{Disarmed} Re: [budaya_tionghua] Traditional chinese medicine and pharmacy in Indonesia, C Salmon, M. Sidharta JUGA
Bung Sugiri yang aktif, rologn saya dikirimi juga, thanks,kidyoti = - Original Message - From: emma To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: 11 Juli 2008 14:19 Subject: Re: [budaya_tionghua] Traditional chinese medicine and pharmacy in Indonesia, C Salmon, M. Sidharta  Pak Sugiri, saya juga mau dong Tolong di kirimi yach. Terimakasih sebelumnya - Original Message - From: soham kriya To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thursday, July 10, 2008 7:47 PM Subject: Re: [budaya_tionghua] Traditional chinese medicine and pharmacy in Indonesia, C Salmon, M. Sidharta Saya juga mau dong, terima kasih sebelumnya. Irwandy --- On Wed, 9/7/08, ibcindon [EMAIL PROTECTED] wrote: From: ibcindon [EMAIL PROTECTED] Subject: [budaya_tionghua] Traditional chinese medicine and pharmacy in Indonesia, C Salmon, M. Sidharta To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Wednesday, 9 July, 2008, 10:45 PM Rekan milis, Apakah ada yang minat artikel : Traditional chinese medicine and pharmacy in Indonesia, C Salmon, Myra Sidharta ?? Sekiranya minat, tolong berkabar di milis ini. Nanti setelahnya mohon dikomentari di milis... .. Salam, Sugiri. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com
[budaya_tionghua] OOT: Undangan Sarasehan
METAFISIKA STUDY CLUB (MSC) akan menyelenggarakan sarasehan dengan Topik: Rahasia mencapai kesuksesan dan kebahagiaan : 1.Melalui terapan Kekuatan Pikiran ( MInd Power) pembicara : Ir. Herman Willianto , MSP, PhD 2. Melalui metode visualisasi kreatif Pembicara Sumarsono Wuryadi Moderator Sabdono Surohadikusumo Hari/tgl: Minggu 20 April 2008 Tempat :BALAI KRIDA, Jl Iskandarsyah 35, Kebayoran Baru (seberang Pasar Raya Grande, Blok M, Jaksl. Jam 09.30-selesai Beaya pendaftaran Rp 50.000,-/per orang
Re: [budaya_tionghua] OOT: PENYAKIT KANKER SUDAH TIDAK BERBAHAYA LAGI
Itu bukan hoax. Benar, saya alami sendiri Kd http://www.freewebs.com/kidyoti [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [budaya_tionghua] Re: Agama dan dunia Mistik
Ada artikel ttg mistik maupun agama di http://www.freewebs.com/kidyoti terdapat dalam artikel ttg Agama sbg sumber pembangunan, ceramah di UNIKA Atma Jaya Selamat membaca dan berkomentar di guestbooknya KD [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [i-s] David Goldsworthy - Bule
The Indonesian Chinese are victims of such labelling. When these people are referred to as cina (cino in Java), or cokin, there are certain negative preconceptions that often go with it. - Original Message - From: John MacDougall To: [EMAIL PROTECTED] Sent: 05 Desember 2007 5:35 Subject: [i-s] David Goldsworthy - Bule http://ausdag.blogspot.com/2007/12/bule.html Tuesday, December 4, 2007 Bule I am starting to take issue to the term bule. At first I was like many other westerners who took no real notice of the term. But now that I've been living and working in a context where I am labelled bule day-in-day-out, it has struck me recently just how fundamentally racist the term is. It's not that those who use it necessarily mean anything racist by it. 90% of the time in my particular context it is used quite innocently or naively (in the positive sense of the word). Fellow teachers and students use it in my presence. It's not their fault that they have been conditioned by society to use such a term. Nor am I necessarily offended when they use it. But that doesn't excuse the fact that when one examines it and similar labels closely, it is a label based on the colour of my skin and used to identify me or my child in situations where our race does not need identifying. Bule itu lagi tersesat kayaknya... (That white guy looks lost) Why the label? What's wrong with 'Orang itu... (That person)? Wah..ada bayi bule...ada bayi bule!!! (There's a whitey baby...a whitey baby...) Indonesia, like many countries, has a serious race-relations problem. One major factor, I believe, is the labelling that is so common. When we label someone, we lump them into a group and we then apply all sorts of preconceptions to them, often false preconceptions. So when I am labelled a bule a whole lot of baggage is implied with it; baggage that often is no more than mud which sticks. The Indonesian Chinese are victims of such labelling. When these people are referred to as cina (cino in Java), or cokin, there are certain negative preconceptions that often go with it. When non-Chinese (even this is an example of labelling) are labelled things such as pribumi, jowo, tiko or whatever, again, certain negative preconceptions often go with it. Add a third factor into the equation (westerners) and there is no innocent party. Those who actively label, may or may not actively apply the preconceptions. But the important issue is how the label is received. We may mean no offence, but offence may be taken. It's a difficult subject because it then raises the question as to what we can and cannot refer to people as. Some may ask, well if we can't use bule what can we use? Orang Barat? (Westerner)? Well, that would be preferable. But it certainly doesn't automatically erase the preconceptions. I think in 90% of general everyday situations, race simply does not need identifying. Just as in the writing of an academic essay there are ways to avoid using the 1st person 'I' even though personal reference is implied, I think there are ways to avoid labelling on the basis of race if we think about it. Orang (person) should be quite sufficient in most cases. Of course, preconceptions will always be applied, regardless of labels. But at least taking issue with something which has come to be accepted so widely may help people to think more about the consequences of such actions. Posted by David at 4:55 PM [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Q
Today's Inspirational Quote: You can't control the contour of your face, but you can control its expression. -- Source Unknown
[budaya_tionghua] Fw: [aktivis_bicara] Militer China Jebol Komputer Pentagon
- Original Message - From: M. Mashuri Alif To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, September 04, 2007 12:53 PM Subject: [aktivis_bicara] Militer China Jebol Komputer Pentagon Selasa, 04/09/2007 12:11 WIB Militer China Jebol Komputer Pentagon Nurfajri Budi Nugroho - Okezone BEIJING - Pihak militer China berhasil menjebol jaringan komputer Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon. Aksi ini membuat khawatir sistem pertahanan kementerian itu. Diberitakan The Financial Times, Selasa (4/9/2007), serangan cyber dari militer negeri tirai bambu itu dilakukan pada Juni lalu, setelah usaha yang dilakukan berbulan-bulan, kata surat kabar yang berbasis di London itu, mengutip pejabat Amerika Serikat yang dirahasiakan identitasnya. Meski Pentagon menolak menyebut siapa di balik penjebolan itu, namun terungkap pelaku adalah Tentara Pemebebasan Rakyat China (PLA). Akibatnya, kantor Menteri Pertahanan Robert Gates itu sempat mati. Pihak PLA telah mempraktikkan kemampuan untuk membangun serangan hingga mematikan sistem kami, sebut surat kabar itu. Salah seorang pejabat senior di negeri Paman Sam menyatakan, Pentagon telah mengetahui asal serangan itu. Pejabat lainnya yang mengetahui peristiwa ini menyatakan PLA bertanggung jawab. The Financial Times juga menyebut, Amerika Serikat dan militer China memang saling melakukan spionase melalui dunia cyber satu sama lain. Sementara, juru bicara kementerian pertahanan China menolak untuk berkomentar. Begitu juga dengan kementerian luar negerinya. Selain menyerang Amerika, aktivitas hacking China ke sistem milik pemerintah Jerman juga meningkat pekan lalu, seiring kunjungan Kanselir Angela Merkel. Tabloid Jerman Der Spiegel juga melaporkan, program spionase juga terlacak dilakukan PLA terhadap sistem komputer di kantor Merkel, kantor kementerian luar negeri, dan kantor pemerintahan lainnya di Berlin. (jri) [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [iscab] 13 Yayasan Tionghoa Bertemu Aziz-Mubyl
- Original Message - From: Sunny To: Undisclosed-Recipient:; Sent: Tuesday, September 04, 2007 4:07 PM Subject: [iscab] 13 Yayasan Tionghoa Bertemu Aziz-Mubyl http://www.tribun-timur.com/view.php?id=48580jenis=Politik Selasa, 04-09-2007 13 Yayasan Tionghoa Bertemu Aziz-Mubyl Tanyakan Syariat Islam; Minta Jaminan Keamanan Makassar, Tribun - Sebanyak 13 perwakilan warga keturunan Tionghoa se-Sulsel menanyakan makna Syariat Islam kepada kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Abdul Azis Qahhar Mudzakkar-Mubyl Handaling di Ruang Tanete Room Hotel Singgasana, Makassar, Senin (3/9). Ke-13 perwakilan keturunan Tionghoa tersebut merupakan pengurus-pengurus yayasan sosial dan keagamaan yang diundang secara khusus mendengarkan visi dan misi pasangan yang diusung Koalisi Keummatan dan Kebangsaan (KKK) itu. Pertemuan diprakarsai Koordinator Tim Pejuang Kerabat Keluarga, Bachrianto Bachtiar. Hadir dalam pertemuan tersebut di antaranya, anggota DPRD Makassar Arwan Tjahjadi, Hery Kumala, Hendra, Yonggris, dan Ketua Persatuan Islam Tionghioa Indonesia (PITI) Sulsel Sulaeman Gossalam. Sejumlah pengusaha kondang juga tampak. Dalam pertemuan tersebut, beberapa warga keturunan mempertanyakan misi penegakan Syariat Islam di Sulsel jika kelak terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur. Hery secara khusus menanyakan tentang syariat Islam dan mengeluhkan susahnya mendirikan rumah ibadah di Sulsel bagi warga non-Muslim. Menurut Hendra, membangun rumah bordir, bar, message, dan tempat-tempat hiburan lainnya lebih mudah ketimbang jika ingin membangun rumah ibadah bagi warga non Muslim. Karena itu, jangan heran jika banyak di antara teman-teman yang menjadikan rumah toko sebagai tempat ibadah sementara, katanya. Penanya lain, Hendra, meminta penjelasan lebih rinci kepada Azis mengenai penegakan Syariat Islam jika kelak terpilih sebagai gubernur. Upaya pemberantasan korupsi yang selalu didengung-dengungkan Aziz-Mubyl juga menjadi perhatian. Kami hanya ingin mengantar kepada masyarakat yang taat beragama. Syariat Islam adalah persoalan besar dan tidak terkait dengan pilkada, jawab Aziz. Mengenai pembangunan rumah ibadah, Aziz menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh menghalanginya. Saat membacakan simpulan dialog, Mubyl mengatakan syariat Islam tidak mungkin otomatis berjalan jika Aziz-Mubyl terpilih. Dia juga memberi jaminan tidak akan melakukan korupsi. (rex/cr1/opi/bie) [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [iscab] Bayi Bule
- Original Message - From: Sunny To: Undisclosed-Recipient:; Sent: Tuesday, September 04, 2007 2:54 PM Subject: [iscab] Bayi Bule http://www.fajar.co.id/kolom/news.php?newsid=630 Bayi Bule (03 Sep 2007) ADA masalah dalam urusan administrasi kependudukan kita. Padahal UU soal ini termasuk PP-nya sudah keluar sejak beberapa bulan lalu. Urusan ini sesungguhnya ditangani oleh satu direktorat-jenderal yang Dirjen-nya kebetulan juga orang Sulsel Dr Rasyid Saleh, MA. Dia menjadi motor keluarnya aturan soal kependudukan ini dan bekerja keras agar beberapa tahun mendatang, setiap orang hanya punya satu nomor kependudukan termasuk kartu penduduk. Maka urusan yang selalu geger dalam pilkada maupun pemilu, daftar pemilih tidak ada lagi. Selama ini KPUD selalu jadi kambing hitam. Ketika berada di Surabaya bersama Dr Rasyid pekan lalu, saya menyaksikan bagaimana ia marah-marah karena masih ada dinas kependudukan yang seenaknya bicara urusan ini dan bekerja tidak sesuai aturan undang-undang. ''Saya harap ini terakhir Anda bicara seperti itu,'' katanya tegas. Saya kebetulan -- punya satu kerja yang sama dengan Dr Rasyid Saleh -- untuk menyelesaikan pemukim warga yang kebetulan punya darah Tionghoa, India dan Arab. Mereka bukan WN-asing tetapi juga tak diberi status WNI. Jumlahnya mencapai puluhan ribu. Mereka sudah hidup bertahun-tahun tanpa status WNI. Di Tangerang mereka termasuk bukan kelompok berada dan popular dengan nama Cina Benteng. Atas perintah Mendagri dan Menteri Hukum dan HAM, kami bertekad menyelesaikan masalah itu dalam dua-tiga bulan ke depan. Bagaimana mungkin, orang yang sudah hidup bertahun-tahun di Indonesia tidak jelas status ke-WNI-annya. Padahal menurut Undang-Undang No 12/2006 tentang Kewarhanegaraan Indonesia, jika ada anak asing yang tidak jelas orang tuanya dan diyakini lahir di Indonesia, maka dia adalah orang Indonesia asli. Jadi kalau di suatu subuh, kita melihat sebuah keranjang di bawah pohon dan di dalamnya ada seorang bayi yang baru lahir, bermata 'biru' dan berambut pirang dan kita amat yakini sebagai anak orang bule, jika tak diketahui orang tuanya, maka ia menurut Undang-undang adalah anak Indonesia asli. Maka logika bahwa anak bayi saja (yang jelas-jelas bule) diakui sebagai anak Indonesia, lalu mengapa pula kelompok pemukim yang sudah hidup turun-temurun, masih sulit atau dipersulit status kewarganegaraannya? Inilah yang harus diselesaikan. Masih terlalu banyak persoalan yang harus diselesaikan dan mengapa pula urusan ini belum-belum juga beres selama berpuluh-puluh tahun. Perjalanan bangsa setelah 62 tahun menikmati kemerdekaan ini harus kita direnungi. Di samping berbagai kemajuan pembangunan yang telah tercapai masih kita lihat di depan mata beratnya tugas kita menyejahterakan rakyat. Masih tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Selain faktor klasik mental manusia yang menyebabkan banyak permasalahan sosial ini, salah satu faktor penyebab yang cenderung diabaikan adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang terlalu cepat dan kurang terkendali. Masyarakat yang tidak beruntung dan tak memiliki ekonomi yang cukup kuat, menjadi lebih merana lagi karena tak punya status kewarganegaraan. Mereka tak bias memperoleh KTI-sebagai WNI. Mereka dalam situasi ekonomi yang begini sulit juga tak bias mendapatkan atau menikmati subsidi apapun yang diberikan pemerintah. Maka sudah selayaknya, program dua departemen untuk mengakhiri masalah kelompok pemukim harus direspons dengan baik oleh para aparat RT/RW hingga tingkat Camat di setiap daerah. Kerumitan kerja gaya birokrasi harus diakhiri. Dalam beberapa pertemuan dengan aparat pemda baik di Jakarta, Tangerang maupun Jawa Timur, ada kesan kalau masalah bisa susah lalu kenapa harus dimudahkan. Saatnya aparat pemerintah di semua lini mengambil langkah pregresif menyelesaikan urusan ini. Mengubah pola pikir: kalau bisa mudah kenapa harus disulit-sulitkan. Apalagi, jalan menuju ke Surga memang tidak hanya satu. ** [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [i-s] Gugatan Saat Kemerdekaan Emas
- Original Message - From: ariel_heryanto To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, August 31, 2007 5:07 AM Subject: [i-s] Gugatan Saat Kemerdekaan Emas http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/31/ln/3800209.htm Kompas, Jumat, 31 Agustus 2007 Gugatan Saat Kemerdekaan Emas Membenahi Kebijakan Berbau Diskriminasi demi 50 Tahun Kedua Merayakan kemerdekaan emas dapat dipahami sebagai bagian dari ucapan syukur atas apa yang sudah diraih. Namun, bagi sebuah negara seperti Malaysia, usia 50 tahun merdeka harus juga menjadi bagian dari refleksi dan introspeksi apakah masih ada yang harus diperbaiki untuk bisa meraih 50 tahun kedua yang lebih baik? Tak bisa disangkal, Malaysia mencatat sebuah pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 5,62 persen dalam lima tahun terakhir dan diperkirakan 6 persen pada tahun 2007 membuat pendapatan per kapita Malaysia kini 12.000 dollar AS (sekitar Rp 114 juta) per tahun. Pendapatan yang jauh dari 4.000 dollar AS pendapatan per kapita Indonesia itu yang membuat 1,5 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) resmi menggantungkan hidup mereka di Malaysia. Angka ini bisa beberapa kali lebih besar karena lebih banyak TKI yang ilegal. Sembari berterima kasih atas peluang kerja ini, gugatan pantas diketengahkan berkaitan dengan tidak sedikitnya cerita buruk datang dari Malaysia yang memperlakukan para TKI sebagai manusia kelas dua. Disiksa, diperkosa, dibunuh, menjadi kisah yang menggambarkan TKI bukan lagi manusia di mata sebagian warga Malaysia. Hal itu diiyakan 27 juta penduduk Malaysia, setidaknya terlihat dari tak ada kecaman atas perlakuan kasar pada para TKI. Juga terlihat dari sebutan indon bagi TKI yang berkonotasi negatif dan kini menjadi bagian dari laporan media massa serta dalam percakapan sehari-hari. Tak peduli adanya keberatan tertulis KBRI ke media massa Malaysia yang menggunakan indon. Sekalipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan keberatan langsung ke PM Abdullah Ahmad Badawi di Kuala Lumpur, Mei 2007. Diskriminasi Gugatan soal nasib buruk sejumlah TKI bakal menjadi cerita buruk pada 50 tahun kedua jika tak segera dibenahi. Sedikitnya setiap pelaku kekerasan atas TKI harus dihukum. TKI harus dilihat sebagai bagian dari kesuksesan ekonomi Malaysia. Suatu yang dihargai bukan sekadar memberi upah, tetapi juga dalam perlakuan manusiawi. Soal nasib buruk TKI menjadi bagian dari isu rasial yang kian kental karena adanya praktik diskriminasi. Sebuah gugatan lain di pesta emas kemerdekaan Malaysia. Etnis Melayu mendominasi 60 persen dari 27 juta penduduk, tetapi 40 persen etnis China dan India juga bagian yang tak bisa terpisahkan begitu saja. Diskriminasi jelas bukan langkah yang bijak. Diskriminasi dalam praktik ekonomi, sosial, dan budaya (agama) merupakan gugatan lain yang harus dibenahi Malaysia untuk bisa memapak 50 tahun kedua dengan lebih gemilang. Apabila ini menjadi indikator pada 50 tahun merdeka, saya tak ingin melihat era 50 tahun kedua karena situasi bisa lebih buruk, ujar P Ramasamy, ahli politik dan mantan pengajar di Nasional University of Malaysia, kepada AFP. Kebijakan pro-Melayu sejak tahun 1971 antara lain berupa New Economic Policy (NEP/Kebijakan Ekonomi Baru), sekalipun sudah direvisi, tetap saja sebuah pro dan kontra. Bahkan, kini perlakuan diskriminasi ini mengkristal hingga hubungan antarmanusia, Melayu dengan China dan India. Persinggungan antarmanusia yang tak mungkin terelakkan karena mereka bagian dari 40 persen populasi. Mereka dengan segala atribut agama, warna kulit, dan karakter berinteraksi setiap hari. Tidak sedikit akan tercipta kecocokan, di mana yang satu memilih melebur kepada yang lainnya. Persoalan pun muncul saat Melayu ingin melebur ke etnis China dan India. Namun, sebaliknya, semuanya mulus saat China dan India melebur ke Melayu. Suatu yang tak setimpal. Malaysia tidak mengembangkan integrasi rasial, tetapi sebuah pertarungan rasial, ujar Ooi Kee Beng, analis dari Institute of Southeast Asian Studies di Singapura. Perlakuan diskriminasi ini sebuah gugatan besar jika Malaysia ingin melangkah gemilang untuk 50 tahun kedua. Diskriminasi pada dasarnya awal sebuah pertikaian, bahkan dalam kehidupan yang paling kecil seperti dalam keluarga. (ppg) [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [Singkawang] [Pos Kota] RH HK Hadir di Acara Tatap Muka Gubernur DKI
- Original Message - From: Hendy Lie To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, August 30, 2007 6:26 PM Subject: [Singkawang] [Pos Kota] RH HK Hadir di Acara Tatap Muka Gubernur DKI Ronny Hermawan Didukung Prijanto Rabu 29 Agustus 2007, Jam: 18:33:00 BEKASI (Pos Kota) - Wakil Gubenur DKI Jakarta terpilih, Prijanto, secara moral memberikan dukungan terkait majunya Ronny Hermawan yang berasal dari etnis minoritas dalam Pilkada Kota Bekasi nanti. Majulah, semata-semata hanya untuk mengabdi, ujarnya Prijanto seperti disampaikan Ronny. Hal itu disampaikan saat acara tatap muka gubenur dan wakil gubenur DKI terpilih dengan warga etnis minoritas Tionghoa se-Jabotabek, LSM dan Parpol di Jakarta, belum lama ini. Prijanto, katanya, berpesan agar maju dengan perasaan dan pikiran yang tulus dan ikhlas. Bahkan, sebelumnya Bakal calon wakil walikota Bekasi, Ronny Hermawan dan bersama calon walikota Singkawang, yang sama-sama dari etnis minoritas, Hasan Karman, oleh panitia sempat di daulat naik panggung untuk menyampaikan pesan dan kesannya. Saya maj! u dalam Pilkada Kota Bekasi semata-mata karena dorongan masyarakat Bekasi yang sangat terbuka. Dengan niatan tulus juga, saya sebagai anak bangsa dengan ihlas saya akan mengemban amanah tersebut, guna melakukan pembangunan di Kota Bekasi, kata Ronny [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: #sastra-pembebasan# Sejarawan Ong Hok Ham Tutup Usia
Sumber: www.myrmnews.com Sejarawan Ong Hok Ham Tutup Usia Jumat, 31 Agustus 2007, 07:56:18 WIB Jakarta, myRMnews. Ong Hok Ham, sejarawan terkemuka Indonesia, meninggal dunia kemarin petang. Pak Ong -panggilan akrab Ong Hok Ham- tutup usia pada umur 74 tahun setelah berjuang melawan penyakit stroke yang dideritanya sejak 2001. Bambang, keponakan mendiang, menuturkan bahwa Pak Ong meninggal pada pukul 18.00 di kediamannya, kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur. Oleh keluarga, jasad doktor sejarah lulusan Yale University, Amerika Serikat, itu dibawa ke RS Mitra Keluarga untuk divisum. Sampai berita ini diturunkan pada pukul 24.00, jasad Pak Ong masih disemayamkan di ruang jenazah RS Dharmais. Direncanakan, jenazah mendiang akan dibawa ke rumah persemayaman Dharmais No E dan F, Jalan S. Parman, Slipi, sekitar pukul 11.00. Saat wartawan koran ini mendatangi rumah Pak Ong di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, tadi malam, keadaan sepi. Hanya ada beberapa tetangga dan keluarga dekatnya. Penyakit stroke memang memaksa Pak Ong beraktivitas di atas kursi roda sebelum meninggal. Saat wartawan koran ini, Ridlwan Habib, berkunjung ke rumahnya akhir tahun lalu, Ong Hok Ham tak terlihat patah semangat. Meskipun tubuhnya terlihat kurus, ilmuwan kelahiran Surabaya itu masih aktif menulis dan menjadi jujukan para peneliti dan sejarawan muda. Saya masih menulis, baca buku, baca koran, dan melayani wawancara, kata Pak Ong saat ditanya tentang aktifitasnya saat itu. Dosen ilmu sejarah Universitas Indonesia yang pensiun pada 1989 itu masih aktif melayani peneliti dan mahasiswa yang berkunjung ke rumahnya. Setiap hari ada saja bekas mahasiswa mulai angkatan 1978 hingga 1990 yang menjenguk. Selain itu, penulis buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa itu juga masih antusias mengikuti perkembangan berita aktual di masyarakat. Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru saja disahkan tahun lalu. Itu bukan sebuah terobosan baru, seharusnya sejak dulu. Prinsipnya ius soli, berdasar tempat lahir. Bukan darah, bukan keturunan, katanya. Pak Ong memang paham benar soal diskriminasi. Panjang jalan sudah dilalui anak pertama Ny Tan Siang Tjia itu sebelum akhirnya tumbuh menjadi sejarawan dengan spesialisasi sejarah Jawa sekitar abad ke-19. Menyelesaikan pendidikan di HBS Surabaya, Ong melanjutkan ke SMA di Bandung. Singgah sebentar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Ong muda pindah ke Fakultas Sastra, masuk Jurusan Sejarah dan selesai pada 1968. Gelar doktor diraihnya pada 1975 dengan disertasi berjudul The Residency of Madiun; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century. Sifat ulet dan bersemangat Pak Ong diakui murid dan koleganya. Salah satunya adalah Andi Achdian. Kandidat doktor di Universitas Nottingham itu mengaku salut dengan komitmen mendiang gurunya dalam menjelaskan sejarah. Bapak selalu memulai dengan bertanya apa amarahmu terhadap masalah ini, katanya. Ong, kata Andi, juga kurang suka unggah-ungguh yang formal dan birokratis. Kami tidak pernah dianggap murid, tapi teman, tambahnya. Menurut Andi, yang paling unik adalah keahlian Ong mengenal karakter orang. Bapak bisa mengenal watak orang dengan hanya melihat matanya. Tiba-tiba, dia sudah bilang orang ini pemberani atau pengecut, orang ini jujur atau tidak. Ini bagi saya luar biasa, katanya. Untuk mengenang ketokohan Ong Hok Ham, Andi dan beberapa kawannya berencana mendirikan Ong Hok Ham Institute. Lembaga ini diharapkan menjadi learning centre (pusat pembelajaran) yang terbuka bagi siapa saja. jpnn - Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join Yahoo!'s user panel and lay it on us. [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [i-s] Malaysia: Overcoming ethnic fears
- Original Message - From: ariel_heryanto To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 27, 2007 8:37 AM Subject: [i-s] Malaysia: Overcoming ethnic fears http://www.asiaviews.org/?content=45tyg70tukmh098infocus=20070823043241 Malaysia: Overcoming ethnic fears AsiaViews, Edition: 30/IV/August/2007 If ethnic controversies have become more pronounced in Malaysia, it is partly because ethnic consciousness has been increasing among all communities since the early seventies. Within the Malay community, the New Economic Policy (NEP) was partly responsible for this. So was Islamic resurgence which in a sense was linked to the NEP since rapid Malay urbanization in those decades reinforced the community's attachment to certain religious forms, symbols and practices that set it apart from the non-Muslim communities in the country. By and large, they tend to be exclusive and ethnic-centered in their outlook and approach, now strengthened by the global environment. The subjugation and oppression of Muslims in various parts of the world, often accompanied by their stigmatization and demonization, are much starker today than ever before, creating a situation where Muslims are convinced that they are under siege. Among the non-Malays and non-Muslims, negative reactions to both the NEP and Islamic resurgence have resulted in an upsurge of commitment to their own ethnic identities and interests. There are quite a few non-Malays in various sectors of society who partly because of their own experiences with the NEP in particular bear deep communal grudges which are not conducive towards social harmony. It is resentment whose significance cannot be underestimated since a huge portion of the Chinese and Indian populace is already third or fourth generation Malaysian and therefore more conscious of the promise of equality embodied in the nation's Constitution. These attitudes have been further aggravated by the situation in the school system. With the switch from English to Malay as the main medium of instruction in national schools in the early seventies, the vast majority of Chinese in the 7 to 12 age group now attend state run Chinese primary schools, thus depriving themselves of the opportunity to mix with Malay and Indian Malaysians at a critical stage of their lives. As with the Malays, there are also global forces impacting upon the non-Malay mind. Islamic and Muslim demonization is often accepted as the truth by many non-Muslims and non-Malays in the country. They refuse to see demonization as a tool, employed by the powerful to not only denigrate their adversaries but also to camouflage their own hegemonic designs over the land and resources of the demonized. It is important to emphasize that there are also some perennial forces at work which tend to keep the ethnic temperature high. The political manipulation of ethnic sentiments is one such force. It has been shown that in most multi-ethnic societies politicians on both sides of the government-opposition divide just cannot resist the temptation of exploiting ethnic issues in order to enhance their electoral standing, sometimes to conceal and camouflage widening income disparities and social iniquities within a particular community. The fears The fundamental fears of the Malays are linked, directly or indirectly, to their position in what was historically a Malay polity. They are afraid that in spite of all the constitutional provisions and public policies, they could one day lose control over their own land because of their perceived inability to compete with the economically more robust Chinese. If that happens, not only will the Malays cease to be politically preeminent but some of the principal Malay characteristics of the Malaysian nation would also be jeopardized. This fear has acquired an added dimension in recent times due to the rapid economic globalization and Malaysia's own position as an open economy in this increasingly borderless world. The pressures upon the Malay community to compete in both the domestic and international arenas have multiplied. Sections of the non-Malay communities also have their own particular fears. They have for a long while complained about discrimination against them and they regard the NEP and the constitutional provisions that underlie the policy as inimical to the interests of the non-Malays. They are equally concerned about what they perceive as their lack of political clout. UMNO, they feel, dominates the ruling Barisan Nasional. Some non-Malays are also of the view that their languages, cultures and religions are not accorded the prominence they deserve. A significant segment of the non-Malay populace has concluded from all this that Chinese, Indians and other non-indigenous Malaysians are 'second-class citizens'. Assuaging the fears To assuage these fears within
[budaya_tionghua] Fw: #sastra-pembebasan# Beri Kesempatan Etnis Tionghoa Masuk Birokrasi
- Original Message - From: HKSIS To: HKSIS-Group Sent: Monday, August 27, 2007 8:33 PM Subject: #sastra-pembebasan# Beri Kesempatan Etnis Tionghoa Masuk Birokrasi SUARA PEMBARUAN DAILY -- Beri Kesempatan Etnis Tionghoa Masuk Birokrasi [JAKARTA] Pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua lapisan masyarakat Indonesia, termasuk etnis Tionghoa, untuk bekerja di semua bidang dan profesi, seperti birokrasi, lembaga penegak hukum, bidang politik, sosial dan ekonomi. Secara hukum, etnis Tionghoa sudah tidak dianaktirilkan lagi. Tapi, dalam praktik di lapangan, sampai sekarang ini, etnis Tionghoa dianaktirikan, seperti dalam pelayanan birokrasi, termasuk untuk masuk dalam birokrasi, kata anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta SH, dalam seminar yang diselenggarakan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) DKI Jakarta bekerja sama dengan Harian Umum Suara Pembaruan, International Daily News dan Megaglodok Kemayoran di Jakarta, Sabtu (25/8). Hadir juga pembicara lain seperti Commitee Against Racism in Indonesia Dr Siauw Tiong Djin; sosiolog senior Mely G Tan; ekonom dan kolumnis Christianto Wibisono; ekonom Faisal Basri; dan Komisioner Komnas HAM, Stanley Yosep Adi Prasetyo. Tampil sebagai pembicara kunci adalah mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dikatakan, persamaan di depan hukum harus diintepretasikan secara dinamis dan bukan statis sehingga perlakuan sama di depan hukum juga diakui. Menurut Frans, selama masa Orde Baru etnis Tionghoa diperlakukan diskriminatif dengan hukum sebagai alat untuk membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa. Ini membuat etnis Tionghoa terkucil dan menjadi apolitis sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif pada waktu itu, kata Frans. Hal seperti ini, kata Frans, didukung ABRI, terutama Angkatan Darat (AD) yang dalam kampanye antikomunis, telah menyamakan etnis Tionghoa sebagai kelompok yang bersimpati terhadap komunisme. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tinghoa diisolasi dari kegiatan politik. Dia menjelaskan, Undang-undang (UU) No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, semakin memperjelas status etnis Tionghoa dalam kebangsaan Indonesia. Lewat UU tersebut, etnis Tionghoa diakui sebagai pribadi yang berkebangsaan Indonesia tanpa memandang suku maupun etnis. Melalui UU itu kemajemukan bangsa Indonesia dihargai bahkan diakui pemerintah sebagai ciri yang utama, kata dia. Namun, katanya, UU Kewarganegaraan RI itu tidak serta merta menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan di Indonesia. Sebab, masalah kewarganegaraan adalah masalah yang sangat kompleks, sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan waktu yang panjang. Masih perlu dibentuk peraturan pelaksana dari UU Kewarganegaraan RI itu. Selain itu, perlu sosialisasi ke masyarakat dan tingkat birokrasi karena birokrasi cenderung korup dan masyarakat cenderung apatis. Politik Frans mengatakan, agar masyarakat etnis Tinghoa tidak diperlakukan diskriminatif dan mempunyai daya tawar maka disarankan bergabung dalam organisasi, terutama partai politik. Sudah saatnya kita berjuang dalam politik. Tanpa itu, kita diremehkan bahkan terus ditindas, kata Frans. Frans meminta masyarakat Tionghoa, agar globalisasi tidak boleh kebablasan dalam mengartikan kebebasan untuk menerapkan budaya serta bahasa Tionghoa. Sebagai warga negara Indonesia, etnis Tionghoa harus menjunjung tinggi nilai-nilai di Indonesia, seperti menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat dan organisasi Tionghoa harus menunjukan sikap loyal kepada Indonesia, mentaati hukum dan peraturan di Indonesia. Ketua PD Perhimpunan INTI DKI, Benny G Setiono juga mengutarakan hal yang sama bahwa organisasi-organisasi Tionghoa harus berorientasi ke bumi Indonesia. Organisasi Tionghoa harus membawa seluruh anggotanya masuk ke dalam arus utama bangsa Indonesia tanpa menanggalkan identitas ke-Tionghoaannya dan bergandeng tangan dengan seluruh kompenen bangsa lainnya membangun bangsa dan negara. Sedangkan Dr Siauw Tiong Djin mengatakan, komunitas Tionghoa harus tetap menyadari, Indonesia adalah tanah airnya. 'Kita lahir, hidup dan dikubur di Indonesia. Aspirasi rakyat Indonesia hendaknya dijadikan aspirasi komunitas Tionghoa, kata dia. Siauw juga meminta, agar komunitas Tionghoa mengintegrasikan diri ke dalam tubuh bangsa Indonesia dan secara aktif turut memperjuangkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Anggapan dan harapan bahwa komunitas Tionghoa bisa dilindungi hanya dengan bangkitnya RRT sebagai kekuatan ekonomi raksasa tidak tepat, kata dia. [E-8] -- Last modified: 27/8/07 [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [i-s] Chinese language proficiency and the politics of identity
- Original Message - From: ariel_heryanto To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 27, 2007 8:40 AM Subject: [i-s] Chinese language proficiency and the politics of identity The Jakarta Post, 29 July 2007 Chinese language proficiency and the politics of identity Aimee Dawis, Jakarta The mastery of Chinese has always eluded me, even though learning the language has always been part of my life. When I was six, my parents made me take Chinese lessons with a private tutor at home. I dreaded those sessions because I could never remember the right way to pronounce and write the complex Chinese characters. Moreover, there was never an opportunity for me to use the language after the lessons ended. We spoke only Indonesian at home and in society, which forbade the formal teaching and learning of Chinese in school and suppressed all forms of Chinese cultural expressions due to the policy of assimilation that lasted from 1966 until 1998. Under the assimilation policy, the Indonesian government closed all Chinese-language schools and ruled that children of Chinese descent must enroll in Indonesian-language schools. In these schools, Chinese children were to learn Indonesian history, politics, and social practices alongside their Indonesian peers. Besides closing the schools, the use of Chinese characters in public places, the importation of Chinese-language publications, and the public celebration of the Lunar New Year, were prohibited. These restrictions affected the lives of a whole generation of Indonesian-Chinese people. Some members of this generation, including myself, refer to themselves as the generasi kejepit (the suppressed generation) because, unlike their parents, the vast majority of them cannot read or write in Chinese. It was not until I was 10 and living in Singapore that I picked up the language simply by living in that country. I watched countless Mandarin serials on TV and spoke Mandarin at home with my grandmother, who has an excellent command of Mandarin, along with three other Chinese dialects such as Hakka, Cantonese and Hokkien. I could even carry on simple conversations with hawkers and shopkeepers in Chinatown. Although I became conversationally fluent, I was still not literate in the language. Upon my arrival in Singapore, I continued having Chinese lessons at home. However, I did not learn the language at school because my parents were concerned about my inability to speak both English and Mandarin. The educational curriculum in Singapore mandates all students to learn English as their first language and a choice of Chinese, Malay or Tamil as their second language. Taking this requirement into consideration, my parents decided that I would make an easier transition into the Singapore educational system by focusing on English and Malay (a language that is very similar in structure and pronunciation to Bahasa Indonesia) as my second language. Mandarin lessons, they reasoned, could still be taken at home. Without the urgency and need to learn the language seriously, my parents agreed that I should direct my attention to real school work instead. I soon abandoned the lessons. There were times when I felt deep pangs of regret for not knowing how to read Chinese characters. Once, when I was in grade five, someone handed out free Chinese newspapers. He automatically gave me a copy because I looked Chinese and presumably knew how to read Chinese characters. As my classmates excitedly flipped through the pages and read the stories, I slumped in my seat and stared at the jumble of characters that meant nothing to me. On another occasion, one of my classmates showed me a copy of a Chinese comic book and asked me what I thought about a story depicted on one of the pages. When I told her I could not read the characters, she looked at me pityingly and shook her head. Deep inside, I felt angry and ashamed for not knowing how to read Chinese but being 12, I could not tell my friend what I truly felt and kept quiet instead. My sharp pangs of regret and shame were joined with profound longing when I went to Hong Kong and could not read the street signs and billboards of that vibrant city. Thankfully, this generation of Indonesian Chinese does not have to bear the deep sense of cultural loss that members of my generation endured during the Soeharto era. When Abdurrahman Wahid was in power as the President of Indonesia from November 1999 to August 2001, he spearheaded efforts to end discrimination against the Indonesian Chinese population. The first step that he took was to revoke Presidential Instruction Number 14 of 1967, which restricted the practice of Chinese customs and religions to the private domain. He formalized this by signing Presidential Instruction Number 6 of 2000, which allows the public celebration of the Chinese New Year. Under Megawati, the Chinese New Year was made a national holiday from
[budaya_tionghua] Fw: Erabaru News Minggu 26 agustus 2007
Asal Usul Tradisi Bacang (Hari Peh Cun) - Original Message - From: Jesse Jopie Rotinsulu Jr To: Jesse Jopie Rotinsulu Jr Cc: Akmal_Hasan ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 27, 2007 9:22 AM Subject: Erabaru News Minggu 26 agustus 2007 Erabaru News Minggu 26 agustus 2007 -- Kini Erabaru (Epochtimes) Bekerjasama dengan NTDTV, stasiun TV Internasional, menyajikan Berita+Video yang dapat ditonton Pembaca di Internet (dalam Bahasa Indonesia) Lihat di halaman depan website erabaru pada bagian kanan (Kolom Berita+Video), atau langsung dapat didownload pada link di newsletter ini. File Size Video hanya kurang lebih 1 MB, Waktu Download kurang lebih 1-2 menit saja -- Sejarah Budaya Tiongkok: Asal Usul Tradisi Bacang (Hari Peh Cun) (Erabaru.or.id) - Menurut penanggalan Imlek, tanggal 19 Juni adalah hari Duan Wu, mungkin kalau di Indonesia lebih dikenal sebagai hari Peh Cun yang terkenal akan Bacang-nya. Menurut tradisi orang Tionghoa, Peh Cun termasuk salah satu dari tiga hari besar orang Tionghoa selain hari raya Imlek dan hari raya Tiong Jiu (kue bulan). Walaupun perayaan ini sudah berlangsung, tidak ada salahnya kita mengenal lebih dekat tentang makna dan latar belakang hari besar budaya Tiongkok ini. Duan 「端ã€adalah singkatan dari Kai Duan「開端〠yang bermakna awal Chu「åˆã€, orang zaman dulu menyebut tanggal 1 sebagai Chu Yi 「åˆä¸€ã€, maka tanggal 5 sebagai sinonimnya: Duan Wu 「端五ã€. Orang kuno juga biasa menyebut 5 / Wu seba gai siang hari Wu Ri 「åˆæ—¥ã€, maka dari itu bulan 5 tanggal 5 juga dinamakan Duan Wu 「端åˆã€. Mengenang Qu Yuan Kebiasaan adat istiadat yang berkaitan dengan hari Duan Wu tidak sedikit, mengenai asal usulnya terdapat tidak hanya 1 dongeng saja, umumnya diperkirakan hari Duan Wu berawal dari peringatan Qu Yuan (baca: chu yuen) hingga tersebar luas. Konon pada masa Zhan Guo (Negara Saling Berperang, tahun 403 – 221 SM), Raja Chu Huai menolak prakarsa Qu Yuan untuk berkoalisi dengan Negara Qi dan berperang melawan Qin, namun diperdayai oleh Zhang Yi ke Negara Qin, ia dipaksa merelakan wilayah berikut kota-kotanya. Raja Qu Huai selain merasa dipermalukan juga terhina, menjadi risau hatinya dan tak lama terserang penyakit dan mangkat di Negara Qin. Qu Yuan Qu Yuan yang setia lagi-lagi mengusulkan secara tertulis kepada sang pengganti: Raja Qing Xiang, dengan harapan beliau bisa menjauhi para pejabat pengkhianat, akan tetapi Raja Qing Xiang selain tidak bisa menampung aspirasi tulus Qu Yuan, malah membuangnya. Negara Qin melihat peluang sudah matang dan dengan segara mengirimkan bala tentara, dalam waktu singkat maka Negara Qu telah kehilangan sebagian besar teritorialnya, rakyatnya dibantai. Qu Yuan yang masih setia, menyaksikan semuanya ini, hatinya bagaikan teriris, dalam kesedihan yang amat sangat maka pada tahun 278 SM, kalender Imlek tanggal 5 bulan 5, dia bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mi Luo. Para nelayan mendengar berita tersebut menggunakan perahu berusaha meng entas jenazah Qu Yuan namun gagal, maka akhirnya mereka berbondong-bondong menceburkan makanan ke dalam sungai, dengan harapan agar para ikan, udang dan kepiting sesudah makan kenyang tidak sampai mengganggu jenazah Qu Yuan. Dongeng tersebut secara cerdik dan pas dikaitkan dengan tradisi makan kue Bacang, lomba perahu naga dan lain sebagainya dengan meloncatnya Qu Yuan ke dalam sungai. Hari Raya Naga Cendekiawan patriot terkenal, Tuan Wen Yiduo di dalam tesisnya “Kajian Duan Wu†berpendapat: Suku bangsa kuno Yue menjadikan naga sebagai totem mereka, kala itu karena orang-orang merasa terancam kekuatan alam, beranggapan suatu makhluk memiliki kekuatan alami supranatural, oleh karena itu menganggap makhluk-makhluk tersebut adalah leluhur dan dewa pelindung seluruh suku mereka, yang di zaman kini disebut se bagai “Totem Nagaâ€. Maka mereka menato makhluk berupa naga pada tubuhnya dan di atas peralatan sehari-harinya, agar memperoleh perlindungan dari Totem Naga, demi menunjukkan bahwasanya mereka berstatus “anak nagaâ€, mengokohkan hak dilindungi bagi dirinya sendiri. Mereka tidak saja bertradisi memotong rambut dan menato tubuh, bahkan pada setiap tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek, mengadakan sebuah persembahan besar Totem Naga. Di antaranya terdapat permainanyang mirip dengan perlombaan pada dewasa ini, itulah asal usul tradisi lomba naga ketika dimulai. Namun lomba perahu naga bukan hanya
[budaya_tionghua] Fw: [WongBanten] Fw: [HKSIS] Fw: UNDANGAN SEMINAR
yang ringan ringan.. - Original Message - From: dian agusdiana To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 27, 2007 1:17 PM Subject: Re: [WongBanten] Fw: [HKSIS] Fw: UNDANGAN SEMINAR bentul kang! percampuran antara sunda dan tionghoa sudah dimulai sejak jaman dahulu. Pangeran Koneng juga seorang tionghoa yang kemudian menjadi cikal bakal daerah kuningan jawabarat. makanya orang2nya keliatan saripit, garanteng (saperti saya) dan cantik-cantik hihihi --- Risyaf Ristiawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan sampe deh ada orang Indonesia bicara rasialis, sebab terus terang saja, isteri saya adalah etnis tionghoa, kuning kulitnya, cantik rupanya, lemah lembut tutur bahasanya dan ramah perangainya, tambah aku CINTA BANGET, dan seorang muslimah yang Insya Allah isteri solehah serta sudah dikaruniai tiga orang anak. Mo nambah lagi, tapi cukup tiga saja. (Bukan mo ikutan program KB coy). - Original Message From: KIDYOTI [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, August 23, 2007 7:06:42 AM Subject: [WongBanten] Fw: [HKSIS] Fw: UNDANGAN SEMINAR - Original Message - From: Benny Setiono To: HKSIS-Group Sent: Wednesday, August 22, 2007 12:48 PM Subject: [HKSIS] Fw: UNDANGAN SEMINAR - Original Message - From: Benny Setiono To: Yap Hong Gie Sent: Wednesday, August 22, 2007 12:18 PM Subject: UNDANGAN SEMINAR UNDANGAN SEMINAR. - Presiden Abdurrahman Wahid telah mencabut peraturan-peraturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, Presiden Megawati telah menjadikan Imlek hari libur nasional dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengembalikan agama Khonghucu menjadi agama resmi di Indonesia. Sementara itu Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia N0.12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA dan tidak ada lagi istilah pribumi dan non pribumi dan Undang-undang N0.23/2006 telah membatalkan seluruh UU dan Staatblad diskriminatif peninggalan Belanda yang yang telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia. Dengan demikian hampir seluruh peraturan-peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa telah dihapus. - - Selaras dengan hal-hal tersebut di atas, berkembangnya globalisasi dan berkembangnya RRT menjadi sebuah kekuatan ekonomi, politik dan militer dunia menuju Super Power dan semakin eratnya hubungan persahabatan pemerintah RI dan RRT telah menjadi batu ujian bagi loyalitas seluruh etnis Tionghoa di Indonesia.Bagaimana seluruh etnis Tionghoa di Indonesia melalui organisasi-organisa sinya harus bersikap ? Untuk menjawabnya Pengurus Daerah Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) DKI Jakarta mengundang Tuan/Nyonya/Saudara/ Saudari untuk menghadiri Seminar sehari penuh dengan thema MENGHADAPI GLOBALISASI, ORGANISASI TIONGHOA INDONESIA MAU KEMANA ? Pada Sabtu 25 Agustus 2007 am 09.00 - 16.30. Bertempat di Function Hall Mega Glodok Kemayoran (MGK) lantai 3 Jl.Angkasa Kav.B6. Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta 10610. ACARA : 08.30 - 9.00 Registrasi/Welcome Coffee 09.00 - 9.05 Indonesia Raya. 09.05 - 09.15 Sambutan Rachman Hakim (Ketua Umum INTI) 09.15 - 09.30 Keynote Speech Prof.Dr.Gumelar Rusliwa Somantri (Rektor UI) * SESI I. Moderator : Lisa Suroso (Pemred majalah Suara Baru). 09.30 - 09.55 DR.Siauw Tiong Djin (Comitee Against Racism in Indonesia ), Melbourne , Australia . Dari Perspektif Sejarah. 09.55 - 10.20 DR.Mely G.Tan (Sosiolog Senior). Dari Perspektif Sosial. 10.20 - 10.45 Drs.Christianto Wibisono (The Global Nexus Network). Dari Perspektif Global. 10.45 - 11.10 Ir.Budi S.Tanuwibowo (Ketua Umum Matakin,Sekjen Perhimpunan INTI). Dari Perspektif Kebangsaan. 11.10 - 12.00 Tanya Jawab. 12.00 - 13.00 Makan Siang. 13.00 - 13.30 Sambutan K.H.Abdurachman Wahid.* SESI II Moderator : DR.Sukardi Rinakit (Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate). 13.30 - 13.55 Frans Hendra Winarta SH. (Komisi Hukum Nasional) Dari Perspektif Hukum. 13.55 - 14.20 Drs.Faisal Basri (Ketua Umum Pergerakan Indonesia ). Dari Perspektif Ekonomi. 14.20 -14.45 Ir.Stanley Yosep Adi Prasetyo (Komisioner Komnas HAM) Dari Perspektif Keamanan dan HAM. 14.45 - 15.20 Sudhamek AWS (CEO Garuda Food) Dari Perspektif Pengusaha. 15.20 - 15.45 Benny G.Setiono (Ketua PD Perhimpunan INTI DKI Jakarta ). Dari Perspektif Visi dan Misi Perhimpunan INTI. 15.45 - 16.30 Tanya Jawab. * Dalam konfirmasi. __ Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today! http://surveylink.yahoo.com/gmrs/yahoo_panel_invite.asp?a=7 __ Luggage? GPS? Comic books? Check out fitting gifts for grads at Yahoo! Search http://search.yahoo.com/search?fr=oni_on_mailp=graduation+giftscs=bz [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [iscab] Press Release: Diskusi dan Pameran Dwitunggal dan Pemuda Revolusioner
- Original Message - From: Bintang Yasser SOEPOETRO To: [EMAIL PROTECTED] ; HeMan UI ; Iscabus Groups ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 27, 2007 3:35 PM Subject: [iscab] Press Release: Diskusi dan Pameran Dwitunggal dan Pemuda Revolusioner PRESS RELEASE DISKUSI DAN PAMERAN PHOTO ESSAY DWI TUNGGAL DAN PERAN PEMUDA REVOLUSIONER DI SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945 Belakangan ini kita sering mendengar pemberitaan dan upaya-upaya untuk menggugah simbol-simbol kenegaraan Republik Indonesia, seperti amandemen UUD 45 (haruskah ada gerakan kembali ke UUD 45 untuk kedua kalinya?), masalah Pancasila sebagai dasar negara, dan terakhir mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemerdekaan yang kita peroleh, bukan hasil dari membalikan telapak tangan, melainkan perjuangan tanpa henti yang tidak hanya dilakukan oleh Soekarno dan Hatta yang dikenal sebagai Dwi Tunggal Proklamator, tetapi juga upaya keras dari anak bangsa, pemuda dan pemudi yang peduli akan nasib bangsa ini dan mau berjuang mengupayakan terbentuknya negara sendiri. Perjuangan itu adalah sebuah proses, dan seringkali orang hanya melihat dan menilai dari hasil akhirnya saja, bukan hanya pada pengkultusan tokoh (Dwi-Tunggal misalnya) tetapi juga pada situs-situs perjuangan dimana (misalnya) Rengas Dengklok dianggap menjadi situs terpenting dari perjuangan kemerdekaan. Pada kenyataannya, dibalik munculnya pengkultusan tokoh dan penentuan tempat bersejarah dalam memperjuangkan kemerdekaan, banyak terdapat peran pemuda dan beberapa situs perjuangan yang penting. Tokoh-tokoh yang dimaksud tentu saja para pemuda yang dengan sadar dan pertimbangan matang, memilih Soekarno dan Hatta sebagai penandatangan naskah proklamasi kemerdekaan. Para pemuda ini lah yang mendorong juga Soekarno untuk hadir di lapangan IKADA, dibawah moncong senjata Belanda dan Jepang. Sementara itu, rapat-rapat pemuda dan upaya mencapai kemerdekaan, bukan dilakukan di Rengas Dengklok, melainkan di seputaran kawasan Menteng dan Cikini, antara lain Menteng 31, Cikini 71 dan Pegangsaan, serta terakhir adalah lapangan IKADA (Monas). Inilah situs-situs perjuangan yang terpenting dalam usaha mencapai kemerdekaan, namun seakan-akan tidak mendapatkan tempat yang layak dalam peta sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebagai generasi muda, kami ingin mengetahui bagaimana peranan para pemuda tersebut, yang tidak mendasarkan pada bahan-bahan sejarah semata, tetapi juga dari kisah nyata dalam bentuk oral history. Oral history ini bisa diperoleh dari para tokoh pejuang yang mewakili perspektifnya masing-masing, baik yang masih hidup maupun dari keturunannya atau saksi sejarah lainnya. Besar harapan kami dari diskusi ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh, dan tempat-tempat penting dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan, yang nantinya akan dibukukan menjadi catatan sejarah tersendiri tentang proses perjuangan kemerdekaan RI. Sudah sepatutnya para pemuda dan tempat-tempat penting yang menjadi tulang punggung kemerdekaan RI mendapatkan tempat yang layak dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, bukan hanya Dwi Tunggal dan Rengasdengklok. --- Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI), bekerjasama dengan Museum Joang 45, mengundang surat kabar/majalah/televisi/radio yang Bapak/Ibu pimpin untuk hadir dan meliput acara diskusi bertema Dwi Tunggal dan Peran Pemuda Revolusioner di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 1945. Hari/ Tanggal: Kamis, 30 Agustus 2007 Waktu : 15.00 - 17.30 WIB Tempat : Gedung Joang 45 ! ; nb sp; Jl. Menteng Raya No.31 Jakarta Keynote Speech : Ibu Meutia F. Swasono. Pembicara I : Rushdy Hoesein (Sejarawan UI) Pembicara II : Ermil Thabrani (Putra pejoang Angkatan '45) Pembicara III: Prf. Dr. Susanto Zuhdi (Sejarawan UI) Pameran Photo Essay akan menampilkan 50 Frame photo essay mengenai perjalanan Dwitunggal Soekarno-Hatta dan Perjalanan para Pemuda Revolusioner dan hubungan Dwitunggal dan para Pemuda. Jika diperlukan, informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui Wieke Dwiharti (Sekretaris FKAI), yang dapat dihubungi melalui telepon: (021) 70243304, HP: 081 183 1437, atau email: [EMAIL PROTECTED] Panitia Pelaksana Sick sense of humor? Visit Yahoo! TV's Comedy with an Edge to see what's on, when. [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [i-s] Racism within Asia
- Original Message - From: ariel_heryanto To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 27, 2007 8:33 AM Subject: [i-s] Racism within Asia http://www.asiaviews.org/?content=45tyg70tukmh098infocus=20070823043719 Racism within Asia AsiaViews, Edition: 30/IV/August/2007 In recent months, there has been much discussion in the media here about how Singapore could cope with a large migrant population from other parts of Asia if the country is going to aim for a population of 6.5 million within the next decade. Though the question of race relations has not overtly being discussed, yet, it is what we are referring to when we talk about integration, etc. Asians seem to be very reluctant to talk about race relations or racism within their societies, but are quick to point fingers at the West. A couple of months ago, there was ample coverage given, especially in Singapore, to an episode of `Big Brother' TV program in Britain in which Indian Bollywood actress Shilpa Shetty was the butt of racist comments. Reading these reports, particularly in the Singaporean press, I could not resist the thought, what's the big deal, is it not present here? This is particularly after some experience I've had here around the same time when I was looking to rent a condo apartment and was told not once but five times by housing agents that the owner did not want to rent to Indians. Some letters to the editor written by Indian expatriates published in `Today' newspaper about 2 months later indicated that this is a widespread practice here. I have raised this issue with Singaporeans recently and the usual response with the shrug of the shoulders is well, racism exists everywhere so what can we do about it? In one of the popular expat forums on the Internet here, when I raised this point there was a heated debate which developed that reflected this attitude. One typical comment by a Singaporean professional woman in her 30s was: No, housing agents are not racists, but local house owners may have pre-stated their preference to the agents representing them of not renting to Indians on account of Indian cooking involving very pungent spices that makes the house smell. When I responded: This is what I said, it is a racist attitude to think that anyone of color cooks spicy food at home and smells. Her reply was: It is not my intention to make excuses, I'm merely stating the facts. Singapore has often boasted about the harmonious multicultural society they have created where Chinese, Indians, Malays, Eurasians, Filipinos, etc, live in harmony. But, what has transpired in the `blogsphere' in recent years indicates that not everything is rosy under the surface. Coming back to my experience, when I questioned the housing agents for the reasons for refusing to rent to Indians I was told that because they cook with such aroma, it leaves a bad smell in the house long after they have left. I pointed out that (a) I'm not an Indian, but a Sri Lankan-born Australian (b) I don't usually cook at home because I live on my own. One agent told me that doesn't matter, you look Indian, all the same. This is exactly what is called stereo-typing a process which is described in any cross-cultural communication textbooks as those overgeneralized and over simplified beliefs we use to categorize a group of people (which) have a tendency to make a claim that often goes beyond the facts, with no valid basis. At a time when Singapore is looking towards India-an emerging world power-to develop closer economic ties, and with increasing number of Indian professionals coming here to work and many even taking up PR here, it is an opportune time for Singaporean educational authorities to take a closer look at how the educational system could be utilized to address this problem of stereo-typing and racism. It does not apply only to Indians, I have noted that Filipinos, Indonesians and Thais to name a few, are also effected by such racial stereotyping. I must also add that racist attitudes towards other Asians are not peculiar to Singaporeans. Even Malaysia's recent treatment of its migrant laborers from Indonesia and Bangladesh in particular has been described by some observers as racist. A few years ago, when I arrived in Hong Kong for the first time I noticed that their customs checked the bags of all the people of color arriving there and not the Chinese nor the Caucasians. This was before the 9/11 event. After that I have observed that they do the same at Bangkok airport. Over the past 25 years I have been to Bangkok over 30 times. Since the 9/11 event I have been there about 6 times and each time they have called me up and checked my bags, even though I was passing through the green line and I've noticed that they only check the bags of colored people, especially with South Asian appearance. Obviously they
Fw: [budaya_tionghua] Fw: [tourismindonesia] China Trip: Makanan .... Sulitnya mencari makanan china di china ....
- Original Message - From: Sunny To: Undisclosed-Recipient:; Sent: Saturday, August 25, 2007 3:25 AM Subject: [budaya_tionghua] Fw: [tourismindonesia] China Trip: Makanan Sulitnya mencari makanan china di china - Original Message - From: Dandossi Matram Sent: Friday, August 24, 2007 6:08 PM Subject: [tourismindonesia] China Trip: Makanan Sulitnya mencari makanan china di china Believe it or not , kita sempat kesusahan mencari restaurant makanan china di china !!! Masak sih? Iya beneran, nggak bohong .!!! -- Perjalanan kami lebih dominan ke pelosok china ketimbang ke kota besar, selain itu pelosok yg kami pergi adalah daerah yang mayoritas didiami oleh etnis minoritas seperti suku uighur (muslim) di Xinjiang (silk road) juga suku Tibet dan Mui (muslim yg berasal dari pakistan/india tapi wajah china) di Propinsi Gansu. Karena di pelosok, jangan bayangkan keberadaan mall atau shoping center, yg ada hanya super market model jadul (jaman dulu) di Indonesia atau model pasar tanah abang 25 tahun yg lalu . tapi rapih lho Masakan suku2 minoritas itu umumnya berunsur kambing atau sapi dan roti. Apapun yg kita makan pasti ada unsur kambing. Sate kambing, mie kambing, instant noodle rasa kambing . pokoknya semuanya kambing sampai bau lingkungannya juga kambing !!! Hari pertama sih masih senang menjadi pecinta makanan lokal (gastronomic???), tapi setelah itu, rasanya mulai kebal dan akhirnya malah jadi trauma dgn segala unsur yg berbau kambing . Di saat itu, ajaibnya suka langsung timbul halusinasi makanan indonesia seperti soto ayam Sadi, nasi padang, sayur lodeh, rendang daging ... yg uenaaak itu Di Xinjiang maupun Gansu, yg namanya (pemilik) restaurant, mayoritas adalah milik suku2 minoritas tersebut. Padahal kita habiskan waktu kita sekitar 14 hari di daerah itu. Makanan ini menjadi masalah besar krn di daerah itu, kita sangat kesulitan mencari makanan alternatif, karena jarangnya restaurant china, western, apalagi warteg .. Kalaupun mungkin ada, kita suka kesulitan membedakan apakah restaurant itu milik suku minoritas ataukah milik suku Han (china), krn tulisan restaurannya semua dlm huruf china. Kalau di Propinsi Gansu, membedakannya masih agak lebih mudah antara muslim sama tidak, yaitu kalau milik muslim selalu ada lambang gambar mesjidnya. Selain itu juga bisa dilihat dari ada tidak topi putih? Kalau pengelola pakai topi putih pasti restaurantya muslim. Tapi ini tdk menyelesaikan masalah, karena beberapa kali kita masuk yg nggak ada gambar mesjidnya dan nggak pakai topi putih, ternyata milik orang tibet, wharadahkadah yg jadinya malah makan berbau kambing lagi ...hik5x ampun deh ketipu melulu ... Kalaupun ketemu resturant china Han, belum tentu makanannya juga enak yg ada dimakan hanya sekedar mengisi perut supaya kenyang saja .. Makanan alternatif biasanya adalah makanan western yg biasanya restaurannya ada di rekomendasikan oleh lonely planet - china. Tapi, untuk rasa,di tempat tertentu yg agak terpencil rasa lokal-nya lebih dominan. Waktu di restaurant Lisa's, di Langmusi, Gansu, yg sgt di rekomendasikan Lonely Planet - china, saking sdh nggak tahan saya pesan spagheti carbonara. Yang keluar dari bentuknya saja saya sdh nggak selera. Spaghetinya pakai mie lokal, dagingnya nggak dicacah kayak di kita (dagingnya juga bukan sapi tapi yak, sejenis sapi), saos tomatnya merah muda dan caiir sekali. Rasanya? Wah jah sekali dari rasa spagheti, ini mah spagheti ala tibetan ha5x . Tapi kalau aple pie-nya, memang nggak salah kalau dibilang di tempat itu aple pienya yg terbaik di dunia uenaaak sekali . Makanya, kalau pas masuk kota besar seperti urumqi atau lanzhou untuk ke airport, adalah saat yg menyenangkan krn kita bisa mencari makanan yg lebih proper. Airport Urumi yg jadi tempat kita bolak balik, jadi tempat favorite buat memanjakan diri untuk makan. Di lantai 3 ada tempat makan china yg asli uenk sekali. Tapi mahalnya, kayaknya termasuk mahal juga itu tempat. Sayur saja 34 yuan, ayam sekitar 40-an yuan, makan berdua bisa habis sekitar 80-90 yuan-an (mahal kalau buat budget kita, ehh saya maksudnya, kalau istri sih nggak perduli he5x). Di daerah stasiun KA Urumqi, yg saya pesan ayam pakai ngepak2in tangan sambil berkokok juga uenak sekali. Makan sayur dan ayam plus teh botol hanya habis sekitar 25 yuan ( 1 yuan = Rp 1.250,-). Makanan lain yg saya bilang enak juga adalah makanan khas Yangshou, yaitu Beer Fish, ikan dr sungai mereka yg dimasak dgn bir. Walau harganya agak mahal sekitar 40 yuan, kita sangat tidak menyesal mencobanya, uenaaak sekali. Kita juga sempat penasaran sama makanan ikan sungai lainnya di Yangshuo yg ternyata 2x lipat harga beer fish, yaitu Maguo Fish (80 yuan) kita coba juga , wah memang uenaak tenan . Bumbu masaknya
Re: [budaya_tionghua] Fw: Kebangkitan Organisasi Tionghoa di Indonesia Jangan sampai Kebablasan.KPMENTAR
Masalah utama yang dihadapi organisasi-organisasi tersebut adalah masalah klasik, tidak adanya visi dan misi serta program yang jelas, semangat yang mengendur, kurangnya kader muda dan terjadi perpecahan di kalangan pemimpinnya seperti apa yang terjadi dengan PBI. Masalah yang dihadapi media cetak adalah masalah finansial dan SDM Pendapat tsb di atas adalah BENAR. Jika ditelaah lebih mendalam, maka prioritas sebaiknya diletakkan kepada pembentukan kader dari kaalngan generasi muda. Pembentukan kader tsb mencakup masalah menciptakan leader yg memiliki leadership dengan visi masa depan yang jelas dan terarah sehingga terwujud misi untuk beberapa tahun sekali dievaluasi guna menghasilkan misi yang lebih baik ditahun seterusnya. Untuk itu perlu ada lembaga khusus (namun bukan monopoli, jadi bisa berbagi lembaga oleh siapapun yang bersedia) mengadakan pendidikan kader dengan kurikulum seperti cara berorganisasi yang baik, visi masa depan Indonesia yang bagaimana berdasarkan Pancasila, peran apa yang bisa dilaksanakan (perorangan dan kelembagaan), bentuk organisasi apa yang paling cocok ditingkat nasional dan daerahnya masing masing, dll dll dll Untuk itu sebaiknya dikumpulkan orang orang yang memiliki dedikasi dan setuju pemikiran saya tsb. di atas. Usahakan para pakar ikutserta seperti pakar pakar sosiologi, ilmu polirik, ekonomi/keuangan, psikologi,mereka yang berpengalaman di bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, dll dll dll. Dudukkan dalam satu wadah (non formal atau sejenis federasi atau dua duanya) dan temukan visi dan misi untuk katakanlah minimal 25 atau 50 tahun ke depan, sambil mendidik kader calon pemimpin. Yang tua-tua harus rela memberikankan pengalamannya kepada yang muda-muda. Berdasarkan kenyataan di lapangan dewasa ini, BISA diadakan pertemuan awal/pedahuluan dari semua yang mau berpikir (jika setuju pendapat saya tsb di atas) dari unsur unsur lembaga partai (yang gagal sekalipun), media massa cetak dan elektronik, perguruan tinggi (a.l. parap ilmuwan politik, sosiologi, ilmu jiwa, ilmu hukum, dll), lsm/lsm. Agenda pemicaraan hanya satu: pendidikan kader dengan segala aspek yang berkaitan dengan pengkaderan tsb. Mungkin hal itu sudah dilakukan, namun saya tidak mengetahuinya karena keterbatasan menerima informasi. Kalau sudah ada, tolong saya diinfokan, terima kasih. Sementara, demikian dulu salam persaudaraan, Ki Dyoti http://www.freewebs.com/kidyoti artikel artikelnya pasti bermanfaat = - Original Message - From: Akhmad Bukhari Saleh To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Saturday, August 25, 2007 11:51 PM Subject: [budaya_tionghua] Fw: Kebangkitan Organisasi Tionghoa di Indonesia Jangan sampai Kebablasan. KEBANGKITAN ORGANISASI TIONGHOA DI INDONESIA JANGAN SAMPAI KEBABLASAN. Oleh : Benny G.Setiono Setelah rezim Orde Baru jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh kesadaran di sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka, terutama di bidang sosial dan politik, sangat lemah dan menyedihkan. Kesadaran ini pada ujungnya membangkitan keberanian untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan menuntut keadilan sebagai warganegara Republik Indonesia. Dengan segera berbagai organisasi, baik partai politik, ormas maupun LSM, dideklarasikan, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik, Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI. dll.nya. Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan majalah, antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru, dll.nya bermunculan. Namun dengan berjalannya waktu ternyata beberapa organisasi tersebut berguguran dan beberapa media cetak telah hilang dari peredaran. Masalah utama yang dihadapi organisasi-organisasi tersebut adalah masalah klasik, tidak adanya visi dan misi serta program yang jelas, semangat yang mengendur, kurangnya kader muda dan terjadi perpecahan di kalangan pemimpinnya seperti apa yang terjadi dengan PBI. Masalah yang dihadapi media cetak adalah masalah finansial dan SDM. Hampir tidak ada dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan hidup media-media cetak tersebut. Berbeda dengan organisasi-organisasi peranakan, organisasi-organisasi di kalangan totok malahan tumbuh dengan subur. Lebih dari lima ratus organisasi di kalangan totok berdiri di berbagai kota di Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut didirikan berdasarkan asal provinsi, kabupaten, distrik dan kampung halaman di Tiongkok, suku (clan), marga, alumni sekolah, kesenian, kesusasteraan, dsbnya. Program mereka tidak jelas dan pada umumnya berorientasi ke daratan Tiongkok. Bahasa yang digunakan bahasa Tionghoa, baik Mandarin maupun dialek, karena pada umumnya para pemimpin organisasi tersebut kesulitan dalam berbahasa Indonesia
[budaya_tionghua] Fw: [taoisme_indonesia] Happy Birthday (Thousand Years) to Yellow Emperor
- Original Message - From: john wu To: [EMAIL PROTECTED] Cc: [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, August 25, 2007 6:07 AM Subject: [taoisme_indonesia] Happy Birthday (Thousand Years) to Yellow Emperor Dear All, Today, the 13th day of 7th Month is consider as the Birthday of Yellow Emperor (Ancestor of the Chinese). If you cant see the banner, can perform a download from the attachment. :P Here's a banner dedicated to him :P With Best Regards Jave Wu Taoism Singapore Forum (TSF) http://z14.invisionfree.com/taoism_singapore/index.php? Jave's Religious Place http://javewu.multiply.com/ Jave's Religious Home 2 http://jave2007.multiply.com/ Singapore Pioneers Blog http://singaporepioneers.blogspot.com/ Real people. Real questions. Real answers. Share what you know. [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [HKSIS] Fw: UNDANGAN SEMINAR
- Original Message - From: Benny Setiono To: HKSIS-Group Sent: Wednesday, August 22, 2007 12:48 PM Subject: [HKSIS] Fw: UNDANGAN SEMINAR - Original Message - From: Benny Setiono To: Yap Hong Gie Sent: Wednesday, August 22, 2007 12:18 PM Subject: UNDANGAN SEMINAR UNDANGAN SEMINAR. - Presiden Abdurrahman Wahid telah mencabut peraturan-peraturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, Presiden Megawati telah menjadikan Imlek hari libur nasional dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengembalikan agama Khonghucu menjadi agama resmi di Indonesia. Sementara itu Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia N0.12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA dan tidak ada lagi istilah pribumi dan non pribumi dan Undang-undang N0.23/2006 telah membatalkan seluruh UU dan Staatblad diskriminatif peninggalan Belanda yang yang telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia. Dengan demikian hampir seluruh peraturan-peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa telah dihapus. - - Selaras dengan hal-hal tersebut di atas, berkembangnya globalisasi dan berkembangnya RRT menjadi sebuah kekuatan ekonomi, politik dan militer dunia menuju Super Power dan semakin eratnya hubungan persahabatan pemerintah RI dan RRT telah menjadi batu ujian bagi loyalitas seluruh etnis Tionghoa di Indonesia.Bagaimana seluruh etnis Tionghoa di Indonesia melalui organisasi-organisasinya harus bersikap ? Untuk menjawabnya Pengurus Daerah Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) DKI Jakarta mengundang Tuan/Nyonya/Saudara/Saudari untuk menghadiri Seminar sehari penuh dengan thema MENGHADAPI GLOBALISASI, ORGANISASI TIONGHOA INDONESIA MAU KEMANA ? Pada Sabtu 25 Agustus 2007 am 09.00 - 16.30. Bertempat di Function Hall Mega Glodok Kemayoran (MGK) lantai 3 Jl.Angkasa Kav.B6. Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta 10610. ACARA : 08.30 - 9.00 Registrasi/Welcome Coffee 09.00 - 9.05 Indonesia Raya. 09.05 - 09.15Sambutan Rachman Hakim (Ketua Umum INTI) 09.15 - 09.30Keynote Speech Prof.Dr.Gumelar Rusliwa Somantri (Rektor UI) * SESI I. Moderator: Lisa Suroso (Pemred majalah Suara Baru). 09.30 - 09.55 DR.Siauw Tiong Djin (Comitee Against Racism in Indonesia), Melbourne, Australia. Dari Perspektif Sejarah. 09.55 - 10.20 DR.Mely G.Tan (Sosiolog Senior). Dari Perspektif Sosial. 10.20 - 10.45 Drs.Christianto Wibisono (The Global Nexus Network). Dari Perspektif Global. 10.45 - 11.10 Ir.Budi S.Tanuwibowo (Ketua Umum Matakin,Sekjen Perhimpunan INTI). Dari Perspektif Kebangsaan. 11.10 - 12.00 Tanya Jawab. 12.00 - 13.00 Makan Siang. 13.00 - 13.30 Sambutan K.H.Abdurachman Wahid.* SESI II Moderator : DR.Sukardi Rinakit (Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate). 13.30 - 13.55 Frans Hendra Winarta SH. (Komisi Hukum Nasional) Dari Perspektif Hukum. 13.55 - 14.20 Drs.Faisal Basri (Ketua Umum Pergerakan Indonesia). Dari Perspektif Ekonomi. 14.20 -14.45 Ir.Stanley Yosep Adi Prasetyo (Komisioner Komnas HAM) Dari Perspektif Keamanan dan HAM. 14.45 - 15.20Sudhamek AWS (CEO Garuda Food) Dari Perspektif Pengusaha. 15.20 - 15.45Benny G.Setiono (Ketua PD Perhimpunan INTI DKI Jakarta). Dari Perspektif Visi dan Misi Perhimpunan INTI. 15.45 - 16.30Tanya Jawab. * Dalam konfirmasi. [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [Spiritual-World] Bedanya Chinese, Bule, Pribumi - aku gak tau siapa penulisnya lho.
Tetapi setelah hidup di Amerika selama 10 tahun dan sekarang bekerja di salah satu bank terbesar di dunia berpusat di New York City, pandangan saya berubah dan mengerti mengapa Cina itu berbeda dengan orang pribumi. - Original Message - From: Eric Mashuri To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, August 23, 2007 8:58 AM Subject: [Spiritual-World] Bedanya Chinese, Bule, Pribumi - aku gak tau siapa penulisnya lho. Mudah2an dg proses berjalannya waktu, kebiasaan2 yang baik dapat dipertahankan dan tidak luntur walaupun berada dimanapun!! Subject: Bedanya Chinese, Bule, Pribumi Tulisan orang ini bener2 bagu Jangan berhenti forward ketemen2 yah... Saya seorang pribumi yg dulunya benci setengah mampus sama WNI Keturunan Cina. Tetapi setelah hidup di Amerika selama 10 tahun dan sekarang bekerja di salah satu bank terbesar di dunia berpusat di New York City, pandangan saya berubah dan mengerti mengapa Cina itu berbeda dengan orang pribumi. Dan sebenarnya banyak sekali hal-hal yg kita tidak mengerti tentang cina, dan hal-hal ini sebenarnya harus kita ketahui dan kita pikirkan lagi, karena hal-hal ini adalah sesuatu yg bisa kita pakai untuk kepentingan bangsa sendiri dan utk memajukan bangsa sendiri. Bukan saya bilang bahwa kita harus berubah jadi Cina, cuma kalau memang bagus mengapa tidak ? Dan memang ada juga hal-hal buruknya, tetapi semua bangsa juga punya. Marilah saya mulai pendapat saya tentang perbandingan antara WNI asli dan keturunan cina : 1. Perbedaan2 nyata Setelah bekerja tiga tahun lebih dan punya teman dekat orang bule dan orang Cina dari Shanghai di tempat kerja saya, saya melihat banyak sekali perbedaan-bedaan, diantaranya : A. DUIT a) Si bule, kalo gajian langsung ke bar, minum-minum sampe mabuk, beli baju baru, beli hadiah macam-macam untuk istrinya. Dan sisanya 10% di simpan di bank. Langsung makan-makan di restoran mahal, apalagi baru gajian. b) Si Cina, kalau gajian langsung disimpan di bank, kadang-kadang di invest lagi di bank, beli Saham, atau dibungain. Bajunya itu2 saja sampe butut. Saya pernah tanya sama dia, duitnya yg disimpen ke bank bisa sampe 75%-80% dari gaji. c) Saya sendiri. kalo gajian biasanya boleh deh makan-makan sedikit, apalagi baru gajian, beli baju kalo ada yg on-sale (lagi di discount), beli barang-barang kebutuhan istri, sisanya kira2 tinggal 15-20% terus disimpen di bank. *** Kebanyakan di Amerika, orang Cina yang kerja kantoran (sebenarnya Korea dan Jepang juga) muda-muda sudah bisa naik mobil bagus dan bisa mulai beli rumah mewah. walaupun orang tuanya bukan konglomerat dan bukan mafia di Cinatown. Malah mereka beli barang senangnya cash, bukan kredit. Soalnya mereka simpan duitnya benar-benar tidak bisa dikalahkan oleh bangsa lain. kalau bule atau orang hitam musti ngutang sampe tau baru bisa lunas beli rumah. B. KERJAAN a) si bule, abis kerja (biasanya jam kerja jam 8 pagi - 6 sore) hari Senen sampai hari Jumat (Sabtu dan minggu tidak kerja)) ke bar ato makan-makan ngabisin gaji. Kalau disuruh lembur tiba-tiba, biasanya kesel-kesel sendiri di kantor. Biasanya kalo hari Senen, si bule tampangnya kusut, soalnya masih lama sampe hari Sabtu, pikirannya weekend melulu. Kalo hari Kamis, si bule males kerja, pikirannya hari Jumat melulu. Terus jalan-jalan gosip kiri kanan. b) si Cina, abis kerja langsung pulang ke rumah, masak sendiri, nggak pernah makan diluar (saya sering ngajak dia makan, cuma tidak pernah mau, mahal katanya, musti simpan duit, kecuali kalo ada hari-hari khusus). Kalau disuruh lembur tidak pernah menolak, malah sering menawarkan diri untuk kerja lembur. Kalau disuruh kerja hari sabtu atau hari minggu juga pasti mau. Kadang-kadang dia malah kerja part-time (bukan sebagai pegawai penuh) di perusahaan lain untuk menambah uangnya. c) saya sendiri, kalau disuruh lembur, agak malas juga kadang-kadang karena sudah punya rencana keluar pergi makan sama teman-teman kantor. Kadang-kadang ingin sekali pulang ke rumah karena di kantor melulu, cuma mau nggak mau mesti kerja (jadi kesannya terpaksa, nggak seperti si cina yg rela). Weekend paling malas kalau musti kerja. *** Bos-bos juga biasanya suka sama orang Cina kalau soal kerjaan. Mereka soalnya pekerja yg giat dan tidak pernah
Re: [budaya_tionghua] Friday 13th Yang BENER 12 DI DINDONWSIA
Kalau di Indonesia BUKAN ANGKA 13TAPI 12 ORANG SERING MENGATAKAN CELAKA 12! BUKAN CELAKA 13! :):):):):):):):):) Ki Dyoti - Original Message - From: mangucup88 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thursday, July 12, 2007 1:28 PM Subject: [budaya_tionghua] Friday 13th Rupanya rasa takut akan angka sial 13 ini bisa menjadi kenyataan seperti yang dialami oleh komponis Jerman Arnold Schoenberg yang lahir pada tgl 13. Selama masa hidupnya ia selalu ketakutan akan angka 13, sehingga akhirnya ia meninggal dalam usia 76 tahun (7+6 = 13); tepatnya pada hari Jumat tgl 13, pkl 23.47 atau 13 menit sebelum pkl 12.00 tengah malam. Bukan hanya sekedar yang `Ndeso saja yang takut akan angka 13, perusahaan software yg terbesar di dunia sekalipun takut akan angka 13, maka dari itu setelah Microsoft Office 12 yang berikutnya bukanlah Microsoft Office 13 melainkan Microsoft Office 2007. Berdasarkan hasil penelitian dari Dr Donald Dossey seorang psikoterapi khusus dalam bidang phobia = takut dalam bahasa Yunani, di Amerika saja lebih dari 21 juta orang yang mengidap penyakit paraskevidekatriaphobia atau rasa takut akan hari Jumat tanggal 13. Berdasarkan laporan dari The Stress Management Center and Phobia Institute di Asheville - AS, tenyata setiap hari Jumat tanggal 13, ekonomi Amerika mengalami kerugian antara 800 s/d 900 juta AS$, karena banyak orang yang ogah travelling, bekerja ataupun melakukan kegiatan bisnis apapun juga. Kenapa hari Jumat adalah hari yang buruk ? Tuhan Yesus wafat pada hari Jumat, manusia pertama kali jatuh dalam dosa pada hari Jumat (Adam + Hawa makan apel terlarang di taman Firdaus), hukuman banjir nabi Nuh dimulai pada hari Jumat. Bait Suci Raja Salomo dihancurkan pada hari Jumat. Sedangkan kebanyakan hukuman mati dilaksanakan pada hari Jumat. Dan lihat saja Jumat Kelabu = Black Friday perkataan ini timbul petama kalinya pada saat krismon pertama di USA ialah ketika harga emas jatuh terpuruk di tahun 1869 dan krismon dunia yang pertama juga jatuhnya pada hari Jumat di tahun 1929. Kenapa angka 13 adalah angka sial ? Sedangkan kepercayaan 13 sebagai nomor sial itu timbulnya dari orang Kristen, karena Yudas menduduki kursi yang 13 dan ia menjual Yesus tepat jam 13.00. Disamping itu angka tsb berada satu poin diatas angka sempurna 12 atau melebihi kekuatan puncak, maka dgn mana otomatis akan membawa sial, maklum murid Yesus terdiri dari 12 orang, suku Israel 12, siang-malam 12 jam, bulan 12, dewa Olympus 12. Bila numerologi Barat memandang angka 13 sebagai angka sial, hal yang sama berlaku pula di masyarakat Tionghoa, Jepang dan Korea. Namun mungkin dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kalau dijumlah 1+3 hasilnya 4. Dan angka 'empat' sendiri dalam bahasa Mandarin bila diucapkan dengan intonasi berbeda (sie) bisa memberikan 2 makna yaitu empat dan mati = sial! Dan apabila nama Anda terdiri dari 13 abjad maka ini harus hati2 sebab para pembunuh sadis memiliki nama yang terdiri dari 13 abjad lihat saja: Jack the Rippe, Charles Manson, Theodore Bundy dan Albert De Salvo. Berapa banyak hotel atau permukiman yang pantang mencantumkan angka 13 untuk nomor lantai, kamar, maupun rumah. Lotere di Itali, Perancis tidak ada nomer 13 nya. Begitu juga tidak ada nama jalan di Amerika yang menggunakan 13th Street atau 13th Avenue. Maka tidaklah heran apabila Paul Getty ataupun mantan Presiden AS Franklin Delano Rooselvet secara tegas menolak untuk hadir dalam acara resmi yang diadakan pada tanggal 13 ataupun dalam acara yang hanya dihadiri oleh tiga belas orang saja. Aneh tapi nyata, walaupun banyak orang Amerika yang memiliki rasa takut akan angka 13 (Trikaideka-phobia), tetapi kenyataannya lembaran mata uang Dollar mereka penuh dengan lambang angka 13. Cobalah perhatikan dengan seksama uang kertas satu dolar AS, ternyata di bagian belakang tampil piramid dengan 13 jenjang. Semboyan di atasnya berbunyi annuit coeptis yang terdiri dari 13 huruf. Di pita tergigit paruh burung elang tertulis E pluribus unum, juga terdiri dari 13 huruf. Di atas kepala sang elang bersinar 13 bintang, di perisai terlukis 13 garis, cakar kiri mencengkeram 13 anak panah, sementara di cakar kanan sebuah batang dengan 13 daun zaitun, perlambang bahwa pada masa berdirinya, semula Amerika Serikat memang terdiri dari hanya 13 negara bagian. Pada th 1884 di Amerika, mereka telah mendirikan The Thirteen Club yang bertujuan khusus untuk mematahkan teori, bahwa angka 13 itu adalah angka sial. Dimana jumlah anggotanya harus selalu kelipatan dari 13. Mereka mengadakan pertemuan setiap tanggal 13 pada jam 13.13 uang iurannya juga ditetapkan AS$ 13,00 per bulan. Walaupun demikian terbuktikan semua anggotanya adalah orang-orang sukses dan jarang ketiban sial. Apakah disemua Negara Eropa
[budaya_tionghua] OOT: Fw: [Singkawang] [PP] Uray Rukiyat Gandeng Chin Siu Sun
FYI - Original Message - From: Singkawang To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, June 29, 2007 5:09 PM Subject: [Singkawang] [PP] Uray Rukiyat Gandeng Chin Siu Sun http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Pilkadaid=139278 Senin, 25 Juni 2007 Uray Rukiyat Gandeng Chin Siu Sun Balon Wako dan Wawako Singkawang Singkawang,- Drs H Uray Rukiyat telah resmi menggandeng Chin Siu Sun alias Sunardi SH sebagai calon wakilnya dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Singkawang November mendatang, hal ini disampaikannya saat bertemu dengan wartawan minggu (24/6) siang kemarin. Uray Rukiyat mengatakan, dirinya telah lama mencari calon untuk mendampinginya maju dalam pilkada Singkawang, namun baru saat ini ia mendapat pasangan yang dirasakannya cukup cocok untuknya. Menurutnya, Chin Siu Sun merupakan orang yang sangat tepat mendampinginya karena beliau diharapkan dapat menyatukan aspirasi dikalangan warga Tionghoa. Setelah melalui waktu pencarian yang sangat panjang, Akhirnya saya menemui orang yang tepat. Saya memilih Chin Siu Sun sebagai pasangan saya untuk maju dalam pilkada November mendatang karena beliau diharapkan dapat menyatukan aspirasi warga Tionghoa yang ada di Singkawang, ungkap Uray. Chin Sui Sun alias Sunardy SH merupakan pengusaha di Jakarta yang berasal dari Kalbar. Sebelumnya namanya dikenal sebagai wakil Bendahara DPD PDIP Kalbar dan sebagai salah seorang yang membantu membesarkan nama PDIP di Kalbar. Saya menyambut gembira ajakan bapak Uray Rukiyat untuk mendampinginya sebagai wakilnya dalam Pilkada Singkawang November mendatang. Beliau merupakan sosok figur yang menurut saya dapat membawa perubahan di Kota Singkawang ke arah yang lebih baik. Kata Chin Sui Sun. Setelah resmi menggandeng Chin Siu Sun ia secepatnya akan segera melakukan sosialisasi kepada partai-partai politik dan akan mendengarkan aspirasi-aspirasi dari partai-partai. Kami berdua akan mendengarkan aspirasi dari partai-partai dan siap melakukan yang terbaik untuk partai-partai demi memajukan Kota Singkawang. Katanya. Dalam kesempatan ini, Uray Rukiyat juga mengungkapkan tentang konsep pembangunan yang akan dijalankannya. Kami berdua akan mewujudkan Kota Singkawang sebagai TAMAN Kalimantan Barat. TAMAN dalam istilah kami adalah Tertib, Amantubillah, Manusiawi, Agamis dan Nasionalis. Ungkapnya lagi. (/*) [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [i-s] Christine Tjhin - Into the fray
- Original Message - From: John MacDougall To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, June 14, 2007 3:44 AM Subject: [i-s] Christine Tjhin - Into the fray http://88xtine88.blogs.friendster.com/x_blog/2007/06/into_the_fray.html Into the fray SOUTH CHINA MORNING POST - Wednesday, June 13, 2007 (Behind the News - Indonesia: Ethnic Chinese) Indonesia's long-suffering ethnic Chinese are slowly waking up to the benefits of getting involved, Fabio Scarpello reports. As a fluent Putonghua speaker, Eddie Lembong is known for fostering relations between Chinese-Indonesians and the rest of the population in a country where ethnic Chinese have historically faced segregation and sporadic violence. Conscious of the past yet firmly rooted in the present, the chairman of the Chinese-Indonesian Association says the time is ripe for ethnic Chinese to make the big step. Now is the time to get into politics, said Mr Lembong, one of 10 brothers whose parents hailed from Xiamen. Born in a little village in Central Sulawesi and brought up in Manado, Mr Lembong studied pharmacy at the Bandung Institute of Technology and found financially security as a pharmacist in Jakarta, despite a path dotted with racial obstacles. I had to endure discrimination in entering university and in my career, but back then, I saw it as `normal consequences' of the situation at that time, he said. He now believes that the dark days of the past are over and that the future offers great opportunity for Chinese-Indonesians living in the archipelago. But his wish will require a total change in the Chinese-Indonesian mindset. Most Chinese-Indonesians fear talking about politics, let alone being involved in it. But I believe Indonesia's political scene is ready to welcome us, he said. According to Mr Lembong, whose Chinese name is Wang Youshan, the deep-seated fear is rooted in the anti-communist purge of 1965, which saw then-rising general Suharto leading a merciless hunt against the so-called Reds. The Indonesian Communist Party (PKI), closely associated with the ethnic Chinese, was accused of trying to overthrow then-president Sukarno. The purge killed an estimated half a million people. Suharto went on to freezediplomatic relations with China, which he accused of being behind the attempted coup. He also outlawed the PKI, Chinese-language books, newspapers, Chinese names and symbols and celebration of Chinese holidays. Building on discrimination in place since the Dutch colonial era, he issued regulations restricting ethnic Chinese from politics, academia and the military. As local writer Julia Suryakusuma figuratively puts it, Chinese-Indonesians became Indonesia's pet cat. In a good mood, we stroke the cat, but when we are angry and cannot stand up to the boss, we kick it, she wrote. Tensions were eased by Chinese-Indonesians' prominence in business, itself partly due to Suharto's generosity towards some ethnic Chinese tycoons, such as cigarette magnate Putra Sampoerna, property mogul Ciputra and the Salim group's Soedono Salim and Liem Sioe Liong. Although only about 5 per cent of the 240 million population, the Chinese are said to control up to 68 per cent of the private economy. But wealth is unevenly distributed, with most making a living as more lowly entrepreneurs. The difficulties faced by the Chinese stem from the past regime's strategy to portray them as uncaring and corrupt and using them as scapegoats for the country's ills. The bloodiest examples of this were the May 1998 riots when, as Suharto limped to a disgraceful end, pro-democracy demonstrations spurred by unemployment and high prices were channelled against ethnic Chinese quarters in Jakarta and elsewhere. Officially, 1,188 people were killed and more than 5,000 buildings were burned, damaged or looted nationwide. Reports said more than100 Chinese women were raped or sexually assaulted and 150,000 ethnic Chinese fled the country. Jemma Purdey, author of Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, said the conditions that led to the riots were unique, but not unrepeatable. The combination of political and economic crisis and antagonism towards ethnic Chinese was compounded with the suspected involvement of military trained actors under the instruction of elite players battling for leadership, she said. Together, these formed a rare confluence of extreme and specific conditions. In a relatively politically and economically stable Indonesia it is unlikely that `1998-style' violence could occur again, but if similar conditions were to re-emerge, it would not be impossible. The danger seems distant in today's Indonesia, a more stable country that is being praised for democratic progress that started after the fall of Suharto and benefited ethnic Chinese. In 2000, Abdurrahman Wahid, the country's first democratically elected president, lifted all institutionalised bans and restrictions on the Chinese.
[budaya_tionghua] Fw: [jurnalisme] Udangan peliputan
- Original Message - From: jam gadang To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, June 13, 2007 1:31 PM Subject: [jurnalisme] Udangan peliputan Tanggal, 13 Mei 2007 Undangan Peliputan Audiensi RUU Anti Diskriminasi Ras Dan Etnis Kepada Yth Pimpinan Redaksi Di Tempat Menyikapi advokasi Rancangan Undang - Undang Anti Diskriminasi Ras Dan Etnis (RUU ADRE) di DPR RI. Sekedar informasi bahwa RUU ADRE akan memasuki proses pembahasan dengan pihak Legislatif (DPR) dengan pihak Esekutif (DEPKUMHAM). Sampai sekarang ini bahwa RUU ADRE masih pada Judul dan substansi yang lama. Artinya diskriminasi yang dicakup dalam RUU tersebut hanya mencakup ras dan etnis saja. Sehingga berdasarkan fakta kita team advokasi masyarakat sipil untuk memperluas isu - isu diskriminasi yang lain seperti diskriminasi dalam bentuk penghayat kepercayaan, agama, orientasi seksual, penyadang cacat, ODHA. Sehinga berdasarkan undangan pemerintah untuk dapat melakukan audiensi pada : Hari / Tanggal : Jum'at / 15 Juni 2007 Tempat :Ruang Dirjen Peraturan Perundang - Undangan Departemen Hukum Dan HAM Jl. Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan Pukul : 10.00 - Selesai Agenda : 1. Audensi untuk memperluas RUU ADRE dalam lingkup cakupan diskriminasinya. 2. Menyerahkan bentuk - bentuk diskriminasi dari berbagai kelompok (penyadang cacat, orientasi seksual, ODHA, penyahayat kepercayaan). Demikianlah surat pemberitahuan ini kami sampaikan, atas kehadiran teman - teman media kami ucapkan banyak terima kasih. Hormat kami, Ienes Angela Jaringan dan Kampanye Arus Pelangi Mobile Phone : 08561174657 - Looking for earth-friendly autos? Browse Top Cars by Green Rating at Yahoo! Autos' Green Center. [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] Fw: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Banyak Duri, Banyak Rezeki
FYI Ikan bandeng dan Imlek - Original Message - From: Agus Hamonangan To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Sent: Sunday, February 11, 2007 1:03 PM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Banyak Duri, Banyak Rezeki http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/11/kehidupan/3305793.htm == Ikan bandeng menjadi salah satu menu utama dalam perjamuan makan malam menjelang Tahun Baru Imlek. Ikan yang dikenal banyak durinya ini merupakan simbol banyak rezeki. Bandeng menjadi santapan khas pada tahun baru Imlek dengan harapan keluarga yang memakannya diberi limpahan rezeki di tahun depan, tutur Eddy Prabowo, pengamat masyarakat China di Indonesia. Selain ikan bandeng, buah jeruk dan buah delima juga disajikan pada malam Imlek. Makna kedua buah-buahan ini sama dengan ikan bandeng, yaitu banyak rezeki. Masakan ikan bandeng di setiap keluarga bisa berbeda-beda, bergantung pada selera. Ada yang lebih suka masakan bandeng bumbu kuning atau bandeng asap, tetapi ada juga yang suka masakan bandeng presto. Namun, tradisi makan ikan bandeng ini, menurut Eddy, hanya dilakukan masyarakat di Jakarta dan sekitarnya. Sementara itu, menurut Myra Sidharta, pengamat sastra Melayu- Tionghoa, masyarakat China di Taiwan terbiasa makan ikan bandeng saat Imlek. Namun, di negara China, jenis ikan yang dimakan saat Imlek sangat bervariasi tergantung daerahnya. Dalam tradisi masyarakat China, selalu ada masakan yang terbuat dari tiga jenis hewan, yaitu ayam/bebek, babi, dan ikan. Ketiga jenis hewan itu menyimbolkan tiga jenis alam, yaitu udara, darat, dan air. Udara disimbolkan dengan binatang unggas, darat disimbolkan dengan babi, dan air disimbolkan dengan ikan. Pedagang Panen Limpahan rezeki setidaknya langsung dirasakan oleh para pedagang ikan di pasar. Beberapa hari menjelang Imlek, pedagang ikan di pasar sudah menyediakan ikan bandeng khusus untuk perayaan Imlek. Baik ukuran maupun beratnya, ikan bandeng untuk Imlek ini berbeda dengan ikan bandeng yang dikonsumsi sehari-hari. Bandeng Imlek rata-rata ukurannya besar. Panjangnya mencapai 50 sentimeter dengan berat sekitar 2,5 kilogram-3 kilogram per ekor. Bahkan, kadang-kadang bisa sampai lima kilogram, sedangkan bandeng biasa beratnya hanya sekitar 0,5 kilogram. Bandeng untuk Imlek bisa tumbuh besar karena dikembangkan lebih lama daripada bandeng biasa. Jika bandeng biasa sudah dipanen sekitar tiga bulan sekali, bandeng Imlek baru dipanen setiap satu atau dua tahun sekali. Menurut Siong Wat (72), warga Petamburan, Jakarta Pusat, bandeng besar ini memang lebih gurih, berminyak banyak, dan berdaging tebal. Jika dimasak pindang, bandeng Imlek sangat terasa kelezatannya. Karena ukurannya besar, bandeng Imlek ini harganya cukup mahal, sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 per kilogram. Jika beratnya sampai tiga kilogram, harga satu ekor ikan bandeng bisa mencapai Rp 100.000-Rp 150.000 per ekor. Harga ini naik turun bergantung pada situasi pasar dan stok. Muslih (47), pedagang ikan di Pasar Kebayoran Lama, mengungkapkan, dia selalu menyediakan ikan bandeng tiga hari menjelang Imlek. Dalam satu hari, Muslih bisa menyediakan satu kuintal ikan bandeng. Terkadang langsung habis. Kadang-kadang hanya laku 50 kilogram, kata Muslih. Lain lagi Aat (38), pedagang ikan di Pasar Cikupa Tangerang. Aat mulai menjual ikan bandeng dua hari sebelum imlek. Untuk keperluan Imlek, Aat juga menyediakan ikan bandeng yang ukurannya lebih kecil, minimal satu kilogram. Tahun lalu, Aat bisa mengeruk keuntungan hingga Rp 500.000 per hari. (IND/IAM) [Non-text portions of this message have been removed]
[budaya_tionghua] APAKAH KOMUNISME DAPAT HIDUP KEMBALI DI INDONESIA?
Pencipta dan manusia ciptaanNYA. Inilah hasil para pejoang kita yang banyak pengalaman, banyak membaca dan cinta bangsa, rakyat dan negaranya. Seyogyanya generasi muda mendalami buah pikiran Bung Karno dan H.Ruslan Abdulgani, agar bisa memperoleh visi jauh kedepan sebagai calon pemimpin yang akan dating. Insya Allah, demikian!!! Dalam situasi sekarang semua gerakan masyarakat dicap sebagai gerakan komunis. Padahal banyak gerakan-gerakan tsb. bukan gerakan komunis, namun gerakan membela rakyat melarat, dan jika berpegang kepada Pancasila, gerakan-gerakan itu emngandung unsur religius. Malahan sesungguhnya yang memberi peluang timbulnya peluang kembali komunisme/marxisme adalah akibat kebijaksanaan pimpinan Negara ini yang sangat kurang memperhatikan kepentingan rakyat, hanya terbatas pada ulah verbal saja dengan kenyataan proses pemelaratan rakyat berjalan terus menerus dan korupsi kurang giat dan kurang gesit diatasi. Oleh karena itu, janganlah terlampau cepat menarik kesimpulan, lalu semua gerakan kerakyatan diberi label komunis. Ada dua kelompok yang gemar bahkan sudah menjadi semacam hobi mencap semua gerakan rakyat sebagai gerakan komunis, yaitu 1. yang mindsetnya sudah mengakar anti-komunisme dan 2. yang mempergunakan issue anti-komunisme untuk menutup-tutupi masalah korupsi, kkn dan sejenisnya. Semoga Pancasila kembali menjadi panglima dalam menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan praktek bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di tingkat daerah, nasional dan internasional. Pragmatisme tetap bisa dijalankan, namun dalam rel visi masa depan yang jauh berdasarkan Pancasila. Ki Dyoti merenung di 25 Desember 2006 Catatan tentang SPIRITUALITY: S P I R I T U A L I T Y Dewasa ini sedang banyak ditulis dan dibicarakan masalah spirituality; terutama dalam rangka lebih mendalami masalah kerohanian/kebatinan dari berbagai agama. Juga dalam gerakan spontan yang disebut New Age, banyak sekali dipergunakan istilah spirituality. Istilah ini tetap saya pergunakan dalam tulisan ini agar tidak menimbulkan kerancuan pengertian yang mungkin timbul jika diterjemahkan. Apakah makna spirituality? Pengertian spirituality tidak lain adalah pemberdayaan untuk menghapus sifat hewani yang masih melekat dalam diri setiap insan dan menyadari potensi serta kwalitas manusia murni (roh) sehingga memperkuat iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pengertian tsb . di atas mencakup pengertian bahwa manusia mengakui adanya kapasitas dan kwalitas manusia yang bersumber dari rohnya sendiri dan bukan dari pikiran (plus perasaan) manusia saja. (pikiran dan perasaan adalah yang biasa disebut mind dalam bahasa Inggris) Banyak pengertian yang membingungkan yaitu seolah-olah spirituality adalah jalan dari manusia biasa menjadi manusia yang luar biasa. Yang benar adalah spirituality merupakan peran terpenting dalam mewujudkan potensi roh dalam kehidupan sehari-hari, jika spirituality sungguh-sungguh sudah berhasil diberdayakan.. Jadi sesungguhnya spirituality adalah gaya hidup, way of life. Salah satu aspek terpenting dalam hal tsb adalah pengakuan bahwa semuanya adalah tunggal. Doa/syareat dan meditasi adalah sangat penting, tetapi apakah itu sudah dapat dikatakan spirituality? Jawabnya; b e l u m sepenuhnya! Karena belum termasuk pemberdayaan roh untuk mengetahui dan merasakan bahwa seluruh alam semesta dan isinya adalah tunggal dan menemui serta mengakui bahwa manusia yang murni adalah roh. There is only one race on earth: The Human Race ! Jadi, dapat dikatakan bahwa inti spirituality adalah transformasi mental, dari ke-aku-an menjadi ke-kita-an. Dan hasil perobahan mental tsb diwujudkan oleh tubuh phisik melalui indranya dalam ucapan dan tingkah lakunya di dunia sekarang ini. Bentuk-bentuk nyata dari spirituality dalam kehidupan sehari-hari adalah persahabatan yang penuh toleransi dan kasih sayang, bergaul dengan semua tingkat dan profesi, disertai respek kepada semua golongan, ramah-tamah kepada semua lingkungan, memberikan penghargaan yang wajar dan menghindarkan diri secara otomatis dalam mempergunakan kata-kata atau kalimat-kalimat yang dapat melukai hati manusia lain, menghindarkan berucap dan berbuat jahat, mengabdi (sesuai dengan kemampuan material dan mental serta spiritual) untuk menolong manusia tanpa membedakan agama, ras, keturunan dan status sosial. Dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat; semua lembaga kenegaraan dan pemerintahan melaksanakan perencanaan dan pelaksanaan rencana-rencananya dengan dasar merasakan dan melaksanakan tunggal dengan rakyat; yang berarti mengutamakan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan partai, kelompok atau golongannya sendiri saja. Kidyoti=Janto 24 Oktober 2001, 06.20 wib
[budaya_tionghua] ANJUNGAN TIONGHOA DI TMII
ANJUNGAN TIONGHOA DI TMII MEMADUKAN YIN DAN YANG KESELARASAN ALAM Jakarta (Buana Minggu) BERBEDA dengan anjungan lain yang ada objek wisata TMII, anjungan Tionghoa yang sekarang sedang dibangun , memadukan konsep Yin dan Yang secara apik.Konsep Yang dan yin dalam bahasa Tionghoa perantauan seringkali disebut Im - Kang . IM atau Yin mewakili kelembutan dan Kang atau Yang mewakili kekerasan.. Kelembutan dapat diwakili oleh kehadiran air dan kekerasan diwakili bebatuan., Maka tidak heran, jika anjungan Tionghoa yang menempati areal empat hektar itu ada danau, gunung atau dedaratan serta bebatuan. Dan sebenarnya konsep Yin dan Yang tidak sesederhana itu. Selain memadukan lembut dan keras dalam kesatuan yang utuh,konsep itu juga memadukan keselarasan alam. Lihat saja bangunan gapura yang berada didepan plaza (pelataran) anjungan tsb. Gapura itu dibangun dengan azas keseimbangan sehingga nampak simetris. Di Depan gapura ada dua patung kilin, binatang yang mirip singa.. Binatang yang konon dipercaya memiliki kekuatan gaib tsb. sengaja dipajang dua pasang, yakni laki-laki dan perempuan.Lagi-lagi ini mengggambarkan konsep keserasian.. Konsep yang dipercaya membuat dunia ini penuh keharmonisan. Ada lagi satu batu bulat yang menggambarkan bola duinia. Batu granit mentah berwarna hitam itu dipasang presis berhadapan dengan gapura.. Batuan yang beratnya lebih dari satu ton itu akan berputar menurut irama fengsui. Untuk memutar batuan bulat tsb. digunakan tenaga air dengan bantuan pompa hidrolik. Mudah-mudahan di Hari Ulang Tahun TMII bulan April 2007, anda akan menyaksikan batu bola dunia itu akan berputar. Dan mungkin beberapa pertunjukan lain yang akan digela disini secara gratis, kata Ketua Panitia Pembangunan Anjungan Tionghoa di TMII, Taddy Yusuf di anjungan tsb, baru-baru ini. (Dikutip oleh Ki Dyoti dari Buana Minggu , terbitan Minggu k empat, Minggu Kliwon, 24 Desember 2006)
Re: [budaya_tionghua] Dirikan sekolah berbasis budaya tionghoa seperti SMUK/SDK/saran
Ide yg baik utk didukung, dengan tambahan saran agar murid-muridnya juga terdiri dari pribumi, sehingga pembauran sejak di sekolah menjadi nyata, untuk masa depan Indonesia yang pluralis. Ki Dyoti http://www.freewebs.com/kidyoti - Original Message - From: nirwan_78 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Monday, November 06, 2006 11:58 PM Subject: [budaya_tionghua] Dirikan sekolah berbasis budaya tionghoa seperti SMUK/SDK Hi... Saya newbie di forum ini . Namun , saya sudah lama mengikuti perkembangan forum ini dan memberanikan untuk posting . Sebagai generasi keturunan Tionghoa ,saya ingin mengembangkan pendidikan dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia agar budaya Indonesia semakin kaya dan lebih banyak yang mengenal budaya Tionghoa.Saya salah seorang guru Mandarin di Jakarta dan saya sangat ingin bekerjasama mendirikan suatu lembaga yang menyusun kurikulum untuk sekolah yang saya maksudkan lalu tidak lupa mengimpementasikan ke masyarakat , tentunya dengan bantuan-bantuan yang peduli kepada rencana ini . Apalagi banyak anak-anak bangsa ini yang belum dapat mengecap pendidikan di Indonesia dengan baik karena adanya keterbatasan fasilitas dan sarana. Ide2 dan gagasan atau teman2 dalam forum yang memiliki visi dan misi yang sama dapat menyumbangkan pikiran dan dukungan terhadap rencana ini . [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ * Your email settings: Individual Email | Traditional * To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join (Yahoo! ID required) * To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [budaya_tionghua] Re: Zhou di Bandung- di Indonesia Media CARI
Coba cari alamat IPPHOS, mereka masih memiliki banyak foto-foto jaman BK. Saya sendiri belum mengetahui dimana kantor IPPHOS sekarang, coba tanyakan ke SINAR HARAPAN, karena pimpinan IPPHOS adalah seorang dari Sulawesi Utara (Pak UMBAS, kalau tidak salah) adalah teman akrab bung Aristides Katoppo. Mungkin film dokumenter masih ada di PFN (Perusahaan Film Negara) di wilayah Jatinegara. Semoga berhasil, Ki Dyoti - Original Message - From: Yan Widjaja [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED]; budaya tionghua budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thursday, August 17, 2006 7:42 AM Subject: [budaya_tionghua] Re: Zhou di Bandung- di Indonesia Media Hi Pak Dr. Irawan, Saya sudah mengajukan permintaan ke Kedutaan Besar RRC di Jakarta, namun memang mereka tidak mempunyai foto-fotonya, jadi hanya menjanjikan akan memintanya ke Beijing Film Studio di China. Sementara saya mencari informasi dari yahoo, google dan imdb, nihil hasilnya karena ternyata film tersebut tidak atau belum beredar di Hong Kong atau negara lain selain daripada di mainland (China) sendiri (?!). Begitu penjelasan saa. Tx Yan W. [EMAIL PROTECTED] wrote: Terimakasih atas response nya Pak Yan, Saya yakin kalau diminta kekedutaan atau konsulat RRT mereka akan memberikan , Tahun lalu kami dari ICAA (Indonesian Chinese American Ascociation) rombongan 162 orang juga pernah berkunjung ke Beijing dan disambut oleh deputy urusan Hoa Kiauw yang setingkat menteri. Malah mereka mengundang kami dalam jamuan makan malam kenegaraan. Mungkin artikelnya bisa di cari dan dibaca di www.indonesiamedia.com klik pada back isues. kami tunggu ilustrasinya . salam, Dr.Irawan. - Yahoo! Movies - Search movie info and celeb profiles and photos. [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [budaya_tionghua] Larangan Pencantuman Nama Marga di Akta Kelahiran Langgar HAM
KETERLALUAANN, APA GAK ADA KERJAAN UNTUK RAKYAT YG LEBIH PENTING:MENURUNKAN HARGA2 kd - Original Message - From: Jimmy Okberto [EMAIL PROTECTED] To: Jimmy Friends [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, April 06, 2006 7:47 AM Subject: [budaya_tionghua] Larangan Pencantuman Nama Marga di Akta Kelahiran Langgar HAM Bagaimana menurut anda semua ??? Salam, Jimmy -Original Message- On Behalf Of crunchy pineapple girl lagi-lagi orang Indonesia bikin kebodohan baru. yakni pelarangan adanya nama marga buat akta kelahiran. dan ini sudah dibuktikan oleh pengalaman teman dekat saya, VP. pamannya mendaftarkan anaknya di dalam akta kelahiran, namun petugas tidak membolehkan memasukkan nama marga keluarganya. sehingga jadilah nama anaknya yg tercantum hanya nama depan. kebodohan RUU APP belum selesai, sudah datang kebodohan baru. masa menyantumkan nama marga, nama fam tidak diperbolehkan lagi. emangnya merugikan apa untuk negara? itu kan hak asasi masing-masing warga negara. kayanya slogan 'Bhineka Tunggal Ika' jadi cuma bullshit belaka? sebenrnya mau dibawa kemana negara kita. hukum dan undang2 aja ngga jelas juntrungannya. mungkin yang lain ada yang tahu soal ini dan ingin komentar? atau ini adalah sesuatu yang wajar dan cuma saya aja yg 'ketinggalan info'? read this: Larangan Pencantuman Nama Marga di Akta Kelahiran Langgar HAM *http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/10/nasional/304666.htm*http:// www.kompas.com/kompas-cetak/0305/10/nasional/304666.htm Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah melarang pencantuman nama marga/fam/klan pada akta kelahiran anak dianggap melanggar hak asasi manusia. Selain itu, kebijakan tersebut merugikan sejumlah penduduk yang berasal dari daerah yang mempunyai identitas kultural untuk menggunakan nama keluarga di belakang nama anaknya. Demikian pendapat yang mengemuka dalam dialog publik Hak Anak Atas Identitas Kultural yang diselenggarakan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jumat (9/5). Dialog diikuti sejumlah lembaga swadaya masyarakat itu menghadirkan beberapa pembicara, seperti Rasyid Saleh (Direktur Pencatatan Sipil, Depdagri), Lies Sugondo (Ketua Konsorsium Catatan Sipil), Syamsuddin Manan Sinaga (Direktur Perdata, Depkeh HAM), M Farid (Komnas HAM) dan Dian P (Koalisi Perempuan Indonesia). Dalam dialog tersebut terungkap, praktik pelarangan pencantuman nama keluarga dalam akta kelahiran yang selama ini terjadi di DKI Jakarta. *Dari penelitian yang dilakukan LSPP periode Januari-Maret 2003, ternyata hampir semua catatan sipil melarang warganya menggunakan nama marga/fam pada akta kelahiran*. Larangan tersebut diberlakukan, meskipun warga tersebut berasal dari daerah yang kulturnya menggunakan fam/marga, seperti Batak, Nias, Flores, Toraja, Maluku, Papua serta Tionghoa. Praktik seperti ini telah berlaku sejak tahun 1974. Dasar larangan tersebut Reglemen tentang Catatan Sipil pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Staatsblad/Stbld), yakni Stbld 1849 Nomor 25, Stbld 1917 Nomor 130, Stbld 1920 Nomor 751, dan Stbld 1933 Nomor 75. Reglemen tersebut ditafsirkan oleh petugas pencatatan sipil sebagai aturan yang tidak perlu mencantumkan nama keluarga di belakang nama anak. Hal itu dikukuhkan oleh surat dariDepartemen Kehakiman (Depkeh) tanggal 21 Maret 1974 dalam bentuk pendapat hukum (legal opinion). Sejak saat itu, Pemda DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan yang dianggap melanggar HAM tersebut. Ini melanggar HAM, karena dalam Staatsblad tak ada aturan yang tegas melarang pencantuman nama,ujar Utama P Sandjaja, Koordinator Program Hak Anak Atas Identitas Kultural. (SON) *regards* piny [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/