeknya.
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/
> ---
> Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari
> Grup Google.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini,
> kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com<javascript:;>.
> Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
>
>
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Kirim email ke