Re: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG

2009-02-04 Thread Awang Satyana
Pak Kuntadi,
 
Pertanyaan2 Pak Kuntadi terkait dengan definisi, peta kehutanan, dan prosedur 
pengurusan perizinan kegiatan migas di lahan kehutanan menjadi pertanyaan2 saya 
juga. Dalam kegiatan migas, beberapa KKKS banyak terkendala oleh hal ini. 
Terakhir yang masuk ke BPMIGAS adalah izin menggunakan lahan kehutanan untuk 
pemboran sumur2 Nations Rombebai yang memakan waktu sekitar satu tahun. Kawan2 
di KKKS yang banyak menangani masalah ini, termasuk di BP, bila sempat 
berhubungan dengan masalah tumpang tindih kehutanan-lahan pertambangan, saya 
pikir tahu jawaban2 yang tepat atas pertanyaan2 Pak Kuntadi.
 
Penggunaan lahan hutan lindung (dalam berbagai kriteria) akan selalu menjadi 
kepentingan yang bertolak belakang antara keperluan investasi di lahan tersebut 
dengan keperluan melestarikan hutan tersebut. Untuk hal ini memang harus diakui 
suka ada tekanan internasional atau pihak2 lain yang berkepentingan. Satu 
contoh terbaru perbenturan kepentingan itu adalah saat PP No. 2/2008 tentang 
Jenis Pajak dan Tarif Atas Jenis Penerimanan Negara Bukan Pajak Yang Berasal 
Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan 
Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan disahkan pada Februari 2008. 
Banyak kalangan pencinta lingkungan protes keras atas PP ini dan meminta 
dilakukan judicial review serta mencabutnya. Kalangan ini menganggap PP ini 
sebagai landasan legal komersialisasi hutan. Sementara itu, kalangan investor 
baru maupun lama (termasuk 13 perusahaan tambang yang Pak Kuntadi sebutkan) 
menyambut baik PP ini. Hal2 seperti ini akan
 selalu terjadi, apalagi untuk kawasan2 kehutanan di Papua yang dianggap 
sebagai the last resort of forest area in Indonesia.
 
PP kontroversial itu dikatakan berbagai kalangan sebagai Indonesia jual murah 
hutannya, bahkan lebih murah daripada sepotong pisang goreng Dikatakan murah 
karena PP tersebut mematok tarif hanya Rp 120-300 sebagai kompensasi pengalihan 
fungsi hutan lindung dan hutan produksi per meter per tahun menjadi lahan 
eksplorasi/produksi pertambangan. 
Pemerintah menyatakan bahwa pungutan ini hanya untuk 13 perusahaan yang telah 
beroperasi di lahan hutan lindung sebelum ada ketentuan hutan lindung, tetapi 
pembatasan itu tak ditemukan di PP tersebut, sehingga dikuatirkan banyak 
kalangan hutan lindung akan menjadi lahan komersialisasi investasi. Untuk 
kegiatan migas, biaya kompensasinya Rp 150/m2/tahun di kawasan hutan lindung, 
atau Rp 120/m2/tahun di kawasan hutan produksi. Murah sekali kan ? Sebuah 
organisasi menilai bahwa potensi kerugian yang terjadi akibat PP ini adalah Rp 
70 trilyun/tahun karena kerusakan ekologi.
 
Ketiga belas perusahaan yang sudah ada di lahan hutan lindung itu adalah : 
Freeprt Papua, Karimun Granit Riau, Inco Sulawesi, Indominco Kaltim, Aneka 
Tambang Maluku Utara, Natarang Mining Lampung, Nusa Halmahera Maluku Utara, 
Pelsart Tambang Kencana KalSel, Interex Raya Kaltim-Kalsel, Weda Bay Nickel 
Maluku Utara, Gag Nickel Papua, Sorik Mas Mining SumUt, Aneka Tambang Sulawesi 
Tenggara - semuanya untuk jenis usaha mineral dan batubara, bukan migas.
 
Satu lagi, PIKA - Pusat Informasi Konservasi Alam.
 
salam,
awang


--- On Thu, 2/5/09, Kuntadi, Nugrahanto  wrote:

From: Kuntadi, Nugrahanto 
Subject: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG - Kiamat di 
Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)
To: iagi-net@iagi.or.id, geoun...@yahoogroups.com
Date: Thursday, February 5, 2009, 8:51 AM

Pak Awang,

Saya tertarik untuk menggeser topik Kiamat Babo ini kepada isu hutan
lindung di wilayah Republik Indonesia yang pada paragraf ke-3 di email
Bapak terlampir tersebut bahwa salah satu kendala tidak tergarapnya
Papua dlm usaha2 eksplorasi migas adalah karena terhambat oleh tumpang
tindih dengan wilayah kehutanan - dan sebenarnya juga dengan wilayah KP
tambang aktif.

I. KEPASTIAN STATUS TATA-GUNA HUTAN DI BIDANG MIGAS - ADAKAH STANDARD
BAKU NYA?
Kata "hutan" di sini ternyata menurut peta-peta yang dikeluarkan oleh
Dephut tergolong dalam beberapa kategori. Setelah melihat-lihat berbagai
peraturan sbb:
- UU RI No.41/1999 Pasal 1 dan 7
- PP RI No.44/2004 Pasal 24
Maka terlihat bahwa banyak sekali kategori hutan terkait dengan izin
serta larangan pemanfaatannya. Yang membuat praktisi industri lebih
bingung lagi bahwa pun terdapat banyak tipe / jenis peta yang berjudul
beserta penerbitnya:
- Peta Kawasan Konservasi yang dikeluarkan oleh Badan Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah "X" masing-masing Propinsi.
- Peta Tutupan Hutan Pemerintah RI / Bank Dunia.
- Peta Konservasi PIKA (maaf saya tidak tahu kepanjangannya).

Karena adanya perbedaan peruntukkan suatu kawasan dari beberapa peta
dimaksud berakibat kepada tidak jelasnya kategori "hutan" spt yang
tersebut di dalam UU dan PP di atas. Sehingga dikawatirkan hal ini dapat
membuat praktisi bingung akan kemanakah menanyakan status tata guna
hutan guna menunjuang rencana-rencana eksplorasi di Republik Indonesia.

II. KEPASTIAN PENYERTAAN 

RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG

2009-02-08 Thread Kuntadi, Nugrahanto
Terima kasih Pak responsenya,

Saya jadi teringat kepada cerita rekan sekantor saya yang sempat hadir di 
kursus nya Pak Ong mengenai regulasi migas (IPA course), dimana dalam satu 
diskusi di dalamnya terbetik topik bahwa sesulit apa pun prosedur hukum / 
perizinan di negara kita, tidak membuat Indonesia kehilangan calon investor 
karena lebarnya ruang "grey area" di sini.

Menyambung cerita di paragraf pertama dengan penjelasan Pak Awang bahwa satu 
perusahaan memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk perijinan pemboran, namun 
di lain waktu barangkali perusahaan "ANU" bisa memakan waktu dua tahun, dan PT 
"OK" bisa memakan waktu 4 bulan - dan boleh jadi semuanya sudah melalui 
persetujuan DPR.  Kalau boleh menarik benang merah dari keduanya, apakah "Grey 
area" ini barangkali yang menjadikan Indonesia tetap menarik bagi para calon 
investor?  Namun di sisi lain apakah ini sudah menjadi solusi yang terbaik bagi 
RI saat ini hingga beberapa tahun ke depan lagi ?

Lalu menyambung lagi tentang PP terhadap 13 kumpenis yg mendapat persetujuan 
GoI, apakah masih terbuka kesempatan bagi kumpenis lain untuk menegosiasikan 
kemungkinan mendapat izin penggunaan lahan hutan / taman nasional ini dari GoI 
di kemudian hari?  Jika iya, apakah dimungkinkan apabila MIGAS & BPMIGAS bisa 
bekerja sama dengan DepHut memberikan wacana kepada para investor perihal 
kemungkinan2 ini berikut prosedur2 baku yang diperlukan di dalam proses 
pengajuan wilayah tersebut, yang idealnya dapat diakses di internet ?

Saya berharap mungkin MIGAS & BPMIGAS akan melakukan hal di atas ini walaupun 
belum mengetahui secara pasti berapa kekayaan migas yang ada di bawah taman 
nasional tersebut...atau enggan karena bisa-bisa dicap bikin gara-gara nih sama 
LSM-LSM he..he...  Tapi jangan jangan, calon investor pun maju mundur untuk 
ekplorasi di lahan hutan tersebut karena tidak mengetahui "procedure" baku yang 
bisa ditempuh, atau tepatnya kepada siapa mereka harus menanyakan "procedure" 
tersebut agar bisa memperkirakan berapa lama dan berapa effort yang diperlukan 
untuk melakukan penyelidikan awal / lanjut di suatu lahan hutan tertentu ? 
Economic atau tidak dari segi biaya dan waktu ? Dll.. Dll..

Regards 

-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com] 
Sent: Thursday, February 05, 2009 1:26 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Geo Unpad
Subject: Re: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG 

Pak Kuntadi,
 
Pertanyaan2 Pak Kuntadi terkait dengan definisi, peta kehutanan, dan prosedur 
pengurusan perizinan kegiatan migas di lahan kehutanan menjadi pertanyaan2 saya 
juga. Dalam kegiatan migas, beberapa KKKS banyak terkendala oleh hal ini. 
Terakhir yang masuk ke BPMIGAS adalah izin menggunakan lahan kehutanan untuk 
pemboran sumur2 Nations Rombebai yang memakan waktu sekitar satu tahun. Kawan2 
di KKKS yang banyak menangani masalah ini, termasuk di BP, bila sempat 
berhubungan dengan masalah tumpang tindih kehutanan-lahan pertambangan, saya 
pikir tahu jawaban2 yang tepat atas pertanyaan2 Pak Kuntadi.
 
Penggunaan lahan hutan lindung (dalam berbagai kriteria) akan selalu menjadi 
kepentingan yang bertolak belakang antara keperluan investasi di lahan tersebut 
dengan keperluan melestarikan hutan tersebut. Untuk hal ini memang harus diakui 
suka ada tekanan internasional atau pihak2 lain yang berkepentingan. Satu 
contoh terbaru perbenturan kepentingan itu adalah saat PP No. 2/2008 tentang 
Jenis Pajak dan Tarif Atas Jenis Penerimanan Negara Bukan Pajak Yang Berasal 
Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan 
Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan disahkan pada Februari 2008. 
Banyak kalangan pencinta lingkungan protes keras atas PP ini dan meminta 
dilakukan judicial review serta mencabutnya. Kalangan ini menganggap PP ini 
sebagai landasan legal komersialisasi hutan. Sementara itu, kalangan investor 
baru maupun lama (termasuk 13 perusahaan tambang yang Pak Kuntadi sebutkan) 
menyambut baik PP ini. Hal2 seperti ini akan  selalu terjadi, apalagi untuk 
kawasan2 kehutanan di Papua yang dianggap sebagai the last resort of forest 
area in Indonesia.
 
PP kontroversial itu dikatakan berbagai kalangan sebagai Indonesia jual murah 
hutannya, bahkan lebih murah daripada sepotong pisang goreng Dikatakan murah 
karena PP tersebut mematok tarif hanya Rp 120-300 sebagai kompensasi pengalihan 
fungsi hutan lindung dan hutan produksi per meter per tahun menjadi lahan 
eksplorasi/produksi pertambangan. 
Pemerintah menyatakan bahwa pungutan ini hanya untuk 13 perusahaan yang telah 
beroperasi di lahan hutan lindung sebelum ada ketentuan hutan lindung, tetapi 
pembatasan itu tak ditemukan di PP tersebut, sehingga dikuatirkan banyak 
kalangan hutan lindung akan menjadi lahan komersialisasi investasi. Untuk 
kegiatan migas, biaya kompensasinya Rp 150/m2/tahun di kawasan hutan lindung, 
atau Rp 120/m

RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG

2009-02-08 Thread Awang Satyana
Pak Kuntadi,
 
Grey area harus diakui memang ada di banyak regulasi UU, PP, SK, dll., juga di 
Kontrak2 PSC. Saya punya banyak kasus bagaimana "pemnfaatan" grey area di 
Kontrak2 PSC itu. 
 
Juga, di samping regulasi, ada yang namanya "kebijakan". Kebijakan itu di luar 
regulasi. Dan, kebijakan yang satu kepada company A, belum tentu sama dengan 
perlakuannya kepada company lain. Saya pikir ini bagian dari proses tarik-ulur 
: antara menegakkan regulasi dan mengundang investor. Kebijakan itu bisa 
positif, bisa negatif untuk investor.
 
Banyak ahli hukum di Migas, BPMIGAS, maupun KKKS pernah berkata bahwa aturan2 
di regulasi kadang2 harus tegas hitam-putih, kadang2 harus abu2 agar rentang 
penafsirannya luas. Nah, yang abu2 itu membolehkan kebijakan. Kalau tidak 
dengan kebijakan, bagaimana sebuah KKKS besar & internasional bisa 
mempertahankan blok eksplorasinya sampai lebih dari 10 tahun tanpa penuh 
melakukan komitmen pastinya yang tercantum di tiga tahun kontrak pertama ? 
Tetapi, akhirnya si KKKS itu divonis "mati" setelah Pemerintah memberikan 
kesempatan, tetapi tak dimanfaatkan si KKKS. 
 
Kemudian, antara yang tercantum di regulasi dengan mematuhinya atau mengawasi 
dan menghukumnya belum tentu sepadan. Ini beranalogi dengan ada rambu berhuruf 
S coret, lalu di dekatnya angkot berhenti menurunkan penumpang, nah si polisi 
yang berjaga di dekatnya ada yang menegur dan menghukumnya, ada pula yang 
membiarkannya saja. Kenapa membiarkannya ? Mungkin malas menegur, mungkin 
memang sengaja dibiarkan...
 
Soal 13 company itu, dan bila mengacu ke PP No. 2/2008, saya tak sependapat 
bahwa company baru bisa ikut di situ sebab PP tersebut terutama dibuat untuk 
companies yang sudah berada di suatu lahan berhutan yang di kemudian hari lahan 
operasinya menjadi kawasan hutanlindung, nah bukan salah si company kan; maka 
kompensasinya adalah company ditarik iuran yang dananya akan digunakan untuk 
rehabilitasi hutan. LSM2 protes karena berarti itu melegalkan penjualan hutan. 
Contohnya, apakah Freeport yang telah ada di situ sejak 1968, bisa didepak saja 
sebab sekarang lahannya menjadi hutan lindung ? 
 
BPMIGAS-Migas-KKKS sebenarnya telah dari dulu membentuk pokja (kelompok kerja) 
untuk bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan soal tumpang tindih hutan. 
Tetapi, hasilnya setahu saya minimal. Ini dibuktikan dengan banyak area KKKS 
yang berada di hutan lindung tak bisa diapa-apakan dan areanya mesti ditukar, 
dicari penggantinya (swap).
 
Tarik-tarikan antara memanfaatkan sumberdaya migas di bawah hutan yang belum 
tentu ada, dengan melestarikan hutan yang memang sudah terancam bukanlah 
persoalan gampang. Negara seperti Indonesia yang masih perlu banyak energi, 
yang masih perlu banyak devisa, yang ingin meratakan pembangunannya, yang ingin 
menumbuhkan ekonominya sampai 4,3 %; tetapi yang juga ingin melestarikan 
hutannya akan mengalami kesulitan dalam tarik-tarikan ini.
 
Salam,
awang
 
 
-Original Message-
From: Kuntadi, Nugrahanto [mailto:kuntadi.nugraha...@se1.bp.com] 
Sent: Monday, February 09, 2009 10:40 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Geo Unpad
Subject: RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG 
 
Terima kasih Pak responsenya,
 
Saya jadi teringat kepada cerita rekan sekantor saya yang sempat hadir di 
kursus nya Pak Ong mengenai regulasi migas (IPA course), dimana dalam satu 
diskusi di dalamnya terbetik topik bahwa sesulit apa pun prosedur hukum / 
perizinan di negara kita, tidak membuat Indonesia kehilangan calon investor 
karena lebarnya ruang "grey area" di sini.
 
Menyambung cerita di paragraf pertama dengan penjelasan Pak Awang bahwa satu 
perusahaan memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk perijinan pemboran, namun 
di lain waktu barangkali perusahaan "ANU" bisa memakan waktu dua tahun, dan PT 
"OK" bisa memakan waktu 4 bulan - dan boleh jadi semuanya sudah melalui 
persetujuan DPR.  Kalau boleh menarik benang merah dari keduanya, apakah "Grey 
area" ini barangkali yang menjadikan Indonesia tetap menarik bagi para calon 
investor?  Namun di sisi lain apakah ini sudah menjadi solusi yang terbaik bagi 
RI saat ini hingga beberapa tahun ke depan lagi ?
 
Lalu menyambung lagi tentang PP terhadap 13 kumpenis yg mendapat persetujuan 
GoI, apakah masih terbuka kesempatan bagi kumpenis lain untuk menegosiasikan 
kemungkinan mendapat izin penggunaan lahan hutan / taman nasional ini dari GoI 
di kemudian hari?  Jika iya, apakah dimungkinkan apabila MIGAS & BPMIGAS bisa 
bekerja sama dengan DepHut memberikan wacana kepada para investor perihal 
kemungkinan2 ini berikut prosedur2 baku yang diperlukan di dalam proses 
pengajuan wilayah tersebut, yang idealnya dapat diakses di internet ?
 
Saya berharap mungkin MIGAS & BPMIGAS akan melakukan hal di atas ini walaupun 
belum mengetahui secara pasti berapa kekayaan migas yang ada di bawah taman 
nasional tersebut...atau enggan karena bisa-bisa

RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG

2009-02-09 Thread Deni Rahayu
Ikut nimbrung...

Menurut saya sich zona grey area, lebih mendatangkan masalah dibandingkan 
manfaatnya bagi Indonesia, mengapa ? karena di zona2 itulah pengusaha/investor 
bisa memanfaatkan peluang mendapatkan keuntungan yang lebih besar, terutama 
bagi investor/pengusaha yang mempunyai koneksi langsung terhadap penentu 
"kebijakan" negeri ini. Apapun alasan dan resikonya saya pikir kita harus 
meminimalis zona2 grey area tersebut...dan mengapa investasi indonesia masih 
sangat menarik, karena masih ada zona-zona tersebut yang bisa "dimainkan" untuk 
mengeruk keuntungan yang lebih besar dari sekedar itung-itungan di selembar 
kertas.


wasalam,
ODEN
Geoscientist



--- On Sun, 2/8/09, Awang Satyana  wrote:

> From: Awang Satyana 
> Subject: RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG
> To: "IAGI" , "Geo Unpad" , 
> "Forum HAGI" , "Eksplorasi BPMIGAS" 
> 
> Date: Sunday, February 8, 2009, 8:21 PM
> Pak Kuntadi,
>  
> Grey area harus diakui memang ada di banyak regulasi UU,
> PP, SK, dll., juga di Kontrak2 PSC. Saya punya banyak kasus
> bagaimana "pemnfaatan" grey area di Kontrak2 PSC
> itu. 
>  
> Juga, di samping regulasi, ada yang namanya
> "kebijakan". Kebijakan itu di luar regulasi. Dan,
> kebijakan yang satu kepada company A, belum tentu sama
> dengan perlakuannya kepada company lain. Saya pikir ini
> bagian dari proses tarik-ulur : antara menegakkan regulasi
> dan mengundang investor. Kebijakan itu bisa positif, bisa
> negatif untuk investor.
>  
> Banyak ahli hukum di Migas, BPMIGAS, maupun KKKS pernah
> berkata bahwa aturan2 di regulasi kadang2 harus tegas
> hitam-putih, kadang2 harus abu2 agar rentang penafsirannya
> luas. Nah, yang abu2 itu membolehkan kebijakan. Kalau tidak
> dengan kebijakan, bagaimana sebuah KKKS besar &
> internasional bisa mempertahankan blok eksplorasinya sampai
> lebih dari 10 tahun tanpa penuh melakukan komitmen pastinya
> yang tercantum di tiga tahun kontrak pertama ? Tetapi,
> akhirnya si KKKS itu divonis "mati" setelah
> Pemerintah memberikan kesempatan, tetapi tak dimanfaatkan si
> KKKS. 
>  
> Kemudian, antara yang tercantum di regulasi dengan
> mematuhinya atau mengawasi dan menghukumnya belum tentu
> sepadan. Ini beranalogi dengan ada rambu berhuruf S coret,
> lalu di dekatnya angkot berhenti menurunkan penumpang, nah
> si polisi yang berjaga di dekatnya ada yang menegur dan
> menghukumnya, ada pula yang membiarkannya saja. Kenapa
> membiarkannya ? Mungkin malas menegur, mungkin memang
> sengaja dibiarkan...
>  
> Soal 13 company itu, dan bila mengacu ke PP No. 2/2008,
> saya tak sependapat bahwa company baru bisa ikut di situ
> sebab PP tersebut terutama dibuat untuk companies yang sudah
> berada di suatu lahan berhutan yang di kemudian hari lahan
> operasinya menjadi kawasan hutanlindung, nah bukan salah si
> company kan; maka kompensasinya adalah company ditarik iuran
> yang dananya akan digunakan untuk rehabilitasi hutan. LSM2
> protes karena berarti itu melegalkan penjualan hutan.
> Contohnya, apakah Freeport yang telah ada di situ sejak
> 1968, bisa didepak saja sebab sekarang lahannya menjadi
> hutan lindung ? 
>  
> BPMIGAS-Migas-KKKS sebenarnya telah dari dulu membentuk
> pokja (kelompok kerja) untuk bernegosiasi dengan Departemen
> Kehutanan soal tumpang tindih hutan. Tetapi, hasilnya setahu
> saya minimal. Ini dibuktikan dengan banyak area KKKS yang
> berada di hutan lindung tak bisa diapa-apakan dan areanya
> mesti ditukar, dicari penggantinya (swap).
>  
> Tarik-tarikan antara memanfaatkan sumberdaya migas di bawah
> hutan yang belum tentu ada, dengan melestarikan hutan yang
> memang sudah terancam bukanlah persoalan gampang. Negara
> seperti Indonesia yang masih perlu banyak energi, yang masih
> perlu banyak devisa, yang ingin meratakan pembangunannya,
> yang ingin menumbuhkan ekonominya sampai 4,3 %; tetapi yang
> juga ingin melestarikan hutannya akan mengalami kesulitan
> dalam tarik-tarikan ini.
>  
> Salam,
> awang
>  
>  
> -Original Message-
> From: Kuntadi, Nugrahanto
> [mailto:kuntadi.nugraha...@se1.bp.com] 
> Sent: Monday, February 09, 2009 10:40 C++
> To: iagi-net@iagi.or.id
> Cc: Geo Unpad
> Subject: RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG
> & KP TAMBANG 
>  
> Terima kasih Pak responsenya,
>  
> Saya jadi teringat kepada cerita rekan sekantor saya yang
> sempat hadir di kursus nya Pak Ong mengenai regulasi migas
> (IPA course), dimana dalam satu diskusi di dalamnya terbetik
> topik bahwa sesulit apa pun prosedur hukum / perizinan di
> negara kita, tidak membuat Indonesia kehilangan calon
> investor karena lebarnya ruang "grey