[budaya_tionghua] Perkumpulan Marga Kwee di Jakarta
Nama saya, Perry Kwee. Mohon bantuannya untuk informasi alamat perkumpulan Marga Kwee di Jakarta. Terima kasih.
[budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli
Neng Uli yb, Udah lama nggak muncul, tenggelam dalam kesibukan bisnis yang makin repot? Lalu, begitu muncul bikin komentar yang menggelitik, ... sekalipun masalah udah lama diperbincangkan tetap saja tidak ada kesimpulan, tapi saya masih tertarik untuk kasih sedikit pendapat saja. Masalah sebutan Cina, China dan Tiongkok mana baiknya? Kalian-kalian saja yang selalu merasa rikuh, canggung dan bingung sendiri gunakan sebutan mana baiknya, itu kan karena tidak berani melihat kenyataan yang ada. Bukankah sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa?! Sedang kita-kita sebagai bangsa dan negara bersahabat sudah seharusnya menuruti saja keinginan mereka, maunya dan senangnya gunakan sebutan yang mana. Sebaliknya, kalau bermusuhan tentu sengaja gunakan sebutan yang dia/mereka tidak ingini. Jangan ikuti dan teruskan sikap arogan jenderal Soeharto yang saat itu memang sengaja gunakan sebutan CINA untuk melecehkan, menghina bahkan merusak hubungan persahabatan dua rakyat RI-RRT yang akrab bahkan dirasakan sangat mesrah semasa Presiden Soekarno. Itu lah yang terjadi, dan disitulah masalahnya! Sedang Presiden RI sejak Gus Dur, kemudian diikuti oleh Megawati dan juga SBY, yang memang ingin pulihkan hubungan persahabatan RI-RRT lebih baik lagi, dalam pertemuan resmi dengan pejabat Tiongkok, itu sudah gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, tidak lagi gunakan CHina apalagi CINA! Sikap itulah yang menunjukkan kedewasaan dan kebesaran bangsa, bisa menerima dan menghormati keinginan bangsa dan negara bersahabat. Gunakan sebutan sesuai dengan kehendak bangsa dan negara yang bersahabat itu. Begitu juga kalau kita perhatikan dengan Duta-Besar RI untuk RRT, sudah lama gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, hanya sekali-kali saja gunakan sebutan China, mungkin kebiasaan selama lebih 35 tahun belum hilang. Salam, ChanCT - Original Message - From: ulysee_me2 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, October 02, 2009 9:12 AM Subject: [budaya_tionghua] Cina dan C(h)ina Begitu baca judul artikel2 di Kompas kemarin, satu yang menarik perhatian gue adalah judul artikelnya Christine Susana Tjhin. Cara penulisannya itu lhoh. Yang bikin gue langsung nyengir. Pasalnya, pas malem takbiran minggu lalu, ipar gue debat seru sampe jam satu pagi sama bokap gue. Yang dibahas, nggak lain adalah masalah istilah CINA itu. Yayayaya, buat miliser, itu sih bahasan basi, udah sering di bahas dan udah bosen bahasnya. Cape dh. Gue juga nggak berminat mengulangi. Ipar gue bukan miliser, dia baru pulang dari RRC, ngajar bahasa mandarin. Dan kemaren sempet cerita. Di sebuah forum seminar, seorang pembicara membahas soal RRC, dia menyebutnya Republik Rakyat Cina. Dan segera dapat tembakan langsung kontan, seorang yang menegur, supaya menyebut Republik Rakyat Cina dengan betul. Lhah bikin bingung donk, apa nya yang tidak betul dengan Republik Rakyat Cina? Nyebutnya harus China (baca chai-na) pakai H seperti dalam bahasa inggris,bukan Ci-Na. Ipar gue bingung, dan bertanya-tanya, emangnya ada aturan begitu? Sejak kapan? Bukannya dalam bahasa Indonesia yang betul malah Ci-Na dan bukannya Chai-Na? Ya begitulah, kalau ditengok dari segi bahasa, orang bakalan bingung. Sebab fenomena Cina dan C(h)ina, lebih banyak urusan sin li (perasaan) ketimbang logika. Dan bener banget tuh apa yang dikatakan Christine dalam artikelnya, betapa canggungnya kita, bingung sendiri (dan lebih lebih bikin bingung orang lain) antara Cina; China dan Tiongkok, mau nyebut aje refot banget sampe nggak pede harus minjem bahasa Inggris segala supaya jangan sampai ada yang tersinggung. Apa nggak bikin bingung, kalau pake bahasa Inggris kok tidak tersinggung, kalau pakai bahasa Indonesia kok tersinggung, padahal cuman beda ketambahan satu huruf (H) doank. Yep, fenomena menakjubkan... (kalau gue bilang menggelikan nanti ada yang tersungging lagi deh, hihihihi) Butuh satu sesi seminar barangkali untuk meluruskan kerancuan antara Cina, China, dan Tiongkok. Atau barangkali maksudnya begini, kalau nyebut Cina, itu menunjuk WNI keturunan,kalau nyebut China, itu berarti RRC, lha kalau Tiongkok itu apa donk, bedanya dengan China ? Auuw ah, Gelap. .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links -- Internal Virus Database is out of date. Checked by AVG - www.avg.com Version: 8.5.409 / Virus Database: 270.13.93/2365 - Release Date: 09/12/09 06:37:00
[budaya_tionghua] Fw: China celebrates 60 years - 02
- Original Message - From: w...@netvigator.com To: wi...@yahoo.com Sent: Friday, October 02, 2009 5:24 PM Subject: [HKSIS] China celebrates 60 years - 02 October 1, 2009 China formally kicked off its mass celebrations of 60 years of communist rule with a 60-gun salute that rung out across Beijing's historic Tiananmen Square earlier today. Hundreds of thousands of participants marched past Tiananmen Square in costume or uniform, with floats and dancers mingling with soldiers and military hardware. Collected here are photographs of the once-in-a-decade National Day parade in Beijing, and of others commemorating the anniversary elsewhere. ( 39 photos total) In this photo released by China's Xinhua News Agency, the phalanx of the national flag receives inspection in a parade in Beijing of the celebrations for the 60th anniversary of the founding of China on Thursday, Oct. 1, 2009. (AP Photo/Xinhua, Huang Jingwen) 2 Participants take part during National Day celebrations in Beijing on October 1, 2009. (FREDERIC J. BROWN/AFP/Getty Images) # 3 In this aerial photo released by China's Xinhua News Agency, participants take part in a parade of the celebrations for the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China, on Chang'an Street in central Beijing, capital of China, Oct. 1, 2009. (AP Photo/Xinhua) # 4 Helicopters from the Chinese People's Liberation Army (PLA) air force fly in formation during a massive parade to celebrate the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China, in Beijing October 1, 2009. (REUTERS/David Gray) # 5 Army cadets march in the parade celebrating the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China, in central Beijing, on Thursday Oct. 1, 2009. (AP Photo/Xinhua, Xie Huanchi) # 6 Chinese military aircraft fly over Tiananmen Square during the National Day parade in Beijing on October 1, 2009. (AFP/AFP/Getty Images) # 7 An instructor aligns the formation of the Chinese People's Liberation Army (PLA) Airborne Corps during a training session at the 60th National Day Parade Village on the outskirts of Beijing, September 15, 2009. (REUTERS/Joe Chan). # 8 Soldiers from the Chinese People's Liberation Army (PLA) ground force march in formation past Tiananmen Square during a massive parade to mark the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China in Beijing October 1, 2009. (REUTERS/Jason Lee) # 9 Chinese President Hu Jintao reviews the military personnel during the National Day parade in Beijing on October 1, 2009. (AFP/AFP/Getty Images) # 10 Chinese children dressed in costumes wait on Tiananmen Square for the National Day parade to start in Beijing on October 1, 2009. (GOH CHAI HIN/AFP/Getty Images) # 11 Chinese President Hu Jintao reviews soldiers before a parade in front of Tiananmen Gate in Beijing to mark the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China October 1, 2009. (REUTERS/Joe Chan) # 12 Dancers take part in a parade to celebrate China's 60th anniversary on October 1, 2009 in Beijing, China. (Feng Li/Getty Images) # 13 Armored vehicles roll down the street during a parade to mark the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China, in central Beijing October 1, 2009. (REUTERS/Xinhua/Xie Huanchi) # 14 PLA soldiers stand on military vehicles during a military parade marking China's 60th anniversary near the Tiananmen Square in Beijing, China, Thursday, Oct. 1, 2009. (AP Photo/Vincent Thian) # 15 PLA sailors in white uniforms march past Tiananmen Square during the celebration of China's 60th anniversary on October 1, 2009 in Beijing, China. (Feng Li/Getty Images) # 16 PLA sailors march past Tiananmen Square during the celebration of China's 60th anniversary on October 1, 2009 in Beijing, China. (Feng Li/Getty Images) # 17 A float with a model of Potala Palace is displayed during a parade to mark the 60th anniversary of the founding of the People's Republic of China, in Beijing October 1, 2009. (REUTERS/Nir Elias) # 18 Women in costume perform in a parade to celebrate China's 60th anniversary on October 1, 2009 in Beijing, China. (Feng Li/Getty Images) # 19 China's President Hu Jintao (center) and other leaders review a parade to mark China's 60th anniversary on October 1, 2009 in Beijing, China. (Feng Li/Getty Images) # 20 A migrant worker adjusts the antenna to get a better reception of the live television broadcast of the parade to mark China's 60th anniversary, at their dormitory in Hefei, Anhui province October 1, 2009. (REUTERS/Jianan Yu) # 21 A float depicting China's space achievements participates in a parade to mark the 60th China anniversary in Beijing, China, Thursday, Oct. 1, 2009. (AP Photo/Ng Han Guan) # 22 A man takes pictures of PLA aircraft performing a fly-over during the National Day parade in Beijing on October 1, 2009.
Re: [budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli
ketika pemerintah Burma minta dunia internasional mengubah penyebutan megara mereka menjadi Myanmar, tak ada yg nolak tuh! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: ChanCT sa...@netvigator.com Date: Fri, 2 Oct 2009 17:29:34 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Cc: Tionghoa-Nettionghoa-...@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli Neng Uli yb, Udah lama nggak muncul, tenggelam dalam kesibukan bisnis yang makin repot? Lalu, begitu muncul bikin komentar yang menggelitik, ... sekalipun masalah udah lama diperbincangkan tetap saja tidak ada kesimpulan, tapi saya masih tertarik untuk kasih sedikit pendapat saja. Masalah sebutan Cina, China dan Tiongkok mana baiknya? Kalian-kalian saja yang selalu merasa rikuh, canggung dan bingung sendiri gunakan sebutan mana baiknya, itu kan karena tidak berani melihat kenyataan yang ada. Bukankah sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa?! Sedang kita-kita sebagai bangsa dan negara bersahabat sudah seharusnya menuruti saja keinginan mereka, maunya dan senangnya gunakan sebutan yang mana. Sebaliknya, kalau bermusuhan tentu sengaja gunakan sebutan yang dia/mereka tidak ingini. Jangan ikuti dan teruskan sikap arogan jenderal Soeharto yang saat itu memang sengaja gunakan sebutan CINA untuk melecehkan, menghina bahkan merusak hubungan persahabatan dua rakyat RI-RRT yang akrab bahkan dirasakan sangat mesrah semasa Presiden Soekarno. Itu lah yang terjadi, dan disitulah masalahnya! Sedang Presiden RI sejak Gus Dur, kemudian diikuti oleh Megawati dan juga SBY, yang memang ingin pulihkan hubungan persahabatan RI-RRT lebih baik lagi, dalam pertemuan resmi dengan pejabat Tiongkok, itu sudah gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, tidak lagi gunakan CHina apalagi CINA! Sikap itulah yang menunjukkan kedewasaan dan kebesaran bangsa, bisa menerima dan menghormati keinginan bangsa dan negara bersahabat. Gunakan sebutan sesuai dengan kehendak bangsa dan negara yang bersahabat itu. Begitu juga kalau kita perhatikan dengan Duta-Besar RI untuk RRT, sudah lama gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, hanya sekali-kali saja gunakan sebutan China, mungkin kebiasaan selama lebih 35 tahun belum hilang. Salam, ChanCT - Original Message - From: ulysee_me2 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, October 02, 2009 9:12 AM Subject: [budaya_tionghua] Cina dan C(h)ina Begitu baca judul artikel2 di Kompas kemarin, satu yang menarik perhatian gue adalah judul artikelnya Christine Susana Tjhin. Cara penulisannya itu lhoh. Yang bikin gue langsung nyengir. Pasalnya, pas malem takbiran minggu lalu, ipar gue debat seru sampe jam satu pagi sama bokap gue. Yang dibahas, nggak lain adalah masalah istilah CINA itu. Yayayaya, buat miliser, itu sih bahasan basi, udah sering di bahas dan udah bosen bahasnya. Cape dh. Gue juga nggak berminat mengulangi. Ipar gue bukan miliser, dia baru pulang dari RRC, ngajar bahasa mandarin. Dan kemaren sempet cerita. Di sebuah forum seminar, seorang pembicara membahas soal RRC, dia menyebutnya Republik Rakyat Cina. Dan segera dapat tembakan langsung kontan, seorang yang menegur, supaya menyebut Republik Rakyat Cina dengan betul. Lhah bikin bingung donk, apa nya yang tidak betul dengan Republik Rakyat Cina? Nyebutnya harus China (baca chai-na) pakai H seperti dalam bahasa inggris,bukan Ci-Na. Ipar gue bingung, dan bertanya-tanya, emangnya ada aturan begitu? Sejak kapan? Bukannya dalam bahasa Indonesia yang betul malah Ci-Na dan bukannya Chai-Na? Ya begitulah, kalau ditengok dari segi bahasa, orang bakalan bingung. Sebab fenomena Cina dan C(h)ina, lebih banyak urusan sin li (perasaan) ketimbang logika. Dan bener banget tuh apa yang dikatakan Christine dalam artikelnya, betapa canggungnya kita, bingung sendiri (dan lebih lebih bikin bingung orang lain) antara Cina; China dan Tiongkok, mau nyebut aje refot banget sampe nggak pede harus minjem bahasa Inggris segala supaya jangan sampai ada yang tersinggung. Apa nggak bikin bingung, kalau pake bahasa Inggris kok tidak tersinggung, kalau pakai bahasa Indonesia kok tersinggung, padahal cuman beda ketambahan satu huruf (H) doank. Yep, fenomena menakjubkan... (kalau gue bilang menggelikan nanti ada yang tersungging lagi deh, hihihihi) Butuh satu sesi seminar barangkali untuk meluruskan kerancuan antara Cina, China, dan Tiongkok. Atau barangkali maksudnya begini, kalau nyebut Cina, itu menunjuk WNI keturunan,kalau nyebut China, itu berarti RRC, lha kalau Tiongkok itu apa donk, bedanya dengan China ? Auuw ah, Gelap. .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :. .: Pertanyaan? Ajukan di
[budaya_tionghua] Fw: Republik Rakyat Tiongkok: enam puluh tahun setelah pembebasan
- Original Message - From: H.S. Han To: C.T. Chan Sent: Friday, October 02, 2009 10:32 PM Subject: Re: Republik Rakyat Tiongkok: enam puluh tahun setelah pembebasan Republik Rakyat Tiongkok: enam puluh tahun setelah pembebasan Mao Ze-Dong adalah seorang negarawan besar, strategi militer, filsuf, sejarawan dan penyair, beliau telah mengabdikan hidupnya untuk negaranya. Di bawah kepemimpinannya, Republik Rakyat Tiongkok didirikan pada tahun 1949. Beliau mengajar rakyat Tiongkok percaya pada diri sendiri, kemandirian, keberanian untuk membebaskan dan membangun negaranya. Dalam rangka membebaskan Tiongkok beliau telah mengikuti jalan sendiri yang chusus untuk Tiongkok, berbeda dari Lenin dan Stalin. Mao berpendapat bahwa Dasar revolusi Tiongkok harus berbasis pada petani, sedangkan komunisme klasik revolusi berbasis pada kaum buruh. Ini adalah perbedaan dasar pendapat antara pemikiran Mao dan Marxisme-Leninisme. Untuk mensukseskan revolusi pemimpin harus tidak kaku, tidak terikat pada satu standar(tidak dogmatis). Textbook thinking atau dogmatisme adalh pikiran dan tindakan berbahaya untuk berrevolusi, jelas tidak cocok bagi kebudayaan Tiongkok, yang menganjurkan kebebasan(Confucianisme,terutama taoisme). Itu waktu Tiongkok adalah negara pertanian dengan industri yang lemah, jauh lebih kecil daripada Negara-negara Barat yang dianalisa oleh Marx dan Engels,Lenin. Pula norma-normakehidupan dan budaya rakyat Tiongkok tidak sama dengan rakyat di negara Barat, maka politik dan tindakan perlu perubahan dan disesuaikan dengan keadaan konkrit di Tiongkok! Perang Korea menunjukkan kebenaran bahwa sekutu militer yang kuat dan modern pada masa Perang Dunia Kedua, tidak dapat mengalahkan Tentara pembebasan Rakyat Tiongkok dengan peralatan militer yang masih terbelakang. Pada tahun 1978, RRT dipimpin oleh Deng Xiao-Ping, pemimpin pembaruan yang besar, beliau menyarankan politik yang terbuka, yaitu untuk beradaptasi dengan situasi konkret di Tiongkok dan juga dengan dunia internasional dan hubungan internasional, terutama dengan Barat. Deng pernah berkata: Tidak penting apakah kucing putih atau kucing hitam, angsalkan kucing itu dapat menangkap tikus. Kata-kata ini selama Revolusi Besar Kebudayaan Proletar dikritik dengan keras. Tetapi kebijakan pembaruhan ini menciptakan pohon-pohon yang bergantungan buah buah manis dan bergizi. Ekonomi dan teknologi Tiongkok seperti sebuah roket naik keangkasa. Rakyat Tiongkok telah membuat prestasi besar di semua bidang dan Negara ini akhirnya mensukseskan ide Ketua Mao: Great Leap Forward langkah maju yang besar dalam membangun bangsa yang makmur dan kuat atas dasar usaha mereka sendiri. Kita harus mengakui bahwa Tiongkok telah menyelesaikan sebuah prestasi yang spektakuler dengan menghapus kemiskinan yang ekstrim lebih dari satu milyar orang. Hal ini terjadi terutama dalam 30 tahun terakhir setelah reformasi yang dipimpin oleh Deng Xiao-Ping, Tiongkok telah mengalami sebuah transformasi ekonomi yang mengagumkan dunia. Perkembangan ekonomi Tiongkok dan kontribusinya pada ekonomi dunia, dapat disini saya katakan bahwa kekuatan ekonomi RRT mempunyai kesempatan yang besar untuk mengembangkan ekonomi selanjutnya baik didalam negeri maupun pertumbuhan ekonomi dunia dan khususnya untuk menjalankan lokomotif perekonomian dunia yang sekarang sedang mengalami krisis finaciël yang berat. Dunia melihat Tiongkok sebagai satu Negara besar dalam bidang ekonomi dan politik, dan pertumbuhan yang kontinu dengan angka yang tinggi diantara 10% dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Tiongkok telah meningkatkan Standar hidup rakyatnya dari kemelaratan yang hebat. Kita bisa mengerti Tiongkok sebagai negara yang besar dengan jumlah penduduk 1,3 miliar orang, tidak mudah dalam periode tiga puluh tahun, pendek dalam ukuran sejarah manusia bisa menghapusan kemiskinan yang berat, ini memerlukan kebijaksanaan, dan pengalaman kepemimpinan,yang tidak memikirkan diri mereka sendiri. Para pembaca mungkin akan setuju dengan saya kalau saya mengatakan bahwa: 1. Kita harus mengakui pentingnya reformasi Deng Xiao-Ping, mengingat hasil yang spektakuler dengan beleidnya membuka negara selama tiga puluh tahun. 2. Peningkatan ini disebabkan karena ditegakkanya sosialisme dengan karakteristik Tiongkok, berbeda dengan Marxisme-Leninisme klassik. Sebagai keturunan dari nenek moyang, kami bangga bahwa negara leluhur sekarang menjadi kekuatan berpengaruh di dunia, dan bahwa mereka menyumbang dan menarik ekonomi dunia dan stabilitas dunia. Saya ingin menyebutnya sebagai social-democrasi Sebagai penutup silahkan saya mengutip kutipan Presiden Hu pada perayaan 1 oktober sebagai berikut: Beliau berharap agar semua anggota Partai, angkatan bersenjata dan orang-orang dari semua kelompok etnis untuk bersatu dan memperkuat persatuan untuk tujuan indah membangun, kesejahteraan dan negara yang kuat,
[budaya_tionghua] Dahlan Iskan : Shou Zhang Hao!
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28 [ Jum'at, 02 Oktober 2009 ] Dahlan Iskan : Shou Zhang Hao! 60 Tiongkok KETIKA bangun pagi kemarin, yang pertama saya perhatikan adalah langit. Benarkah cuaca bu?ruk yang sudah melanda Beijing lima hari ter?akhir bisa dibuat cerah untuk perayaan Hari Ke?merdekaan Ke-60 Tiongkok? Langit masih ge?lap. Baru pukul 4 pagi. Selama di Beijing delegasi media dari lebih 100 ne??gara ini memang selalu kesulitan memotret. Ka??but membuat jarak pandang sangat pendek. Se?tiap mengambil foto, latar belakangnya selalu ha?nya kabut. Bangunan berjarak 200 meter pun ti?dak tampak. Tak ayal bila kemarin pagi para war??tawan pun mempertanyakan keberhasilan renc?a?na pemerin?tah Tiongkok dalam membersihkan langit Beijing dengan cara mengerahkan pe?sawat pembersih cuaca. Terjadi! Ketika fajar mulai menyingsing, terlihat?lah langit yang sudah lima hari raib. Kian siang kian cerah warna biru di angkasa. Dan, ketika upa?cara kenegaraan dimulai, langit begitu bersih?nya. Bahkan, terlalu bersih sehingga sinar matahari awal musim gugur itu terasa agak terlalu terik untuk acara yang dimulai pukul 10.00 tersebut. Saya memang selalu senang melihat acara kemiliteran. Mungkin karena saya tidak gagah sehingga ada sedikit mimpi alangkah bahagianya orang yang begitu gagah, tegap, disiplin, dan heroik itu. Maka, saya juga ingin memperhatikan tata cara upacara militer di Tiongkok, apakah ada yang berbeda. Terutama, saya ingin tahu bagaimana cara komandan upacara yang tempatnya berjarak sekitar 1 km dari inspektur upacara itu memberikan laporan. Apalagi, inspektur upacaranya (Presiden Hu Jintao) berada di ketinggian sekitar 15 meter. Yakni, berdiri di atas gerbang Istana Kota Terlarang, tepat di atas foto Mao Zedong yang terkenal itu. Sedang?kan komandan upa?caranya tidak terlihat dari situ karena berada di tengah jalan arah kiri jauh di depan Beijing Hotel sana. Ternyata, ketika waktunya tiba, inspektur upacara turun dari atas gerbang Istana Kota Terlarang itu untuk naik mobil sedan panjang yang bagian te?ngah atapnya berlubang. Presiden Hu naik mobil itu dengan posisi bagian atas badannya terlihat menjulang tinggi. Di depannya, di atap sedan itu, terlihat ada empat mikrofon. Bersamaan dengan itu komandan upacara juga naik mobil yang jenisnya sama dengan posisi yang sama meninggalkan kawasan Beijing Hotel menuju arah depan Istana Kota Terlarang. Ketika mobil inspektur upacara sudah membelok dari gerbang Istana Kota Terlarang menuju Jalan Chang An Jie di depan lapa?ngan Tian An Men, mobil komandan upacara juga sudah hampir tiba di tempat yang sama. Ketika jarak sudah tinggal 15 meter, kedua mobil itu pun berhenti. Posisi berhentinya mobil komandan upacara dan inspektur upacara itu ternyata tidak langsung berhadapan. Selisih satu jalur. Bukan karena takut bertabrakan, tapi ada maksud lain. Di situlah ternyata, sama-sama dalam posisi di atas mobil, laporan komandan upacara kepada inspektur upacara dilakukan. Lalu mobil presiden bergerak maju menuju arah pasukan yang ada di sekitar 1 km di arah timur sana. Itulah gunanya mengapa mobil komandan upacara tidak berhenti tepat di depan mobil inspektur upacara. Saat mobil presiden sudah melintas, barulah mobil komandan upacara memutar balik mengikuti mobil presiden dari belakang. Dimulailah inspeksi pasukan. Pada upacara militer yang biasa saya lihat, acara meninjau pasukan seperti ini tidak disertai kata-kata apa pun. Pasukan membisu dan inspektur upacara juga hanya menyambut hormat dengan tangan hormat militer. Di Tiongkok agak khas. Setiap pasukan yang dilewati inspektur upacara selalu serentak berteriak memberi hormat. Sesaat kemudian, presiden menyambut dengan ucapan lantang: tong shi men hao! (Apa kabar, kawan-kawan!). Pasukan membalas dengan teriakan serempak: shou zhang hao! (baik, komandan!). Di depan pasukan yang lain, inspektur upacara berteriak lantang: tong shi men xin ku le! (kawan-kawan ini sudah bersusah payah, ya!). Lalu dijawab serentak oleh pasukan: wei ren min fu wu! (demi mengabdi kepada rakyat!). Begitulah, setiap melintasi suatu pasukan presiden mengucapkan kalimat tersebut secara bergantian dan disambut dengan jawaban yang standar itu. Semua itu bisa diikuti oleh ratusan ribu hadirin di lapangan Tian An Men karena sistem suara yang serbanirkabel (wireless), rupanya, bekerja tanpa cacat. Demikian juga layar lebar videotron ada di mana-mana sehingga semua sudut acara bisa diikuti dari arah mana pun. Berbeda dengan acara yang sama 30 tahun lalu (saat Tiongkok belum membuka diri), warna militer di perayaan sekarang ini sudah jauh berkurang. Warna militer hanya terlihat saat penaikan bende?ra (dilakukan oleh militer) dan ketika terjadi parade lu hai gong (AD, AL, AU) berikut persenjataannya yang mutakhir. Selebihnya sudah menunjukkan citra baru modernisasi Tiongkok. Manusia yang dihadirkan untuk memenuhi lapa?ngan Tian An Men, misalnya, sudah tidak kelihatan manusia
[budaya_tionghua] Burma or Myanmar ... was... Re: Cina dan C(h)ina == Uli
Nambahin sedikit mengenai nama Burma / Myanmar Tidak benar jika dikatakan tidak ada yang menolak ketika rejim militer di Burma mengubah nama negaranya menjadi Myanmar, di tahun 1989. Melihat sejarahnya, di dalam negeri Burma/Myanmar sendiri, ada penolakan terhadap perubahan nama tersebut, terutama dari kalangan yang beroposisi terhadap junta militer . Di dunia internasional pun sama. Walaupun PBB ketika itu secara procedural dan offical menerima perubahan nama Burma menjadi Myanmar berdasarkan permintaan negara yang bersangkutan, negara-negara seperti US dan UK masih menggunakan nama Burma Sampai sekarang pun, nama Burma dan Myanmar masih sama-sama digunakan di berbagai media massa (english-written) di beberapa negara. Prometheus --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: ketika pemerintah Burma minta dunia internasional mengubah penyebutan megara mereka menjadi Myanmar, tak ada yg nolak tuh! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT
[budaya_tionghua] Re: sejarah perkembangan bahasa Tionghoa di Indonesia
Oh, lebih parah, mereka khan langsung dibilang, Hai Batak, Oi Sunda, Eh Jawa, nggak ada tuh yang mencak-mencak lha memang kenyataan. Tapi begitu nyebut Hai Cina, wihi langsung deh ada yang sensi bin sewot. Oom, kata temen gue yang asli Jawa, disana kalau dapet sebutan keturunan itu konotasinya ningrat lhoh, berdarah biru. Jadi dia bingung ini Cina kok sewot nggak keruan kalo disebut keturunan, wehehehe, coba deh jelasin, ntar gue forward ke dia. Istilah warga keturunan Arab ada lhoh! Dan warga keturunan Belanda juga ada lhoh! Belon tau bukan berarti nggak ada lhoh! Krrrkkkekekeke. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: Kok tidak ada istilah warga keturunan jawa, sunda atau batak ya? Ini menunjukkan tetap ada penggolongan besar: asli dan tidak asli, pri dan nonpri! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: a...@... Date: Fri, 2 Oct 2009 11:53:44 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: sejarah perkembangan bahasa Tionghoa di Indonesia ulysee_me2 ulysee_...@... wrote: Lagian, menurut engkong, istilah WNI keturunan (yang kemudian disingkat jadi 'keturunan' doank) itu awal awalnya digunakan untuk memperhalus, Wo kurang se-7 dengan pendapat engkongnya ulysee_me2. Istilah keturunan menimbulkan konotasi rasis. Yang dimaksud keturunan di sini pasti mengacu pada keturunan orang Tionghoa; bukannya keturunan orang Arab, India, Pakistan, Bule, dsb. FYI, beberapa cewek di desa sekitar waduk Jatiluhur bermata biru dan berkulit putih karena mereka adalah keturunan bule-bule Perancis yang ngembat para emak mereka ketika sedang menggarap proyek waduk Jatiluhur dulu. Istilah keturunan produk para penguasa orde baru ini sama sekali tidak pernah merujuk ke mereka. :-) Ah, warga keturunan...tentu banyak duitnya...yuuk..kita (isi sendiri)..haahaaahaa. als
Re: [budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli
Nampaknya masih butuh usaha yang lebih keras untuk bisa kembali semua menggunakan istilah Tionghoa/Tiongkok, lihat saja kompas masih pakai China padalah Jawa Pos, suara pembarusan sudah pakai Tiongkok. Sedang President sebutnya Tiongkok/RRT, tetapi di dokumen2 yang dibuat oleh bawahannya masih juga pakai China. Yang paling parah, UI hingga hari ini masih pakai CINA untuk jurusan bahasa Mandarinnya! salam He sining ChanCT wrote: Neng Uli yb, Udah lama nggak muncul, tenggelam dalam kesibukan bisnis yang makin repot? Lalu, begitu muncul bikin komentar yang menggelitik, ... sekalipun masalah udah lama diperbincangkan tetap saja tidak ada kesimpulan, tapi saya masih tertarik untuk kasih sedikit pendapat saja. Masalah sebutan Cina, China dan Tiongkok mana baiknya? Kalian-kalian saja yang selalu merasa rikuh, canggung dan bingung sendiri gunakan sebutan mana baiknya, itu kan karena tidak berani melihat kenyataan yang ada. Bukankah sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa?! Sedang kita-kita sebagai bangsa dan negara bersahabat sudah seharusnya menuruti saja keinginan mereka, maunya dan senangnya gunakan sebutan yang mana. Sebaliknya, kalau bermusuhan tentu sengaja gunakan sebutan yang dia/mereka tidak ingini. Jangan ikuti dan teruskan sikap arogan jenderal Soeharto yang saat itu memang sengaja gunakan sebutan CINA untuk melecehkan, menghina bahkan merusak hubungan persahabatan dua rakyat RI-RRT yang akrab bahkan dirasakan sangat mesrah semasa Presiden Soekarno. Itu lah yang terjadi, dan disitulah masalahnya! Sedang Presiden RI sejak Gus Dur, kemudian diikuti oleh Megawati dan juga SBY, yang memang ingin pulihkan hubungan persahabatan RI-RRT lebih baik lagi, dalam pertemuan resmi dengan pejabat Tiongkok, itu sudah gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, tidak lagi gunakan CHina apalagi CINA! Sikap itulah yang menunjukkan kedewasaan dan kebesaran bangsa, bisa menerima dan menghormati keinginan bangsa dan negara bersahabat. Gunakan sebutan sesuai dengan kehendak bangsa dan negara yang bersahabat itu. Begitu juga kalau kita perhatikan dengan Duta-Besar RI untuk RRT, sudah lama gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, hanya sekali-kali saja gunakan sebutan China, mungkin kebiasaan selama lebih 35 tahun belum hilang. Salam, ChanCT Internal Virus Database is out-of-date. Checked by AVG. Version: 7.5.560 / Virus Database: 270.13.103/2325 - Release Date: 17/09/2009 0:00
[budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli
Halwww Broer Chan. Kangen sama Uli yah, wehehehehe. (wadaww Uly pe de banget yah) Ya deh Broer, mari kita praktekkan sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa. Contohnya Uly nih. Dari dulu disebut Uly. Tapi gue minta Broer Chan mulai besok panggil gue Angelina Jolie yah. (Biar gue bisa ngayal se keren Lara Croft di Tomb Rider) Muhahahahaha, apa kaga jadi bahan tertawaan tuh. Krrrkkkekekeke. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ChanCT sa...@... wrote: Neng Uli yb, Udah lama nggak muncul, tenggelam dalam kesibukan bisnis yang makin repot? Lalu, begitu muncul bikin komentar yang menggelitik, ... sekalipun masalah udah lama diperbincangkan tetap saja tidak ada kesimpulan, tapi saya masih tertarik untuk kasih sedikit pendapat saja. Masalah sebutan Cina, China dan Tiongkok mana baiknya? Kalian-kalian saja yang selalu merasa rikuh, canggung dan bingung sendiri gunakan sebutan mana baiknya, itu kan karena tidak berani melihat kenyataan yang ada. Bukankah sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa?! Sedang kita-kita sebagai bangsa dan negara bersahabat sudah seharusnya menuruti saja keinginan mereka, maunya dan senangnya gunakan sebutan yang mana. Sebaliknya, kalau bermusuhan tentu sengaja gunakan sebutan yang dia/mereka tidak ingini. Jangan ikuti dan teruskan sikap arogan jenderal Soeharto yang saat itu memang sengaja gunakan sebutan CINA untuk melecehkan, menghina bahkan merusak hubungan persahabatan dua rakyat RI-RRT yang akrab bahkan dirasakan sangat mesrah semasa Presiden Soekarno. Itu lah yang terjadi, dan disitulah masalahnya! Sedang Presiden RI sejak Gus Dur, kemudian diikuti oleh Megawati dan juga SBY, yang memang ingin pulihkan hubungan persahabatan RI-RRT lebih baik lagi, dalam pertemuan resmi dengan pejabat Tiongkok, itu sudah gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, tidak lagi gunakan CHina apalagi CINA! Sikap itulah yang menunjukkan kedewasaan dan kebesaran bangsa, bisa menerima dan menghormati keinginan bangsa dan negara bersahabat. Gunakan sebutan sesuai dengan kehendak bangsa dan negara yang bersahabat itu. Begitu juga kalau kita perhatikan dengan Duta-Besar RI untuk RRT, sudah lama gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, hanya sekali-kali saja gunakan sebutan China, mungkin kebiasaan selama lebih 35 tahun belum hilang. Salam, ChanCT - Original Message - From: ulysee_me2 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, October 02, 2009 9:12 AM Subject: [budaya_tionghua] Cina dan C(h)ina Begitu baca judul artikel2 di Kompas kemarin, satu yang menarik perhatian gue adalah judul artikelnya Christine Susana Tjhin. Cara penulisannya itu lhoh. Yang bikin gue langsung nyengir. Pasalnya, pas malem takbiran minggu lalu, ipar gue debat seru sampe jam satu pagi sama bokap gue. Yang dibahas, nggak lain adalah masalah istilah CINA itu. Yayayaya, buat miliser, itu sih bahasan basi, udah sering di bahas dan udah bosen bahasnya. Cape dh. Gue juga nggak berminat mengulangi. Ipar gue bukan miliser, dia baru pulang dari RRC, ngajar bahasa mandarin. Dan kemaren sempet cerita. Di sebuah forum seminar, seorang pembicara membahas soal RRC, dia menyebutnya Republik Rakyat Cina. Dan segera dapat tembakan langsung kontan, seorang yang menegur, supaya menyebut Republik Rakyat Cina dengan betul. Lhah bikin bingung donk, apa nya yang tidak betul dengan Republik Rakyat Cina? Nyebutnya harus China (baca chai-na) pakai H seperti dalam bahasa inggris,bukan Ci-Na. Ipar gue bingung, dan bertanya-tanya, emangnya ada aturan begitu? Sejak kapan? Bukannya dalam bahasa Indonesia yang betul malah Ci-Na dan bukannya Chai-Na? Ya begitulah, kalau ditengok dari segi bahasa, orang bakalan bingung. Sebab fenomena Cina dan C(h)ina, lebih banyak urusan sin li (perasaan) ketimbang logika. Dan bener banget tuh apa yang dikatakan Christine dalam artikelnya, betapa canggungnya kita, bingung sendiri (dan lebih lebih bikin bingung orang lain) antara Cina; China dan Tiongkok, mau nyebut aje refot banget sampe nggak pede harus minjem bahasa Inggris segala supaya jangan sampai ada yang tersinggung. Apa nggak bikin bingung, kalau pake bahasa Inggris kok tidak tersinggung, kalau pakai bahasa Indonesia kok tersinggung, padahal cuman beda ketambahan satu huruf (H) doank. Yep, fenomena menakjubkan... (kalau gue bilang menggelikan nanti ada yang tersungging lagi deh, hihihihi) Butuh satu sesi seminar barangkali untuk meluruskan kerancuan antara Cina, China, dan Tiongkok. Atau barangkali maksudnya begini, kalau nyebut Cina, itu menunjuk WNI keturunan,kalau nyebut China, itu berarti RRC, lha kalau Tiongkok
[budaya_tionghua] Happy Tong Cu Piah day
Jaman gue masih kecil, gue selalu nunggu-nunggu hari Tong Cu Piah. sebab gue suka banget sama kue istimewa berbentuk bulan purnama itu, yang dibeli Oma setiap perayaan Pwee Gwee Cap Go. Tanggal 15 bulan delapan kalender Imlek. Di rumah gue dulu piara Kwan Im, jadi pada hari itu akan menyediakan sebuah kue bulan yang istimewa, kue pia isi durian, atau cempedak, atau thangkwee, yang luarnya legit, dalamnya manis luar biasa. Setelah sembayang, kue bulan boleh dipotong, biasanya kita makan kue bulan setelah makan malam, sambil duduk duduk di teras depan, nungguin bulan, lalu Oma gue akan bercerita tentang dewi Chang-Oh yang terbang ke bulan ditemani kelincinya. Tiap tahun kisahnya agak sedikit berubah, tapi garis besarnya kurang lebih sama, tentang putri cantik yang jadi dewi penunggu bulan. Sementara Papi akan bercerita tentang surat ajakan perang yang di umpetin di dalam kue bulan untuk ngibulin tentara mongol. Taon ini, selewat lebaran Engkong udah ribut mau sembayang Zhong-jiu jadi harus beli kue piah. Sebagai cucu yang baik, lagian tiap berangkt gawe bakalan lewat Glodok, gue menawarkan diri untuk beliin piah. Itung itung berbakti deh sama Engkong. Tapi yang dibeli apa ya Kong? Engkong pun berpesan, beli satu susun tong cu piah yang 'halal' untuk sembayang Kwan Im, jangan salah ya, piah yang untuk dewi kwan im ini yang bulet kayak purnama, jangan yang persegi dicetak berukir ukir itu. Paling enak yang merknya Sin Hap Hoat. Sedangkan untuk Kwan Kong, boleh lah sediakan piah yang berminyak dan pakai isi telur itu, itu juga beli dua biji. Kata Engkong yang enak tuh merk Wang Lai, tapi jangan yang buatan Malaysia, enakan yang buatan Medan. Jadilah gue keliling Glodok belanja buat Engkong sembayangan. Sambil tidak lupa beli buat diri sendiri juga donk. Nggak sabar kalau nungguin Engkong selesai sembayang mah. So, Happy Tong Cu Piah Day everyone. (sebab buat gue tanggal ini adalah untuk menikmati kue yang yummy, bukan merayakan pertengahan musim panas apa segala, lha di negeri gue sepanjang tahun panas kok, hehehehe)
Re: [budaya_tionghua] Burma or Myanmar ... was... Re: Cina dan C(h)ina == Uli
Inilah yg ajaib, penggantian nama kok dikaitkan dng rejim militer segala. Tahukah, sebenarnya mereka tidak ganti nama, sudah dari asalnya namanya myanmar, rakyat mereka dlm bhs mereka sendiri menyebut negeri mereka myanmar (dlm bhs mandarin Mian dian, mian berasal dari myan, dian artinya wilayah). hanya saja orang barat salah denger dan salah eja menjadi burma. Sekarang mereka hanya ingin mengembalikan ejaannya sesuai dng bunyi aslinya! Kok keberatan? Demikian juga, jika suatu saat nanti Rrt ingin mengganti ejaan resmi dlm bhs inggris menjadi Zhongguo(sdh banyak orang sana yg membahas dan menggodok hal ini), itu bukanlah ganti nama, tapi hanya mengkoreksi salah kaprah selama ini. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: prometheus_promise prometheus_prom...@yahoo.com.sg Date: Fri, 02 Oct 2009 16:25:07 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Burma or Myanmar ... was... Re: Cina dan C(h)ina == Uli Nambahin sedikit mengenai nama Burma / Myanmar Tidak benar jika dikatakan tidak ada yang menolak ketika rejim militer di Burma mengubah nama negaranya menjadi Myanmar, di tahun 1989. Melihat sejarahnya, di dalam negeri Burma/Myanmar sendiri, ada penolakan terhadap perubahan nama tersebut, terutama dari kalangan yang beroposisi terhadap junta militer . Di dunia internasional pun sama. Walaupun PBB ketika itu secara procedural dan offical menerima perubahan nama Burma menjadi Myanmar berdasarkan permintaan negara yang bersangkutan, negara-negara seperti US dan UK masih menggunakan nama Burma Sampai sekarang pun, nama Burma dan Myanmar masih sama-sama digunakan di berbagai media massa (english-written) di beberapa negara. Prometheus --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: ketika pemerintah Burma minta dunia internasional mengubah penyebutan megara mereka menjadi Myanmar, tak ada yg nolak tuh! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Re: [budaya_tionghua] Re: sejarah perkembangan bahasa Tionghoa di Indonesia
Logikanya tdk jalan: Yg dimasalahkan adalah istilah keturunan! Tak usah nyimpang ke yg lain dulu! Mengapa tdk ada yg nyebut warga indo keturunan jawa? Tak usah melebar ke yg lain. Keturunan ningrat jelas sudah bukan ningrat lagi. Itu istilah yg secara bhs korek. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: ulysee_me2 ulysee_...@yahoo.com.sg Date: Fri, 02 Oct 2009 15:30:34 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: sejarah perkembangan bahasa Tionghoa di Indonesia Oh, lebih parah, mereka khan langsung dibilang, Hai Batak, Oi Sunda, Eh Jawa, nggak ada tuh yang mencak-mencak lha memang kenyataan. Tapi begitu nyebut Hai Cina, wihi langsung deh ada yang sensi bin sewot. Oom, kata temen gue yang asli Jawa, disana kalau dapet sebutan keturunan itu konotasinya ningrat lhoh, berdarah biru. Jadi dia bingung ini Cina kok sewot nggak keruan kalo disebut keturunan, wehehehe, coba deh jelasin, ntar gue forward ke dia. Istilah warga keturunan Arab ada lhoh! Dan warga keturunan Belanda juga ada lhoh! Belon tau bukan berarti nggak ada lhoh! Krrrkkkekekeke. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: Kok tidak ada istilah warga keturunan jawa, sunda atau batak ya? Ini menunjukkan tetap ada penggolongan besar: asli dan tidak asli, pri dan nonpri! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: a...@... Date: Fri, 2 Oct 2009 11:53:44 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: sejarah perkembangan bahasa Tionghoa di Indonesia ulysee_me2 ulysee_...@... wrote: Lagian, menurut engkong, istilah WNI keturunan (yang kemudian disingkat jadi 'keturunan' doank) itu awal awalnya digunakan untuk memperhalus, Wo kurang se-7 dengan pendapat engkongnya ulysee_me2. Istilah keturunan menimbulkan konotasi rasis. Yang dimaksud keturunan di sini pasti mengacu pada keturunan orang Tionghoa; bukannya keturunan orang Arab, India, Pakistan, Bule, dsb. FYI, beberapa cewek di desa sekitar waduk Jatiluhur bermata biru dan berkulit putih karena mereka adalah keturunan bule-bule Perancis yang ngembat para emak mereka ketika sedang menggarap proyek waduk Jatiluhur dulu. Istilah keturunan produk para penguasa orde baru ini sama sekali tidak pernah merujuk ke mereka. :-) Ah, warga keturunan...tentu banyak duitnya...yuuk..kita (isi sendiri)..haahaaahaa. als
Re: [budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli
Jika kamu mau dipanggil nama artis itu sepenuhnya hak kamu, mau diketawain atau tdk itu kamu yg tanggung. Itu kamu yg timbang2 sendiri. Dan jika saya ingin dipanggil huaren atau tionghua, saya merasa itu pantas, perkara kamu mau ketawa cekikikan itu urusan kamu, saya tak ambil pusing! Demikian juga, bila Rrt ingin dipanggil tiongkok atau zhongguo, dia tak perlu mempertimbangkan cemooh2 orang2 seperti anda. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: ulysee_me2 ulysee_...@yahoo.com.sg Date: Fri, 02 Oct 2009 15:52:33 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: Cina dan C(h)ina == Uli Halwww Broer Chan. Kangen sama Uli yah, wehehehehe. (wadaww Uly pe de banget yah) Ya deh Broer, mari kita praktekkan sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa. Contohnya Uly nih. Dari dulu disebut Uly. Tapi gue minta Broer Chan mulai besok panggil gue Angelina Jolie yah. (Biar gue bisa ngayal se keren Lara Croft di Tomb Rider) Muhahahahaha, apa kaga jadi bahan tertawaan tuh. Krrrkkkekekeke. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ChanCT sa...@... wrote: Neng Uli yb, Udah lama nggak muncul, tenggelam dalam kesibukan bisnis yang makin repot? Lalu, begitu muncul bikin komentar yang menggelitik, ... sekalipun masalah udah lama diperbincangkan tetap saja tidak ada kesimpulan, tapi saya masih tertarik untuk kasih sedikit pendapat saja. Masalah sebutan Cina, China dan Tiongkok mana baiknya? Kalian-kalian saja yang selalu merasa rikuh, canggung dan bingung sendiri gunakan sebutan mana baiknya, itu kan karena tidak berani melihat kenyataan yang ada. Bukankah sebutan pada satu bangsa dan negara lain, itu tidak bedanya dengan sebutan pada seseorang, sepenuhnya hak bangsa dan negara bersangkutan ingin disebut apa?! Sedang kita-kita sebagai bangsa dan negara bersahabat sudah seharusnya menuruti saja keinginan mereka, maunya dan senangnya gunakan sebutan yang mana. Sebaliknya, kalau bermusuhan tentu sengaja gunakan sebutan yang dia/mereka tidak ingini. Jangan ikuti dan teruskan sikap arogan jenderal Soeharto yang saat itu memang sengaja gunakan sebutan CINA untuk melecehkan, menghina bahkan merusak hubungan persahabatan dua rakyat RI-RRT yang akrab bahkan dirasakan sangat mesrah semasa Presiden Soekarno. Itu lah yang terjadi, dan disitulah masalahnya! Sedang Presiden RI sejak Gus Dur, kemudian diikuti oleh Megawati dan juga SBY, yang memang ingin pulihkan hubungan persahabatan RI-RRT lebih baik lagi, dalam pertemuan resmi dengan pejabat Tiongkok, itu sudah gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, tidak lagi gunakan CHina apalagi CINA! Sikap itulah yang menunjukkan kedewasaan dan kebesaran bangsa, bisa menerima dan menghormati keinginan bangsa dan negara bersahabat. Gunakan sebutan sesuai dengan kehendak bangsa dan negara yang bersahabat itu. Begitu juga kalau kita perhatikan dengan Duta-Besar RI untuk RRT, sudah lama gunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa kembali, hanya sekali-kali saja gunakan sebutan China, mungkin kebiasaan selama lebih 35 tahun belum hilang. Salam, ChanCT - Original Message - From: ulysee_me2 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, October 02, 2009 9:12 AM Subject: [budaya_tionghua] Cina dan C(h)ina Begitu baca judul artikel2 di Kompas kemarin, satu yang menarik perhatian gue adalah judul artikelnya Christine Susana Tjhin. Cara penulisannya itu lhoh. Yang bikin gue langsung nyengir. Pasalnya, pas malem takbiran minggu lalu, ipar gue debat seru sampe jam satu pagi sama bokap gue. Yang dibahas, nggak lain adalah masalah istilah CINA itu. Yayayaya, buat miliser, itu sih bahasan basi, udah sering di bahas dan udah bosen bahasnya. Cape dh. Gue juga nggak berminat mengulangi. Ipar gue bukan miliser, dia baru pulang dari RRC, ngajar bahasa mandarin. Dan kemaren sempet cerita. Di sebuah forum seminar, seorang pembicara membahas soal RRC, dia menyebutnya Republik Rakyat Cina. Dan segera dapat tembakan langsung kontan, seorang yang menegur, supaya menyebut Republik Rakyat Cina dengan betul. Lhah bikin bingung donk, apa nya yang tidak betul dengan Republik Rakyat Cina? Nyebutnya harus China (baca chai-na) pakai H seperti dalam bahasa inggris,bukan Ci-Na. Ipar gue bingung, dan bertanya-tanya, emangnya ada aturan begitu? Sejak kapan? Bukannya dalam bahasa Indonesia yang betul malah Ci-Na dan bukannya Chai-Na? Ya begitulah, kalau ditengok dari segi bahasa, orang bakalan bingung. Sebab fenomena Cina dan C(h)ina, lebih banyak urusan sin li (perasaan) ketimbang logika. Dan bener banget tuh apa yang dikatakan Christine dalam artikelnya, betapa canggungnya kita, bingung sendiri (dan lebih lebih bikin bingung orang lain) antara Cina; China dan Tiongkok,