[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-02-06 Terurut Topik sumamihardja
llis ini adalah untuk 
> > beradu pendapat, bukan untuk beradu track record! Di millis ini, bisa saja 
> > seorang yg hebat dalam aksi2 sosial disanggah oleh seorang yg bukan siapa2, 
> > selama pendapatnya masuk akal, kita pantas dukung dia!"

Lha, yang menyuruh orang bungkam itu siapa? Anda hanya menyimpulkan sendiri, 
tapi lagi-lagi anda menggeneralisasi. Tidak ada larangan bicara, tapi seperti 
dibilang juga oleh pepatah, isi pembicaraan itu harus jelas, muatannya harus 
didukung fakta, dan arah pembicaraannya harus sistematis. Kalau misalnya kita 
memperdebatkan kebenaran klaim agama-agama, tentu akan ada yang menyemprit. 
Siapa yang akan didengarkan pendapatnya dalam masalah perdebatan yang 
berlarut-larut? Tentunya yang sudah teruji pendapatnya dapat dipercaya dan 
punya wawasan yang luas. Kalau ngikutin pendapat anda sih, seakan memang logika 
itu setara. Padahal dalam konteks sosiologis, selalu ada yang namanya dominan 
dan greener. Apa saya menolak pendapat dari greener atau orang yang baru saya 
kenal? Kan tidak! Tapi pendapatnya itu harus berada dalam kerangka sosial yang 
baik, tidak bias dan tidak melanggar kaidah (misalnya rasisme, darwinisme, 
chauvinisme). Jelas kesimpulan anda juga harus diuji kembali, karena tidak ada 
larangan berpendapat koq. Jangan bikin kesimpulan yang mengada-ada.

Terus, "> > 
> > Hasil dari berdiskusi disini tidak harus menghasilkan tindakan nyata. 
> > Tujuan utama adalah membuka wawasan dan menambah pengetahuan, Jika setelah 
> > itu ada yg tergerak berbuat sesuatu ya terserah individu masing2.
> > 
> > Sent from my BlackBerry®
> > powered by Sinyal Kuat INDOSAT"

Lha, yang saya komentari juga pantas koq! Bagi saya, hasil dari diskusi itu 
tetap bisa dibagi dua, yang memerlukan tindakan, dan yang cukup untuk sekedar 
tahu (atau setidaknya terbuka peluang tindakan yang berbeda-beda). Kalau memang 
harus ditindaklanjuti, yaaa, lakukan dong. Lagi-lagi banyak contoh diskusi yang 
harus ditindaklanjuti kalau tidak mau kehilangan makna budaya (misalnya 
lagi-lagi soal etika dalam berkabung, boleh tidak pake barongsai hitam di 
jalanan, pantas tidak barongsai dimainkan dalam perkabungan, boleh tidak 
memberi pengantin hadiah sapu tangan, boleh tidak memberi orang tua anda hadiah 
jam dinding, baik atau tidak mengucapkan gong xi fa cai, bagaimana sikap atas 
larangan pawai liong capgomeh, bagaimana sikap atas perusakan kelenteng, dst 
yang sangat banyak). Masak hal-hal seperti itu tidak bisa ditindaklanjuti dan 
bahwa milis ini hanya sekedar ajang diskusi berbusa-busa demi pengetahuan dan 
wawasan. Bahwa milis adalah untuk diskusi, itu sih jelas, tapi yang penting kan 
pertanyaan, apakah dengan demikian yang lain-lain itu melenceng dari tujuan 
milis??? Baca kembali deh halaman muka dari milis BT ini.
Lagipula, budaya Tionghjoa kan bukan budaya yang mengawang-awang! 

Budaya Tionghoa adalah budaya yang nyata, ada, rasional dan logis. Kalau kita 
mulai dengan aksi gerakan untuk mempopulerkan kembali soja, apakah itu 
melanggar tujuan milis??? Masih sangat banyak contoh, yang saya sebut hanya 
sekedar untuk menunjukkan bahwa komentar saya pantas-pantas saja. Bingung saya 
membaca komentar anda.



Bagi seorang budiman, nama/istilah/fakta itu harus sesuai dengan yang diucapkan 
dan kata-kata itu harus sesuai dengan perbuatannya. Itulah sebabnya seorang 
budiman tidak gampang mengucapkan kata-kata.

Suma Mihardja


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote:
>
> Pak Suma, baca ulang baik2 pernyataan saya, baru anda beri komentar yg pantas!
> Jika anda tdk bisa menangkap inti dari tulisan saya, ya repot diskusinya!
> 
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
> 
> -Original Message-
> From: "sumamihardja" 
> Date: Fri, 05 Feb 2010 20:07:57 
> To: 
> Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
> 
> Apa salahnya? Kalau bung CG mengajak untuk bergerak, itu hak dia. Hanya saja 
> kalau argumennya keliru atau berkonotasi rasis yang keliru, yaaa, dibetulkan 
> saja.
> 
> Dalam kebudayaan, ada komponen-komponen inert seperti sistem kepercayaan, 
> sistem pendidikan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, adat-istiadat dan 
> sistem hukum (untuk mempermudah klasifikasi saja). Semua komponen itu hanya 
> bisa berkaitan kalau disatukan dengan apa yang dinamakan masyarakat. Budaya 
> tanpa masyarakat bagaikan ilmu di ruang hampa. Orang cuma omong-omong doang, 
> tanpa ada yang dikerjakan. Kalau sudah begitu, budaya menjadi kehilangan 
> makna, cuma sekedar foto imajiner, buku novel atau film fiksi.
> 
> Sehubungan dengan itu, saya sih bilang bahwa budaya tanpa gerak adalah budaya 
> dalam ruang tanpa gravitasi. Dalam hal ini, kalau muncul gerakan budaya, saya 
> sih bukan sekedar mensyukuri, tapi malah mengharapkan. Percuma memberi 
> pengetahuan ket

[budaya_tionghua] Re: tanya ttg souw beng kong

2010-02-05 Terurut Topik sumamihardja
Maaf, rasanya kurang nyambung antara bidang penerbitan buku silat dengan 
sejarah SBK. Tapi kalau ini jadi cikal bakal penulisan tokoh yang lain, mungkin 
menarik juga.

Akan tetapi, saya perlu tahu dulu buku berjudul apa  yang hendak diterbitkan 
itu? Kalau buku tulisannya Phoa Kian Sioe (disatukan dengan Oei Tambah Sia, 
Phoa Beng Gam) terbitan 1956, semestinya nyarinya ke ahli warisnya. Kabarnya 
anaknya sudah pindah ke luar negeri menyusuli kejadian 1966, cuma saya tidak 
jelas ke mana. Meski demikian, saya perlu jelas dulu buku yang mana yang akan 
diterbitkan itu. Kalau yang dibuat oleh Liem Thian Joe tahun 1933 (karena 
judulnya mirip yang anda tulis "Kapitein Souw Beng Kong"), ahli-ahli warisnya 
dikabarkan masih tinggal di Semarang, bisa ditelusuri dari kelenteng marga Lim 
(Maco) di daerah dekat stasiun kereta. 

Oleh karena itu, perjelas dulu terbitan mana yang anda maksud?



Jangan kawatir orang tidak mengenal dirimu, kawatirlah kalau tidak dapat 
mengenal orang lain.

Suma Mihardja




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Add Publishing  wrote:
>
> Kpd yth rekan-rekan sekalian,
>  
>  Kami dari ADD Publishing, penerbit buku-buku silat, berniat untuk mencetak 
> ulang buku ttg kapiten souw beng kong.
>  Kepada siapa kami bisa mendapatkan info dan ijin penerbitan.
>  Harap rekan-rekan sekalian dapat membantu kami.
> 
>  Terima kasih,
>  ADD Publishing
>




[budaya_tionghua] Re: W: 2010 UNESCO Asia-Pacific Heritage . SOWN BENG KONG, KLENTENG TALANG ???

2010-02-05 Terurut Topik sumamihardja
an. Kalau kesepakatan sudah tercipta, 
bisa juga UNESCO diminta untuk memberi bantuan dana, atau bisa juga donatur 
lain, karena sebagaimana saya sudah ingatkan, dana renovasi Gedung Arsip 
Nasional (yang dapat penghargaan UNESCO saja) bisa makan 25 milyar. Jadi untuk 
ukuran Talang, setidaknya 15 milyar harus disiapkan (termasuk riset khusus 
mengenai bahan asal kedua sayap tadi).

Begitu dulu info mengenai kelenteng Talang. 


Kalau mengenai makam SBK, pak Tjiong lumayan terlibat, namun motornya 
kelihatannya pak Kamil Setiadi dan Teddy Jusuf (meskipun kabarnya yang banyak 
bergerak kemudian adalah yayasan keturunan Souw Beng Kong/marga Souw). Meskipun 
sudah dibersihkan dari rumah penduduk dengan biaya yang tidak sedikit, saya 
juga tidak berani merekomendasikannya untuk UNESCO Award karena beberapa 
pertimbangan:
1. kuburannya sudah direnovasi beberapa kali, terakhir oleh Khouw Kim An 
sekitar tahun 1929. Menilik bangunan aslinya, kelihatan ada beberapa perubahan 
besar, belum lagi karena sebelumnya ada sekitar lima buah rumah semi permanen 
yang didirikan persis di bagian atas makam tersebut.
2. Ketika saya berkunjung ke sana pada saat peresmian upaya pemugaran (dua 
rumah sudah dibongkar), terlihat bahwa tanah dasarnya sudah tertutup jalan, 
sehingga kuburannya "melesak". Setelah itu, sekitar dua tahun lalu saya ke 
sana, tutupan atas lokasi jenasah juga dibuka secara gunungan agak melandai dan 
kemudian ditanami rumput. Setahu saya, gunungan asalnya tinggi dan kemungkinan 
besar disemen, mirip dengan model kubah tanah.
3. Atas dasar itu, perlu riset yang lebih detail mengenai makna konservasi 
makam SBK tersebut dilihat dari ketaatasasannya, bukan sekedar kosmetik.


Btw, patokan mengenai cultural heritage yang dimintakan UNESCO kan juga cukup 
jelas dan detail. Dari pembacaan tersebut, saya sih bilang bahwa SBK dan 
kelenteng Talang belum memenuhi syarat. Masih perlu sejumlah langkah 
penyesuaian agar memenuhi kriteria minimal UNESCO. Dari perjalanan saya 
keliling-keliling, saya pribadi lebih merekomendasikan kelenteng Maco Lasem dan 
Maco Rembang serta Tek hai Kiong Tegal, ketimbang sejumlah kelenteng lainnya di 
pulau Jawa karena sejumlah pertimbangan "garis histroris". Dari sisi 
konservasi, mereka masih cocok dengan kriteria UNESCO. Ada beberapa kelenteng 
lain yang bisa dipertimbangkan, tapi menghadapi kondisi sosial yang rumit 
misalnya Boen Bio yang kepotong jalan, kelenteng pasar Ketandan Solo yang 
lukisan dindingnya kemakan air rembesan, Kong Tek Su Semarang, kelenteng Tan 
dan kelenteng Lim di Sebandaran Semarang, dsb. Masih ada beberapa kota yang 
belum saya kunjungi, kalau ada info lainnya, saya akan kabari.

Yaa, begitu dulu. kerjaan lain sedang menunggu saya.



Suka belajar itu mendekatkan kita kepada kebijaksanaan; dengan sekuat tenaga 
melaksanakan tugas mendekatkan kita kepada cinta kasih dan tahu malu 
mendekatkan kita kepada berani.

Suma Mihardja








--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ibcindon"  wrote:
>
> Yth :  Pak Freddy, Pak Sumamihardja,  rekan milis lainnya, 
> 
>  
> 
> Terima kasih  untuk keterangannya.
> 
>  
> 
> Saya sedang mencoba menghubungi Pak Ir Tjiong dari UNTAR , fakultas 
> arsitektur. 
> 
>  
> 
> Mengajak beliau  untuk mencoba memasukan, nominasikan pekerjaan pelestarian 
> yang pernah Pak  Tjiong terlibat ke program UNESCO BANGKOK ini..
> 
>  
> 
> Setahu saya  dia terlibat dalam pemugaran makam SOW BENG KONG   kapiten 
> Chineese  Batavia pertama, yang telah  dihuni menjadi  rumah-rumah liar 
> penduduk ( kayanya ada boss yang yang bukan akademisi  atau  pun budayawan,   
> sumbang dana juga tuh untuk pemugaran ini   ). Canggih mungkin  cara 
> pendekatan dan pemaparannya hingga didukung.
> 
>  
> 
> Pak Tjiong juga terlibat dalam mempertahankan , memperjuangkan, merenovasi 
> klenteng TALANG CIREBON  yang akan dikapling dan diperjual belikan oleh oknum 
> yang mengaku pengurus !! Sudah mulai diacak-acak   saat itu…….( masih 
> ketinggalan sebelah lagi yang sudah  dipakai ruang duka/ kematian )
> 
>  
> 
> Semoga saja Pak Tjiong mau berperan serta.
> 
>  
> 
> Kalau   ada rekan milis yang kebetulan kenal dekat pada beliau ( Pak Tjiong ) 
>  mohon bantuannya untuk  membicarakan, mendorong agar Pak Tjiong bersemangat  
> berpartisipasi.
> 
>  
> 
> Kalau saja sampai  dapat pengakuan UNESCO, masukan dalam mass media nasional, 
> situs ini akan lebih terjaga kelestariannya  di masa depan .  Siapa 
> tahu…………………………….. J)
> 
>  
> 
> Salam pelestarian budaya,
> 
>  
> 
> Sugiri.
> 
>  
> 
>  
> 
>  
> 
> From: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
> [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of Freddy H. Istanto
> Sent: Thursday, February 04, 2010 6:50 AM
> To: budaya_tionghua@yahoogroups

[budaya_tionghua] Re: TBT-TMII. Boen Bio & Li Thang GUS DUR& Heritage building & mau apa sekarang ??

2010-02-05 Terurut Topik sumamihardja
BT -TMII.  Bagaimana cara mencapainya 
> 
>  
> 
> 4./ Kalu ada yang minat bicara sejarah masa lalu yang penuh unek-unek,
> marah-marah   terus.   Ya  silahkan saja  bikin topic subjek diskusi  yang
> baru.  Tidak terlarang kok..
> 
>  
> 
>  
> 
> Harap saja dengan menganti subject topic diatas  diskusi bisa jalan
> baik-baik, kenapa tidak...
> 
>  
> 
> Kalau di campur-campur terus  jadi  enga jelas tujuannya.. Maaf saya turut
> sedikit  urun rembuk...
> 
>  
> 
>  
> 
> Salam,
> 
>  
> 
> Sugiri.
> 
>  
> 
> From: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of sumamihardja
> Sent: Wednesday, February 03, 2010 3:16 AM
> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen
> Bio & Li Thang GUS DUR
>




[budaya_tionghua] Re: Pameran Fotografi "SINGKAWANG - Jade of Equator" 24-31 Januari 2010

2010-02-02 Terurut Topik sumamihardja
Pameran foto dan bukunya sih bagus. Yang mengganjal adalah kenapa orang semacam 
Harry Tjan masih terus dipajang untuk menceritakan mozaik keberagaman? Kalau bu 
Myra (semula saya dengar dia yang akan berbicara), masih mending karena ada 
beberapa faktor koneksi yang dimilikinya (Hakka [meskipun dari Belitiung], 
termasuk pemerhati budaya dan masih punya pendekatan kultural). Tapi Harry 
Tjan??? Dalam pertemuan saya dengannya di CSIS, dia mengkritik habis-habisan 
Aguan (Sugianto) yang mendanai gotong joli di daerah Kota dan beralasan bahwa 
dananya lebih baik untuk membangun peprustakaan. Saya bilang, anda sendiri juga 
punya perayaan sendiri yang juga mengeluarkan uang. Kenapa harus menunjuk orang 
lain ketika empat jari lainnya menunjuk kelompoknya sendiri? Padahal yang 
dipamerkan jelas adalah kebanyakan ritual Tionghoa yang bisa dibilang sekelas 
dengan gotong joli. Jadi apa maksud kehadirannya? Selain itu Melly juga 
sosiolog kota, dari grup pemikiran yang hampir sama dengan Harry Tjan pula. 
Apakah dia memahami konteks perempuan Singkawang yang sering dikritiknya karena 
kawin kontrak (Pengantin pesanan) disamakan dengan perdagangan orang, atau 
setidaknya seberapa dalamnya pemahaman atas budaya Singkawang yang selama ini 
justru tidak disentuhnya? Mau bicarakan apa? Jadinya tidak kontekstual. 
Kalaupun bicara multikulturalisme, dalam bincang-bincang saya dengannya di 
UKAJ, ternyata konsep multikulturalisme yang diusungnya berbeda dengan yang 
saya dalami. Lebih ke arah liberalisme kultural. 

Sayang aja, tema yang menarik terganggu oleh tema pembicaraan yang tidak 
ditunjang oleh pakar mengenai keberagaman. Dari semula mendukung asimilasi, 
sekarang ganti rupa menjadi multikulturalisme, tapi multikulturalisme yang 
sudah disempitkan menjadi pluralisme di dalam multikulturalisme. 






--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, bukjam  wrote:
>
> ok Pak Didi makasih atas infonya.
> 
> salam,
> Bukjam
> 
> 
> 
> 
> 
> 2010/1/27 kwartanada 
> 
> >
> >
> > Pak (?) Bukjam yth
> >
> > Mohon maaf saya tidak punya foto2 dari acara tsb. Namun oleh panitia
> > disediakan gratis buku acara cukup mewah yg berisi bbrp foto yg dipamerkan.
> > Anda tinggal di mana? Kalau di Jakarta, silakan datang ke Salihara, bisa
> > menikmati foto, kuliner Singkawang plus buku foto cantik secara gratis.
> >
> > Oh ya, setelah dari Jakarta, foto2 akan dipamerkan di Singkawang 13 -27
> > Februari 2010.
> >
> > Ibu Myra Sidharta hadir di pembukaan, begitu yg saya dengar dari beliau
> > langsung.
> >
> > salam,
> > didi
> >
> >
> > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com ,
> > bukjam  wrote:
> > >
> > > Khiungthi Kwartanada, mohon kalo ada foto-foto yang bisa dishare tolong
> > > kirimkan langsung ke email bukjam. Makasih sebelumnya. Apakah Ibu Euwyong
> > > Chunmoi (Myra Sidharta) hadir juga? Beliau salah seorang pakar mengenai
> > > budaya hakka (khek), lahir di belitung.
> > >
> > > salam,
> > > bukjam
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > 2010/1/25 kwartanada 
> >
> > >
> > > >
> > > >
> > > >
> > > > Pameran Fotografi "SINGKAWANG - Jade of Equator"
> > > > Sunday January 24-Sunday January 31, 2010
> > > > 10:00 am - 7:00 pm
> > > > Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
> > > > Jalan Salihara 16, Pasar Minggu
> > > > Jakarta
> > > > Phone: 0811800030
> > > >
> > > > Sebuah pameran fotografi dengan tema "SINGKAWANG - Jade of Equator"
> > akan
> > > > diselenggarakan di Galeri Salihara, Jalan Salihara, Pasar Minggu
> > Jakarta,
> > > > tepatnya pada tanggal 24 Januari 2010 sampai dengan 31 Januari 2010.
> > > > Untuk pembukaan pameran diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 23
> > Januari
> > > > 2010 yang berlaku untuk para undangan khusus.
> > > >
> > > > Pameran ini juga akan dimeriahkan dengan performance wayang gantung
> > (Chiao
> > > > Theu), pagelaran batik khas Singkawang bercorak Tidayu (Tionghoa Dayak
> > > > Melayu), Pat Jim Pan dan atraksi tatung.
> > > >
> > > > Juga ada pameran keramik Singkawang dan kuliner khas Singkawang seperti
> > > > kincipan, choipan, rujak, kue kantong semar dan penganan kecil lainnya
> > yang
> > > > khas Singkawang.
> > > >
> > > > Pokoknya kita bikin Salihara jadi 'Little Singkawang'.
> > > >
> > > > Yuk, ramai-ramai datang, Pasti !!! Ke Singkawang.
> > > >
> > > > Jadwal lengkap:
> > > >
> > > > Pameran Fotografi "SINGKAWANG: Jade of Equator"
> > > > 24-31 Januari, Pk 10.00-19.00 WIB
> > > > Karya: Jay Subyakto, Yori Antar, Enrico Soekarno, Sigi Wimala, John
> > > > Suryaatmadja, Sjaiful Boen, Asfarinal St. Rumah Gadang, dan Oscar
> > Motuloh
> > > >
> > > > ***
> > > >
> > > > Diskusi: "Singkawang dan Zambrud Keberagaman Indonesia"
> > > > Minggu, 24 Januari 2010, Pk 16.00 WIB
> > > > Nara Sumber: Harry Tjan Silalahi, Mely G Tan, Goenawan Mohamad
> > > >
> > > > ***
> > > >
> > > > "Bincang Santai Tentang Kota Singkawang Bersama Fotografer:
> > > > Jay Subyakto, Yori Antar, Enrico Soekarno, Sigi Wimala, John
> > Suryaatmadja,
> > > > Sjaiful Boen, Asfarinal St. Rumah Gadang, Oscar Motu

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio & Li Thang GUS DUR

2010-02-02 Terurut Topik sumamihardja
diberi nama BUN BIO GUS DUR ( tempat budaya GUS DUR ) atau pun LI THANG GUS DUR 
( Hall/aula pembelajaran GUS DUR ). 
"

Ide itu menarik, tapi tidak realistis. Lebih baik ornamen tersisa dikembalikan 
ke bangunannya. Kalau mau replika kehancuran, bikin aja seadanya tanpa perlu 
bahan asli. Sudah itu pabrik-pabrik itu tidak akan dapat ijin lokasi. Anda tahu 
cara pembuatan tahu tradisional yang membutuhkan banyak air? Pembuatan dodol 
yang memerlukan arang kayu keras? Kalau cuma replika sih boleh, tapi AMDAL akan 
wanti-wanti melarang itu semua demi kepentingan situ Cibubur yang juga sekarang 
sedang terancam keberlangsungannya. Soal Bun Bio atau Li Thang juga tidak pas, 
belum lagi terjemahannya. Bio tidak bisa disamakan dengan mesjid. Kalau mesjid 
Cheng Ho tentunya bukan dimaksudkan untuk memuja Zheng He. Tapi kalau Bio, 
fungsi utamanya adalah memberikan penghormatan kepada tuan rumah yang disebut 
namanya di situ. Meskipun bio juga ada macam-macam, tapi yang dikawatirkan 
justru adalah tudingan syirik yang juga bisa menimbulkan antipati besar, bahkan 
dari kalangan dekat Gus Dur sendiri.

Tetap saja, perkembangan TBT menunjukkan bahwa tempat itu hanya pajangan budaya 
artifisial, bukan monumen yang benar-benar dibutuhkan. Banyak buku yang 
mengulas makna konservasi, atau monumen budaya. Intinya adalah bahwa tema dari 
suatu lokasi haruslah sesuai dengan maknanya. Kalau tidak, yaaa, itu cuma 
mengulang proyek Kota Legenda, Taman Wisata, Kluster Tiongkok atau Anjungan 
Tionghoa. 
Tapi kalau mau membawa nama Budaya Tionghoa (Indonesia)? Jauh panggang dari api.



Adapun yang dinamai berbakti adalah dapat sebaik-baiknya meneruskan pekerjaan 
mulia dari generasi terdahulu. Dalam sembahyang musim semi dan musim gugur 
hendaklah dibangun kembali bio leluhur, diatur rapi barang-barang warisannya, 
diatur rapi pakaian-pakaiannya dan disajikan makanan sesuai dengan musimnya.

Suma Mihardja





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ophoeng"  wrote:
>
> Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, 
> Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung 
> Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, 
> Bung Rico, dan TTM semuah,
> 
> Hai, apakabar? Sudah makan?
> 
> Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua 
> yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - 
> sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir 
> sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya 
> sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - 
> apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! 
> 
> Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana?
> 
> Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan 
> bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi 
> gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya 
> kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya 
> kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. 
> 
> Kata Confusius: "Journey of a thousand miles, begins with but a single step".
> 
> Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak 
> bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh 
> memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh 
> melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama.
> 
> Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas 
> kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah 
> dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding 
> dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang 
> kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu 
> maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada 
> istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu 
> tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. 
> 
> Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat 
> kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu 
> yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari 
> ini lawan, besok bisa jadi kawan. 
> 
> Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak 
> seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, 
> sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan 
> pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap 
> salah itu. 
> 
> Padahal, katan

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-02-02 Terurut Topik sumamihardja
Jaga omongan! Ketimbang anda memberikan soja tapi sengaja melontarkan ucapan 
macam begitu, jauh lebih baik kalau dipikirkan dulu apa yang mau anda katakan!!!

Apa hubungannya Yahudi dengan masalah ini? Tahukah anda bahwa dulu orang-orang 
sebangsa anda juga pernah dijuluki Yahudi dari Timur dan menimbulkan 
syakwasangka yang mendalam??? Tahukah anda efeknya terhadap upaya melawan 
diskriminasi dan menghargai perbedaan-perbedaan antara etnis yang berbeda? Kok 
anda ikut-ikutan mengangkat istilah semacam itu setelah gagasan anda ternyata 
tidak disetujui oleh banyak miliser di sini? Tingkah semacam itu sama seperti 
anak kecil yang merajuk setelah keinginannya tidak dipenuhi, akhirnya balik 
mengejek-ejek.

Tahukah anda bahwa tidak semua orang Yahudi meratap di tempat itu? Tahukah anda 
bahwa yang meratap pun bukan semuanya orang yang kagak ngapa-ngapain??? 
Komentar anda yang sembarangan semacam inilah yang menjadi bibit rasisme. Kalau 
tidak setuju dengan sikap semacam itu, kan tidak harus membawa-bawa nama Yahudi 
atau membanding-bandingkan Tionghoa dengan Yahudi! Besok jangan-jangan akan 
dibanding-bandingkan pula antara nabi-nabi Yahudi dengan dewa-dewi Tionghoa. 

Saya tidak tahu kepada siapa komentar ini anda lontarkan, kepada yang 
mengomentari permintaan anda untuk membantu dana TBT, kepada perorangan 
tertentu atau siapa? Saya pribadi juga tidak sependapat dengan TBT tersebut, 
sehingga wajar kalau saya berpikir anda pun menujukkan sarkasme anda itu kepada 
saya juga. Sayangnya anda sangat keliru, sekaligus juga perlu ditegaskan bahwa 
SAYA BUKAN ORANG YANG NATO!!!

Kalau bicara, kenali dulu kepada siapa anda bicara. Saya memang muda, dan saya 
bukan orang Jakarta, malah jauh di daerah sana. Kalau soal CN, itulah yang 
justru saya selalu tanyakan kepada mereka yang terlibat atau setidaknya tahu, 
dan saya tidak NATO. Saya hanya tahu dari surat kabar bahwa SMH sudah dibongkar 
tahun 1990-an, dan saya bahkan baru masuk kuliah, ditambah banyak persoalan di 
kampung saya yang saya harus turun tangan. Tapi apakah kemudian saya diam? 

Pernahkah anda masuk ke sarang Untar dan ngoceh mengenai kesalahan jurusan 
arsitek Untar di depan orang-orang yang menjadi panitia pembongkaran??? Orang 
mungkin bilang saya gila dan nekad, tapi tentu saja banyak yang juga bilang 
saya berani dan punya wawasan. Intinya, saya tidak NATO. Saya sendiri bukan 
orang yang kasar, tapi saya keras dalam prinsip dan juga punya pengetahuan yang 
cukup. Itulah yang menyebabkan orang Untar tetap respek sama saya karena 
kejujuran dan kematangan sikap saya. 

Saya pun bicara dengan dinas kebudayaan DKI dan bahkan ke Dirjen Purbakala di 
Depbudpar, meski saya memahami bahwa mereka mengalami masalah koordinasi di 
lapangan, dan dengan anggaran yang terbatas karena pemerintah pusatnya memang 
tidak peduli dengan aset budaya. Tahu kasus Trowulan, Museum Solo, Taman 
Borobudur (dan strategi terbarunya yang bias, yaitu kewajiban berbatik), dan 
sebagainya? Itu akibat pariwisatanya yang didulukan, sementara budayanya 
dijadikan komponen pariwisata sejauh itu menguntungkan pemodal.

Makanya saya bilang bahwa persoalannya memang kadung laten, tidak sesederhana 
membalik telapak tangan. Seberapa kuatnya dana para miliser yang peduli budaya 
ketimbang para konglomerat yang merasa punya uang dan bisa membeli segalanya 
untuk keperluan bisnis yang lebih baik bagi mereka? Kalaupun para konglomerat 
tersebut membeli benda budaya, saya sendiri ragu apakah itu untuk keperluan 
konservasi ataukah sekedar romantisme dan pamer kekuatan uang? 

Kasus rumah Oey Djie San menunjukkan hal tersebut. Mau action soal rumah Oey 
Djie San? Sudah dilakukan, bahkan dengan melibatkan sejumlah orang yang 
dianggap tokoh. Masalahnya, ketika Pemkot Tangerangnya dableg, merasa bahwa itu 
belum jadi cagar budaya (atau mungkin juga masih ada sinophobia di balik alasan 
tersebut), atau mengatakan dananya tidak ada, kemudian adakah pengalihan dana 
dari para konglomerat kepada rumah ODS tersebut? Kalau pencinta budaya 
terus-menerus demo (padahal jumlahnya sedikit), Pemkotnya juga tinggal 
mengerahkan Kamtib dengan alasan menduduki lahan orang. 

Kalau mau peduli, yang benar adalah mengalihkan dana TBT ke pembelian rumah 
ODS, dan membentuk perkumpulan pengurusan (fungsionalisasi bangunan sehingga 
bisa berswadaya) seperti yang sudah saya usulkan, bahkan saya lontarkan ke 
hadapan orang yang menjadi penghubung dengan si pemiliknya!!! Memang tidak 
ditanggapi, tapi NATO

Bahwa desakan saya itu gagal, saya mau nyalahin siapa? Lewat milis saja tidak 
banyak yang peduli koq (salah satu alasannya adalah "itu kan rumah pribadi"), 
padahal cukup dengan kehadiran saja di lapangan sudah cukup untuk memberikan 
dukungan moral. Tapi saya juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, karena 
bisa saja ada kesibukan akibat pekerjaan (lha, kalau dipecat, saya bisa kasih 
kompensasi apa?), atau tidak sreg dengan orang-orang yang hadir di sana (saya 
sendiri juga merasakan hal itu ket

[budaya_tionghua] Re: Kebangkitan Orkes Simfoni Jakarta Dan Peresmian Auditorium Jusuf Ronodipuro

2010-02-01 Terurut Topik sumamihardja
Tritsch-tratsch bukan karya Polka. Polka adalah aliran musiknya, hampir seperti 
balet, tapi lebih energik dan tariannya pun bukan membuai seperti balet, lebih 
menghentak seperti tarian Gypsi. TT dimainkan dengan irama Polka, yang 
menggubahnya adalah Johann Strauss, Jr.

Radetzky March bukan dibuat oleh yang Jr. (II)), tapi oleh bapaknya, sang 
Johann Strauss (Sr.; I).

Namanya Lie Eng Liong (Adidharma; 1930-). Dia hasil didikan Konservatorium di 
Amsterdam untuk kemudian ke Julliard School of Music di New York. Gurunya 
adalah Persinger yang juga mengajar Zubin Mehta, konduktor terkenal Israel. 
Spesialisasinya semula adalah biola sebalum nantinya aktif di RRI dan kemudian 
OSJ.


Pada tempayan Raja Thung terukir kalimat,"Bila suatu hari dapat memperbarui 
dari, perbarui terus tiap hari dan jagalah agar baru selama-lamanya".


Suma Mihardja




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti  wrote:
>
> Hari sabtu kemaren sengaja saya memuaskan diri dengan menghabiskan waktu 
> untuk membaca novel kesayangan saya, ketika melirik jam sudah menunujukkan 
> jam 01.00, udah hari minggu, saya menyalakan TV, dan entah mengapa rasanya 
> kok ingin buka channel TVRI, dan sungguh kebetulan yang menyenangkan.
> 
> Ternyata ada siaran tunda acara pagelaran orkes simfoni jakarta yang 
> sekaligus peresmian auditorium Jusuf Ronodipuro yang dilaksanakan tepat 
> dihari 2 tahun kepergian Beliau yaitu tanggal 27 Januari 2008.
> 
> Beruntung saya ketinggalan sedikit acara tersebut, tampak Bapak Parni Hadi 
> sedang memberikan sambutan, tampak di deretan kursi undangan yang saya kenal 
> wajahnya diantaranya ada Ratu Kuis TVRI Ibu Ani Sumadi, kemudian tampak pula 
> dubes Rusia beserta istri, Pak Adnan Buyung Nasution beserta Ibu Ria, dan 
> yang paling penting tentunya sosok Ibu Jusuf Ronodipuro yang tetap terlihat 
> cantik di usia senjanya yang didampingi oleh Putranya saya rasa, karena saya 
> tidak kenal, hanya menerka-nerka karena wajahnya mirip dengan Bapak Jusuf 
> Ronodipuro.
> 
> setelah selesai Pak Parni Hadi menyampaikan pidatonya, giliran pak Sutan 
> Takdir Alisyahbana mewakili keluarga dan kolega dari Bapak Jusuf Ronodipuro 
> menyampaikan sambutan yang juga sekaligus mengupas perjalanan kehidupan Bapak 
> Jusuf Ronodipuro.
> 
> setelah itu adalah penanda tanganan prasasti auditorium yang ditanda tangani 
> oleh Bapak Parni Hadi selaku dirut RRI, yang didampingi oleh Ibu Jusuf 
> Ronodipuro yang tampak begitu terharu atas penghargaan kepada suami terkasih. 
> 
> kemudian acara disambung dengan persembahan lagu-lagu klasik sebagai 
> conductor adalah Bapak Amir Katamsi.
> 
> lagu pertama yang dipersembahkan adalah Lagu Symphony No 40 Kv. 550 karya 
> Wolfgang Amandeus Mozart,  salah satu lagu klasik yang paling saya kenal baik 
> dan sangat saya sukai. 
> 
> seketika saya begitu menikmati musik klasik indah itu, lagu kedua berlanjut 
> dengan lagu THE PRAYER karya David Foster yang dinyanyikan secara duet oleh 
> Aning Katamsi dan Christopher Abimanyu.
> 
> susul menyusul kemudian instrumen tritsch-Tratsch karya Polka, di sambung 
> dengan penampilan solois sofran Aning Katamsi membawakan lagu "CITA RIA " 
> dengan nada Sofran yang begitu bening, kembali Duet Aning katamsi dan 
> Christopher menyanyikan AMIGOS PARASIEMPRE karya Andrew Llyold Webber, dan 
> keduanya menutup dengan lagu TIME TO SAY GOODBYE karya Enrico Sartori.
> 
> Dipenghujung acara Orkes simfoni jakarta menutup dengan RADETZKY MARCH karya 
> Johann Straus II.
> 
> Sungguh suatu persembahan yang sangat indah buat Putra terbaik bangsa ini, 
> ucapan selamat sungguh layak di sampaikan kepada Yang Terhormat Keluarga 
> Besar Bapak Jusuf Ronodipuro.
> 
> Keteguhan Beliau dan keberaniannya akan selalu menjadi inspirasi bagi seluruh 
> Bangsa Indonesia.
> 
> bagaiman perjalanan tentang Orkes Simfoni Jakrta, inilah kutipan yang saya 
> kutip dari koran tempo hari ini.
> 
> Orkes Simfoni Jakarta (OSJ) mulanya berasal dari Orkes Studio Djakarta ( OSD 
> ), OSD dibawah kepemimpinan Syaiful Bahri memainkan khusus lagu-lagu 
> Indonesia, hingga OSD pada saat itu menempatkan diri sebagai pusat 
> perkembangan musik Indonesia.
> 
> OSD dibawah pimpinan Lie Eng Lion atau Andhi Dharma, bersama Praharayan 
> Prabowo kemudian menjadi pengisi tetap acara musik klasikDi RRI dan Taman 
> Ismail Marzuki.
> 
> OSD kemudia berganti nama menjadi Orkes Simfoni Jakarta (OSJ ) dibawah 
> pimpinan Yudianto Hinupurwadi dan dilanjutkan oleh Amir Katamsi hingga 
> sekarang.
> 
> Sebagai penutup rasanya ingin sekali mengenang Semboyan RRI yang dicetuskan 
> oleh Bapak M. Jusuf Ronodipuro " Sekali di Udara TETAP Di Udara "
> 
> Teriring salam hormat dan Kasih untuk Keluarga Besar Bapak Muhammad Jusuf 
> Rondipuro.
> 
> Salam,
> Eva.
>




[budaya_tionghua] Re: AYO heritage BUDAYA TIONGHOA. Pasar Baru Jkt. Pst.

2010-02-01 Terurut Topik sumamihardja
Semangat boleh tinggi, tapi harus terkendali dan hati-hati. Membereskan 
bangunan tua tidak semudah kelihatannya. Ada teknik konservasi yang harus 
dipersiapkan, selain dari pendekatan kepada yang empunya!!!

Kalau tidak, tindakan ini hanya sekedar euphoria, dan takutnya layu sebelum 
berkembang. Jauh lebih baik untuk mengetahui keinginan dari si penghuni. Anda 
bisa bayangkan kalau tiba-tiba anda datang dalam jumlah besar dan memancing 
keributan dengan si pemiliknya. Kita ini mau peduli dengan budaya atau mau 
membuat ribut? Kalau info soal gedung kuno yang rusak sih saya juga punya 
banyak, tapi pernahkan anda bicara dengan pemiliknya? Kita juga punya sopan 
santun. Kalau pemiliknya keberatan karena ada alasan historis atau ada hal 
lain, kita harus mendengarkannya juga. 

Sebagai contoh, rumah yang di Tangerang itu bukan terbengkalai, cuma ada 
kesulitan untuk memberbaiki bagian atapnya karena kayu tua. Memangnya anda bisa 
naik-naik ke atas untuk membersihkan tanpa menimbulkan kerusakan di sana sini? 
Yang diperlukan sejumlah rumah adalah renovasi total. Masalahnya, yang banyak 
dibutuhkan adalah biaya yang besar dan teknik konservasi yang benar. Rumah 
semacam itu juga masih banyak, dan karenanya saya justru mendorong untuk 
meluaskan pandangan kita dulu agar lebih optimal dalam bertindak.

Sewaktu saya di Tangerang, saya sudah melihat adanya "bos" tanah yang hobi 
membeli rumah-rumah tua di sana untuk sarang walet. Salah satu yang saya tidak 
sempat ketahui duluan adalah pembongkaran rumah di depan Boen Tek Bio yang 
sebenarnya masih berarsitektur tua dan menggunakan bahan-bahan kualitas atas 
(semisal kusen berukuran paha gajah, atap pelana dan gembyok istimewa). Dari 
pengalaman itu, biasanya pemilik senang dengan perhatian, tapi apa yang 
dibutuhkannya seringkali berbeda dengan pemahaman kita. Selain itu, faktor 
"bos" tanah yang potensial menghasut (karena dia berminat membeli) juga harus 
diperhatikan karena potensial menjadi penghalang besar, bahkan penjegal upaya 
konservasi.

Setelah ijin didapat dan dana yang cukup diperoleh, saya sih tegaskan, bukan 
anda yang akan memperbaikinya (maaf bila anda ternyata adalah tukang kayu, 
tukang cat atau tukang tembok kuno berpengalaman). Perbaikan atau perawatan 
perlu dikerjakan oleh tukang yang mengerti sistem bangunan bersangkutan, 
ditambah ahli material untuk menyesuaikannya dengan bahan aslinya. Sudah itupun 
harus ada dokumentasi yang akurat dan teknik pengukuran yang benar pula. 
Terkadang karena alasan praktis, ada beberapa perubahan minor yang dilakukan 
pemilik untuk menghindari kerusakan (misalnya penyemenan kayu yang miring 
sehingga berkesan kayunya miring, padahal sebenarnya kayunya harusnya tegak, 
dsb), dan itu perlu dikoreksi oleh arsitek Tionghoa archaic yang beneran (bukan 
yang cuma tahu dari ceritaan atau sekedar mengaku lulusan arsitektur 
Universitas di Grogol sana, mentang-mentang mayoritas dosennya Tionghoa). 

Jadi dalam hal ini, lebih baik kalau pembicaraan dilakukan oleh delegasi yang 
memahami masalah budaya Tionghoa, situasi sosial kenegaraan dan sekaligus paham 
teknik konservasinya. Sebagai iluustrasi, saya sendiri mendalami konstruksi 
kayu dan ukiran, namun tetap perlu orang yang mendalami teknik pengecatan 
konstruksi ukiran (bukan teori, tapi ahli cat; jangan sampai ukirannya justru 
tertutup cat atau diberi warna yang salah).

Saya tidak hendak merendahkan semangat, namun pembicaraan harus dilakukan 
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan salah sangka si pemilik, apalagi dalam 
situasi Indonesia yang banyak mafia tanah, ketidakpedulian aparat pemerintah 
dan ketidakpedulian kalangan Tionghoa sendiri. Jangan sampai kehadiran anda 
dengan isu yang ambisius untuk merawat lukisan di atap akan disalahtafirkan 
(termasuk disalahtafirkan soal duit, duit dan duit! Proyek, proyek dan proyek).

Selain itu patut diperhitungkan adanya konflik dalam keluarga yang bersangkutan 
(kalau dibagusi, anggota lainnya akan marah dan berpikir bahwa yang tinggal 
akan mengangkangi; bisa juga bahwa si pemilik sengaja membiarkan rumahnya rusak 
agar terhindar dari "ikatan" cagar budaya, dan bisa menjual atau merombaknya 
dengan mudah). Lebih baik berhati-hati dan persiapan matang ketimbang ada 
masalah besar akibat kehadiran anda.

Saya sudah melakukan beberapa perbincangan (lebih dalam rangka personal) dengan 
sejumlah pemilik gedung bersejarah. Sebagian besar mengeluhkan soal biaya 
perawatan, tekanan ekonomi untuk merubah fungsi bangunan, dan lebih parah lagi 
"rasa malu" punya gedung yang sudah tua (bercorak Tionghoa pula!). Masalah 
laten inilah yang harus diatasi lebih dulu.

Sebagai perbandingan, renovasi Gedung Arsip Nasional (bercorak Indies saja 
perjuangannya butuh sekitar 10 tahun, itupun makan anggaran sekitar Rp. 25 
milyar sebelum peresmiannya sekitar sepuluh tahun yang lalu; salah satunya 
dikoordinasi arsitek Han Hoo Tjwan [Han Awal] yang belakangan memperoleh 
penghargaan dari UNESCO Asia-Pacific Award dan penghargaan A T

[budaya_tionghua] Vienna symphony (Re: Apa relevansinya)

2010-02-01 Terurut Topik sumamihardja
Hehehe, kayaknya ko ZFY bukan penggemar musik bule nih. Saya menggemari juga 
dan sedikit banyak kolektor musik klasik, baik opera klasik Tionghoa, instrumen 
Tionghoa, lagu daerah, opera seriosa Barat dan juga simponi Barat, khususnya 
mazhab Rococco. Ada kekuatan dan "kekurangan" masing-masing aliran, tapi yang 
saya rasakan, musik bisa memberikan inspirasi jiwa. Entah mengapa, telinga saya 
mungkin kurang hi-fi, atau memang begitulah perkembangan dinamika musik, musik 
jaman sekarang serasa kurang merasuk dan lebih banyak bermain dengan variasi 
ritmik yang meskipun menggebu-gebu, tapi lebih di kulit dan di jantung 
ketimbang di hati dan pikiran. 

Btw, yang dimainkan dalam NYC sebenarnya bukan cuma dari Johann Strauss 
(apalagi ada si Sr. dan si Jr.). Selain itu  ada Eduard Staruss, Joseph Strauss 
yang meskipun kadang diklasifikasikan punya sejumlah persamaan (kecuali Richard 
Strauss yang memang tidak ada pertalian dengan Strauss masa Roccoco ini), namun 
perbedaannya juga banyak. Misalnya Joseph sering memainkan Polka, sementara 
kakaknya, si Jr lebih ke arah Waltz. Radetsky March sendiri selalu dimainkan 
sebagai tanda penutup simponi, oleh karena itu, iramanya juga cocok, yaitu agar 
orang mulai bergerakuntuk pulang. hehehehe. Begitu mendengar lagu 
ini dimainkan, orang sudah tahu dan tidak akan minta "more, more", karena 
artinya sudah tanda bubaran.

Sependalaman saya dalam konser tahun baru VPO, ada juga beberapa pemusik lain 
yang diangkat lagunya dalam tradisi Wina-Austria-Prusia (bahkan meskipun 
kabarnya ada perseteruan dalam hidupnya dengan anggota keluarga Strauss), 
misalnya Emil Waldteuffel, Franz Lehnar dan sebagainya. Malahan, ketika 
konduktornya bukan dari tradisi Austria-Jerman, ada upaya untuk memberikan 
sentuhan musik dari luar rumpun tadi. Jadi, sebenarnya variasinya cukup banyak, 
meskipun bagi yang tidak begitu mendalami musik klasik, nadanya kesannya cuma 
ngik-ngok-ngik-ngok saja (yang kata Soekarno musik dansa-dansi sebagai warna 
dominan dari walsa). 

Dalam kaitannya dengan BT, ada sejumlah kalangan Tionghoa yang memainkan musik 
klasik Barat dan dikenal luas di jagat Barat. Bagi saya, kehadiran mereka cukup 
penting menjadi jembatan budaya, meskipun ada juga yang tulen menjadi pemusik 
Barat. Ada sejumlah nama yang memasukkan juga instrumen Timur dalam orkesnya, 
bahkan dalam bentuk orkes kamar. Penampilan 12 Gadis yang terkesan diinspirasi 
oleh model Simponi juga merupakan sebuah upaya promosi yang menarik, mengingat 
pada akhirnya kalangan ortodoks klasik Barat juga tertarik untuk mendengarkan 
Simponi ala Tionghoa tersebut dan memberikan apresiasi yang luar biasa juga.

Dalam sepuluh tahun belakangan ini, pertukaran musik dan permainan bersama 
dengan ensemble campuran Timur dan Barat serta alat-alat gabungan, mulai 
ditingkatkan. Sebagian alat musik Tionghoa sendiri terinspirasi atau bahkan 
diadaptasi dari alat musik kelompok bangsa yang lain seperti misalnya Pipa 
(seperti mandolin dengan bentuk yang menyerupai bawang dibelah) atau ensemble 
dengan nada diatonis. Sebaliknya, saat ini juga pemusik di Barat berkenalan dan 
antusias mempergunakan yangqin dan tambur.

Kalangan pendidik Tionghoa sendiri sering mempergunakan musik sebagai salah 
satu medium untuk memusatkan konsentrasi dan kemampuuan berpikir. Makanya 
dahulu, musik juga menjadi salah satu keahlian yang diperlukan untuk mendidik 
rakyat. Hanya masalahanya, musik yang mana dan lirik yang seperti apa. Dalam 
pendengaran saya, musik klasik model walsa ini (tentunya jangan terpikir ngeres 
untuk melihat dansa-dansi panas atau apriori bahwa akan terjadi affair 
akibatnya) juga punya pengaruh yang cukup baik bagi perkembangan jiwa seseorang.


"Hal yang dapat diketahui tentang musik ialah: pada permulaannya suara harus 
cocok. Selanjutnya suara musik itu harmonis meninggi dan menurun 
terputus-putus, demikian seterusnya sampai selesai."

Suma Mihardja





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote:
>
> Sebenarnya saya juga heran, mengapa orang begitu gandrung thd acara newyear 
> concertnya vienna symp.orch. Sampai di China muncul show gadungan, dimana 
> mereka mendatangkan romb orkes dari viena yg bernama. Symphony Wien, tapi 
> diiklankan se akan2 vienna symp. Orch. 
> 
> Kalau saya sih lumayan bosan, habis isinya Johan Strauss melulu, kurang 
> greget lah.
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
> 
> -Original Message-
> From: "Erik" 
> Date: Mon, 01 Feb 2010 08:07:46 
> To: 
> Subject: Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu
> 
> 
> Wah, surprise tahu koh ABS juga pencinta musik klasik. Bicara dirigen ,
> entah mengapa saya tidak simpati sama si gaek Georges Pretre, udah tua
> bangka gitu (konon usianya lebih 80 thn?) masih jingkrak-jingkrakan gak
> karuan. Lebih berwibawa Zubin Mehta atau Claudio Abado yang
> berpenampilan anggun dan tenang.
> 
> Kalo gak salah ingat, China Philharmonic juga pernah tampil tak kurang
> dari

Re: Bls: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA)

2010-02-01 Terurut Topik sumamihardja
Salah satu penjagaan bangunan tua yang terakhir saya ikuti adalah pembongkaran 
rumah warisan Oey Djie San (warisan pula dari Oey Giok Koen) di Tangerang 
(sebelumnya antara lain makam Souw Beng Kong di Pangeran Jayakarta, kemudian 
Kelenteng Talang di Cirebon dan Kelenteng Tanjung Kait di Mauk). Saya pernah 
ikut rapat di rumah seorang yang dikenal berinisial BL yang kelihatannya 
ditugasi oleh JSC (seorang hartawan, bapak dari seorang anak yang kuliah di LN 
yang kabarnya tertarik dengan arsitektur gedung tersebut) untuk mendengarkan 
masukan mengenai rencana pembongkaran rumah tadi.

Dalam rapat tersebut, saya sudah melontarkan gagasan untuk mendirikan sebuah 
yayasan atau perkumpulan demi menyelamatkan gedung tadi dengan pertimbangan 
bahwa ada keterhubungan antara sisi historis dengan lokasinya, sekaligus untuk 
mengantisipasi hubungan di antara dana perawatan dengan tanggung jawab 
pengurusannya (karena kalau kepemilikan orang kaya tunggal saja, tidak ada 
jaminan bahwa kepentingan pribadi dirinya atau anak-anaknya akan dibatasi, sama 
seperti kejadian di rumah keluarga Souw yang sedikit sayapnya sudah diubah 
menjadi ruang praktek dokter). Sayangnya, meskipun BL ini mengaku sebagai bekas 
kontributor UNESCO di Asia Tenggara, kelihatannya misi untuk memenuhi keinginan 
JSC lebih kuat, apalagi dalihnya adalah bahwa gedung itu belum dijadikan benda 
CB. Jadinya pada saat itu hanya dijanjikan bahwa si pemilik akan memindahkan 
gedung tadi ke tempat yang cocok dan merawatnya. Pada saat itu saya sudah 
pesimis dengan janji tadi dan karenanya meminta BL untuk memberitahu si pemilik 
tadi mengenai desakan saya itu. Ternyata tidak ada kabar lebih lanjut. Setelah 
itu (tahun 2009 awal), akhirnya rumah tadi benar-benar dirobohkan dan kemudian 
dibangun McDonald. Yang membuat saya lebih pesimis adalah bahwa meskipun banyak 
pemerhati yang peduli, namun yang cuma pengen tahu atau mendompleng justru 
lebih banyak. Buktinya, ada beberapa organisasi pemuda Tionghoa yang ikut, tapi 
ternyata ada embel-embel politiknya (buat pemilu 2009). Kalau memanfaatkan 
momen pemilu untuk mengajak kepedulian tokoh politik (waktu itu sampai nama JK 
mau dibawa ke sana) menyelamatkan gedung sih oke-oke aja, tapi begitu yang 
mempergunakan peristiwa pembongkaran gedung itu adalah peserta gerakan untuk 
mendukung kepentingan pribadinya, yaaa, kacian. 

Yang lebih kacau lagi, ternyata ada sejumlah orang Tionghoa Tangerang yang 
sering disebut sebagai "tokoh budaya" justru terlibat atau setidaknya 
melegitimasi pembongkaran tadi. Entah janji-janji macam apa lagi yang sudah 
dilontarkan oleh pihak pembeli, arsiteknya dan juga pemborong pembongkaran 
tadi. Yang pasti, jejak janji itu tidak ada yang menagihnya hingga sekarang. 
Apalagi, berdasarkan kejadian yang lalu-lalu, orang Tionghoa di sini juga suka 
banyak janji, tapi menutupi niatan pribadinya. Inilah yang sangat menyedihkan. 

Berdasarkan hal-hal tersebut dan pengalaman saya yang juga banyak menghadapi 
ketidakberdayaan masyarakat dalam bersikap, salah satu kendala terbesarnya 
adalah adanya motifasi berbeda antara orang Tionghoa kaya dengan orang Tionghoa 
berbudaya. Ornag Tionghoa kaya pada saat ini cenderung tidak menjunjung 
apresiasi budaya, sementara orang Tionghoa berbudaya, jarang yang cukup berada 
untuk menunjang proses kegiatan budaya yang bukan artifisial. Kalau kedua kutub 
ini bisa dijembatani, satu masalah sudah bisa diatasi. 

Mengenai kenapa gedung tertentu yang dipilih, tentunya melihat dari sisi 
arsitekturnya, keunikannya, sejarahnya dan juga aspek-aspek budaya yang melekat 
pada gedung itu. Bahwa ada gedung "biasa" yang bisa menjadi cagar budaya, hal 
itu tentu ada, misalnya rumah sederhana milik seorang peranakan Tionghoa di 
daerah Kedaung. Namun tentu saja, tidak semua gedung biasa bisa menjadi obyek 
cagar budaya. Salah satu pertimbangannya adalah keotentikan arsitektur (dalam 
hal ini adalah rumah peranakan), usianya dan kesejarahan apa yang mau 
diperlihatkan di sana. Kalau rumah itu rumah biasa dalam pengertian tidak ada 
unsur sejarah, keunikan atau pelekatan budaya di dalamnya, ya, itu baru sekedar 
rumah biasa yang kita juga bisa bikiun kapan saja. Sayangnya dari pendataan 
yang saya lakukan di daerah kota, sebagian dari rumah "biasa" yang dijadikan 
cagar budaya oleh Pemda DKI justru sudah berubah fungsi atau setidaknya 
tetrjadi penambahan/perubahan bentuk bangunan sehingga mengurangi keotentikan 
yang menjadikannya benda cagar budaya. Kan lucu kalau atap rumahnya masih 
menggunakan pelana abad ke-19, bawahnya justru sudah beton dengan welding door 
dan tralis demi mengurangi resiko Mei 98.

Dalam hal ini, pemerintah memang harus menjalankan fungsinya sebagai pendata, 
penata dan perawat benda-benda cagar budaya sebagaimana diamanatkan padanya 
berdasarkan UU.

Terhadap pertanyaan apakah pemiliknya bisa dibenarkan melakukan perubahan itu, 
itu memang suulit. Di satu sisi saya menyadari bahwa biaya perawatan 
gedung-geduung kuno itu adalah mahal (

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik sumamihardja
Sebenarnya gedung CN posisi historisnya tidak begitu jauh dibandingkan dengan 
satu dari "saudara-saudara"-nya. Gedung CN tadinya didirikan bersamaan dengan 
dua gedung lainnya di sepanjang jalan Gajah Mada (sekarang) sebagai milik dari 
keluarga besar Khouw. Khouw Kim An adalah penghuni gedung CN itu, sementara dua 
lainnya ditempati oleh saudara-saudaranya. Arsitekturnya bisa dikatakan sama 
dan menawan. Masalahnya, gedung yang satu yang sempat disewakan menjadi kedubes 
RRT, disikat tahun 1966 dan dinasionalisasi untuk kemudian dibongkar dan diubah 
fungsinya, yang lainnya juga kabarnya terkena perusakan dan kemudian dijual 
lalu menjadi pertokoan (atau SMA 2, salah satunya benar, cuma tertular dengan 
yang eks kedubes. Catatan saya belum ketemu dalam waktu singkat ini). Jadinya, 
tinggal CN itulah satu-satunya gedung "lux" Tionghoa era akhir abad ke-19 
selain rumah keluarga Souw di Perniagaan dan gereja Santa Maria de Fatima di 
dekat Petak Sembilan. Kalau dari sisi kualitas, gedung keluarga Khouw ini 
adalah nomor 1-nya di masa itu untuk wilayah Batavia baik dari sisi kualitas 
arsitektur, bahan penyusunnya, perangkat meubel, bangku batu, ubin batu, singa 
batu, kaligrafi dan ukiran yang dibuat di sana serta luas bangunannya. Kalau di 
Tangerang, rumah Oey Giok Koen adalah yang paling top, namun sepembandingan 
saya, masih sedikit kalah kelas dibandingkan milik keluarga Khouw ini.

Meski demikian, gedung CN ini memiliki sejarah kuat sebagai rumah dari Majoor 
der Chineezen terakhir di Batavia (1910-1942 karena Jepang dan tidak berlanjut 
setelah Proklamasi), yaitu Khouw Kim An yang meninggal dalam tawanan Jepang di 
Cimahi tahun 1945. Selain Majoor (jabatan tertinggi saat itu), KKA juga 
merupakan seorang pendiri THHK. Tahun 1910-19300 dia juga menjadi ketua Kong 
Koan Batavia dan tahun 1918 mendirikan Bataviaasche Bank. Tahun 1928 ia ikut 
mendirikan Chung Hwa Hui. KKA juga mendapatkan sejumlah bintang penghargaan 
dari Belanda. Rumahnya di CN itu digunakannya untuk mengadakan 
pertemuan-pertemuan baik dengan petinggi Tionghoa maupuun dengan kalangan 
pembesar lain (Belanda, Jawa, Sunda dan sebagainya), termasuk ketika didirikan 
klub olah raga dan seni budaya Sin Ming Hui.

Dari sisi historis, itulah rumah Majoor der Chineezen. Dari sisi selanjutnya, 
sepeninggal KKA, rumah itu dijadikan tempat pertemuan kalangan Tionghoa, 
apalagi pada masa bergejolak 1945-1947 lewat kejadian gedoran dan "kerusuhan" 
Tangerang. Kerusuhan ini ada beberapa gelombang, namun yang terbesar terjadi 
tahun 1946-1947, menyusul kejadian serupa di sejumlah daerah seperti Medan 
(1945-1946), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon dan sekitarnya (1946) dan di 
daerah-daerah lainnya di pulau Jawa (salah satunya direkam oleh Tjamboek 
Berdoeri di Malang). Tim yang berangkat ke Tangerang di bawah perintah Soekarno 
memintakan ijin untuk menampung pengungsi tersebut dengan kawalan tentara 
rakyat yang tunduk kepada Soekarno ke rumah alm. KKA ini.

Dengan demikian, rumah KKA ini menjadi saksi bagaimana pergolakan 
sosial-politik di Indonesia dari awal abad ke-20 (THHK) hingga masa kemerdekaan 
dan kemudian pemunculan orde baru, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan dan 
keamanan kalangan Tionghoa di Indonesia.

Masalahnya, seperti apa yang sudah saya tulis di thread yang dulu, gedung 
bersejarah ini justru dihancurkan oleh kalangan Tionghoa sendiri yang tidak 
memaknai arti kesejarahannya. Pertama, yang kabarnya "menjualnya", kemudian 
kedua yang membelinya, ketiga yang melegitimasi "penghancurannya", keempat yang 
mengarsiteki "pengolongannya" mayoritas adalah Tionghoa!!!

Makanya saya sampai sekarang tetap menuntut pertanggungjawaban tim arsitektur 
Untar yang ikut mempreteli dan menyimpan ornamen-ornamen dari sayap kiri-kanan 
dan paviliun belakang dari gedung CN tersebut. Saya kenal orang-orangnya, 
makanya saya terus ngledekin mereka, meskipun mereka dableg juga sampai 
sekarang dan sudah mendekati uzur. Kabarnya Untar sudah tidak bertanggung jawab 
lagi (sebelumnya sih sudah tidak bertanggung jawab atas legitimasi pembongkaran 
tersebut) dengan penyimpanan barang-barang itu. Yaa, tidak dikonservasi, jelas 
saja barang itu akan lapuk, hilang atau dipreteli. Itu dia, makanya ketika 
Untar mengklaim menyelamatkan CN, saya sih justru menertawakan klaim itu. Saya 
pernah sindir lebih keras lagi ketika saya putar film mengenai teknik renovasi 
yang benar (yang saya beri tema Rayahan dan Renovasi), cuma ya, karena dableg, 
susah juga, apalagi kalangan Tionghoa pada umumnya juga apatis dan yang peduli 
justru bo lui.

Oleh karena itu, baik pendirian museum Budaya Tionghoa di TMI, saya sih sangat 
apatis dan pernah mengutarakan penentangan saya terang-terangan kepada 
orang-orang PSMTI, namun tidak didengar juga. Saat perancangannya saja saya 
sudah tahu dan memberikan komentar saya, khususnya melihat arsitekturnya yang 
tidak mewakili keunikan tambahan dari Tionghoa Indonesia. Selain soal latar 
arsitekturnya yang tidak sesuai denga

[budaya_tionghua] Re: Tanya kelenteng daerah pancoran

2010-01-28 Terurut Topik sumamihardja
Yang dicari sebagai obyek fotografi itu apa? Apa keantikan kelenteng, keunikan 
umat, keunikan fungsi, kimsinnya, atau malah "keanehan" bentuk kelenteng? 
Apakah termasuk juga vihara yang benar-benar budhis meskipun memiliki ornamen 
Tionghoa? Klasifikasinya juga sangat banyak.

Di seputaran daerah kota ada sekitar 20 kelenteng (dengan berbagai namanya, 
semisal bio, i, si, kong, dsb, termasuk juga kelenteng pelindung marga, 
kelenteng sinci, kelenteng kwan im, hok tek cheng sin dan kelenteng-kelenteng 
khusus untuk tukang obat, tukang kayu, dsb). Yang saya maksud daerah kota 
kira-kira dari kotak imajiner sekitar beos menuju ke pinangsia, ke arah glodok 
pancoran, sampai ke mulut jembatan lima lalu ke arah angke ke Timur menuju 
pasar ikan dan kembali ke stasiun beos. 

Di Jakarta sendiri, ada beberapa kelompok daerah kelenteng (yang dibangun 
sebelum era orde baru, termasuk yang hancur atau dijarah di tahun 1967 dan 
1998). Saya kecualikan vihara (budhis) dengan model Tionghoa yang dibangun 
belakangan dan biasanya cirinya adalah bertingkat, modern dengan sedikit 
arsitektur Tionghoa dan adanya patung Kuan Im dan hiolo baru. Beberapa 
pengelompokan kelenteng yang cukup dekat dengan kota adalah daerah mangga besar 
hingga pasar baru (sekitar 20 kelenteng) yang terutama sekali memiliki pengaruh 
buddhis yang kuat, kemudian enklave daerah pluit-angke (sekitar 10 kelenteng, 
termasuk Toapekong Ancol) meskipun sebagian sudah agak modern, lalu enklave 
daerah jembatan lima hingga tanah abang (sekitar 10 kelenteng) yang juga 
gado-gado. Ada juga kelenteng yang akan misah seperti misalnya Hian Thian Siang 
Tee di Palmerah dan Kelenteng Hok Tek Cheng Sin di Karet dan Kwee Seng Ong di 
Senen yang dipindah ke Sunter serta kelenteng Hok Tek Cheng Sin Jatinegara.

Karena yang dimintakan hanya daerah kota saja, berikut ini daftarnya dan 
sedikit komentar saya:

1. Hongsan bio (Toase Bio) di Jl. Kemenangan III (dekat gereja samping sekolah 
Ricci, yang peninggalan kapiten yang menjadi Katolik, dengan arsitektur awal 
abad ke-20 yang cukup menarik meskipun ada beberapa perombakan di dalamnya 
untuk memfasilitasi gereja), nama sankritnya sudah dikembalikan ke Tionghoa, 
aktif dalam kegiatan gotong joli. Arsitekturnya lumayan, meski sudah difurnish 
modern dengan berbagai keramik dan beton baru.
2. Kim Tek I di Petak Sembilan, sebenarnya "bergabung" dengan tiga kelenteng 
tambahan lain di depannya, sehingga orang sering rancu. Di kompleks itu jadinya 
ada empat kelenteng dengan maksud, arsitektur dan juga pemaknaan yang 
sebenarnya agak berbeda. Ada yang semula untuk shen penjaga "neraka" (karena 
aslinya untuk menghormati shen penjaga daerah pemakaman), dsb (saya tidak bahas 
karena terlalu panjang). Kompleks ini suduah difurnish modern, termasuk hiolo 
di depan Kim Tek I sendiri dan bagian-bagian sampingnya. Arsitektur kayunya 
menarik, meskipun tidak serumit yang biasa ditemukan di daerah Jawa Tengah 
(Semarang dan Lasem). Nama sanskritnya masih terpampang di gerbang depan 
meskipun orang sudah terbiasa kembali ke nama asalnya.
3. Thian Hou Kiong (Maco Lim Bi Nio atau Thian Siang Seng Bo) di Bandengan 
Selatan. Arsitekturnya masih dipertahankan, namun sayangnya gara-gara orba 
dulu, diadakan penamaan dewi samudera dan dipagar sehingga ada kesan bahwa 
kelenteng itu diberi kerangkeng (karena bentuk pagar dalamnya yang tinggi dan 
seperti teralis penjara). Yang unik hanya bagian depan, karena bagian belakang 
nampaknya dibuat untuk mengesankan kebudhisan tambahan dengan menambahkan ruang 
bagi Kuan Im. Memang agak rancu, karena toh dalam beberapa hikayat, Lim Bi Nio 
sendiri digambarkan sebagai berciri budhis dan sama-sama berfungsi sebagai dewi 
penolong, meskipun lebih banyak dikenal kalangan nelayan.
4. Tan Seng Ong Bio (kelenteng pelindung marga Tan), di Jl. Blandongan. 
Kelenteng ini kelihatannya tidak pernah dipaksa memakai nama sanskrit karena 
lebih ke kelenteng marga. Arsitekturnya cukup baik, meskipun sekarang sedang 
direnovasi. Sayangnya ada beberapa renovasi sebelumnya di bagian kanan (dari 
tuan rumah) dan lagi-lagi penambahan ruang Kuan Im yang mempengaruhi makna 
kelenteng asalnya.
5. Lo Pan Kiong di Bandengan Selatan (dekat sekali, sebelah kelenteng Maco, 
namun kelihatannya sudah direnovasi habis dan karena berada di rumahan, sulit 
dilihat (tertutup dan kabarnya hanya dipakai saat kebaktian mingguan).
6. Li Ti Kuai Bio (salah satu dari delapan dewa) di Jl. Perniagaan Gg. Patike. 
Patungnya antik, namun gedungnya sudah dimodernkan dan menjadi vihara (Budhi 
Dharma).
7. Lam Ceng Bio (yang disebut arya marga, suatu nama sanskrit yang dipaksakan 
untuk mengesankan Kwan Kong sebagai seorang Patriot Pembela), di Gg. lamceng 
dan berfungsi rumahan (sebelumnya kompleks rumah kapiten marga The). Gedungnya 
sudah direnovasi abis dan bahkan ditambahi ruang yang berfungsi sebagai ruang 
titipan pengenang arwah meninggal (lilin di gelas). Ada abeberapa artefak yang 
unik namun arsitekturnya terlalu modern.
8. Sam N

[budaya_tionghua] Re: Mencari Keluarga

2010-01-15 Terurut Topik sumamihardja
Waaah, enggak dibaca nih. hehehehe.

Seperti yang saya sudah tulis, saya bukan dari garis Thung Tiang Mih (dan 
kemungkinan besar juga bukan dari garis Banten). Thung Tjoen Pok dan Tjoen Pauw 
adalah keturunan dari Thung Tiang Mih atuh.

Btw, Jiyan dari tiga garis marga Thung di Indonesia adalah cocok satu sama 
lain, karenanya meskipun dari kampung yang berbeda (dua garis dari Yunshan, 
satu dari Changtai), bisa dikatakan moyangnya sama. Apalagi kampung Yunshan di 
kabupaten Huaan, dengan kota Changtai (atau bisa jadi kabupaten) jaraknya cuma 
sekitar 100 km.

Kalau nama saya menggunakan Jiyan Djie (Ji, Ru), itu karena memang generasinya 
sama (saya sudah cocokkan dengan nama orang tua dan kakeknya). Tinggal nama 
Hauw-nya itu apa. Saya sendiri menggunakan Xiao, tapi entah yang lainnya. Bisa 
saja Hou, atau arti lain, meskipun bisa juga sama-sama Xiao Bakti. 

Juga untuk thread GS (kalau tidak salah), marga Thung di Makassar juga besar, 
lebih-lebih karena ada Majoor bermarga Thung di sana yang menjadi penilik 
berbagai kelenteng di Makassar. Saya sudah bertemu keturunan langsungnya dan 
bertukar Jiyan. Majoor Thung Liong Hwie (atau ada juga yang menulis Thoeng 
Liong Hwee) dibunuh Jepang tahun 1942 bersama dengan 4 anaknya karena melakukan 
perlawanan. Karena dia punya gelar bangsawan dari pemerintahan Qing dan 
kemudian pangkat dari Republik, didirikan monumen mengenang keberaniannya. 
Menurut beberapa orang, monumen itu sudah dihancurkan seiring pemindahan lokasi 
makam Tionghoa ke Gowa. Pada masa hidupnya, Thung Liong Hwie ini adalah sehabat 
karib Sultan Gowa dan Makassar. Rumahnya sering dikunjungi para bangsawan dari 
Gowa, Makassar dan Bone dan diadakan cara penerimaan adat. Banyak cerita unik 
mengenai keluarga Thung di Makassar, sebagaimana halnya Thung di Jawa Barat 
(dan Banten). Uniknya, tidak banyak dari marga ini yang menjadi pedagang atau 
pengusaha, kebanyakan lebih tertarik untuk aktif di bidang kemasyarakatan dan 
pendidikan. Tidak heran apabila ketemu dengan keturunan marga Thung di berbagai 
sektor non-bisnis.

Sebagai informasi, ketua dewan Rujia di Hongkong dan kepala departemen 
pendidikan tradisional Rujia di Shandong juga bermarga Thung.






--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Denny Tan  wrote:
>
> Dear Bung Suma Miharja
> 
> Dalam buku silsilah keluarga Thung ada 2 orang yg memakai nama Thung Djie 
> Hauw.
> Saya mengira-ngira jika usia Bung Suma sama dengan saya,
> maka saya menebak kakek anda bernama Thung Tjoen Pok dan nenek anda 
> bernama Tan Hok Nio. Atau kakek anda adalah Thung Tjoen Pauw dan nenek anda
> adalah Tan Hay Nio. Mohon ma'af jika semuanya keliru.
> 
> Sedang Kongcoco Thung Tiang Mie mempunyai nama lain yaitu Thung Liong Soey
> dan nama muslim Tubagus Abdullah Moestopa. Beliau biasa dipanggil babah Emboen
> dan memiliki isteri bernama Tee San Nio yg meninggal pada tahun 1853.
> 
> Sedangkan nama ayahanda Kongcoco bernama Pangeran Mustopa Atau Thung Siang Toh
> Atau Kiyai Tapa Atau Majoor Djangkung Atau Pangeran Purabaya Atau dengan 
> julukan
> Wali Allah Abdul Haj. Beliau beristerikan Ratu Neira atau di panggil Ma' 
> Bugis.
> Beliau lahir tahun 1750 dan tidak diketahui meninggalnya tahun berapa.
> 
> Saya tidak berani menuturkan lebih lanjut lebih keatas sampai tahun 1400 an 
> karena diluar garis leluhur saya. Biar garis keturunan Thung yg lebih banyak 
> bercerita. Karena ada leluhur Thung yg menikah dengan leluhur saya Tan maka 
> buku silsilah kami di gabung.
> 
> Wassalam.
> 
>  
> 
> 
> 
> 
> From: H.S. Han 
> To: Budaya Tionghua 
> Sent: Sun, January 10, 2010 7:43:35 PM
> Subject: [budaya_tionghua] Re: Dr. Tio Oen Bik ==> Sdr. Koai Hiap
> 
>   
> Sdr. Koai Hiap yang budiman,
>  
> Maaf sekali agak lama baru membales e-mail anda.
> Saya tidak dapat menjawab tulisan-tuklisan anda,karena saya belum menyelidiki 
> sampai mendalam riwayathidup Dr. Tio Oen Bik.
> Mungkin sepengetahuan saya Sarikat Dagang Islam didirikan lebih dulu dari 
> Boedi Oetomo. Menurut buku-buku yang ada kedua kumpulan itu berdiri dan 
> anggaran dasarnya banyak bersamaan dengan THHK. Dimaksud terpengaru oleh 
> hasil yang gemilang dari THHK dalam pendidikan masyarakat Hua Yi jaman dulu 
> dan merobah pikiran manusia.
>  
> Kerepotan saya karena kesehatan dan sedang mempersiapkan memoir saya dalam 
> bahasa Indonesia, maka sementara ini saya tidak dapat mencurahkan pikiran 
> saya pada Dr. Tio O.B. Mohon pengertian anda.
>  
> Maaf dan trima kasih atas respons anda pada artikel saya
>  
> Hwie-Song
>




[budaya_tionghua] Re: Mencari Keluarga

2010-01-07 Terurut Topik sumamihardja


Selain ada salah ketik minor, maaf, dinasti Shang dimulai sekitar abad ke-17 
SM. Koreksi dikit aja. Marga Thung diawali dari paman dari kaisar terakhir (Tiu 
Ong) yang dikenal tiran. Adik dari kaisar kedua dari buntut (ayah Tiu Ong) ini 
kecewa dengan keponakannya, kemudian mengenang nama leluhur pendiri dinasti 
menjadi marga para keturunannya. Dapat dicatat juga bahwa marga Kong (yang 
menurunkan Khonghucu) adalah adalah dimulai dari adik kaisar Tiu tadi. Jadi 
marga Thung dan Kong memiliki perkerabatan dari jaman dinasti Shang.


Kat liam bok kiu co yu lin
"TTM: tapi kau orang harus mempunyai semangat yang teguh sekali, buat berdaya, 
berniaga atau bekerja maupun berkuli, jangan mengandalkan atau mengharap 
pertolongan tapi berdikari, bekerja buat cari hidup yang pantas untuk bela diri 
sendiri dan keluarga"

Ciok ji i hou cu sun sian
"TTM: berilah pelajaran dan pendidikan yang baik pada anak dan cucumu, dengan 
rupa-rupa kepandaian dan juga ilmu, supaya kau jadi orang baik dan benar, semua 
keturunanmu, jika kau perhatikan dan mengindahkan ini semua akan kesampaian'

Cun ki ciu siang yao tui sim
"TTM: terhadap kau punya leluhur, atau kau punya ibu dan bapak, yang sudah 
meninggal, yang rohnya sudah ada di alam baka, meskipun sudah tidak tertampak 
lagi wajahnya, tetapi kapan waktu sembahyang harap jangan sekali dilupa"

Wi cu sun tap siang cou in
"TTM: terlebih jauh, anak cucu harus berlaku bakti, pada kau punya leluhur baik 
yang masih hidup amupun yang sudah meninggal, harus bisa balas budinya yang 
berharga lebih daripada harta benda berpeti-peti, karena cintanya, 
pengajarannya dan pendidikan yang diberikan dengan sangat teliti."


Suma Mihardja
Thung Djie Hauw




> 
> 
> 
> 
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ANDREAS MIHARDJA  wrote:
> >
> > HinTjiang adalah teman baik saya - jikalau ada yg kopy bukunya secara ethic 
> > namanya harus dtulis. Sebetulnya juga harus minta izin dari dia - tetapi 
> > oleh karena sudah common knowledge mungkin tdak apa²    Harap sdr Denny 
> > mengerti peraturan kopy rights.
> > Andreas
> > 
> > --- On Thu, 1/7/10, Denny Tan  wrote:
> > 
> > 
> > From: Denny Tan 
> > Subject: [budaya_tionghua] Mencari Keluarga [1 Attachment]
> > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> > Date: Thursday, January 7, 2010, 5:57 AM
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > [Attachment(s) from Denny Tan included below] 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > dear member milis
> > saya mendapat satu buku turunan (silsilah keluarga)
> > dimana di dalamnya ada terselip 4 lembar nasihat keluarga.
> > disini saya lampirkan lembar pertama.
> > jika ada yg memiliki nasihat sama dan bisa menunjukan lembar ke 2, 3 dan ke 
> > 4
> > artinya kita bersaudara.
> >  
> > Wassalam.
> >  
> > 
> >  
> > 
> > 
> > Attachment(s) from Denny Tan 
> > 1 of 1 Photo(s) 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > P1001474.JPG
> >
>




[budaya_tionghua] Re: Mencari Keluarga

2010-01-07 Terurut Topik sumamihardja
Saya sendiri sudah memiliki "slinan" pesan dari Kongcoco Thung Tiang Mih 
tersebut sejak lama. Garis saya memang bukan dari garis dia (garis Thung asal 
Kesultanan Banten). Namun leluhur orang yang mengangkat dia sebagai anak 
selepas kejadian penghancuran banten oleh Belanda (marga Thung yang tinggal di 
Banten Lama, atau bisa juga sebaliknya Thung yang diangkat menjadi bagian 
keluarga Kesultanan Banten) saya perkirakan sama dengan garis saya, karena saya 
baca sama-sama berasal dari Yunshan (WunSoa), Huaan, Hokkian. Satu garis besar 
marga Thung yang lain adalahdi Indonesia berasal dari Changtai (Thiotoa), 
Hokkian.

Garis Banten dan garis Yunshan berkibar di Banten (sekarang) dan Jawa Barat. 
Pusat terbesarnya di kisaran Bogor-Sukabumi menggantikan yang di Banten Lama 
(misalnya Thung Tjoen Pok, Thung Tjeng Hiang, Thung Liang Lee, Thung Sin Nio, 
dan Thung Ju Lan. Banyak profesor, guru dan institusi pendidikan terkait dengan 
marga Thung, bahkan kalangan perempuannya. Bandingkan dengan isi pesan Thung 
Tiang Mih). Garis Changtai berkibarnya di Makassar, Sulawesi (meskipun secara 
tulisan menggunakan ejaan yang kurang lazim, yaitu Thoeng yang semestinya 
dibaca Thung, padahal Thung dibacanya Th'ng; yang artinya kuah, atau air panas; 
mengambil nama dari pendiri dinasti Shang abad ke-22 BCE sebagai leluhur 
langsungnya; mohon baca tulisannya peq Liang U mengenai she ini), dan tersebar 
di Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Timtim (ada yang menjadi pastor) dan 
bahkan Papua (salah satunya adalah putera Serui, Yorrys Thung Raweyai).

Mengenai isi pesan Kongcoco ini (bagi ketiga garis, perlu diketahui bahwa 
semuanya memiliki rima jibun/jiyan/nama urutan generasi yang sama; hanya kalau 
ada ciong saja diganti dengan huruf lain; hal ini menunjukkan bahwa mereka 
memiliki garis moyang yang sama), semula hanya untuk garis Thung Banten. Namun 
seiring jaman, dan karena sangat banyak persamaan dengan pesan pada garis Thung 
dari Yunshan dan Thung garis Changtai, diaopsi juga sebagai pesan bagi marga 
Thung di Indonesia. 

Kalau sempat, karena saya harus off dari internet selama sekitar seminggu 
mengingat jadual kesibukan saya, saya coba tuliskan dalam jianti dalam 
kesempatan berikut, berikut dengan terjemahan dan komentar modern-nya. (Btw, 
tulisan yang dikopikan itu kemungkinan besar memang disusun kembali oleh peq 
Tjoa Hin Tjiang [kalau tidak keliru], berdasarkan testamen lama yang dimiliki 
oleh keluarga dalam Kiu Seng Tong di Bogor (sembilan garis keturunan laki-laki 
yang merupakan cicit Thung Tiang Mih). Isinya saya perkenankan untuk dipakai, 
disalin dan disebarluaskan. Namun kalau untuk kopi atas susunan yang dimasukkan 
dalam Thung Stamboom tersebut, saya sarankan permisi saja ke penyusunnya/ahli 
warisnya.


Toan sin tan si ci tong lwee
Kut jiok siau mo cwe jin gim

Ingat apa yang leluhurmu penah katakan
berlaku rukunlah dengan saudara, keluarga dan sesama


Suma Mihardja
Thung Djie Hauw







--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ANDREAS MIHARDJA  wrote:
>
> HinTjiang adalah teman baik saya - jikalau ada yg kopy bukunya secara ethic 
> namanya harus dtulis. Sebetulnya juga harus minta izin dari dia - tetapi oleh 
> karena sudah common knowledge mungkin tdak apa²    Harap sdr Denny mengerti 
> peraturan kopy rights.
> Andreas
> 
> --- On Thu, 1/7/10, Denny Tan  wrote:
> 
> 
> From: Denny Tan 
> Subject: [budaya_tionghua] Mencari Keluarga [1 Attachment]
> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Date: Thursday, January 7, 2010, 5:57 AM
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> [Attachment(s) from Denny Tan included below] 
> 
> 
> 
> 
> 
> dear member milis
> saya mendapat satu buku turunan (silsilah keluarga)
> dimana di dalamnya ada terselip 4 lembar nasihat keluarga.
> disini saya lampirkan lembar pertama.
> jika ada yg memiliki nasihat sama dan bisa menunjukan lembar ke 2, 3 dan ke 4
> artinya kita bersaudara.
>  
> Wassalam.
>  
> 
>  
> 
> 
> Attachment(s) from Denny Tan 
> 1 of 1 Photo(s) 
> 
> 
> 
> 
> P1001474.JPG
>




[budaya_tionghua] Re: HUACHIAO dan HUAREN

2010-01-06 Terurut Topik sumamihardja
Yang menulis ini justru orang yang mengalami fobia yang enggak selesai-selesai. 
Udah berapa tahun pesan ini selalu diulang-ulangnya? Baca saja bagian belakang 
tulisannya. Ditujukan ke siapa pesan ini? Jangan-jangan si penulisnya yang 
mengalami ilusi. Semakin sering ditulis, justru semakin menunjukkan pesan 
bahwasanya yang fobia adalah penulisnya sendiri. 

Yang berbahaya, akhirnya salah-salah justru timbul kecurigaan bahwa Tionghoa 
Indonesia itu pada dasarnya tidak menjadi WNI sungguhan, kecuali si BS ini yang 
benar-benar nasionalis sejati lewat pengulangan-pengulangan tersebut. Apa lagi 
cari muka sebagai pemuka? Lagipula, dia itu mau memaksudkan huayi dengan yi 
huruf dari apa? ini juga membingungkan dan tidak jelas dia sebenarnya mau 
ngomongin apa. 



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "GELORA45"  wrote:
>
> 
> 
> HUACHIAO  dan  HUAREN
> 
>  
> 
> Benny G.Setiono
> 
>  
> 
> Pada 1 Oktober 2009 yang lalu, dalam rangka memperingati 60 tahun proklamasi 
> berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, di lapangan Tiananmen telah 
> diselenggarakan parade yang luar biasa megahnya. Pemerintah RRT di bawah 
> pimpinan PKT, presiden Hu Jindao dan perdana menteri Wen Jiabao seolah ingin 
> mendemonstrasikan kemajuan ekonomi dan angkatan bersenjatanya, terutama 
> setelah adanya reformasi ekonomi yang dicanangkan Deng Xiaoping pada 1978. 
> Politik  pintu terbuka negara "tirai bambu" dan pembangunan ekonomi pasar, 
> bertolak belakang dengan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) yang 
> dikobarkan Mao Zedong dan para pendukungnya Marsekal Lin Biao dan the Gang of 
> Four, Jiang Qing, Yao Wenyuan, Wang Hongwen dan Zhang Chungqiao pada 1966. 
> 
>  
> 
> Setelah Mao meninggal dunia pada 9 September 1976, Deng Xiaoping dengan 
> dukungan Marsekal Ye Jianying berhasil menyingkirkan  lawan-lawan politiknya 
> yang dipimpin  Hua Guofeng sebagai pengganti Mao dan para pengikut setianya.
> 
>   
> 
> Ternyata hanya dalam waktu 30 tahun pemerintah RRT telah berhasil melakukan 
> pembangunannya, baik politik,ekonomi dan militer dengan sangat luar biasa dan 
> Tiongkok telah berubah dari negara yang terbelakang menjadi pesaing utama 
> negara super power, Amerika Serikat yang pada awal dekade 90-an berhasil 
> memenangkan perang dingin yang berlangsung sejak berakhirnya PD II.
> 
>  
> 
> Setelah pada 2008 RRT berhasil menyelenggarakan pesta Olimpiade yang terbesar 
> dan termegah sepanjang sejarah pesta olah raga tersebut, kini dunia dibuat 
> kagum dengan diselenggarakannya parade 1 Oktober tersebut. Tiongkok berhasil 
> melakukan pembangunan ekonominya secara massif, terbukti dengan cadangan 
> nasionalnya yang berjumlah 2,3 triliun US dollar dan pertumbuhan ekonomi 
> tahun 2009 yang diperkirakan mencapai 8 %, demikian juga diperkirakan tahun 
> 2009 Tiongkok akan menjadi negara  eksportir terbesar di dunia,mengalahkan 
> Jerman. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 %, di tengah-tengah berlangsungnya 
> krisis ekonomi global yang merontokkan hampir seluruh negara-negara  industri 
> maju di dunia merupakan suatu prestasi yang luar biasa. 
> 
>  
> 
> Ada dua hal yang menarik dalam parade tersebut. Yang pertama parade militer 
> yang menampilkan seluruh alutsistanya, mulai dari yang konvensional sampai 
> yang sangat modern dengan berbagai rudal mulai dari rudal anti pesawat udara 
> sampai rudal antar benua.Yang mengagumkan seluruh alutsista tersebut buatan 
> dalam negeri sendiri.
> 
>   
> 
> Yang kedua, dalam parade tersebut juga ditampilkan anjungan yang mewakili 
> para Huachiao yang bertebaran di seluruh dunia. Nah, masalah inilah yang  
> banyak menarik perhatian masyarakat Tionghoa di Indonesia. Karena di dalam 
> masyarakat masih terjadi kekaburan pengertian antara istilah Huachiao dan 
> Huaren. Banyak yang mengira bahwa yang dimaksud dengan Huachiao adalah 
> seluruh orang Tionghoa yang berdiam di berbagai negara di luar daratan 
> Tiongkok, termasuk yang sudah menjadi warga negara di negara-negara  tempat 
> mereka tinggal.
> 
>   
> 
> Yang benar Huachiao adalah warga negara Tiongkok yang berdiam di 
> negara-negara di luar daratan Tiongkok, sedangkan Huaren adalah orang-orang 
> yang nenek moyangnya berasal dari daratan Tiongkok tetapi telah menjadi warga 
> negara di negara-negara  tempat mereka tinggal. Khusus untuk orang-orang 
> Tionghoa di Indonesia disebut Huayi.
> 
>  
> 
> Pesta Olimpiade dan parade 1 Oktober yang megah tersebut seyogyanya tidak 
> perlu ditanggapi masyarakat Tionghoa  di Indonesia (Huayi)  dengan eforia 
> yang berlebihan. Sebagai negara leluhur dan negara dunia ketiga, wajar kalau 
> kita turut menyambut dan bergembira akan kemajuan yang dicapai oleh Tiongkok. 
> Setidaknya kita mengharapkan kemajuan Tiongkok akan memberikan keseimbangan 
> kekuatan di dunia, sehingga akan membuat dunia menjadi lebih damai dan 
> harmonis. Di samping itu barangkali kita dapat belajar dari mereka agar 
> negara kita dapat mengejar ketinggalannya. 
> 
>  
> 
> Tetapi kita harus me

[budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALANORANG CINA

2010-01-03 Terurut Topik sumamihardja
Peristiwa Mandor terkait dengan upaya pendudukan Jepang ke kawasan Asia 
Tenggara dan pembantaian yang dilakukan bala tentara Jepang terhadap upaya 
perlawanan kaki tiga antara kalangan Melayu, Tionghoa dan Dayak (Belanda dan 
Inggris sudah sangat terdesak dan kabur/menyerah duluan; kalangan Kesultanan 
Melayu di Kalimantan Barat juga terpecah, sebagian malah perkolaborasi dengan 
Jepang dengan pertimbangan bahwa Jepang bisa mengembalikan kekuasaan politik 
mereka baik secara geografi maupun terhadap hak pertuanan; baca dokumen-dokumen 
yang disita sewaktu kekalahan Jepang tahun 1945). 

Monumen ini untungnya bisa didirikan selepas perang kemerdekaan, apalagi peran 
Sultan Pontianak tersebut dengan memberikan pengakuan penyatuannya kepada 
pemerintah Republik Indonesia segera setelah Proklamasi Kemerdekaan(yang saat 
itu juga ditentang sebagian keluarga sejumlah kesultanan, sebelum akhirnya 
diadakan pembicaraan, lalu terjadinya BFO di bawah kendali "boneka" Belanda dan 
akhirnya kemenangan politik Soekarno untuk membentuk Negara Kesatuan).

Tapi itu kontras sekali dengan monumen Lanfang yang diabaikan oleh para 
"penguasa wilayah" di seputaran Kalimantan Barat, dan enclaving besar-besaran 
yang didukung pemerintah Soeharto dan panglima militer pada kisaran tahun 1967 
atas dalih PGRS/Paraku yang sebenarnya adalah proyek Ganyang Nekolim dari 
Soekarno (resmi kebijakan negara). Jadi yang membela pimpinan sah negeri 
Indonesia pada saat itu siapa? Itu ironinya, merasa didukung dan bahkan 
"diprovokasi" Presiden Soekarno untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, 
ujung-ujungnya dikorbankan juga dan menjadi biang kerok yang dicapkan oleh 
Presiden Soeharto sehingga menimbulkan korban besar di kalangan Tionghoa pada 
umumnya.

Meneliti hakekat tiap perkara, menggali kebenaran, itulah tugas seorang Budiman.


Suma Mihardja





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ivan"  wrote:
>
> Jangan lupa pula. Sultan Hamid II juga ikut meresmikan tugu peringatan bagi 
> peristiwa pembantaian di Mandor, dimana banyak etnis Tionghua yang menjadi 
> korbannya. Membangun tugu memang sangat baik sekali, sebagai wahana 
> peringatan sejarah. Dengan demikian suatu tokoh atau peristiwa tak akan 
> terlupakan. Memang benar bahwa esensi menyembah berbeda dengan menghormati 
> atau mengenang.
> 
> Salam damai,
> 
> IT.
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, jackson_yahya@ wrote:
> >
> > Aku ngerti. Maksudnya kalau di barat itu seperti bangun tugu memoriam.
> > Contoh seperti korban ledakan bom bali yang banyak makan korban orang 
> > australia beberapa waktu lalu. 
> > 
> > Bule2nya membuat tugu peringatan dan setiap tahun sekali mereka 
> > memperingati dengan berdoa, taruh bunga di tugu tersebut.
> > 
> > Bukan menyembah tugu lo.
> > Tapi sebagai simbol saja
> > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung 
> > Teruuusss...!
> > 
> > -Original Message-
> > From: "David Kwa" 
> > Date: Fri, 01 Jan 2010 09:29:50 
> > To: 
> > Subject: [budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALANORANG 
> > CINA
> > 
> > Kalu begitu sinci Gus Dur mesti masuk altar leluhur sne Tan di Kelenteng 
> > Sne Tan. Di Jakarta ada satu di Jln Blandongan, Jakarta Barat, yakni 
> > Kelenteng Tan Seng Ong Bio êÂ}ÍõR. Orang-orang sne Tan semestinya 
> > berbangga ada orang yang kakek-moyangnya sne Tan, yang begitu besar jasanya 
> > bagi bangsa dan negara kita ini. Yang kematiannya ditangisi begitu banyak 
> > orang, tidak saja oleh umatnya, tetap oleh semua... 
> > 
> > Sebagaimana kita tahu, karena sudah sering dibicarakan, kita tidak 
> > menyembah Gus Dur, tetapi menghormatinya sebagai tokoh yang berjasa, 
> > terutama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia. So, why not?
> > 
> > "Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. 
> > Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang 
> > menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), 
> > pendiri Kesultanan Demak.Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari 
> > Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V."
> > 
> > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, agoeng_set@ wrote:
> > 
> > Gus Dur pernah ngaku keturunan marga Tan klo gak salah, gimana perkumpulan 
> > marga Tan? Bisa masuk ke altar leluhur marga Tan gak?
> > 
> > -Original Message-
> > From: Ong Bun  > Date: Fri, 01 Jan 2010 13:37:25 
> > To:  > Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur: BERI JALAN 
> > ORANG CINA
> > 
> > wah...
> > setuju 100%!!!
> > kalau sampai nggak kesampaian ya saya bikin sendiri di rumah hehehehehe. 
> > almarhum Gus Dur adalah benar-benar pahlawan bangsa.
> > 
> > zhoufy@ wrote:
> > 
> > Kuil peringatan buat Gus Dur? Mengapa tidak? Kita bisa menndorong 
> > organisasi Tionghoa semacam INTI utk membangunnya!
> > Nantinya, orang Tionghoa boleh menghormati dng dupa, umat Islam ya dng 
> > caranya sendiri, umat kristen mao pakai tanda salib silahk

[budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALANORANG CINA

2010-01-03 Terurut Topik sumamihardja
Salah dong. Kalau mau masukin sinci, bukan di Tan Seng Ong Bio. Sincinya 
diletakkan di dekat daerah situ juga, di Chenshi Zongci (kelenteng 
leluhur/kelenteng untuk kerabat dengan marga Tan) di Pinangsia III. Kalau yang 
Tan Seng Ong lebih tepatnya untuk penghormatan kepada "tokoh" pelindung marga 
Tan, khususnya yang berasal dari Hokkian. Tan Seng Ong juga diakui sebagai 
pejabat yang membuka daerah Selatan (Tenggara) Tiongkok, sehingga banyak juga 
marga lain dari Hokkian Ciangciu yang memberi hormat kepadanya.

Btw, saya sering menjadi rombongan Gus Dur ke sejumlah acara. Dari omong-omong 
saya sendiri dengan GD dan sejumlah rekan dekatnya, terus terang GD sebenarnya 
lebih bicara untuk memberikan kepercayaan diri kepada sejumlah kalangan 
(ceritanya banyak dan seringkali mengundang tawa bagi yang kenal tabiat asli 
GD). 

GD juga pernah mengklaim diri sebagai marga Ui (Oei, Huang)di beberapa 
kesempatan dan menurut rekan saya, terkadang menyebut sejumlah marga yang lain 
(dan bagi kalangan lain adalah mengaku turunan dari sesepuh yang dihormati di 
wilayah itu). Maaf, saya tidak mau bicara panjang dulu mengenai topik-topik 
cerita GD mengenai "marga" dirinya, karena bukan itu esensinya. GD senang 
memberikan dukungan spontan dan solidaritas yang tinggi. Kapan diperlukan, 
cerita-ceritanya baru akan saya buka. 

Apapun itu, saya memberikan penghormatan yang tinggi kepada GD karena sikap 
inertnya untuk melawan diskriminasi, dan kesetiannya untuk mengawal solidaritas 
kemanusiaan. Saya sendiri pernah didaulat dan memimpin Komite Anti Diskriminasi 
Indonesia yang waktu itu mengawal sejumlah UU dan peraturan hukum baru, mulai 
dari penghapusan pelarangan budaya "Cina" (yaaa, judulnya begitu sih oleh Orba 
Soeharto tahun 1967), perayaan Sincia, dsb hingga ke UU kewarganegaraan, UU 
Administrasi Kependudukan dan Penghapusan Diskriminasi (yang belakangan 
tereduksi kembali menjadi hanya Ras dan Etnis). Sayangnya kejatuhan GD 
mempengaruhi juga upaya menghapus diskriminasi total kepada sejumlah kelompok 
belaan saya (adat, penghayat, etnis, agama, status sosial, penyandang perbedaan 
kemampuan [maaf:cacad], dsb). Itulah kenangan beratnya perjuangan bersama GD 
dan rekan-rekan yang lain.

Yang pasti dalam hal ini, kalau mau dihubungkan dengan penghormatan kepada GD, 
saya tidak mau terbawa kepada "marga" apakah GD. GD boleh dianggap sebagai guru 
bangsa dan sekaligus juga "Bapak anti diskriminasi, pluralitas, 
mulstikulturalisme, dsb" dan otomatis juga "Bapak pelindung kalangan minoritas, 
pelindung kalangan Tionghoa, dsb" tentunya tanpa ditafsirkan menjadi pelindung 
"penjahat, kroruptor, pemerkosa yang kebetulan beretnis Tionghoa" (sengaja saya 
tulis ini karena saya sebal melihat ada yang suka memleset-mlesetkan istilah).

Jadi dalam hal ini, kalau mau diadakan pendoaan GD secara Tionghoa, saya pikir 
terbuka untuk setiap marga, dan setiap marga berhak mengaku GD sebagai bapak 
pelindungnya juga. Btw, kalau miliser BT juga mau mengadakan doa bersama 40 
hari-an GD, boleh juga dilakukan (di mana?). Akan lebih elok apabila bisa 
dilakukan secara ritual budaya Tionghoa (tanpa adanya unsur yang terlalu 
dominan dari kelompok agama manapun) untuk menunjukkan toleransi GD yang sangat 
tinggi terhadap semua golongan. Dua hari kemarin, saya menyaksikan sendiri 
bagaimana dua majelis agama "berebut" mendoakan arwah Ayah dari teman saya dan 
berceramah panjang lebar ke keluarga (Ayahnya aja enggak kayak begitu), padahal 
si Ayah tersebut adalah orang tradisionalis (Ru-Tao atau setidaknya agama 
rakyat). Dari pengalaman mutakhir itu, kita pakai saja metode umum hidangan 
samseng (tapi yang satu itu diganti sapi aja), sayuran, buah, kue, hio merah, 
lilin merah (usia 61 ke atas), dsb, tanpa menjadikannya syirik dalam pandangan 
tradisionalis (masih mirip dengan tradisi NU). Ritualnya hormat kepada orang 
tua (empat lambaian), bisa juga dilakukan dengan dua kali kui (berlutut) dengan 
masing-masing empat pai (soja). Kalau mau ke tempat GD baik di Jombang ataupun 
di Ciganjur, mungkin tempatnya sulit untuk diadakan ritual Tionghoa dan 
tentunya juga akan lebih elok kalau diisi tahlilan ala NU.

Dalam kematian, rasa sedihlah yang utama.


Suma Mihardja






--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa"  wrote:
>
> Kalu begitu sinci Gus Dur mesti masuk altar leluhur sne Tan di Kelenteng Sne 
> Tan. Di Jakarta ada satu di Jln Blandongan, Jakarta Barat, yakni Kelenteng 
> Tan Seng Ong Bio êÂ}ÍõR. Orang-orang sne Tan semestinya berbangga ada orang 
> yang kakek-moyangnya sne Tan, yang begitu besar jasanya bagi bangsa dan 
> negara kita ini. Yang kematiannya ditangisi begitu banyak orang, tidak saja 
> oleh umatnya, tetap oleh semua... 
> 
> Sebagaimana kita tahu, karena sudah sering dibicarakan, kita tidak menyembah 
> Gus Dur, tetapi menghormatinya sebagai tokoh yang berjasa, terutama bagi 
> masyarakat Tionghoa Indonesia. So, why not?
> 
> "Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. 

[budaya_tionghua] Re: Kita juga dianggap "TEMAN" oleh mereka

2010-01-03 Terurut Topik sumamihardja
Stereotype memang jelek, khususnya ketika kita menghakimi seseorang karena 
sudah apriori terhadap "kekurangannya" (yang belum tentu benar). Meski 
demikian, dalam banyak hal, politik juga memiliki pengaruh yang kuat dan 
karenanya harus selalu diingat. Mengambil contoh kasus orang Madura di 
Kalimantan Barat, atau kerusuhan Mei 1998, atau kalangan Ahmadiyah di Lombok, 
terbukti bahwa meskipun mereka membawakan diri dengan baik, kenyataannya 
stereotype tidak serta merta hilang. Kalau amarah sudah "dibentuk" ataupun 
"terbentuk", kenyataannya anda yang berbudi baik sekali pun bisa saja menjadi 
korban. Karena itu titik tekannya bukan pada "bagaimana kita membawakan diri" 
semata-mata, melainkan juga bagaimana negara berperan untuk menjaga agar tidak 
terbentuk diskriminasi atas dasar stereotype tersebut. Kalau Tionghoa merayakan 
cheng beng, jangan sampai ada pemalakan di jalan menuju bongpai. Itu baru sikap 
yang benar, jadi tidak diletakkan semata kepada pribadi. Kalau misalnya ada 
kalangan Tionghoa yang menolak pungutan saat dia mau ziarah cheng beng dan 
melawan (bukan fisik, tapi menanyakan apa alasannya; terus menolak dan terus 
memaksa lewat), apakah dia itu "tidak bisa membawakan diri"? Ataukah harus 
dilakukan "penegakan hak budaya" yang dijamin oleh negara? Dalam hal ini, 
pemaknaannya tidak bisa direduksi hanya sekedar perilaku pribadi, tapi juga 
mendidik masyarakat untuk bersikap obyektif dan menilainya lebih dulu tanpa 
menjadi emosional. Saya setuju kalau era pemakaman pribadi seluas bukit, 
tentunya tidak layak dilakukan meskipun seberapa milyardernya si meninggal, 
dikarenakan fakta sosial bahwa tanah pemakaman semakin berkurang dan lebih 
prioritas untuk yang hidup. Namun tentunya itu bukan alasan untuk 
menggeneralisasi bahwa kalangan Tionghoa itu rakus tanah baik semasa hidup, dan 
bahkan setelah mati. Dalam hal ini, pengertian budaya dan sosial memang 
berperan, namun semua itu tentunya harus dilakukan dalam semangat sistem untuk 
mencegah perilaku main hakim sendiri, apalagi dibiarkan menjadi kebencian atas 
golongan tertentu.

Coba lihat kasus Anggodo dan Artalyta. Untungnya sebagian masyarakat sadar 
bahwa mereka berdua itu cuma "oknum" atas nama diri mereka pribadi. Tapi jangan 
lupa bahwa banyak juga orang yang telah menyejajarkan mereka sebagai bagian 
dari "konspirasi Cina", sebagaimana juga terlontar dalam sejumlah spanduk, 
komentar publik, dan bahkan pemberitaan (yang termutakhir dan sempat meresahkan 
misalnya cara tutur sejumlah pembicara dan setting cerita pada sebuah acara 
Metrotv) yang salah-salah bisa berujung pada permasalahan konflik sosial yang 
lebih luas (Ingat bahwa salah seorang pembicara justru "menguraikan ancaman" 
akan adanya kerusuhan sosial; hal yang sama juga pernah dilontarkan secara 
gegabah oleh seorang anggota Tim 8 jauh hari sebelumnya). Ini konyol, tapi 
benar-benar terjadi, diucapkan oleh mereka yang mengkalim dirinya adalah tokoh 
demokrasi. 

Karena itu, kembali, persoalan tidak bisa sekedar dibebankan pada 
pengindividualan persoalan, namun pada sistemnya juga. Untuk itulah kenapa 
diskriminasi harus dicegah dan ditanggulangi oleh negara. Dalam hal Anggodo 
sendiri, stereotype juga bisa membutakan mata. Ketika amarah rakyat diarahkan 
kepada Anggodo (dengan melupakan fakta hukum bahwa penyadapan pada dasarnya 
tidak dibenarkan), jangan heran apabila bisa terjadi "generalisasi" akibat 
tudingan "konspirasi Cina" semacam itu. Saya justru selalu kawatir dengan 
pemaknaan sempit atas sikap pribadi sebagai kambing hitam atas konflik sosial 
yang terjadis elama ini. Apakah korban perkosaan, misalnya, adalah karena dia 
"tidak bisa membawakan diri?". Kan tidak sesederhana itu.

Mengenai upaya membuat buku kerajaan nusantara, perlu disusun secara sangat 
hati-hati, namun juga obyektif. Saya sudah menjelajah nusantara, semua pulau 
besar dan banyak daerah kecil terisolasi dan bertemu sangat banyak orang dan 
kelompok. Saya sendiri bersahabat erat dengan sejumlah "sepuh" dan bahkan di 
dua tempat mendapat gelaran adat, dan di beberapa tempat lain diaku sebagai 
"saudara adat". Dari pengalaman itulah saya menyadari bahwa ada konflik laten 
mengenai makna kerajaan di setiap komunitas dan pahit-getirnya pengalaman 
historis masyarakat nusantara terhadap keberadaan "kerajaan besar" di nusantara 
(lewat berbagai konflik, konversi agama maupun juga penunjukan). 

Saya berharap topik tulisan kerajaan nusantara dilakukan dengan sangat 
harti-hati dan bukan berpihak kepada "kerajaan yang besar" atau "persekutuan 
dari mereka yang membentuk mayoritas" (sebagaimana sejarah adalah sejarah dari 
pemenang). Tahukah anda kenapa di daerah Dayak, ada ketidaksepahaman mengenai 
pemaknaan kerajaan di Kalimantan? Di satu sisi kalangan Dayak memiliki sistem 
"pemerintahan" yang berbeda dengan kerajaan Melayu di Pesisir Kalimanatan, dan 
di antara kedua kelompok itu pernah ada hubungan perhambaan (perbudakan?) yang 
dilatarbelakangi oleh penundukan satu kelompok kepada yang l

[budaya_tionghua] Nilai Falsafah Budaya Tionghoa di Balik Komentar Sejumlah Miliser

2009-12-18 Terurut Topik sumamihardja
Sebulan ini memang ramai. Yang terasa unik dan menarik untuk dikenali adalah 
mengenai apakah perilaku yang tercermin dari kalangan Tionghoa yang bercurah 
pendapat di sini mewakili budaya Tionghoa pada umumnya? Dari manakah doktrin 
budaya Tionghoa (falsafah budaya) itu melekat pada mereka, sehingga 
membedakannya dari sistem kebudayaan yang lain?
Dari lingkar kebudayaan, biasanya ada tiga yang mudah diklasifikasi, yaitu 
artefak sebagai lingkar luar yang umumnya mudah dikenali secara fisik (benda 
budaya; naga Tionghoa, atau rumah, maobi [mopit], kaligrafi Tionghoa, dsb), 
kemudian aspek perilaku sebagai lingkar antara yang mudah dikenali secara fisik 
karena melekat kepada orang-orangnya namun juga terhubung dengan latar belakang 
pemikiran sosial mereka (perilaku budaya: bahasa, peristilahan, sikap, sebutan, 
tarian, dsb) dan yang inert sebagai lingkar terdalam yang mencerminkan nilai 
dasar, filosofis dan keyakinan sanubari (biasanya terekam dalam bentuk catatan 
filsafat, petuah dan bentukan antroposentris kelompok budaya). Karena itu, 
menarik untuk menilai apakah perilaku (lewat komentar, gaya tulisan dan sifat 
tulisan) adalah berada dalam koridor kebudayaan Tionghoa ataukah tidak.
Beginilah kira-kira dasar filosofis kerangka pikir yang melatarbelakangi kenapa 
sejumlah orang di sini bisa dikatakan "lekat dengan budaya Tionghoa" ataukah 
justru berada di wilayah periferi dengan budaya lain. Saat ini saya batasi diri 
dulu dengan ujar-ujar dari Kongzi (Khonghucu, Confucius) dan belum ujar-ujar 
dari cendekiawan Rujia lainnya:
1.  "Kalau ada yang nabok gue, yaa, gue tabok balik."(premis a) Lalu ada 
juga "Nenek gua kalau digetok kepalanya, akan ngediemin. Kalau diulangin, dia 
diemin juga. Kalau ketiga kalinya digetok, dia langsung ngelemparin uleg sambel 
yang lagi dipegangnya ke kepala yang ngegetok sambil teriak,'satu kali getok, 
gue pikir elu cuma kepeleset, enggak sengaja ngegetok. dua kali elu getok, gue 
pikir elu salah ngegetok, kalu udah tiga kali, biar kualatlah deh lu, ke atas 
enggak punya pucuk, ke bawah enggak punya akar." (premis b)
a.  Ada orang bertanya, "Dengan kebaikan membalas kejahatan, bagaimanakah 
caranya?" Kongzi menjawab, "Kalau demikian, dengan apa engkau dapat membalas 
kebaikan? Balaslah kejahatan dengan kelurusan dan balaslah kebaikan dengan 
kebaikan!"
b.  Kongzi berkata, "Adapun kesalahan seseorang itu masing-masing sesuai 
dengan sifatnya. Bahkan dari kesalahannya dapat diketahui apakah ia seorang 
yang berperi cinta kasih."
(Komentar ringkas: bukan pipi tambahan yang akan diberi, tapi juga tidak 
membabi buta dalam membalas; misalkan ada hujatan pun, periksa baik-baik, tegur 
dan kalau terus menyakit, baru masuk ke proses Negara untuk meminta kelurusan. 
Tx2 AS, JK, dll)

2.  Mengenai panasnya perdebatan mengenai agama:
a.  Kongzi berkata, "seorang budiman dapat rukun meskipun tidak dapat sama; 
seorang rendah budi dapat sama meskipun tidak dapat rukun."
b.  Kongzi berkata, "kalau berlainan jalan suci, tidak usah saling 
berdebat."
c.  Kongzi berkata, "seseorang yang pengetahuannya sudah melampaui tingkat 
pertengahan, boleh diajak membicarakan hal-hal tinggi; seorang yang 
pengetahuannya masih di bawah tingkat pertengahan, tidak boleh diajak 
membicarakan hal-hal tinggi."
(Komentar ringkas: aspek yang sifatnya transcendental tidak ada yang 
mengetahui. Sayangnya lebih banyak kalangan awam yang cuma mengaku tahu dari 
kitab suci, tapi aspek teologisnya tidak dipahami benar, sehingga mudah menjadi 
kekerasan. Tx2 ABS, TLK, dsb)

3.  Mengenai debat kusir:
a.  Kongzi berkata, "orang yang berkumpul sepanjang hari, tapi yang 
dibicarakannya tidak berhubungan dengan kebenaran, melainkan hanya meributkan 
hal-hal kecil, sungguh menyedihkan orang-orang semacam itu."
b.  Kongzi berkata, "seorang budiman mengutamakan hal-hal penting, bukan 
hal-hal remeh."
c.  Kongzi berkata, "Aku benci kepada orang yang suka memutar lidah."
d.  Kongzi berkata, "orang yang pandai memutar lidah akan mengacaukan 
kebajikan. Kalau orang tidak mau menanggung kesukaran-kesukaran kecil, ia hanya 
akan merusak perkara-perkara besar."
e.  Kongzi berkata, "Seorang yang berperi cinta kasih hati-hati dalam 
berbicara….. Melaksanakan sesuatu itu sukar, maka dapatkah orang tidak 
hati-hati dalam berbicara?"
f.  Kongzi berkata, "Kepada orang yang patut diajak bicara, tidak mau 
mengajaknya bicara, berarti kehilangan orang. Kepada yang tidak patut diajak 
bicara tapi diajak bicara juga, ini berarti kehilangan kata-kata. Seorang 
bijaksana tidak mau kehilangan orang maupun kata-kata."
(Komentar ringkas: banyak yang tidak paham , cuma melontarkan omong kosong 
hanya sekedar untuk menunjukkan siapa dirinya. Akibatnya materi menjadi ternoda 
dan kebenarannya tidak terungkap. Tx2 ZFy &Rsn)

4.  Mengenai serangan personal:
a.  Kongzi berkata, "Seorang budiman mendahulukan kebaikan orang, tidak 
menyerang keburukan orang. Seorang rendah budi berbuat 

[budaya_tionghua] Re: Pro Cen Gui Xin #46797

2009-12-16 Terurut Topik sumamihardja
Ancam-mengancam apa lagi ini? Memangnya seberapa jauh anda sudah ikut gerakan 
anti diskriminasi sampai melontarkan tudingan bermata dua macam itu? Seberapa 
jauh anda terlibat diskusi teologis mengenai perbedaan antara penghinaan dan 
sindiran? Rekam jejak anda juga tidak jelas dalam konteks ini koq. Lihat 
konteks cerita keseluruhan dari Chen Gui Xin dulu! Meskipun saya sepakat bahwa 
CGX pengutaraannya seringkali kasar dan sembrono, dia toh cuma melontarkan 
kekesalannya melihat bahwa doktrin agama sudah menyeleweng. Apa karena dia 
"murtad" jadi sudah tidak bisa mengutarakan pandangannya? Dia kan tidak sedang 
membuka debat agama. Lebih guna kalau anda gugat saja dulu berbagai sinetron 
dan acara TV mengenai entah itu realigi, konversi agama, dsb yang marak 
tiap-tiap hari raya agama.

Tahukah anda bahwa dalam perdebatan di kalangan Vatican jaman PJP II sebelum 
diganti yang sekarang, beredar sebuah kritik internal di kalangan gereja 
sendiri bahwasanya pemaknaan derita Yesus sudah diselewengkan. Sudah banyak 
buku dari kalangan nasrani sendiri yang membahas soal peranan gereja dalam 
penindasan dan kekerasan yang sebenarnya hanya menutupi nafsu tamak dari 
sejumlah orang-orangnya (bahkan termasuk sejumlah paus dalam kaitannya dengan 
keberadaan mafioso). Apakah itu sudah merupakan penghinaan? Bahwa konteks CGX 
tidak sepenuhnya benar (karena banyak pengikut Nasrani juga sangat miskin 
hidupnya, rela menderita dan bahkan mati mengenaskan karena membela 
keyakinannya itu), tapi sebagai kritik sosial, hal itu bukan penghinaan agama! 
Hal yang sama berlaku untuk agama lain, termasuk misalnya di dalam agama 
Tionghoa sendiri. kritik macam itulah yang membangun dan mendorong umat untuk 
mengikuti teladan yang baik, dan bukan memperalat agama demi kepentingan 
duniawi si pemeluknya. Dalam tradisi nasrani sendiri, betapa banyak joke, 
sindiran dan kritikan mengenai perbedaan makna antara ajaran dari si pembawa, 
dengan kondisi sekarang. Dalam forum-forum agama, yang melibatkan tokoh tafsir 
dan rohaniwan kelas atas, banyak tukar pikiran mengenai pemaknaan penghinaan 
dalam konteks kemajuan umat manusia secara bersama-sama, bahkan di kalangan 
nasransi secara luas, pengakuan atas penyimpangan materialistik saat ini atas 
kotbah di atas bukit. Jadi, ketimbang memperlebar masalah dengan soal yang cuma 
masalah ringan ini, jauh lebih bijaksana kalau anda menyanggahnya saja. Kalau 
hal kecil macam ini saja sudah main ancam-ancaman, entah apa yang akan terjadi 
dengan dunia ini? Ini bukan kategori hujatan, lebih kepada ironi atas ajaran 
guru dengan kondisi saat sekarang(lihat konteks cerita keseluruhan, bukan main 
penggal kalimat).

Dalam konteks luas, tidak heran dalam Konsili II, Vatican mencoba berubah 
dengan memberikan pengakuan adanya keyakinan lain di luar gereja yang 
sebenarnya tidak layak untuk "diimankan" secara misi gereja, sehingga meralat 
cara pikir sebelumnya bahwasanya di luar gereja adalah barbar. Meskipun banyak 
yang menentang, sejumlah kalangan gereja juga sudah meminta maaf atas peran 
gereja dalam pemberangusan budaya kalangan di luar mereka  yang rekam jejaknya 
dapat dilihat di seluruh wilayah amerika (utara dan selatan), afrika, asia dan 
bahkan australia serta di Eropa sendiri (lihat perjalanan seorang pastor yang 
didokumentasikan BBC yang merekam jejak kekerasan agama di benua Eropa sebelum 
dipaksakan menyatu di bawah doktrin gereja). Selain itu juga keikutsertaan 
gereja (dan termasuk agama lain) dalam sejumlah kekerasan politik di dunia 
(sudah baca laporan KKR Argentina, Chili, Afrika Selatan, dsb?) juga 
menunjukkan bahwa instrumen agama telah dipakai dalam pemaknaan yang keliru, 
berbeda dengan pesan awal dari pembawanya. Tulisan mengenai itu juga bisa 
dibaca dalam berbagai buku mengenai persekusi atas nama agama yang masih terus 
terjadi di dunia hingga saat ini, termasuk perang dominasi kebenaran yang 
menyebabkan sejumlah pemikir filsafatg mengkritik pemakaian agama. Apa mereka 
ini sudah menghina agama? Sudah baca Karen Arsmtrong, kekecewaannya dan 
kemudian pencariannya? Dalam kacamata sempit, dia sudah "menistakan" agama, 
tapi apa dia benar-benar menghina, menghujat dsb? konteksnya jelas harus 
dilihat. Bagaimana dengan Salman Rushdie? Dia mewakili segmen yang berbeda, dan 
banyak ahli hukum yang menyebutkan bahwa dia memang sudah menyerang, melukai 
"insult" bahkan menghina. Hanya karena dia berada di Inggris saja yang 
menyebabkan dia tidak bisa ditarik dalam sistem hukum bagi vonis kematiannya. 
Bagaimana dengan kisah Passion of Christ dari Mel Gibson? Apa dia sedang 
menggemilangkan sang pembawa ataukah justru menistakan kalangan agama Yahudi? 
Makanya, kalau mau ngancam-mengancam, ulas dulu secara mendalam baik dari sisi 
teologis, sosiologis, bahkan perbandingan sistem politik, budaya dan 
sebagainya, termasuk soal semantis, etimologis, dstnya. Belum apa-apa sudah 
dituding penghinaan/penistaan. Emang konteksnya begitu? Enggak ah.

Saya tidak mau berdebat soal agam

[budaya_tionghua] Re: Bagaimana Cara Membuat Orang Tidak Kurang Ajar Lagi terhadap Budaya Tionghoa?

2009-12-14 Terurut Topik sumamihardja
Chen Gui Xin memang kasar. Tapi beri dia masukan. Lagi pula, kenapa anda harus 
bilang dia adalah anak muda? Apakah maksudnya supaya terjadi penundukan hirarki 
usia? Kalau begitu, atur saja agar setiap anggota milis menyebut usianya, 
menyebut urutan generasinya, dan menyebut gelar kepangkatannya. Agar jelas 
hubungan antar pribadi di sini. 

Sebenarnya yang saya soroti adalah pernyataan anda sendiri, apakah anda tahu 
bahwa kami, kalangan Rujia dan Daojia memang sudah lama berdebat? Budaya 
Tionghoanya adalah yang kami kembangkan dalam perdebatan itu. Kalangan Rujia 
menyerap juga kosmologi Tao. Kalangan Tao juga mengakui sistem dunia Rujia. 
Mengapa harus dikontraskan dengan budaya Tionghoa? Kami juga berdebat dengan 
kalangan Fojiao yang misalnya membawa relik dan mewartakan karma. Tapi kami pun 
menerima sejumlah konsep baik dari Fojiao bahwasanya hari akhir kehidupan bisa 
berbuah. Fojiao pun mau tidak mau mengakui sistem kami yang sudah berjalan 
lebih lama dan memakainya. Kalangan Daojia sendiri juga saling berbeda pendapat 
di internalnya mengenai dua aliran besar dan ratusan cabangnya. Yang satu 
menjadi sufi, yang lain menjadi alkemis, yang lainnya lagi menjadi pengusir 
setan. Itu realita Dao bahkan saling tuding mengenai kondisi supranaturalitas. 
Di Ru sendiri, ada pembelahan besar antara aliran Jia dan Jiao. Saling tuding 
soal metafisisnya alam semesta juga menjadi bahan panas. Belum lagi melihat 
sifat Zhongyong, ada perdebatan dominannya sisi konservatif-progresif, 
individu-sosial, dan sebagainya. Itu juga budaya Tionghoa. Ada tafsir Hokkian, 
Hakka, Tiociu, Yinghua, Hokcia, Hokciu, dan sebagainya atas berbagai ritual, 
nilai dasar dan sebagainya. Belum lagi ketika ada perbedaan lokasi rantau.

Meski demikian, apakah mereka semua gila perpecahan? Bagaikan pasir di pantai 
terbuka yang luas? Sikap saya sih jelas, budaya Tionghoa itu adalah budaya 
keragaman para pasir yang disatukan oleh rekatan yang longgar, tapi tetap 
berada dalam alur pantai yang sama. Kalau mau mengutip Xiangtu Zhongguo dari 
Fei Xiaotong, budaya Tionghoa adalah bagaikan kumpulan partikel air yang diikat 
oleh medan magnetik di antara mereka. Air bisa bertumbukan, tapi mereka tidak 
ingin terpecah. Riak budaya mereka adalah gelombang interaksi di antara mereka. 
Kalau ada saling bertudingan, jelaskanlah secara budaya Tionghoa. Sejarah 
panjangnya menjadi cermin koq. Apa yang terjadi di masa kini hanyalah bagian 
dari interaksi yang sudah terjadi di masa lalu. Makanya pengetahuan sejarah 
menjadi penting untuk mencapai kebijaksanaan, bagi pihak manapun. 

Sejarah budaya Tionghoa adalah cermin untuk menilai. Rujia menuding Daojia itu 
banyak tahayul? Itu biasa, dan tetap budaya Tionghoa. Rujiao menuding Taojiao 
itu banyak tahayul? Itu baru luar biasa, karena dalam Rujiao sendiri juga 
banyak yang dituding kalangan Rujia sebagai tahayul. Taojia menuding Rujia itu 
sering tidak selaras dengan kehendak alam? Itu biasa, dan masih bagian budaya 
Tionghoa. Kalangan Tao alkemis menuding kalangan Rujia itu tidak selaras dengan 
alam? Itu baru luar biasa karena dalam Tao alkemis ini, mereka juga hendak 
menemukan pil keabadian usia yang melawan prinsip alam. 

Tapi kalau Rujia, Rujiao, Daojiao dan Taojia dituding mau menundukkan alam? Itu 
baru luar biasa, karena pada prinsipnya mereka bersama-sama justru hendak 
menjaga alam dari keserakahan, materialisme ekonomi dan penghisapan manusia.

Untuk apa kehidupan ini? Itulah yang dicari budaya Tionghoa selama ini dalam 
interaksi pasang dan surut di antara Ru, Dao dan Fo(Mahayana)serta aagama 
rakyat yang selama ini mengharmonis menjadi "standar" budaya. Bahwa ada 
interaksi antara air 'budaya Tionghoa' dengan partikel asing yang kemudian 
larut di dalamnya adalah kenyataan juga. Kadang di satu bagian partikel asing 
itu tidak larut, atau sangat pekat sehingga memberi warna kepada airnya. Kadang 
di perairan luas, sebagian airnya menguap dan hilang lepas dari saudara 
partikel airnya. Itulah budaya Tionghoa. kadang partikel airnya berkohesi dan 
melekat pada benda asing atau beraksi kimia sehingga tidak lagi menjadi 
partikel air. 

Tapi bagaimanapun, saya berkeyakinan, dengan begitu banyaknya partikel air yang 
saling berinteraksi, tetap ada sebuah nilai dassar yang diyakini bersama, yang 
dikenali sebagai ciri air laut "budaya Tionghoa". Konstruksi aturan bumi yang 
dipimpin oleh Rujia, konstruksi aturan kosmik yang ditata secara Daojia, dan 
pedoman di luar hidup yang ditawarkan oleh Fojiao. dan mereka semua masih terus 
berkelindan dan berinteraksi dalam harmoni hidup.

Manusia di empat penjuru lautan adalah bersaudara.

Suma Mihardja





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dedy"  wrote:
>
> Anak muda, anak mudaapakah sikap anda yang "Kuran Ajar" ini sesuai
> dengan Budaya yang anda bela?
> 
> Saya tanya yah, kalau seorang Tionghoa pemeluk Konghucu bilang agama Tao
> banyak tahayulnya? lalu dimana letak budaya Tionghoanya?
> 
> Salam,
> Dedy
> 
> --- In budaya_tiongh

[budaya_tionghua] Re: Bagaimana Cara Membuat Orang Tidak Kurang Ajar terhadap Budaya Tionghoa? Class action!!!!

2009-12-14 Terurut Topik sumamihardja
Sekaligus tambahan untuk peq Chan CT (perkembangan "peradaban" dalam segi waktu 
tidak selalu menjadikan manusia lebih beradab. Perbedaan barbar atau tidaknya 
lebih banyak ditentukan: apakah kepentingan orang banyak akan lebih dijaga 
ataukah justru dibiarkan dalam situasi sikut-sikutan yang mematikan. Sekarang 
ini dunia juga tidak bisa dikatakan "kurang barbar" dibandingkan 2500 tahun 
yang lalu. Coba saja hidup di Somalia, Filipina, atau daerah berkonflik 
lainnya. Bahkan di Indonesia sendiri, orang kecil sekarang ini merasakan 
sendiri bagaimana mereka dipaksa untuk ikut l'exploitation de l'homme par 
l'homme di antara mereka sendiri ketimbang misalnya 1000 tahun yang lalu. Ora 
ngedan ora ngeduman, begitulah kata primbon. Tes: Mau aman berjalan kaki di 
Indonesia, baik di jalanan kota ataupun dipegunungan di pedalaman daerah? Nanti 
dulu. Apakah ini juga boleh disebut kondisi barbar?).

Tidak tepat namanya kebenaran besar atau kecil. Kebenaran adalah kebenaran. 
Hanya saja dalam kajian akademis, ada beberapa cara mendekati kebenaran, 
faktual, moral, atau inderawi. Buku 23 itu bukan sumber kebenaran, malahan 
sejumlah isinya justru mendistorsi pemaknaan kebenaran! 

Yang lebih sesuai adalah kebajikan besar atau kebajikan kecil, mengingat 
kebenaran adalah suatu patokan yang dianggap lebih konstan. Ada petuah: berbuat 
baik tapi dilakukan dengan tidak benar, bukanlah kebajikan. Berbuat benar tapi 
dilakukan dengan tidak baik, belumlah menjadi kebajikan. Berbuat baik harus 
juga benar, berbuat benar haruslah juga baik. Kalau harus memilih? Gunakan cara 
yang tidak menyelewengkan kebenaran, namun juga tidak meremehkan kebaikan. Yang 
terakhir inilah yang disebut sebagai kebajikan kecil.

Salah satu cerita soal kebajikan besar dan kecil ini adalah kisah dua biksu 
yang hendak menyebrang sungai yang cukup deras. Digambarkan bahwa saat itu 
tidak ada perahu, sementara hari sudah agak gelap. Seorang gadis sedang sedih 
menunggu di pinggir sungai, dia harusnya sudah pulang ke rumahnya di seberang 
sungai, tapi dia ketinggalan perahu terakhir. Apa mau dikata, dia mau menginap, 
tidak berani, menunggu di luar juga kedinginan. Nah dua biksu ini menanyakan 
mengapa si gadis masih di tepi sungai. Singkat cerita seorang di antara biksu 
menawarkan diri menggendong si gadis (tambahin aja biar rada ekstrim: cantik) 
ke seberang. Tentu saja si biksu temannya melotot, tapi enggak tahu mau bilang 
apa. Si gadis berpikir bahwa dirinya aman diseberangkan biksu yang 
sepengetahuannya selibat (untung dia enggak ketipu biksu gadungan). 
Menyeberanglah mereka.

Selepas berpisah dengan si gadis, si biksu melotot tadi menegur temannya, 
"mengapa engkau melanggar pantangan untuk menyentuh wanita?". Si temannya 
menjawab, "kenapa engkau membebani pikiranmu sedemikian beratnya sampai 
sekarang? Gadis tadi kan sudah kutinggalkan di tepi sungai."

Maknanya cukup mudah dicerna, yang dibicarakan adalah soal nilai mana yang 
lebih besar? Si biksu yang menggendong tadi, dia memang bertindak melanggar 
pantangan, tapi karena ada nilai lebih besar yang mengharuskannya begitu. Nilai 
ini adalah kebajikan. Apakah menggendong gadis tadi adalah ketidakbenaran? bisa 
ya, bisa tidak, kadang ada relatifitas yang juga nisbi. Tapi dari sudut pandang 
Tionghoa, pilihan si biksu tidak merugikan siapa-siapa toh? Tidak ada 
pelanggaran moral yang serius, yang ada adalah pilihan membiarkan si gadis 
lebih menderita ataukah berkorban sedikit tanpa menjadi keterlaluan? Yang 
menjadi sasaran kritik justru adalah biksu melotot tadi. Kenapa soal enteng 
dibawa jadi panjang? Dalam hal ini, si biksu penolong tidak meninggalkan 
kebenaran, dia mengakui bahwa dia menggendong si gadis, tapi dia tidak (maaf) 
memperkosanya atau pun mungkin merasakan kehangatan pelukan si gadis yang 
digendongnya. Dia menjaga pikirannya. Apakah kesucian dia ternoda? Apakah dia 
meninggalkan kebenaran? Rasanya jawabannya adalah tidak. Yang diambilnya adalah 
dalam konteks benar, perlu dan bahkan harus dilakukan. Apakah itu baik? bisa ya 
atau tidak, tapi mengingat tidak ada kerugian yang potensial ditimbulkannya 
(kalaupun ada, yaa, itu sih lebih mirip kisah-kisah kebetulan dalam film-film 
drama situasi; misalnya si gadis diusir warga desanya karena dianggap tidak 
suci lagi setelah digendong, atau si biksu tidak lagi bisa jadi budha), apa 
yang dilakukannya saya rasa akan dilihat kebanyakan orang adalah baik dan 
benar. 
Alhasil, dalam hal ini, kisah tadi bisa digolongkan sebagai kebajikan kecil.

Bedanya dengan buku 8x3 adalah pada sebuah pilihan untuk membiarkan orang yang 
ngaco justru memenangkan taruhan. Apa itu boleh disebut kebajikan kecil? 
Konsekuensinya terlalu berbahaya kalau diteruskan. Dalam 8x3, yang terjadi 
hanya "kemurahhatian" kecil, tapi dengan konsekuensi yang tidak bajik, bahkan 
tidak benar. Ini justru yang sepatutnya dihindari.

Ada cerita lain mengenai seorang pencuri yang kepergok tuan rumah. Karena tahu 
bahwa si pencuri bukanlah jahat, tapi kepepet hid

[budaya_tionghua] Re: Fw: 3 x 8 = 23 ???

2009-12-08 Terurut Topik sumamihardja
Tidak masalah, sysa sendiri juga masih harus terus belajar.
Btw, kalau saya mempergunakan istilah yang kurang dimengerti, boleh 
diklarifikasi. Karena tujuan milis ini untuk memperdalam pengetahuan, saya 
pikir tidak ada masalah dengan posting anda. Justru kewajiban mereka yang lebih 
pahamlah untuk meluruskan atau memberikan versi pembanding sehingga pengetahuan 
dan wawasan akan terbuka.

Justru quote dari Einstein itu yang menarik. hehehehehe

Salam



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "::KaNia::"  wrote:
>
> Saya bukan orang Tionghoa dan sama sekali tidak ada darah tionghoa. Saya 
> Muslim Jawa yg sangat tertarik dengan Budaya Tionghoa. Apalagi perabotan yg 
> berornamen Chinesse.
> 
> Jadi kalau saya posting cerita ttg Budaya Tionghoa dan ternyata itu 
> cuma cerita isapan jempol justru disitu saya belajar dimana cerita yg 
> sebenarnya dan mana yg bukan. 
> 
> Salam,
>  
> 'Two things are infinite: The Universe and Human Stupidity; and I'm not sure 
> about the universe.'
> - Albert Einstein 
> 




[budaya_tionghua] Re: Ajakan Kongkouw

2009-12-07 Terurut Topik sumamihardja
Iya. Hehehe. 

Udah jarang buka milis nih, tahu-tahu udah banyak yang kelewat. Soal istilah 
Tionghoa tadinya mau kasih masukan dan bukti, tapi udah di-pending ya. 
Sebenarnya pertanyaannya sederhana aja, kita tidak maksa, tapi meminta 
kesadaran. Keberatankah mereka kalau dipanggil Tionghoa? Kalau tidak keberatan, 
tidak usah diperpanjang. Kalau keberatan, kita lihat bagaimana susah payahnya 
para leluhur itu menggolkan istilah tadi. Apa memang sudah tidak menghargai 
peran para leluhur yaa??? Padahal alasan mereka rasional, mengandung semangat 
dan mewakili sejarah budaya yang sangat panjang.

Btw, soal Yanhuang Zisun memang ada beda antara versi kepercayaan rakyat 
(turunan Huangdi, tapi tentunya bukan Huangdi 98, hehehe) dan versi silsilah 
resmi. Kalau pakai versi silsilah sih, saya lebih pasnya berhubungan dengan 
Cheng Tang ketimbang Huangdi. Meski demikian, ada versi yang menghubungkan 
asal-usul Tang dari klan Ji ini dengan Yu.

Lah, kalau ngikutin aliran darah murni sih, kita tes DNA aja sedunia, baru bisa 
kita petain ada berapa asal-usul laki-laki di dunia ini melalui kromosom Y-nya. 
Lagian, dalam konsep kebudayaan, darah cuma penyumbang sebagian kecil faktor. 
Yang lebih banyak adalah sistem budaya yang membesarkan orang itu. Banyak 
buktinya kan. Rekan Yongde udah pasti sangat paham soal itu.

Salam


Suma Mihardja





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "henyung"  wrote:
>
> Kalau Yanhuang Zisun sih udah pasti bang :)
> 
> Tapi katanya, orang selatan itu turunan barbar. Karena saya orang selatan 
> sangat mungkin juga turunan barbar. Apalagi kalau dilihat dari batang hidung, 
> garis keturunan saya kayaknya ada dari ras Kaukasia, bisa itu Persia, Arab, 
> India. Maklum banyak pedagang dari daerah tersebut yang campur aduk di daerah 
> selatan.
> 
> Semua itu toh tidak mengubah asal mula marga saya, yang katanya perdana 
> menteri jaman Qin Mu Gong. Jadi kalau untuk keturunan kaisar sih ngai gak 
> berani dah. Cukup jadi keturunan perdana menteri saja.
> 
> Hormat saya,
> 
> Yongde
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Suma Mihardja  wrote:
> >
> > Xiexie ni.
> > 
> > Btw, kaisar yang mana? ini hoax atau mau bikin kejutan buat ngeramein biar 
> > pada datang? 
> > Gua juga mau ngaku turunan kaisar juga. Kaisar Kuning. Ni juga kan? 
> > 
> > Salam juga.
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > --- On Fri, 12/4/09, henyung  wrote:
> > 
> > From: henyung 
> > Subject: [budaya_tionghua] Ajakan Kongkouw
> > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> > Date: Friday, December 4, 2009, 2:07 PM
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> >  
> > 
> > 
> > 
> >   
> > 
> > 
> > 
> >   
> >   
> >   Rekan-rekan semua,
> > 
> > 
> > 
> > Barusan ada ajakan kongkouw-kongkouw bersama dari ko Erik Eresen, bermula 
> > dari ajakan bung Abdi.
> > 
> > 
> > 
> > Daripada kongkouw di Mangga Dua Square, ko Erik ngajak ketemuan saja di 
> > Galangan VOC. Biayanya lebih minim dan tempatnya lebih nyaman. 
> > 
> > 
> > 
> > Jadi, begini saja undangan kongkow-kongkow nya
> > 
> > 
> > 
> > Tempat: Galangan VOC, Jl. Kakap No. 1, sebelah restoran Raja Kuring, Pasar 
> > Ikan, Jakarta Utara
> > 
> > 
> > 
> > Tanggal: hari Minggu, 20 Desember 2009, karena sangat mungkin saudara 
> > saudari kita yang muslim tidak bisa datang kalau tanggal 18 
> > 
> > 
> > 
> > Topik: kongkow-kongkow, kalau bung Abdi dan temannya yang turunan 
> > kekaisaran hadir, yah kita bisa saling mengenal
> > 
> > 
> > 
> > Biaya: minim, tempat dan makanan ringan disubsidi 
> > 
> > 
> > 
> > Waktu: belum ditentukan, kemungkinan besar pagi menjelang siang, atau siang 
> > hari.
> > 
> > 
> > 
> > Peserta: siapa saja boleh datang, mau sesepuh, sepuhan, anggota baru, 
> > anggota lama, tua muda pria wanita :)
> > 
> > 
> > 
> > Hormat saya,
> > 
> > 
> > 
> > Yongde
> >
>




[budaya_tionghua] Re: Fw: 3 x 8 = 23 ???

2009-12-07 Terurut Topik sumamihardja
Maaf, saya sudah lama tidak ngikutin milis BT karena kesibukan yang sangat 
tinggi. Tapi belakangan karena ada yang forward ke saya dan mengatakan bahwa 
ini cerita yang bagus, saya komentari saja, yaaa. Saya tidak menyalahkan anda 
atau penulis sebelumnya (saya lihat ada juga message sebelumnya yang 
dikomentari oleh pe Chan Chun Tak yang memuji-muji cerita itu).

Mendahului cerita ini, saya pernah menyampaikan keberatan saya terhadap 
sejumlah rohaniwan aliran Matakin mengenai kisah Yanhui ini. Semula saya 
berharap mendapatkan diskusi mengenai sumber dan otentifikasi, namun ternyata 
saya malah bingung dengan respons yang diberikan. Saya melihat ada problem 
pemahaman cerita. karena itu, saya lempar saja ke rekan-rekan, agar setidaknya 
bisa memberikan wawasan yang baru.

Bagi saya, cerita ini adalah cerita rekaan belaka. Siaoshuo, dongeng, kisah 
yang tidak bisa dijamin keakuratannya, lebih-lebih ketika membawa-bawa nama 
Konghucu (Confucius) di dalamnya.

Saya sendiri termasuk Rushi yang mendalami klasik rujia. Jadi saya familiar 
dengan mazhab-mazhab aliran dalam rujia. Dan dari penyelidikan saya, saya 
berani bilang bahwa ini kisah rekaan yang dibikin belakangan. Lucunya, kisah 
ini kelihatannya dikembangkan di Indonesia atau setidaknya Asia Tenggara dan 
bukan dari kalangan akademisi rujia.

Apa motif pembuatan cerita ini? Saya cuma bisa menebak, tapi saya lebih kawatir 
kepada kesalahan tafsir yang sangat fatal yang bisa dibawakan oleh cerita ini. 
Literasi yang saya pakai mengandung peristilahan hanyu pinyin, dan untuk 
memudahkan bagi yang kurang familiar, saya tambahkan istilah populernya 
(meskipun ejaannya masing-masing menjadi tidak standar akibat banyaknya sistem 
transliterasi)

Berikut ini sejumlah penjelasannya:

1. Dari sudut filosofis: Kalangan Rujia pada umumnya sangat memperhatikan 
etika, kebijaksanaan, kemanusiaan dan keadilan, namun semua itu harus dibungkus 
dengan kesusilaan. Bukti mengenai ini dapat diperiksa dari kitab-kitab yang 
dipakai kalangan Rujia, entah itu mulai dari kitab-kitab sebelum dan semasa 
Khonghucu (Kongzi, Confucius) dalam berbagai bentuknya seperti Sishu [Susi] 
minus Mengzi [Beng Cu, Mencius], wujing [go keng], yijing [yakking, iching], 
dan sebagainya, meskipun banyak juga isisnya yang baru dihimpun setelah Kongzi 
sudah tiada (termasuk juga restorasi belakangan yang dilakukan setelah era 
pembakaran buku pada dinasti Qin; Chin). Selain itu kita bisa memeriksa isi 
kitab-kitab selepas KHC, yaitu misalnya tulisannya Mengzi, Xunzi (Shuncu), Zhu 
Xi (Cu hie), Wang Yangming, Yan Yuan, Dai Zhen, dst, termasuk misalnya tafsir 
yang dibuat oleh Han Yu, Dong Zhongshu, Lu Jiuyuan, Wang Shouren, Zengzi, Zhang 
Zai, dsb yang jelas sangat banyak dan saya tidak bisa jelaskan satu demi satu. 
Pada dasarnya mazhab-mazhab itu pertama kalinya terbentuk secara umum menjadi 
empat jaman, yaitu masa pengajaran langsung (generasi pertama Rujia; 
Confucianism [meskipun istilah ini juga agak salah kaprah]), masa seratus 
aliran (hingga awal dinasti Han), masa pengukuhan (sepanjang dinasti Han) dan 
kemudian masa interaksi sanjiao (terutama tumbuhnya apa yang disebut 
Neo-Confucianism di jaman dinasti Song). Selepas empat tahapan ini, umumnya 
yang dijadikan pedoman Rujia adalah hasil dari dinasti Song tersebut (yang 
memasukkan kosmologi Taois-Mahayana). Harus dicatat bahwa selepas ini pun 
banyak ditemui tokoh-tokoh Rujia yang sangat ternama, khususnya mengingat bahwa 
Rujia pada dasarnya adalah ortodoksi negara dan sarana untuk menjaring kelas 
Sarjana yang akan menempati jabatan negara di semua tingkatan. Tentu saja 
muncul juga para penyamun yang menyimpangi sistem ujian negara yang berlangsung 
saat itu menjadi kroniisme dan pungli (korupsi). Tidak heran ada karya 
monumental jaman Ming yang dikenal sebagai the Scholar (rulinwaishi) yang 
mengkritik penyelewengan dalam sistem ujian negara. Saya tidak hendak 
berpanjang di sini, jadi saya ambilkan kesimpulannya saja. Dari sisi ini 
kalangan Rujia tidak pernah lepas dari tradisi akademik, sangat memegang 
kesusilaan dan tidak lepas dari kemanusiaan. Perdebatan yang ada antar mazhab 
atau pemikir Rujia tidak pernah lepas dari konteks tadi. Kalau sudah tidak 
mengindahkan tradisi akademik, tidak memegang susila atau tidak berfokus kepada 
kemanusiaan, dapat dikatakan itu tidak mewakili Rujia atau setidaknya dianggap 
Rujia sempalan. kalaupun pada suatu jaman terhadi penyelewengan, tradisi 
kalangan Rujia tetap beranggapan bahwa nama Rujia hanya "ditunggangi" dan bukan 
Rujia sejati. Itu seperti penjahat yang mengklaim dirinya adalah Hakim Bao 
hanya karena memakai pakaian hakim seperti rupa Hakim Bao, namun jelas bukan 
Hakim Bao itu sendiri.

Dari sisi itu, kisah ini TIDAK DIKENAL DALAM TRADISI RUJIA. Saya juga mengakui 
ada beberapa versi kisah yang menjadi perdebatan, misalnya mengenai apakah KHC 
pernah berjumpa sungguhan dengan Laozi (Locu), namun secara umum kisah ini 
memang diakui meskipun apa yang dibicarakan tidak be

[budaya_tionghua] Re: Polemik Masyarakat Tionghoa di Indonesia

2008-01-13 Terurut Topik sumamihardja
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, yekonia <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Mohon bantuan sharing nya untuk :
>
>   1. Nama saya di Akta Lahir dan KTP ( termasuk semua dokumen yg 
ada sebelum   menikah ) menggunakan Anton Adi Wijaya.  Ayah saya 
ganti nama dan membuat SBKRI pada saat saya umur 15 tahun dari nama 
China ke nama Indonesia menjadi Liem Joni. Pada saat saya menikah 
tahun 2004, nama saya di Akta perkawinan oleh petugas catatan sipil 
ditambahkan nama Liem didepan nya sehingga menjadi " Liem, Anton Adi 
Wijaya ". Karena hal penambahan ini maka KTP dan KK saya akhirnya 
saya ubah juga dengan ada tambahan Liem didepan ( atas inisiatif 
saya sendiri untuk tujuan kesamaan data, walaupun di Akta tidak saya 
ubah juga )
>   Namun pada saya perpanjang SIM dengan data nama terbaru, kenapa 
nama Liem nya tidak muncul ? Demikian juga di pasport ?
>   Maka saya mau bertanya atas dasar hukum apa petugas catatan 
sipil itu menambahkan nama Liem didepan nama saya ? Karena ini 
membuat saya bingung jika akan membuat dokumen dokumen baru lainnya 
seperti Buku tabungan bank, pencantuman nama lengkap saya di akta 
lahir anak saya, dll.
>
>   2. Sehingga saat anak laki laki saya lahir thn 2005 saya sengaja 
menambahakan sendiri nama Liem didepan nama anak saya "Liem Rafael 
Justin Wijaya", dengan maksud kasus seperti saya tidak terjadi saat 
anak laki laki saya menikah di kemudian hari ( menghindari 
penambahan nama marga di depan, padahal nama di akta lahir tdk ada 
nama tsb,)
>
>   3. Sebenarnya apakah bijaksana tindakan saya terhadap penambahan 
nama marga anak saya didepan ( seperti terurai di no 2 )
>
>
>   4. Dalam susunan nama saya dan ayah saya seharusnya nya nama 
marga dicantumkan di belakang, tapi kenapa oleh petugas ditaruh 
didepan. karena pasport saya pun yg menjadi Surname adalah WIJAYA 
bukan LIEM. Karena setahu saya Indonesia menganut sistem barat dalam 
hal Surname. ( susunan nama ayah saya di ganti nama seharusnya JONI 
LIEM )
>
>   5. Sampai sekarang saya masih simpang siur mengenai masalah ini, 
apalagi anak ke dua juga mau lahir, apakah perlu lagi saya tambahkan 
nama marga di depan dgn maksud menghindari penambahan nama marga di 
depan yg sebenarnya tidak ada di akta lahir.
>   Karena bagaimanapun yg dianggap sah ( lebih kuat secara hukum ) 
kan Akta Lahir
>
>   Note : Ayah saya memiliki SBKRI dan saya tidak. Jadi saya masih 
ikut SBKRI ayah.
>Apakah karena saya secara pribadi tidak memiliki 
sendiri SBKRI makanya terjadiseperti ini.Saya kelahiran tahun 
1977.
>
>   Maaf jika terlalu panjang.
>   Terima kasih atas bantuannya.
>
>


Sdr. Anton Adi Wijaya, berikut ini tanggapan ringkas saya:

1, 2, 3 dan 4: Bijaksana juga. Berdasarkan ketentuan terakhir, nama 
marga BOLEH DICANTUMKAN. Rujukannya ada pada Surat Menteri dalam 
Negeri tahun 2005. Pertimbangannya adalah hak budaya yang dimiliki 
oleh setiap komunitas. Hak budaya adalah bagian penting dari hak 
asasi manusia yang melekat pada individu bersangkutan. Dunia saat 
ini memang lebih terbuka, sekaligus juga lebih memperhatikan masalah 
multikulturalisme. Tidak ada yang salah apabila anda hendak 
mencantumkan nama marga Tionghoa anda. Permasalahannya adalah apakah 
anda hendak mempertahankan Liem sebagai nama marga dan sekaligus 
Wijaya (?) sebagai "nama keluarga" (?) atau hendak menegaskan 
pilihan. Ada kecenderungan pihak Catpil akan menganggap Wijaya yang 
dipakai berulang-generasi sebagai nama keluarga. Untuk keperluan 
ini, perlu ada kejelasan dan juga ketegasan. Ataukah ini akan 
menjadikan "identitas ganda" berwujud Liem (ABCD) Wijaya? Saya 
merekomendasikan anda untuk memilih mana yang akan menjadi prioritas 
dalam hal kolom "SURNAME" (dalam formulir KK terakhir dan juga 
paspor) harus anda isi. Kalau anda memang memutuskan LIEM, paspor 
anda bisa diralat (saya rekomendasikan jangan tunggu hingga jangka 
waktu paspornya habis, agar tidak berkesan hanya mencari sekedar 
mencari peluang saja).

 4. ada masalah komputerisasi. Komputer diset oleh orang yang tidak 
memahami perbedaan konsep penamaan, sehingga hanya melakukan 
semacam "copy paste" dari program yang dibuat oleh orang Barat (fyi 
komputer saat ini masuk dari sumber Eropa Barat dan AS dan 
belakangan sudah dimasukkan program pesanan terintegrasi [meski 
belum penuh] untuk SIAK dan imigrasi, yang dibuat tanpa diadakan uji 
publik dulu di Indonesia, khususnya oleh tim materi Catatan Sipil 
yang saya pegang). Kenyataannya programnya terlanjur sudah disetujui 
Depdagri dan Dephukham sebagai pemegang otoritasnya (entah by design 
atau tidak). Sampai saat ini sinkronisasi antar data base belum 
berhasil dilakukan, mengakibatkan data Kependudukan dan Catatan 
Sipil di satu pihak dengan data Paspor (imigrasi) di pihak lainnya 
dan juga data seperti ijasah (STTB), data Pajak (NPWP) di pihak lain-
lainnya masih memiliki perbedaan dalam format dan kolom penulisan. 

Yang pasti, anda tetap punya hak untuk menegaskan pilihan 

[budaya_tionghua] Mohon Bantuan Kembali: Saatnya Bekerja di Lapangan

2007-05-09 Terurut Topik sumamihardja
Rekan-rekan semua, kembali saya mintakan perhatian anda. (maklum, 
soalnya perhatian terhadap permasalahan ini kelihatannya kurang. 
Mungkin karena tulisan saya sebelumnya kurang jelas, panjang dan 
belum final. Namun kali ini saya memintakan perhatian lebih karena 
kegiatan yang dulu saya kemukakan, sekarangf sudah dimulai, dan agar 
kita tidak ketinggalan membantu, karena dampaknya cukup luas dan 
mendalam, khususnya bagi persoalan negara ke depan. Saya berharap, 
kalaupun rekan-rekan tidak bisa membantu langsung karena berbagai 
kendala, sebarkan pengumuman ini ke rekan-rekan yang bersemangat 
pengabdian, juga ke daerah-daerah yang memiliki masalah dan hendak 
menyelesaikannya, dan pendek kata ke siapapun yang berkenan membantu 
agar kegiatan ini dapat berjalan baik di seluruh pelosok nusantara, 
seberapa terpencilnya pun itu. Terima kasih sebelumnya untuk rekan 
Julieli, Ullysee, Esther Jusuf, Kenken, Bud's, Steeve, dll yang 
memberikan semangat. Wei De Dong Tian.)

Rekan-rekan, menyambung posting saya beberapa waktu yang lalu 
mengenai penyelesaian permasalahan kewarganegaraan dan kependudukan 
secara crash program untuk memutus mata rantai lingkaran setan yang 
menyebabkan diskriminasi laten, maka diberitahukan Depdagri sudah 
menyelesaikan pembuatan surat edaran yang diperlukan, sehingga 
melengkapi apa yang dibuat oleh dephukham.

Kini tantangannya ada di tangan kita dan rekan-rekan semua. Apakah 
kegiatan ini (yang memang masih belum sempurna, namun setidaknya 
memberi tawaran maju penyediaan jalan keluar) akan kita kerjakan 
atau akan kita abaikan. Saya terus terang tidak mendapatkan masukan 
apapun mengenai teknis dan usulan berkaitan dengan kegiatan yang 
akan dilakukan, sehingga saya tetap berpegang kepada usulan yang 
saya buat waktu itu. Untuk singkatnya saya ulang berikut ini:

Pelaksanaan Pemberian Dokumen Kependudukan bagi Mereka yang Status 
Kewarganegaraannya Sempat Terkendala

1.  Sehubungan dengan keberadaan Undang-Undang Kewarganegaraan 
dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang baru (No. 12 Tahun 
2006 dan 23 Tahun 2006), maka untuk mengatasi ketidaksinkronan 
permasalahan kewarganegaraan dan kependudukan akibat syarat yang 
timbal balik diterapkan untuk kedua bidang tersebut yang bisa jadi 
akan terus menimbulkan permasalahan hukum bagi kalangan "keturunan", 
maka akan diadakan pemberian dispensasi untuk menyelesaikan 
ketiadaan dokumen kewarganegaraan dengan memberikan pembuktiannya 
secara langsung dalam dokumen kependudukan (dengan demikian status 
kewarganegaraannya akan diberikan pembuktian langsung melalui KK/KTP 
baru yang akan diperolehnya).
2.  Pemberian penegasan kewarganegaraan ini tidak boleh 
diartikan sebagai SBKRI model baru, sehingga oleh karenanya akan 
diterapkan dengan asas pasif dan hanya sekedar klarifikasi dengan 
proses yang akan digambarkan sebagai berikut:
a.  Mereka yang belum memiliki KK/KTP WNI namun karena hal 
tertentu masih menggantung statusnya (baik karena ditolak ataupun 
tidak diurus) karena dianggap asing atau stateless yang diakibatkan 
permasalahan hukum yang lalu-lalu, dapat memintakan dibuatkan KK dan 
KTP WARGA NEGARA INDONESIA cukup dengan melalui proses klarifikasi.
b.  Pemohon cukup mendatakan diri (format dibuat oleh depdagri, 
terlampir) kepada kantor yang ditunjuk (catatan sipil, kecamatan 
atau lainnya) dengan melampirkan dokumen pendukung yang ada 
(sederhana, fakultatif pendukung yang ada saja; kalau ada yang 
dirasakan berlebihan, harus dianggap tidak ada) untuk kemudian 
dikumpulkan dan dikirimkan oleh kantor tersebut kepada departemen 
Hukum dan HAM.
c.  Dephukham HANYA AKAN MEMERIKSA apakah nama-nama termaksud 
terdaftar sebagai warga negara asing ataukah tidak (prosedur pasif), 
dan kalau tidak, maka secara otomatis akan ditegaskan bahwa mereka 
tidak terbukti Warga Negara Asing, sehingga dapat memiliki dokumen 
kependudukan sebagai WNI. (Ingat bahwa dengan demikian stateless dan 
eks EPO PP 10/1959 juga akan terlindungi dan otomatis menjadi WNI, 
hal ini untuk mencegah terulangnya pengalaman SBKRI)
d.  Depdagri melalui instansi yang ditunjuk kemudian membuatkan  
dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan (KK/KTP) mana berjudul 
Warga Negara Indonesia (sama dengan mereka lainnya yang WNI baik 
karena kebangsaan [periksa kembali konsep asli dalam UU terbaru] 
maupun naturalisasi, dengan format yang sama juga).
3.  Untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat 
dalam menyelesaikan permasalahan ini, setiap orang/organisasi dapat 
membantu mengadakan sosialisasi, membantu pendataan dan penyampaian 
dokumen dengan cara-cara yang baik dan terkoordinasikan dengan 
benar. (Maksudnya agar tidak terjadi praktek percaloan, pemerasan 
dan sebagainya; sebaliknya agar upaya ini menjangkau pelosok 
terdalam, masyarakat luas seharusnya membantu dan melawan praktek 
yang tidak benar; apabila ada pihak yang menghalangi, harap segera 
dilaporkan untuk segera diantisipasi)
4.  Untuk mencegah t

[budaya_tionghua] untuk Julielie dan Ulysee

2007-05-09 Terurut Topik sumamihardja
Rekan Julielie dan Ullysee yang baik (dan juga rekan-rekan lain). 
Maaf, saya baru buka posting lagi karena ada kesibukan di daerah, 
salah satunya terkait dengan apa yang rekan-rekan tulis, dan dalam 
beberapa hal juga dengan pengakuan kalangan penghayat kepercayaan 
yang saya  perjuangkan sejak lama juga dan perluasan gagasan hak 
kelompok miskin terhadap berbagai akses kebutuhan mereka. 

Dari surat rekan-rekan, saya merasa bahwa nampaknya rekan-rekan 
belum melihat posting saya sebelumnya mengenai persoalan 
Kewarganegaraan dan Adminduk, bahkan dalam UU yang baru. Saya sudah 
jelaskan bahwa persoalan kewarganegaraan dan kependudukan bagi 
stateless (khususnya kalangan Tionghoa yang "dianggap" asing karena 
tidak punya dokumen kependudukan yang mendukung) tidak akan pernah 
selesai karena ada "tabrakan" antara persoalan kewarganegaraan 
(Paspor, dll) dengan persoalan kependudukannya (KK/KTP). Masalahnya 
terletak dalam syarat yang dibuat masing-masing lembaga. 
Kewarganegaraan di bawah Dephukham, sementara Kependudukan di bawah 
Depdagri. Akibatnya mereka tidak sepenuhnya "diakui" sebagai 
penduduk. Misalnya akses terhadap BLT/SLT/JPS (meskipun mereka tidak 
akan minta, harusnya tidak membeda-bedakan), atau saat pemberian 
bantuan saat banjir besar tetap saja terjadi diskriminasi, padahal 
menurut sosiologisnya adalah sama-sama penduduk dan warga negara ini.

Depdagri sampai saat ini masih mempersyaratkan "dokumen 
kewarganegaraan" (dengan kata lain SBKRI!!!) yang seharusnya sudah 
tidak diperlukan lagi, bagi pembuatan KK/KTP. Ada banyak alasan 
rasial yang dibuat-buat (keamanan, kecurigaan, dst) yang tidak akan 
saya uraikan lebih lanjut. Sebaliknya Dephukham kalau ada 
permintaan "SBKRI" (meskipun praktisnya harusnya sudah tidak, namun 
masih ada sisi yang bermuka dua), mereka akan memintakan surat 
pengantar RT/RW, Lurah/Camat. Sementara untuk membuat pengantar itu, 
tentunya RT/RW/Lurah/Camat tadi mempersyaratkan bahwa mereka sudah 
menjadi warganya (memiliki KK/KTP). Coba, kapan akan selesainya 
lingkaran setan ini

Saya tidak menafikan apa yang dibuat oleh rekan-rekan di Pontianak 
sana, itu sudah cukup baik secara lokal. Namun tolong jangan lupa 
bahwa itu hanya akan menyelesaikan permasalahan KK dan KTP bagi 
mereka yang DOKUMEN KEPENDUDUKANNYA LENGKAP!!! Bagi kalangan seperti 
itu, paling banter kesulitannya adalah transportasi (kalau jauh 
tempat layanannya) atau kemalasan (maaf!) meskipun bisa jadi 
kemalasan itu juga diakibatkan ketakutan akan diperas kembali 
(padahal setahuku seharusnya program KTP nasional adalah gratis atau 
setidaknya hanya sekedar biaya ganti cetak maksimal RP. 10.000,00) 
atau dipersulit (padahal juga sudah ada ketentuan sanksi bagi 
pejabat yang mempersulit), atau merasa tidak dibutuhkan, atau merasa 
bisa didapat sewaktu-waktu dengan menyogok dan sebagainya. Yang 
penting, syarat itu adalah baku secara nasional, jadi tidak bisa 
diselesaikan secara daerah-perdaerah saja (kebijakan ada di pusat)!!!

Saya tidak akan menganalisis satu persatu (sebagian saya sudah saya 
curahkan dalam tulisan-tulisan saya di beberapa terbitan), namun 
saya hendak tegaskan bahwa kebanyakan persoalan tidak selesainya 
KK/KTP seperti itu bisa dihindari apabila warga sendiri kompak untuk 
melawan praktek keliru tadi. Coba kalau semuanya ramai-ramai bikin 
KTP tanpa mau membayar sogok, coba kalau tidak ada yang sok murah 
hati dengan memberikan uang berlebihan atau memanipulasi data 
(mentang-mentang kaya), rasanya pelanggaran itu akan mengecil. Saya 
masih "agak" mentolerir uang transport (namun tidak bagi uang rokok 
atau uang ketik yang sudah menjadi tanggung jawabnya pribadi) bagi 
kurir di tingkat RT/RW yang hanya sekedar minta uang pengganti yang 
wajar untuk mengambil KK/KTP tersebut di kantor Camat (itupun bila 
memang tidak diongkosi dan jauh ngambilnya; tentu saja permintaan 
itu harus ditolak bilamana diambilnya dalam rangka administrasi, di 
kota yang sama atau tidak jauh alias tidak keluar biaya transport). 
Apakah ini budaya atau penyimpangan yang bisa diberantas? Tentu kita 
sendiri yang dapat membuat jawabannya.

Kembali kepada soal yang saya utarakan dalam posting terdahulu. 
Bahwa untuk menyelesaikan permasalahan kalangan stateless tadi (dan 
bahkan semua yang tidak atau kurang lengkap dalam kepemilikan 
dokumen kependudukan/kewarganegaraan), saya ikut dalam sejumlah 
pertemuan untuk memutus rantai lingkaran setan tadi. Cara yang 
disepakati adalah sekedar "klarifikasi sederhana" yang melibatkan 
dua departemen yang paling terkait, yaitu Depdagri dan Dephukham. 
Mereka yang "bermasalah" itu cukup sekedar mendaftar dengan prosedur 
sederhana dan kalau tidak ada penolakan (stelsel pasif, harap 
diingat) maka mereka otomatis adalah WNI dan berhak atas KK dan KTP 
tanpa memerlukan prosedur kelengkapan dokumen!!!

Masalahnya, kelihatannya posting saya kurang dapat respons dari 
rekan-rekan yang saya anggap pemerhati budaya, sosial atau hak asasi 
dan anti diskriminasi (m

[budaya_tionghua] Re: Apa yang didapat dari gathering.

2007-03-08 Terurut Topik sumamihardja
Kalau yang dimaksudkan itu dvd yang saya pertunjukkan (dengan judul 
chinese acrobatics and lion dance; yang menggambarkan sejarah dan 
model teknik barongsay versi utara dan selatan), berhubung itu 
adalah turunan langsung dvd asli (hanya untuk keperluan mencegah 
kerusakan saat dibawa), saya cuma mengkopikannya satu untuk 
moderator. Hal itu terutama mengingat bahwa dvd tersebut ada dalam 
lindungan hak cipta. Saya memperbolehkan dvd dipertunjukkan hanya 
dalam lingkup terbatas, bertujuan pendidikan, tidak untuk digandakan 
kembali, dan tidak bertujuan ekonomis. Mohon hal ini diperhatikan. 

Terima kasih.

NB. Mengenai kritisi saya terhadap UU Kewarganegaraan yang baru, 
khususnya mengingat adanya celah-celah hukum, yang tetap mengabaikan 
kenyataan adanya kelompok stateless yang sangat banyak jumlahnya. 
Penokohan seseorang yang mengandalkan politik uang untuk menggolkan 
produk hukum tanpa memperhitungkan substansi mendasarnya adalah 
berbahaya. Sekaligus saya klarifikasi bahwa yang dilakukan saudara 
RSN saat gathering adalah sindiran terhadap penokohan semacam itu.





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Hendri Irawan" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Bu Lim Wiss,
> 
>  
> 
> Kalao dvd Barongsai yang dipresentasikan di gathering itu bisa 
dicopy (hubungi moderator secara japri kalau mau). Yang dimaksud 
dengan "beli" maksudnya dvd kompetisi barongsai internasional 2007 
di malaysia. Kalau itu memang dvd original langsung dari malaysia 
dan bayar bea masuk, makanya rada mahal. 
> 
>  
> 
> Hormat saya,
> 
> Yongde
> 
>  
> 
>_  
> 
> From: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Lim Wiss
> Sent: Wednesday, March 07, 2007 3:09 PM
> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Subject: RE: [budaya_tionghua] Apa yang didapat dari gathering.
> 
>  
> 
> Sekedar usul saja,
> 
> File Gathering disimpan di folder budaya tionghoa.
> 
> Orang yg ikut Gathering dikasih sourvenir yang menarik.
> 
> Orang yg tidak ikut Gathering tidak dikasih sourvenir. 
> 
> Harus konsekuen sekalipun para panitia / moderator yg berhalangan 
hadir
> tidak dikasih sourvenir.
> 
> Soalnya saya berminat dgn lagu Imlek versi karikatur & Barongsai di
> Gathering kemarin.
> 
> Soalnya materi Barongsai kemarin itu penjelasannya lengkap (versi 
mandarin).
> 
> Saat saya minta copy, orang yg berkepentingan bahwa Barongsai itu 
bisa
> dibeli :-(
> 
> Kalau lagu Imlek versi karikatur, Pak Nyoto janji mau email & copy 
ke CD
> untuk saya.
> 
> Rencana saya mau email ke teman kantor biar mereka tahu tentang 
Barongsai.
> 
> -Lim Wiss-
> 
> 
> 
> 
> 
> --
> No virus found in this incoming message.
> Checked by AVG Free Edition.
> Version: 7.5.432 / Virus Database: 268.18.7/710 - Release Date: 
3/4/2007 1:58 PM
> 
> 
> 
> -- 
> No virus found in this outgoing message.
> Checked by AVG Free Edition.
> Version: 7.5.432 / Virus Database: 268.18.7/710 - Release Date: 
3/4/2007 1:58 PM
>  
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>




[budaya_tionghua] Re: Minta masukan, wawancara aktivis muda Tionghoa (Minta Klarifikasi)

2006-02-14 Terurut Topik sumamihardja
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "thangoubheng" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:


> ...siapapun yang diluar paham Marxis, dan dgn bangganya kemudian 
>memproklamirkan diri sebagai 
> aktivist muda Tionghoa, rasanya yang di wakilinya adalah aktivist 
> Tionghoa Marxis dan bukan aktivist Tionghoa yang nasional.
> ...
> Thangoubheng yg besar di jalanan, dan sudah bertarung to 
> hell and back di 1998 dan tahun tahun berikutnya, tetap tidak pernah 
> berani menyebut diri sebagai aktivist. Bagi kaum jalanan ada golden 
> rule yg digunakan sbg parameter aktivist. Udah pernah masuk bui 
> belum??? Udah pernah dikejar team Mawar belum? Udah ketemu Sinhay 
> belum? Atau Marsilam? 
> 


Untuk sdr. Thangoubeng (apa benar begitu?):

Saya tidak hendak berbasa-basi dengan anda. Saya selama ini memang 
tidak intens mengikuti milis BT ini karena sejumlah persoalan teknis, 
tapi saya kemudian dikejutkan oleh pernyataan anda yang menuding 
penyebutan nama saya oleh sdr. Kenken sebagai bagian dari aktifis, 
Tionghoa, marxis pula!!!

Saya tidak tahu, referensi anda dari mana? Anda pernah berkenalan 
dengan saya dan mengikuti rekam jejak saya? Pernahkah anda berdiskusi 
dengan saya atau setidaknya membaca tulisan-tulisan saya? Bagaimana 
anda mempertanggungjawabkan pernyataan anda itu? Ataukah anda hanya 
seorang yang juga hanya sekedar mencari sensasi dengan melempar isu-
isu murahan?

Saya sendiri masih mempertanyakan posisi saya sebagai seorang aktifis, 
bukan karena saya meragukan pilihan diri saya dalam kegiatan di 
lapangan. Namun karena di dalam pengertian aktifis sendiri, terbelah 
di antara mereka yang terjebak dengan aktifisme (hura-hura demonstrasi 
atau avonturir) dan mereka yang menjadi pejuang sebenarnya (bahkan 
progresif sekalipun!!!). Saya berkehendak menjadi pejuang, tidak perlu 
berkoar-koar namun bekerja. Apabila saya mempergunakan pisau bedah 
analisis kelas, apakah dengan demikian saya otomatis tidak nasionalis? 
Nasionalisme macam apa juga yang hendak anda sebutkan? Chauvinisme 
nasionalistik atau kesatuan rasa sebagai bangsa di antara lautan umat 
manusia? Apa pula kriterianya, khususnya apabila ada embel-embel 
Tionghoa sebagaimana anda sebutkan? Ataukah anda hanya sekedar 
berteriak bahwa hati dan jiwa anda demi Indonesia (atau malah nasional 
yang lain???), namun lupa terhadap persoalan yang dihadapi oleh 
masyarakat kecil, marjinal dan tertindas yang tidak pernah berteriak 
nasionalisme namun menghayati apa artinya berbangsa itu? Apakah anda 
sendiri memenuhi kriteria tersebut? Nasionalisme yang bagaimana dan 
implikasi apa yang terjadi karena pilihan anda tersebut? Di mana 
posisi anda??? Apakah progresif itu salah? Apa pula pengertian 
avonturir versi anda? Avonturirkah saya???

Saya tidak memungkiri bahwa diri saya selalu berada dalam rangkaian 
kontemplasi dan kerja-kerja tanpa batas ideologi, ras, agama, etnis, 
suku dan kelas, dan terus berada dalam rangkaian pencarian arti 
menjadi manusia. Sebagai salah seorang mahasiswa berprestasi, saya 
bukannya menerima tawaran di lembaga papan atas, malahan justru masuk 
ke dunia gerakan, saat lulus justru memilih berkiprah di LBH dengan 
gaji seadanya, saat di LBH justru mengaktifkan pengorganisasian, dan 
akhirnya mundur dari LBH karena tidak setuju dengan keberadaan 
sejumlah Dewan Penyantun yang sebenarnya adalah pembela-pembela para 
pelanggar HAM dan koruptor. Saat itu, ikut memperjuangkan hak-hak 
beragama kalangan Khonghucu di MATAKIN dengan tanpa penggajian, juga 
aktif membantu kalangan "agama" dan "kepercayaan" lainnya yang 
tidak "diakui" sebagai agama oleh negara. Saat Khonghucu mendapatkan 
pengakuannya, saya malah mundur dari MATAKIN, salah satunya juga 
karena ketidaksesuaian pandang dengan beberapa petingginya yang 
terseret dalam arus kekuasaan dan materialisme semu. Avonturir???

Meski tidak lagi memiliki organisasi tetap, saya tetap ikut melawan 
kebijakan anti masyarakat miskin, masyarakat kecil yang ada di gang-
gang becek, pinggir laut dan bedeng-bedeng. Ikut memperjuangkan nasib 
kalangan yang secara ideologis terpinggirkan secara tidak adil. Aktif 
juga menjadi dosen dengan gaji seadanya, hanya dengan harapan 
menularkan semangat belajar, mencari pengetahuan, menghargai 
kejujuran, kerja keras dan kebenaran serta mencintai kebudayaan. 
Terkadang membantu menerjemahkan buku atau membuat penelitian yang 
serius untuk mencari nafkah hidup sehari-hari (beberapa malah saya 
kirimkan ke milis BT ini), itu pun hanya mendapat penggantian ongkos 
tulis ala kadarnya. Terkadang saya bepergian ke sejumlah daerah untuk 
mempromosikan peraturan dan pelayanan publik yang tidak diskriminatif, 
sampai-sampai ada yang menuding bahwa pemikiran saya terlalu maju 
untuk masyarakat di sana yang elit-elitnya masih dipenuhi 
syakwasangka. Pernah dikeroyok sampai bonyok karena membela penumpang 
bis yang dimintai ongkos lagi padahal mereka sudah membayar. Pernah 
dihajar segerombolan brimob polisi dengan hasil rusuk patah karena 
menanyakan dasar huk