--- In rantau...@yahoogroups.com, Abraham Ilyas <abrahamil...@...> wrote: > > Dunsanak di palanta nan ambo hormati. > > Dari judul baiyo batido dengan topik "Bahaya Mengafirkan Sesama Muslim" ado > istilah agamo nan sehari hari acok dipakai. Ambo kutipkan dari judul iko > sbb: > > *"Syariat tanpa hakekat hampa, hakekat tanpa syareat batal". >
Walaupun tidak spesifik ditujukan kepada saya, namun karena salah satu kata yang ditandai dan dipertanykan oleh Angku Abraham, yaitu "hakekat" berasal dari saya, saya merasa berkewajiban untuk menjelaskannya, walaupun hal ini bagi saya bukan pekerjaan yang mudah. Masalahnya, yang ditanyakan Angku Abraham tentu saja bukan arti harafiyah dari "hakekat" yang dengan mudah dapat dilihat dalam kamus. Dan hal itu tampak sekali dari penjelasan beliau, kata-kata tersebut hendaknya diuraikan "diuraikan berdasarkan fi'ilnya atau masdar". Nah, pemahaman saya tentang kedua kata tersebut, terutama "masdar" tidak lebih daripada yang terdapat dalam kamus. Jadi kalau penjelasan saya di bawah ini jauh dari memuaskan, sebelumnya saya mohon dimaafakan Menurut KBBI Edisi Dua, `hakikat', bukan `hakekat' seperti yang saya tulis, berarti `intisari' atau `dasar' sebenarnya sudah dapat digunakan secara umum untuk memaknai ungkapan "syariat tanpa hakekat hampa, hakekat tanpa syareat batal". Tetapi karena ungkapan tersebut berasal dari ucapan seorang ketua perguruan tasawwuf yang dulu pernah saya ikuti, saya mencoba memberikan jawaban dalam konteks tasawwuf, yaitu tasawwuf dalam pemahaman awam berdasarkan pengalaman, dan bukan sebagai "ahli", apalagi sebagai "guru". Seperti halnya bagi kebanyakan orang, usia 20 tahunan adalah saat-saat pencarian diri. Dan saat seusia itu saya membaca sebuah buku karangan Buya Hamka "Tasawwuf Modern" yang sangat menarik hati saya. Hal itulah yang menyebabkan saya senang sekali ketika diajak Pak Ahmad tetangga berseberangan gang di Kampung Bahari Tanjung Priok---yang Alhamdulillah kemudian menjadi mertua saya :)---untuk ikut ke pengajian tasawwuf di Bandung. Tidak ada hambatan yang berarti untuk mengikuti pengajian tersebut, dimandikan, dibaiat dan kalau punya jimat, keris dan sebagainya harus dilepaskan dan diserahkan kepada "paguron". Pengajian memang diawali dengan pembersihan tauhid, selebihnya hampir tidak berbeda dengan pengajian lainnya: riyâdhah, yaitu latihan penyempurnaan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualitas keruhanian dari pribadi yang lebih dikuasai `nafs al-ammarah' dan `nafs al-lawwamah' kepada pribadi yang dituntun oleh `nafs al-qana'ah' dan `nafs ul-mut'mainah' (sesuatu yang pada dasarnya tidak spesifik `tasawwuf `) Latihan shalat, shalat yang khusuk, merupakan salah satu menu utama. Tidak ada yang aneh tentu saja, karena yang disanjung Allah SWT adalah orang beriman yang khusuk dalam shalatnya (Al Mu'minun: 1). Tetapi di sinilah contoh sederhana ungkapan "Syariat tanpa hakekat hampa, hakekat tanpa syareat batal". Shalat kalau hanya sekedar berhenti pada ketentuan syariat saja yang umumnya menetapkan sahnya shalat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang bersifat "zahir", tidak akan banyak manfaat (hampa). Malahan bisa-bisa dilaknat (Al Maa'uun; 4). Khusuk, yang dimaknai kurang lebih "hadirnya Allah SWT di hati ketika shalat", tidak lagi berada di ranah syariat (fikih) karena bersifat "esoterik", dengan kata lain, hanya yang bersangkutan yang dapat mengetahui atau merasakannya. Pada sisi lain, sejumlah Sufi karena merasa setiap saat dapat "menghadirkan Sang Khalik di hatinya" menganggap tidak perlu shalat cukup zikrullah saja . Ini tentu saja tidak dapat dibenarkan (batal), karena kita tahu, Baginda Rasulullah pribadi yang paling mulia di antara yang mulia sekalipun, selalu shalat sampai akhir hayatnya, tidak saja shalat wajib lima waktu, tetapi juga sejumlah-shalat sunah, utamanya shalat Tahajjuad. Lalu terjadi suatu peristiwa, yang tidak terlupakan dan memengaruhi pemahahaman keagamaan saya sampai hari ini. yaitu terjadi perbedaan pendapat yang tajam antara guru (mursyid) dengan murid-murid senior yang berujung pada pemakzulan Sang Guru; para murid menolak poligami yang dilakukan Sang Guru (walaupun beberapa tahun kemudian terjadi rekonsiliasi antara Sang Guru dengan para murid). Alasan para murid, "Berpoligami halal, tetapi menyakiti hati (isteru tua beliau)---sesuai dengan ajaran dari sang Guru sendiri---haram. Alasan para murid tersebut di atas jelas tampak ganjil dari kacamata fikih (syariat), bahkan dapat dianggap "bid'ah", yang ganjarannya adalah neraka (sic). Hal itu tidak mengherankan karena `syariat' lebih melihat kesahan pernikahan, termasuk poligami, apabila telah terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang bersifat zahir (adanya mempelai, wali, saksi, mahar dan lain-lain) serta "dihalalkannya" perbuatan yang sebelumnya "diharamkan", sedangkan hakikat pernikahanan adalah membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rakhmah sebagaimana yang dijelaskan pada Ar Ruum: 21. Bahkan poligami kalau hanya mengacu kepada "syariat" per se, izin isteri tua pun tidak diperlukan. Akibatnya, terjadinya KDRT, perceraian, kurang terlindunginya hak-hak perempuan dan anak-anak dalam pernikahan di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim tidak lebih baik daripada negara-negara non-muslim. Sedangkan praktik poligami di Indonesia, menurut Depag justru menjadi salah satu penyebab utama perceraian dan juga menyebabkan terlantarnya perempuan dan anak-anak. Dengan kata lain anggapan bahwa poligami "mencegah perceraian" tidak terbukti di lapangan [1] Dengan demikian dalam penerapan hukum Islam ke dalam hukum positif---sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam negara-negara berpenduduk mayoritas muslim---hendaknya tidak hanya melihat yang tersurat (syariat) tetapi juga yang tersirat (hakikat). Dalam perspektif ini pembatasan poligami hendaknya tidak dilihat sebagai "pengurangan terhadap hak kebebasan setiap warga negara untuk beribadah (karena poligami dianggap sunah Nabi)", tetapi juga terhadap yang tersirat, yaitu hakikat dari (tujuan) pernikahn itu sendiri. Lagi pula bukankah penjelasan Allah SWT mengenai poligami dalam Al-Quran lebih bersifat pembatasan ketimbang anjuran? Sebelum tambah ngelantur ke mana-mana, saya akhiri penjelasan saya yang mungkin tidak membuat jelas makan "hakekat" dalam pernyataan "syariat tanpa hakekat hampa, hakekat tanpa syareat batal", karena semakin panjang akan semakin banyak bolong dan bohongnya. Dan lebih kurangnya mohon dimaafkan. Wassalam, HDB-SBK (67-) Asal Padangpanjang, tinggal di Depok, Jawa Barat [1] sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen BIMAS Islam Departemen Agama, Nasyaruddin Umar dalam sidang uji materiil UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta ("Poligami Justru Jadi Penyebab Perceraian", ROL, Kamis, 23 Agustus 2007 14:24:00). > fiqh tanpa tasauf, fasiq...tasauf tanpa fiqih zindiq... > > Bolehlah saya bertanya juga ke Pak Darwin, apakah contoh golongan konkret > yang ada yang dapat dikafirkan? > * > Dek karono pemgetahuan ambo satantangan ilmu agamo iko sengenek bonarg, mako > ambo minta ka sanak nan tahu tantangan makna kato/kalimah nan sangajo ambo > tandoi yang ado dalam kutipan kutipan untuak diuraikan berdasarkan fi'ilnya > atau masdar ! > > Salam > > AI > > -- -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe