Yth. Dunsanak IJP. Salam kenal. Memperhatikan diskusi di RN ini dan tanggapan2 anda, akhirnya saya gak tahan juga utk tidak ikut serta. Tp bukan utk berdebat. Saya gak pandai berdebat. Melainkan saya mau bertanya bbrp hal, krn saya kuli swasta dan banyak kurang paham ttg administrasi pemerintahan. Kebetulan interest saya sebetulnya dalam 3 tahun terakhir hanya di sektor pariwisata. Sekedar menyalurkan hobby mangodak sajo, walau kadang2 terjerembab juga keluar dari isu pariwisata nya....
1. Sumbar dpt subsidi dr pusat, DIPA atau apalah istilahnya (tolong diluruskan kalau tidak tepat) dr pusat sebesar Rp.11 triliun tahun lalu atau tahun sebelumnya. Sedangkan Riau saja yg kaya minyak hanya sktr Rp.6-7 triliun (..?). Ada tersirat kebanggaan, mudah2an saya salah, dpt angka sebesar itu suatu prestasi. Tetapi saya melihat sebaliknya dr sisi pekerja swasta dan bukan saudagar pula. Apakah Sumbar sanggup menghasilkan uang sebesar itu? Walaupun ada yg mengatakan itu "grant" dari pusat utk menjalankan suatu pemerintahan. Kalau semua propinsi di Indonesia mendapat grant seperti ini tanpa memikirkan bisa berproduksi melebihi angka tsb, apakah secara ekonomi Indonesia akan bermasalah kalau begini terus pola pikirnya...? 2. Masalah kesulitan tersenyum alias "mati urek" ini kita coba mulai kampanyekan melalui USULAN Program "4 Rancak 5 Bana". Dan mati urek ini ada di point ke 5. Tadi malam saya diajak ketemu oleh Wartawan Media Indonesia. Ketika saya tunjukkan usulan program ini, mereka bilang, ini sebetulnya bisa berlaku utk nasional nih, terutama utk mendukung VIY2008 yg juga seret. My point, bahwa ini keliatannya isu kita di Indonesia umumnya, tapi mungkin di Sumbar tingkatnya agak berlebihan. Sampai2 Pak Johny, pemilik jaringan industri pariwisata El John mengatakan: "Komponen pariwisata paling lengkap di Indonesia ada di Sumbar, except HOSPITALITY...". Sehingga beliau saat ini katanya sedang dalam pemikiran utk menutup salah satu Hotelnya yg ada di Sumbar. Padahal kita berharap agar Hotel berbintang dg jaringan Internasional yg masuk dan berinvestasi agar "kelas" Sumbar juga naik di mata dunia Internasional utk dikunjungi. Masih jadi pertanyaan buat saya kenapa Novotel "keluar" dari Bukittinggi. Apa kira2 saran atau pendapat sanak IJP dalam hal ini...? 3. Akhir2 ini semakin banyak "bom waktu" yg muncul di Sumbar. Setidaknya mungkin hanya menurut kita (atau saya lah) yang berada diluar lingkaran alias diluar Ranah. Banyak kebijakan2 kontroversial yg hanya masalah "kulitnya" saja yg diekspose, harus berjilbab, penutupan Jam Gadang pd Tahun Baru, dll. Kampanye2 yg sangat klasik: "Mari tingkatkan keimanan kita sbg umat beragama...", "semua ini cobaan...", "harus tawakal...", "kita harus belajar nrimo...", "baru inilah kondisi yang kita miliki...", dsjnya. Disisi lain, PAD Sumbar ada di level 20an kebawah (tolong koreksi ada dilevel brp Sumbar skrg) alias termasuk miskin. Kalau ekonomi tidak bisa bergerak dan cenderung menurun dan berdampak ke "kampuang tangah" alias paruik, rasanya akan memicu banyak hal dan masyarakat menjadi sangat SENSITIF thd berbagai hal. Petatah petitih yang indah2 dan penuh makna, ABS BSK, dll, lewat semua itu pasti dipikiran mereka... Baru merasa gak nyaman sedikit, kalau perlu, langsung mengajak orang "bacakak pisik"... Konflik warga Saniangbaka ini, hanyalah salah satu akibat saja. Konflik pun juga mudah sekali terjadi di organisasi2 baik di daerah maupun di rantau. Belum lagi termasuk pareman, panguah2, inkonsistensi harga thd tamu, kurang ramah, dll. Apakah para pejabat kita yg sensitif dan sulit menerima masukkan juga merupakan dampak dari ini juga? Menurut sanak IJP, apakah kita sebetulnya juga bermasalah dg pendekatan sistim PENDIDIKAN kita dari mulai TK...? Sehingga ada kecenderungan kurang terbentuknya dengan baik masalah attitude alias PERANGAI, Tingkah Laku, Sikap...? Sehingga ekspresi kita terkesan agak kasar jadinya dan orang jarang sekali yang merasa "warm' dg sikap kita tsb. Didunia pariwisata ini menyebabkan orang cenderung untuk tidak mau berulang berkunjung kembali ke Sumbar. Apa bedanya pendidikan di Sumbar dg di Jawa..? Kalau pun di Jawa juga ada ekses2 spt diatas, tetapi kok bisa terlihat lebih "cantik" ya... Apakah sektor pendidikan ini tidak perlu kita tinjau kembali lebih jauh...? 4. Menurut sanak IJP, apa urut2an prioritas utk industri di Sumbar yg sebaiknya bisa kita boosting utk meningkatkan ekonominya...? Pertanian, Peternakan, Manufaktur, Semen, Tambang, Pariwisata, Kelautan, TI, Pendidikan, Perdagangan...? Katanya jarang negara yg kaya krn pertanian yg hasilnya langsung diekspor. Tetapi yang lebih baik katanya hasil pertanian diproduksi utk mendukung industri baru diekspor... Mohon maaf sebelumnya kalau keberatan dg pertanyaan2 dan pendapat awam saya diatas. Terima kasih dan sukses selalu buat anda... Salam, Nofrins ----- Original Message ---- From: Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> To: RantauNet@googlegroups.com Sent: Friday, May 2, 2008 11:37:51 PM Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Komentar-Re: [EMAIL PROTECTED] Re: Cakak Antarnagari - PRIHATIN Dear pak jamal. Ini diskusi yang sangat serius, jadinya. Diperlukan para ahli (perencanaan) ekonomi yang handal. Saya setuju dengan kelemahan daya beli masyarakat, karena income per kapita yang rendah. Semakin banyak warung sekarang yang tutup lebih cepat, sekalipun listrik sudah masuk ke pelosok-pelosok. Persoalan terpenting adalah APBD Sumbar, termasuk kabupaten dan kota, terlalu tergantung kepada ”subsidi” pusat. Lalu, APBD itu terserap kepada anggaran rutin yang berarti juga dinikmati oleh pegawai negeri sipil. Anggaran itu menjadi tidak produktif. Kemampuan mendatangkan investasi dari luar juga rendah. Saya selalu kesulitan kalau bicara soal investasi di Sumbar ke kalangan investor manapun. Tidak ada lahan luas yang bisa ditanam kebun sawit, misalnya, karena seluruh tanah adalah tanah adat. Teman saya yang bekerja di Coca Cola, misalnya, memindahkan kantor distribusinya ke luar Sumbar, ketika begitu banyak yang harus dipertaruhkan di ranah Minang. Pengusaha hotel yang saya tahu juga kesulitan untuk mencari pegawai-pegawai yang bisa tersenyum, padahal harus ada pegawai lokal. Kualitas air pegunungan di Sumbar itu bagus, untuk menjadi semacam Aqua. Tetapi, lagi-lagi, akan kesulitan sekarang untuk menjaga keberlanjutan proyek seperti itu. Mengapa? Karena pasokan air bersih terus-menerus memerlukan kerjasama yang kohesif di kalangan pengelolanya. Sekali saja air itu dimasuki oleh kerbau atau anjing mati, sulit untuk mencegah efek negatifnya. Orang-orang sekarang dengan mudah mencari ikan di sungai menggunakan strum (listrik), sehingga telor ikanpun mati. Yang lebih parah, pakai racun. Financial system katanya sudah berjalan baik dengan adanya Bank Pengkreditan Rakyat. Tetapi, seberapa banyak yang bisa dicover? Usaha besar jelas membutuhkan sistem perbankan. Tetapi apa yang mau dimasuki oleh pinjaman kredit bank ini, kalau yang punya uang dijadikan sebagai sai perahan atau musuh masyarakat? Tentu keadaannya berbeda dengan masalah nasional. Bagaimanapun, Indonesia adalah pasar yang luas, 230 Juta penduduk. Dan masih banyak daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam, seperti Papua dan Aceh. Sekarang ini, semakin banyak orang asing yang mau ambil 1 Juta hektar hutan Aceh, katanya demi perkebunan, nyatanya hanya untuk mengambil kayunya, diseludupkan lewat Malaysia atau Philipina, lalu sampai di China. Jadilah China sebagai eksportis kayu merbau terbesar di dunia dan Malaysia sebagai eksportir kayu gelondongan nomor satu. Padahal, kayu-kayunya dari hutan Indonesia. Secara ekonomi, Sumbar sudah finish! Namun, tidak ada yang mau mengakui itu. Kalau Sumbar mau maju, carilah seorang enterpreneur untuk menjadi pemimpinnya. Tetapi itu saja tidak cukup. Beri ia kebebasan dan dukungan untuk melakukan pekerjaannya. Dulu, masih ada efek dari perantau. Tetapi sejak pasar tanah abang terbakar, juga pasar-pasar tradisional lain hancur, maka efek itu tidak lagi terasa. Uang sulit didapat. Kantor-kantor pos makin kecil dalam menerima wesel-wesel pos tiap lebaran. Bukan tidak ada jalan keluar. Lihat sekeliling: Riau adalah negeri kaya yang sedang membangun. Tetapi Riau tidak memiliki Danau Maninjau, dll. Saya setuju Pak Syaf, pariwisata bisa dimajukan, tetapi didiklah anak-anak gadis dan orang-orang bujang untuk tersenyum. Apa orang Minang mau? Tidak! Pemda malah mengirim satpol-satpol PP menggeledah seluruh hotel untuk tegaknya syariat. Di Aceh saja itu tidak dilakukan, sekalipun mereka menerapkan syariat Islam dan Serambi Mekah. Tentu saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak, karena ini soal serius. Yang diperlukan adalah sejumlah prioritas pembangunan ekonomi, sembari membelakangkan yang lain. Membangun universitas hebat juga salah satu jalan keluar (lihat, bagaimana Australia bergelimang uang dengan kedatangan pelajar-pelajar dari Indonesia , Malaysia atau Thailand ). Tetai, apa mau universitas di Minang menaruh dosen-dosen dari luar negeri atau dari luar Minang, karena keminangannya itu? Baik dunia pariwisata atau dunia pendidikan di Minang, selalu saja menghadapi problem “keakuan” dan “keangkuhan” orang Minang. Taufik Rahzen dan Radhar Panca Dahana, dua orang teman saya, ketika Kongres Gebu Minang dulu, sempat menyumbangkan ide menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata tambang se-dunia. Mereka punya kontak di manca-negara. Tinggal mencatatkan di kalender-kalender tahunan wisata di seluruh dunia. Tetapi, apa ide yang disampaikan di depan walikota dan banyak petinggi Minang itu laku? Pak Syaf menjadi saksinya. Silaing Indah bisa juga menjadi arena hiking yang memukau, tinggal dicarikan jalurnya, termasuk untuk outbound dan lain-lain. Kalau kita out bound di puncak kan sekarang makin tidak terasa desir angin, bunyi siamang, atau suara alamnya? Itu beberapa catatan saya. Saya kira, lagi-lagi, dibutuhkan analisis yang lebih serius. Namun saya tetap berpendapat betapa kemajuan atau upaya memajukan Sumbar sangat dipengaruhi oleh hambatan-hambatan budayanya sendiri. Tinggal dicarikan sinerginya. Saya belum pernah ke Negara Arab yang sedang berkembang sekarang. Tetapi yang saya dengar, di Negara itu orangnya tidak peduli dengan bule-bule berbikini, tetapi mereka tidak menanggalkan jilbabnya atau baju kokonya. Kalau memang Sumbar disebut kuat memegang agama dan adat, mengapa takut membuka diri? Ujilah, apakah kuat iman itu? ijp ________________________________ From:RantauNet@googlegroups.com [mailto: RantauNet@googlegroups.com ] On Behalf Of jamaludin mohyiddin Sent: 02 Mei 2008 18:44 To: RantauNet@googlegroups.com Subject: [EMAIL PROTECTED] Komentar-Re: [EMAIL PROTECTED] Re: Cakak Antarnagari - PRIHATIN Saudara Indra jaya Piliang, Assalam mu alaikum wa rahmatul Llah hi wa barokatuh, (Ma'afkan hambo berbahasa Inggeri s) I did read the mentioned newspaper report with interest despite difficulty in Bahasa and very local newscasting. Indeed, It is sad and this trend will continue unabated as you said and pointed out it is part of Geertz's argument for agricultur al involution. I really appreciate if could kindly provide a picture of an updated understanding of contemporary trend of political economy of Minangkabau. You did mention that the main political economic characteristic of Minang is agrarian or ag riculture-based. I inferred from this is that its mode of production and the whole commercial and entrepreunal system are not strong enough or good enough to be competitive either at Indonesian regional level as well as at the higher level involving the outside world. Not knowing precisely the political economy of Minangkabau and I have to acknowledge this fact, somehow I have to agree with you that what really needed in Ranah is economic intervention. You did itemized and emphasized what sort of economic intervention(s) you have in mind. These items are good to begin with. Is it possible you could elaborate further your perception of economic intervention? How about starting the whole economic revitalization program with economic de mocratization and enlarging participatory economics over the existing political economic system of Minangkabau. May be, and I think, the main problem in Ranah is the low purchasing power/ kekecilan daya membeli. Of course, they are (historical) factors that why purchasing power of Minang people remain steady low for long time. Whatever economic programs initiated will be ending up or with the objective of enlarging this individual and collective/aggregate purchasing power within the Ranah. Talking about increasing the overall purchasing power we are precisely talking about banking and financing aspects of the political economy of Minang. In what way and how far modernization of bank ing and financial sectors in Minang have taken place? If it is not, it is extremely difficult for a reformed political economy to deliver Minang to next meaningful level of competitiveness. The idea to have training centers with the objective "u ntuk bisa bersaing di dunia kerja diluar ekonomi agraris" is very timely and appropriate. Are you also factor in the paramount importance and the significance of noneconomic dimensions in your economic renewal project either in Minang as well nationwide ? Could you mention couple of them? --- On Fri, 5/2/08, Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Cakak Antarnagari - PRIHATIN To: RantauNet@googlegroups.com Date: Friday, May 2, 2008, 5:16 AM Perso alan seperti ini akan terus terjadi. Minang pasti akan mengalami apa yang disebut sebagai involusi pertaniannya Geertz, yakni semakin banyak orang yang memiliki tanah, tetapi lahan semakin kecil dan produksi semakin tipis. Akibatnya, lahan menj adi rebutan. Ini juga menjadi tanda betapa masyarakat di level nagari belum mampu keluar dari ekonomi agraris, lalu masuk ke level ekonomi lain: seperti perdagangan, teknologi, informasi dan jasa. Lahan, lagi-lagi, menjadi persoalan. Kalau di level nagari bacakak memperebutkan tanah atau lahan, maka di level pedagang kaki-lima di tanah abang memperebutkan lapak/tempat. Jangan hanya prihatin. Musywarah untuk mufakat juga tidak akan menyelesaikan masalah di tingkat akar umbi. Yang diperlukan adalah intervensi di bidang ekonomi. Program-program padat karya barangkali bisa memberikan sedikit penghasilan, tetapi yang lebih penting lagi adalah pemberian training-t raining pada level masyarakat, terutama yang berusia produktif, untuk bisa bersaing di dunia kerja diluar ekonomi agraris. Sampai sekarang saya belum mendengar para bupati atau gubernur melakukan program ini. Kalau ada anak-anak minang ke rantau, maka hanya bermodalkan tulang sembilan kerat. Yang diperlukan bukan semacam Minangkabau Center , melainkan semacam "Pusat Pelatihan Menuju Rantau". Modul-modulnya bisa dipikirkan, begitu juga instrukturnya. Kalau menggunakan p endekatan Marxis, maka apa yang terjadi di Silungkang bisa muncul lagi di abad ke-21 ini. ijp ____________________________________________________________________________________ Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet. - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting. - Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi. - Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---