[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
llis ini adalah untuk > > beradu pendapat, bukan untuk beradu track record! Di millis ini, bisa saja > > seorang yg hebat dalam aksi2 sosial disanggah oleh seorang yg bukan siapa2, > > selama pendapatnya masuk akal, kita pantas dukung dia!" Lha, yang menyuruh orang bungkam itu siapa? Anda hanya menyimpulkan sendiri, tapi lagi-lagi anda menggeneralisasi. Tidak ada larangan bicara, tapi seperti dibilang juga oleh pepatah, isi pembicaraan itu harus jelas, muatannya harus didukung fakta, dan arah pembicaraannya harus sistematis. Kalau misalnya kita memperdebatkan kebenaran klaim agama-agama, tentu akan ada yang menyemprit. Siapa yang akan didengarkan pendapatnya dalam masalah perdebatan yang berlarut-larut? Tentunya yang sudah teruji pendapatnya dapat dipercaya dan punya wawasan yang luas. Kalau ngikutin pendapat anda sih, seakan memang logika itu setara. Padahal dalam konteks sosiologis, selalu ada yang namanya dominan dan greener. Apa saya menolak pendapat dari greener atau orang yang baru saya kenal? Kan tidak! Tapi pendapatnya itu harus berada dalam kerangka sosial yang baik, tidak bias dan tidak melanggar kaidah (misalnya rasisme, darwinisme, chauvinisme). Jelas kesimpulan anda juga harus diuji kembali, karena tidak ada larangan berpendapat koq. Jangan bikin kesimpulan yang mengada-ada. Terus, "> > > > Hasil dari berdiskusi disini tidak harus menghasilkan tindakan nyata. > > Tujuan utama adalah membuka wawasan dan menambah pengetahuan, Jika setelah > > itu ada yg tergerak berbuat sesuatu ya terserah individu masing2. > > > > Sent from my BlackBerryî > > powered by Sinyal Kuat INDOSAT" Lha, yang saya komentari juga pantas koq! Bagi saya, hasil dari diskusi itu tetap bisa dibagi dua, yang memerlukan tindakan, dan yang cukup untuk sekedar tahu (atau setidaknya terbuka peluang tindakan yang berbeda-beda). Kalau memang harus ditindaklanjuti, yaaa, lakukan dong. Lagi-lagi banyak contoh diskusi yang harus ditindaklanjuti kalau tidak mau kehilangan makna budaya (misalnya lagi-lagi soal etika dalam berkabung, boleh tidak pake barongsai hitam di jalanan, pantas tidak barongsai dimainkan dalam perkabungan, boleh tidak memberi pengantin hadiah sapu tangan, boleh tidak memberi orang tua anda hadiah jam dinding, baik atau tidak mengucapkan gong xi fa cai, bagaimana sikap atas larangan pawai liong capgomeh, bagaimana sikap atas perusakan kelenteng, dst yang sangat banyak). Masak hal-hal seperti itu tidak bisa ditindaklanjuti dan bahwa milis ini hanya sekedar ajang diskusi berbusa-busa demi pengetahuan dan wawasan. Bahwa milis adalah untuk diskusi, itu sih jelas, tapi yang penting kan pertanyaan, apakah dengan demikian yang lain-lain itu melenceng dari tujuan milis??? Baca kembali deh halaman muka dari milis BT ini. Lagipula, budaya Tionghjoa kan bukan budaya yang mengawang-awang! Budaya Tionghoa adalah budaya yang nyata, ada, rasional dan logis. Kalau kita mulai dengan aksi gerakan untuk mempopulerkan kembali soja, apakah itu melanggar tujuan milis??? Masih sangat banyak contoh, yang saya sebut hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa komentar saya pantas-pantas saja. Bingung saya membaca komentar anda. Bagi seorang budiman, nama/istilah/fakta itu harus sesuai dengan yang diucapkan dan kata-kata itu harus sesuai dengan perbuatannya. Itulah sebabnya seorang budiman tidak gampang mengucapkan kata-kata. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: > > Pak Suma, baca ulang baik2 pernyataan saya, baru anda beri komentar yg pantas! > Jika anda tdk bisa menangkap inti dari tulisan saya, ya repot diskusinya! > > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > > -Original Message- > From: "sumamihardja" > Date: Fri, 05 Feb 2010 20:07:57 > To: > Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA > > Apa salahnya? Kalau bung CG mengajak untuk bergerak, itu hak dia. Hanya saja > kalau argumennya keliru atau berkonotasi rasis yang keliru, yaaa, dibetulkan > saja. > > Dalam kebudayaan, ada komponen-komponen inert seperti sistem kepercayaan, > sistem pendidikan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, adat-istiadat dan > sistem hukum (untuk mempermudah klasifikasi saja). Semua komponen itu hanya > bisa berkaitan kalau disatukan dengan apa yang dinamakan masyarakat. Budaya > tanpa masyarakat bagaikan ilmu di ruang hampa. Orang cuma omong-omong doang, > tanpa ada yang dikerjakan. Kalau sudah begitu, budaya menjadi kehilangan > makna, cuma sekedar foto imajiner, buku novel atau film fiksi. > > Sehubungan dengan itu, saya sih bilang bahwa budaya tanpa gerak adalah budaya > dalam ruang tanpa gravitasi. Dalam hal ini, kalau muncul gerakan budaya, saya > sih bukan sekedar mensyukuri, tapi malah mengharapkan. Percuma memberi > pengetahuan ket
[budaya_tionghua] Re: tanya ttg souw beng kong
Maaf, rasanya kurang nyambung antara bidang penerbitan buku silat dengan sejarah SBK. Tapi kalau ini jadi cikal bakal penulisan tokoh yang lain, mungkin menarik juga. Akan tetapi, saya perlu tahu dulu buku berjudul apa yang hendak diterbitkan itu? Kalau buku tulisannya Phoa Kian Sioe (disatukan dengan Oei Tambah Sia, Phoa Beng Gam) terbitan 1956, semestinya nyarinya ke ahli warisnya. Kabarnya anaknya sudah pindah ke luar negeri menyusuli kejadian 1966, cuma saya tidak jelas ke mana. Meski demikian, saya perlu jelas dulu buku yang mana yang akan diterbitkan itu. Kalau yang dibuat oleh Liem Thian Joe tahun 1933 (karena judulnya mirip yang anda tulis "Kapitein Souw Beng Kong"), ahli-ahli warisnya dikabarkan masih tinggal di Semarang, bisa ditelusuri dari kelenteng marga Lim (Maco) di daerah dekat stasiun kereta. Oleh karena itu, perjelas dulu terbitan mana yang anda maksud? Jangan kawatir orang tidak mengenal dirimu, kawatirlah kalau tidak dapat mengenal orang lain. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Add Publishing wrote: > > Kpd yth rekan-rekan sekalian, > > Kami dari ADD Publishing, penerbit buku-buku silat, berniat untuk mencetak > ulang buku ttg kapiten souw beng kong. > Kepada siapa kami bisa mendapatkan info dan ijin penerbitan. > Harap rekan-rekan sekalian dapat membantu kami. > > Terima kasih, > ADD Publishing >
[budaya_tionghua] Re: W: 2010 UNESCO Asia-Pacific Heritage . SOWN BENG KONG, KLENTENG TALANG ???
an. Kalau kesepakatan sudah tercipta, bisa juga UNESCO diminta untuk memberi bantuan dana, atau bisa juga donatur lain, karena sebagaimana saya sudah ingatkan, dana renovasi Gedung Arsip Nasional (yang dapat penghargaan UNESCO saja) bisa makan 25 milyar. Jadi untuk ukuran Talang, setidaknya 15 milyar harus disiapkan (termasuk riset khusus mengenai bahan asal kedua sayap tadi). Begitu dulu info mengenai kelenteng Talang. Kalau mengenai makam SBK, pak Tjiong lumayan terlibat, namun motornya kelihatannya pak Kamil Setiadi dan Teddy Jusuf (meskipun kabarnya yang banyak bergerak kemudian adalah yayasan keturunan Souw Beng Kong/marga Souw). Meskipun sudah dibersihkan dari rumah penduduk dengan biaya yang tidak sedikit, saya juga tidak berani merekomendasikannya untuk UNESCO Award karena beberapa pertimbangan: 1. kuburannya sudah direnovasi beberapa kali, terakhir oleh Khouw Kim An sekitar tahun 1929. Menilik bangunan aslinya, kelihatan ada beberapa perubahan besar, belum lagi karena sebelumnya ada sekitar lima buah rumah semi permanen yang didirikan persis di bagian atas makam tersebut. 2. Ketika saya berkunjung ke sana pada saat peresmian upaya pemugaran (dua rumah sudah dibongkar), terlihat bahwa tanah dasarnya sudah tertutup jalan, sehingga kuburannya "melesak". Setelah itu, sekitar dua tahun lalu saya ke sana, tutupan atas lokasi jenasah juga dibuka secara gunungan agak melandai dan kemudian ditanami rumput. Setahu saya, gunungan asalnya tinggi dan kemungkinan besar disemen, mirip dengan model kubah tanah. 3. Atas dasar itu, perlu riset yang lebih detail mengenai makna konservasi makam SBK tersebut dilihat dari ketaatasasannya, bukan sekedar kosmetik. Btw, patokan mengenai cultural heritage yang dimintakan UNESCO kan juga cukup jelas dan detail. Dari pembacaan tersebut, saya sih bilang bahwa SBK dan kelenteng Talang belum memenuhi syarat. Masih perlu sejumlah langkah penyesuaian agar memenuhi kriteria minimal UNESCO. Dari perjalanan saya keliling-keliling, saya pribadi lebih merekomendasikan kelenteng Maco Lasem dan Maco Rembang serta Tek hai Kiong Tegal, ketimbang sejumlah kelenteng lainnya di pulau Jawa karena sejumlah pertimbangan "garis histroris". Dari sisi konservasi, mereka masih cocok dengan kriteria UNESCO. Ada beberapa kelenteng lain yang bisa dipertimbangkan, tapi menghadapi kondisi sosial yang rumit misalnya Boen Bio yang kepotong jalan, kelenteng pasar Ketandan Solo yang lukisan dindingnya kemakan air rembesan, Kong Tek Su Semarang, kelenteng Tan dan kelenteng Lim di Sebandaran Semarang, dsb. Masih ada beberapa kota yang belum saya kunjungi, kalau ada info lainnya, saya akan kabari. Yaa, begitu dulu. kerjaan lain sedang menunggu saya. Suka belajar itu mendekatkan kita kepada kebijaksanaan; dengan sekuat tenaga melaksanakan tugas mendekatkan kita kepada cinta kasih dan tahu malu mendekatkan kita kepada berani. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ibcindon" wrote: > > Yth : Pak Freddy, Pak Sumamihardja, rekan milis lainnya, > > > > Terima kasih untuk keterangannya. > > > > Saya sedang mencoba menghubungi Pak Ir Tjiong dari UNTAR , fakultas > arsitektur. > > > > Mengajak beliau untuk mencoba memasukan, nominasikan pekerjaan pelestarian > yang pernah Pak Tjiong terlibat ke program UNESCO BANGKOK ini.. > > > > Setahu saya dia terlibat dalam pemugaran makam SOW BENG KONG kapiten > Chineese Batavia pertama, yang telah dihuni menjadi rumah-rumah liar > penduduk ( kayanya ada boss yang yang bukan akademisi atau pun budayawan, > sumbang dana juga tuh untuk pemugaran ini ). Canggih mungkin cara > pendekatan dan pemaparannya hingga didukung. > > > > Pak Tjiong juga terlibat dalam mempertahankan , memperjuangkan, merenovasi > klenteng TALANG CIREBON yang akan dikapling dan diperjual belikan oleh oknum > yang mengaku pengurus !! Sudah mulai diacak-acak saat ituâ¦â¦.( masih > ketinggalan sebelah lagi yang sudah dipakai ruang duka/ kematian ) > > > > Semoga saja Pak Tjiong mau berperan serta. > > > > Kalau ada rekan milis yang kebetulan kenal dekat pada beliau ( Pak Tjiong ) > mohon bantuannya untuk membicarakan, mendorong agar Pak Tjiong bersemangat > berpartisipasi. > > > > Kalau saja sampai dapat pengakuan UNESCO, masukan dalam mass media nasional, > situs ini akan lebih terjaga kelestariannya di masa depan . Siapa > tahuâ¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦.. J) > > > > Salam pelestarian budaya, > > > > Sugiri. > > > > > > > > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com > [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of Freddy H. Istanto > Sent: Thursday, February 04, 2010 6:50 AM > To: budaya_tionghua@yahoogroups
[budaya_tionghua] Re: TBT-TMII. Boen Bio & Li Thang GUS DUR& Heritage building & mau apa sekarang ??
BT -TMII. Bagaimana cara mencapainya > > > > 4./ Kalu ada yang minat bicara sejarah masa lalu yang penuh unek-unek, > marah-marah terus. Ya silahkan saja bikin topic subjek diskusi yang > baru. Tidak terlarang kok.. > > > > > > Harap saja dengan menganti subject topic diatas diskusi bisa jalan > baik-baik, kenapa tidak... > > > > Kalau di campur-campur terus jadi enga jelas tujuannya.. Maaf saya turut > sedikit urun rembuk... > > > > > > Salam, > > > > Sugiri. > > > > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com > [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of sumamihardja > Sent: Wednesday, February 03, 2010 3:16 AM > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen > Bio & Li Thang GUS DUR >
[budaya_tionghua] Re: Pameran Fotografi "SINGKAWANG - Jade of Equator" 24-31 Januari 2010
Pameran foto dan bukunya sih bagus. Yang mengganjal adalah kenapa orang semacam Harry Tjan masih terus dipajang untuk menceritakan mozaik keberagaman? Kalau bu Myra (semula saya dengar dia yang akan berbicara), masih mending karena ada beberapa faktor koneksi yang dimilikinya (Hakka [meskipun dari Belitiung], termasuk pemerhati budaya dan masih punya pendekatan kultural). Tapi Harry Tjan??? Dalam pertemuan saya dengannya di CSIS, dia mengkritik habis-habisan Aguan (Sugianto) yang mendanai gotong joli di daerah Kota dan beralasan bahwa dananya lebih baik untuk membangun peprustakaan. Saya bilang, anda sendiri juga punya perayaan sendiri yang juga mengeluarkan uang. Kenapa harus menunjuk orang lain ketika empat jari lainnya menunjuk kelompoknya sendiri? Padahal yang dipamerkan jelas adalah kebanyakan ritual Tionghoa yang bisa dibilang sekelas dengan gotong joli. Jadi apa maksud kehadirannya? Selain itu Melly juga sosiolog kota, dari grup pemikiran yang hampir sama dengan Harry Tjan pula. Apakah dia memahami konteks perempuan Singkawang yang sering dikritiknya karena kawin kontrak (Pengantin pesanan) disamakan dengan perdagangan orang, atau setidaknya seberapa dalamnya pemahaman atas budaya Singkawang yang selama ini justru tidak disentuhnya? Mau bicarakan apa? Jadinya tidak kontekstual. Kalaupun bicara multikulturalisme, dalam bincang-bincang saya dengannya di UKAJ, ternyata konsep multikulturalisme yang diusungnya berbeda dengan yang saya dalami. Lebih ke arah liberalisme kultural. Sayang aja, tema yang menarik terganggu oleh tema pembicaraan yang tidak ditunjang oleh pakar mengenai keberagaman. Dari semula mendukung asimilasi, sekarang ganti rupa menjadi multikulturalisme, tapi multikulturalisme yang sudah disempitkan menjadi pluralisme di dalam multikulturalisme. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, bukjam wrote: > > ok Pak Didi makasih atas infonya. > > salam, > Bukjam > > > > > > 2010/1/27 kwartanada > > > > > > > Pak (?) Bukjam yth > > > > Mohon maaf saya tidak punya foto2 dari acara tsb. Namun oleh panitia > > disediakan gratis buku acara cukup mewah yg berisi bbrp foto yg dipamerkan. > > Anda tinggal di mana? Kalau di Jakarta, silakan datang ke Salihara, bisa > > menikmati foto, kuliner Singkawang plus buku foto cantik secara gratis. > > > > Oh ya, setelah dari Jakarta, foto2 akan dipamerkan di Singkawang 13 -27 > > Februari 2010. > > > > Ibu Myra Sidharta hadir di pembukaan, begitu yg saya dengar dari beliau > > langsung. > > > > salam, > > didi > > > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com , > > bukjam wrote: > > > > > > Khiungthi Kwartanada, mohon kalo ada foto-foto yang bisa dishare tolong > > > kirimkan langsung ke email bukjam. Makasih sebelumnya. Apakah Ibu Euwyong > > > Chunmoi (Myra Sidharta) hadir juga? Beliau salah seorang pakar mengenai > > > budaya hakka (khek), lahir di belitung. > > > > > > salam, > > > bukjam > > > > > > > > > > > > > > > 2010/1/25 kwartanada > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > Pameran Fotografi "SINGKAWANG - Jade of Equator" > > > > Sunday January 24-Sunday January 31, 2010 > > > > 10:00 am - 7:00 pm > > > > Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan > > > > Jalan Salihara 16, Pasar Minggu > > > > Jakarta > > > > Phone: 0811800030 > > > > > > > > Sebuah pameran fotografi dengan tema "SINGKAWANG - Jade of Equator" > > akan > > > > diselenggarakan di Galeri Salihara, Jalan Salihara, Pasar Minggu > > Jakarta, > > > > tepatnya pada tanggal 24 Januari 2010 sampai dengan 31 Januari 2010. > > > > Untuk pembukaan pameran diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 23 > > Januari > > > > 2010 yang berlaku untuk para undangan khusus. > > > > > > > > Pameran ini juga akan dimeriahkan dengan performance wayang gantung > > (Chiao > > > > Theu), pagelaran batik khas Singkawang bercorak Tidayu (Tionghoa Dayak > > > > Melayu), Pat Jim Pan dan atraksi tatung. > > > > > > > > Juga ada pameran keramik Singkawang dan kuliner khas Singkawang seperti > > > > kincipan, choipan, rujak, kue kantong semar dan penganan kecil lainnya > > yang > > > > khas Singkawang. > > > > > > > > Pokoknya kita bikin Salihara jadi 'Little Singkawang'. > > > > > > > > Yuk, ramai-ramai datang, Pasti !!! Ke Singkawang. > > > > > > > > Jadwal lengkap: > > > > > > > > Pameran Fotografi "SINGKAWANG: Jade of Equator" > > > > 24-31 Januari, Pk 10.00-19.00 WIB > > > > Karya: Jay Subyakto, Yori Antar, Enrico Soekarno, Sigi Wimala, John > > > > Suryaatmadja, Sjaiful Boen, Asfarinal St. Rumah Gadang, dan Oscar > > Motuloh > > > > > > > > *** > > > > > > > > Diskusi: "Singkawang dan Zambrud Keberagaman Indonesia" > > > > Minggu, 24 Januari 2010, Pk 16.00 WIB > > > > Nara Sumber: Harry Tjan Silalahi, Mely G Tan, Goenawan Mohamad > > > > > > > > *** > > > > > > > > "Bincang Santai Tentang Kota Singkawang Bersama Fotografer: > > > > Jay Subyakto, Yori Antar, Enrico Soekarno, Sigi Wimala, John > > Suryaatmadja, > > > > Sjaiful Boen, Asfarinal St. Rumah Gadang, Oscar Motu
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio & Li Thang GUS DUR
diberi nama BUN BIO GUS DUR ( tempat budaya GUS DUR ) atau pun LI THANG GUS DUR ( Hall/aula pembelajaran GUS DUR ). " Ide itu menarik, tapi tidak realistis. Lebih baik ornamen tersisa dikembalikan ke bangunannya. Kalau mau replika kehancuran, bikin aja seadanya tanpa perlu bahan asli. Sudah itu pabrik-pabrik itu tidak akan dapat ijin lokasi. Anda tahu cara pembuatan tahu tradisional yang membutuhkan banyak air? Pembuatan dodol yang memerlukan arang kayu keras? Kalau cuma replika sih boleh, tapi AMDAL akan wanti-wanti melarang itu semua demi kepentingan situ Cibubur yang juga sekarang sedang terancam keberlangsungannya. Soal Bun Bio atau Li Thang juga tidak pas, belum lagi terjemahannya. Bio tidak bisa disamakan dengan mesjid. Kalau mesjid Cheng Ho tentunya bukan dimaksudkan untuk memuja Zheng He. Tapi kalau Bio, fungsi utamanya adalah memberikan penghormatan kepada tuan rumah yang disebut namanya di situ. Meskipun bio juga ada macam-macam, tapi yang dikawatirkan justru adalah tudingan syirik yang juga bisa menimbulkan antipati besar, bahkan dari kalangan dekat Gus Dur sendiri. Tetap saja, perkembangan TBT menunjukkan bahwa tempat itu hanya pajangan budaya artifisial, bukan monumen yang benar-benar dibutuhkan. Banyak buku yang mengulas makna konservasi, atau monumen budaya. Intinya adalah bahwa tema dari suatu lokasi haruslah sesuai dengan maknanya. Kalau tidak, yaaa, itu cuma mengulang proyek Kota Legenda, Taman Wisata, Kluster Tiongkok atau Anjungan Tionghoa. Tapi kalau mau membawa nama Budaya Tionghoa (Indonesia)? Jauh panggang dari api. Adapun yang dinamai berbakti adalah dapat sebaik-baiknya meneruskan pekerjaan mulia dari generasi terdahulu. Dalam sembahyang musim semi dan musim gugur hendaklah dibangun kembali bio leluhur, diatur rapi barang-barang warisannya, diatur rapi pakaian-pakaiannya dan disajikan makanan sesuai dengan musimnya. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ophoeng" wrote: > > Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, > Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung > Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, > Bung Rico, dan TTM semuah, > > Hai, apakabar? Sudah makan? > > Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua > yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - > sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir > sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya > sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - > apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! > > Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana? > > Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan > bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi > gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya > kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya > kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. > > Kata Confusius: "Journey of a thousand miles, begins with but a single step". > > Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak > bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh > memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh > melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama. > > Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas > kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah > dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding > dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang > kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu > maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada > istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu > tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. > > Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat > kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu > yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari > ini lawan, besok bisa jadi kawan. > > Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak > seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, > sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan > pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap > salah itu. > > Padahal, katan
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Jaga omongan! Ketimbang anda memberikan soja tapi sengaja melontarkan ucapan macam begitu, jauh lebih baik kalau dipikirkan dulu apa yang mau anda katakan!!! Apa hubungannya Yahudi dengan masalah ini? Tahukah anda bahwa dulu orang-orang sebangsa anda juga pernah dijuluki Yahudi dari Timur dan menimbulkan syakwasangka yang mendalam??? Tahukah anda efeknya terhadap upaya melawan diskriminasi dan menghargai perbedaan-perbedaan antara etnis yang berbeda? Kok anda ikut-ikutan mengangkat istilah semacam itu setelah gagasan anda ternyata tidak disetujui oleh banyak miliser di sini? Tingkah semacam itu sama seperti anak kecil yang merajuk setelah keinginannya tidak dipenuhi, akhirnya balik mengejek-ejek. Tahukah anda bahwa tidak semua orang Yahudi meratap di tempat itu? Tahukah anda bahwa yang meratap pun bukan semuanya orang yang kagak ngapa-ngapain??? Komentar anda yang sembarangan semacam inilah yang menjadi bibit rasisme. Kalau tidak setuju dengan sikap semacam itu, kan tidak harus membawa-bawa nama Yahudi atau membanding-bandingkan Tionghoa dengan Yahudi! Besok jangan-jangan akan dibanding-bandingkan pula antara nabi-nabi Yahudi dengan dewa-dewi Tionghoa. Saya tidak tahu kepada siapa komentar ini anda lontarkan, kepada yang mengomentari permintaan anda untuk membantu dana TBT, kepada perorangan tertentu atau siapa? Saya pribadi juga tidak sependapat dengan TBT tersebut, sehingga wajar kalau saya berpikir anda pun menujukkan sarkasme anda itu kepada saya juga. Sayangnya anda sangat keliru, sekaligus juga perlu ditegaskan bahwa SAYA BUKAN ORANG YANG NATO!!! Kalau bicara, kenali dulu kepada siapa anda bicara. Saya memang muda, dan saya bukan orang Jakarta, malah jauh di daerah sana. Kalau soal CN, itulah yang justru saya selalu tanyakan kepada mereka yang terlibat atau setidaknya tahu, dan saya tidak NATO. Saya hanya tahu dari surat kabar bahwa SMH sudah dibongkar tahun 1990-an, dan saya bahkan baru masuk kuliah, ditambah banyak persoalan di kampung saya yang saya harus turun tangan. Tapi apakah kemudian saya diam? Pernahkah anda masuk ke sarang Untar dan ngoceh mengenai kesalahan jurusan arsitek Untar di depan orang-orang yang menjadi panitia pembongkaran??? Orang mungkin bilang saya gila dan nekad, tapi tentu saja banyak yang juga bilang saya berani dan punya wawasan. Intinya, saya tidak NATO. Saya sendiri bukan orang yang kasar, tapi saya keras dalam prinsip dan juga punya pengetahuan yang cukup. Itulah yang menyebabkan orang Untar tetap respek sama saya karena kejujuran dan kematangan sikap saya. Saya pun bicara dengan dinas kebudayaan DKI dan bahkan ke Dirjen Purbakala di Depbudpar, meski saya memahami bahwa mereka mengalami masalah koordinasi di lapangan, dan dengan anggaran yang terbatas karena pemerintah pusatnya memang tidak peduli dengan aset budaya. Tahu kasus Trowulan, Museum Solo, Taman Borobudur (dan strategi terbarunya yang bias, yaitu kewajiban berbatik), dan sebagainya? Itu akibat pariwisatanya yang didulukan, sementara budayanya dijadikan komponen pariwisata sejauh itu menguntungkan pemodal. Makanya saya bilang bahwa persoalannya memang kadung laten, tidak sesederhana membalik telapak tangan. Seberapa kuatnya dana para miliser yang peduli budaya ketimbang para konglomerat yang merasa punya uang dan bisa membeli segalanya untuk keperluan bisnis yang lebih baik bagi mereka? Kalaupun para konglomerat tersebut membeli benda budaya, saya sendiri ragu apakah itu untuk keperluan konservasi ataukah sekedar romantisme dan pamer kekuatan uang? Kasus rumah Oey Djie San menunjukkan hal tersebut. Mau action soal rumah Oey Djie San? Sudah dilakukan, bahkan dengan melibatkan sejumlah orang yang dianggap tokoh. Masalahnya, ketika Pemkot Tangerangnya dableg, merasa bahwa itu belum jadi cagar budaya (atau mungkin juga masih ada sinophobia di balik alasan tersebut), atau mengatakan dananya tidak ada, kemudian adakah pengalihan dana dari para konglomerat kepada rumah ODS tersebut? Kalau pencinta budaya terus-menerus demo (padahal jumlahnya sedikit), Pemkotnya juga tinggal mengerahkan Kamtib dengan alasan menduduki lahan orang. Kalau mau peduli, yang benar adalah mengalihkan dana TBT ke pembelian rumah ODS, dan membentuk perkumpulan pengurusan (fungsionalisasi bangunan sehingga bisa berswadaya) seperti yang sudah saya usulkan, bahkan saya lontarkan ke hadapan orang yang menjadi penghubung dengan si pemiliknya!!! Memang tidak ditanggapi, tapi NATO Bahwa desakan saya itu gagal, saya mau nyalahin siapa? Lewat milis saja tidak banyak yang peduli koq (salah satu alasannya adalah "itu kan rumah pribadi"), padahal cukup dengan kehadiran saja di lapangan sudah cukup untuk memberikan dukungan moral. Tapi saya juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, karena bisa saja ada kesibukan akibat pekerjaan (lha, kalau dipecat, saya bisa kasih kompensasi apa?), atau tidak sreg dengan orang-orang yang hadir di sana (saya sendiri juga merasakan hal itu ket
[budaya_tionghua] Re: Kebangkitan Orkes Simfoni Jakarta Dan Peresmian Auditorium Jusuf Ronodipuro
Tritsch-tratsch bukan karya Polka. Polka adalah aliran musiknya, hampir seperti balet, tapi lebih energik dan tariannya pun bukan membuai seperti balet, lebih menghentak seperti tarian Gypsi. TT dimainkan dengan irama Polka, yang menggubahnya adalah Johann Strauss, Jr. Radetzky March bukan dibuat oleh yang Jr. (II)), tapi oleh bapaknya, sang Johann Strauss (Sr.; I). Namanya Lie Eng Liong (Adidharma; 1930-). Dia hasil didikan Konservatorium di Amsterdam untuk kemudian ke Julliard School of Music di New York. Gurunya adalah Persinger yang juga mengajar Zubin Mehta, konduktor terkenal Israel. Spesialisasinya semula adalah biola sebalum nantinya aktif di RRI dan kemudian OSJ. Pada tempayan Raja Thung terukir kalimat,"Bila suatu hari dapat memperbarui dari, perbarui terus tiap hari dan jagalah agar baru selama-lamanya". Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti wrote: > > Hari sabtu kemaren sengaja saya memuaskan diri dengan menghabiskan waktu > untuk membaca novel kesayangan saya, ketika melirik jam sudah menunujukkan > jam 01.00, udah hari minggu, saya menyalakan TV, dan entah mengapa rasanya > kok ingin buka channel TVRI, dan sungguh kebetulan yang menyenangkan. > > Ternyata ada siaran tunda acara pagelaran orkes simfoni jakarta yang > sekaligus peresmian auditorium Jusuf Ronodipuro yang dilaksanakan tepat > dihari 2 tahun kepergian Beliau yaitu tanggal 27 Januari 2008. > > Beruntung saya ketinggalan sedikit acara tersebut, tampak Bapak Parni Hadi > sedang memberikan sambutan, tampak di deretan kursi undangan yang saya kenal > wajahnya diantaranya ada Ratu Kuis TVRI Ibu Ani Sumadi, kemudian tampak pula > dubes Rusia beserta istri, Pak Adnan Buyung Nasution beserta Ibu Ria, dan > yang paling penting tentunya sosok Ibu Jusuf Ronodipuro yang tetap terlihat > cantik di usia senjanya yang didampingi oleh Putranya saya rasa, karena saya > tidak kenal, hanya menerka-nerka karena wajahnya mirip dengan Bapak Jusuf > Ronodipuro. > > setelah selesai Pak Parni Hadi menyampaikan pidatonya, giliran pak Sutan > Takdir Alisyahbana mewakili keluarga dan kolega dari Bapak Jusuf Ronodipuro > menyampaikan sambutan yang juga sekaligus mengupas perjalanan kehidupan Bapak > Jusuf Ronodipuro. > > setelah itu adalah penanda tanganan prasasti auditorium yang ditanda tangani > oleh Bapak Parni Hadi selaku dirut RRI, yang didampingi oleh Ibu Jusuf > Ronodipuro yang tampak begitu terharu atas penghargaan kepada suami terkasih. > > kemudian acara disambung dengan persembahan lagu-lagu klasik sebagai > conductor adalah Bapak Amir Katamsi. > > lagu pertama yang dipersembahkan adalah Lagu Symphony No 40 Kv. 550 karya > Wolfgang Amandeus Mozart, salah satu lagu klasik yang paling saya kenal baik > dan sangat saya sukai. > > seketika saya begitu menikmati musik klasik indah itu, lagu kedua berlanjut > dengan lagu THE PRAYER karya David Foster yang dinyanyikan secara duet oleh > Aning Katamsi dan Christopher Abimanyu. > > susul menyusul kemudian instrumen tritsch-Tratsch karya Polka, di sambung > dengan penampilan solois sofran Aning Katamsi membawakan lagu "CITA RIA " > dengan nada Sofran yang begitu bening, kembali Duet Aning katamsi dan > Christopher menyanyikan AMIGOS PARASIEMPRE karya Andrew Llyold Webber, dan > keduanya menutup dengan lagu TIME TO SAY GOODBYE karya Enrico Sartori. > > Dipenghujung acara Orkes simfoni jakarta menutup dengan RADETZKY MARCH karya > Johann Straus II. > > Sungguh suatu persembahan yang sangat indah buat Putra terbaik bangsa ini, > ucapan selamat sungguh layak di sampaikan kepada Yang Terhormat Keluarga > Besar Bapak Jusuf Ronodipuro. > > Keteguhan Beliau dan keberaniannya akan selalu menjadi inspirasi bagi seluruh > Bangsa Indonesia. > > bagaiman perjalanan tentang Orkes Simfoni Jakrta, inilah kutipan yang saya > kutip dari koran tempo hari ini. > > Orkes Simfoni Jakarta (OSJ) mulanya berasal dari Orkes Studio Djakarta ( OSD > ), OSD dibawah kepemimpinan Syaiful Bahri memainkan khusus lagu-lagu > Indonesia, hingga OSD pada saat itu menempatkan diri sebagai pusat > perkembangan musik Indonesia. > > OSD dibawah pimpinan Lie Eng Lion atau Andhi Dharma, bersama Praharayan > Prabowo kemudian menjadi pengisi tetap acara musik klasikDi RRI dan Taman > Ismail Marzuki. > > OSD kemudia berganti nama menjadi Orkes Simfoni Jakarta (OSJ ) dibawah > pimpinan Yudianto Hinupurwadi dan dilanjutkan oleh Amir Katamsi hingga > sekarang. > > Sebagai penutup rasanya ingin sekali mengenang Semboyan RRI yang dicetuskan > oleh Bapak M. Jusuf Ronodipuro " Sekali di Udara TETAP Di Udara " > > Teriring salam hormat dan Kasih untuk Keluarga Besar Bapak Muhammad Jusuf > Rondipuro. > > Salam, > Eva. >
[budaya_tionghua] Re: AYO heritage BUDAYA TIONGHOA. Pasar Baru Jkt. Pst.
Semangat boleh tinggi, tapi harus terkendali dan hati-hati. Membereskan bangunan tua tidak semudah kelihatannya. Ada teknik konservasi yang harus dipersiapkan, selain dari pendekatan kepada yang empunya!!! Kalau tidak, tindakan ini hanya sekedar euphoria, dan takutnya layu sebelum berkembang. Jauh lebih baik untuk mengetahui keinginan dari si penghuni. Anda bisa bayangkan kalau tiba-tiba anda datang dalam jumlah besar dan memancing keributan dengan si pemiliknya. Kita ini mau peduli dengan budaya atau mau membuat ribut? Kalau info soal gedung kuno yang rusak sih saya juga punya banyak, tapi pernahkan anda bicara dengan pemiliknya? Kita juga punya sopan santun. Kalau pemiliknya keberatan karena ada alasan historis atau ada hal lain, kita harus mendengarkannya juga. Sebagai contoh, rumah yang di Tangerang itu bukan terbengkalai, cuma ada kesulitan untuk memberbaiki bagian atapnya karena kayu tua. Memangnya anda bisa naik-naik ke atas untuk membersihkan tanpa menimbulkan kerusakan di sana sini? Yang diperlukan sejumlah rumah adalah renovasi total. Masalahnya, yang banyak dibutuhkan adalah biaya yang besar dan teknik konservasi yang benar. Rumah semacam itu juga masih banyak, dan karenanya saya justru mendorong untuk meluaskan pandangan kita dulu agar lebih optimal dalam bertindak. Sewaktu saya di Tangerang, saya sudah melihat adanya "bos" tanah yang hobi membeli rumah-rumah tua di sana untuk sarang walet. Salah satu yang saya tidak sempat ketahui duluan adalah pembongkaran rumah di depan Boen Tek Bio yang sebenarnya masih berarsitektur tua dan menggunakan bahan-bahan kualitas atas (semisal kusen berukuran paha gajah, atap pelana dan gembyok istimewa). Dari pengalaman itu, biasanya pemilik senang dengan perhatian, tapi apa yang dibutuhkannya seringkali berbeda dengan pemahaman kita. Selain itu, faktor "bos" tanah yang potensial menghasut (karena dia berminat membeli) juga harus diperhatikan karena potensial menjadi penghalang besar, bahkan penjegal upaya konservasi. Setelah ijin didapat dan dana yang cukup diperoleh, saya sih tegaskan, bukan anda yang akan memperbaikinya (maaf bila anda ternyata adalah tukang kayu, tukang cat atau tukang tembok kuno berpengalaman). Perbaikan atau perawatan perlu dikerjakan oleh tukang yang mengerti sistem bangunan bersangkutan, ditambah ahli material untuk menyesuaikannya dengan bahan aslinya. Sudah itupun harus ada dokumentasi yang akurat dan teknik pengukuran yang benar pula. Terkadang karena alasan praktis, ada beberapa perubahan minor yang dilakukan pemilik untuk menghindari kerusakan (misalnya penyemenan kayu yang miring sehingga berkesan kayunya miring, padahal sebenarnya kayunya harusnya tegak, dsb), dan itu perlu dikoreksi oleh arsitek Tionghoa archaic yang beneran (bukan yang cuma tahu dari ceritaan atau sekedar mengaku lulusan arsitektur Universitas di Grogol sana, mentang-mentang mayoritas dosennya Tionghoa). Jadi dalam hal ini, lebih baik kalau pembicaraan dilakukan oleh delegasi yang memahami masalah budaya Tionghoa, situasi sosial kenegaraan dan sekaligus paham teknik konservasinya. Sebagai iluustrasi, saya sendiri mendalami konstruksi kayu dan ukiran, namun tetap perlu orang yang mendalami teknik pengecatan konstruksi ukiran (bukan teori, tapi ahli cat; jangan sampai ukirannya justru tertutup cat atau diberi warna yang salah). Saya tidak hendak merendahkan semangat, namun pembicaraan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan salah sangka si pemilik, apalagi dalam situasi Indonesia yang banyak mafia tanah, ketidakpedulian aparat pemerintah dan ketidakpedulian kalangan Tionghoa sendiri. Jangan sampai kehadiran anda dengan isu yang ambisius untuk merawat lukisan di atap akan disalahtafirkan (termasuk disalahtafirkan soal duit, duit dan duit! Proyek, proyek dan proyek). Selain itu patut diperhitungkan adanya konflik dalam keluarga yang bersangkutan (kalau dibagusi, anggota lainnya akan marah dan berpikir bahwa yang tinggal akan mengangkangi; bisa juga bahwa si pemilik sengaja membiarkan rumahnya rusak agar terhindar dari "ikatan" cagar budaya, dan bisa menjual atau merombaknya dengan mudah). Lebih baik berhati-hati dan persiapan matang ketimbang ada masalah besar akibat kehadiran anda. Saya sudah melakukan beberapa perbincangan (lebih dalam rangka personal) dengan sejumlah pemilik gedung bersejarah. Sebagian besar mengeluhkan soal biaya perawatan, tekanan ekonomi untuk merubah fungsi bangunan, dan lebih parah lagi "rasa malu" punya gedung yang sudah tua (bercorak Tionghoa pula!). Masalah laten inilah yang harus diatasi lebih dulu. Sebagai perbandingan, renovasi Gedung Arsip Nasional (bercorak Indies saja perjuangannya butuh sekitar 10 tahun, itupun makan anggaran sekitar Rp. 25 milyar sebelum peresmiannya sekitar sepuluh tahun yang lalu; salah satunya dikoordinasi arsitek Han Hoo Tjwan [Han Awal] yang belakangan memperoleh penghargaan dari UNESCO Asia-Pacific Award dan penghargaan A T
[budaya_tionghua] Vienna symphony (Re: Apa relevansinya)
Hehehe, kayaknya ko ZFY bukan penggemar musik bule nih. Saya menggemari juga dan sedikit banyak kolektor musik klasik, baik opera klasik Tionghoa, instrumen Tionghoa, lagu daerah, opera seriosa Barat dan juga simponi Barat, khususnya mazhab Rococco. Ada kekuatan dan "kekurangan" masing-masing aliran, tapi yang saya rasakan, musik bisa memberikan inspirasi jiwa. Entah mengapa, telinga saya mungkin kurang hi-fi, atau memang begitulah perkembangan dinamika musik, musik jaman sekarang serasa kurang merasuk dan lebih banyak bermain dengan variasi ritmik yang meskipun menggebu-gebu, tapi lebih di kulit dan di jantung ketimbang di hati dan pikiran. Btw, yang dimainkan dalam NYC sebenarnya bukan cuma dari Johann Strauss (apalagi ada si Sr. dan si Jr.). Selain itu ada Eduard Staruss, Joseph Strauss yang meskipun kadang diklasifikasikan punya sejumlah persamaan (kecuali Richard Strauss yang memang tidak ada pertalian dengan Strauss masa Roccoco ini), namun perbedaannya juga banyak. Misalnya Joseph sering memainkan Polka, sementara kakaknya, si Jr lebih ke arah Waltz. Radetsky March sendiri selalu dimainkan sebagai tanda penutup simponi, oleh karena itu, iramanya juga cocok, yaitu agar orang mulai bergerakuntuk pulang. hehehehe. Begitu mendengar lagu ini dimainkan, orang sudah tahu dan tidak akan minta "more, more", karena artinya sudah tanda bubaran. Sependalaman saya dalam konser tahun baru VPO, ada juga beberapa pemusik lain yang diangkat lagunya dalam tradisi Wina-Austria-Prusia (bahkan meskipun kabarnya ada perseteruan dalam hidupnya dengan anggota keluarga Strauss), misalnya Emil Waldteuffel, Franz Lehnar dan sebagainya. Malahan, ketika konduktornya bukan dari tradisi Austria-Jerman, ada upaya untuk memberikan sentuhan musik dari luar rumpun tadi. Jadi, sebenarnya variasinya cukup banyak, meskipun bagi yang tidak begitu mendalami musik klasik, nadanya kesannya cuma ngik-ngok-ngik-ngok saja (yang kata Soekarno musik dansa-dansi sebagai warna dominan dari walsa). Dalam kaitannya dengan BT, ada sejumlah kalangan Tionghoa yang memainkan musik klasik Barat dan dikenal luas di jagat Barat. Bagi saya, kehadiran mereka cukup penting menjadi jembatan budaya, meskipun ada juga yang tulen menjadi pemusik Barat. Ada sejumlah nama yang memasukkan juga instrumen Timur dalam orkesnya, bahkan dalam bentuk orkes kamar. Penampilan 12 Gadis yang terkesan diinspirasi oleh model Simponi juga merupakan sebuah upaya promosi yang menarik, mengingat pada akhirnya kalangan ortodoks klasik Barat juga tertarik untuk mendengarkan Simponi ala Tionghoa tersebut dan memberikan apresiasi yang luar biasa juga. Dalam sepuluh tahun belakangan ini, pertukaran musik dan permainan bersama dengan ensemble campuran Timur dan Barat serta alat-alat gabungan, mulai ditingkatkan. Sebagian alat musik Tionghoa sendiri terinspirasi atau bahkan diadaptasi dari alat musik kelompok bangsa yang lain seperti misalnya Pipa (seperti mandolin dengan bentuk yang menyerupai bawang dibelah) atau ensemble dengan nada diatonis. Sebaliknya, saat ini juga pemusik di Barat berkenalan dan antusias mempergunakan yangqin dan tambur. Kalangan pendidik Tionghoa sendiri sering mempergunakan musik sebagai salah satu medium untuk memusatkan konsentrasi dan kemampuuan berpikir. Makanya dahulu, musik juga menjadi salah satu keahlian yang diperlukan untuk mendidik rakyat. Hanya masalahanya, musik yang mana dan lirik yang seperti apa. Dalam pendengaran saya, musik klasik model walsa ini (tentunya jangan terpikir ngeres untuk melihat dansa-dansi panas atau apriori bahwa akan terjadi affair akibatnya) juga punya pengaruh yang cukup baik bagi perkembangan jiwa seseorang. "Hal yang dapat diketahui tentang musik ialah: pada permulaannya suara harus cocok. Selanjutnya suara musik itu harmonis meninggi dan menurun terputus-putus, demikian seterusnya sampai selesai." Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: > > Sebenarnya saya juga heran, mengapa orang begitu gandrung thd acara newyear > concertnya vienna symp.orch. Sampai di China muncul show gadungan, dimana > mereka mendatangkan romb orkes dari viena yg bernama. Symphony Wien, tapi > diiklankan se akan2 vienna symp. Orch. > > Kalau saya sih lumayan bosan, habis isinya Johan Strauss melulu, kurang > greget lah. > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > > -Original Message- > From: "Erik" > Date: Mon, 01 Feb 2010 08:07:46 > To: > Subject: Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu > > > Wah, surprise tahu koh ABS juga pencinta musik klasik. Bicara dirigen , > entah mengapa saya tidak simpati sama si gaek Georges Pretre, udah tua > bangka gitu (konon usianya lebih 80 thn?) masih jingkrak-jingkrakan gak > karuan. Lebih berwibawa Zubin Mehta atau Claudio Abado yang > berpenampilan anggun dan tenang. > > Kalo gak salah ingat, China Philharmonic juga pernah tampil tak kurang > dari
Re: Bls: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA)
Salah satu penjagaan bangunan tua yang terakhir saya ikuti adalah pembongkaran rumah warisan Oey Djie San (warisan pula dari Oey Giok Koen) di Tangerang (sebelumnya antara lain makam Souw Beng Kong di Pangeran Jayakarta, kemudian Kelenteng Talang di Cirebon dan Kelenteng Tanjung Kait di Mauk). Saya pernah ikut rapat di rumah seorang yang dikenal berinisial BL yang kelihatannya ditugasi oleh JSC (seorang hartawan, bapak dari seorang anak yang kuliah di LN yang kabarnya tertarik dengan arsitektur gedung tersebut) untuk mendengarkan masukan mengenai rencana pembongkaran rumah tadi. Dalam rapat tersebut, saya sudah melontarkan gagasan untuk mendirikan sebuah yayasan atau perkumpulan demi menyelamatkan gedung tadi dengan pertimbangan bahwa ada keterhubungan antara sisi historis dengan lokasinya, sekaligus untuk mengantisipasi hubungan di antara dana perawatan dengan tanggung jawab pengurusannya (karena kalau kepemilikan orang kaya tunggal saja, tidak ada jaminan bahwa kepentingan pribadi dirinya atau anak-anaknya akan dibatasi, sama seperti kejadian di rumah keluarga Souw yang sedikit sayapnya sudah diubah menjadi ruang praktek dokter). Sayangnya, meskipun BL ini mengaku sebagai bekas kontributor UNESCO di Asia Tenggara, kelihatannya misi untuk memenuhi keinginan JSC lebih kuat, apalagi dalihnya adalah bahwa gedung itu belum dijadikan benda CB. Jadinya pada saat itu hanya dijanjikan bahwa si pemilik akan memindahkan gedung tadi ke tempat yang cocok dan merawatnya. Pada saat itu saya sudah pesimis dengan janji tadi dan karenanya meminta BL untuk memberitahu si pemilik tadi mengenai desakan saya itu. Ternyata tidak ada kabar lebih lanjut. Setelah itu (tahun 2009 awal), akhirnya rumah tadi benar-benar dirobohkan dan kemudian dibangun McDonald. Yang membuat saya lebih pesimis adalah bahwa meskipun banyak pemerhati yang peduli, namun yang cuma pengen tahu atau mendompleng justru lebih banyak. Buktinya, ada beberapa organisasi pemuda Tionghoa yang ikut, tapi ternyata ada embel-embel politiknya (buat pemilu 2009). Kalau memanfaatkan momen pemilu untuk mengajak kepedulian tokoh politik (waktu itu sampai nama JK mau dibawa ke sana) menyelamatkan gedung sih oke-oke aja, tapi begitu yang mempergunakan peristiwa pembongkaran gedung itu adalah peserta gerakan untuk mendukung kepentingan pribadinya, yaaa, kacian. Yang lebih kacau lagi, ternyata ada sejumlah orang Tionghoa Tangerang yang sering disebut sebagai "tokoh budaya" justru terlibat atau setidaknya melegitimasi pembongkaran tadi. Entah janji-janji macam apa lagi yang sudah dilontarkan oleh pihak pembeli, arsiteknya dan juga pemborong pembongkaran tadi. Yang pasti, jejak janji itu tidak ada yang menagihnya hingga sekarang. Apalagi, berdasarkan kejadian yang lalu-lalu, orang Tionghoa di sini juga suka banyak janji, tapi menutupi niatan pribadinya. Inilah yang sangat menyedihkan. Berdasarkan hal-hal tersebut dan pengalaman saya yang juga banyak menghadapi ketidakberdayaan masyarakat dalam bersikap, salah satu kendala terbesarnya adalah adanya motifasi berbeda antara orang Tionghoa kaya dengan orang Tionghoa berbudaya. Ornag Tionghoa kaya pada saat ini cenderung tidak menjunjung apresiasi budaya, sementara orang Tionghoa berbudaya, jarang yang cukup berada untuk menunjang proses kegiatan budaya yang bukan artifisial. Kalau kedua kutub ini bisa dijembatani, satu masalah sudah bisa diatasi. Mengenai kenapa gedung tertentu yang dipilih, tentunya melihat dari sisi arsitekturnya, keunikannya, sejarahnya dan juga aspek-aspek budaya yang melekat pada gedung itu. Bahwa ada gedung "biasa" yang bisa menjadi cagar budaya, hal itu tentu ada, misalnya rumah sederhana milik seorang peranakan Tionghoa di daerah Kedaung. Namun tentu saja, tidak semua gedung biasa bisa menjadi obyek cagar budaya. Salah satu pertimbangannya adalah keotentikan arsitektur (dalam hal ini adalah rumah peranakan), usianya dan kesejarahan apa yang mau diperlihatkan di sana. Kalau rumah itu rumah biasa dalam pengertian tidak ada unsur sejarah, keunikan atau pelekatan budaya di dalamnya, ya, itu baru sekedar rumah biasa yang kita juga bisa bikiun kapan saja. Sayangnya dari pendataan yang saya lakukan di daerah kota, sebagian dari rumah "biasa" yang dijadikan cagar budaya oleh Pemda DKI justru sudah berubah fungsi atau setidaknya tetrjadi penambahan/perubahan bentuk bangunan sehingga mengurangi keotentikan yang menjadikannya benda cagar budaya. Kan lucu kalau atap rumahnya masih menggunakan pelana abad ke-19, bawahnya justru sudah beton dengan welding door dan tralis demi mengurangi resiko Mei 98. Dalam hal ini, pemerintah memang harus menjalankan fungsinya sebagai pendata, penata dan perawat benda-benda cagar budaya sebagaimana diamanatkan padanya berdasarkan UU. Terhadap pertanyaan apakah pemiliknya bisa dibenarkan melakukan perubahan itu, itu memang suulit. Di satu sisi saya menyadari bahwa biaya perawatan gedung-geduung kuno itu adalah mahal (
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Sebenarnya gedung CN posisi historisnya tidak begitu jauh dibandingkan dengan satu dari "saudara-saudara"-nya. Gedung CN tadinya didirikan bersamaan dengan dua gedung lainnya di sepanjang jalan Gajah Mada (sekarang) sebagai milik dari keluarga besar Khouw. Khouw Kim An adalah penghuni gedung CN itu, sementara dua lainnya ditempati oleh saudara-saudaranya. Arsitekturnya bisa dikatakan sama dan menawan. Masalahnya, gedung yang satu yang sempat disewakan menjadi kedubes RRT, disikat tahun 1966 dan dinasionalisasi untuk kemudian dibongkar dan diubah fungsinya, yang lainnya juga kabarnya terkena perusakan dan kemudian dijual lalu menjadi pertokoan (atau SMA 2, salah satunya benar, cuma tertular dengan yang eks kedubes. Catatan saya belum ketemu dalam waktu singkat ini). Jadinya, tinggal CN itulah satu-satunya gedung "lux" Tionghoa era akhir abad ke-19 selain rumah keluarga Souw di Perniagaan dan gereja Santa Maria de Fatima di dekat Petak Sembilan. Kalau dari sisi kualitas, gedung keluarga Khouw ini adalah nomor 1-nya di masa itu untuk wilayah Batavia baik dari sisi kualitas arsitektur, bahan penyusunnya, perangkat meubel, bangku batu, ubin batu, singa batu, kaligrafi dan ukiran yang dibuat di sana serta luas bangunannya. Kalau di Tangerang, rumah Oey Giok Koen adalah yang paling top, namun sepembandingan saya, masih sedikit kalah kelas dibandingkan milik keluarga Khouw ini. Meski demikian, gedung CN ini memiliki sejarah kuat sebagai rumah dari Majoor der Chineezen terakhir di Batavia (1910-1942 karena Jepang dan tidak berlanjut setelah Proklamasi), yaitu Khouw Kim An yang meninggal dalam tawanan Jepang di Cimahi tahun 1945. Selain Majoor (jabatan tertinggi saat itu), KKA juga merupakan seorang pendiri THHK. Tahun 1910-19300 dia juga menjadi ketua Kong Koan Batavia dan tahun 1918 mendirikan Bataviaasche Bank. Tahun 1928 ia ikut mendirikan Chung Hwa Hui. KKA juga mendapatkan sejumlah bintang penghargaan dari Belanda. Rumahnya di CN itu digunakannya untuk mengadakan pertemuan-pertemuan baik dengan petinggi Tionghoa maupuun dengan kalangan pembesar lain (Belanda, Jawa, Sunda dan sebagainya), termasuk ketika didirikan klub olah raga dan seni budaya Sin Ming Hui. Dari sisi historis, itulah rumah Majoor der Chineezen. Dari sisi selanjutnya, sepeninggal KKA, rumah itu dijadikan tempat pertemuan kalangan Tionghoa, apalagi pada masa bergejolak 1945-1947 lewat kejadian gedoran dan "kerusuhan" Tangerang. Kerusuhan ini ada beberapa gelombang, namun yang terbesar terjadi tahun 1946-1947, menyusul kejadian serupa di sejumlah daerah seperti Medan (1945-1946), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon dan sekitarnya (1946) dan di daerah-daerah lainnya di pulau Jawa (salah satunya direkam oleh Tjamboek Berdoeri di Malang). Tim yang berangkat ke Tangerang di bawah perintah Soekarno memintakan ijin untuk menampung pengungsi tersebut dengan kawalan tentara rakyat yang tunduk kepada Soekarno ke rumah alm. KKA ini. Dengan demikian, rumah KKA ini menjadi saksi bagaimana pergolakan sosial-politik di Indonesia dari awal abad ke-20 (THHK) hingga masa kemerdekaan dan kemudian pemunculan orde baru, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan dan keamanan kalangan Tionghoa di Indonesia. Masalahnya, seperti apa yang sudah saya tulis di thread yang dulu, gedung bersejarah ini justru dihancurkan oleh kalangan Tionghoa sendiri yang tidak memaknai arti kesejarahannya. Pertama, yang kabarnya "menjualnya", kemudian kedua yang membelinya, ketiga yang melegitimasi "penghancurannya", keempat yang mengarsiteki "pengolongannya" mayoritas adalah Tionghoa!!! Makanya saya sampai sekarang tetap menuntut pertanggungjawaban tim arsitektur Untar yang ikut mempreteli dan menyimpan ornamen-ornamen dari sayap kiri-kanan dan paviliun belakang dari gedung CN tersebut. Saya kenal orang-orangnya, makanya saya terus ngledekin mereka, meskipun mereka dableg juga sampai sekarang dan sudah mendekati uzur. Kabarnya Untar sudah tidak bertanggung jawab lagi (sebelumnya sih sudah tidak bertanggung jawab atas legitimasi pembongkaran tersebut) dengan penyimpanan barang-barang itu. Yaa, tidak dikonservasi, jelas saja barang itu akan lapuk, hilang atau dipreteli. Itu dia, makanya ketika Untar mengklaim menyelamatkan CN, saya sih justru menertawakan klaim itu. Saya pernah sindir lebih keras lagi ketika saya putar film mengenai teknik renovasi yang benar (yang saya beri tema Rayahan dan Renovasi), cuma ya, karena dableg, susah juga, apalagi kalangan Tionghoa pada umumnya juga apatis dan yang peduli justru bo lui. Oleh karena itu, baik pendirian museum Budaya Tionghoa di TMI, saya sih sangat apatis dan pernah mengutarakan penentangan saya terang-terangan kepada orang-orang PSMTI, namun tidak didengar juga. Saat perancangannya saja saya sudah tahu dan memberikan komentar saya, khususnya melihat arsitekturnya yang tidak mewakili keunikan tambahan dari Tionghoa Indonesia. Selain soal latar arsitekturnya yang tidak sesuai denga
[budaya_tionghua] Re: Tanya kelenteng daerah pancoran
Yang dicari sebagai obyek fotografi itu apa? Apa keantikan kelenteng, keunikan umat, keunikan fungsi, kimsinnya, atau malah "keanehan" bentuk kelenteng? Apakah termasuk juga vihara yang benar-benar budhis meskipun memiliki ornamen Tionghoa? Klasifikasinya juga sangat banyak. Di seputaran daerah kota ada sekitar 20 kelenteng (dengan berbagai namanya, semisal bio, i, si, kong, dsb, termasuk juga kelenteng pelindung marga, kelenteng sinci, kelenteng kwan im, hok tek cheng sin dan kelenteng-kelenteng khusus untuk tukang obat, tukang kayu, dsb). Yang saya maksud daerah kota kira-kira dari kotak imajiner sekitar beos menuju ke pinangsia, ke arah glodok pancoran, sampai ke mulut jembatan lima lalu ke arah angke ke Timur menuju pasar ikan dan kembali ke stasiun beos. Di Jakarta sendiri, ada beberapa kelompok daerah kelenteng (yang dibangun sebelum era orde baru, termasuk yang hancur atau dijarah di tahun 1967 dan 1998). Saya kecualikan vihara (budhis) dengan model Tionghoa yang dibangun belakangan dan biasanya cirinya adalah bertingkat, modern dengan sedikit arsitektur Tionghoa dan adanya patung Kuan Im dan hiolo baru. Beberapa pengelompokan kelenteng yang cukup dekat dengan kota adalah daerah mangga besar hingga pasar baru (sekitar 20 kelenteng) yang terutama sekali memiliki pengaruh buddhis yang kuat, kemudian enklave daerah pluit-angke (sekitar 10 kelenteng, termasuk Toapekong Ancol) meskipun sebagian sudah agak modern, lalu enklave daerah jembatan lima hingga tanah abang (sekitar 10 kelenteng) yang juga gado-gado. Ada juga kelenteng yang akan misah seperti misalnya Hian Thian Siang Tee di Palmerah dan Kelenteng Hok Tek Cheng Sin di Karet dan Kwee Seng Ong di Senen yang dipindah ke Sunter serta kelenteng Hok Tek Cheng Sin Jatinegara. Karena yang dimintakan hanya daerah kota saja, berikut ini daftarnya dan sedikit komentar saya: 1. Hongsan bio (Toase Bio) di Jl. Kemenangan III (dekat gereja samping sekolah Ricci, yang peninggalan kapiten yang menjadi Katolik, dengan arsitektur awal abad ke-20 yang cukup menarik meskipun ada beberapa perombakan di dalamnya untuk memfasilitasi gereja), nama sankritnya sudah dikembalikan ke Tionghoa, aktif dalam kegiatan gotong joli. Arsitekturnya lumayan, meski sudah difurnish modern dengan berbagai keramik dan beton baru. 2. Kim Tek I di Petak Sembilan, sebenarnya "bergabung" dengan tiga kelenteng tambahan lain di depannya, sehingga orang sering rancu. Di kompleks itu jadinya ada empat kelenteng dengan maksud, arsitektur dan juga pemaknaan yang sebenarnya agak berbeda. Ada yang semula untuk shen penjaga "neraka" (karena aslinya untuk menghormati shen penjaga daerah pemakaman), dsb (saya tidak bahas karena terlalu panjang). Kompleks ini suduah difurnish modern, termasuk hiolo di depan Kim Tek I sendiri dan bagian-bagian sampingnya. Arsitektur kayunya menarik, meskipun tidak serumit yang biasa ditemukan di daerah Jawa Tengah (Semarang dan Lasem). Nama sanskritnya masih terpampang di gerbang depan meskipun orang sudah terbiasa kembali ke nama asalnya. 3. Thian Hou Kiong (Maco Lim Bi Nio atau Thian Siang Seng Bo) di Bandengan Selatan. Arsitekturnya masih dipertahankan, namun sayangnya gara-gara orba dulu, diadakan penamaan dewi samudera dan dipagar sehingga ada kesan bahwa kelenteng itu diberi kerangkeng (karena bentuk pagar dalamnya yang tinggi dan seperti teralis penjara). Yang unik hanya bagian depan, karena bagian belakang nampaknya dibuat untuk mengesankan kebudhisan tambahan dengan menambahkan ruang bagi Kuan Im. Memang agak rancu, karena toh dalam beberapa hikayat, Lim Bi Nio sendiri digambarkan sebagai berciri budhis dan sama-sama berfungsi sebagai dewi penolong, meskipun lebih banyak dikenal kalangan nelayan. 4. Tan Seng Ong Bio (kelenteng pelindung marga Tan), di Jl. Blandongan. Kelenteng ini kelihatannya tidak pernah dipaksa memakai nama sanskrit karena lebih ke kelenteng marga. Arsitekturnya cukup baik, meskipun sekarang sedang direnovasi. Sayangnya ada beberapa renovasi sebelumnya di bagian kanan (dari tuan rumah) dan lagi-lagi penambahan ruang Kuan Im yang mempengaruhi makna kelenteng asalnya. 5. Lo Pan Kiong di Bandengan Selatan (dekat sekali, sebelah kelenteng Maco, namun kelihatannya sudah direnovasi habis dan karena berada di rumahan, sulit dilihat (tertutup dan kabarnya hanya dipakai saat kebaktian mingguan). 6. Li Ti Kuai Bio (salah satu dari delapan dewa) di Jl. Perniagaan Gg. Patike. Patungnya antik, namun gedungnya sudah dimodernkan dan menjadi vihara (Budhi Dharma). 7. Lam Ceng Bio (yang disebut arya marga, suatu nama sanskrit yang dipaksakan untuk mengesankan Kwan Kong sebagai seorang Patriot Pembela), di Gg. lamceng dan berfungsi rumahan (sebelumnya kompleks rumah kapiten marga The). Gedungnya sudah direnovasi abis dan bahkan ditambahi ruang yang berfungsi sebagai ruang titipan pengenang arwah meninggal (lilin di gelas). Ada abeberapa artefak yang unik namun arsitekturnya terlalu modern. 8. Sam N
[budaya_tionghua] Re: Mencari Keluarga
Waaah, enggak dibaca nih. hehehehe. Seperti yang saya sudah tulis, saya bukan dari garis Thung Tiang Mih (dan kemungkinan besar juga bukan dari garis Banten). Thung Tjoen Pok dan Tjoen Pauw adalah keturunan dari Thung Tiang Mih atuh. Btw, Jiyan dari tiga garis marga Thung di Indonesia adalah cocok satu sama lain, karenanya meskipun dari kampung yang berbeda (dua garis dari Yunshan, satu dari Changtai), bisa dikatakan moyangnya sama. Apalagi kampung Yunshan di kabupaten Huaan, dengan kota Changtai (atau bisa jadi kabupaten) jaraknya cuma sekitar 100 km. Kalau nama saya menggunakan Jiyan Djie (Ji, Ru), itu karena memang generasinya sama (saya sudah cocokkan dengan nama orang tua dan kakeknya). Tinggal nama Hauw-nya itu apa. Saya sendiri menggunakan Xiao, tapi entah yang lainnya. Bisa saja Hou, atau arti lain, meskipun bisa juga sama-sama Xiao Bakti. Juga untuk thread GS (kalau tidak salah), marga Thung di Makassar juga besar, lebih-lebih karena ada Majoor bermarga Thung di sana yang menjadi penilik berbagai kelenteng di Makassar. Saya sudah bertemu keturunan langsungnya dan bertukar Jiyan. Majoor Thung Liong Hwie (atau ada juga yang menulis Thoeng Liong Hwee) dibunuh Jepang tahun 1942 bersama dengan 4 anaknya karena melakukan perlawanan. Karena dia punya gelar bangsawan dari pemerintahan Qing dan kemudian pangkat dari Republik, didirikan monumen mengenang keberaniannya. Menurut beberapa orang, monumen itu sudah dihancurkan seiring pemindahan lokasi makam Tionghoa ke Gowa. Pada masa hidupnya, Thung Liong Hwie ini adalah sehabat karib Sultan Gowa dan Makassar. Rumahnya sering dikunjungi para bangsawan dari Gowa, Makassar dan Bone dan diadakan cara penerimaan adat. Banyak cerita unik mengenai keluarga Thung di Makassar, sebagaimana halnya Thung di Jawa Barat (dan Banten). Uniknya, tidak banyak dari marga ini yang menjadi pedagang atau pengusaha, kebanyakan lebih tertarik untuk aktif di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Tidak heran apabila ketemu dengan keturunan marga Thung di berbagai sektor non-bisnis. Sebagai informasi, ketua dewan Rujia di Hongkong dan kepala departemen pendidikan tradisional Rujia di Shandong juga bermarga Thung. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Denny Tan wrote: > > Dear Bung Suma Miharja > > Dalam buku silsilah keluarga Thung ada 2 orang yg memakai nama Thung Djie > Hauw. > Saya mengira-ngira jika usia Bung Suma sama dengan saya, > maka saya menebak kakek anda bernama Thung Tjoen Pok dan nenek anda > bernama Tan Hok Nio. Atau kakek anda adalah Thung Tjoen Pauw dan nenek anda > adalah Tan Hay Nio. Mohon ma'af jika semuanya keliru. > > Sedang Kongcoco Thung Tiang Mie mempunyai nama lain yaitu Thung Liong Soey > dan nama muslim Tubagus Abdullah Moestopa. Beliau biasa dipanggil babah Emboen > dan memiliki isteri bernama Tee San Nio yg meninggal pada tahun 1853. > > Sedangkan nama ayahanda Kongcoco bernama Pangeran Mustopa Atau Thung Siang Toh > Atau Kiyai Tapa Atau Majoor Djangkung Atau Pangeran Purabaya Atau dengan > julukan > Wali Allah Abdul Haj. Beliau beristerikan Ratu Neira atau di panggil Ma' > Bugis. > Beliau lahir tahun 1750 dan tidak diketahui meninggalnya tahun berapa. > > Saya tidak berani menuturkan lebih lanjut lebih keatas sampai tahun 1400 an > karena diluar garis leluhur saya. Biar garis keturunan Thung yg lebih banyak > bercerita. Karena ada leluhur Thung yg menikah dengan leluhur saya Tan maka > buku silsilah kami di gabung. > > Wassalam. > >  > > > > > From: H.S. Han > To: Budaya Tionghua > Sent: Sun, January 10, 2010 7:43:35 PM > Subject: [budaya_tionghua] Re: Dr. Tio Oen Bik ==> Sdr. Koai Hiap > >  > Sdr. Koai Hiap yang budiman, >  > Maaf sekali agak lama baru membales e-mail anda. > Saya tidak dapat menjawab tulisan-tuklisan anda,karena saya belum menyelidiki > sampai mendalam riwayathidup Dr. Tio Oen Bik. > Mungkin sepengetahuan saya Sarikat Dagang Islam didirikan lebih dulu dari > Boedi Oetomo. Menurut buku-buku yang ada kedua kumpulan itu berdiri dan > anggaran dasarnya banyak bersamaan dengan THHK. Dimaksud terpengaru oleh > hasil yang gemilang dari THHK dalam pendidikan masyarakat Hua Yi jaman dulu > dan merobah pikiran manusia. >  > Kerepotan saya karena kesehatan dan sedang mempersiapkan memoir saya dalam > bahasa Indonesia, maka sementara ini saya tidak dapat mencurahkan pikiran > saya pada Dr. Tio O.B. Mohon pengertian anda. >  > Maaf dan trima kasih atas respons anda pada artikel saya >  > Hwie-Song >
[budaya_tionghua] Re: Mencari Keluarga
Selain ada salah ketik minor, maaf, dinasti Shang dimulai sekitar abad ke-17 SM. Koreksi dikit aja. Marga Thung diawali dari paman dari kaisar terakhir (Tiu Ong) yang dikenal tiran. Adik dari kaisar kedua dari buntut (ayah Tiu Ong) ini kecewa dengan keponakannya, kemudian mengenang nama leluhur pendiri dinasti menjadi marga para keturunannya. Dapat dicatat juga bahwa marga Kong (yang menurunkan Khonghucu) adalah adalah dimulai dari adik kaisar Tiu tadi. Jadi marga Thung dan Kong memiliki perkerabatan dari jaman dinasti Shang. Kat liam bok kiu co yu lin "TTM: tapi kau orang harus mempunyai semangat yang teguh sekali, buat berdaya, berniaga atau bekerja maupun berkuli, jangan mengandalkan atau mengharap pertolongan tapi berdikari, bekerja buat cari hidup yang pantas untuk bela diri sendiri dan keluarga" Ciok ji i hou cu sun sian "TTM: berilah pelajaran dan pendidikan yang baik pada anak dan cucumu, dengan rupa-rupa kepandaian dan juga ilmu, supaya kau jadi orang baik dan benar, semua keturunanmu, jika kau perhatikan dan mengindahkan ini semua akan kesampaian' Cun ki ciu siang yao tui sim "TTM: terhadap kau punya leluhur, atau kau punya ibu dan bapak, yang sudah meninggal, yang rohnya sudah ada di alam baka, meskipun sudah tidak tertampak lagi wajahnya, tetapi kapan waktu sembahyang harap jangan sekali dilupa" Wi cu sun tap siang cou in "TTM: terlebih jauh, anak cucu harus berlaku bakti, pada kau punya leluhur baik yang masih hidup amupun yang sudah meninggal, harus bisa balas budinya yang berharga lebih daripada harta benda berpeti-peti, karena cintanya, pengajarannya dan pendidikan yang diberikan dengan sangat teliti." Suma Mihardja Thung Djie Hauw > > > > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ANDREAS MIHARDJA wrote: > > > > HinTjiang adalah teman baik saya - jikalau ada yg kopy bukunya secara ethic > > namanya harus dtulis. Sebetulnya juga harus minta izin dari dia - tetapi > > oleh karena sudah common knowledge mungkin tdak apa² Harap sdr Denny > > mengerti peraturan kopy rights. > > Andreas > > > > --- On Thu, 1/7/10, Denny Tan wrote: > > > > > > From: Denny Tan > > Subject: [budaya_tionghua] Mencari Keluarga [1 Attachment] > > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > > Date: Thursday, January 7, 2010, 5:57 AM > > > > > > > > > > > > > > > > > > [Attachment(s) from Denny Tan included below] > > > > > > > > > > > > dear member milis > > saya mendapat satu buku turunan (silsilah keluarga) > > dimana di dalamnya ada terselip 4 lembar nasihat keluarga. > > disini saya lampirkan lembar pertama. > > jika ada yg memiliki nasihat sama dan bisa menunjukan lembar ke 2, 3 dan ke > > 4 > > artinya kita bersaudara. > > > > Wassalam. > > > > > > > > > > > > Attachment(s) from Denny Tan > > 1 of 1 Photo(s) > > > > > > > > > > P1001474.JPG > > >
[budaya_tionghua] Re: Mencari Keluarga
Saya sendiri sudah memiliki "slinan" pesan dari Kongcoco Thung Tiang Mih tersebut sejak lama. Garis saya memang bukan dari garis dia (garis Thung asal Kesultanan Banten). Namun leluhur orang yang mengangkat dia sebagai anak selepas kejadian penghancuran banten oleh Belanda (marga Thung yang tinggal di Banten Lama, atau bisa juga sebaliknya Thung yang diangkat menjadi bagian keluarga Kesultanan Banten) saya perkirakan sama dengan garis saya, karena saya baca sama-sama berasal dari Yunshan (WunSoa), Huaan, Hokkian. Satu garis besar marga Thung yang lain adalahdi Indonesia berasal dari Changtai (Thiotoa), Hokkian. Garis Banten dan garis Yunshan berkibar di Banten (sekarang) dan Jawa Barat. Pusat terbesarnya di kisaran Bogor-Sukabumi menggantikan yang di Banten Lama (misalnya Thung Tjoen Pok, Thung Tjeng Hiang, Thung Liang Lee, Thung Sin Nio, dan Thung Ju Lan. Banyak profesor, guru dan institusi pendidikan terkait dengan marga Thung, bahkan kalangan perempuannya. Bandingkan dengan isi pesan Thung Tiang Mih). Garis Changtai berkibarnya di Makassar, Sulawesi (meskipun secara tulisan menggunakan ejaan yang kurang lazim, yaitu Thoeng yang semestinya dibaca Thung, padahal Thung dibacanya Th'ng; yang artinya kuah, atau air panas; mengambil nama dari pendiri dinasti Shang abad ke-22 BCE sebagai leluhur langsungnya; mohon baca tulisannya peq Liang U mengenai she ini), dan tersebar di Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Timtim (ada yang menjadi pastor) dan bahkan Papua (salah satunya adalah putera Serui, Yorrys Thung Raweyai). Mengenai isi pesan Kongcoco ini (bagi ketiga garis, perlu diketahui bahwa semuanya memiliki rima jibun/jiyan/nama urutan generasi yang sama; hanya kalau ada ciong saja diganti dengan huruf lain; hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki garis moyang yang sama), semula hanya untuk garis Thung Banten. Namun seiring jaman, dan karena sangat banyak persamaan dengan pesan pada garis Thung dari Yunshan dan Thung garis Changtai, diaopsi juga sebagai pesan bagi marga Thung di Indonesia. Kalau sempat, karena saya harus off dari internet selama sekitar seminggu mengingat jadual kesibukan saya, saya coba tuliskan dalam jianti dalam kesempatan berikut, berikut dengan terjemahan dan komentar modern-nya. (Btw, tulisan yang dikopikan itu kemungkinan besar memang disusun kembali oleh peq Tjoa Hin Tjiang [kalau tidak keliru], berdasarkan testamen lama yang dimiliki oleh keluarga dalam Kiu Seng Tong di Bogor (sembilan garis keturunan laki-laki yang merupakan cicit Thung Tiang Mih). Isinya saya perkenankan untuk dipakai, disalin dan disebarluaskan. Namun kalau untuk kopi atas susunan yang dimasukkan dalam Thung Stamboom tersebut, saya sarankan permisi saja ke penyusunnya/ahli warisnya. Toan sin tan si ci tong lwee Kut jiok siau mo cwe jin gim Ingat apa yang leluhurmu penah katakan berlaku rukunlah dengan saudara, keluarga dan sesama Suma Mihardja Thung Djie Hauw --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ANDREAS MIHARDJA wrote: > > HinTjiang adalah teman baik saya - jikalau ada yg kopy bukunya secara ethic > namanya harus dtulis. Sebetulnya juga harus minta izin dari dia - tetapi oleh > karena sudah common knowledge mungkin tdak apa² Harap sdr Denny mengerti > peraturan kopy rights. > Andreas > > --- On Thu, 1/7/10, Denny Tan wrote: > > > From: Denny Tan > Subject: [budaya_tionghua] Mencari Keluarga [1 Attachment] > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Date: Thursday, January 7, 2010, 5:57 AM > > > > > > > > > [Attachment(s) from Denny Tan included below] > > > > > > dear member milis > saya mendapat satu buku turunan (silsilah keluarga) > dimana di dalamnya ada terselip 4 lembar nasihat keluarga. > disini saya lampirkan lembar pertama. > jika ada yg memiliki nasihat sama dan bisa menunjukan lembar ke 2, 3 dan ke 4 > artinya kita bersaudara. > > Wassalam. > > > > > > Attachment(s) from Denny Tan > 1 of 1 Photo(s) > > > > > P1001474.JPG >
[budaya_tionghua] Re: HUACHIAO dan HUAREN
Yang menulis ini justru orang yang mengalami fobia yang enggak selesai-selesai. Udah berapa tahun pesan ini selalu diulang-ulangnya? Baca saja bagian belakang tulisannya. Ditujukan ke siapa pesan ini? Jangan-jangan si penulisnya yang mengalami ilusi. Semakin sering ditulis, justru semakin menunjukkan pesan bahwasanya yang fobia adalah penulisnya sendiri. Yang berbahaya, akhirnya salah-salah justru timbul kecurigaan bahwa Tionghoa Indonesia itu pada dasarnya tidak menjadi WNI sungguhan, kecuali si BS ini yang benar-benar nasionalis sejati lewat pengulangan-pengulangan tersebut. Apa lagi cari muka sebagai pemuka? Lagipula, dia itu mau memaksudkan huayi dengan yi huruf dari apa? ini juga membingungkan dan tidak jelas dia sebenarnya mau ngomongin apa. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "GELORA45" wrote: > > > > HUACHIAO dan HUAREN > > > > Benny G.Setiono > > > > Pada 1 Oktober 2009 yang lalu, dalam rangka memperingati 60 tahun proklamasi > berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, di lapangan Tiananmen telah > diselenggarakan parade yang luar biasa megahnya. Pemerintah RRT di bawah > pimpinan PKT, presiden Hu Jindao dan perdana menteri Wen Jiabao seolah ingin > mendemonstrasikan kemajuan ekonomi dan angkatan bersenjatanya, terutama > setelah adanya reformasi ekonomi yang dicanangkan Deng Xiaoping pada 1978. > Politik pintu terbuka negara "tirai bambu" dan pembangunan ekonomi pasar, > bertolak belakang dengan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) yang > dikobarkan Mao Zedong dan para pendukungnya Marsekal Lin Biao dan the Gang of > Four, Jiang Qing, Yao Wenyuan, Wang Hongwen dan Zhang Chungqiao pada 1966. > > > > Setelah Mao meninggal dunia pada 9 September 1976, Deng Xiaoping dengan > dukungan Marsekal Ye Jianying berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya > yang dipimpin Hua Guofeng sebagai pengganti Mao dan para pengikut setianya. > > > > Ternyata hanya dalam waktu 30 tahun pemerintah RRT telah berhasil melakukan > pembangunannya, baik politik,ekonomi dan militer dengan sangat luar biasa dan > Tiongkok telah berubah dari negara yang terbelakang menjadi pesaing utama > negara super power, Amerika Serikat yang pada awal dekade 90-an berhasil > memenangkan perang dingin yang berlangsung sejak berakhirnya PD II. > > > > Setelah pada 2008 RRT berhasil menyelenggarakan pesta Olimpiade yang terbesar > dan termegah sepanjang sejarah pesta olah raga tersebut, kini dunia dibuat > kagum dengan diselenggarakannya parade 1 Oktober tersebut. Tiongkok berhasil > melakukan pembangunan ekonominya secara massif, terbukti dengan cadangan > nasionalnya yang berjumlah 2,3 triliun US dollar dan pertumbuhan ekonomi > tahun 2009 yang diperkirakan mencapai 8 %, demikian juga diperkirakan tahun > 2009 Tiongkok akan menjadi negara eksportir terbesar di dunia,mengalahkan > Jerman. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 %, di tengah-tengah berlangsungnya > krisis ekonomi global yang merontokkan hampir seluruh negara-negara industri > maju di dunia merupakan suatu prestasi yang luar biasa. > > > > Ada dua hal yang menarik dalam parade tersebut. Yang pertama parade militer > yang menampilkan seluruh alutsistanya, mulai dari yang konvensional sampai > yang sangat modern dengan berbagai rudal mulai dari rudal anti pesawat udara > sampai rudal antar benua.Yang mengagumkan seluruh alutsista tersebut buatan > dalam negeri sendiri. > > > > Yang kedua, dalam parade tersebut juga ditampilkan anjungan yang mewakili > para Huachiao yang bertebaran di seluruh dunia. Nah, masalah inilah yang > banyak menarik perhatian masyarakat Tionghoa di Indonesia. Karena di dalam > masyarakat masih terjadi kekaburan pengertian antara istilah Huachiao dan > Huaren. Banyak yang mengira bahwa yang dimaksud dengan Huachiao adalah > seluruh orang Tionghoa yang berdiam di berbagai negara di luar daratan > Tiongkok, termasuk yang sudah menjadi warga negara di negara-negara tempat > mereka tinggal. > > > > Yang benar Huachiao adalah warga negara Tiongkok yang berdiam di > negara-negara di luar daratan Tiongkok, sedangkan Huaren adalah orang-orang > yang nenek moyangnya berasal dari daratan Tiongkok tetapi telah menjadi warga > negara di negara-negara tempat mereka tinggal. Khusus untuk orang-orang > Tionghoa di Indonesia disebut Huayi. > > > > Pesta Olimpiade dan parade 1 Oktober yang megah tersebut seyogyanya tidak > perlu ditanggapi masyarakat Tionghoa di Indonesia (Huayi) dengan eforia > yang berlebihan. Sebagai negara leluhur dan negara dunia ketiga, wajar kalau > kita turut menyambut dan bergembira akan kemajuan yang dicapai oleh Tiongkok. > Setidaknya kita mengharapkan kemajuan Tiongkok akan memberikan keseimbangan > kekuatan di dunia, sehingga akan membuat dunia menjadi lebih damai dan > harmonis. Di samping itu barangkali kita dapat belajar dari mereka agar > negara kita dapat mengejar ketinggalannya. > > > > Tetapi kita harus me
[budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALANORANG CINA
Peristiwa Mandor terkait dengan upaya pendudukan Jepang ke kawasan Asia Tenggara dan pembantaian yang dilakukan bala tentara Jepang terhadap upaya perlawanan kaki tiga antara kalangan Melayu, Tionghoa dan Dayak (Belanda dan Inggris sudah sangat terdesak dan kabur/menyerah duluan; kalangan Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat juga terpecah, sebagian malah perkolaborasi dengan Jepang dengan pertimbangan bahwa Jepang bisa mengembalikan kekuasaan politik mereka baik secara geografi maupun terhadap hak pertuanan; baca dokumen-dokumen yang disita sewaktu kekalahan Jepang tahun 1945). Monumen ini untungnya bisa didirikan selepas perang kemerdekaan, apalagi peran Sultan Pontianak tersebut dengan memberikan pengakuan penyatuannya kepada pemerintah Republik Indonesia segera setelah Proklamasi Kemerdekaan(yang saat itu juga ditentang sebagian keluarga sejumlah kesultanan, sebelum akhirnya diadakan pembicaraan, lalu terjadinya BFO di bawah kendali "boneka" Belanda dan akhirnya kemenangan politik Soekarno untuk membentuk Negara Kesatuan). Tapi itu kontras sekali dengan monumen Lanfang yang diabaikan oleh para "penguasa wilayah" di seputaran Kalimantan Barat, dan enclaving besar-besaran yang didukung pemerintah Soeharto dan panglima militer pada kisaran tahun 1967 atas dalih PGRS/Paraku yang sebenarnya adalah proyek Ganyang Nekolim dari Soekarno (resmi kebijakan negara). Jadi yang membela pimpinan sah negeri Indonesia pada saat itu siapa? Itu ironinya, merasa didukung dan bahkan "diprovokasi" Presiden Soekarno untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, ujung-ujungnya dikorbankan juga dan menjadi biang kerok yang dicapkan oleh Presiden Soeharto sehingga menimbulkan korban besar di kalangan Tionghoa pada umumnya. Meneliti hakekat tiap perkara, menggali kebenaran, itulah tugas seorang Budiman. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ivan" wrote: > > Jangan lupa pula. Sultan Hamid II juga ikut meresmikan tugu peringatan bagi > peristiwa pembantaian di Mandor, dimana banyak etnis Tionghua yang menjadi > korbannya. Membangun tugu memang sangat baik sekali, sebagai wahana > peringatan sejarah. Dengan demikian suatu tokoh atau peristiwa tak akan > terlupakan. Memang benar bahwa esensi menyembah berbeda dengan menghormati > atau mengenang. > > Salam damai, > > IT. > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, jackson_yahya@ wrote: > > > > Aku ngerti. Maksudnya kalau di barat itu seperti bangun tugu memoriam. > > Contoh seperti korban ledakan bom bali yang banyak makan korban orang > > australia beberapa waktu lalu. > > > > Bule2nya membuat tugu peringatan dan setiap tahun sekali mereka > > memperingati dengan berdoa, taruh bunga di tugu tersebut. > > > > Bukan menyembah tugu lo. > > Tapi sebagai simbol saja > > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung > > Teruuusss...! > > > > -Original Message- > > From: "David Kwa" > > Date: Fri, 01 Jan 2010 09:29:50 > > To: > > Subject: [budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALANORANG > > CINA > > > > Kalu begitu sinci Gus Dur mesti masuk altar leluhur sne Tan di Kelenteng > > Sne Tan. Di Jakarta ada satu di Jln Blandongan, Jakarta Barat, yakni > > Kelenteng Tan Seng Ong Bio êÂ}ÍõR. Orang-orang sne Tan semestinya > > berbangga ada orang yang kakek-moyangnya sne Tan, yang begitu besar jasanya > > bagi bangsa dan negara kita ini. Yang kematiannya ditangisi begitu banyak > > orang, tidak saja oleh umatnya, tetap oleh semua... > > > > Sebagaimana kita tahu, karena sudah sering dibicarakan, kita tidak > > menyembah Gus Dur, tetapi menghormatinya sebagai tokoh yang berjasa, > > terutama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia. So, why not? > > > > "Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. > > Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang > > menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), > > pendiri Kesultanan Demak.Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari > > Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V." > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, agoeng_set@ wrote: > > > > Gus Dur pernah ngaku keturunan marga Tan klo gak salah, gimana perkumpulan > > marga Tan? Bisa masuk ke altar leluhur marga Tan gak? > > > > -Original Message- > > From: Ong Bun > Date: Fri, 01 Jan 2010 13:37:25 > > To: > Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur: BERI JALAN > > ORANG CINA > > > > wah... > > setuju 100%!!! > > kalau sampai nggak kesampaian ya saya bikin sendiri di rumah hehehehehe. > > almarhum Gus Dur adalah benar-benar pahlawan bangsa. > > > > zhoufy@ wrote: > > > > Kuil peringatan buat Gus Dur? Mengapa tidak? Kita bisa menndorong > > organisasi Tionghoa semacam INTI utk membangunnya! > > Nantinya, orang Tionghoa boleh menghormati dng dupa, umat Islam ya dng > > caranya sendiri, umat kristen mao pakai tanda salib silahk
[budaya_tionghua] Re: Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALANORANG CINA
Salah dong. Kalau mau masukin sinci, bukan di Tan Seng Ong Bio. Sincinya diletakkan di dekat daerah situ juga, di Chenshi Zongci (kelenteng leluhur/kelenteng untuk kerabat dengan marga Tan) di Pinangsia III. Kalau yang Tan Seng Ong lebih tepatnya untuk penghormatan kepada "tokoh" pelindung marga Tan, khususnya yang berasal dari Hokkian. Tan Seng Ong juga diakui sebagai pejabat yang membuka daerah Selatan (Tenggara) Tiongkok, sehingga banyak juga marga lain dari Hokkian Ciangciu yang memberi hormat kepadanya. Btw, saya sering menjadi rombongan Gus Dur ke sejumlah acara. Dari omong-omong saya sendiri dengan GD dan sejumlah rekan dekatnya, terus terang GD sebenarnya lebih bicara untuk memberikan kepercayaan diri kepada sejumlah kalangan (ceritanya banyak dan seringkali mengundang tawa bagi yang kenal tabiat asli GD). GD juga pernah mengklaim diri sebagai marga Ui (Oei, Huang)di beberapa kesempatan dan menurut rekan saya, terkadang menyebut sejumlah marga yang lain (dan bagi kalangan lain adalah mengaku turunan dari sesepuh yang dihormati di wilayah itu). Maaf, saya tidak mau bicara panjang dulu mengenai topik-topik cerita GD mengenai "marga" dirinya, karena bukan itu esensinya. GD senang memberikan dukungan spontan dan solidaritas yang tinggi. Kapan diperlukan, cerita-ceritanya baru akan saya buka. Apapun itu, saya memberikan penghormatan yang tinggi kepada GD karena sikap inertnya untuk melawan diskriminasi, dan kesetiannya untuk mengawal solidaritas kemanusiaan. Saya sendiri pernah didaulat dan memimpin Komite Anti Diskriminasi Indonesia yang waktu itu mengawal sejumlah UU dan peraturan hukum baru, mulai dari penghapusan pelarangan budaya "Cina" (yaaa, judulnya begitu sih oleh Orba Soeharto tahun 1967), perayaan Sincia, dsb hingga ke UU kewarganegaraan, UU Administrasi Kependudukan dan Penghapusan Diskriminasi (yang belakangan tereduksi kembali menjadi hanya Ras dan Etnis). Sayangnya kejatuhan GD mempengaruhi juga upaya menghapus diskriminasi total kepada sejumlah kelompok belaan saya (adat, penghayat, etnis, agama, status sosial, penyandang perbedaan kemampuan [maaf:cacad], dsb). Itulah kenangan beratnya perjuangan bersama GD dan rekan-rekan yang lain. Yang pasti dalam hal ini, kalau mau dihubungkan dengan penghormatan kepada GD, saya tidak mau terbawa kepada "marga" apakah GD. GD boleh dianggap sebagai guru bangsa dan sekaligus juga "Bapak anti diskriminasi, pluralitas, mulstikulturalisme, dsb" dan otomatis juga "Bapak pelindung kalangan minoritas, pelindung kalangan Tionghoa, dsb" tentunya tanpa ditafsirkan menjadi pelindung "penjahat, kroruptor, pemerkosa yang kebetulan beretnis Tionghoa" (sengaja saya tulis ini karena saya sebal melihat ada yang suka memleset-mlesetkan istilah). Jadi dalam hal ini, kalau mau diadakan pendoaan GD secara Tionghoa, saya pikir terbuka untuk setiap marga, dan setiap marga berhak mengaku GD sebagai bapak pelindungnya juga. Btw, kalau miliser BT juga mau mengadakan doa bersama 40 hari-an GD, boleh juga dilakukan (di mana?). Akan lebih elok apabila bisa dilakukan secara ritual budaya Tionghoa (tanpa adanya unsur yang terlalu dominan dari kelompok agama manapun) untuk menunjukkan toleransi GD yang sangat tinggi terhadap semua golongan. Dua hari kemarin, saya menyaksikan sendiri bagaimana dua majelis agama "berebut" mendoakan arwah Ayah dari teman saya dan berceramah panjang lebar ke keluarga (Ayahnya aja enggak kayak begitu), padahal si Ayah tersebut adalah orang tradisionalis (Ru-Tao atau setidaknya agama rakyat). Dari pengalaman mutakhir itu, kita pakai saja metode umum hidangan samseng (tapi yang satu itu diganti sapi aja), sayuran, buah, kue, hio merah, lilin merah (usia 61 ke atas), dsb, tanpa menjadikannya syirik dalam pandangan tradisionalis (masih mirip dengan tradisi NU). Ritualnya hormat kepada orang tua (empat lambaian), bisa juga dilakukan dengan dua kali kui (berlutut) dengan masing-masing empat pai (soja). Kalau mau ke tempat GD baik di Jombang ataupun di Ciganjur, mungkin tempatnya sulit untuk diadakan ritual Tionghoa dan tentunya juga akan lebih elok kalau diisi tahlilan ala NU. Dalam kematian, rasa sedihlah yang utama. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" wrote: > > Kalu begitu sinci Gus Dur mesti masuk altar leluhur sne Tan di Kelenteng Sne > Tan. Di Jakarta ada satu di Jln Blandongan, Jakarta Barat, yakni Kelenteng > Tan Seng Ong Bio êÂ}ÍõR. Orang-orang sne Tan semestinya berbangga ada orang > yang kakek-moyangnya sne Tan, yang begitu besar jasanya bagi bangsa dan > negara kita ini. Yang kematiannya ditangisi begitu banyak orang, tidak saja > oleh umatnya, tetap oleh semua... > > Sebagaimana kita tahu, karena sudah sering dibicarakan, kita tidak menyembah > Gus Dur, tetapi menghormatinya sebagai tokoh yang berjasa, terutama bagi > masyarakat Tionghoa Indonesia. So, why not? > > "Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.
[budaya_tionghua] Re: Kita juga dianggap "TEMAN" oleh mereka
Stereotype memang jelek, khususnya ketika kita menghakimi seseorang karena sudah apriori terhadap "kekurangannya" (yang belum tentu benar). Meski demikian, dalam banyak hal, politik juga memiliki pengaruh yang kuat dan karenanya harus selalu diingat. Mengambil contoh kasus orang Madura di Kalimantan Barat, atau kerusuhan Mei 1998, atau kalangan Ahmadiyah di Lombok, terbukti bahwa meskipun mereka membawakan diri dengan baik, kenyataannya stereotype tidak serta merta hilang. Kalau amarah sudah "dibentuk" ataupun "terbentuk", kenyataannya anda yang berbudi baik sekali pun bisa saja menjadi korban. Karena itu titik tekannya bukan pada "bagaimana kita membawakan diri" semata-mata, melainkan juga bagaimana negara berperan untuk menjaga agar tidak terbentuk diskriminasi atas dasar stereotype tersebut. Kalau Tionghoa merayakan cheng beng, jangan sampai ada pemalakan di jalan menuju bongpai. Itu baru sikap yang benar, jadi tidak diletakkan semata kepada pribadi. Kalau misalnya ada kalangan Tionghoa yang menolak pungutan saat dia mau ziarah cheng beng dan melawan (bukan fisik, tapi menanyakan apa alasannya; terus menolak dan terus memaksa lewat), apakah dia itu "tidak bisa membawakan diri"? Ataukah harus dilakukan "penegakan hak budaya" yang dijamin oleh negara? Dalam hal ini, pemaknaannya tidak bisa direduksi hanya sekedar perilaku pribadi, tapi juga mendidik masyarakat untuk bersikap obyektif dan menilainya lebih dulu tanpa menjadi emosional. Saya setuju kalau era pemakaman pribadi seluas bukit, tentunya tidak layak dilakukan meskipun seberapa milyardernya si meninggal, dikarenakan fakta sosial bahwa tanah pemakaman semakin berkurang dan lebih prioritas untuk yang hidup. Namun tentunya itu bukan alasan untuk menggeneralisasi bahwa kalangan Tionghoa itu rakus tanah baik semasa hidup, dan bahkan setelah mati. Dalam hal ini, pengertian budaya dan sosial memang berperan, namun semua itu tentunya harus dilakukan dalam semangat sistem untuk mencegah perilaku main hakim sendiri, apalagi dibiarkan menjadi kebencian atas golongan tertentu. Coba lihat kasus Anggodo dan Artalyta. Untungnya sebagian masyarakat sadar bahwa mereka berdua itu cuma "oknum" atas nama diri mereka pribadi. Tapi jangan lupa bahwa banyak juga orang yang telah menyejajarkan mereka sebagai bagian dari "konspirasi Cina", sebagaimana juga terlontar dalam sejumlah spanduk, komentar publik, dan bahkan pemberitaan (yang termutakhir dan sempat meresahkan misalnya cara tutur sejumlah pembicara dan setting cerita pada sebuah acara Metrotv) yang salah-salah bisa berujung pada permasalahan konflik sosial yang lebih luas (Ingat bahwa salah seorang pembicara justru "menguraikan ancaman" akan adanya kerusuhan sosial; hal yang sama juga pernah dilontarkan secara gegabah oleh seorang anggota Tim 8 jauh hari sebelumnya). Ini konyol, tapi benar-benar terjadi, diucapkan oleh mereka yang mengkalim dirinya adalah tokoh demokrasi. Karena itu, kembali, persoalan tidak bisa sekedar dibebankan pada pengindividualan persoalan, namun pada sistemnya juga. Untuk itulah kenapa diskriminasi harus dicegah dan ditanggulangi oleh negara. Dalam hal Anggodo sendiri, stereotype juga bisa membutakan mata. Ketika amarah rakyat diarahkan kepada Anggodo (dengan melupakan fakta hukum bahwa penyadapan pada dasarnya tidak dibenarkan), jangan heran apabila bisa terjadi "generalisasi" akibat tudingan "konspirasi Cina" semacam itu. Saya justru selalu kawatir dengan pemaknaan sempit atas sikap pribadi sebagai kambing hitam atas konflik sosial yang terjadis elama ini. Apakah korban perkosaan, misalnya, adalah karena dia "tidak bisa membawakan diri?". Kan tidak sesederhana itu. Mengenai upaya membuat buku kerajaan nusantara, perlu disusun secara sangat hati-hati, namun juga obyektif. Saya sudah menjelajah nusantara, semua pulau besar dan banyak daerah kecil terisolasi dan bertemu sangat banyak orang dan kelompok. Saya sendiri bersahabat erat dengan sejumlah "sepuh" dan bahkan di dua tempat mendapat gelaran adat, dan di beberapa tempat lain diaku sebagai "saudara adat". Dari pengalaman itulah saya menyadari bahwa ada konflik laten mengenai makna kerajaan di setiap komunitas dan pahit-getirnya pengalaman historis masyarakat nusantara terhadap keberadaan "kerajaan besar" di nusantara (lewat berbagai konflik, konversi agama maupun juga penunjukan). Saya berharap topik tulisan kerajaan nusantara dilakukan dengan sangat harti-hati dan bukan berpihak kepada "kerajaan yang besar" atau "persekutuan dari mereka yang membentuk mayoritas" (sebagaimana sejarah adalah sejarah dari pemenang). Tahukah anda kenapa di daerah Dayak, ada ketidaksepahaman mengenai pemaknaan kerajaan di Kalimantan? Di satu sisi kalangan Dayak memiliki sistem "pemerintahan" yang berbeda dengan kerajaan Melayu di Pesisir Kalimanatan, dan di antara kedua kelompok itu pernah ada hubungan perhambaan (perbudakan?) yang dilatarbelakangi oleh penundukan satu kelompok kepada yang l
[budaya_tionghua] Nilai Falsafah Budaya Tionghoa di Balik Komentar Sejumlah Miliser
Sebulan ini memang ramai. Yang terasa unik dan menarik untuk dikenali adalah mengenai apakah perilaku yang tercermin dari kalangan Tionghoa yang bercurah pendapat di sini mewakili budaya Tionghoa pada umumnya? Dari manakah doktrin budaya Tionghoa (falsafah budaya) itu melekat pada mereka, sehingga membedakannya dari sistem kebudayaan yang lain? Dari lingkar kebudayaan, biasanya ada tiga yang mudah diklasifikasi, yaitu artefak sebagai lingkar luar yang umumnya mudah dikenali secara fisik (benda budaya; naga Tionghoa, atau rumah, maobi [mopit], kaligrafi Tionghoa, dsb), kemudian aspek perilaku sebagai lingkar antara yang mudah dikenali secara fisik karena melekat kepada orang-orangnya namun juga terhubung dengan latar belakang pemikiran sosial mereka (perilaku budaya: bahasa, peristilahan, sikap, sebutan, tarian, dsb) dan yang inert sebagai lingkar terdalam yang mencerminkan nilai dasar, filosofis dan keyakinan sanubari (biasanya terekam dalam bentuk catatan filsafat, petuah dan bentukan antroposentris kelompok budaya). Karena itu, menarik untuk menilai apakah perilaku (lewat komentar, gaya tulisan dan sifat tulisan) adalah berada dalam koridor kebudayaan Tionghoa ataukah tidak. Beginilah kira-kira dasar filosofis kerangka pikir yang melatarbelakangi kenapa sejumlah orang di sini bisa dikatakan "lekat dengan budaya Tionghoa" ataukah justru berada di wilayah periferi dengan budaya lain. Saat ini saya batasi diri dulu dengan ujar-ujar dari Kongzi (Khonghucu, Confucius) dan belum ujar-ujar dari cendekiawan Rujia lainnya: 1. "Kalau ada yang nabok gue, yaa, gue tabok balik."(premis a) Lalu ada juga "Nenek gua kalau digetok kepalanya, akan ngediemin. Kalau diulangin, dia diemin juga. Kalau ketiga kalinya digetok, dia langsung ngelemparin uleg sambel yang lagi dipegangnya ke kepala yang ngegetok sambil teriak,'satu kali getok, gue pikir elu cuma kepeleset, enggak sengaja ngegetok. dua kali elu getok, gue pikir elu salah ngegetok, kalu udah tiga kali, biar kualatlah deh lu, ke atas enggak punya pucuk, ke bawah enggak punya akar." (premis b) a. Ada orang bertanya, "Dengan kebaikan membalas kejahatan, bagaimanakah caranya?" Kongzi menjawab, "Kalau demikian, dengan apa engkau dapat membalas kebaikan? Balaslah kejahatan dengan kelurusan dan balaslah kebaikan dengan kebaikan!" b. Kongzi berkata, "Adapun kesalahan seseorang itu masing-masing sesuai dengan sifatnya. Bahkan dari kesalahannya dapat diketahui apakah ia seorang yang berperi cinta kasih." (Komentar ringkas: bukan pipi tambahan yang akan diberi, tapi juga tidak membabi buta dalam membalas; misalkan ada hujatan pun, periksa baik-baik, tegur dan kalau terus menyakit, baru masuk ke proses Negara untuk meminta kelurusan. Tx2 AS, JK, dll) 2. Mengenai panasnya perdebatan mengenai agama: a. Kongzi berkata, "seorang budiman dapat rukun meskipun tidak dapat sama; seorang rendah budi dapat sama meskipun tidak dapat rukun." b. Kongzi berkata, "kalau berlainan jalan suci, tidak usah saling berdebat." c. Kongzi berkata, "seseorang yang pengetahuannya sudah melampaui tingkat pertengahan, boleh diajak membicarakan hal-hal tinggi; seorang yang pengetahuannya masih di bawah tingkat pertengahan, tidak boleh diajak membicarakan hal-hal tinggi." (Komentar ringkas: aspek yang sifatnya transcendental tidak ada yang mengetahui. Sayangnya lebih banyak kalangan awam yang cuma mengaku tahu dari kitab suci, tapi aspek teologisnya tidak dipahami benar, sehingga mudah menjadi kekerasan. Tx2 ABS, TLK, dsb) 3. Mengenai debat kusir: a. Kongzi berkata, "orang yang berkumpul sepanjang hari, tapi yang dibicarakannya tidak berhubungan dengan kebenaran, melainkan hanya meributkan hal-hal kecil, sungguh menyedihkan orang-orang semacam itu." b. Kongzi berkata, "seorang budiman mengutamakan hal-hal penting, bukan hal-hal remeh." c. Kongzi berkata, "Aku benci kepada orang yang suka memutar lidah." d. Kongzi berkata, "orang yang pandai memutar lidah akan mengacaukan kebajikan. Kalau orang tidak mau menanggung kesukaran-kesukaran kecil, ia hanya akan merusak perkara-perkara besar." e. Kongzi berkata, "Seorang yang berperi cinta kasih hati-hati dalam berbicara .. Melaksanakan sesuatu itu sukar, maka dapatkah orang tidak hati-hati dalam berbicara?" f. Kongzi berkata, "Kepada orang yang patut diajak bicara, tidak mau mengajaknya bicara, berarti kehilangan orang. Kepada yang tidak patut diajak bicara tapi diajak bicara juga, ini berarti kehilangan kata-kata. Seorang bijaksana tidak mau kehilangan orang maupun kata-kata." (Komentar ringkas: banyak yang tidak paham , cuma melontarkan omong kosong hanya sekedar untuk menunjukkan siapa dirinya. Akibatnya materi menjadi ternoda dan kebenarannya tidak terungkap. Tx2 ZFy &Rsn) 4. Mengenai serangan personal: a. Kongzi berkata, "Seorang budiman mendahulukan kebaikan orang, tidak menyerang keburukan orang. Seorang rendah budi berbuat
[budaya_tionghua] Re: Pro Cen Gui Xin #46797
Ancam-mengancam apa lagi ini? Memangnya seberapa jauh anda sudah ikut gerakan anti diskriminasi sampai melontarkan tudingan bermata dua macam itu? Seberapa jauh anda terlibat diskusi teologis mengenai perbedaan antara penghinaan dan sindiran? Rekam jejak anda juga tidak jelas dalam konteks ini koq. Lihat konteks cerita keseluruhan dari Chen Gui Xin dulu! Meskipun saya sepakat bahwa CGX pengutaraannya seringkali kasar dan sembrono, dia toh cuma melontarkan kekesalannya melihat bahwa doktrin agama sudah menyeleweng. Apa karena dia "murtad" jadi sudah tidak bisa mengutarakan pandangannya? Dia kan tidak sedang membuka debat agama. Lebih guna kalau anda gugat saja dulu berbagai sinetron dan acara TV mengenai entah itu realigi, konversi agama, dsb yang marak tiap-tiap hari raya agama. Tahukah anda bahwa dalam perdebatan di kalangan Vatican jaman PJP II sebelum diganti yang sekarang, beredar sebuah kritik internal di kalangan gereja sendiri bahwasanya pemaknaan derita Yesus sudah diselewengkan. Sudah banyak buku dari kalangan nasrani sendiri yang membahas soal peranan gereja dalam penindasan dan kekerasan yang sebenarnya hanya menutupi nafsu tamak dari sejumlah orang-orangnya (bahkan termasuk sejumlah paus dalam kaitannya dengan keberadaan mafioso). Apakah itu sudah merupakan penghinaan? Bahwa konteks CGX tidak sepenuhnya benar (karena banyak pengikut Nasrani juga sangat miskin hidupnya, rela menderita dan bahkan mati mengenaskan karena membela keyakinannya itu), tapi sebagai kritik sosial, hal itu bukan penghinaan agama! Hal yang sama berlaku untuk agama lain, termasuk misalnya di dalam agama Tionghoa sendiri. kritik macam itulah yang membangun dan mendorong umat untuk mengikuti teladan yang baik, dan bukan memperalat agama demi kepentingan duniawi si pemeluknya. Dalam tradisi nasrani sendiri, betapa banyak joke, sindiran dan kritikan mengenai perbedaan makna antara ajaran dari si pembawa, dengan kondisi sekarang. Dalam forum-forum agama, yang melibatkan tokoh tafsir dan rohaniwan kelas atas, banyak tukar pikiran mengenai pemaknaan penghinaan dalam konteks kemajuan umat manusia secara bersama-sama, bahkan di kalangan nasransi secara luas, pengakuan atas penyimpangan materialistik saat ini atas kotbah di atas bukit. Jadi, ketimbang memperlebar masalah dengan soal yang cuma masalah ringan ini, jauh lebih bijaksana kalau anda menyanggahnya saja. Kalau hal kecil macam ini saja sudah main ancam-ancaman, entah apa yang akan terjadi dengan dunia ini? Ini bukan kategori hujatan, lebih kepada ironi atas ajaran guru dengan kondisi saat sekarang(lihat konteks cerita keseluruhan, bukan main penggal kalimat). Dalam konteks luas, tidak heran dalam Konsili II, Vatican mencoba berubah dengan memberikan pengakuan adanya keyakinan lain di luar gereja yang sebenarnya tidak layak untuk "diimankan" secara misi gereja, sehingga meralat cara pikir sebelumnya bahwasanya di luar gereja adalah barbar. Meskipun banyak yang menentang, sejumlah kalangan gereja juga sudah meminta maaf atas peran gereja dalam pemberangusan budaya kalangan di luar mereka yang rekam jejaknya dapat dilihat di seluruh wilayah amerika (utara dan selatan), afrika, asia dan bahkan australia serta di Eropa sendiri (lihat perjalanan seorang pastor yang didokumentasikan BBC yang merekam jejak kekerasan agama di benua Eropa sebelum dipaksakan menyatu di bawah doktrin gereja). Selain itu juga keikutsertaan gereja (dan termasuk agama lain) dalam sejumlah kekerasan politik di dunia (sudah baca laporan KKR Argentina, Chili, Afrika Selatan, dsb?) juga menunjukkan bahwa instrumen agama telah dipakai dalam pemaknaan yang keliru, berbeda dengan pesan awal dari pembawanya. Tulisan mengenai itu juga bisa dibaca dalam berbagai buku mengenai persekusi atas nama agama yang masih terus terjadi di dunia hingga saat ini, termasuk perang dominasi kebenaran yang menyebabkan sejumlah pemikir filsafatg mengkritik pemakaian agama. Apa mereka ini sudah menghina agama? Sudah baca Karen Arsmtrong, kekecewaannya dan kemudian pencariannya? Dalam kacamata sempit, dia sudah "menistakan" agama, tapi apa dia benar-benar menghina, menghujat dsb? konteksnya jelas harus dilihat. Bagaimana dengan Salman Rushdie? Dia mewakili segmen yang berbeda, dan banyak ahli hukum yang menyebutkan bahwa dia memang sudah menyerang, melukai "insult" bahkan menghina. Hanya karena dia berada di Inggris saja yang menyebabkan dia tidak bisa ditarik dalam sistem hukum bagi vonis kematiannya. Bagaimana dengan kisah Passion of Christ dari Mel Gibson? Apa dia sedang menggemilangkan sang pembawa ataukah justru menistakan kalangan agama Yahudi? Makanya, kalau mau ngancam-mengancam, ulas dulu secara mendalam baik dari sisi teologis, sosiologis, bahkan perbandingan sistem politik, budaya dan sebagainya, termasuk soal semantis, etimologis, dstnya. Belum apa-apa sudah dituding penghinaan/penistaan. Emang konteksnya begitu? Enggak ah. Saya tidak mau berdebat soal agam
[budaya_tionghua] Re: Bagaimana Cara Membuat Orang Tidak Kurang Ajar Lagi terhadap Budaya Tionghoa?
Chen Gui Xin memang kasar. Tapi beri dia masukan. Lagi pula, kenapa anda harus bilang dia adalah anak muda? Apakah maksudnya supaya terjadi penundukan hirarki usia? Kalau begitu, atur saja agar setiap anggota milis menyebut usianya, menyebut urutan generasinya, dan menyebut gelar kepangkatannya. Agar jelas hubungan antar pribadi di sini. Sebenarnya yang saya soroti adalah pernyataan anda sendiri, apakah anda tahu bahwa kami, kalangan Rujia dan Daojia memang sudah lama berdebat? Budaya Tionghoanya adalah yang kami kembangkan dalam perdebatan itu. Kalangan Rujia menyerap juga kosmologi Tao. Kalangan Tao juga mengakui sistem dunia Rujia. Mengapa harus dikontraskan dengan budaya Tionghoa? Kami juga berdebat dengan kalangan Fojiao yang misalnya membawa relik dan mewartakan karma. Tapi kami pun menerima sejumlah konsep baik dari Fojiao bahwasanya hari akhir kehidupan bisa berbuah. Fojiao pun mau tidak mau mengakui sistem kami yang sudah berjalan lebih lama dan memakainya. Kalangan Daojia sendiri juga saling berbeda pendapat di internalnya mengenai dua aliran besar dan ratusan cabangnya. Yang satu menjadi sufi, yang lain menjadi alkemis, yang lainnya lagi menjadi pengusir setan. Itu realita Dao bahkan saling tuding mengenai kondisi supranaturalitas. Di Ru sendiri, ada pembelahan besar antara aliran Jia dan Jiao. Saling tuding soal metafisisnya alam semesta juga menjadi bahan panas. Belum lagi melihat sifat Zhongyong, ada perdebatan dominannya sisi konservatif-progresif, individu-sosial, dan sebagainya. Itu juga budaya Tionghoa. Ada tafsir Hokkian, Hakka, Tiociu, Yinghua, Hokcia, Hokciu, dan sebagainya atas berbagai ritual, nilai dasar dan sebagainya. Belum lagi ketika ada perbedaan lokasi rantau. Meski demikian, apakah mereka semua gila perpecahan? Bagaikan pasir di pantai terbuka yang luas? Sikap saya sih jelas, budaya Tionghoa itu adalah budaya keragaman para pasir yang disatukan oleh rekatan yang longgar, tapi tetap berada dalam alur pantai yang sama. Kalau mau mengutip Xiangtu Zhongguo dari Fei Xiaotong, budaya Tionghoa adalah bagaikan kumpulan partikel air yang diikat oleh medan magnetik di antara mereka. Air bisa bertumbukan, tapi mereka tidak ingin terpecah. Riak budaya mereka adalah gelombang interaksi di antara mereka. Kalau ada saling bertudingan, jelaskanlah secara budaya Tionghoa. Sejarah panjangnya menjadi cermin koq. Apa yang terjadi di masa kini hanyalah bagian dari interaksi yang sudah terjadi di masa lalu. Makanya pengetahuan sejarah menjadi penting untuk mencapai kebijaksanaan, bagi pihak manapun. Sejarah budaya Tionghoa adalah cermin untuk menilai. Rujia menuding Daojia itu banyak tahayul? Itu biasa, dan tetap budaya Tionghoa. Rujiao menuding Taojiao itu banyak tahayul? Itu baru luar biasa, karena dalam Rujiao sendiri juga banyak yang dituding kalangan Rujia sebagai tahayul. Taojia menuding Rujia itu sering tidak selaras dengan kehendak alam? Itu biasa, dan masih bagian budaya Tionghoa. Kalangan Tao alkemis menuding kalangan Rujia itu tidak selaras dengan alam? Itu baru luar biasa karena dalam Tao alkemis ini, mereka juga hendak menemukan pil keabadian usia yang melawan prinsip alam. Tapi kalau Rujia, Rujiao, Daojiao dan Taojia dituding mau menundukkan alam? Itu baru luar biasa, karena pada prinsipnya mereka bersama-sama justru hendak menjaga alam dari keserakahan, materialisme ekonomi dan penghisapan manusia. Untuk apa kehidupan ini? Itulah yang dicari budaya Tionghoa selama ini dalam interaksi pasang dan surut di antara Ru, Dao dan Fo(Mahayana)serta aagama rakyat yang selama ini mengharmonis menjadi "standar" budaya. Bahwa ada interaksi antara air 'budaya Tionghoa' dengan partikel asing yang kemudian larut di dalamnya adalah kenyataan juga. Kadang di satu bagian partikel asing itu tidak larut, atau sangat pekat sehingga memberi warna kepada airnya. Kadang di perairan luas, sebagian airnya menguap dan hilang lepas dari saudara partikel airnya. Itulah budaya Tionghoa. kadang partikel airnya berkohesi dan melekat pada benda asing atau beraksi kimia sehingga tidak lagi menjadi partikel air. Tapi bagaimanapun, saya berkeyakinan, dengan begitu banyaknya partikel air yang saling berinteraksi, tetap ada sebuah nilai dassar yang diyakini bersama, yang dikenali sebagai ciri air laut "budaya Tionghoa". Konstruksi aturan bumi yang dipimpin oleh Rujia, konstruksi aturan kosmik yang ditata secara Daojia, dan pedoman di luar hidup yang ditawarkan oleh Fojiao. dan mereka semua masih terus berkelindan dan berinteraksi dalam harmoni hidup. Manusia di empat penjuru lautan adalah bersaudara. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dedy" wrote: > > Anak muda, anak mudaapakah sikap anda yang "Kuran Ajar" ini sesuai > dengan Budaya yang anda bela? > > Saya tanya yah, kalau seorang Tionghoa pemeluk Konghucu bilang agama Tao > banyak tahayulnya? lalu dimana letak budaya Tionghoanya? > > Salam, > Dedy > > --- In budaya_tiongh
[budaya_tionghua] Re: Bagaimana Cara Membuat Orang Tidak Kurang Ajar terhadap Budaya Tionghoa? Class action!!!!
Sekaligus tambahan untuk peq Chan CT (perkembangan "peradaban" dalam segi waktu tidak selalu menjadikan manusia lebih beradab. Perbedaan barbar atau tidaknya lebih banyak ditentukan: apakah kepentingan orang banyak akan lebih dijaga ataukah justru dibiarkan dalam situasi sikut-sikutan yang mematikan. Sekarang ini dunia juga tidak bisa dikatakan "kurang barbar" dibandingkan 2500 tahun yang lalu. Coba saja hidup di Somalia, Filipina, atau daerah berkonflik lainnya. Bahkan di Indonesia sendiri, orang kecil sekarang ini merasakan sendiri bagaimana mereka dipaksa untuk ikut l'exploitation de l'homme par l'homme di antara mereka sendiri ketimbang misalnya 1000 tahun yang lalu. Ora ngedan ora ngeduman, begitulah kata primbon. Tes: Mau aman berjalan kaki di Indonesia, baik di jalanan kota ataupun dipegunungan di pedalaman daerah? Nanti dulu. Apakah ini juga boleh disebut kondisi barbar?). Tidak tepat namanya kebenaran besar atau kecil. Kebenaran adalah kebenaran. Hanya saja dalam kajian akademis, ada beberapa cara mendekati kebenaran, faktual, moral, atau inderawi. Buku 23 itu bukan sumber kebenaran, malahan sejumlah isinya justru mendistorsi pemaknaan kebenaran! Yang lebih sesuai adalah kebajikan besar atau kebajikan kecil, mengingat kebenaran adalah suatu patokan yang dianggap lebih konstan. Ada petuah: berbuat baik tapi dilakukan dengan tidak benar, bukanlah kebajikan. Berbuat benar tapi dilakukan dengan tidak baik, belumlah menjadi kebajikan. Berbuat baik harus juga benar, berbuat benar haruslah juga baik. Kalau harus memilih? Gunakan cara yang tidak menyelewengkan kebenaran, namun juga tidak meremehkan kebaikan. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai kebajikan kecil. Salah satu cerita soal kebajikan besar dan kecil ini adalah kisah dua biksu yang hendak menyebrang sungai yang cukup deras. Digambarkan bahwa saat itu tidak ada perahu, sementara hari sudah agak gelap. Seorang gadis sedang sedih menunggu di pinggir sungai, dia harusnya sudah pulang ke rumahnya di seberang sungai, tapi dia ketinggalan perahu terakhir. Apa mau dikata, dia mau menginap, tidak berani, menunggu di luar juga kedinginan. Nah dua biksu ini menanyakan mengapa si gadis masih di tepi sungai. Singkat cerita seorang di antara biksu menawarkan diri menggendong si gadis (tambahin aja biar rada ekstrim: cantik) ke seberang. Tentu saja si biksu temannya melotot, tapi enggak tahu mau bilang apa. Si gadis berpikir bahwa dirinya aman diseberangkan biksu yang sepengetahuannya selibat (untung dia enggak ketipu biksu gadungan). Menyeberanglah mereka. Selepas berpisah dengan si gadis, si biksu melotot tadi menegur temannya, "mengapa engkau melanggar pantangan untuk menyentuh wanita?". Si temannya menjawab, "kenapa engkau membebani pikiranmu sedemikian beratnya sampai sekarang? Gadis tadi kan sudah kutinggalkan di tepi sungai." Maknanya cukup mudah dicerna, yang dibicarakan adalah soal nilai mana yang lebih besar? Si biksu yang menggendong tadi, dia memang bertindak melanggar pantangan, tapi karena ada nilai lebih besar yang mengharuskannya begitu. Nilai ini adalah kebajikan. Apakah menggendong gadis tadi adalah ketidakbenaran? bisa ya, bisa tidak, kadang ada relatifitas yang juga nisbi. Tapi dari sudut pandang Tionghoa, pilihan si biksu tidak merugikan siapa-siapa toh? Tidak ada pelanggaran moral yang serius, yang ada adalah pilihan membiarkan si gadis lebih menderita ataukah berkorban sedikit tanpa menjadi keterlaluan? Yang menjadi sasaran kritik justru adalah biksu melotot tadi. Kenapa soal enteng dibawa jadi panjang? Dalam hal ini, si biksu penolong tidak meninggalkan kebenaran, dia mengakui bahwa dia menggendong si gadis, tapi dia tidak (maaf) memperkosanya atau pun mungkin merasakan kehangatan pelukan si gadis yang digendongnya. Dia menjaga pikirannya. Apakah kesucian dia ternoda? Apakah dia meninggalkan kebenaran? Rasanya jawabannya adalah tidak. Yang diambilnya adalah dalam konteks benar, perlu dan bahkan harus dilakukan. Apakah itu baik? bisa ya atau tidak, tapi mengingat tidak ada kerugian yang potensial ditimbulkannya (kalaupun ada, yaa, itu sih lebih mirip kisah-kisah kebetulan dalam film-film drama situasi; misalnya si gadis diusir warga desanya karena dianggap tidak suci lagi setelah digendong, atau si biksu tidak lagi bisa jadi budha), apa yang dilakukannya saya rasa akan dilihat kebanyakan orang adalah baik dan benar. Alhasil, dalam hal ini, kisah tadi bisa digolongkan sebagai kebajikan kecil. Bedanya dengan buku 8x3 adalah pada sebuah pilihan untuk membiarkan orang yang ngaco justru memenangkan taruhan. Apa itu boleh disebut kebajikan kecil? Konsekuensinya terlalu berbahaya kalau diteruskan. Dalam 8x3, yang terjadi hanya "kemurahhatian" kecil, tapi dengan konsekuensi yang tidak bajik, bahkan tidak benar. Ini justru yang sepatutnya dihindari. Ada cerita lain mengenai seorang pencuri yang kepergok tuan rumah. Karena tahu bahwa si pencuri bukanlah jahat, tapi kepepet hid
[budaya_tionghua] Re: Fw: 3 x 8 = 23 ???
Tidak masalah, sysa sendiri juga masih harus terus belajar. Btw, kalau saya mempergunakan istilah yang kurang dimengerti, boleh diklarifikasi. Karena tujuan milis ini untuk memperdalam pengetahuan, saya pikir tidak ada masalah dengan posting anda. Justru kewajiban mereka yang lebih pahamlah untuk meluruskan atau memberikan versi pembanding sehingga pengetahuan dan wawasan akan terbuka. Justru quote dari Einstein itu yang menarik. hehehehehe Salam --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "::KaNia::" wrote: > > Saya bukan orang Tionghoa dan sama sekali tidak ada darah tionghoa. Saya > Muslim Jawa yg sangat tertarik dengan Budaya Tionghoa. Apalagi perabotan yg > berornamen Chinesse. > > Jadi kalau saya posting cerita ttg Budaya Tionghoa dan ternyata itu > cuma cerita isapan jempol justru disitu saya belajar dimana cerita yg > sebenarnya dan mana yg bukan. > > Salam, >  > 'Two things are infinite: The Universe and Human Stupidity; and I'm not sure > about the universe.' > - Albert Einstein >
[budaya_tionghua] Re: Ajakan Kongkouw
Iya. Hehehe. Udah jarang buka milis nih, tahu-tahu udah banyak yang kelewat. Soal istilah Tionghoa tadinya mau kasih masukan dan bukti, tapi udah di-pending ya. Sebenarnya pertanyaannya sederhana aja, kita tidak maksa, tapi meminta kesadaran. Keberatankah mereka kalau dipanggil Tionghoa? Kalau tidak keberatan, tidak usah diperpanjang. Kalau keberatan, kita lihat bagaimana susah payahnya para leluhur itu menggolkan istilah tadi. Apa memang sudah tidak menghargai peran para leluhur yaa??? Padahal alasan mereka rasional, mengandung semangat dan mewakili sejarah budaya yang sangat panjang. Btw, soal Yanhuang Zisun memang ada beda antara versi kepercayaan rakyat (turunan Huangdi, tapi tentunya bukan Huangdi 98, hehehe) dan versi silsilah resmi. Kalau pakai versi silsilah sih, saya lebih pasnya berhubungan dengan Cheng Tang ketimbang Huangdi. Meski demikian, ada versi yang menghubungkan asal-usul Tang dari klan Ji ini dengan Yu. Lah, kalau ngikutin aliran darah murni sih, kita tes DNA aja sedunia, baru bisa kita petain ada berapa asal-usul laki-laki di dunia ini melalui kromosom Y-nya. Lagian, dalam konsep kebudayaan, darah cuma penyumbang sebagian kecil faktor. Yang lebih banyak adalah sistem budaya yang membesarkan orang itu. Banyak buktinya kan. Rekan Yongde udah pasti sangat paham soal itu. Salam Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "henyung" wrote: > > Kalau Yanhuang Zisun sih udah pasti bang :) > > Tapi katanya, orang selatan itu turunan barbar. Karena saya orang selatan > sangat mungkin juga turunan barbar. Apalagi kalau dilihat dari batang hidung, > garis keturunan saya kayaknya ada dari ras Kaukasia, bisa itu Persia, Arab, > India. Maklum banyak pedagang dari daerah tersebut yang campur aduk di daerah > selatan. > > Semua itu toh tidak mengubah asal mula marga saya, yang katanya perdana > menteri jaman Qin Mu Gong. Jadi kalau untuk keturunan kaisar sih ngai gak > berani dah. Cukup jadi keturunan perdana menteri saja. > > Hormat saya, > > Yongde > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Suma Mihardja wrote: > > > > Xiexie ni. > > > > Btw, kaisar yang mana? ini hoax atau mau bikin kejutan buat ngeramein biar > > pada datang? > > Gua juga mau ngaku turunan kaisar juga. Kaisar Kuning. Ni juga kan? > > > > Salam juga. > > > > > > > > > > > > > > > > --- On Fri, 12/4/09, henyung wrote: > > > > From: henyung > > Subject: [budaya_tionghua] Ajakan Kongkouw > > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > > Date: Friday, December 4, 2009, 2:07 PM > > > > > > > > > > > > > > > > Â > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > Rekan-rekan semua, > > > > > > > > Barusan ada ajakan kongkouw-kongkouw bersama dari ko Erik Eresen, bermula > > dari ajakan bung Abdi. > > > > > > > > Daripada kongkouw di Mangga Dua Square, ko Erik ngajak ketemuan saja di > > Galangan VOC. Biayanya lebih minim dan tempatnya lebih nyaman. > > > > > > > > Jadi, begini saja undangan kongkow-kongkow nya > > > > > > > > Tempat: Galangan VOC, Jl. Kakap No. 1, sebelah restoran Raja Kuring, Pasar > > Ikan, Jakarta Utara > > > > > > > > Tanggal: hari Minggu, 20 Desember 2009, karena sangat mungkin saudara > > saudari kita yang muslim tidak bisa datang kalau tanggal 18 > > > > > > > > Topik: kongkow-kongkow, kalau bung Abdi dan temannya yang turunan > > kekaisaran hadir, yah kita bisa saling mengenal > > > > > > > > Biaya: minim, tempat dan makanan ringan disubsidi > > > > > > > > Waktu: belum ditentukan, kemungkinan besar pagi menjelang siang, atau siang > > hari. > > > > > > > > Peserta: siapa saja boleh datang, mau sesepuh, sepuhan, anggota baru, > > anggota lama, tua muda pria wanita :) > > > > > > > > Hormat saya, > > > > > > > > Yongde > > >
[budaya_tionghua] Re: Fw: 3 x 8 = 23 ???
Maaf, saya sudah lama tidak ngikutin milis BT karena kesibukan yang sangat tinggi. Tapi belakangan karena ada yang forward ke saya dan mengatakan bahwa ini cerita yang bagus, saya komentari saja, yaaa. Saya tidak menyalahkan anda atau penulis sebelumnya (saya lihat ada juga message sebelumnya yang dikomentari oleh pe Chan Chun Tak yang memuji-muji cerita itu). Mendahului cerita ini, saya pernah menyampaikan keberatan saya terhadap sejumlah rohaniwan aliran Matakin mengenai kisah Yanhui ini. Semula saya berharap mendapatkan diskusi mengenai sumber dan otentifikasi, namun ternyata saya malah bingung dengan respons yang diberikan. Saya melihat ada problem pemahaman cerita. karena itu, saya lempar saja ke rekan-rekan, agar setidaknya bisa memberikan wawasan yang baru. Bagi saya, cerita ini adalah cerita rekaan belaka. Siaoshuo, dongeng, kisah yang tidak bisa dijamin keakuratannya, lebih-lebih ketika membawa-bawa nama Konghucu (Confucius) di dalamnya. Saya sendiri termasuk Rushi yang mendalami klasik rujia. Jadi saya familiar dengan mazhab-mazhab aliran dalam rujia. Dan dari penyelidikan saya, saya berani bilang bahwa ini kisah rekaan yang dibikin belakangan. Lucunya, kisah ini kelihatannya dikembangkan di Indonesia atau setidaknya Asia Tenggara dan bukan dari kalangan akademisi rujia. Apa motif pembuatan cerita ini? Saya cuma bisa menebak, tapi saya lebih kawatir kepada kesalahan tafsir yang sangat fatal yang bisa dibawakan oleh cerita ini. Literasi yang saya pakai mengandung peristilahan hanyu pinyin, dan untuk memudahkan bagi yang kurang familiar, saya tambahkan istilah populernya (meskipun ejaannya masing-masing menjadi tidak standar akibat banyaknya sistem transliterasi) Berikut ini sejumlah penjelasannya: 1. Dari sudut filosofis: Kalangan Rujia pada umumnya sangat memperhatikan etika, kebijaksanaan, kemanusiaan dan keadilan, namun semua itu harus dibungkus dengan kesusilaan. Bukti mengenai ini dapat diperiksa dari kitab-kitab yang dipakai kalangan Rujia, entah itu mulai dari kitab-kitab sebelum dan semasa Khonghucu (Kongzi, Confucius) dalam berbagai bentuknya seperti Sishu [Susi] minus Mengzi [Beng Cu, Mencius], wujing [go keng], yijing [yakking, iching], dan sebagainya, meskipun banyak juga isisnya yang baru dihimpun setelah Kongzi sudah tiada (termasuk juga restorasi belakangan yang dilakukan setelah era pembakaran buku pada dinasti Qin; Chin). Selain itu kita bisa memeriksa isi kitab-kitab selepas KHC, yaitu misalnya tulisannya Mengzi, Xunzi (Shuncu), Zhu Xi (Cu hie), Wang Yangming, Yan Yuan, Dai Zhen, dst, termasuk misalnya tafsir yang dibuat oleh Han Yu, Dong Zhongshu, Lu Jiuyuan, Wang Shouren, Zengzi, Zhang Zai, dsb yang jelas sangat banyak dan saya tidak bisa jelaskan satu demi satu. Pada dasarnya mazhab-mazhab itu pertama kalinya terbentuk secara umum menjadi empat jaman, yaitu masa pengajaran langsung (generasi pertama Rujia; Confucianism [meskipun istilah ini juga agak salah kaprah]), masa seratus aliran (hingga awal dinasti Han), masa pengukuhan (sepanjang dinasti Han) dan kemudian masa interaksi sanjiao (terutama tumbuhnya apa yang disebut Neo-Confucianism di jaman dinasti Song). Selepas empat tahapan ini, umumnya yang dijadikan pedoman Rujia adalah hasil dari dinasti Song tersebut (yang memasukkan kosmologi Taois-Mahayana). Harus dicatat bahwa selepas ini pun banyak ditemui tokoh-tokoh Rujia yang sangat ternama, khususnya mengingat bahwa Rujia pada dasarnya adalah ortodoksi negara dan sarana untuk menjaring kelas Sarjana yang akan menempati jabatan negara di semua tingkatan. Tentu saja muncul juga para penyamun yang menyimpangi sistem ujian negara yang berlangsung saat itu menjadi kroniisme dan pungli (korupsi). Tidak heran ada karya monumental jaman Ming yang dikenal sebagai the Scholar (rulinwaishi) yang mengkritik penyelewengan dalam sistem ujian negara. Saya tidak hendak berpanjang di sini, jadi saya ambilkan kesimpulannya saja. Dari sisi ini kalangan Rujia tidak pernah lepas dari tradisi akademik, sangat memegang kesusilaan dan tidak lepas dari kemanusiaan. Perdebatan yang ada antar mazhab atau pemikir Rujia tidak pernah lepas dari konteks tadi. Kalau sudah tidak mengindahkan tradisi akademik, tidak memegang susila atau tidak berfokus kepada kemanusiaan, dapat dikatakan itu tidak mewakili Rujia atau setidaknya dianggap Rujia sempalan. kalaupun pada suatu jaman terhadi penyelewengan, tradisi kalangan Rujia tetap beranggapan bahwa nama Rujia hanya "ditunggangi" dan bukan Rujia sejati. Itu seperti penjahat yang mengklaim dirinya adalah Hakim Bao hanya karena memakai pakaian hakim seperti rupa Hakim Bao, namun jelas bukan Hakim Bao itu sendiri. Dari sisi itu, kisah ini TIDAK DIKENAL DALAM TRADISI RUJIA. Saya juga mengakui ada beberapa versi kisah yang menjadi perdebatan, misalnya mengenai apakah KHC pernah berjumpa sungguhan dengan Laozi (Locu), namun secara umum kisah ini memang diakui meskipun apa yang dibicarakan tidak be
[budaya_tionghua] Re: Polemik Masyarakat Tionghoa di Indonesia
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, yekonia <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mohon bantuan sharing nya untuk : > > 1. Nama saya di Akta Lahir dan KTP ( termasuk semua dokumen yg ada sebelum menikah ) menggunakan Anton Adi Wijaya. Ayah saya ganti nama dan membuat SBKRI pada saat saya umur 15 tahun dari nama China ke nama Indonesia menjadi Liem Joni. Pada saat saya menikah tahun 2004, nama saya di Akta perkawinan oleh petugas catatan sipil ditambahkan nama Liem didepan nya sehingga menjadi " Liem, Anton Adi Wijaya ". Karena hal penambahan ini maka KTP dan KK saya akhirnya saya ubah juga dengan ada tambahan Liem didepan ( atas inisiatif saya sendiri untuk tujuan kesamaan data, walaupun di Akta tidak saya ubah juga ) > Namun pada saya perpanjang SIM dengan data nama terbaru, kenapa nama Liem nya tidak muncul ? Demikian juga di pasport ? > Maka saya mau bertanya atas dasar hukum apa petugas catatan sipil itu menambahkan nama Liem didepan nama saya ? Karena ini membuat saya bingung jika akan membuat dokumen dokumen baru lainnya seperti Buku tabungan bank, pencantuman nama lengkap saya di akta lahir anak saya, dll. > > 2. Sehingga saat anak laki laki saya lahir thn 2005 saya sengaja menambahakan sendiri nama Liem didepan nama anak saya "Liem Rafael Justin Wijaya", dengan maksud kasus seperti saya tidak terjadi saat anak laki laki saya menikah di kemudian hari ( menghindari penambahan nama marga di depan, padahal nama di akta lahir tdk ada nama tsb,) > > 3. Sebenarnya apakah bijaksana tindakan saya terhadap penambahan nama marga anak saya didepan ( seperti terurai di no 2 ) > > > 4. Dalam susunan nama saya dan ayah saya seharusnya nya nama marga dicantumkan di belakang, tapi kenapa oleh petugas ditaruh didepan. karena pasport saya pun yg menjadi Surname adalah WIJAYA bukan LIEM. Karena setahu saya Indonesia menganut sistem barat dalam hal Surname. ( susunan nama ayah saya di ganti nama seharusnya JONI LIEM ) > > 5. Sampai sekarang saya masih simpang siur mengenai masalah ini, apalagi anak ke dua juga mau lahir, apakah perlu lagi saya tambahkan nama marga di depan dgn maksud menghindari penambahan nama marga di depan yg sebenarnya tidak ada di akta lahir. > Karena bagaimanapun yg dianggap sah ( lebih kuat secara hukum ) kan Akta Lahir > > Note : Ayah saya memiliki SBKRI dan saya tidak. Jadi saya masih ikut SBKRI ayah. >Apakah karena saya secara pribadi tidak memiliki sendiri SBKRI makanya terjadiseperti ini.Saya kelahiran tahun 1977. > > Maaf jika terlalu panjang. > Terima kasih atas bantuannya. > > Sdr. Anton Adi Wijaya, berikut ini tanggapan ringkas saya: 1, 2, 3 dan 4: Bijaksana juga. Berdasarkan ketentuan terakhir, nama marga BOLEH DICANTUMKAN. Rujukannya ada pada Surat Menteri dalam Negeri tahun 2005. Pertimbangannya adalah hak budaya yang dimiliki oleh setiap komunitas. Hak budaya adalah bagian penting dari hak asasi manusia yang melekat pada individu bersangkutan. Dunia saat ini memang lebih terbuka, sekaligus juga lebih memperhatikan masalah multikulturalisme. Tidak ada yang salah apabila anda hendak mencantumkan nama marga Tionghoa anda. Permasalahannya adalah apakah anda hendak mempertahankan Liem sebagai nama marga dan sekaligus Wijaya (?) sebagai "nama keluarga" (?) atau hendak menegaskan pilihan. Ada kecenderungan pihak Catpil akan menganggap Wijaya yang dipakai berulang-generasi sebagai nama keluarga. Untuk keperluan ini, perlu ada kejelasan dan juga ketegasan. Ataukah ini akan menjadikan "identitas ganda" berwujud Liem (ABCD) Wijaya? Saya merekomendasikan anda untuk memilih mana yang akan menjadi prioritas dalam hal kolom "SURNAME" (dalam formulir KK terakhir dan juga paspor) harus anda isi. Kalau anda memang memutuskan LIEM, paspor anda bisa diralat (saya rekomendasikan jangan tunggu hingga jangka waktu paspornya habis, agar tidak berkesan hanya mencari sekedar mencari peluang saja). 4. ada masalah komputerisasi. Komputer diset oleh orang yang tidak memahami perbedaan konsep penamaan, sehingga hanya melakukan semacam "copy paste" dari program yang dibuat oleh orang Barat (fyi komputer saat ini masuk dari sumber Eropa Barat dan AS dan belakangan sudah dimasukkan program pesanan terintegrasi [meski belum penuh] untuk SIAK dan imigrasi, yang dibuat tanpa diadakan uji publik dulu di Indonesia, khususnya oleh tim materi Catatan Sipil yang saya pegang). Kenyataannya programnya terlanjur sudah disetujui Depdagri dan Dephukham sebagai pemegang otoritasnya (entah by design atau tidak). Sampai saat ini sinkronisasi antar data base belum berhasil dilakukan, mengakibatkan data Kependudukan dan Catatan Sipil di satu pihak dengan data Paspor (imigrasi) di pihak lainnya dan juga data seperti ijasah (STTB), data Pajak (NPWP) di pihak lain- lainnya masih memiliki perbedaan dalam format dan kolom penulisan. Yang pasti, anda tetap punya hak untuk menegaskan pilihan
[budaya_tionghua] Mohon Bantuan Kembali: Saatnya Bekerja di Lapangan
Rekan-rekan semua, kembali saya mintakan perhatian anda. (maklum, soalnya perhatian terhadap permasalahan ini kelihatannya kurang. Mungkin karena tulisan saya sebelumnya kurang jelas, panjang dan belum final. Namun kali ini saya memintakan perhatian lebih karena kegiatan yang dulu saya kemukakan, sekarangf sudah dimulai, dan agar kita tidak ketinggalan membantu, karena dampaknya cukup luas dan mendalam, khususnya bagi persoalan negara ke depan. Saya berharap, kalaupun rekan-rekan tidak bisa membantu langsung karena berbagai kendala, sebarkan pengumuman ini ke rekan-rekan yang bersemangat pengabdian, juga ke daerah-daerah yang memiliki masalah dan hendak menyelesaikannya, dan pendek kata ke siapapun yang berkenan membantu agar kegiatan ini dapat berjalan baik di seluruh pelosok nusantara, seberapa terpencilnya pun itu. Terima kasih sebelumnya untuk rekan Julieli, Ullysee, Esther Jusuf, Kenken, Bud's, Steeve, dll yang memberikan semangat. Wei De Dong Tian.) Rekan-rekan, menyambung posting saya beberapa waktu yang lalu mengenai penyelesaian permasalahan kewarganegaraan dan kependudukan secara crash program untuk memutus mata rantai lingkaran setan yang menyebabkan diskriminasi laten, maka diberitahukan Depdagri sudah menyelesaikan pembuatan surat edaran yang diperlukan, sehingga melengkapi apa yang dibuat oleh dephukham. Kini tantangannya ada di tangan kita dan rekan-rekan semua. Apakah kegiatan ini (yang memang masih belum sempurna, namun setidaknya memberi tawaran maju penyediaan jalan keluar) akan kita kerjakan atau akan kita abaikan. Saya terus terang tidak mendapatkan masukan apapun mengenai teknis dan usulan berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan, sehingga saya tetap berpegang kepada usulan yang saya buat waktu itu. Untuk singkatnya saya ulang berikut ini: Pelaksanaan Pemberian Dokumen Kependudukan bagi Mereka yang Status Kewarganegaraannya Sempat Terkendala 1. Sehubungan dengan keberadaan Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang baru (No. 12 Tahun 2006 dan 23 Tahun 2006), maka untuk mengatasi ketidaksinkronan permasalahan kewarganegaraan dan kependudukan akibat syarat yang timbal balik diterapkan untuk kedua bidang tersebut yang bisa jadi akan terus menimbulkan permasalahan hukum bagi kalangan "keturunan", maka akan diadakan pemberian dispensasi untuk menyelesaikan ketiadaan dokumen kewarganegaraan dengan memberikan pembuktiannya secara langsung dalam dokumen kependudukan (dengan demikian status kewarganegaraannya akan diberikan pembuktian langsung melalui KK/KTP baru yang akan diperolehnya). 2. Pemberian penegasan kewarganegaraan ini tidak boleh diartikan sebagai SBKRI model baru, sehingga oleh karenanya akan diterapkan dengan asas pasif dan hanya sekedar klarifikasi dengan proses yang akan digambarkan sebagai berikut: a. Mereka yang belum memiliki KK/KTP WNI namun karena hal tertentu masih menggantung statusnya (baik karena ditolak ataupun tidak diurus) karena dianggap asing atau stateless yang diakibatkan permasalahan hukum yang lalu-lalu, dapat memintakan dibuatkan KK dan KTP WARGA NEGARA INDONESIA cukup dengan melalui proses klarifikasi. b. Pemohon cukup mendatakan diri (format dibuat oleh depdagri, terlampir) kepada kantor yang ditunjuk (catatan sipil, kecamatan atau lainnya) dengan melampirkan dokumen pendukung yang ada (sederhana, fakultatif pendukung yang ada saja; kalau ada yang dirasakan berlebihan, harus dianggap tidak ada) untuk kemudian dikumpulkan dan dikirimkan oleh kantor tersebut kepada departemen Hukum dan HAM. c. Dephukham HANYA AKAN MEMERIKSA apakah nama-nama termaksud terdaftar sebagai warga negara asing ataukah tidak (prosedur pasif), dan kalau tidak, maka secara otomatis akan ditegaskan bahwa mereka tidak terbukti Warga Negara Asing, sehingga dapat memiliki dokumen kependudukan sebagai WNI. (Ingat bahwa dengan demikian stateless dan eks EPO PP 10/1959 juga akan terlindungi dan otomatis menjadi WNI, hal ini untuk mencegah terulangnya pengalaman SBKRI) d. Depdagri melalui instansi yang ditunjuk kemudian membuatkan dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan (KK/KTP) mana berjudul Warga Negara Indonesia (sama dengan mereka lainnya yang WNI baik karena kebangsaan [periksa kembali konsep asli dalam UU terbaru] maupun naturalisasi, dengan format yang sama juga). 3. Untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan ini, setiap orang/organisasi dapat membantu mengadakan sosialisasi, membantu pendataan dan penyampaian dokumen dengan cara-cara yang baik dan terkoordinasikan dengan benar. (Maksudnya agar tidak terjadi praktek percaloan, pemerasan dan sebagainya; sebaliknya agar upaya ini menjangkau pelosok terdalam, masyarakat luas seharusnya membantu dan melawan praktek yang tidak benar; apabila ada pihak yang menghalangi, harap segera dilaporkan untuk segera diantisipasi) 4. Untuk mencegah t
[budaya_tionghua] untuk Julielie dan Ulysee
Rekan Julielie dan Ullysee yang baik (dan juga rekan-rekan lain). Maaf, saya baru buka posting lagi karena ada kesibukan di daerah, salah satunya terkait dengan apa yang rekan-rekan tulis, dan dalam beberapa hal juga dengan pengakuan kalangan penghayat kepercayaan yang saya perjuangkan sejak lama juga dan perluasan gagasan hak kelompok miskin terhadap berbagai akses kebutuhan mereka. Dari surat rekan-rekan, saya merasa bahwa nampaknya rekan-rekan belum melihat posting saya sebelumnya mengenai persoalan Kewarganegaraan dan Adminduk, bahkan dalam UU yang baru. Saya sudah jelaskan bahwa persoalan kewarganegaraan dan kependudukan bagi stateless (khususnya kalangan Tionghoa yang "dianggap" asing karena tidak punya dokumen kependudukan yang mendukung) tidak akan pernah selesai karena ada "tabrakan" antara persoalan kewarganegaraan (Paspor, dll) dengan persoalan kependudukannya (KK/KTP). Masalahnya terletak dalam syarat yang dibuat masing-masing lembaga. Kewarganegaraan di bawah Dephukham, sementara Kependudukan di bawah Depdagri. Akibatnya mereka tidak sepenuhnya "diakui" sebagai penduduk. Misalnya akses terhadap BLT/SLT/JPS (meskipun mereka tidak akan minta, harusnya tidak membeda-bedakan), atau saat pemberian bantuan saat banjir besar tetap saja terjadi diskriminasi, padahal menurut sosiologisnya adalah sama-sama penduduk dan warga negara ini. Depdagri sampai saat ini masih mempersyaratkan "dokumen kewarganegaraan" (dengan kata lain SBKRI!!!) yang seharusnya sudah tidak diperlukan lagi, bagi pembuatan KK/KTP. Ada banyak alasan rasial yang dibuat-buat (keamanan, kecurigaan, dst) yang tidak akan saya uraikan lebih lanjut. Sebaliknya Dephukham kalau ada permintaan "SBKRI" (meskipun praktisnya harusnya sudah tidak, namun masih ada sisi yang bermuka dua), mereka akan memintakan surat pengantar RT/RW, Lurah/Camat. Sementara untuk membuat pengantar itu, tentunya RT/RW/Lurah/Camat tadi mempersyaratkan bahwa mereka sudah menjadi warganya (memiliki KK/KTP). Coba, kapan akan selesainya lingkaran setan ini Saya tidak menafikan apa yang dibuat oleh rekan-rekan di Pontianak sana, itu sudah cukup baik secara lokal. Namun tolong jangan lupa bahwa itu hanya akan menyelesaikan permasalahan KK dan KTP bagi mereka yang DOKUMEN KEPENDUDUKANNYA LENGKAP!!! Bagi kalangan seperti itu, paling banter kesulitannya adalah transportasi (kalau jauh tempat layanannya) atau kemalasan (maaf!) meskipun bisa jadi kemalasan itu juga diakibatkan ketakutan akan diperas kembali (padahal setahuku seharusnya program KTP nasional adalah gratis atau setidaknya hanya sekedar biaya ganti cetak maksimal RP. 10.000,00) atau dipersulit (padahal juga sudah ada ketentuan sanksi bagi pejabat yang mempersulit), atau merasa tidak dibutuhkan, atau merasa bisa didapat sewaktu-waktu dengan menyogok dan sebagainya. Yang penting, syarat itu adalah baku secara nasional, jadi tidak bisa diselesaikan secara daerah-perdaerah saja (kebijakan ada di pusat)!!! Saya tidak akan menganalisis satu persatu (sebagian saya sudah saya curahkan dalam tulisan-tulisan saya di beberapa terbitan), namun saya hendak tegaskan bahwa kebanyakan persoalan tidak selesainya KK/KTP seperti itu bisa dihindari apabila warga sendiri kompak untuk melawan praktek keliru tadi. Coba kalau semuanya ramai-ramai bikin KTP tanpa mau membayar sogok, coba kalau tidak ada yang sok murah hati dengan memberikan uang berlebihan atau memanipulasi data (mentang-mentang kaya), rasanya pelanggaran itu akan mengecil. Saya masih "agak" mentolerir uang transport (namun tidak bagi uang rokok atau uang ketik yang sudah menjadi tanggung jawabnya pribadi) bagi kurir di tingkat RT/RW yang hanya sekedar minta uang pengganti yang wajar untuk mengambil KK/KTP tersebut di kantor Camat (itupun bila memang tidak diongkosi dan jauh ngambilnya; tentu saja permintaan itu harus ditolak bilamana diambilnya dalam rangka administrasi, di kota yang sama atau tidak jauh alias tidak keluar biaya transport). Apakah ini budaya atau penyimpangan yang bisa diberantas? Tentu kita sendiri yang dapat membuat jawabannya. Kembali kepada soal yang saya utarakan dalam posting terdahulu. Bahwa untuk menyelesaikan permasalahan kalangan stateless tadi (dan bahkan semua yang tidak atau kurang lengkap dalam kepemilikan dokumen kependudukan/kewarganegaraan), saya ikut dalam sejumlah pertemuan untuk memutus rantai lingkaran setan tadi. Cara yang disepakati adalah sekedar "klarifikasi sederhana" yang melibatkan dua departemen yang paling terkait, yaitu Depdagri dan Dephukham. Mereka yang "bermasalah" itu cukup sekedar mendaftar dengan prosedur sederhana dan kalau tidak ada penolakan (stelsel pasif, harap diingat) maka mereka otomatis adalah WNI dan berhak atas KK dan KTP tanpa memerlukan prosedur kelengkapan dokumen!!! Masalahnya, kelihatannya posting saya kurang dapat respons dari rekan-rekan yang saya anggap pemerhati budaya, sosial atau hak asasi dan anti diskriminasi (m
[budaya_tionghua] Re: Apa yang didapat dari gathering.
Kalau yang dimaksudkan itu dvd yang saya pertunjukkan (dengan judul chinese acrobatics and lion dance; yang menggambarkan sejarah dan model teknik barongsay versi utara dan selatan), berhubung itu adalah turunan langsung dvd asli (hanya untuk keperluan mencegah kerusakan saat dibawa), saya cuma mengkopikannya satu untuk moderator. Hal itu terutama mengingat bahwa dvd tersebut ada dalam lindungan hak cipta. Saya memperbolehkan dvd dipertunjukkan hanya dalam lingkup terbatas, bertujuan pendidikan, tidak untuk digandakan kembali, dan tidak bertujuan ekonomis. Mohon hal ini diperhatikan. Terima kasih. NB. Mengenai kritisi saya terhadap UU Kewarganegaraan yang baru, khususnya mengingat adanya celah-celah hukum, yang tetap mengabaikan kenyataan adanya kelompok stateless yang sangat banyak jumlahnya. Penokohan seseorang yang mengandalkan politik uang untuk menggolkan produk hukum tanpa memperhitungkan substansi mendasarnya adalah berbahaya. Sekaligus saya klarifikasi bahwa yang dilakukan saudara RSN saat gathering adalah sindiran terhadap penokohan semacam itu. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Hendri Irawan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bu Lim Wiss, > > > > Kalao dvd Barongsai yang dipresentasikan di gathering itu bisa dicopy (hubungi moderator secara japri kalau mau). Yang dimaksud dengan "beli" maksudnya dvd kompetisi barongsai internasional 2007 di malaysia. Kalau itu memang dvd original langsung dari malaysia dan bayar bea masuk, makanya rada mahal. > > > > Hormat saya, > > Yongde > > > >_ > > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Lim Wiss > Sent: Wednesday, March 07, 2007 3:09 PM > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Subject: RE: [budaya_tionghua] Apa yang didapat dari gathering. > > > > Sekedar usul saja, > > File Gathering disimpan di folder budaya tionghoa. > > Orang yg ikut Gathering dikasih sourvenir yang menarik. > > Orang yg tidak ikut Gathering tidak dikasih sourvenir. > > Harus konsekuen sekalipun para panitia / moderator yg berhalangan hadir > tidak dikasih sourvenir. > > Soalnya saya berminat dgn lagu Imlek versi karikatur & Barongsai di > Gathering kemarin. > > Soalnya materi Barongsai kemarin itu penjelasannya lengkap (versi mandarin). > > Saat saya minta copy, orang yg berkepentingan bahwa Barongsai itu bisa > dibeli :-( > > Kalau lagu Imlek versi karikatur, Pak Nyoto janji mau email & copy ke CD > untuk saya. > > Rencana saya mau email ke teman kantor biar mereka tahu tentang Barongsai. > > -Lim Wiss- > > > > > > -- > No virus found in this incoming message. > Checked by AVG Free Edition. > Version: 7.5.432 / Virus Database: 268.18.7/710 - Release Date: 3/4/2007 1:58 PM > > > > -- > No virus found in this outgoing message. > Checked by AVG Free Edition. > Version: 7.5.432 / Virus Database: 268.18.7/710 - Release Date: 3/4/2007 1:58 PM > > > > [Non-text portions of this message have been removed] >
[budaya_tionghua] Re: Minta masukan, wawancara aktivis muda Tionghoa (Minta Klarifikasi)
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "thangoubheng" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > ...siapapun yang diluar paham Marxis, dan dgn bangganya kemudian >memproklamirkan diri sebagai > aktivist muda Tionghoa, rasanya yang di wakilinya adalah aktivist > Tionghoa Marxis dan bukan aktivist Tionghoa yang nasional. > ... > Thangoubheng yg besar di jalanan, dan sudah bertarung to > hell and back di 1998 dan tahun tahun berikutnya, tetap tidak pernah > berani menyebut diri sebagai aktivist. Bagi kaum jalanan ada golden > rule yg digunakan sbg parameter aktivist. Udah pernah masuk bui > belum??? Udah pernah dikejar team Mawar belum? Udah ketemu Sinhay > belum? Atau Marsilam? > Untuk sdr. Thangoubeng (apa benar begitu?): Saya tidak hendak berbasa-basi dengan anda. Saya selama ini memang tidak intens mengikuti milis BT ini karena sejumlah persoalan teknis, tapi saya kemudian dikejutkan oleh pernyataan anda yang menuding penyebutan nama saya oleh sdr. Kenken sebagai bagian dari aktifis, Tionghoa, marxis pula!!! Saya tidak tahu, referensi anda dari mana? Anda pernah berkenalan dengan saya dan mengikuti rekam jejak saya? Pernahkah anda berdiskusi dengan saya atau setidaknya membaca tulisan-tulisan saya? Bagaimana anda mempertanggungjawabkan pernyataan anda itu? Ataukah anda hanya seorang yang juga hanya sekedar mencari sensasi dengan melempar isu- isu murahan? Saya sendiri masih mempertanyakan posisi saya sebagai seorang aktifis, bukan karena saya meragukan pilihan diri saya dalam kegiatan di lapangan. Namun karena di dalam pengertian aktifis sendiri, terbelah di antara mereka yang terjebak dengan aktifisme (hura-hura demonstrasi atau avonturir) dan mereka yang menjadi pejuang sebenarnya (bahkan progresif sekalipun!!!). Saya berkehendak menjadi pejuang, tidak perlu berkoar-koar namun bekerja. Apabila saya mempergunakan pisau bedah analisis kelas, apakah dengan demikian saya otomatis tidak nasionalis? Nasionalisme macam apa juga yang hendak anda sebutkan? Chauvinisme nasionalistik atau kesatuan rasa sebagai bangsa di antara lautan umat manusia? Apa pula kriterianya, khususnya apabila ada embel-embel Tionghoa sebagaimana anda sebutkan? Ataukah anda hanya sekedar berteriak bahwa hati dan jiwa anda demi Indonesia (atau malah nasional yang lain???), namun lupa terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat kecil, marjinal dan tertindas yang tidak pernah berteriak nasionalisme namun menghayati apa artinya berbangsa itu? Apakah anda sendiri memenuhi kriteria tersebut? Nasionalisme yang bagaimana dan implikasi apa yang terjadi karena pilihan anda tersebut? Di mana posisi anda??? Apakah progresif itu salah? Apa pula pengertian avonturir versi anda? Avonturirkah saya??? Saya tidak memungkiri bahwa diri saya selalu berada dalam rangkaian kontemplasi dan kerja-kerja tanpa batas ideologi, ras, agama, etnis, suku dan kelas, dan terus berada dalam rangkaian pencarian arti menjadi manusia. Sebagai salah seorang mahasiswa berprestasi, saya bukannya menerima tawaran di lembaga papan atas, malahan justru masuk ke dunia gerakan, saat lulus justru memilih berkiprah di LBH dengan gaji seadanya, saat di LBH justru mengaktifkan pengorganisasian, dan akhirnya mundur dari LBH karena tidak setuju dengan keberadaan sejumlah Dewan Penyantun yang sebenarnya adalah pembela-pembela para pelanggar HAM dan koruptor. Saat itu, ikut memperjuangkan hak-hak beragama kalangan Khonghucu di MATAKIN dengan tanpa penggajian, juga aktif membantu kalangan "agama" dan "kepercayaan" lainnya yang tidak "diakui" sebagai agama oleh negara. Saat Khonghucu mendapatkan pengakuannya, saya malah mundur dari MATAKIN, salah satunya juga karena ketidaksesuaian pandang dengan beberapa petingginya yang terseret dalam arus kekuasaan dan materialisme semu. Avonturir??? Meski tidak lagi memiliki organisasi tetap, saya tetap ikut melawan kebijakan anti masyarakat miskin, masyarakat kecil yang ada di gang- gang becek, pinggir laut dan bedeng-bedeng. Ikut memperjuangkan nasib kalangan yang secara ideologis terpinggirkan secara tidak adil. Aktif juga menjadi dosen dengan gaji seadanya, hanya dengan harapan menularkan semangat belajar, mencari pengetahuan, menghargai kejujuran, kerja keras dan kebenaran serta mencintai kebudayaan. Terkadang membantu menerjemahkan buku atau membuat penelitian yang serius untuk mencari nafkah hidup sehari-hari (beberapa malah saya kirimkan ke milis BT ini), itu pun hanya mendapat penggantian ongkos tulis ala kadarnya. Terkadang saya bepergian ke sejumlah daerah untuk mempromosikan peraturan dan pelayanan publik yang tidak diskriminatif, sampai-sampai ada yang menuding bahwa pemikiran saya terlalu maju untuk masyarakat di sana yang elit-elitnya masih dipenuhi syakwasangka. Pernah dikeroyok sampai bonyok karena membela penumpang bis yang dimintai ongkos lagi padahal mereka sudah membayar. Pernah dihajar segerombolan brimob polisi dengan hasil rusuk patah karena menanyakan dasar huk