Re: [budaya_tionghua] Pria suku Khe

2008-11-13 Terurut Topik ChanCT
Lim Wiss yb,

Maaf, sekalipun menduga, tapi sampai sekarang masih belum yakin betul saya 
sedang bicara deengan seorang perempuan. Kira-kira betul, ya?!

Saya jadi mengerti sekarang, pernyataan anda beberapa hari ini hanyalah 
merupakan reaksi dari kenyataan hidup yang dihadapi, nenek-nya sendiri. Dan 
saya bisa setuju deengan kesimpulan yang dibuat kali ini. Bahwa itu hanyalah 
merupakan kasus khusus saja. Dan semua terjadi tergantung dari sifat/watak 
orang bersangkutan. 

Saya juga pernah ketemu seorang sahabat mengeluh dengan perlakuan ibunya, yang 
bukan saja cerewet tapi terlalu ikut campur urusan anak-anak yang sudah dewasa. 
Yaitu menghendaki anak lelaki dirumah tidak ikut campur urusan dapur dan 
tetek-bengek rumah-tangga, semua harus ditangani istrinya, ... lha itu 
dijamannya, dimana istri bisa jadi nyonya rumah yang tidak usah kerja, lalu ada 
pembantu-rumah tangga, ... hidup di HK kan harus suami-istri bekerja baru bisa 
menunjang ongkos hidup, mana bisa semua harus dikerjakan istri, yang juga sudah 
capek pulang dari kerja? Jadi, bagaimanapun juga sang suami harus ikut ambil 
bagian, bahkan bagian kerja yang lebih berat dari istri. Itu biasa dan 
sebaiknya begitu. Kalau putranya ikut beresin ranjang, selimut juga diomongin, 
lalu ngomel istrinya dibilang nggak ngerjain apa-apa, kan jadi ribut, ... dan 
dia nggak pikir, begitu istrinya ribut dengan ibunya, hati putranya itu 
saaakiiit.

Menjadi lebih susah mengatur ibu macam ini, yang ternyata berpegang teguh pada 
tradisi TIonghoa, orang-tua harus ikut anak lelaki. Tapi, begitu juga dianak 
laki yang ke-2 dan ke-3, ribut melulu dengan mantu-nya, sampai mereka 
kewalahan. Anak perempuan yang juga mau nampung dia, ibu ini berkeras nggak 
mau. Baru setelah ibu ini tidak bisa jalan sendiri, 1/2 tahunan terakhir 
hidupnya diusia 88, meninggal deengan penuh ketenangan dirumah anak perempuan.

Ya, Lim Wiss saya tetap berpendapat kasus demikian tentu harus diperlakukan 
secara khusus, itu hanya karena sifat/watak orang bersangkutan yang agak aneh. 
Saya yakin, hati ibu macam ini tetap baik-baik, hanya pengertiannya saja agak 
kuno, kurang memperhitungkan segi lain. Berkeras pegang pada tradisi, tanpa 
melihat perubahan jaman. Terimalah apa adanya, tidak perlu berbenturan sampai 
merusak hubungan kekeluargaan. Berilah toleransi lebih tinggi dan terimalah 
orang-tua macam itu sebagai orang-tua yang tetap harus dihormati. Berilah 
penerangan dengan lebih sabar, tanpa harus menyamber omelannya dengan 
marah-marah. Bisa, dong. Heheheee, ...

Salam,
ChanCT

  - Original Message - 
  From: Lim Wiss 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, November 13, 2008 4:19 PM
  Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku Khe


  Kesimpulan :

   

  Kita tidak bisa komplain atas sikap mertua terhadap mantu wanita.

  Yang bisa kita lakukan, hanya janganlah kita seperti mereka.

   

  Janganlah kita sebagai orang tua mendikte anak & mantu kita.

  Saat mereka melawan, trus kita ucapkan kata-kata "Put Hao" atau "Anak tak 
tahu balas budi" dan sejenisnya.

   

  Kita harus ingat dalam dunia ini ada ikatan jodoh sehingga kita bisa bertemu, 
berkumpul bahkan menjadi keluarga.

  Banyak orang tua suka mengeluh anak & mantu tidak pedul tapi mereka tidak 
pernah sadar jika mereka pernah melukai perasaan anak & mantu mereka.

  Mereka hanya tahu perasaaan mereka saat tidak seorangpun anak & mantu yang 
peduli dengannya.

   

  Semua orang yang baru menikah tentu senang berkumpul dengan dua belah pihak 
keluarga.

  Tapi orang tua tidak pernah sadar mengapa setelah anak & mantu mereka menikah 
sekian lama menjadi tidak peduli dengan mereka.

   

  Sekedar renungan...

  Soalnya Lim Wiss melihat nenek Lim Wiss dulu pernah memperlakukan anak 
laki-laki dengan perempuan secara tidak adil.

  Akhirnya kini nenek Lim Wiss harus tinggal sendirian.

  Bukan kita sebagai anak muda tidak peduli tapi coba kita renungkan jika kita 
dimaki & dimarahi apapun yang kita lakukan apakah kita masih mau peduli 
terhadap orang tsb?

   

  Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai anak perempuan harus terima 
kenyataan jika orang tua kita tidak peduli pada diri kita saat kita susah, 
bahkan menutup pintu mereka rapat-rapat karena merasa anak perempuan setelah 
menikah adalah milik keluarga laki-laki atau mertua tidak peduli terhadap mantu 
perempuan yang sakit.

   

  Kejadian ini bukan hanya menimpa suku khe tetapi semua suku. Permasalahannya 
bukan pada suku tetapi pada sifat orang.

   

  Rgds,

  Lim Wiss

   


--

  From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
Dewi Chandra
  Sent: Thursday, November 13, 2008 2:28 PM
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
  Subject: [budaya_tionghua] Pria suku Khe

   

Dear rekan 2x semua

 

Saya setuju pendapat rekan Lim Wiss di bawah ini :

"

RE: [budaya_tionghua] Pria suku Khe

2008-11-13 Terurut Topik Lim Wiss
Kesimpulan :

 

Kita tidak bisa komplain atas sikap mertua terhadap mantu wanita.

Yang bisa kita lakukan, hanya janganlah kita seperti mereka.

 

Janganlah kita sebagai orang tua mendikte anak & mantu kita.

Saat mereka melawan, trus kita ucapkan kata-kata "Put Hao" atau "Anak tak
tahu balas budi" dan sejenisnya.

 

Kita harus ingat dalam dunia ini ada ikatan jodoh sehingga kita bisa
bertemu, berkumpul bahkan menjadi keluarga.

Banyak orang tua suka mengeluh anak & mantu tidak pedul tapi mereka tidak
pernah sadar jika mereka pernah melukai perasaan anak & mantu mereka.

Mereka hanya tahu perasaaan mereka saat tidak seorangpun anak & mantu yang
peduli dengannya.

 

Semua orang yang baru menikah tentu senang berkumpul dengan dua belah pihak
keluarga.

Tapi orang tua tidak pernah sadar mengapa setelah anak & mantu mereka
menikah sekian lama menjadi tidak peduli dengan mereka.

 

Sekedar renungan...

Soalnya Lim Wiss melihat nenek Lim Wiss dulu pernah memperlakukan anak
laki-laki dengan perempuan secara tidak adil.

Akhirnya kini nenek Lim Wiss harus tinggal sendirian.

Bukan kita sebagai anak muda tidak peduli tapi coba kita renungkan jika kita
dimaki & dimarahi apapun yang kita lakukan apakah kita masih mau peduli
terhadap orang tsb?

 

Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai anak perempuan harus terima
kenyataan jika orang tua kita tidak peduli pada diri kita saat kita susah,
bahkan menutup pintu mereka rapat-rapat karena merasa anak perempuan setelah
menikah adalah milik keluarga laki-laki atau mertua tidak peduli terhadap
mantu perempuan yang sakit.

 

Kejadian ini bukan hanya menimpa suku khe tetapi semua suku. Permasalahannya
bukan pada suku tetapi pada sifat orang.

 

Rgds,

Lim Wiss

 

  _  

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Dewi Chandra
Sent: Thursday, November 13, 2008 2:28 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Pria suku Khe

 


Dear rekan 2x semua

 

Saya setuju pendapat rekan Lim Wiss di bawah ini :

"Tetapi yang Lim Wiss lihat dalam kehidupan sehari-hari cenderung anak
laki-laki dituntut memperhatikan & membela keluarga laki-laki.

Wanita yang sudah menikah, harus memperhatikan keluarga laki-laki pula. Ini
yang Lim Wiss rasa tidak adil dalam kehidupan sehari-hari.

 

Saya merasa ada ketidakadilan dalam antara laki dan perempuan, bahwa masih
ada keluarga laki yang menuntut dan menanamkan "dokrin" bahwa menantu
perempuan harus ikut pihak laki2x (dalam arti harus
mengutamakan,memperhatikan)

Bila mertua pihak laki2x nya pun care pada pihak menantu, saya pikir tidak
ada masalah karena toh setelah menikah seharusnya ortu tua pihak laki atu pr
adalah orang tua anak/menantunya juga.Tapi bila sebaliknya bila pihak ortu
laki terkesan sikap "gila hormat" maksudnya kita harus hormat2x dengan
mereka,padahal kita sebagai menantu (bila bertemu) dianggap (diajak bicara)
pun tidak, bisa dibayangkan bagaimana perasaaan menantu perempuan?Dalam hal
ini sebagai suami pun "tidak bisa apa2x" menuruti kehendak ortunya

Saya kok melihat justru laki2x di luar suku khe tidak begitu.bhakan begitu
sayang pada keluarga istrinya.

Saya berusaha tidak menyamakan semua lakix suku khe begitu,(mohon maaf bila
ada yg tersinggung yah)  
tapi begitula yang terjadi.

Jadi, ungkapan lebih baik punya anak perempuan lebih baik pun dalam hal ini
tidak berlaku, bagaimana bisa berlaku (jangankan untuk tinggal /dirawat)
bila orang tua /saudara pihak ce datang ke rumah anak/menantunya saja tidak
dianggap/tidak diajak bicara?

Sedangkan bila orang tua/saudara pihak laki datang, wah, bagaikan mengadakan
pesta.

Bisa dibayangkan bgm perasaan pihak perempuan??

Jadi, saya masih berpikir ada budaya orang tua dulu yang masih KOLOT dan
TIDAK ADIL,  ini SUSAH DIUBAH,karena ini seakan sudah menjadi prinsip
hidup.Terkadang saya berpikir, apa mereka yang sudah sepuh itu & KOLOT,
tidak berpikir bagaimana bila anak perempuan mereka yang diperlakukan seperi
itu???

 

Rgds

Dewi 

 



Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-12 Terurut Topik gsuryana
Orang tua hidup terpisah dengan anak selama masih sehat dan mampu tentunya 
solusi terbaik bila hidup terpisah, dan menjadi kurang baik disaat orang tua 
sudah mulai pikun/sakit sakit an.

Bisa dibayangkan disaat kita sebagai manusia yang sudah renta, teman 
seangkatan sudah sedikit karena ditinggal mati, kondisi fisik sudah kurang 
memadai, tentunya harapan orang tua mendapatkan perhatian dari putra/i nya.
Dan patut diingat yang namanya orang tua selama masih hidup akan tetap dan 
selalu menganggap anak anak nya sebagai anak anak yang masih kecil, dan hal 
ini acapkali menimbulkan kesalah pahaman bila hidup satu atap.
Solusinya harus disiapkan sebelum anak menikah, baik anak lelaki maupun anak 
perempuan sudah harus selalu siap membantu orang tua disaat sudah renta.
Minimal calon mantu bisa mengerti bahwa nantinya akan mendapatkan 'beban' 
tanggung jawab yang tidak ringan.
Mengenai anak perempuan yang lebih perhatian, sebenarnya juga sedikit 
keliru, karena disaat anak perempuan memberi perhatian kepada orang tua nya, 
minimal harus seijin suaminya, agar hubungan suami istri tidak terganggu 
oleh urusan 'mengurus' orang tua.

sur.



From: ChanCT

Duuuh Maaf Lim Wiss, ... rupanya saya salah menangkap maksud-mu, ya.

Nah, kalau yang dimaksudkan pihak lelaki dituntut harus lebih memperhatikan 
keluarganya sendiri, tentu saya juga berpendapat, tidak seharusnya begitu. 
Baiknya, prinsip anak harus berbakti dan memberikan perhatian pada orang-tua 
sedapat mungkin tetap dilaksanakan. Bagaimana pelaksanaannya, tentunya tidak 
bisa melihat kondisi berbagai pihak yang mana harus didahulukan dan 
diutamakan. Tidak perlu dipukul rata dan ditentukan keluarga pria harus 
didahulukan atau diutamakan.

Saya berpendapat begini, jauhnya tempat tinggal bukan halangan bagi si anak 
memberi perhatian pada orang-tua. Perhatian juga tidak berarti harus tinggal 
bersama sebagai jalan pemecahannya. Lihatlah kondisi orang-tua bersangkutan, 
disaat kesehatan masih cukup baik dan kuat segalanya bisa dikerjakan sendiri 
dengan baik dan tak perlu dikuatirkan, ... tentu dibiarkan hidup sendiri 
setelah diajak hidup/tinggal bersama tidak mau, boleh dibiarkan sesusai 
kehendaknya. Bisa dilakukan dengan telpon sekali-kali, diajak ngobrol, ... 
dan sebulan-dua bulan atau bahkan setahun dua tahun dikunjungi, biar dia 
bermain dan mengenal cucu-cucunya, ...

Sebaliknya, disaat itu kalau kita melihat pihak orang-tua istri perlu 
bantuan, kita juga harus berani menarik untuk hidup bersama lebih dahulu, 
untuk memberikan perhatian dan bantuan. Dan itu tidak bisa diartikan si pria 
sudah direbut oleh mertua, ... Kenapa harus begitu? Tentu sesuai deengan 
kebutuhan, orang-tua sendiri masih kuat segala bisa sendiri, sedang mertua 
sudah tidak bisa hidup sendirian.

Saya pun berpandangan, anak sudah besar kalau berkeluarga ya biarlah mereka 
hidup sendiri, sekali-kali saja bertemu makan bersama atau bertamasya 
bersama, ... biar kurangi kemungkinkan terjadi tengkar yang tidak diperlukan 
antara ibu dan sang mantu. Selama kami bisa berdikari segalanya, sekalipun 
sudah pensiun dan tidak berpenghasilan, rasanya juga hidup berduaan saja 
dengan istri dirumah sendiri akan lebih senang, tidak ada yang ganggu. 
Kenapa harus ikutin tradisi hidup bersama anak lelaki? Tak usah begitu, 
ambil enaknya saja. Tapi, kalau udah tinggal seorangan, kok rasanya seperti 
dibanting sepi, entah gimana melalui hidup begitu, ... Disaat itu, mungkin 
baru dipikirkan hidup bersama anak-anak, kalau mereka menyambut hangat. Dan, 
seandainya bisa ada pilihan, pilihan pertama saya, rasanya juga akan lebih 
senang dan segera cocok kalau ikut anak perempuan, ya. Kan, yang ngurus 
rumah biasanya perempuan, jadi lebih gampang menyesuaikan diri dan perasaan 
akan lebih dekat. Kalau ketemu mantu perempuan ada kemungkinan kurang cocok, 
jadi bikin susah semua pihak, ... buat apa? Tentu semua itu juga masih harus 
dilihat kondisi ekonomi anak-anak nanti, dan kalau perlu digilir juga boleh. 
Misalnya sebulan tinggal di rumah putra, sebulan berikut dirumah putri, juga 
boleh. Biar nggak bosan dan tidak terlalu membebani satu anak. Yang penting 
anak-anak bisa memberikan peduli dan perhatian pada orang-tuanya sendiri 
yang dengan susah payah membesarkan mereka. Heheheheee, ...

Salam,
ChanCT


- Original Message - 
From: Lim Wiss




.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:[EMAIL PROTECTED] 
ma

Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-12 Terurut Topik ChanCT
Duuuh Maaf Lim Wiss, ... rupanya saya salah menangkap maksud-mu, ya. 

Nah, kalau yang dimaksudkan pihak lelaki dituntut harus lebih memperhatikan 
keluarganya sendiri, tentu saya juga berpendapat, tidak seharusnya begitu. 
Baiknya, prinsip anak harus berbakti dan memberikan perhatian pada orang-tua 
sedapat mungkin tetap dilaksanakan. Bagaimana pelaksanaannya, tentunya tidak 
bisa melihat kondisi berbagai pihak yang mana harus didahulukan dan diutamakan. 
Tidak perlu dipukul rata dan ditentukan keluarga pria harus didahulukan atau 
diutamakan.

Saya berpendapat begini, jauhnya tempat tinggal bukan halangan bagi si anak 
memberi perhatian pada orang-tua. Perhatian juga tidak berarti harus tinggal 
bersama sebagai jalan pemecahannya. Lihatlah kondisi orang-tua bersangkutan, 
disaat kesehatan masih cukup baik dan kuat segalanya bisa dikerjakan sendiri 
dengan baik dan tak perlu dikuatirkan, ... tentu dibiarkan hidup sendiri 
setelah diajak hidup/tinggal bersama tidak mau, boleh dibiarkan sesusai 
kehendaknya. Bisa dilakukan dengan telpon sekali-kali, diajak ngobrol, ... dan 
sebulan-dua bulan atau bahkan setahun dua tahun dikunjungi, biar dia bermain 
dan mengenal cucu-cucunya, ...

Sebaliknya, disaat itu kalau kita melihat pihak orang-tua istri perlu bantuan, 
kita juga harus berani menarik untuk hidup bersama lebih dahulu, untuk 
memberikan perhatian dan bantuan. Dan itu tidak bisa diartikan si pria sudah 
direbut oleh mertua, ... Kenapa harus begitu? Tentu sesuai deengan kebutuhan, 
orang-tua sendiri masih kuat segala bisa sendiri, sedang mertua sudah tidak 
bisa hidup sendirian. 

Saya pun berpandangan, anak sudah besar kalau berkeluarga ya biarlah mereka 
hidup sendiri, sekali-kali saja bertemu makan bersama atau bertamasya bersama, 
... biar kurangi kemungkinkan terjadi tengkar yang tidak diperlukan antara ibu 
dan sang mantu. Selama kami bisa berdikari segalanya, sekalipun sudah pensiun 
dan tidak berpenghasilan, rasanya juga hidup berduaan saja dengan istri dirumah 
sendiri akan lebih senang, tidak ada yang ganggu. Kenapa harus ikutin tradisi 
hidup bersama anak lelaki? Tak usah begitu, ambil enaknya saja. Tapi, kalau 
udah tinggal seorangan, kok rasanya seperti dibanting sepi, entah gimana 
melalui hidup begitu, ... Disaat itu, mungkin baru dipikirkan hidup bersama 
anak-anak, kalau mereka menyambut hangat. Dan, seandainya bisa ada pilihan, 
pilihan pertama saya, rasanya juga akan lebih senang dan segera cocok kalau 
ikut anak perempuan, ya. Kan, yang ngurus rumah biasanya perempuan, jadi lebih 
gampang menyesuaikan diri dan perasaan  akan lebih dekat. Kalau ketemu mantu 
perempuan ada kemungkinan kurang cocok, jadi bikin susah semua pihak, ... buat 
apa? Tentu semua itu juga masih harus dilihat kondisi ekonomi anak-anak nanti, 
dan kalau perlu digilir juga boleh. Misalnya sebulan tinggal di rumah putra, 
sebulan berikut dirumah putri, juga boleh. Biar nggak bosan dan tidak terlalu 
membebani satu anak. Yang penting anak-anak bisa memberikan peduli dan 
perhatian pada orang-tuanya sendiri yang dengan susah payah membesarkan mereka. 
Heheheheee, ...

Salam,
ChanCT


- Original Message - 
  From: Lim Wiss 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, November 12, 2008 12:49 PM
  Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe


  Sdr. Chan,

   

  Memang seharusnya spt itu.

   

  Tetapi yang Lim Wiss lihat dalam kehidupan sehari-hari cenderung anak 
laki-laki dituntut memperhatikan & membela keluarga laki-laki.

  Wanita yang sudah menikah, harus memperhatikan keluarga laki-laki pula. Ini 
yang Lim Wiss rasa tidak adil dalam kehidupan sehari-hari.

   

  Bagaimana jika dalam keluarga wanita, orang tua tidak memiliki anak laki-laki 
apakah harus tinggal sendirian tanpa diperhatikan oleh anaknya atau mantunya?

  Jika demikian halnya tentu kasihan sekali orang tua yang tidak memiliki anak 
laki-laki, bukan?

   

  Bagaimana pula anaknya yang tinggal di Jakarta, sementara orang tuanya masih 
tinggal di daerah?

  Kadang yang membuat Lim Wiss semakin merasa ketidakadilan dimana orang tua 
menuntut anak laki-laki tinggal bareng dengan mereka tetapi anak perempuannya 
diminta tinggal terpisah dari mertua.

  Termasuk perhatian orang tua, dimana anak laki-laki & mantu diminta membela 
keluarga laki-laki tetapi anak perempuan & suami juga harus membela keluarga 
perempuan. Kok jadi mau menang sendiri J

   

  Jika orang tua sudah tidak adil terhadap anak & mantu, bagaimana anak & mantu 
bisa memperlakukan orang tua dengan adil?

  Ingat kita semua manusia memiliki perasaan. 

  Apa yang kita perlakukan terhadap anak, anak bisa menilai akhirnya saat orang 
tua sudah tua tidak sadar anak akan memperlakukan kita sama spt apa yang kita 
perlakukan pada mereka saat mereka menjadi anak.

   

  Mengapa menurut Lim Wiss anak itu titipan Tuhan, mungkin istilah lain adalah 
jodoh.

  Ada anak yang hanya lahir lewat kita tetapi meninggal sewaktu masih bayi atau 
remaja. 

  

Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-12 Terurut Topik gsuryana
Pada umumnya orang tua membesarkan putra putrinya bisa sampai di atas 17 Tahun, 
itu Budaya Asia, sedang budaya bule yang modern biasanya anak usia 17 tahun 
sudah di usir usir untuk mandiri.

Jadi kebebasan seorang putra setelah menikah dan tidak memperdulikan lagi orang 
tua biasa nya terjadi di budaya bule.
Dan mohon di ingat didalam budaya bule orang tua yang sudah menjelang pikun 
bisa masuk panti jompo yang memiliki fasilitas aduhai, sedang untuk budaya asia 
panti jompo masih belum populer.

Yang mana yang lebih baik, silahkan pilih sendiri, bila si anak memang merasa 
setelah menikah bisa mandiri, dan tidak mengurus orang tua lagi, siapapun tidak 
akan ada yang melarang, dalam hal ini yang terjadi menjadi Cengli- Bocengli, 
dan didalam pergaulan biasanya menjadi bahan gossip, semisal memiliki kemampuan 
hidup/membantu orang tua, sedang dilain pihak orang tua hidup kesepian, 
tentunya yang melihat orang lain bukan lagi didalam keluarganya.

Budaya Modern ntu seperti apa sih bila diaplikasikan didalam kehidupan sebuah 
rumah tangga ?

sur. 
  - Original Message - 
  From: Lim Wiss 

  Kalau menurut pendapat saya itu tergantung pada prinsip anak ybs.

   

  Ada teman saya, ia anak laki-laki satu-satunya tetapi ia mengutamakan 
keluarganya.

  Mamanya tinggal sendirian di rumahnya, sedangkan anak satu-satunya tinggal 
terpisah dari mamanya.

  Ia tinggal cukup jauh. 

  Apakah mamanya komplain? Tidak juga karena anaknya tegas, tinggal terpisah 
dari mamanya.

   

  Itu prinsip yang harus ditanamkan. 

  Anak yang sudah menikah harus tinggal terpisah dari orang tua. 

  Mengapa? Karena kita sudah dewasa berani menikah, berarti berani mandiri 
tanpa tergantung pada orang tua.

  Orang tua juga harus ingat anak itu bukan investasi kita di hari tua. 

  Anak itu hanya titipan Tuhan, ia akan menjadi orang tua bukan anak-anak lagi 
yang harus kita dikte atau kita lindungi hingga kita meninggal.

   

  Jadi kembali lagi ke prinsip anak ybs. Kita tidak boleh mendikte prinsip mana 
yang benar.

  Sekarang sudah jaman modern. 

   

  Rgds,

  Lim Wiss


RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-12 Terurut Topik melani chia
Tdk tergantung jaman juga tdk tergantung  agama,
keluarga kami salah satu yg tdk ngerti soal agama
kalau hari ini anak2nya berbakti,krn kami ingat perjuangan
org tua,dari tdk ada bisa lebih baik,bahkan lebih baik dari
tetangga disekeliling,pengaruhi anak selagi masih kecil
yakin, mau punya bini org apa juga,mau pindah kemana 
juga ingat terus sama org tua,tapi org tua juga tdk boleh
sirik sama mantu,mantu perempuan tdk ada yg bekerja
idup enak,lengkap,pembantu,suster,supir,tingal terpisah,
org tua ngak ganggu,bininya mau bantu keluarganya biarin aja
berarti malah bangga ,anak lakinya bisa bantu org lain,selama  tdk
melupkan org tuanya.
 
Kalau punya mertua yg sirik,biasanya ibu mertua,perlu juga direnungkan
kalau suami kita makin lama makin baek mah,..boleh juga lah jd org bisu,
tuli,kadang belagaK buta,..apa lagi kalau anaknya mertua,sukses luar biasa
atau punya title dan menjd org penting,kewajiban juga jd mantu berbakti,nurut
bahkan berterima kasih,...sekarang di Jakarta byk mertua yg takut sama mantu
perempuan,jg byk mama dari pihak perempuan bawa mantu cowo sama anak
perempuanya diajak tinggal dirumah perempuannya.

Lain halnya kalau bini sudah banting tulang,cari duit,harus urus suami, 
anak,harus urus mertua,masih jg disirikin,..lama2 jg cerai.


--- On Tue, 11/11/08, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Tuesday, 11 November, 2008, 5:15 PM






Maksudnya hubungan dng agama apa? Org jaman dulu klo merit kan jauh2, jadi 
otomatis lebih urusin keluarga cowo. Tp jmn skrg katanya dah terbalik deh, 
banyak yg ngomong mending punya anak cewe skrg, dah tua ada yg urusin, klo laki 
mah payah, ikut bini mlulu, yg diurusin cuma keluarga bini. Hehehehe
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT


From: Dewi Chandra <[EMAIL PROTECTED] co.id>
Date: Tue, 11 Nov 2008 12:38:10 +0800 (SGT)
To: 
Subject: [budaya_tionghua] Pria suku khe








Dear all,
 
Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"
Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak susah yah 
mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???
Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, bahwa 
setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.
Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada hubungannya dengan 
agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?
 
Rgds
Dewi


Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
 














  

RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-12 Terurut Topik melani chia
Ada pengecualian kalau tdk punya anak laki,waktu anak perempuan
menikah,kalau keluarga cowo setuju,mantu pria ikut keluarga perempuan.



--- On Wed, 12/11/08, Lim Wiss <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Lim Wiss <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Wednesday, 12 November, 2008, 12:49 PM








Sdr. Chan,
 
Memang seharusnya spt itu.
 
Tetapi yang Lim Wiss lihat dalam kehidupan sehari-hari cenderung anak laki-laki 
dituntut memperhatikan & membela keluarga laki-laki.
W anita yang sudah menikah, harus memperhatikan keluarga laki-laki pula. Ini 
yang Lim Wiss rasa tidak adil dalam kehidupan sehari-hari.
 
Bagaimana jika dalam keluarga w anita , orang tua tidak memiliki anak laki-laki 
apakah harus tinggal sendirian tanpa diperhatikan oleh anaknya atau mantunya?
Jika demikian halnya tentu kasihan sekali orang tua yang tidak memiliki anak 
laki-laki, bukan?
 
Bagaimana pula anaknya yang tinggal di Jakarta, sementara orang tuanya masih 
tinggal di daerah?
Kadang yang membuat Lim Wiss semakin merasa ketidakadilan dimana orang tua 
menuntut anak laki-laki tinggal bareng dengan mereka tetapi anak perempuannya 
diminta tinggal terpisah dari mertua.
Termasuk perhatian orang tua, dimana anak laki-laki & mantu diminta membela 
keluarga laki-laki tetapi anak perempuan & suami juga harus membela keluarga 
perempuan. Kok jadi mau menang sendiri J
 
Jika orang tua sudah tidak adil terhadap anak & mantu, bagaimana anak & mantu 
bisa memperlakukan orang tua dengan adil?
Ingat kita semua manusia memiliki perasaan. 
Apa yang kita perlakukan terhadap anak, anak bisa menilai akhirnya saat orang 
tua sudah tua tidak sadar anak akan memperlakukan kita sama spt apa yang kita 
perlakukan pada mereka saat mereka menjadi anak.
 
Mengapa menurut Lim Wiss anak itu titipan Tuhan, mungkin istilah lain adalah 
jodoh.
Ada anak yang hanya lahir lewat kita tetapi meninggal sewaktu masih bayi atau 
remaja. 
Itu disebabkan jodoh kita sebagai orang tua terhadap anak bisa habis masanya.
 
Ada kejadian dimana bayi yang baru lahir, esoknya meninggal.
Seminggu kemudian bayi tsb lahir di keluarga lain. Saat ibunya melihat bayi 
tsb, ia ingin memungut anak tsb tetapi dilarang oleh keluarganya karena ia 
tidak ada jodoh terhadap bayi tersebut.
 
Rgds,
Lim Wiss




From: budaya_tionghua@ yahoogroups. com [mailto: budaya_tionghua@ yahoogroups. 
com ] On Behalf Of ChanCT
Sent: Wednesday, November 12, 2008 11:00 AM
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe
 




Betul juga Lim Wiss, segalanya berpulang pada anak bersangkutan bagaimana 
memperlakukan keluarga, atau khususnya orang-tuanya sendiri. Berdasarkan 
tradisi TIonghoa yang sejak kecil diajarkan, harus berbakti pada orang-tua, 
mengabdi pada orang tua, barangkali lebih berat diikuti oleh suku Khe, tentunya 
sikap tidak lagi peduli dan perhatikan keluarganya, dianggap anak yang put hao.

 

Tentu setelah dunia memasuki jaman modern, anak-anak setelah dewasa menempuh 
jalan hidupnya sendiri. Ini sudah pasti. Syukur kalau anak itu bisa dapatkan 
kerja cocok, mendapatkan hari-depan yang baik untuk tetap hidup disekitar 
orang-tuanya. Tapi, sekalipun harus menempuh hidup ditempat jauh, bagaimanapun 
juga harus peduli dan memberi perhatian pada orang-tuanya, dong. Apalagi 
seperti ibu sudah harus tinggal sendirian dan dia anak satu-satunya. Seandainya 
keadaan ekonomi cukup kuat dan bersyarat untuk menampung ibunya, kenapa tidak 
diajak ibunya tinggal bersama, misalnya?

 

Saya ada seorang teman sekerja dari suku Hokkian, keadaan ekonomi yang bisa 
dikatakan pas-pasan sebetulnya, tapi dia tidak hanya bersedia menampung ibunya 
sendiri dirumah, tapi juga kemudian ikut menampung ibu mertua yang juga harus 
hidup sendirian. Jadi dirumah yang begitu kecil di HK, harus ditinggali 6 
orang, ... terpaksa putranya yang ngalah disuruh tidur diruang tamu saja. Saya 
terkagum deengan semangat pengabdian pada orang tua sobat ini, dan tentu 
kebetulan istrinya juga siap melayani orang-tuanya yang sudah agak-agak sulit 
gerak-nya, yang sudah lebih 85-an. Padahal ibunya sendiri yang lebih muda dan 
kuat, juga bisa berikan solidaritas ikut memberikan dukungan dan perhatian. 
Sundgguh kehangatan keluarga yang sangat menggembirakan semua pihak, ... 
lebih-lebih setelah sobat saya itu beberapa tahun ini juga tenggelam dalam 
kehidupan pensiun dan tugas menunjang kebutuhan ekonomi keluarga jatuh pada 
putra dan putrinya yang sudah keluar kerja. Melihat
 suasana kehangatan keluarga kedua anaknya juga dengan senang hati ikut 
memberikan tunjangan kelangsungan hidup orang-tuanya. Inilah teladan baik dari 
tradisi Tionghoa yang patut diteruskan oleh anak-cucu kita.

 

Sebaliknya juga ada contoh lain yang menyedihkan, kejadian di minggu yl. 
seorang sahabat HKSIS asal Surabaya, usia 78 juga sudah tinggal sendirian, ... 
putranya 2, yang besar di AS dan yang ke-2 di HK tidak bisa tin

Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-12 Terurut Topik greysia susilo junus
entah ini gejala global di masyarakat tionghoa atau mungkin juga di pulau jawa 
(terserah suku apa).
saya melihatnya sekarang cenderung malah orang tua (jika memungkinkan) malah 
ikut anak perempuan dibanding anak lelaki, atau menerima anak perempuan dan 
mantu lakinya di rumah. mengapa? karena ternyata kalau diurus anak perempuan, 
orang tua itu kelihatan lebih sejahtera, sedangkan kalau ikut anak laki dan 
menantu perempuan, malah anaknya sibuk mencari uang, sedangkan si menantu 
kadang merasa mertua bukanlah orangtua sendiri jadi kurang telaten dalam 
mengurus. apalagi kalo kedua anak menantu ini bekerja.





From: Lim Wiss <[EMAIL PROTECTED]>
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, November 12, 2008 7:49:45 AM
Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe


Sdr. Chan,
 
Memang seharusnya spt itu.
 
Tetapi yang Lim Wiss lihat dalam kehidupan sehari-hari cenderung anak laki-laki 
dituntut memperhatikan & membela keluarga laki-laki.
W anita yang sudah menikah, harus memperhatikan keluarga laki-laki pula. Ini 
yang Lim Wiss rasa tidak adil dalam kehidupan sehari-hari.
 
of Use | Unsubscribe 
Recent Activity
*  20
New MembersVisit Your Group 
Ads on Yahoo!
Learn more now.
Reach customers
searching for you.
Moderator Central
Get answers to
your questions about
running Y! Groups.
Y! Messenger
PC-to-PC calls
Call your friends
worldwide - free!
. 
 


  

RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-11 Terurut Topik Lim Wiss
Sdr. Chan,

 

Memang seharusnya spt itu.

 

Tetapi yang Lim Wiss lihat dalam kehidupan sehari-hari cenderung anak
laki-laki dituntut memperhatikan & membela keluarga laki-laki.

Wanita yang sudah menikah, harus memperhatikan keluarga laki-laki pula. Ini
yang Lim Wiss rasa tidak adil dalam kehidupan sehari-hari.

 

Bagaimana jika dalam keluarga wanita, orang tua tidak memiliki anak
laki-laki apakah harus tinggal sendirian tanpa diperhatikan oleh anaknya
atau mantunya?

Jika demikian halnya tentu kasihan sekali orang tua yang tidak memiliki anak
laki-laki, bukan?

 

Bagaimana pula anaknya yang tinggal di Jakarta, sementara orang tuanya masih
tinggal di daerah?

Kadang yang membuat Lim Wiss semakin merasa ketidakadilan dimana orang tua
menuntut anak laki-laki tinggal bareng dengan mereka tetapi anak
perempuannya diminta tinggal terpisah dari mertua.

Termasuk perhatian orang tua, dimana anak laki-laki & mantu diminta membela
keluarga laki-laki tetapi anak perempuan & suami juga harus membela keluarga
perempuan. Kok jadi mau menang sendiri :-)

 

Jika orang tua sudah tidak adil terhadap anak & mantu, bagaimana anak &
mantu bisa memperlakukan orang tua dengan adil?

Ingat kita semua manusia memiliki perasaan. 

Apa yang kita perlakukan terhadap anak, anak bisa menilai akhirnya saat
orang tua sudah tua tidak sadar anak akan memperlakukan kita sama spt apa
yang kita perlakukan pada mereka saat mereka menjadi anak.

 

Mengapa menurut Lim Wiss anak itu titipan Tuhan, mungkin istilah lain adalah
jodoh.

Ada anak yang hanya lahir lewat kita tetapi meninggal sewaktu masih bayi
atau remaja. 

Itu disebabkan jodoh kita sebagai orang tua terhadap anak bisa habis
masanya.

 

Ada kejadian dimana bayi yang baru lahir, esoknya meninggal.

Seminggu kemudian bayi tsb lahir di keluarga lain. Saat ibunya melihat bayi
tsb, ia ingin memungut anak tsb tetapi dilarang oleh keluarganya karena ia
tidak ada jodoh terhadap bayi tersebut.

 

Rgds,

Lim Wiss

  _  

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of ChanCT
Sent: Wednesday, November 12, 2008 11:00 AM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

 

Betul juga Lim Wiss, segalanya berpulang pada anak bersangkutan bagaimana
memperlakukan keluarga, atau khususnya orang-tuanya sendiri. Berdasarkan
tradisi TIonghoa yang sejak kecil diajarkan, harus berbakti pada orang-tua,
mengabdi pada orang tua, barangkali lebih berat diikuti oleh suku Khe,
tentunya sikap tidak lagi peduli dan perhatikan keluarganya, dianggap anak
yang put hao.

 

Tentu setelah dunia memasuki jaman modern, anak-anak setelah dewasa menempuh
jalan hidupnya sendiri. Ini sudah pasti. Syukur kalau anak itu bisa dapatkan
kerja cocok, mendapatkan hari-depan yang baik untuk tetap hidup disekitar
orang-tuanya. Tapi, sekalipun harus menempuh hidup ditempat jauh,
bagaimanapun juga harus peduli dan memberi perhatian pada orang-tuanya,
dong. Apalagi seperti ibu sudah harus tinggal sendirian dan dia anak
satu-satunya. Seandainya keadaan ekonomi cukup kuat dan bersyarat untuk
menampung ibunya, kenapa tidak diajak ibunya tinggal bersama, misalnya?

 

Saya ada seorang teman sekerja dari suku Hokkian, keadaan ekonomi yang bisa
dikatakan pas-pasan sebetulnya, tapi dia tidak hanya bersedia menampung
ibunya sendiri dirumah, tapi juga kemudian ikut menampung ibu mertua yang
juga harus hidup sendirian. Jadi dirumah yang begitu kecil di HK, harus
ditinggali 6 orang, ... terpaksa putranya yang ngalah disuruh tidur diruang
tamu saja. Saya terkagum deengan semangat pengabdian pada orang tua sobat
ini, dan tentu kebetulan istrinya juga siap melayani orang-tuanya yang sudah
agak-agak sulit gerak-nya, yang sudah lebih 85-an. Padahal ibunya sendiri
yang lebih muda dan kuat, juga bisa berikan solidaritas ikut memberikan
dukungan dan perhatian. Sundgguh kehangatan keluarga yang sangat
menggembirakan semua pihak, ... lebih-lebih setelah sobat saya itu beberapa
tahun ini juga tenggelam dalam kehidupan pensiun dan tugas menunjang
kebutuhan ekonomi keluarga jatuh pada putra dan putrinya yang sudah keluar
kerja. Melihat suasana kehangatan keluarga kedua anaknya juga dengan senang
hati ikut memberikan tunjangan kelangsungan hidup orang-tuanya. Inilah
teladan baik dari tradisi Tionghoa yang patut diteruskan oleh anak-cucu
kita.

 

Sebaliknya juga ada contoh lain yang menyedihkan, kejadian di minggu yl.
seorang sahabat HKSIS asal Surabaya, usia 78 juga sudah tinggal sendirian,
... putranya 2, yang besar di AS dan yang ke-2 di HK tidak bisa tinggal
bersama sekalipun istrinya sudah meninggal beberapa tahun yl. Pekerjaan
putranya itu jauh di Tun-Mun dan penghasilannya juga kurang baik untuk
menampung orang tuanya, disamping itu istrinya yang tidak setuju terima
orang-tuanya. Nah, kasihanlah orang tua satu ini sendirian. Kena strok
terjatuh dekamar-mandi, tidak bisa bangun lagi, kebetulan malam itu anaknya
tilpon tidak pernah ada yang terima. Esok paginy

Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-11 Terurut Topik ChanCT
: Wednesday, November 12, 2008 9:34 AM
  Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe


  Kalau menurut pendapat saya itu tergantung pada prinsip anak ybs.

   

  Ada teman saya, ia anak laki-laki satu-satunya tetapi ia mengutamakan 
keluarganya.

  Mamanya tinggal sendirian di rumahnya, sedangkan anak satu-satunya tinggal 
terpisah dari mamanya.

  Ia tinggal cukup jauh. 

  Apakah mamanya komplain? Tidak juga karena anaknya tegas, tinggal terpisah 
dari mamanya.

   

  Itu prinsip yang harus ditanamkan. 

  Anak yang sudah menikah harus tinggal terpisah dari orang tua. 

  Mengapa? Karena kita sudah dewasa berani menikah, berarti berani mandiri 
tanpa tergantung pada orang tua.

  Orang tua juga harus ingat anak itu bukan investasi kita di hari tua. 

  Anak itu hanya titipan Tuhan, ia akan menjadi orang tua bukan anak-anak lagi 
yang harus kita dikte atau kita lindungi hingga kita meninggal.

   

  Jadi kembali lagi ke prinsip anak ybs. Kita tidak boleh mendikte prinsip mana 
yang benar.

  Sekarang sudah jaman modern. 

   

  Rgds,

  Lim Wiss


--

  From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
gsuryana
  Sent: Tuesday, November 11, 2008 11:17 PM
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
  Subject: Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

   

  Didalam tradisi Tenglang, anak lelaki itu dianggap sebagai penerus marga, dan 
terutama untuk anak sulung pria, diutamakan membela keluarganya terlebih 
dahulu, malah kadang istri harus ikut aturan tersebut.

  Jadi tak usah heran bila menikah dengan pria Tenglang ada istilah masuk 
kekeluarga pria, dan hal ini syah syah saja, lha penerus marga masa harus 
menuruti kemauan istri yang bukan penerus marga.

   

  Itu sebabnya sebelum jatuh cinta harus sudah siap dengan risiko seperti ini.

   

  sur.

- Original Message - 

From: Dewi Chandra 

 

  Dear all,

   

  Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"

  Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak 
susah yah mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???

  Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, 
bahwa setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.

  Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada 
hubungannya dengan agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?

   

  Rgds

  Dewi
 

 




   


--



  Internal Virus Database is out of date.
  Checked by AVG - http://www.avg.com 
  Version: 8.0.173 / Virus Database: 270.8.5/1757 - Release Date: 2008/10/30 
¤U¤È 02:35


RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-11 Terurut Topik Hendry Kuishando
Setahu saya sedari dulu memang terserah si anak mau peduli ke keluarga dia 
sendiri atau keluarga istri. Yang berbeda adalah pandangan sosial dari 
masyarakatnya (termasuk keluarga si co dan ce). Jadi sekilas saja sikap peduli 
yang mana seharusnya gak tergantung sekarang sudah modern atau masih jaman 
kuno, tergantung si anak mau ikut stream atau nggak. Baik buruk aja relatif 
kok.  Tapi konsekuensinya, pasti ada setiap pilihan, dan harus ditanggung si 
anak, kan udah gede n gak diatur orangtuanya lagi. Nah keputusan si anak itu 
bagaimana, ya tergantung gimana si orangtuanya ngedidik.

Saya sendiri diceritain kok oleh Papa sy, kalo Tionghoa tu garis keluarganya 
diturunkan melalui garis lelaki. Sistem marga dan suku juga. Jadi wajar aja 
kalau lelaki cenderung ke keluarganya. Nah setau saya si anak tetep harus dekat 
sama keluarga mamanya.
Lalu kalau menurut hemat saya.. (Kalau gak ya gpp boros lah..) Dulu kita 
tergantung orang tua, ntar suatu saat orang tua akan sebenarnya tergantung pada 
kita, walaupun dia gak ngomong.

Mau tanya boleh yah.. Kalau anak laki-laki yang tinggal jauh dari mamanya, 
maksudnya mengutamakan keluarga itu keluarga secara keseluruhan atau keluarga 
yang dibentuknya sendiri?

--- On Wed, 11/12/08, Lim Wiss <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Lim Wiss <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Wednesday, November 12, 2008, 8:34 AM



















Kalau menurut pendapat saya itu tergantung
pada prinsip anak ybs. 

   

Ada teman saya, ia anak laki-laki satu-satunya
tetapi ia mengutamakan keluarganya. 

Mamanya tinggal sendirian di rumahnya,
sedangkan anak satu-satunya tinggal terpisah dari mamanya. 

Ia tinggal cukup jauh.  

Apakah mamanya komplain? Tidak juga karena
anaknya tegas, tinggal terpisah dari mamanya. 

   

Itu prinsip yang harus ditanamkan.  

Anak yang sudah menikah harus tinggal
terpisah dari orang tua.  

Mengapa? Karena kita sudah
dewasa berani menikah, berarti berani mandiri tanpa tergantung pada orang tua. 

Orang tua juga harus ingat anak
itu bukan investasi kita di hari tua.  

Anak itu hanya titipan Tuhan,
ia akan menjadi orang tua bukan anak-anak lagi yang harus kita dikte atau kita
lindungi hingga kita meninggal. 

   

Jadi kembali lagi ke prinsip
anak ybs. Kita tidak boleh mendikte prinsip mana yang benar. 

Sekarang sudah jaman modern.  

   

Rgds, 

Lim Wiss 









From: budaya_tionghua@ yahoogroups. com [mailto: budaya_tionghua@ yahoogroups. 
com ] On Behalf Of gsuryana

Sent: Tuesday, November 11, 2008
11:17 PM

To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com

Subject: Re: [budaya_tionghua]
Pria suku khe 



   









Didalam tradisi Tenglang, anak lelaki itu dianggap sebagai penerus
marga, dan terutama untuk anak sulung pria, diutamakan membela keluarganya
terlebih dahulu, malah kadang istri harus ikut aturan tersebut. 





Jadi tak usah heran bila menikah dengan pria Tenglang ada istilah masuk
kekeluarga pria, dan hal ini syah syah saja, lha penerus marga masa harus
menuruti kemauan istri yang bukan penerus marga. 





  





Itu sebabnya sebelum jatuh cinta harus sudah siap dengan risiko seperti
ini. 





  





sur. 







- Original Message -  





From: Dewi Chandra
 





  




 
  
  
  Dear all, 
  
  
    
  
  
  Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria
  suku khe" 
  
  
  Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip
  seperti itu?( kan 
  agak susah yah mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya
  ??? 
  
  
  Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada
  anak laki2xnya, bahwa setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co. 
  
  
  Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa
  mungkin ini ada hubungannya dengan agama,kebanyakan kan masih ada yang khong 
hucu (KTP)? 
  
  
    
  
  
  Rgds 
  
  
  Dewi 
  
  
 


   



















  




 

















  

RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-11 Terurut Topik Lim Wiss
Kalau menurut pendapat saya itu tergantung pada prinsip anak ybs.

 

Ada teman saya, ia anak laki-laki satu-satunya tetapi ia mengutamakan
keluarganya.

Mamanya tinggal sendirian di rumahnya, sedangkan anak satu-satunya tinggal
terpisah dari mamanya.

Ia tinggal cukup jauh. 

Apakah mamanya komplain? Tidak juga karena anaknya tegas, tinggal terpisah
dari mamanya.

 

Itu prinsip yang harus ditanamkan. 

Anak yang sudah menikah harus tinggal terpisah dari orang tua. 

Mengapa? Karena kita sudah dewasa berani menikah, berarti berani mandiri
tanpa tergantung pada orang tua.

Orang tua juga harus ingat anak itu bukan investasi kita di hari tua. 

Anak itu hanya titipan Tuhan, ia akan menjadi orang tua bukan anak-anak lagi
yang harus kita dikte atau kita lindungi hingga kita meninggal.

 

Jadi kembali lagi ke prinsip anak ybs. Kita tidak boleh mendikte prinsip
mana yang benar.

Sekarang sudah jaman modern. 

 

Rgds,

Lim Wiss

  _  

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of gsuryana
Sent: Tuesday, November 11, 2008 11:17 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

 

Didalam tradisi Tenglang, anak lelaki itu dianggap sebagai penerus marga,
dan terutama untuk anak sulung pria, diutamakan membela keluarganya terlebih
dahulu, malah kadang istri harus ikut aturan tersebut.

Jadi tak usah heran bila menikah dengan pria Tenglang ada istilah masuk
kekeluarga pria, dan hal ini syah syah saja, lha penerus marga masa harus
menuruti kemauan istri yang bukan penerus marga.

 

Itu sebabnya sebelum jatuh cinta harus sudah siap dengan risiko seperti ini.

 

sur.

- Original Message - 

From: Dewi Chandra <mailto:[EMAIL PROTECTED]>  

 


Dear all,

 

Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"

Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak susah
yah mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???

Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, bahwa
setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.

Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada hubungannya
dengan agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?

 

Rgds

Dewi

 


  _  


 



Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-11 Terurut Topik gsuryana
Didalam tradisi Tenglang, anak lelaki itu dianggap sebagai penerus marga, dan 
terutama untuk anak sulung pria, diutamakan membela keluarganya terlebih 
dahulu, malah kadang istri harus ikut aturan tersebut.
Jadi tak usah heran bila menikah dengan pria Tenglang ada istilah masuk 
kekeluarga pria, dan hal ini syah syah saja, lha penerus marga masa harus 
menuruti kemauan istri yang bukan penerus marga.

Itu sebabnya sebelum jatuh cinta harus sudah siap dengan risiko seperti ini.

sur.
  - Original Message - 
  From: Dewi Chandra 

Dear all,

Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"
Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak 
susah yah mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???
Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, 
bahwa setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.
Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada hubungannya 
dengan agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?

Rgds
Dewi 


--


RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-11 Terurut Topik agoeng_set
Maksudnya hubungan dng agama apa? Org jaman dulu klo merit kan jauh2, jadi 
otomatis lebih urusin keluarga cowo. Tp jmn skrg katanya dah terbalik deh, 
banyak yg ngomong mending punya anak cewe skrg, dah tua ada yg urusin, klo laki 
mah payah, ikut bini mlulu, yg diurusin cuma keluarga bini. Hehehehe
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: Dewi Chandra <[EMAIL PROTECTED]>

Date: Tue, 11 Nov 2008 12:38:10 
To: 
Subject: [budaya_tionghua] Pria suku khe


Dear all,
 
Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"
Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak susah yah 
mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???
Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, bahwa 
setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.
Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada hubungannya dengan 
agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?
 
Rgds
Dewi


___
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/


RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-10 Terurut Topik Lim Wiss
Sdri Dewi,

 

Menurut saya tentang prinsip orang tua harus memiliki mantu sesama suku, itu
sifatnya hanyalah keinginan orang tua saja.

Terpenting adalah sikap anaknya. Selain itu posisi kita sebagai mantu.

 

Jika anak & mantu dapat mandiri (dalam hal keuangan, prinsip, pemikiran,
memecahkan masalah) tanpa melibatkan orang tua, orang tua akan segan.

Jika anak & mantu tidak bisa mandiri, tentu orang tua akan mendikte anak &
mantu.

Itu sifat alami yang saya perhatikan pada orang tua kita.

 

Tentang prinsip harus mengutamakan keluarga laki-laki, saya pikir itu
merupakan prinsip yang ditanamkan orang tua pada anak laki-laki.

Tapi itu semua kembali ke anaknya.

 

Secara alami, saat kita memutuskan untuk menikah tentu kita harus
prioritaskan keluarga kita barulah orang tua kita.

Ini yang harus kita tanamkan pada orang tua.

Kita tidak mungkin bukan membiarkan anak kita yang belum makan terus kita
melayani mertua?

Atau kita meninggalkan anak kita yang sedang sakit terus kita menemani
mertua kemanapun?

 

Lebih baik kita dibenci oleh mertua daripada kita mentelantarkan keluarga
kita sendiri.

 

Rgds,

Lim Wiss

 

  _  

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Dewi Chandra
Sent: Tuesday, November 11, 2008 11:38 AM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Pria suku khe

 


Dear all,

 

Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"

Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak susah
yah mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???

Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, bahwa
setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.

Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada hubungannya
dengan agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?

 

Rgds

Dewi

 

  _  

Nama
  baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan
@rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!

 



Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

2008-11-09 Terurut Topik liang u
Dik Dewi, 
 
Tidak ada studi yang mengatakan demikian, kalau menurut saya tergantung 
orangnya saja. Ada orang dari golongan manapun yang lebih mementingkan 
keluarganya sendiri daripada keluarga isterinya, bukan khas kelompok Kheq.
 
Pertanyaan kedua, memang ada gejala demikian, ini disebabkan orang tua selalu 
khawatir akan terjadi benturan budaya. Telah saya jelaskan beberapa kali, Kheq, 
Hokkian, Konghu dll adalah dari suku yang sama suku Han. Hanya karena tempat 
tinggal yang jauh dan transportasi yang sulit, akhirnya berkembang agak 
berbeda, baik dialeknya, kebiasaannya, adat istiadatnya dll. Tambahan lagi 
percampuran budaya dengan suku minoritas setempat, misalnya orang Yao, orang 
She. Sampai sekarang banyak dari suku bangsa She yang berdialek Kheq, artinya 
hubungan antara mereka dengan orang Kheq sangat dekat, karena itu percampuran 
budaya tak dapat dihilangkan. Dengan demikian logis kalau antara orang Kheq dan 
orang Hokkian terjadi perbedaan. 
Perkawinan campuran, sering menimbulkan bentrokan budaya, itulah yang 
ditakutkan orang tua, bisa antara kedua suami isteri, bisa antara menantu dan 
kedua mertua. Orang tua cenderung lebih konservatif terhadap budayanya. Tapi 
kalau kedua pihak bisa saling toleransi, hal ini tak menjadi masalah. 
Contohnya banyak anak yang sekolah di negara barat pulang membawa isteri orang 
putih. Mereka akur saja, begitu dibawa pulang tinggal bersama dengan orang 
tuanya mulai terjadi benturan budaya. Orang putih tak biasa tinggal dengan 
mertua, rasa menolak sudah mulai ada. Wanita putih yang sudah menikah tidak 
aneh kalau pergi dengan pria lain, sang mertua tak bisa terima mantunya begitu. 
Lalu benturan mulai terjadi. Si suami jadi bingung, buang isteri atau buang 
orang tua. Biasanya orang tua yang dibuang, ini budaya barat.
Beberapa hari yang lalu di milis ini ada yang menceritakan orang tua menderita, 
karena meskipun anaknya banyak dan berhasil dalam bisnisnya, orang tuanya 
tinggal di rumah jompo. Ini biasa, karena meniru budaya barat.
Anda semua akan mengalami itu kalau anak-anak dididik budaya barat tapi 
membuang budaya Konghucu, di mana kewajiban anak merawat orang tua menjadi 
salah satu yang wajib. 
Simon Peres, presiden Israel memuji tinggi sekali akan budaya Tionghoa dan 
ajaran Khong Hu Cu.
Salam
Liang U

--- On Sun, 11/9/08, Dewi Chandra <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Dewi Chandra <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Pria suku khe
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Sunday, November 9, 2008, 10:44 AM











Hi all,
 
Mau sharing aja, saya mendengar banyak cerita teman2x saya bahwa pria suku khe 
bila menikah dengan wanita suku "chinese" yang lain (misalnya hokkian ) lebih 
mengutamakan keluarganya sendiri.Tidak  begitu peduli kelurga pihak  istrinya 
Apa betul?
Apa betul, orang khe akan lebihmenghargai/ lebih senang bila anaknya punya 
mantu suku khe juga??
 
Terima kasih
Dewi


Dapatkan alamat Email baru Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!