Pak Saaf yang baik dan dunsanak di Palanta,
 
Sejauh yang saya ketahui, setelah banyak membaca surat2 Melayu dari Indonesia 
timur, banyak kerajaan lokal di Indonesia timur pada masa lampau--Buton, Bima, 
Sumbawa, Gowa, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, Raja Ampat, 
dll.--memiliki pejabat tinggi di bawah raja yang disebut KAPITALAO (Indonesia: 
Kapten Laut). Malah Buton memiliki dua KAPITALAO, sesuai dengan kebutuhan yang 
didasarkan atas letak geografis daerahnya, yaitu KAPITALAO MATANAYO dan 
KAPITALAO SUKANAYO. Secara struktural KAPITALAO berada di bawah perintah raja. 
Fungsinya adalah untuk menjaga wilayah laut kerajaan yang bersangkutan, 
menerapkan undang2 kerajaan yang bersangkutan yang terkait dengan hasil laut 
dan kejadian2 di laut (misalnya di Buton dulu ada undang2 bahwa setiap kapal 
asing yang karam di perairannya, maka harta milik kapal itu berhak diambil oleh 
kerajaan), dan tentu saja mengonsolidasikan kekuatan perang di laut apabila 
kerajaan diserang oleh musuh. Tugas KAPITALO berbeda
 dengan tugas SYAHBANDAR yang juga terkait dengan kelautan. Tapi tugas 
SYAHBANDAR hanya mengatur pelabuhan, dan menetapkan jumlah pajak dan menarik 
pajak bagi kapal2 yang masuk. Bima, misalnya memiliki undang2 sendiri yang 
mengatur pelabuhannya, yaitu UNDANG-UNDANG BANDAR BIMA (lihat: Salahuddin dan 
Mulyadi, 1992). Orang2 Bugis memiliki HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN AMANNA 
GAPPA (lihat: Tobing, 1977). Salah seorang yg banyak meneliti teknologi 
kelautan orang Bugis yang luar biasa itu bernama Horst Liebner, antropolog 
kelautan asal Jerman (temukan nama dan karya2nya di mak Google!). Ini sekedar 
contoh saja. Jelaslah bahwa dulu kerajaan2 lokal di Indonesia timur sangat 
berorientasi maritim, hal yang hilang dan sering dikeluhkan di zaman Indonesia 
modern ini, yang badugo mambuek MALL tapi indak pandai mambuek KAPA.
 
Sejauh yang saya ketahui, untuk wilayah Indonesia barat, hanya Aceh yang pernah 
punya "panglima laot' (seperti disebut dalam artikel Jawa Pos itu). Mungkin 
Sriwijaya dulu juga juga punya. Tapi untuk Minangkabau, saya belum pernah 
menemukan data otentik tentang adanya jabatan ini, kecuali bahwa dalam Kaba 
Anggun Nan Tongga Magek Jabang digambarkan tentang Anggun nan gagah berani 
mengharungi laut. Juga dalam Kaba Sutan Pangaduan dan Sutan Lembak Tuah. Tapi 
karena ini cerita (satra rakyat), kita harus hati2: jangan2 ini semacam shadow 
culture untuk menandingi kejayaan orang asing (Portugis, dan kemudian Belanda) 
dalam teks, sama halnya dengan film RAMBO yang memperlihatkan keperkasaan 
Amerika di Vietnam (padahal Amerika dibuat kocar-kacir oleh pasukan Vietcong 
yang luar biasa itu). Ini juga mengingatkan kita pada penciptaan mitos NYI LORO 
KIDUL di Laut Selatan, yang menurut beberapa pakar sebenarnya adalah shadow 
culture yang direkayasa oleh Kerajaan Jawa
 dalam teks (mitos) karena mereka sudah tak berdaya melawan keperkasaan Belanda 
di Laut Jawa (utara). Saya kira Minangkabau (dalam hal ini Pagaruyung) adalah 
kerajaan yang berorientasi daratan(mungkin saya salah). Tapi mungkin beda 
dengan, misalnya, Kerajaan Indrapura, dll. Tapi yang jelas, kerajaan2 itu kecil 
sekali dan tak pernah benar2 berjaya di laut. Kalaupun orang Minangkabau 
pesisir pernah 'berjaya' di laut, itu lebih terkait dg perdanganan lokal, bukan 
dalam arti kuasa kerajaan, seperti terefleksi dalam Hikayat Nakhoda Muda  
(lihat: Drewes 1961) atau Riwayat Hidup Muhammad Saleh Dt. Urang Kayo Basa, 
pedagang besar pribumi asal Pariaman (1945). 
 
Akan halnya Melayu, saya juga belum menemukan jabatan kapten laut ini dalam 
data2 yg otentik. Cerita tentang Panglima Hang Tuah, dalam banyak hal, 
sebenarnya mirip dengan Kaba Anggun Nan Tongga. Ini mengingatkan saya pada satu 
buku Umar Junus (orang awak asal Silungkang yg menjadi prof. di Univ. Malaya) 
bahwa membaca chronicle Sejarah Melayu sebenarnya adalah membaca kekalahan 
Melaka dari Portugis. Jangan2 cerita tentang Hang Tuah sebenarnya juga semacam 
shadow culture yang muncul menyusul ditaklukkannya Melaka oleh Portugis pada 
1511. 
 
Sekali lagi, benar bahwa untuk Indonesia barat, hanya Aceh yang pernah berjaya 
di laut. Kerajaan Aceh, khususnya ketika berada di bawah kuasa Sultan Iskandar 
Muda, sempat membuat Portugis, salah satu kekuatan laut dunia yg hebat waktu 
itu, kocar kacir. Mereka berkali2 menyerang portugis di Malaka untuk 
mempertahankan hegemoni mereka di Selat Malaka, walau akhirnya kalah. DAN INI 
JELAS KARENA DALAM STRUKTUR PEMERINTAHANNYA, MEREKA MEMPERHATIKAN ASPEK 
KELAUTAN, TERBUKTI DARI ADANYA JABATAN PANGLIMA LAUT. Di Indonesia Timur, 
pahlawan nasional kita dari Tidore (Belanda  menyebutkan 'zee rover/bajak 
laut'), SULTAN NUKU, berhasil mengenyahkan Belanda dari Maluku Utara. Dengan 
kepintarannya, dengan pengalamannya yg hebat di laut, dia berhasil 
mengonsolidasikan kekuatan rakyat di Maluku utara, mulai dari Tidore sampai 
Seram Selatan, untuk melawan Belanda. Perang yang dipimpinnya (c.1780-1810) 
berhasil mengenyahkan Belanda dari bumi Maluku. Saya kita inilah
 salah satu perlawanan yang berciri nasional yang awal, dalam arti bahwa Sultan 
Nuku menghimpun etnis yang berbeda2 untuk melawan Belanda.
 
Sekarang kita dalam alam Indonesia modern. Laut kita luas, ikannya banyak. Tapi 
isinya kebanyakan DICURI OLEH NELAYAN ASING, belum lagi kandungan2 lain yg ada 
di dasarnya. ANAK2 MUDA KITA TAKUT MANDI DI OMBAK (LUCU!!!! PASTI INI  
'MENIJIKKAN' BAGI KAWAN SAYA SEPERTI JEPE). MEREKA DIBUAT LEMBEK OLEH  'KUDO 
JAPANG', HAPE BARU, dll. Mampukah pemimpin bangsa ini mengubah orientasi negara 
ini yang sudah cukup lama melupakan lautnya? Mampukan pemimpin bangsa ini 
menciptakan generasi muda yang GALINGGAMAN melihat ombak dan anyir ikan? 
Sukarno pernah memikirkan ini ketika dia mengirim ratusan pemuda kita 
bersekolah ke EropaTimur dan Rusia untuk mempelajari teknologi kelautan (saya 
bertemu dengan beberapa orang exile dari generasi ini di Rusia, Jerman dan 
Belanda). Tapi semua itu berantakan karena Revolusi 1965.
 
 Saya kira, meminjam kata2 Pak Saaf, masih ada harapan. Kita harus belajar dari 
sejarah. Apakah Menteri Kelautan memikirkan untuk membuat pusat2 penelitian 
kelautan di Sorong sana, di Kupang, di Barus, di Natuna, di Sangir Talaud, 
Muncar, Bau-Bau,  dll?  Saya kira sudah waktunya kita, secara riil berdaulat di 
laut kita. Sudah saatnya nelayan2 kita menjadi sejahtera karena kekayaan laut 
kita yang berlimpah itu (seperti saya lihat di Belanda ini). Kalau tidak, 
ya...ikan2 tuna yang sebesar bayi dari Laut Banda itu (ini saya lihat dg mata 
kepala sendiri di satu pabrik pengasapan ikan di Buton) hanya akan membuat 
sehat orang Jepang, Amerika, dan Eropa saja....
 
(maaf....saya bermimpi..)
 
Wassalam,
Suryadi
 
 
 
 
 

--- Pada Sab, 2/1/10, Dr.Saafroedin BAHAR <saaf10...@yahoo.com> menulis:


Dari: Dr.Saafroedin BAHAR <saaf10...@yahoo.com>
Judul: [...@ntau-net] 'Panglima Adat Laut Pesisir Minangkabau'
Kepada: "rantaunet rantaunet rantaunet" <RantauNet@googlegroups.com>
Tanggal: Sabtu, 2 Januari, 2010, 9:16 PM







Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
 
Berita Jawa Pos tentang 'panglima laot' menurut adat Aceh di bawah ini 
menggelitik saya untuk mengajukan konsep 'Panglima Laut Pesisir Minangkabau', 
karena tiga hal. Pertama saya pernah membaca kaba .Nan Tongga Magek Jabang.' 
yang kisahnya mengelai petualangan di laut. Kedua saya juga pernah membaca 
kaba tersebut, tapi terkait dengan suku Bugis, dengan judul 'Arung Makkunrai ri 
Lodana'. Ketiga, menurut sejarah, yang mengislam Filipina Selatan dan tanah 
Bugis adalah datuk-datuk dari Minangkabau. [Tentunya datuk yang biasa menempuh 
gelombang lautan.]
 
Kita juga punya 'korps pelaut', yang berdiam sepanjang pantai Sumatera Barat, 
sejak dari Pesisir Selatan sampai ke Pasaman, yang hanya terdiri dari nelayan 
yang umumnya miskin. Beda dengan nelayan Thailand atau Jepang. Kita juga pernah 
punya galangan kapal di Teluk Bayur, yang lenyap entah mengapa.
 
Bagaimana kalau potensi terpendam ini kita hidupkan lagi, apalagi Lautan Hindia 
di depan pantai Sumbar [kabarnya] sangat kaya dengan ikan ? Bagaimana kalau 
LKAAM -- atau siapapun -- merintis pengangkatan 'Panglima Adat Laut Pesisir 
Minangkabau' menikam jejak Nan Tongga Magek Jabang ? Btw apakah ada akademi 
pelayaran atau akademi perikanan di Padang ? 
 
Atau kita akan tetap berkutat di darat, yang lahannya demikian terbatas ? 
Bukankah demikian banyak pencari kerja yang memerlukan lapangan kerja, yang di 
laut tersedia demikian banyak ?
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(Laki-laki, masuk 73 th, Jakarta) 


-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe



      Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih 
cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. 
Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke