Ajo Duta dan Dunsanak Sadonyo

Beberapa kali ambo baco di Palanta ko ado keluhan bahwa "anak2 mudo awak lah
malupokan adat" atau pernyataan sejenisnya.

Kalau di ambo, iko ambo baliak menjadi "pertanyaan", mereka yang tidak
mengerti atau yang senior yang tidak berhasil mengajarkan mereka?

Nah, tulisan di bawah ini sepertinya membuat saya agak2 yakin dengan
"pertanyaan" saya itu

Riri
Bekasi, l, 47


2010/4/6 ajo duta <ajod...@gmail.com>

> Senin, 05 April 2010
> Lupakan Sajalah Minangkabau Ini
>
> *wisran hadi*
> Tujuh hari lalu, seorang pemuda kota besar datang ke rumah saya. Bahwa dia
> dari kota besar saya tandai dengan dandanannya (celana jean, kaos oblong,
> parfum, subang dan sisiran rambut seperti macang bacucuik), peralatan yang
> dibawanya (handphone tiga macam, ransel kecil berisi laptop, kamera, i-pod
> dan handsfree menyumbat kedua lubang telinganya). Tapi dari caranya masuk
> rumah, duduk di kursi dengan tertib, dan bicara dengan sopan sekali, saya
> mendapat kesan, pemuda ini adalah anak terdidik baik oleh masyarakat, guru
> dan orang tuanya.
>
> Dalam pembicaraan dengan orang muda ini barulah saya tahu,  dia adalah
> kemenakan saya benar, benar-benar kemenakan saya. Dia sengaja datang menemui
> saya, mamaknya. Bicara dengan bahasa dan dialek campuran; bahasa Inggris,
> dialek Betawi, logat Jawa, idiom-idiom Prancis. Sekali-sekali dengan body
> language.
> Inilah secuil kutipan dialog yang telah saya Indonesiakan dengan betul dan
> benar dengan kemenakan yang berbahasa blang-bonteng itu.
> “Sudah lima generasi kaum kita tidak punya penghulu. Bagaimana seandainya
> diangkat lagi seorang penghulu, untuk memimpin kita, untuk kebanggaan kaum
> kita, sekaligus membangkitkan kembali adat dan budaya kita. Dari hari ke
> hari masyarakat kita semakin ganas dan liar,” katanya dengan jelas dan
> terang benderang.
> Terpurangah saya mendengar permintaannya. Selepas terpurangah, lalu saya
> bertanya. “Kenapa kamu ngotot se kali hendak jadi penghulu? Apa karena lagi
> musim orang berebutan jadi penghulu dalam menghadapi pilkada besok ini, atau
> supaya kau dianggap bangsawan dari ranah Minang? Ehm...jangan-jangan ada
> kaitannya pula dengan kongres kebudayaan Minangkabau,” tambah saya.
>
> Setelah membungkukkan badan sedemikian rupa, lalu dia berkata; “Maaf mamak.
> Kepenghuluan yang kita inginkan tidak ada kaitannya dengan trend, pilkada,
> kebangsawanan, tua atau muda, diskusi, seminar, kongres-kongres kebudayaan
> atau keriaan-keriaan lainnya.”
> “Lalu kenapa kamu mau jadi penghulu? Alasannya apa? Dari mana kamu tahu,
> kita sudah lima generasi tidak punya penghulu? Apa benar dengan kepenghuluan
> itu adat dan budaya Minang ini akan bangkit? Alasanmu alasan emosional,
> akademis atau politis? Ah, kamu terlalu muda untuk berkubang dalam budaya
> Minang yang telah belepotan ini.” kata saya mengketutus.
>
> Setelah berdiskusi ke hilir ke mudik dari restoran ke restoran, dari kafe
> ke kafe, selama tiga hari tiga malam, baru saya dapat menyimpulkan apa
> sesungguhnya keinginan kemenakan saya ini. Kenapa seorang anak muda seperti
> kemenakan saya ini, yang hidupnya sudah ultra modern dan berasal dari kota
> metropolitan mau menjadi penghulu dan bersedia untuk bertungkus lumus dengan
> masyarakat kampung dan kaumnya.
> Inilah beberapa alasannya;
>
> 1. Kemenakan saya itu merasa berkewajiban memimpin kaumnya guna memajukan
> tingkat dan taraf hidup saudara-saudaranya sekaum dan senagari. Bencana
> gempa, banjir, longsor, kemiskinan tidak bisa hanya diatasi dengan janji,
> dan pidato-pidato.
> 2. Kemenakan saya itu merasa berkewajiban untuk menjelaskan identitas
> dirinya, sebagai orang berasal muasal, orang berbangsa dan berbudaya.
> 3. Kemenakan saya itu harus melatih dirinya menjadi seorang pemimpin yang
> punya orientasi budaya dan agama yang jelas, dan itu hanya ada dalam tugas
> dan fungsi seorang penghulu di Minangkabau.
> 4. Kemenakan saya itu mau jadi penghulu karena dia secara sadar sedang
> mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang tinggi dan luas lagi
> jangkauannya.
> 5. Kemenakan saya itu dengan sejumlah uang hasil jerih payah kerjanya yang
> selama ini ditabungnya, akan dipergunakan untuk menjemput kembali (manabuih
> baliak) sawah dan ladang yang tergadai selama ini oleh mamak-mamak
> terdahulu, termasuk saya.
> Berlinang air mata saya mendengar pengakuannya yang tulus itu. Akan tetapi,
> semakin jatuh ke dalam air mata saya mendengar kesediaannya menebus sawah
> ladang yang telah tergadai. Itulah hal yang paling penting dari segala
> alasan yang dikemukakannya. Tapi sebagai mamak, tentu saya tidak boleh
> tampak emosional di depan seorang kemenakan.
>
> Dengan penuh wibawa saya jawab apa telah disampaikannya itu. “Wahai
> kemenakan, ketahuilah,” kata saya dengan suara serak. “Sedangkan aku,
> mamakmu, sudah jenuh dengan Minangkabau-minangkabau ini, sudah muak dengan
> adat-adat ini, sudah bosan dengan kehebatan-kehebatan sejarah dan budaya
> Minang ini.”
> Lalu saya tukuk tambahi lagi; “Wahai kemenakan. Ketahuilah. Minangkabau ini
> kini seperti lereng bukit-bukit terjal sepanjang jalan Padang-Bukittinggi.
> Hujan sedikit, longsor. Kini Minangkabau ini tinggal menunggu longsornya
> yang lebih besar. Kehancuran Minangkabau itu sudah di depan mata. Jadi,
> sebelum kau tertimbun batu-batu dan pohon-pohon besar yang tumbang atau
> jalan yang terban, segeralah kembali ke kota metropolitanmu. Soal gelar
> penghulu, perkauman, adat basandi syarak, mambangkik batang tarandam, sako
> jo pusako dan tetek bengek budaya Minangkabau lainnya itu lupakan saja. Kita
> sekarang harus lebih rasional. Apalagi kita sudah terlatih sebagai
> masyarakat Minangkabau modern yang egois, individualis dari manusia modern
> manapun di dunia ini.”
>
> Beberapa waktu kemudian, saya baca di surat kabar, kemenakan saya itu
> menjadi penghulu dalam kaum yang lain, di nagari yang lain. “Masih mau juga
> jadi penghulu! Indak jaran-jarannyo,” kata saya manggarutok. *
>
>
>
> http://www.hariansinggalang.co.id/index.php?mod=detail_berita.php&id=6005
>
> --
> Wassalaamu'alaikum
> Dutamardin Umar (aka. Ajo Duta),
> gelar Bagindo, suku Mandahiliang,
> lahir 17 Agustus 1947.
> Nagari Gasan Gadang, Kab. Pariaman. rantau: Deli, Jakarta, USA.
> sekarang Sterling, Virginia-USA
> ------------------------------------------------------------
> "Jauhilah buruk sangka, mematai matai, suka membicarakan/mendengar
> kejelekan orang, dengki dan membenci. Jadilah kamu hamba Allah yang
> bersaudara (HR Bukhari-Muslim)
>
>
>

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.

Kirim email ke