[ppiindia] Jika Terpilih, Mega makin tak Populer
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/3/27/n3.html Jika Terpilih, Mega makin tak Populer Jakarta (Bali Post) - Popularitas Megawati Soekarnoputri akan terus melorot jika terpilih sebagai ketua umum dalam Kongres PDI-P, 28 Maret sampai dengan 2 April 2005. ''Sekarang Mega hanya mendapat 30 persen dukungan publik. Artinya, kepemimpinan PDI-P dipegang siapa pun, rakyat bisa terima,'' kata Direktur Soegeng Sarjadi Syndicated, Sukardi Rinakit, di Jakarta, Sabtu (26/3) kemarin. Sukardi meramalkan Megawati tetap unggul dalam kongres mendatang. Kalau dilihat dari hasil polling, Megawati lebih unggul tetapi tidak lagi mendominasi pendapat publik sepenuhnya seperti tahun 1999 yang mendapat dukungan 99 persen. Meski gerakan pembaruan mencoba menghadang, Sukardi mengatakan posisi Mega makin kuat dan berpeluang besar memimpin partai ini lagi. Ia melihat peta kekuatan masing-masing. Gerakan pembaruan hanya didukung sekitar 800 orang, sedangkan 1.000 dari 1.800 peserta kongres mendukung Megawati. Terhadap keinginan sejumlah pihak agar hak prerogatif dan formatur tunggal dipertahankan, Sukardi menilai jika itu dipertahankan maka demokratisasi di tubuh PDI-P akan terancam. ''Kalau Mega tetap dengan hak prerogatif dan formatur tunggal, demokrasi akan hancur. Artinya, Mega berperan mengkerdilkan demokrasi partai mungkin secara nasional,'' kata pengamat politik ini. Sementara itu, Koordinator Barisan Pendukung Mega Arnold MP Manurung mengatakan kongres kali ini merupakan jembatan emas untuk mengantarkan PDI-P menuju partai modern yang berwatak kerakyatan. Atas dasar itulah, kata Arnold, pihaknya mendukung secara penuh aspirasi akar rumput yang mengamanatkan kembali kepada Mega untuk menjadi ketua umum. Selain itu, mendesak Megawati untuk mempercepat penyempurnaan partai menjadi partai modern yang berwatak kerakyatan. (010) [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Is there a place for intolerance in Islam?
http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20050326.F05irec=4 Is there a place for intolerance in Islam? Sukidi Mulyadi, Cambridge, Massachusetts, USA In his book, The Place of Tolerance in Islam, (2002:22-33), Khaled Abou El Fadl, a distinguished Islamic scholar at the University of California, Los Angeles, makes a clear statement about the close interaction between the Koran as the text and the Muslim as the reader and interpreter in the construction of intolerance in Islam. If the reader is intolerant, hateful, or oppressive, he argues, so will be the interpretation of the text. In particular, the intolerant interpretation of Islam is then attributed to the Muslim puritans and extremists who read and interpret the Koran strictly, literally, and ahistorically. In support of his thesis, Khaled points to a number of these puritans and extremists in the course of Islamic history. First, intolerance in Islam, as Khaled postulates, may be traced back to the formation of the Kharijites (Arabic, pl. Khawbrij; s. Khawbrijn) in the first century of Islam. The Kharijites were commonly considered seceders, rebels, or revolutionary activists,, because they seceded and fought against the leadership of the fourth caliph, Ali b. Abi-Talib (r. 656-61), cousin and son-in-law of Muhammad. According to Khaled, the Kharijites were responsible for the assassination of Ali b. Abi-Talib by one of their members, Ibn-Muljam, in 661, and the deaths of both Muslims and non-Muslims at that time. He regards such historical events as examples of intolerance and fanaticism in the first century of Islam. Before the rise of the Kharijites, however, Khaled disregards several earlier examples that could also be taken to demonstrate intolerance in the course of Islamic history. One of these incidences involved the assassination of the third caliph, Uthman b. Affan (r. 644-56), at Madina by the mutineers -- a modern term for religious extremists -- who broke into Uthman's house and killed him in the year 656. Second, intolerance in the modern period is often associated with the rise of fanatics and extremist groups such as the jihad organizations -- al-Qaeda and the Taliban. Khaled argues that their theological foundations draw upon the so-called intolerant puritanism of the Wahhabi creed. The Wahhabi creed is a puritan form of Islamic teaching and propagation that is based mainly upon a strictly literal interpretation of the Koran and the Hadith. The founder of its movement, Muhammad b. Abd al-Wahhab (1703-1791), was a typical puritan Muslim. However, it seems to me that Khaled fails to trace the line connecting the teachings of Abd al-Wahhab back to the tradition of Ibn Taymiyyah (1263-1328). I believe it is essential to describe him briefly in order to get a proper understanding about the origins of the sort of intolerant interpretations of Islam that can be traced back to Ibn Taymiyyah. Born in Harran in Mesopotamia and trained in the Hambali tradition, Taymiyyah attempted to reinforce the doctrines of sharia using a strictly literal method, and declared that the Mongols and their descendants, regardless of their profession of faith in Islam, were infidels and apostates, because they paid more attention to the propagation of the Yasa than Islamic sharia. His literalist and intolerant view of Islam led him to regard the development of Islamic practices after the death of the Prophet Muhammad and the four rightly guided caliphs as unauthentic Islam, including popular Sufism, Shi'ism, and the veneration of saints' tombs. As a consequence, Taymiyyah began to oppose all forms of popular Sufism, cultic forms of worship, and the veneration of saints' tombs, in favor of purifying Islamic belief and practices from such religious deviations. Having been influenced by Taymiyyah's exclusivist and intolerant interpretations of Islamic sharia, Abd al-Wahhab also reinforced the Islamic sharia with a strictly literal approach, and began to purify Islamic doctrines and practices from corrupting customary Islam. Accordingly, forms of customary Islam were considered unauthentic Islam as they were characterized by a combination of Islamic values and doctrines adapted to shared characteristics of identity, local tradition and ancestral heritage. Similar to Ibn Taymiyyah, Abd al-Wahhab, as Marshall G.S. Hodgson (1974:161) argues, was not the first to denounce most other Muslims as infidels to be killed, but the Wahhabi state built up by the Sa'ud family proved effectively powerful ... to destroy all the sacred tombs, including the tomb of Muhammad, to massacre the Muslims of the holy cities, and to impose their own standards on future pilgrims. As such, Saudi Arabia's state version of Wahhabi Islam is founded on a strictly literal interpretation of the Koran and the Hadith, and an intolerant view of both Muslims and non-Muslims alike. Given such brief historical
[ppiindia] Menhan Diprotes DPR
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detailid=4712 Menhan Diprotes DPR Sabtu, 26 Mar 2005, Karena Beberkan Nilai Anggaran Operasi Ambalat Rp 5 Triliun JAKARTA - Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kini menghadapi hari-hari sulit. Selain menghadapi persoalan internal di Dephan karena keberaniannya menolak usul pejabat eselon I yang ingin meremajakan mobil dinasnya, kini Juwono menuai protes dari para anggota Komisi I DPR. Protes para politisi Senayan itu tidak terkait mobil dinas itu, tapi menyangkut masalah pengungkapkan dana tambahan untuk operasi Ambalat. Sejumlah anggota Komisi I DPR menyatakan keberatannya kepada Juwono yang begitu saja membeberkan akan ada tambahan dana Rp 5 triliun untuk operasi TNI. Apalagi, sebagian besar dana itu dialokasikan untuk membiayai operasi militer di perairan Blok Ambalat. Anggota Komisi I Djoko Susilo (FPAN, dapil Jatim I) menilai, Juwono telah melanggar kesepakatan antara Panitia Anggaran DPR, Pokja Pertahanan Komisi I DPR, dan Dephan. Ketiga pihak telah sepakat merahasiakan besaran usul anggaran tambahan untuk pengembangan kekuatan TNI itu, termasuk berbagai alternatifnya. Sikap protes juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie (FKB, dapil Jatim IX). Jumlah anggaran belum boleh disampaikan kepada masyarakat karena ketiga pihak belum sepakat. Lagi pula, Malaysia jangan sampai tahu dulu ada kenaikan anggaran. Kalau ada yang membocorkan, ya artinya melanggar kesepakatan, tegasnya kepada koran ini kemarin. Seperti diberitakan harian ini sebelumnya, Rabu lalu, setelah mengikuti Rakor Polhukam, Juwono kepada wartawan mengungkapkan bahwa pemerintah mengusulkan penambahan anggaran 2005 untuk TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Lauat Rp 5 triliun. Sebagian anggaran itu digunakan untuk membiayai kegiatan TNI di Ambalat. Effendy tidak menjelaskan lebih jauh konsekuensi yang akan diterima Juwono karena membeberkan rahasia dana pertahanan itu kepada pers. Yang pasti, menurut dia, Dephan memang mengajukan secara khusus anggaran untuk operasi TNI di Ambalat. Tapi, usul itu belum bisa dibahas DPR karena operasi militer di Ambalat baru inisiatif pemerintah. DPR belum memberikan kesepakatan secara resmi dan tertulis atas penggunaan dan gelar kekuatan TNI di Ambalat. Meskipun sejumlah anggota komisi I sudah mendukung inisiatif itu. Seharusnya, pimpinan DPR dan pimpinan fraksi memanggil presiden dalam forum rapat konsultasi untuk menjelaskan operasi militer Ambalat. Kalau disepakati, anggaran yang diajukan bisa disetujui. TNI bisa cepat-cepat membeli rudal, roket, atau bom, jelasnya. Effendy mengungkapkan, nilai Rp 5 triliun yang disebutkan Juwono hanya satu di antara sekian banyak alternatif anggaran pengembangan TNI dan operasi militer di Ambalat. Dia menolak merinci besaran alternatif itu dengan alasan masih rahasia. Tapi, sumber koran ini di DPR mengungkapkan bahwa alternatif besaran anggaran tambahan untuk TNI, antara lain, paket Rp 1 triliun, paket Rp 5 triliun, dan paket Rp 23 triliun. Kalau disetujui, anggaran tersebut akan masuk paket APBN Perubahan atau dana darurat. Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Pertama Sagoem Tamboen pernah mengungkapkan bahwa pada 2005, pihaknya menyampaikan usul penambahan alutsista (alat utama sistem persenjataan). Yang mendesak, misalnya, enam unit pesawat tempur Sukhoi, suku cadang pesawat angkut Hercules C-130, maritime aircraft sebagai pesawat intai, penambahan pesawat latih Wing B, dan beberapa unit radar. Kepala Dinas Penerangan TNI-AL Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan, beberapa alutsista yang dibutuhkan, antara lain, kapal selam, rudal, dan beberapa kapal cepat. Reaksi Kalla Sementara itu, sumber kuat koran ini di Dephan mengungkapkan, usul anggaran operasi TNI di Ambalat masuk ke Komisi I DPR tersebut tanpa sepengetahuan Menhan Juwono Sudarsono. Tapi, itu disampaikan salah seorang pejabat eselon I yang sebentar lagi diganti. Masuknya usul penambahan anggaran itu membuat Wapres Jusuf Kalla berang. Kalla memerintah Juwono supaya mengingatkan bawahannya itu. Mengapa Wapres berang? Sebab, permintaan kenaikan anggaran ke Komisi I DPR menyalahi prosedur. Seharusnya itu diajukan ke Depkeu terlebih dahulu. Wapres bertanya-tanya, apa ada broker anggaran? terang sumber yang meminta nama dan jabatannya tidak dikorankan. Sumber koran ini mewanti-wanti supaya nama pejabat eselon I yang disebutkan tidak diungkap dahulu di koran. Sebab, saat ini hubungan Menhan dengan sejumlah Dirjen sedang renggang. Apalagi sejak pembatalan rencana pembelian mobil dinas baru terkuak ke publik. Juwono sendiri dikabarkan bakal mendiamkan saja surat desakan klarifikasi dari Sekjen Dephan Suprihadi yang diteken sejumlah pejabat eselon I pada Kamis lalu. Sejak Juwono kembali memimpin Dephan, kata sumber itu, jajaran pejabat eselon I merasa gerah. Mereka tidak lagi bebas bermain dan melakukan pengadaan barang/jasa yang kental dengan indikasi mark up. Selama
[ppiindia] Sophan: Mega Harus Ditantang
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detailid=4711 Sabtu, 26 Mar 2005, Sophan: Mega Harus Ditantang JAKARTA - Kongres II PDIP (28 Maret-2 April) bakal ramai. Penantang Megawati Soekarnoputri untuk merebut kursi ketua umum partai berlambang banteng moncong putih itu semakin merapatkan barisan. Sophan Sophiaan, salah satu penantang kuat Mega, menegaskan tak akan surut dari gelanggang pencalonan pucuk pimpinan partai. Hal itu diucapkan putra Manai Sophiaan tersebut kepada wartawan di kediaman cendekiawan Nurcholish Madjid, di kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Kemarin siang, Sophan memang membesuk Cak Nur -nama akrab Nurcholish Madjid. Dia datang semobil dengan Arifin Panigoro yang juga deklarator gerakan pembaruan PDIP. Saya jalan terus. Tapi, saya tidak mau berpolitik seperti sekarang dengan menggunakan janji, menggunakan uang, dan membujuk, katanya. Saya punya cita-cita memperbaiki PDIP karena kemauan. Memperbaiki PDIP sebagai kesadaran, lanjut suami aktris Widyawati itu. Dia menegaskan, dirinya maju menantang Megawati dan Guruh Soekarno Putra karena diminta teman-temannya sesama kader PDIP. Saya melihat PDIP ini stagnan. Tak ada orang yang berani melangkahi Bu Mega. Kalau pegang asas demokratisasi, setiap anggota itu kan punya hak untuk maju, sambungnya. Karena itu, ketika ditanya apakah dirinya berani menantang Mega, dia menjawab berani. Kalau ditanya motivasinya, dengan diplomatis dia menjawab, Motivasi saya, yakni untuk memotivasi teman-teman untuk berani maju. Pendukung Anda siapa saja? Ditanya demikian, Sophan memilih menjawab panjang lebar. Menurut dia, dalam PDIP itu, ada kepentingan formal dan informal. Nah, dalam kaitan informal, lanjut Sophan, banyak orang yang ingin melakukan pembaruan, banyak orang yang ingin supaya PDIP tidak dipimpin oleh orang-orang yang seperti sekarang. Bagian inilah yang mendukungnya. Saat ditanya soal posisi Mega yang masih kuat dan kelihatannya bakal menang lagi, Sophan menerangkan bahwa soal itu merupakan tanggung jawab semua kader PDIP. Apakah ingin PDIP didukung publik atau tidak. Sebab, di mata Sophan, jangan harap ada perubahan kalau Mega kembali menjadi ketua umum. Alasannya, belum apa-apa Mega tetap menghendaki hak prerogratif, Mega tetap menghendaki formatur tunggal. Ini kan pilihan jauh dari demokrasi. Ini semua tanggung jawab semua kader PDIP. Jika di kongres nanti status quo (Mega) menang, gerakan pembaruan PDIP bagaimana? Apa mau bikin PDIP-P atau apa? Seorang kader partai itu masuk partai karena kesadaran. Kalau partai tersebut tidak bisa lagi menampung dan menyalurkan aspirasi saya, saya akan keluar dari partai itu, jawabnya. Dan terus terang, sampai saat ini, aspirasi saya dengan PDIP sudah berbeda. Kita lihat nanti setelah kongres, tambahnya. Sementara itu, Arifin menyatakan pendapatnya secara singkat, Saya akan dukung Sophan. Selesai kan. (naz) [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Sepanjang 400 Kilometer Jalan Lintas Tengah Sumatera Rusak
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/26/utama/1643128.htm Sepanjang 400 Kilometer Jalan Lintas Tengah Sumatera Rusak Baturaja, Kompas - Kerusakan parah jalan lintas Sumatera tidak hanya terjadi di lintas timur. Jalan lintas tengah juga rusak berat di banyak lokasi, memanjang hingga sekitar 400 kilometer mulai dari Kabupaten Lampung Utara hingga Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Menurut pengamatan Kamis pagi hingga Jumat (25/3) mulai dari Bandar Lampung hingga ke Lahat, kerusakan di sepanjang jalan lintas tengah (jalinteng) Sumatera umumnya berupa lubang-lubang yang dalam. Kedalaman lubang bervariasi, dari 0,1 meter sampai lebih dari 0,5 meter. Di banyak lokasi lubang kecil dan dalam terdapat di hampir semua lebar jalan. Akibatnya, mobil dan sepeda motor yang melintas harus berjalan pelan agar dapat menghindari lubang atau melintasinya dengan perlahan-lahan sehingga kendaraan tidak terguncang, terbalik, atau rusak. Kerusakan jalan yang ditemui di banyak lokasi tampak parah. Lubang menganga besar dan dalam selebar badan jalan. Kondisi seperti itu menyebabkan pengemudi kendaraan membawa kendaraannya dengan hati-hati supaya tidak mengalami kecelakaan. Kondisi ini mengakibatkan semua kendaraan berjalan merayap. Gara-gara rusak parahnya jalinteng sepanjang ratusan kilometer sebagian besar sopir truk, bus, dan mobil pribadi lebih memilih jalan lintas timur (jalintim) Sumatera. Sepanjang Kamis siang lalu kendaraan roda empat yang melintas di jalinteng tampak jauh lebih sedikit daripada yang melintas di jalintim sehari sebelumnya. Kondisi jalintim sendiri, meskipun rusak parah di kawasan perbatasan Sumatera Selatan (Sumsel) dan Lampung, tetap dipilih pengendara karena di beberapa lokasi lainnya jalan sudah mulus. Kerusakan di jalintim hanya terdapat di kawasan Simpang Pematang, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, sejauh 20 kilometer serta di kawasan Lempuing dan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Kerusakan jalintim di perbatasan Sumsel dan Lampung juga parah. Agar bisa melewati jalan rusak, semua kendaraan harus berjalan bergantian dengan terlebih dulu antre. Pada Rabu lalu antrean di jalintim mencapai sekitar 10 kilometer (Kompas, 24/3). Semua rusak Rusak parahnya jalintim dan jalinteng menyebabkan kendaraan yang hendak menuju ke berbagai daerah di Sumatera kini tidak punya pilihan melewati jalan dengan kondisi baik. Kondisi seperti itu dikeluhkan pengemudi kendaraan, terutama para sopir truk dan bus yang kerap melewati dua jalan negara tersebut. Pemerintah payah, masak sekarang ini semua jalan lintas Sumatera rusak parah. Kami, sopir, serba salah. Mau lewat jalintim harus antre sehari atau lebih, sedangkan untuk lewat jalinteng kerusakan terjadi di sepanjang jalan. Bahkan, di beberapa lokasi jalan benar-benar telah hancur, ujar Suhardi, sopir truk dari Padang, Sumatera Barat, dengan tujuan Jakarta, ketika ditemui di tepi jalinteng di kawasan hutan antara Baturaja dan Muara Enim Kamis petang. Saat itu truk Suhardi dan mobil yang dikendarai Kompas harus menepi dan berhenti karena menunggu beberapa truk besar dari arah berlawanan melintas. Akibat jalan di tikungan dan menanjak itu rusak parah, mobil yang hendak lewat dari dua arah harus berjalan secara bergantian. Kondisi ruas jalinteng antara Baturaja dan Muara Enim betul-betul parah. Jalan berlubang besar dan dalam tersebar di ruas jalan sepanjang lebih kurang 100 kilometer itu. Ruas jalan yang sebagian melewati kawasan hutan tersebut selama ini juga dikenal sebagai jalan yang rawan aksi perampokan. Itulah sebabnya pada Kamis petang jalan tampak lengang dari kendaraan yang melintas. Kondisi jalan Kerusakan jalinteng dari arah Bandar Lampung mulai terjadi sekitar 18 kilometer sebelum Kotabumi, ibu kota Kabupaten Lampung Utara. Lokasi itu terletak 88 kilometer (KM 88) dari Bandar Lampung. Kerusakan terus memanjang hingga Bukit Kemuning (KM 151). Lima kilometer setelah kota kecamatan itu jalan tergolong mulus dan ada pula perbaikan jalan yang tengah dilakukan. Namun, selepas itu jalan rusak tampak di banyak lokasi hingga perbatasan Sumsel (KM 231). Selepas perbatasan tetap banyak jalan rusak yang ditemui di sepanjang jalan hingga Baturaja, ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ulu (KM 270). Di lokasi ini kerusakan parah terjadi sepanjang tiga kilometer dan, menurut pengamatan, kondisinya sama seperti dua tahun lalu. Kerusakan dengan kondisi lebih parah berlanjut di ruas antara Baturaja hingga Muara Enim (KM 383). Pemakai jalan agak merasa lega selepas wilayah Muara Enim karena jalan-yang belum lama ini diperbaiki-mulus. Akan tetapi, jalan mulus itu hanya sepanjang 17 kilometer. Setelah itu, hingga memasuki kota Lahat (KM 426), jalan kembali rusak parah karena penuh lubang besar dan dalam. Jalan rusak parah kembali menghadang pemakai jalan ketika ia melalui ruas jalinteng antara Lahat dan Tebing Tinggi sepanjang 70 kilometer. Kerusakan di ruas ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun
[ppiindia] Baku Hantam akibat Fulus sampai Beda Pendapat
MEDIA INDONESIA Minggu, 27 Maret 2005 FOKUS MINGGU Baku Hantam akibat Fulus sampai Beda Pendapat JUTAAN pasang mata pasti terkesima di depan layar kaca, ketika pada Rabu (16/3) lalu, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nyaris terlibat baku hantam. Mungkin bila tidak ada yang melerai, bukan mustahil Ketua DPR Agung Laksono akan jadi bulan-bulanan koleganya yang marah. Aksi yang menjurus pada perkelahian itu, bukan tanpa sebab. Ketidaktegasan DPR dalam bersikap menolak atau menerima kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dianggap sebagai pemicunya. Terlebih sikap Agung yang dianggap telah terkooptasi dengan kebijakan pemerintah. Toh soal adu argumentasi hingga baku hantam antaranggota Dewan, sebetulnya bukan sesuatu yang aneh pasca-Orde Baru. Semua itu selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sehingga kalau kemudian bermuara pada baku hantam, barangkali, ya sah-sah saja. Soal perdebatan yang mengarah pada caci maki hingga pemukulan, bukan monopoli sejumlah anggota DPR pusat saja. Di beberapa daerah, adu argumentasi malah berlanjut ke jenjang perkelahian. Di Jambi pada Mei 2001 misalnya. Anggota DPRD Muarajambi terlibat saling lempar papan nama sebelum berbaku hantam. Pemicunya adalah aksi Wakil Ketua DPRD Muarajambi Husin Effendi yang dinilai tidak menghormati paripurna. Husin datang terlambat di ruang sidang pembahasan pemilihan ulang Bupati Muarajambi. Kalau cuma terlambat lantas duduk sih mungkin tidak akan ada kericuhan. Tapi, Husin tetap berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan anggota Dewan. Jelas saja situasi itu memancing kemarahan sejumlah koleganya. Atau buka ingatan kita sejenak pada Juni 2002, saat terjadi baku pukul antarsesama anggota DPRD Kota Depok. Pemicunya, tudingan anggota Komisi D Toni Hutapea terhadap rekannya, anggota Komisi C Dadang Ibrahim, yang dianggap menerima uang muka Rp15 juta dari pembeli besi baja eks bongkaran Pasar Agung di Depok Timur, dari total nilai Rp175 juta. Persoalan fulus ternyata menjadi salah satu penyebab kenapa beberapa wakil rakyat ini jadi ringan tangan. Bukan cuma di Depok, di Surabaya malah sangat transparan. Pada Desember 2002, dua anggota F-PDI Perjuangan DPRD Kota Surabaya Isman dan Baktiono terlibat perkelahian di ruang Komisi A DPRD Surabaya. Penyebabnya, Isman yang kini berada di Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan (PNBK), menuntut hak-haknya selama menjadi anggota PDIP seperti uang sidang, uang bantuan Pemkot Surabaya, tabungan, serta tunjangan. Namun, upaya Isman mendapatkan hak-haknya itu agaknya dipersulit Baktiono. Sejumlah kelakuan minus anggota Dewan itu, dalam pandangan sosiolog dan Direktur Center for East Indonesia Affairs (CEIA) Ignas Kleden, dipicu oleh banyaknya monolog yang simpang siur sehingga masing-masing anggota Dewan tidak bisa menerima pendapat lain. ''Sebab dalam rapat paripurna, tidak terjadi pertukaran argumentasi antaranggota Dewan. Banyak monolog yang simpang siur. Akibatnya tidak ada dialog dan interaksi dua arah yang seimbang. Karena itu masing-masing anggota Dewan tidak bisa menerima pendapat lain,'' jelas Ignas. Kalau Kleden lebih menyoroti soal kemacetan interaksi komunikasi di antara anggota Dewan, beda dengan Butet Kertaredjasa. Menurut Budayawan dari Yogyakarta ini, sikap nyleneh anggota Dewan menunjukkan adanya persoalan kejiwaan. ''Perdebatan pendapat yang sengit antaranggota Dewan itu wajar. Tetapi menjadi tidak wajar ketika hal elementer dalam politik tidak terekspresikan yaitu sopan santun, karena manusia harus punya etika sosial. Berarti secara kejiwaan ada yang salah pada mereka,'' kata Butet, Rabu (23/3). Sikap berbudaya itu setidaknya merupakan pencerminan watak dari seorang anggota Dewan. Kalau memang masing-masing memiliki iktikad dan moral yang baik, rasanya tidak mungkin terjadi baku hantam antarsesama anggota. Cuma, menurut pakar politik dari UGM Mochtar Mas'oed, kericuhan di DPR itu tidak ada kaitannya dengan demokrasi, dan bukan sebuah budaya politik. ''Tingkatannya jauh di bawah demokrasi, tak ada kaitannya dengan demokrasi, dan itu juga bukan budaya politik,'' tegas Mochtar. Namun, menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Adjie Massaid, kejadian tersebut merupakan kemajuan proses demokratisasi politik di Indonesia. Masyarakat pun bukan mustahil akan melupakan sejenak kepahitan hidup dengan melihat reality show tersebut. ''Seru melihat anggota Dewan saling dorong, tuding dan maki, bahkan ada yang melompat dari meja dan jatuh terjerembab. Lumayan tontonan reality show begini, menurut saya sih, menggelikan sekali,'' kata Doni, seorang pegawai negeri sipil di Jakarta. Kalau pendapat anggota masyarakat sudah begini, lantas bagaimana sebaiknya? (Lng/SA/IA/M-6) [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor
[ppiindia] Partai Pisang, Rambutan, dan Kelapa
http://padangekspres.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=7467PHPSESSID=4abcad4b780160a469f7be71422fb753 Partai Pisang, Rambutan, dan Kelapa Oleh Muhammad Qodari Oleh Redaksi Sabtu, 26-Maret-2005, 12:15:3257 klik Ada berapa jenis partai politik di Indonesia? Kalau pertanyaan itu diajukan pada seorang peneliti dan pengamat politik yang hobi makan buah-buahan, jawabannya mungkin hanya tiga: partai pisang, rambutan, dan kelapa. Kesannya main-main, tapi boleh jadi pohon buah-buahan itu dapat menjadi analogi tepat untuk mengggambarkan kondisi partai politik kita. Pohon pisang, misalnya. Pohon tersebut memiliki kekhasan, yakni hanya berbuah sekali seumur hidupnya. Pohon pisang cuma berbuah sekali, setelah itu mati. Siklus pohon pisang pun pendek. Tidak ada pohon pisang yang hidup tahunan. Pohon rambutan tidak seperti pohon pisang, mampu berbuah berkali-kali. Umurnya juga panjang, bisa mencapai belasan bahkan puluhan tahun. Tapi, pohon rambutan cuma mampu berbuah setahun sekali. Kita tidak bisa menikmati rambutan segar setiap hari karena rambutan adalah buah musiman. Ia hanya berbuah pada waktu tertentu. Bagaimana pohon kelapa? Tak seperti rambutan, mangga, atau buah musiman lain, kelapa berbuah tak mengenal musim. Ia terus menghasilkan buah sepanjang tahun. Tidak seperti pisang atau rambutan yang menunggu tua baru enak dimakan, kelapa muda sama bergunanya dengan kelapa tua. Uniknya, hampir semua bagian pohon kelapa berguna untuk manusia. Air dan daging kelapa muda untuk obat dahaga. Air kelapa tua diolah menjadi nata de coco. Dagingnya diparut dan diperas menjadi santan. Sabutnya dapat menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah yang semakin mahal. Pelepahnya dibuat lidi atau anyaman. Batang pohonnya banyak dijadikan bahan bangunan yang kokoh. Partai pisang, seperti halnya pohon pisang, cuma sekali berarti dan sudah itu mati. Di antara partai-partai yang ada sekarang ini, Partai Demokrat potensial menjadi partai jenis tersebut. Pada pemilu 2004 lalu, partai itu membuat kejutan dengan langsung menduduki peringkat kelima dalam klasemen pemilu legislatif nasional. Partai Demokrat adalah pohon pisang yang berbuah subur. Bukan hanya meraih 56 kursi di DPR, partai berlogo bintang tiga itu bahkan berhasil mengantarkan kadernya, Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi presiden keenam Indonesia. Tapi, ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan bahwa partai tersebut bakal jadi partai gurem pada Pemilu 2009. Mengapa? Penyebab utamanya adalah konflik yang dalam dan berlarut antara kubu Ketua Umum S. Budhisantoso dan Wakil Ketua Umum Vence Rumangkang. Keduanya sama kuat. Tak ada yang mau mengalah. Karena konflik itu, roda organisasi macet total. Tidak ada program kerja dan kaderisasi yang jalan. Yang ada cuma gontok-gontokan. Saling pecat dan berebut jabatan. Jangan-jangan partai tersebut bubar sebelum Pemilu 2009. Seperti pohon rambutan, partai rambutan adalah partai musiman. Eksistensi partai hanya terasa pada musim-musim tertentu. Apalagi, kalau bukan pada musim pemilu. Seperti rambutan yang merah menggoda warnanya, partai rambutan tampil menor habis-habisan di masa kampanye. Di musim pemilu, partai rambutan tampil sebagai pembela rakyat, penyaji janji-janji pembangunan yang muluk. Intinya menjadi sangat perhatian kepada rakyat. Partai rambutan adalah tipologi umum partai politik Indonesia. Banyak partai besar yang berperilaku menyerupai partai rambutan. Partai-partai, seperti Golkar, PDIP, PKB, PPP, dan PAN, mungkin bisa dimasukkan kategori itu. PDIP, misalnya, pada Pemilu 1999 memproklamasikan diri sebagai partai wong cilik yang membela rakyat Indonesia. Berkat wong cilik, PDIP menjadi partai terbesar Pemilu 1999. PDIP kemudian berhasil mengantarkan ketua umumnya menjadi wakil presiden dan kemudian presiden Indonesia. Namun, apa yang terjadi setelah itu? PDIP gagal memenuhi janji-janjinya yang terdahulu. Nasib tenaga kerja Indonesia di luar negeri, misalnya, banyak terbengkalai. Banyak TKI di Malaysia yang melarikan diri karena dikejar-kejar aparat keamanan Malaysia hingga telantar di berbagai pelabuhan. Tapi, Presiden Megawati tidak mengunjungi TKI pengungsi. Padahal, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwawea berasal dari PDIP. PDIP baru berusaha keras menyapa rakyat lagi ketika Pemilu 2004 datang. Namun, rakyat telanjur kecewa sehingga PDIP terjungkal tiga kali dalam setahun, pemilu legislatif, pemilu presiden I, dan pemilu presiden II. Adapun partai kelapa, sifat-sifatnya seperti pohon kelapa. Berbuah setiap saat dan setiap bagiannya berguna bagi masyarakat. Pohon kelapa banyak tumbuh di negeri ini, tapi entah mengapa tanah Indonesia tidak subur untuk partai kelapa. Saat ini, mungkin hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang layak disebut partai kelapa. Sejak bernama PK, PKS mampu tampil sebagai partai yang kehadirannya tidak hanya menonjol pada masa pemilu. Jika terjadi musibah atau bencana alam, kader-kader PKS turun tangan membantu.
[ppiindia] Pendidikan Antikorupsi di Sekolah
http://padangekspres.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=7411 Pendidikan Antikorupsi di Sekolah Oleh Sabiqul Khair Syarif S. Oleh Redaksi Selasa, 22-Maret-2005, 03:55:46114 klik Pelbagai macam upaya dilakukan pemerintah untuk memberantas praktik-praktik korupsi yang sangat parah terjadi di negeri ini. Aksen plan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, untuk memberantas korupsi sampai perlu dibuat Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hanya, proses itu cenderung mendapat keluhan atau tanggapan negatif dari beberapa kalangan. Mereka beranggapan bahwa mengakarnya mafia peradilan yang bercokol di tingkat kejaksaan dan kepolisian semakin membuat proses penegakan hukum menjadi pesimistis. Tak Membalik Telapak Siapa pun harus mengakui bahwa proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan. Lebih dari itu, harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Juga harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi. Kini muncul wacana dan kesadaran moral bahwa untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat negeri ini, selain melalui mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyemaian nalar dan nilia-nilai baru bebas korupsi melalui pendidikan formal. Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam menyemai pendidikan dan sikap antikorupsi. Melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, generasi baru Indonesia diharapkan memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi. Ketua MPR Hidayat Nurwahid berpendapat bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Gagasan yang kali pertama dilontarkan Koalisi Antarumat Beragama (KAUB) itu perlu diapresiasi secara elegan sehingga akan terbangun sebuah sinergi atau garis demarkasi yang secara riil dapat meminimalisasi praktik korupsi di negeri Indonesia. Hanya, memberikan pendidikan antikorupsi bukan hal mudah. Persoalannya, korupsi sering dianggap bukan hal yang paling krusial untuk diberantas. Bahkan, lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk, di sekolah-sekolah di negeri ini. Misalnya, guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu. Korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal itu juga dapat memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan. Pengenalan Bentuk Korupsi Terlepas dari apakah pendidikan juga mengalami distorsi makna dan fungsi, yang jelas pendidikan tentang filosofi bebas korupsi dan antisegala bentuk praktik korupsi -terutama di sekolah- tetap perlu dikenalkan dan ditanamkan. Penciptaan virus baru antikorupsi perlu diakumulasikan dengan penyebaran dari pelbagai macam lini, baik kultural, ekonomi, maupun sosiopolitik. Dengan demikian, virus nilai-nilai antikorupsi diharapkan dapat menjadi benteng kukuh dalam melakukan perubahan mendasar untuk memerangi segala macam korupsi di negeri ini. Pemetaan penyebaran virus antikorupsi dalam pendidikan harus dilakukan secara masif. Pakar pendidikan J. Drost, S.J. selalu menampik tujuan utama sekolah adalah mendidik. Artinya, yang ingin diperjelas di sini bahwa antara pengajaran dan pendidikan sering tidaklah sama. Akan tetapi, banyak orang yang mencampur aduk dan menganggap sama. Itulah kerancuannya. Tugas utama dan terutama sekolah adalah pengajaran, bukan pendidikan. Tugas pengajaran yang dilakukan sekolah dalam proses belajar-mengajar adalah membantu anak mengembangkan kemampuan intelektual yang dimilikinya. Sementara itu, pendidikan dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai ke dalam budi anak-anak. Sebenarnya, hal tersebut merupakan tugas utama orang tua, sekolah hanya membantu. Dari ungkapan itu, kita dapat mengambil beberapa kerangka berpikir yang mendasar dan lebih mendalam bahwa penyebaran virus antikorupsi jangan hanya berhenti pada ranah sekolah atau perguruan tinggi. Lebih jauh dari itu, orang tua dan keluarga juga harus ikut berperan serta dalam menyemaikan virus antikorupsi. Dengan kata lain, seharusnya pendidikan antikorupsi sudah dimulai dari lingkungan keluarga. Keluargalah yang harus turut aktif menanamkan nilai-nilai moral bebas korupsi. Jika hal itu terbangun, akan terjadi sinergi yang saling mengisi. Proses tersebut akan mengakselerasikan pemberantasan segala macam bentuk praktik korupsi di lingkungan keluarga
[ppiindia] Kompensasi BBM dan Social Welfare
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=103736 Kompensasi BBM dan Social Welfare Sri Adiningsih Ekonom Universitas Gajah Mada Yogyakarta Senin, (14-03-'05) Urgensi dan keadilan subsidi BBM yang menjadi beban berat APBN mulai dimasalahkan sejak era Presiden Gus Dur. Tim ekonomi pemerintah saat itu mencoba mengerem kemarahan publik terkait kenaikan harga BBM melalui pengucuran dana kompensasi sosial. Pengalihan dari subsidi komoditas ke subsidi langsung kepada masyarakat paling bawah ini diharapkan mampu meminimalisasi dampak kenaikan harga BBM. Sejak itulah istilah dana kompensasi BBM mulai dikenal. Pengalihan subsidi komoditas menjadi subsidi langsung ke masyarakat dimaksudkan untuk menjaga agar sumber dana terbatas benar-benar diberikan kepada masyarakat yang memerlukan. Namun mengingat pelaksanaan program kompensasi BBM selalu bersifat ad hoc, potensi penyimpangan pun cukup besar dan juga sulit diawasi. Kontroversi sekitar dana kompensasi tidak harus terjadi jika kita memiliki peta yang baik mengenai di mana, siapa, dan apa kebutuhan utama masyarakat miskin. Sayangnya, informasi yang diperlukan tidak dimiliki dengan baik sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif maupun lembaga lain yang berkepentingan dalam menangani masalah kemiskinan, khususnya terkait dengan subsidi. Perlu dibuat kerangka kebijakan integral terkait dengan kebijakan energi dan juga kebijakan menyangkut harga komoditas tersebut. Apakah kita akan mengikuti harga pasar internasional, atau perlu kebijakan yang mengondisikan harga dipatok pada kisaran tertentu. Dengan itu, kalau terjadi lonjakan harga yang tajam - namun diperkirakan sementara - beralasan diberikan subsidi untuk meminimalisasi guncangan dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat. Perubahan kebijakan dari subsidi komoditas ke subsidi langsung itu sendiri memang harus dilakukan. Meski demikian, perubahan yang dilakukan perlu bertahap agar tidak menimbulkan keguncangan dalam ekonomi maupun dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kebijakan kenaikan harga BBM untuk mengurangi subsidi langsung perlu dilakukan bertahap. Di lain pihak, pemerintah perlu menyiapkan semua pendukungnya agar keguncangan akibat kebijakan tersebut jadi minimal. Subsidi komoditas kepada BBM sebenarnya masih digunakan oleh banyak negara, seperti Malaysia, Myanmar, juga Brunei Darussalam. Sedangkan negara seperti Vietnam, Pilipina, dan Thailand memberikan subsidi pada beberapa jenis BBM tertentu. Tapi kenaikan harga BBM yang tajam akhir-akhir ini telah membuat negara-negara tersebut menjaga stabilitas harga BBM dengan memberikan subsidi agar tidak menimbulkan gejolak harga, di samping meredam dampak negatif dalam perekonomian. Indonesia tidak sendirian. Namun subsidi BBM yang tahun lalu mencapai Rp 60 triliun lebih tentu tidak mungkin terus dilanjutkan. Karena itu, pencabutan subsidi harus dibarengi dengan berbagai pengaman agar masyarakat yang sudah miskin tidak semakin menderita. Demikian juga sejalan dengan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) dan sistem pendidikan nasional, sudah saatnya pemerintah membangun social welfare ala Indonesia dengan modal dasar dana kompensasi BBM. Ini agar kebijakan ad hoc yang mudah disalahgunakan dan sulit dikontrol tidak terjadi lagi. Demikian juga program subsidi bagi masyarakat miskin dapat terbangun lebih baik dan dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun. Semoga. *** [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Czechs' hero? The people's choice is a joke
Bung Bismo, Any comments to this story? -- Czechs' hero? The people's choice is a joke By Ladka M. Bauerova International Herald Tribune Saturday, March 26, 2005 PRAGUE He was the hidden Czech genius behind key European discoveries, inventions, and musical and literary masterpieces, forgotten merely because he never made it to the patent office on time. . He served as a consultant to Einstein, Chekhov, Eiffel and Johann Strauss. He was beloved by his countrymen, and still is, judging by the flood of nominations he received when a contest to choose the greatest Czech in history kicked off on television in January. . But the belated triumph of Jara Cimrman (pronounced YAH-ra TSI-mer-mahn), Czech hero, was not to be. . The network running the contest has thrown out his nomination because of what most Czechs would consider to be a petty detail: Jara Cimrman is a fiction. He was an ingenious, well, loser, who never existed, except in theater and film. . A beloved comic character, Jara Cimrman was created in the 1960s by a troupe of actors and writers based in Prague. He has since come to occupy a special position in Czech cultural life, as shown by the initial results of Czech TV's Greatest Czech contest, based on a popular BBC program. . Although Czech TV will not disclose the figures, an executive, Tereza Typoltova, described support for Cimrman as massive in the contest's nomination phase, which took place in January. Ten finalists will be chosen, with the winner to be announced on June 11. . Other countries with similar contests using the BBC format have elected war heroes or great statesmen: Winston Churchill was chosen in Britain, Nelson Mandela in South Africa, Konrad Adenauer in Germany. . That Czechs preferred a fictional character is perhaps fitting in a country that elected a playwright, Vaclav Havel, as its president and that has produced such masters of the absurd as Franz Kafka and Milan Kundera. . But why would Czechs look up to a man who, real or not, managed to blow every opportunity to become famous in his fictional lifetime? Why admire a bungler - a brilliant bungler, but a bungler nonetheless - who missed becoming the first person to reach the North Pole by a mere 7 meters, or 23 feet? . Of Cimrman's brilliance there can be little doubt. This was the man who suggested to Anton Chekhov that two sisters were not enough for a full-fledged play. It was he who showed Gustave Eiffel how to stabilize his famous tower. . Cimrman's spiritual fathers, Ladislav Smoljak and Zdenek Sverak, were not surprised by their creation's popularity. He is the perfect type for the greatest Czech, Smoljak said. He was not appreciated in his lifetime. He embodies the desire of a small nation to be greater, more famous and more respected. . Sverak added: People chose humor, because humor saved our nation several times already. Indeed, humor was often the only recourse left to a people whose lands were occupied for centuries - by the Hapsburg dynasty, then by the Nazis - and who in recent times lived under a Communist dictatorship. . Perpetual lack of control over destiny creates a special mind-set. The Czechs know what it is to have victory within their grasp, only to see it snatched away. That is why Jara Cimrman, a misunderstood genius who never received his due, strikes such a chord here. . Czechs, wary of grand nationalistic gestures, preferred to turn patriotism into a joke. But this did not mean they would not fight for their hero's rights. . After Czech TV announced that it could not consider Cimrman a candidate, his fans started an Internet petition drive, collecting more than 38,000 signatures. Finally the BBC stepped in and allowed the creation of a special category for fictional characters for the Czech Republic, one of eight countries where the format has been licensed. . In addition, Czech TV promised to prepare a documentary about Cimrman modeled on those being produced about the 10 finalists. . This solution leaves many Cimrman supporters dissatisfied. I think all historical figures are fictional, said Jiri Rak, a historian and author of the book Former Czechs: Czech Historical Myths and Stereotypes. . All those great figures are of their time, Rak said, and the different epochs projected their own ideals onto them, violating the real people in the process. History as such is a fiction that we keep rewriting every day. . Comparing a medieval monarch with a 19th-century artist or a modern-day scientist is simply nonsense, added Rak, a fan of Jara Cimrman. In his view, the Czechs identify with a loser because, throughout recent history, they were always on the losing side. . The Jara Cimrman Theater emerged from the heady cultural brew of the 1960s. As the hard-line Stalinist doctrine began to lose its grip on Czechoslovakia, a new generation of writers, actors and comedians emerged. Among them
[ppiindia] The martyr of El Salvador New Feature
http://www.iht.com/articles/2005/03/25/opinion/edhiggins.html The martyr of El Salvador New Feature By Richard Higgins The Boston Globe Saturday, March 26, 2005 Archbishop Oscar Romero In San Salvador 25 years ago, on a Monday at 6:45 p.m., a lone man in the rear of a small chapel with a high-power rifle fired one shot at the 62-year-old priest raising his arms over the altar. Archbishop Oscar Romero fell dead to the marble floor, his vestments soaked in blood. . The primate of the Salvadoran Catholic Church from 1977 to 1980, Romero was killed because he supported the right of poor Salvadorans to equal citizenship in their own society, and he tried to end the use of repression and violence to thwart it. . The last quarter-century has not been kind to the broader liberation theology movement that Romero found inspiring. But his star burns bright. To liberals, Christians, and supporters of human rights and peace around the world, he is a figure of iconic, even mythological, proportions. . Romero is recalled as someone who pursued and achieved a measure of change not through an elitist agenda, social theory, hatred of the rich or fury at injustice. Rather he displayed the fundamental truth that valuing and loving others builds the foundation of justice. He was that rare person in a powerful position who sought to bring down the high and raise the low. . Romero triumphed in failure. His murder was a crippling, even humiliating, loss to his supporters in 1980. To be shot dead while saying Mass was an unnerving exclamation point. To add to their dismay, the killing escalated El Salvador's 12-year civil war. . Yet what the mourners did not see was that it was really too late to end his work. Romero had already sown the seeds of hope in countless others. When El Salvador's warring parties made peace in 1992, so many proponents of the accord cited Romero's legacy that even cynics had to wonder about the archbishop's remark, early in 1980, that if he was killed, he would rise again in the Salvadoran people. . Romero's life was drenched in irony. Although he was personable and well-spoken, he was no firebrand at first, politically or theologically. He was viewed as a bland company man in the Salvadoran hierarchy and, upon being named archbishop, was expected to continue his conservative, helicopter-blessing ways. . But as fellow priests, friends and others were killed and as Romero consoled mourners and listened to witnesses, the company he kept changed him. It led him to do outrageous things. He named names in his weekly sermons broadcast over national radio. He asked Jimmy Carter to cut off American military aid. He went around military leaders and appealed directly to the soldiers carrying out the violence: I beg you, I beseech you, I order you, put down your arms. In the name of God, stop the repression. . But he could not end the violence, which not only took his life but also marred his funeral. In the throng that choked Metropolitan Cathedral that day, 30 died in a bombing and stampede. . All this has been known. Last fall, a federal judge in California confirmed what has also been suspected. In a ruling in a lawsuit brought under a 1789 law, the U.S. court found that a retired Salvadoran military official, Alvaro Rafael Saravia, plotted the murder and was liable for civil damages. Saravia, who lives in Modesto, was an aide to Roberto D'Aubuisson, the founder of El Salvador's ruling right-wing party. . Romero's legacy can afflict those people whom one would expect to be comforted by it, such as leaders of the Catholic Church in El Salvador and Rome. This is, perhaps, the mark of a prophet. . At a ceremony marking Romero's assassination three years ago, the current archbishop of San Salvador said that while the event was horrific and sacrilegious, Romero was lucky to die in the best way a priest can die, at the altar. . Archbishop Fernando Saenz's remark appears less strange in light of the purge of liberal priests and liberal Catholic practices that he has championed since he was chosen in 1995 to be one of Romero's successors. Indeed, the Catholic Church has enjoyed some success in controlling Romero's legacy and appeal to young Catholics. . But history suggests that any effort to curb his influence or end his work will be limited. Romero's remark a few weeks before he died that his spirit would rise in the Salvadoran people struck many people as audacious at the time. It may turn out to be the opposite, however: that Romero, by specifying people in his country, actually understated how widespread his spirit would be. . . . [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
[ppiindia] Pundit sees end of U.S. as model
Spotlight: And now, the European Dream New Feature By Eric Sylvers International Herald Tribune Saturday, March 26, 2005 Pundit sees end of U.S. as model MILAN He stares you straight in the eyes as he tells you the world can be a better place and that the European Union has the best chance of making it possible. He says it with such conviction that you know he believes it and he gesticulates with just enough emphasis that you find yourself believing it, too. . So it goes with Jeremy Rifkin, consultant to companies and governments on both sides of the Atlantic, a best-selling author and president of the Washington-based Foundation on Economic Trends research institute. Rifkin's books are as varied as they are plentiful - there are almost 20. But for more than a decade he has railed against globalization and the widening income inequality between rich and poor countries and within the United States. . In a frontier economy, unfettered capitalism makes sense, Rifkin said in a recent interview in Turin, where he participated in a conference organized by the World Political Forum to mark 20 years since the beginning of perestroika, the series of liberalization measures undertaken by Mikhail Gorbachev in the final phase of the Soviet Union. . But times have changed and Adam Smith's dictum of everybody pursuing their self-interest doesn't make sense anymore now that everything and everybody are interconnected. . Rifkin embraces that interconnectedness and says Europe should do the same to protect its way of life - long vacations, universal health care, strong pension plans and more developed workers' rights - and avoid joining the United States on the road to increased income inequality and uncontrolled capitalism. He wants a more integrated Europe that uses its massive internal market to dictate its own terms and avoid being drawn into competition with the United States and Asia based on lower wages and fewer workers' benefits. . Rifkin, 60, was born in Colorado one day before the Soviet Army liberated Auschwitz, a coincidence that does not leave him indifferent. He takes it as a cue to ponder Europe then and now. . When I was born, they were still putting people to death in German concentration camps, he said, almost incredulous that the two events could have happened contemporaneously. That was Europe when I was born. . His latest efforts, and book, The European Dream, are dedicated to informing the world that the American Dream is dying and that there is a European Dream, and way of life, that can become a permanent reality. . This is nothing new for Rifkin, who has been pontificating about the European Dream since his book came out in September. Only now he is getting the ear of European leaders, including Chancellor Gerhard Schröder of Germany, who made reference to Rifkin's work in a recent speech. On March 23, Rifkin spoke at a hearing of the Social Democrats, Schröder's party, in Berlin and then in April he will debate with Foreign Minister Joschka Fischer on the merits of the American and European Dreams. . If this all sounds a bit too fuzzy and academic for the real world, it is only because Rifkin uses the question of the dreams as a pretext to begin a discussion on where the United States and Europe are headed and what can be done to get them on what he maintains is the right road. . Many Europeans think they must give up their way of life and move toward the U.S. model, or else they won't be able to compete, said Rifkin, who has lived the past 34 years in Washington but spends about a third of his time in Europe. These people say, 'Yes, the American model is brutal, draconian, but we must do it.' I don't see it like that. . The American model is not working and globalization under American stewardship has failed totally. . But looking for answers in Rifkin's vision of the European Dream while trying to make European policies the default for the rest of the world is a cure some economists say will bring more bad than good. . Income inequality in the U.S. is a problem, but following European practices is not the answer, said Michael Plummer, an economics professor at Johns Hopkins University's School of Advanced International Studies in Bologna. Many European policies, including labor laws, actually exacerbate inequality. There is no easy fix to income inequality, and it is naïve to think that Europe has all the answers. . Rifkin does note that Europe is plagued by its own problems, including bloated welfare programs, a rigid labor market and an aging population. But he says that can be solved, at least in the short term, with more vigorous integration of the European Union. . That will not be easy, he concedes, because the nation-state remains the paramount governmental institution. But it is possible if the member countries begin to see the region's 25 countries like the 50 states are seen in the United States, he says.
[ppiindia] New changes of multinationals in China
http://english.peopledaily.com.cn/200503/24/eng20050324_178093.html UPDATED: 16:08, March 24, 2005 New changes of multinationals in China China, through over 20 years of reform and opening to the outside world has not only become a processing workshop for world manufacturing industry endowed with quite some competitiveness but also an arresting world market. Say, if China's opening to the outside was under the guidance of policies before its entry into the World Trade Organization, but now after 3 years of its entry into the WTO it has turned out a country opened to the outside that can be predicted under the framework of the law. Over the past 3 years, many famous multinationals in China have adjusted their development strategies in China in view of the new situations here. Change 1, expansion of investment Multinationals have taken China one after another into their strategies for global development and expanded their business operation goals in China. The expansion of investment constitutes the necessary measures for the realization of their new strategic goals in China. The actions taken by many multinationals have turned out a new round of heated investment here in the country. As investigation indicates, many famous multinationals have vying with one another extended their investment scales in China since its entry into the WTO. Among them the Japanese enterprises stand out relatively prominent. During the past quite a few Japanese enterprises took China only as its processing workshop for export but now they've taken China for a market which can be actively developed. Change II, Extending their industry chains In 1990s, the invested projects by multinationals in China were mostly focused on manufacturing industry. Among them a considerable foreign invested enterprises took China only as their processing bases instead of their markets. During this period the investment by multinationals in China was mainly centered on shifting their assembling and processing links into China as the labor-cost was low in China, namely shifting the links of the lowest added value to China. They put up a great number of modernized factories in China. However, after entering into the 21st century more and more multinationals have not only taken China as their processing bases but also as their newly-boomed markets of the greatest potentials. Under the circumstances multinationals began to adjust their ideas for business operations in China. In view of their experiences both positive and negative the multinationals came to realize if they engaged only in production and manufacturing industry without a complete network for goods distribution and circulation in China it's quite difficult for them to expand their market here, nor is it easy for them to get over others only by introducing in some new products from alien lands without engaging themselves in researches for development. To carry on research work in China is not only near the bases but also apt to the development of products for the Chinese market. This can not only help themselves reduce the cost for research work but is also good for raising the competitiveness in the Chinese market. On entering into the new era, the production competition carried out by multinationals in China has been further intensified, being raised from only one industrial link to the whole production links. Confronted with the competition of other multinationals and of local Chinese enterprises that are on the boom the multinationals began to carry out the competition along the whole industrial links while increasing their investment. They've begun to extend their industrial links, namely on the one hand to proceed to the upper reaches for doing researches and development and the core accessories of the manufacturing industries and on the other for developing goods distribution and circulation along the lower reaches of the industrial links. Change III, Integrated adjustment of enterprise groups In recent years, many multinationals, while adjusting their strategies operations here have been making adjustments in their management structures in China. They aim at an integrated adjustment and harmonization of all their resources in China, for instance, setting up headquarters for coordinating and harmonizing all the operational bodies into an integrated entity for taking part in the competition, namely to make the several independent and decentralized enterprises of the past into enterprise groups with a unified goal, uniformed strategy and unified brands, in a word a harmonized one in action. By People's Daily Online [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education!
[ppiindia] RehatPaskah : waspada sby-kalla ?
--- In [EMAIL PROTECTED]: Ada kecenderungan menteri2 rezim SBY berambisi jadi Ketua umum Parpol. Hatta Rajasa ingin jadi Ketum PAN, Bachtiar ingin jadi Ketum PPP, Saifulah Jusuf ingin jadi Ketum PKB , MS Kaban ingin jadi Ketum PBB. Rezim pemerintahan SBY berkepentingan untuk memuluskan kekuasaan dengan politik tidak sehat. Ini adalah satu gaya militerisme yang ingin merusak tatanan demokrasi. Gaya politik komunisme dimana pejabat pemerintah adalah juga pejabat Partai adalah yang lazim terjadi di negara komunis. Sebaiknya menteri lebih baik memusatkan diri bekerja untuk pemerintah. --- End forwarded message --- Yahoo! Groups Sponsor ~-- Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Fwd: JAPANESE's WRONGDOING dst
--- In koran-sastra: hari-hari ini media asia timur lagi rame lagi soal perangai Jepang para JAINICHI (koreans di Jp) juga disorot krn diskriminasi buku sejarah anak2 SD Jepang diprotes Jepang memang harus selalu DIINGATKAN perilakunya di masa lalu di ASIA TENGGARA sangat kejam perampokan penyiksaan pembunuhan semua tak terkira kata bangsa Indonesia tak sadar hal ini ? juga dalam kaitan kehidupan sosial lokal sehubungan minoritas sampai pengembangan budaya lokal ? mana janji sby-kalla gedobos ? --- End forwarded message --- Yahoo! Groups Sponsor ~-- Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
re: [ppiindia] http://www.ppi-india.org is up
Mbok ya, wenya dilengkapi dengan forum. Karena web baru idup selain dari news juga dari forum. Sekedar utak utek coba liat www.kaskus.com mereka bikinnya pake vbulletin. salam, Ari Condro - Original Message - From: Mario Gagho [EMAIL PROTECTED] Rekan-rekan milis, Sejak tadi malam, alamat situs resmi ppi-india sudah berpindah ke alamat baru yaitu http://www.ppi-india.org. Kami sedang trus dalam proses perbaikan baik isi maupun tampilan. Saran dan kritik silahkan alamatkan ke: [EMAIL PROTECTED] atau langsung anda mengisi buku tamu atau pesan singkat (di halaman muka). FYI, situs ini hanya nama domain yg beli, sedang hostingnya gratis. pertimbangan kami, selain spacenya lebih luas yg gratis, waktunya juga unlimited. Bagi yg berminat mengirim tulisan, silakan juga dialamatkan ke: [EMAIL PROTECTED] Terima kasih. salam, a.n. Tim Administrator ppi-india.org Mario Gagho Political Science, Agra University, India - A WINNER works harder than a loser and has more time. A LOSER is always too busy to do what is necessary. Yahoo! Groups Sponsor ~-- Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Fwd: IMAN TODAY ...
--- In _ITB Gereja Katolik Indonesia Bukan Alien Judul buku: Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia Penulis: Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap Penerjemah: R Hardawiryana, SJ Penerbit: Kanisius, 2005 Tebal Buku: 540 halaman Ukuran: 16 x 23 cm Kisah sukses kelapa sawit, menurut Dr Huub J Boelaars, adalah contoh Indonesianisasi yang berhasil. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang sekarang menjadi soko guru penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum direbut oleh Malaysia, Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Keberhasilan itu, tulis Boelaars, seorang pastor Ordo Fransiskan Kapusin, berawal dari yang sederhana. Pohon-pohon kelapa sawit berasal dari sebuah pohon kelapa sawit yang ditanam tahun 1848 oleh Dr Johannes Elias Teijsman di Kebun Raya Bogor. Analoginya jelas. Kekristenan yang tidak berasal dari Indonesia ditanam di Nusantara pada awal-awal abad yang silam, kemudian mengakar menjadi dewasa (hal 21). Melalui proses inkulturasi, Gereja Katolik Indonesia berkembang dan buah proses itu memberi sumbangan besar bagi Gereja Katolik semesta. Indonesianisasi dalam konteks buku ini berarti proses integrasi tidak menuju mentalitas ghetto. Gereja Katolik (Roma)-selanjutnya ditulis Gereja Katolik atau Gereja-dalam proses tidak menjadi unsur yang terasing dalam masyarakat (Indonesia). Gereja harus kerasan di Indonesia dan dipandang sebagai gejala yang biasa (hal 448). Indonesianisasi tiada lain ialah pemribumian atau pembangunan Gereja setempat di Indonesia (hal 56). Pernyataan yang dirumuskan tahun 1972 itu menjadi titik berangkat buku J Boelaars yang aslinya berbahasa Belanda. Premis Boelaars, benarkah di kalangan umat Katolik ada mental ghetto? Benarkah Gereja belum terintegrasi dalam negara-bangsa Indonesia? Jawaban atas premis diuraikan lewat analisis historis-deskriptif, sebuah pendekatan yang unik menurut penerjemahnya, Pater Hardawiryana, teolog yang merasa terinspirasi mengembangkannya. Berkat buku itu Pater Hardawiryana menulis pentalogi, sebuah refleksi teologis bagi pengembangan reksa pastoral umat Katolik Indonesia (hal 9-10) yang terdiri atas lima judul buku bertopik Cara Baru Menggereja di Indonesia (2001). Arti reksa pastoral selain menekankan pembinaan dan pengembangan, juga pelayanan. Bukan Alien Ditempatkan dalam sederet buku sejarah perjalanan Gereja berbahasa Indonesia, buku ini komplementer. Di antaranya ia melengkapi buku- buku Dr MPM Muskens (editor) Sejarah Gereja Katolik Indonesia (1974), buku Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (1999), buku Dr F Hasto Rosariyanto SJ (ed) Bercermin pada Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia (2001), dan buku-buku deskriptif tentang keuskupan-keuskupan setempat maupun analisis tentang hubungan Gereja dan negara, Gereja dan masyarakat Indonesia. Data yang dikumpulkan sangat lengkap, rinci dan diperbandingkan dengan berbagai sumber, dianalisis secara deskriptif mendalam sehingga tidak kering. Mungkin saja itu pun berkat sentuhan tangan penerjemah. Buku ini tidak menguraikan munculnya nasionalisme Indonesia yang sudah ditulis Dr Muskens dan Dr Bank, di mana dalam kedua buku tersebut pihak Indonesia memperoleh banyak penguraian. Boelaars juga tidak menguraikan kasus konflik Jacob Groof-J Rochussen. Jacob Groof adalah Vikaris Apostolik (perwakilan Paus di suatu Gereja) yang dikirim ke Hindia Belanda tahun 1845 oleh Vatikan. Sebagai seorang penganut garis konservatif, ia menganjurkan umat Katolik di Hindia Belanda menjauhi kenikmatan duniawi, seperti pesta dan menonton teater. Gubernur Hindia Belanda JJ Rochussen tidak berkenan. Jacob Groof diminta dikembalikan ke Belanda, dan sebagai pengganti dikirim PJ Willekens yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Hindia Belanda tahun 1934. Buku ini juga tidak menguraikan secara rinci berkembangnya nasionalisme di kalangan tokoh-tokoh Katolik, walaupun kenyataan historis ini menjadi faktor penting dalam nuansa Indonesianisasi. Penegasan Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia yang kemudian memunculkan slogan pro eccelesia et patria (untuk Gereja dan Negara) dari uskup asli pertama Indonesia, Mgr Albertus Soegijapranata SJ, hanya disinggung sedikit. Titik temu mungkin banyak terjadi dengan buku Pater Hasto Rosariyanto (editor), yang merupakan refleksi atas berdirinya keuskupan-keuskupan, mulai dari Provinsi Gerejani Ende hingga Provinsi Gerejani Makassar. Lewat pembagian tiga fase Gereja Katolik Indonesia (fase I tahun 1534-sampai akhir abad ke-18, fase II abad ke-19, fase III abad ke-20), buku yang terkumpul dari tulisan para uskup itu mengajak pembaca bercermin pada perjalanan jatuh-bangun Gereja Katolik Indonesia, atau menurut istilah Boelaars sebagai Indonesianisasi. Dari antara buku Jan Bank, Muskens, dan Hasto ditemukan tiga titik berangkat yang sama. Dengan redaksi dan penekanan yang berbeda, termasuk
Re: [ppiindia] Re: khilafah islam (was: Islam Hadhari) ......
sidikpam [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Sidik, Maaf baru sempat bales, esok Senin ada acara, konsentrasi saya terfokus demi kesuksesan acara tersebut. Inilah penyakit akut umat Islam, merasa bahwa penderitaan yang dialaminya adalah akibat perbuatan orang lain. Bukankah itu semua terjadi karena kelemahan kita sendiri, karena kita bodoh? Kalau kita kuat, tentu itu tidak akan terjadi. Itulah sebenarnya inferioritas!! Berhentilah menyalahkan orang lain, berkacalah pada diri sendiri. Saat di bangku kuliah kita pernah diajari analisis SWOT. Tanpa disadari kita menggunakan analisis tersebut untuk berbagai hal. Termasuk dengan kemunduran umat Islam yang mencakup sebuah negara besar. Kayaknya naif bila kita hanya mengambil bagian weakness-nya aja tanpa memandang threatment. Jadi dua-duanya perlu digunakan, bahkan S dan O-nya juga. Keberdayaan sebuah masyarakat tidak muncul karena sebuah hukum yang turun dari langit, tapi karena ada proses belajar yang mencerdaskan dan menyadarkan dalam masyarakat tersebut. Jadi prosesnya bottom-up. Logika yang digunakan mbak Aris, bahwa seluruh negara muslim sekarang hanyalah negeri2 kecil, terpecah belah dan tidak berdasarkan hukum Islam, sehingga lemah, jelas menggunakan pendekatan top-down. Benar sekali mas, bahwa segala sesuatu melalui proses. Sebuah proses itu tidak kentara jika kita tak rajin mengamati secara jeli. Seperti bayi yang beberapa bulan kemudian kita lihat bisa berbicara. Begitu pula dengan hukum langit, sosialisasi memegang peranan penting (pencerdasan dan penyadaran ke masyarakat). Hal itu muskil dilakukan tanpa proses dan penyadaran serta percerdasan. Kekhilafahan juga lho. Coba mas renungkan, sejak kapan mas mendengar istilah ini. Sejak kecil atau pertama kali mendengar dari media yang merupakan istilah asing. Kemudian jika setiap seminggu sekali mas dengar hal ini apa yang terjadi mas jadi familiar. Ini baru sebatas opini umum. Lama-lama akan membentuk kesadaran umum. Tentu saja penyadaran intrapersonal pun sangat penting dilakukan juga. Tapi metode penyadaran intrapersonal ini kan sifatnya bukan terbuka sehingga jarang lah di blow up media dan mas pasti sulit menjumpainya. Kalau saya tangkap, menurut mbak Aris ini menciptakan sebuah masyarakat yang kuat harus dimulai dengan menciptakan sebuah kekhalifahan yang besar, yang berdasar hukum Islam. Naif menurut saya, karena berkaca dari sejarah manapun, penguasa besar dunia mana pun (termasuk Muhammad Saw) dahulu selalu memulainya dari yang kecil. Lha, wang ngurus yang kecil saja gak bisa, gimana mau ngurus yang besar???!!! Sepakat dari yang kecil dulu.Jangan lupakan subtasi dan pelabelan pula. Jangan takut dengan label itu, sebab ini penting untuk mengidentifikasi dan identitas. Dulu juga islam itu asing di masyarakat quraisy tapi karena Rasul dan shahabat konsisten dan terus menerus mensosialisaikan islam (dakwah) maka kita bisa memeluk islam hingga di Indonesia.So, what different. Btw diskusi ini adalah salah satu bentuk sosialisasi he he he . Kalau anda ngotot ingin membentuk khilafah Islam, saya memberi saran, sebaiknya mulailah dengan menguatkan Indonesia, menguatkan Bangladesh, Saudi Arabia, dst. Karena hanya sebuah masyarakat yang kuatlah yang dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat lain dengan baik, menjadikannya sebuah kekuatan. Sangat sepakat, jadi penggarapan dan sosialisasi sifatnya hanya lokal saja tapi internasional. Setiap wilayah harus digarap, khususnya oleh penduduk asli masing2 negri setempat. Iya kan mas. Jadi nanti akan jadi kekuatan yang sifatnya nggak lokal saja. Kalau anda katakan bahwa Rasulullah adalah contoh terbaik, berarti anda tidak konsisten dengan pendapat anda! Kalau pendapat anda yang diambil, maka yang dilakukan Rasulullah dulu tentu membangun dulu khilafah Islam, baru kemudian menegakkan syariah Islam. Ternyata, bukan itu yang dilakukan beliau. Beliau memulai penyebaran Islam dengan sebuah kelompok kecil yang solid, yang kemudian meluas hingga ke seluruh dunia, sebuah pendekatan bottom-up. Sepakat juga. Dimulai dari sekelompok kecil orang sadar seperti mas kemudian bergerak, membesar, lantang menyuarakannya. Gitu kali ya. Yang patut direnungi pula, tugas utama umat islam sekarang bukan memuslimkan umat islam tapi menyadarkan kembali mereka akan pilihan agama mereka. Salam, Aris solikhah Mbak Aris wrote: ...hanya saja negeri tersebut Banglades, pakistan, indonesia, malaysia dll mereka akan menjadi semacam propinsi dibawah gubernur (Wali atau qadhi, bahasa kerennya), wali mengatur semua urusan didaerahnya sesuai hasil ijtihad dia .Tentu saja ijtihad diwilayah yang tak bertentangan dengan kekhilafahan atau pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat hanya melegalisasi hukum islam yang sifatnya menjaga kesatuan negara saja. Bukan semua hukum diadopsi. Ini tidak boleh karena berarti mematikan kreativitas ijtihad. (ijtihad beda dengan fatwa atau pendapat) menjadi mujtahid itu harus punya
[ppiindia] Merancang Pendidikan Transformatif
http://www.indomedia.com/bpost/032005/26/opini/opini1.htm Sabtu, 26 Maret 2005 03:17 Merancang Pendidikan Transformatif Oleh: Teddy Suryana Wacana tentang pendidikan yang mengemuka akhir-akhir ini, seharusnya diselesaikan secara tuntas. Sebab, perdebatan seputar pendidikan Indonesia tersebut baru sebagian yang sampai menghujam pada akar persoalan pendidikan kita. Perdebatan mutakhir berputar pada wacana otonomi daerah (otda) yang berpengaruh pada persoalan kebijakan dan finansial. Akan tetapi, sejauh yang kita amati, wacana pendidikan tersebut belum menghunjam pada akar persoalan pendidikan di Indonesia. Artinya, pendidikan seharusnya dibaca dalam kerangka konstruksi ideologis yang tersembunyi di balik pendidikan Indonesia. Tanpa pembacaan seperti itu, berbagai perbincangan tersebut hanya karikatural belaka. Tulisan ini membaca pendidikan sebagai suatu 'teks' yang tidak terlepas dari teks lain dan juga konteksnya. Pendidikan merupakan salah satu entitas sosial yang terelasi dengan teks sosial yang melingkupinya. Artinya, konstruksi pendidikan suatu bangsa merupakan salah satu metafor kebudayaannya, yang merefleksikan ideologi dan filsafat pendidikannya. Karena itu, persoalan sosial suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari konstruksi pendidikannya yang menjadi kerangka kerja proses sosial. Dengan demikian, pendidikan harus dibaca dalam setting sosial dan budayanya yang terajut dalam interrelasi antarteks sosial. Pembacaan tersebut memunculkan realitas, pendidikan di Indonesia disubordinasikan dalam wacana developmentalism yang merupakan ideologi ekonomi negara. Ini terlihat, misalnya, dalam berbagai kebijakan dan politik pendidikan yang diterapkan. Konsep subordinasi organ mahasiswa di bawah rektorat era Daoed Yoesoef, konsep link and match yang digagas era Wardiman, konsep Pengabdian Pada Masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dibangun atas dasar asumsi teori modernisasi dan terakhir gagasan otonomi perguruan tinggi, merefleksikan wacana developmentalistik. Selain ideologi kapitalisme, pendidikan kita, konon, juga menjadi penandaan bagi ideologi militeristik seperti terefleksikan dalam penyeragaman dari cara bersetubuh hingga nalar, feodalisme yang tecermin dalam metodelogi pengajaran yang berlogika kawula-gusti dan nasionalisme-fasis melalui penjejalan doktriner ideologi Pancasila. Subordinasi kasar ini, lama kelamaan mendistorsi filsafat dasar pendidikan bangsa sebagai wahana pencerdasan dan pencerahan bangsa. Pendidikan berjalan di luar kodratnya. Kurikulum pendidikan didominasi sains positivistik dan paradikma fungsionalisme yang juga dipaksakan diterapkan dalam sains sosial dan humaniora. Keberhasilan pendidikan diukur melalui nilai verbal dan ijazah tanpa mau tahu proses material munculnya nilai tersebut. Maka, yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi wahana transfer of knowledge yang oleh Freire dikatakan tidak lebih dari pendidikan preskriptif, jauh dari pendidikan dialogis yang ideal. Model pendidikan tersebut merupakan model pendidikan yang dalam bahasa Freire, membelenggu (domesticating) yang kontras dengan pendidikan membebaskan (liberating), yang selain memuat dimensi to know juga memuat dimensi to transform. Oleh karena pendidikan diseting untuk memenuhi hanya salah satu aspek dalam kehidupan manusia yakni kepentingan pasar, maka pendidikan tidak dapat responsif menghadapi dinamika dan perubahan sosial yang kompleks. Pendidikan yang tidak dirancang untuk menjawab tantangan secara komprehensif tantangan masa depan ini, menjadikannya mengalami stagnasi bahkan involutif karena gagal mengakomodasi transformasi sosial yang ada. Involusi tersebut tecermin, misalnya, dalam dataran teknis. Upaya membangun infrastruktur yang memadai sebagai investasi masa depan, dipandang kurang penting dibanding anggaran militer. NER (Net Enrolment Ratio) untuk tingkat SD, SMP, SMU di Indonesia yang rata-rata lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya, dapat dijelaskan dalam politik pendidikan ini. Dalam tataran diskursus, pendidikan yang berjalan di luar kodratnya melahirkan tradisi fashion dalam pergulatan intelektualisme. Tren diskursus intelektual yang berkembang tidak berasal dari basis sosial permasalahan yang ada. Namun terpengaruh oleh isu intelektualisme yang berkembang di barat yang memiliki basis sosial berbeda. Era 1990-an, misalnya, intelektual terkena demam postmodernism sebagai wacana an sich yang tidak dibenturkan dengan realitas objektif. Begitu juga wacana civil society yang amat penting itu. Wacana ini lebih sering dibaca secara konseptual daripada elaborasinya dalam konteks Indonesia. Tren wacana paling mutakhir adalah cultural studies, yang siap dijadikan onani intelektual. Maka, dapat dikatakan wacana yang dikembangkan intelektual tidak sebangun dengan persoalan sosial yang digumuli rakyat, terserabut dari akar sosial dan kulturalnya. Oleh karena itu, diperlukan paradigmatisasi pendidikan transformatif.
[ppiindia] Pemutakhiran Data Orang Miskin
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/26/o5.htm Sabtu Paing, 26 Maret 2005 Tajuk Rencana Pemutakhiran Data Orang Miskin DPR tampaknya sangat memahami keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Itu tercermin dari opsi yang ditawarkan DPR agar pemerintah mengkaji lagi dan mengajukan APBN Perubahan terkait dengan kenaikan tersebut. Atas opsi itu, pemerintah pun telah mengajukan APBN Perubahan tidak lama setelah voting yang menguntungkan pemerintah. Namun, bukan berarti persetujuan DPR itu semua masalah telah selesai. Ada tugas berat yang dihadapi pemerintah, terutama dalam pembagian dana kompensasi BBM. Sebab, banyak data menunjukkan bahwa bantuan itu acap salah sasaran. Mereka yang semestinya tak menikmati bantuan malah diberikan kemudahan, termasuk diberi beras miskin. Untuk itu, pemerintah harus mengadakan pemutakhiran data serta inventarisasi data untuk menghindari terjadinya salah sasaran atau rangkap dalam pemberian kompensasi BBM. Adapun program kompensasi ini diperuntukkan kepada gakin (keluarga miskin) yang terdiri atas delapan program; pendidikan, kesehatan, beras murah, pembangunan prasarana pedesaan, perumahan rakyat, pelayanan sosial, dana bergulir untuk usaha mikro, pelayanan kontrasepsi untuk Keluarga Berencana (KB) dan pengendalian-pengamanan program. Untuk itu, pemutakhiran data merupakan pedoman teknis untuk menentukan rakyat miskin. Pemuktahiran serta inventarisasi data perlu dilakukan karena saat ini antara data yang diberikan pihak pusat dengan yang dimiliki daerah terjadi ketidaksinkronan. Namun, dengan terlambatnya pembahasan APBN Perubahan akan menyebabkan terhambatnya penyaluran dana kompensasi ini termasuk subsidi. Hal ini pulalah yang menjadi kekhawatiran pemerintah. Sebab, persetujuan APBN-P 2005 di samping untuk mendukung pengalokasian dan pencairan dana kompensasi harga BBM, juga untuk penyesuaian program-program yang belum ada dalam APBN 2005. Persoalannya adalah, di antara program-program baru yang direncanakan dalam APBN-P tidak mungkin dilaksanakan tanpa dukungan dari APBN, sehingga satu-satunya jalan adalah pembahasan APBN-P harus dipercepat. Untuk itu, agar cakupan program kompensasi kenaikan harga BBM difokuskan kepada program yang menyangkut pelayanan dasar kepada masyarakat. Semakin banyak cakupan program kompensasi semakin besar kemungkinan penyimpangan serta semakin sukar dan rumit pengawasan yang dilakukan. Untuk itu, program kompensasi itu hendaknya lebih diarahkan dan difokuskan kepada bidang pendidikan dan kesehatan. Pelaksanaannya sebisa mungkin bersifat meluas dan nondiskriminatif. Oleh karena itu, perlu perbaikan dan penyempurnaan identifikasi, mekanisme penyaluran dan pengawasan program kompensasi dengan melibatkan masyarakat secara luas, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring serta evaluasi program kompensasi. Sebab, selama ini program kompensasi tidak jelas arahnya (mendua) yaitu meningkatkan daya beli dan meningkatkan pendapatan. Banyak kasus menunjukkan bantuan tersebut lama sampai ke sasaran atau bahkan nyangkut di penyalurnya. Mestinya pemerintah tegas memilih program yang langsung pada keluarga miskin seperti bantuan pangan, pemberian beasiswa, dan bantuan kesehatan. Dalam APBN 2005 dana kompensasi disebut sebagai dana program bantuan sosial yang berjumlah Rp 7,34 trilyun. Pemerintah mengusulkan tambahan dana sebesar Rp 10,5 trilyun, sehingga jumlahnya menjadi Rp 17,8 trilyun. Mudah-mudahan dengan kenaikan harga BBM yang diikuti dengan program kompensasi akan menurunkan tingkat kemiskinan 3 persen dari 16 persen menjadi 13 persen. Namun, apa yang disampaikan pemerintah yang merujuk pada penelitian yang dilakukan UI, terbantah dengan hasil yang disampaikan lembaga lain. Lembaga yang mengutip hasil BPS menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM ini akan meningkatkan orang miskin di Indonesia. Itu artinya pemerintah dituntut jeli untuk menyalurkan dana kompensasi, sehingga betul-betul dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Kita menduga berbedanya hasil penelitian tersebut dikarenakan berangkat dari data base yang berbeda. Itu artinya data yang ada selama ini tentang orang miskin juga belum fixed, sehingga tidak berlebihanlah kiranya kalau yang pertama dilakukan adalah memperbarui data sehingga bantuan itu tepat sasaran. Sehingga, dapat berdaya guna dan berhasil guna [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org
[ppiindia] Di Batam Ada Nagoya
http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=8183PHPSESSID=84b782bf5ed99830d0efd63ca70851e7 Di Batam Ada Nagoya Oleh redaksi Rabu, 23-Maret-2005, 14:16:14 Sebuah Cerita oleh : Lisya Anggraini Di Batam ada Nagoya. Tapi bukan berarti salah satu kota di Jepang itu, pindah ke pulau yang dikatakan berbentuk kalajengking dan berdampingan dengan Singapura ini. Nagoya, ya... Nagoya. Meski tak begitu jelas batasan wilayahnya, Nagoya setidaknya bertetangga dengan Jodoh, Kampung Utama, Windsor serta Seraya. Jodoh tetangga terdekat, Nagoya. Dan bukan bermakna tempat perjodohan, walaupun tak jarang juga di tempat ini orang ketemu jodohnya. Ketika menunggu taksi di pinggir jalan, atau ketika makan di salah satu restoran, atau sedang menjalani tugas rutin di kantor. Atau pula, di saat berbelanja di pusat perbelanjaan, serta pasar. Dan wilayah ini adalah, tempat yang paling komplit aktifitas kehidupan manusia, meski tak ada rumah sakit, atau pabrik. Sebenarnya pula, penyebutan benar nama wilayah ini adalah Sei Jodoh, atau dalam bahasa melayu berarti Sungai Jodoh. Namun, entah dari mana asal muasal nama kota itu, saya pun belum begitu paham. Dan saya cuma tahu di mana letaknya, dan bagaimana situasinya. Itu saja. Mungkin perlu berguru terlebih dulu dengan para ahli pakar sejarah Batam? Tetangga terdekat lainnya, Kampung Utama. Bahkan, karena terlalu dekatnya, tak jarang pula orang menyebut Kampung Utama, juga Nagoya. Supir taksi, yang dikatakan penguasa jalanan itu mengatakan begini : Penumpang suka bilang mau ke Nagoya, kita mesti Tanya lagi, Nagoya nya di mana? Dia jawab, Kampung Utama. Karena itu, Kampung Utama bisa dikatakan tetangga Nagoya, ada pula yang menyebutkannya bagian dari Nagoya. Terserahlah, saya hanya ingin bercerita bukan sedang belajar ilmu geografi tentang Batam. Lalu, tetangga lainnya adalah Windsor. Jangan salah kira lho, tempat ini tak ada kaitannya dengan istana keluarga Elizabeth, Ratu Inggris Raya itu. Yakinlah, tidak akan ditemukan satu Kastil pun di tempat ini. Melainkan deretan Ruko (Rumah Toko), tempat makan Pujasera, Pusat Perbelanjaan, Hotel dan tentu saja, segala aneka hiburan malam, yang juga dilangsung siang hari. Karena tidak saja bermakna menunjukkan waktu, melainkan perumpaan aktifitas yang menghibur dan biasa dilakukan orang di malam hari. Ya, berbagai macam bentuk hiburan malam lah. Tentu dah tahu semua. Tetangga lainnya, adalah Seraya. Yang pasti di tempat ini ada rumah sakit. Tentu saja, banyak kejadian kriminal. Serta tragedi juga bisa dicari infonya dari tempat ini. Saya katakan begitu, karena ada beberapa wartawan yang di pos kan di tempat ini. Dari situ sang jurnalis akan bisa mengungkap kejadian dari setiap pesakit yang masuk ke rumah sakit. Tentu tak hanya rumah sakit saja di tempat itu. Yang pasti Ruko juga ada, walau tak seramai di Nagoya, Jodoh, atau Windsor. Di wilayah ini beberapa pabrik tempat bekerja ratusan orang, yang disebut sebagai buruh, dari berbagai wilayah di negeri bernama Indonesia ini. Tempat makan yang enak-enak juga ada di tempat ini. Tentu saja, juga rumah penduduk, serta tempat jualan barang seken dari Singapura, walau tak seramai pusat seken lainnya di kota ini. Diantara beberapa wilayah yang tidak terlalu luas itu lah, Nagoya berada. Salam yang akan menyapa bukanlah Konichiwa? di sini, , melainkan: Apa kabar? Ndak kemane?, Aaaa kaba?, Ni How Ma?, Opo kabare? juga sesekali How are You? Jangan pula berharap akan menemukan kereta api cepat di wilayah ini. Ojek, taksi, bus Damri, bus-bus kecil dan angkot Carry yang akan menawarkan tumpangan hendak mau ke mana. Dan apa pula yang paling banyak dimiliki Nagoya dibandingkan wilayah lainnya di Batam? Teman saya dengan yakin mengatakan Money Changer. Hampir di setiap simpang, dan toko pusat perbelanjaan, ada Money Changer, katanya. Ada pula yang mengatakan hotel. Mulai dari Hotel bintang empat, terutama ruko-ruko yang disulap menjadi hotel kelas melati. Ada yang menyebutkan, restoran dan tempat makan. Ada pula yang berkata: toko-toko, terutama menjual barang branded luar negeri, mulai dari parfum, sepatu, aksesoris, elektronik hingga alat komunikasi Hand Phone. Meskipun juga berderet toko penjual jamu seduh, atau menjual buah lokal maupun impor. Teman saya yang lain menyebutkan, bank-bank paling banyak di tempat ini, dibandingkan wilayah lainnya di kota Batam. Dan bos saya mengatakan, tempat melepas puyeng, dugem hingga esek-esek berkedok tempat hiburan paling ramai berada di sini. Kalau saya mengatakan tempat kos. Karena saya menempati salah satu kos-kosan di sana, dan banyak pula tempat saya kos di sekitar Nagoya. Itulah sedikit cerita pemula tentang Nagoya. Dan tentu saja, tak hanya Nagoya yang ada di Batam. Banyak tempat di kota ini, meskipun wilayahnya tidak terlalu besar dibandingkan kawasan lainnya di tanah air. Seperti Mukakuning, meski banyak pula orang yang bermuka hitam, coklat dan putih
[nasional_list] [ppiindia] Kejahatan oleh Aparat
** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=8172 Kejahatan oleh Aparat Oleh redaksi Rabu, 23-Maret-2005, 08:22:00 Oleh: Valdesz Junianto Pemikiran tentang akar lahirnya gejala kriminalitas oleh aparat negara (state apparatus criminality) memang baru mencuat belakangan. Sebelum ini, keberadaan negara kurang pernah dilihat sebagai pihak yang potensial berbuat salah. Seiring masa, secara perlahan muncul anggapan bahwa hanya warga negara kelas tertentu- entah dalam kapasitasnya sebagai aparat, birokrat, atau lainnya- adalah pihak yang paling leluasa memanfaatkan berbagai produk negara guna diakal-akali untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, entitas negara (termasuk perangkat di dalamnya) acap diposisikan sebagai pihak yang innocent, atau senantiasa berada dalam jalur yang benar dan bekerja untuk melindungi warganya. Cukup banyak produk semisal, KUHP, Peraturan Pemerintah, atau Undang-undang (UU) profesi yang dikategorikan sebagai ''buatan negara. Soal kekeliruan menerjemahkan produk tersebut, teramat jarang ditemui wacana yang menyoroti tindakan penyimpangan atau fenomena kejahatan dari sudut aparat atau birokrat sebagai pelakunya. Mengacu sejumlah literatur, beberapa pemikir penganut kriminologi kritis sesungguhnya telah mulai melakukan itu. Hanya saja-untuk konteks Indonesia misalnya, pertanyaan-pertanyaan studi mereka barangkali terlampau }seram. Disimpulkan begitu, karena masyarakat belum terbiasa berhadap-hadapan secara diametral (baca: langsung) dengan institusi kekuasaan. Mari sejenak membaca sejarah. De facto, kajian tentang kriminalitas oleh aparat negara memang tertinggal dibanding berbagai wacana kejahatan kontemporer, semisal white collar crime, atau lainnya. Bahkan, kriminalitas oleh aparat negara dalam studi kejahatan politik- sebagai wacana induknya sekali pun- nyaris tak ditemukan. Lho? Harus diakui menemukan batasan diskresi suatu wilayah penugasan memang sukar. Toh, penyebabnya selalu bermula dari seuntai pertanyaan: apakah diskresi itu termasuk, atau tidak termasuk ke dalam lingkaran perbuatan yang mengandung motif tertentu, atau alamiah karena tuntutan tugas. Pasti sesulit menyeret dukun santet ke muka persidangan. Tentu berkembang pertanyaan. Lantas, apabila ada aparat yang menganiaya atau membunuh tersangka pelaku kejahatan, dapatkah ia dianggap sebagai katakanlah, eksekutor} hak hidup orang lain? Bila ya, maka baginya patut dikenakan delik kriminalitas oleh aparat negara. Tapi bagaimana sebaliknya? Jika yang bersangkutan ternyata tidak dapat tersentuh oleh delik yang ada tentunya mengalirkan beberapa pemikiran lanjutan. Pertama, perintah tugas dari atasan telah diterjemahkan secara salah atau dilaksanakan secara eksesif dan ekstrim oleh aparat di lapangan. Kedua, aparat mendapatkan tugas dari atasannya yang secara terselubung mengandung illegalitas. Yang terakhir ini tentunya menuntut konsekuensi yang lebih panjang. Apa pasal? Perintah yang ilegal menjadikan tanggung jawab hukum seharusnya dipikul juga oleh yang melempar tugas tadi. Sebab, aparat di lapangan hanya bertindak sebagai pelaksana perintah, entah untuk menyekap, menganiaya, atau bahkan membunuh sekali pun. Toh, muskil membongkarnya mengingat perbuatan itu melekat erat pada kewenangan kekuasaan. Inilah perbedaan mendasarnya, misalnya, dengan tindak kejahatan oleh oknum aparat yang korupsi, atau yang melakukan tindak kekerasan tanpa motif politis. Sejatinya, model kriminalitas semacam ini tidak paham istilah oknum. Atasan yang memberikan perintah menyimpang itu pada dasarnya juga hanya menjalankan tugas dari atasan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Alhasil, studi tentang kriminalitas oleh aparat negara ini hampir selalu berhenti pada pernyataan hipotesis bahwa di balik perilaku aparat lapangan yang kejam, melanggar hak asasi, serta tidak sesuai dengan hukum justru terdapat tangan-tangan tak terlihat (invisible hand). Sebaliknya, antara yang di belakang layar dan yang di lapangan tercipta kesan bahwa tidak ada pertanggungjawaban hukum- paling-paling sekadar pertanggungjawaban moral. Bila saja perkembangan pemahaman kriminalitas oleh aparat negara telah menyentuh pada tahap di mana segala perilaku jahat yang secara resmi dilaksanakan oleh penguasa terhadap warga negaranya, maka ketika itu secara formal terdapat kemungkinan bagi hukum untuk mengejar perintah jahat tadi. Selama itu belum tercipta, persepsi masyarakat seolah-olah terbelah yakni, antara para aparat di lapangan yang sadis dan beringas, serta di pihak lain, para petinggi yang selalu tersenyum ramah. Dalam sebuah risalah (1998), Kriminolog Adrianus Meliala, menyatakan, institusi seperti PTUN pada dasarnya merupakan langkah maju untuk membuktikan terjadinya penyalahgunaan
[ppiindia] Ulama, Pewaris Para Nabi
http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=8016 Ulama, Pewaris Para Nabi Oleh redaksi Jumat, 18-Maret-2005, 07:50:46 Oleh: Jaafar Usman Al-Qari Sebagai pewaris nabi dan orang yang tertanam akarnya di masyarakat, para ulama dengan semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, berwatak sosial, serta menjadi suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka peran ulama sebagai rausyan fikr- meminjam istilah Ali Syariati akan betul-betul membumi di masyarakat. Intelektual organik semacam itulah, yang akan memberikan pencerahan dan keoptimisan bangsa ini ke depan. Demokratisasi dan pengentasan krisis tidak akan berhasil dilakukan, jika di kalangan bawah tidak dibangun civil society yang kuat dalam melakukan kerja-kerja peradaban secara konsisten. Tapi, bagaimana halnya jika sekarang ulama juga ikut berkompetisi dalam kancah politik untuk menjadi bagian dari kepemerintahan, dan atau bahkan mengeksploitasi nama-nama kelompok ulama untuk mendukung misinya? Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena para balon kepala daerah (kada) yang sowan ke masyarakat kembali marak terjadi. Begitu juga dengan para ulama yang aktif menjadi tim sukses balon kada. Memang, kedua fenomena itu telah menunjukkan adanya kesalingtergantungan antara keduanya. Hal itu, mempunyai preseden sejarah yang sudah sangat lama. Sejak zaman penjajahan dan kemerdekaan, kesaling-eratan hubungan antara ulama dan politisi-pemerintah marak terjadi. Ditambah lagi sekarang ini ada pribadi-pribadi yang dikenal sebagai ulama juga ikut-ikutan mencalonkan diri di kancah pilkada, yang akhirnya juga sibuk melakukan lobi-lobi dengan pihak politisi untuk kepentingan tersebut. Khawatirnya, kalau mereka itu sampai terjebak kepada hal-hal yang tidak pas dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai ulama oleh masyarakat, seperti melakukan ghibah apalagi menyebar fitnah. Saat ini, sudah mulai ada kecenderungan untuk sulit membedakan mana yang penjahat dan mana musuh penjahat, itulah yang disebut dalam surah Al-an am ayat 112: Dan begitulah kami adakan musuh-musuh untuk masing-masing dari nabi-nabi, yaitu manusia-manusia [EMAIL PROTECTED] dan jin, yang sebagian mereka membisikkan kata-kata manis kepada orang lain untuk menipu. Dan tentunya bagi mereka yang tidak punya hati kecil, dan tidak punya landasan iman yang kokoh serta dasar pemahaman keagamaan yang baik akan bisa terpengaruh dengan berbagai tipu daya yang disebarkan. Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan peran yang maha penting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris nabi (waratsatul anbiya) (QS. al-Jumu ah: 2). Peran itu biasa disebut dengan amar ma ruf nahi munkar yang rinciannya adalah bertugas untuk mendidik umat di bidang agama dan lainnya, melakukan kontrol terhadap masyarakat, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 1999). Bisa jadi juga, seorang ulama akan konsisten menjadi -meminjam istilah Clifford Geertz- perantara dan pialang budaya (cultural broker), dan mungkin saja ia akan masuk jalur politik praktis. Sebagai seorang pialang budaya, ulama berfungsi untuk menghubungkan budaya lokal atau rakyat dengan budaya asing guna lebih memudahkan pemahaman rakyat. Fungsi ini, bisa tampak dari, semisal penjelasan para ulama tentang Pancasila yang tidak bertentangan dengan Islam, halal haramnya bunga bank dan sah-tidaknya bank konvensional yang terus menerus diteriakkan, dan perlunya lembaga pengontrol makanan halal LPPOM MUI untuk membantu mewujudkan kebersihan dan kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakat Muslim yang terbesar penduduknya di negeri ini. Sedang ulama yang masuk jalur politik praktis, ada juga yang memang berniat menjadikan politik sebagai jalur ibadah dan pengabdian kepada umat. Semisal tokoh pada zaman dulu Muhamad Natsir, Kasman Singodimedjo, serta Buya Hamka, betul-betul menjadikan politik sebagai jalur untuk mewujudkan aspirasi umat dan menentang segala bentuk penindasan dan kediktatoran. Meski hal itu mengakibatkan kesengsaraan hidup pada diri dan keluarganya. Sayangnya, saat ini masih ada yang menjadikan fungsi-fungsi budaya dan politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. Sebagian ulama yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan golongannya di arena pemilihan (baca: pilkada). Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga banyak yang hanya menjadi corong pembenar
[ppiindia] SKS, Strategi Tentukan Kelulusan
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_cid=163469 Sabtu, 26 Mar 2005, SKS, Strategi Tentukan Kelulusan Oleh Imam Muttaqin * Pada 2003, UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disahkan. Kala itu, pengesahan UU tersebut menuai banyak kontroversi. Salah satu di antaranya soal ketentuan standar minimal nilai kelulusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Nilai hasil ujian nasional (UN) siswa sekolah menengah yang menempuh ujian pada 2004 harus lebih dari 4. Menurut pemerintah, penentuan standar minimal nilai kelulusan bertujuan meningkatkan kualitas output sekolah menengah. Dengan dibuatnya standar kelulusan yang tinggi, pemerintah berharap agar siswa terpacu lebih giat belajar. Lebih jauh, diharapkan siswa mampu menguasai setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolahnya. Tetapi, langkah tersebut tidak sepenuhnya berjalan lurus di lapangan. Salah satu penyimpangan yang bisa dianggap mengkhianati tujuan semula ketika sistem konversi nilai diberlakukan. Dengan konversi, nilai di bawah standar dapat dikatrol naik oleh nilai yang lebih tinggi. Akibatnya, siswa yang mestinya tidak lulus dapat diluluskan karena dibantu nilai siswa lain. Sistem konversi nilai akhirnya juga menjadi dilema. Pada satu sisi, sistem konversi bisa menolong siswa untuk lulus. Tetapi, pada sisi lain, banyak siswa yang kecewa karena nilainya dikurangi untuk membantu nilai siswa lain. Kemudahan kelulusan yang diberikan tidak hanya dalam hal konversi nilai. Kemudahan lain yang diberikan pemerintah adalah adanya UN susulan. Siswa yang tidak lulus pada UN utama masih diberi kesempatan memperbaiki nilainya pada UN susulan. Alasan kedua langkah -memudahkan kelulusan- tersebut dilakukan sangat berkaitan dengan keadaan masyarakat. Banyak masyarakat belum siap menerima kenyataan banyak siswa yang tidak lulus apabila kedua langkah tersebut tidak dilakukan. Pada kelulusan siswa sekolah menengah 2005, standar nilai minimal kelulusan dinaikkan lagi. Untuk bisa dinyatakan lulus, siswa harus mencapai nilai minimal 4,25 tiap mata pelajaran yang diujikan. Tetapi, hal itu pun akan mendapatkan banyak kritikan apabila kasus konversi nilai dan UN susulan terulang. Keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah pun akan tertunda atau malah gagal. SKS Atur Kelulusan Pemerintah berencana memberlakukan sistem satuan kredit semester (SKS) untuk SMP dan SMA. Tentunya, itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yang jadi alasan utama. Rencanaya, yang masuk ke sekolah akan berproses dengan sistem baru tersebut. Sistem yang biasa dipakai di perguruan tinggi itu diharapkan mampu menjawab kegelisahan para orang tua siswa dan siswa sendiri dalam hal kelulusan selama ini. Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa dinyatakan lulus apabila telah menempuh sejumlah mata kuliah yang dihitung per-SKS. Ketentuan lulus suatu mata kuliah -mata kuliah wajib ataupun pilihan- juga mempunyai batas minimal nilai yang harus dicapai. Artinya, apabila seorang mahasiswa tidak lulus mata kuliah tertentu pada satu kesempatan, dia harus mengulang mata kuliah tersebut pada kesempatan lain. Kalau sistem SKS perguruan tinggi juga dipakai di sekolah menengah, keadaan yang terjadi pada mahasiswa akan dialami juga siswa sekolah menengah. Mereka akan mendapat mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan untuk pengembangan skill. Mata pelajaran wajib merupakan mata pelajaran dasar yang harus ditempuh, sedangkan mata pelajaran pilihan bertujuan memenuhi minat dan bakat siswa. Ketika siswa telah mencantumkan mata pelajaran yang diambil dalam kartu rencana studi (KRS) -biasa dipakai di perguruan tinggi-, mereka harus bertanggung jawab pada setiap mata pelajaran yang tercantum. Misalnya, jika tidak lulus pada mata pelajaran tertentu, mereka harus mengulang pada kesempatan lain. Meski demikian, sistem SKS juga menguntungkan. Bila seorang siswa belum puas terhadap hasil yang dicapai untuk mata pelajaran tertentu -meski lulus-, dia diizinkan untuk memperbaiki nilai di kesempatan lain. Dengan aturan seperti itu, siswa dapat menentukan sendiri lama studi yang ingin ditempuh. Dia diberi kesempatan untuk memaksimalkan usahanya dalam menguasai mata pelajaran. Tetapi, jika dia sudah puas dengan hanya dinyatakan lulus -walau nilainya belum maksimal-, itu pun tidak mengapa. Melihat hal itu, dugaan bahwa sistem SKS diberlakukan merupakan strategi pemerintah untuk mengatur dan menentukan kelulusan dapat dimungkinkan. Dengan sistem itu, pemerintah berharap agar masyarakat menjadi sadar bahwa kelulusan berada di tangan masing-masing siswa. Pemerintah hanya menentukan dan mengatur kebijakan. Guru hanya membantu menyampaikan pelajaran. Orang tua hanya bisa memberikan dukungan moril maupun materiil kepada anaknya. Apabila seluruh komponen masyarakat menghayati peran masing-masing, pendidikan di Indonesia akan meningkat. Pihak pemerintah
[ppiindia] Uang
Harian Komentar 26/3/2005 Uang Oleh: denni pinontoan Manusia akhirnya harus mempunyai uang untuk hidup. Entah diperoleh dengan cara menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal atau haram. Malam itu, sebuah institusi keagamaan sedang melakukan persidangan. Suasana gedung yang dihadiri ribuan perutusan dari berbagai penjuru, gaduh, ribut. Teriakan interupsi, membahana dari berbagai sudut gedung. Pimpinan sidang kelihatan terdesak.Berulang-ulang kali pimpinan sidang memohon agar peserta tenang. Tapi itu tak digubris. Agaknya ada yang mendesak untuk segera disikapi pimpinan sidang. Suasana tetap kacau, mirip sidang paripurna para anggota legislatif di era reformasi. Suasana masih gaduh, sam-pai pimpinan sidang berhasil dengan sekuat tenaga mem-persilakan seseorang untuk bicara. Pimpinan sidang ber-hasil membuat para peserta sidang yang gaduh dengan interupsi-interupsinya, menjadi tenang, terpusat pada seseorang yang akan bicara itu. Kira-kira ada yang perlu diketahui dari si orang itu. Benar. Apa yang dia akan kata-kan itu penting. Penting un-tuk mereka. Orang yang di-maksud itu ternyata ketua pa-nitia pembangunan sebuah proyek mercusuar institusi itu. Orang itu dengan santai dan gaya berkelakar mengumum-kan bahwa pemerintah daerah di mana institusi itu ada, telah menganggarkan dalam anggaran belanja daerah, uang se-banyak satu miliar untuk proyek mercusuar tersebut. Bu-kan cuma itu, untuk sukses-nya acara persidangan, peme-rintah juga telah memberikan dana ratusan juta. Itu uang legal, karena telah ada kese-pakatan antara pihak ekseku-tif dan legislatif sebelumnya. Apa yang terjadi kemudian? Para peserta sidang yang sebelumnya ribut dan berlom-ba-lomba untuk menginte-rupsi pimpinan sidang, kini bertepuk tangan. Mereka tersenyum puas. Interupsi ti-dak ada lagi. Suasana ber-ubah dalam beberapa menit. Suasana menjadi sukacita dengan uang miliaran rupiah! Syukur malam itu ada sin-terklas. Kado dalam bentuk uang mengubah segala-gala-nya. Uang seolah-olah mengu-asai emosi mereka yang me-ledak-ledak, menjadi emosi gembira. Puas. Malam itu mereka pun bisa tidur cepat, terlelap karena lelah duduk seharian. Bunga tidur, mimpi pun masih bisa dinikmati. Mudah-mudahan bukan mimpi buruk yang hanya mengganggu tidur mereka. Ini cerita tentang uang, ma-nusia dan idealisme. Cerita tentang kehidupan yang ril dan hadir di setiap tarikan napas para petualang di rimba yang dipenuhi binatang buas, pohon lebat dan susah men-cari jalan keluarnya kalau su-dah terdampar di dalamnya. Ini cerita tentang manusia yang menciptakan uang seba-gai alat tukar. Ini cerita ten-tang uang sebagai hasil cip-taan, yang kemudian mengu-asai jiwa dan tubuh si pencip-tanya. Uang hanyalah alat tukar. Barang di tukar dengan uang, maka terjadilah jual be-li. Itu dulu. Cita-cita untuk meng-ganti sistem barter dengan alat tukar uang, awalnya hanyalah untuk barang, komoditi, jasa. Itu dulu. Tapi kini, manusia jiwa dan tubuhnya juga ter-jerembab dalam perdagangan itu. Ini yang dipikirkan oleh Karl Marx dulu. Ia sebenarnya te-lah me-warning manusia. Ta-pi, peringatan ini tak digubris. Jadilah manusia tak ubahnya seperti barang, komoditi, yang sebenarnya adalah objek da-lam sebuah sistem perdaga-ngan itu. Manusia akhirnya harus mempunyai uang un-tuk hidup. Entah diperoleh dengan cara menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal atau haram. Bah-kan, uang yang dalam bahasa sana disebut money, kalau didengar oleh orang yang tak mengerti bahasa sana itu, bisa berubah artinya. Kata 'money', dalam pendengaran orang kita yang tak mengerti bahasa asal kata itu, bisa berarti benih kehidupan. Goenawan Mohamad (Se-buah Pengantar dalam I. Bam-bang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Filsafat, Kanisius, 1997) si penyair itu memandang uang sama dengan Karl Marx. Uang, baginya, .mengubah setiap objek, juga manusia, menjadi sama dengan apa yang lain. Benar. Di zaman sekarang, apa lagi yang tak berurusan dengan uang. Ketika kita berada di terminal, mau pipis dan berak saja, harus pakai uang. Di kampung, hubungan kekerabatan tetangga-berte-tangga, saudara-bersaudara, juga mulai diukur dengan uang. Dulu, orang bisa menumpang begitu saja kendaraan bermo-tor roda dua yang dikemudi-kan tetangga atau teman. Ta-pi, sekarang, ojek/ompreng, telah mengubah hubungan kekerabatan itu menjadi hu-bungan dagang. Antara pelang-gan dan tukang ojek. Senyum si tukang ojek, tak lagi ber-makna hormat, tapi uang. Tak hanya itu. Uang juga bisa membuat orang kehila-ngan nyawa. Berita tentang seorang pemuda yang tewas terbunuh hanya karena tidak memberi uang seribu rupiah untuk satu sloki cap tikus bagi segerombolan preman, adalah juga bukti kekuatan uang. Di tingkat lain, seorang pejabat pemerintahan yang menjadi terdakwa karena kasus korupsi, bisa bebas, juga karena uang. Uang bisa membuat diri terpenjara dalam kebobrokan hidup. Bisa juga membuat diri merdeka dalam ketidakmerde-kaan orang lain atau
[ppiindia] Kewajiban sebagai Hak
MEDIA INDONESIA Sabtu, 26 Maret 2005 OPINI Kewajiban sebagai Hak Putu Wijaya; Budayawan SEORANG dokter yang bekerja di perairan lepas pantai bercerita tentang pengalamannya di daerah terpencil. Ada pengalaman istimewa yang membelajarkannya tentang apa arti tugas. Etos kerja dalam mekanisme kehidupan kota yang dibawanya, ternyata berbeda dengan tata kerja masyarakat terpencil yang tidak diukur oleh 'prestasi'. Hasilnya ketegangan emosional yang nyaris merusak seluruh tugasnya. Dokter itu telah terdidik untuk melihat kerja sebagai tugas yang kemudian membuahkan hak, sehingga ia terbiasa memaknakan kewajiban adalah hak. Dengan konsep itu, ia menghitung hari kerja sebagai proyek yang harus digarap. Makin berhasil ia menggarap, akan semakin penuh haknya. Sementara penduduk setempat yang menjadi karyawan pembantunya, mengukur kerja dari kebutuhan emosionalnya. Kalau ada minat, mereka bekerja. Kalau merasa ada yang lebih penting, misalnya urusan keluarga, upacara, bahkan tidur dan ngobrol, mereka tak berpikir dua kali untuk tidak masuk kerja. Perbedaan cara memandang kewajiban yang kemudian juga berakhir pada perbedaan memaknai hak tersebut, mengandung potensi konflik. Apabila ingin membenarkan etos kerja sendiri, dokter itu mau tak mau harus memvonis penduduk sebagai orang-orang malas. Karena itu harus dipecat. Sebagai kelanjutannya, ia memikul tugas suci, untuk membelajarkan penduduk tata pikir baru, yang memaknai kerja sebagai hak. Dan, itu berarti akan membongkar tak hanya perilaku, juga konsep hidup. Dan, akhirnya akan berhubungan dengan masalah keyakinan. Tidak mungkin tidak, pasti akan sampai ke pertengkaran. Baik konflik dalam pengertian yang positif, yakni dinamika maupun sebaliknya konflik yang diakhiri permusuhan. Etos kerja yang berbeda menyebabkan ketidaknyamanan bagi kedua belah pihak. Dokter mendapat beberapa pengalaman lapangan yang pahit. Ia sempat kaget lalu marah, kenapa karyawan yang harusnya masuk setiap hari kerja itu tidak datang setiap hari. Bagi dokter pelanggaran komitmen itu sudah sabotase. Apalagi alasan yang diberikan oleh para pekerjanya sangat tidak relevan. Mereka mengatakan, lagi tidak ada selera bekerja, sedang ada urusan lain, mengurus keperluan keluarga, upacara, atau sama sekali tanpa alasan. Hanya sekadar kepingin tak masuk kerja saja. Buat mereka aneh kenapa tidak hadir mesti harus ada alasan? Dokter tersinggung dan gemas. Ketika ia marah, karyawan itu lebih marah dan siap hendak melakukan pembelaan fisik. Di situ dokter sadar, bukan hanya dalam etos kerja, dalam konsep 'bertengkar' pun mereka berbeda. Dialog yang bagi dokter adalah adu argumentasi mencari mana yang lebih benar, bagi para pembantunya hanya pendahuluannya memerlukan kata-kata, selanjutnya diselesaikan secara fisik. Dengan acuan yang tak sama itu, dialog hanya akan berarti perkelahian. Akhirnya dokter memutuskan hubungan kerja. Ternyata itu tidak menjadi masalah. Para pembantunya bersedia dipecat, hanya saja begitu diberhentikan mereka langsung memboyong tempat tidur inventaris kantor, sebab balai-balai yang pernah mereka tiduri itu sudah dianggap sebagai miliknya. Dokter tak berani mencegah, karena akan berarti perkelahian. Akhirnya dokter memaknai peristiwa itu sebagai pembelajaran buat dirinya. Seluruh konsep kerjanya ternyata sudah mengganggu harmoni penduduk yang sudah berjalan bertahun-tahun. Dokter melakukan introspeksi. Ia mendaur ulang pendapat dan kemudian sikapnya. Pemahamannya tentang etos kerja yang memandang kewajiban adalah hak dibuang. Ia mengembalikan kewajiban hanya sebagai beban yang setiap saat harus disiasati agar bisa dikurangi. Lalu ia mencoba menikmati itu sebagai kebahagiaan baru. Bukan prestasi yang harus diburu, karena itu hanya akan membuat frustrasi, tetapi harmoni. Hidup santai saja, menggelinding mengikuti suasana hati, sehingga tidak perlu ada kontraksi saraf. Setelah mengganti sudut pandang, dokter itu tidak mengalami tegangan emosional lagi. Ia mulai lebih akrab dengan penduduk. Mereka pun mendekat dengan sukarela, karena tidak merasakan lagi ada ancaman bahaya dari kehadiran dokter. Hubungan mulai mesra. Dialog pun terjadi tanpa dipaksa. Dokter menemukan bonus, ketika kacamatanya diganti. Apa yang dulu dianggapnya sebagai kemalasan, sebenarnya adalah sebuah protes. Penduduk bukan tak mau memosisikan kewajiban adalah hak. Itu bukan sesuatu yang baru buat mereka. Setiap hari, penduduk sudah melakukannya dalam kebersamaan kelompok di dalam segala hal. Mereka hanya tak ingin memberikannya nama yang keren. Dengan memberikan nama, berarti memberikan batasan. Dengan adanya batasan, kemudian jelas apa yang ya dan apa yang tidak. Hitam dan putih terpisah dalam lempengan yang berbeda. Padahal dalam kenyataan, hidup itu tumpang-tindih. Masyarakat modern menyebut orang yang tidak suka bekerja sebagai
[ppiindia] Neo-Sontoloyo *)
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=192004kat_id=16 Kamis, 24 Maret 2005 Neo-Sontoloyo *) Oleh : Sri-Edi Swasono Ekonom Tentu banyak yang masih ingat Bung Karno menulis artikel di Panji Islam (1940), dengan judul Islam Sontoloyo. Saya mengagumi ketegasan Bung Karno mengkritik para kiai. Saya kutipkan lagi: ''Dari sebab perempuan-perempuan itu diajar oleh (kiai)nya dan musti bertemuan dan beromong-omong (tanpa ditutup mukanya), maka murid-murid perempuan itu musti 'dimahram dahulu' musti dinikahinya. Benar-benarlah di sini kita melihat Islam sontoloyo. Suatu perbuatan dosa dihalalkan menurut fiqh, tak ubahnya dengan merentenkan uang yang 'dihalalkan' ribanya dengan berpura-pura berjual-beli barang halalnya orang yang memain 'kucing-kucingan' dengan Tuhan, halalnya orang yang mau mengelabui mata Tuhan''. Ini reaksi Bung Karno tentang pemberitaan surat kabar Pemandangan, 8 April 1940. Kita punya pengalaman dalam mengurus negara Pancasila ini, yang apabila Bung Karno masih hidup (apalagi beliau bersama Bung Hatta adalah pendekar paham sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme), saya akan minta Bung Karno mengecam pula absurditas nasional berikut ini sebagai absurditasnya Islam sontoloyo. Tulisan Revrisond Baswir berjudul 'Amerikanisasi BBM' (Republika, 21 Maret 2005) dan tulisan Mubyarto berjudul 'Pemerintah Buta dan Tuli' (Kompas, 21 Maret 2005) mendorong saya lekas-lekas menulis perihal berikut ini, yang sudah lama saya ancer-ancerkan. Kesontoloyoan ini akan saya kaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UU Migas 2001. Neo-sontoloyo: menggusur ukhuwah Kita masih ingat Prof Mubyarto dan Prof Dawam Rahardjo mengundurkan diri dari tim pakar Badan Pekerja MPR karena mereka berdua tidak bisa bekerja sama dengan para anggota tim pakar lainnya, terutama yang menginginkan mengubah Pasal 33, menghilangkan sukma utama dari Pasal 33 (juga sukma UUD 1945 secara keseluruhan) yaitu menghapus azas kekeluargaan. Memang niat para anggota tim pakar (selain Prof Mubyarto dan Prof Dawam Rahardjo) itu membuahkan hasil. Mereka mampu bicara 'mengagumkan' di depan terhadap para anggota Dewan Pekerja MPR, sehingga akhirnya Pasal 33 UUD 1945 diubah pada amandemen kedua UUD 1945. Asas kekeluargaan hilang, ide demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat daripada kemakmuran orang-seorang, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua, penilikan oleh masyarakat dan seterusnya. Termasuk perkataan ''koperasi'' yang ada pada Penjelasan Pasal 33, tidak diangkat ke dalam Pasal 33 yang diamandemen. Ini menyalahi kesepakatan sebelas fraksi MPR yang telah berkonsensus bahwa hal-hal yang bersifat normatif dalam Penjelasan harus dipindahkan ke dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945. Para anggota Badan Pekerja (Ad-Hoc I) ibaratnya memang telah kesetanan, mediokritasnya mudah termakan oleh polapikir liberalistik, oleh simplisme empirik globalisasi yang penuh gebyar, atau memang mengidap libertarianisme, atau (moga-moga tidak) terjebak kompradorisme. Sebagai anggota MPR-FUG, saya menyaksikan dan meniti peristiwa itu. Asas kekeluargaan yang anggun dan mulia, yang menyertai keseluruhan semangat perjuangan nasional menuju kemerdekaan Indonesia, dihapuskan oleh mereka secara gampang-gampangan. Sebagai gantinya ditonjolkan asas efisiensi ekonomis (yang tidak jelas tataran mikro dan makronya, hingga tidak jelas kaitannya dengan kesejahteraan sosial dalam dimensi societal welfare). Mudah dibaca rumusan Pasal 33 baru sesuai amandemen kedua, bahwa penggantian itu untuk memperkokoh libertarianisme mereka dan merupakan pereduksian istilah dan makna ''Kesejahteraan Sosial'' Indonesia (sebagai judul BAB XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 bernaung). Tuntutan kembali ke stelsel liberalisme kuno ini sebenarnya telah dihujat oleh perkembangan pemikiran ekonomi mutahir dengan istilah the end of laizzes-faire kedua (Sen-Etzioni-Striglitz-Kuttner cs). Di mana kaitan asas kekeluargaan dengan kosontoloyoan? Saya tegaskan di sini, terutama bagi mereka yang mudah tergiring oleh pemikiran dengan istilah asing, bahwa paham usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan adalah suatu konsepsi orde ekonomi atau doktrin yang berdasar pada paham mutualism and brotherhood. Saya ingin mengulangi dan menegaskan di sini bahwa mutualism and brotherhood dalam bahasa agama kita kenal dengan istilah ukhuwah. Pada tingkat kelompok, kita hidup ber-ukhuwah kelompok, oleh karena itu kita mengenal ukhuwah Islamiyah bagi antarummat Islam; dan tentu kita boleh memperkirakan pula adanya ukhuwah antarummat Nasrani (yang mungkin boleh disebut ukhuwah Nasroniah). Demikian pula antarummat Hindu, antarummat Budha, dan seterusnya. Pada tingkat nasional, rasa kebersamaan dan asas kekeluargaan ini membentukkan suatu ukhuwah wathoniah. Selanjutnya sesuai dengan makna rahmatan lil alamin, pada tingkat mondial membentukkan suatu ukhuwah bashariah, yaitu suatu world mutualism and brotherhood, suatu persaudaraan atau solidaritas yang
[nasional_list] [ppiindia] Pemimpin Pilihan Rakyat
** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** REPUBLIKA Sabtu, 26 Maret 2005 Pemimpin Pilihan Rakyat Oleh : Taufiq Effendi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Di bawah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat Indonesia mulai Juni 2005 nanti akan melangsungkan pilkada guna memilih pemimpin daerahnya masing-masing, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kotamadya. Ada sebanyak 224 kepala daerah, terdiri dari 11 gubernur, 36 wali kota, dan 178 bupati akan dipilih. Berbeda dengan pilkada sebelumnya, di mana kepala daerah dipilih oleh para wakil rakyat yang duduk di DPRD, pilkada mendatang akan menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Yaitu rakyat memilih pasangan calon kepala daerah yang diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik (parpol). Mekanisme pemilihan langsung ini, selain bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar legitimate karena dipilih langsung oleh rakyat juga dimaksudkan untuk menghindari derasnya arus praktik-praktik pembelian suara sebagaimana disinyalir banyak terjadi di lembaga legislatif atau parlemen. Praktik pembelian suara memang bukan hal baru di kancah atau percaturan politik. Di Amerika Serikat ada skandal Watergate pada saat dilaksanakan pemilihan presiden tahun 1972. Di Indonesia-meskipun sulit dibuktikan- isu praktik pembelian suara ini juga santer terdengar dan marak dibincangkan. Barangkali, maraknya isu pembelian suara ini akibat langsung dari dibukanya kran kebebasan informasi di era reformasi yang begitu lebar, sehingga hampir tidak ada rahasia yang dapat disembunyikan atau ditutup-tutupi secara rapi. Tetapi boleh jadi juga, hiruk-pikuknya praktik politik uang berupa pembelian suara dalam berbagai even politik adalah akibat langsung dari mentalitas suka menerabas, yaitu cari jalan pintas yang penting tujuan tercapai-tidak peduli apakah cara yang ditempuhnya melawan hukum atau tidak. Tidak diketahui secara pasti mengapa seorang kandidat pemimpin, baik untuk menjadi kepala daerah, ketua organisasi politik, ketua organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya begitu dermawannya membagi-bagikan uang kepada para calon pemilih. Memang, uang penting guna menunjang mobilitas. Tetapi, kalau uang itu digunakan untuk menaklukkan hati pemilih, maka yang demikian itu sejatinya adalah pelecehan terhadap eksistensi rakyat dikarenakan memposisikannya sebagai pihak yang dapat dibeli, terutama cita-citanya. Padahal cita-cita mereka begitu tinggi dan tidak dapat dinilai dengan uang, berapa pun jumlahnya. Karenanya, tidak berlebihan kiranya jika kemudian muncul istilah suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Oleh sebab itu, keluhurannya harus dijaga secara ekstra ketat guna merawat agar predikat suara Tuhan tidak bermetamorfosis menjadi suara gemerincing uang (vox populi, vox argentums). Pada dasarnya, jabatan pemimpin yang diperoleh dengan membeli suara adalah cara-cara primitif seperti yang dilakukan oleh para agresor kolonialisme. Yang membedakan hanyalah alat penakluknya saja. Para agresor menggunakan kekuatan senjata guna menunduk-taklukkan penduduk di daerah jajahannya, sementara pemimpin yan g memperoleh jabatannya dengan cara membeli suara menaklukkan rakyat pemilih dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Jangan-jangan mereka nanti juga akan berperilaku sebagaimana agresor yang gemar memeras dan menindas! Menjadi pemimpin adalah amanat Menjadi pemimpin adalah amanat. Oleh sebab itu prasyarat yang harus terpenuhi adalah kerelaan hati orang-orang yang dipimpinnya untuk menyerahkan dan mempercayakan segala urusannya yang berkaitan dengan upaya meraih kepentingan-kepentingan dan cita-citanya (politik, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya). Untuk itu perlu disadari bersama bahwa menjadi pemimpin bukanlah alat untuk gagah-gagahan tetapi untuk mengabdi dan menjalankan tugas. Pemimpin berkewajiban untuk melayani bukan minta dilayani. Berhubungan dengan soal kepemimpinan ini, adalah menarik mencermati pidato politik Abu Bakar Sidiq, khalifah pertama dalam sejarah Islam, saat dirinya dinobatkan sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah Muhammad. Dalam pidatonya, beliau mengatakan, ''Wahai sekalian manusia, sekarang aku telah kalian angkat untuk memegang urusan kalian ini, padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Karenanya, jika aku berjalan di atas kebenaran dan keadilan, maka dukunglah aku. Sebaliknya, jika aku menyimpang dari jalan kebenaran dan keadilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, bila aku melanggar perintah-Nya dan tidak menjalankan sunah Rasul-Nya, maka janganlah kalian mengikuti aku.'' Pidato ini memberi pemahaman kepada kita bahwa pemimpin harus mempunyai kepribadian jujur dan komitmen (sidiq), dapat dipercaya dan bertanggung jawab (amanah), cerdas serta memiliki kepekaan yang tinggi (fatonah), dan mau membuka ruang dialog dengan rakyatnya (tabliq). Atau, seorang
[ppiindia] Gebrakan SBY dalam Kependudukan
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104621 Gebrakan SBY dalam Kependudukan Oleh Haryono Suyono Sabtu, (26-03-'05) Awal minggu ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan gebrakan strategis dengan mengundang dan membuka Rapat Kerja Nasional Gerakan Keluarga Berencana tahun 2005 di Istana Negara, Jakarta. Sepintas Rakernas yang dibuka oleh seorang Presiden di Istana Negara adalah suatu hal yang biasa. Rapat kerja bidang kependudukan dan KB di masa lalu, pada masa Presiden HM Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, atau Presiden Megawati Soekarnoputri, juga dibuka oleh Presiden di Istana Negara. Namun, dalam suasana perhatian dunia terhadap masalah kependudukan sedang berubah bentuk seperti sekarang ini, gebrakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengandung harapan yang besar bahwa Indonesia bisa kembali menjadi pioner dalam mengembangkan pemberdayaan penduduk yang besar sebagai kekuatan dan modal pembangunan bangsa atau human capital. Indonesia yang miskin tetapi mempunyai penduduk dengan jumlah besar, apabila ditangani dengan pemberdayaannya secara terpadu, dengan mengundang partisipasi semua kekuatan pembangunan yang tinggi, akan menghasilkan sumber daya manusia bermutu yang besar jumlahnya. Kalau setiap warga menghasilkan sesuatu untuk bangsa dan negaranya, hampir pasti negara yang besar dan kaya raya ini akan muncul sebagai negara besar yang sejahtera, adil dan makmur. Indonesia dengan penduduk lebih dari 215 juta jiwa mempunyai potensi yang makin siap untuk membangun bangsanya. Dalam tigapuluh tahun terakhir, tingkat kelahiran dan tingkat kematian sudah menurun lebih dari 50 persen. Sementara tingkat pertumbuhan penduduknya telah menurun dari angka diatas 2 persen menjadi hampir dekat dengan angka 1,2 - 1,3 persen. Bahkan beberapa provinsi, kabupaten dan kota telah menunjukkan angka sekitar 1 persen. Makin siapnya penduduk dikembangkan menjadi potensi pembangunan yang kuat itu ditandai pula dengan jumlah penduduk di bawah usia limabelas tahun yang relatif tidak bertambah lagi, yaitu sekitar 60-65 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, apabila kita bekerja dengan keras, tidak mustahil tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan awal dari penduduk tersebut dapat diberikan dengan baik. Pemeliharaan kesehatan dan pendidikan dalam usia dini akan menghasilkan bibit-bibit unggul yang di kemudian hari dapat menghasilkan manusia unggul dan bermutu yang bisa diandalkan untuk melanjutkan pembangunan bangsa. Penurunan tingkat kelahiran dan kematian juga menyebabkan melejitnya usia harapan hidup dari angka di bawah 50 tahun menjadi 65 tahun atau lebih. Angka-angka itu relatif tinggi tetapi masih rawan untuk menurun kembali karena angka kematian ibu hamil dan melahirkan masih tinggi, sekitar 300 per 100.000 kelahiran, atau sekitar 30-40 kali lebih besar dibandingkan angka yang sama di negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Gebrakan Presiden SBY dengan menggelar Rapat Kerja Nasional di Istana harus segera diikuti dengan kegiatan menggelar program kesehatan ibu dan anak secara besar-besaran di tingkat pedesaan. Program ini harus disiapkan dengan baik untuk menolong ibu muda yang karena kemiskinan dan pendidikan yang rendah terpaksa menikah pada usia muda. Karena kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah, perkawinan usia muda biasanya tidak disertai dengan persiapan pengetahuan reproduksi yang matang, dan tidak pula disertai oleh kemampuan mengakses pelayanan kesehatan yang masih dianggap mahal. Karena sifatnya menolong ibu-ibu muda yang subur, maka tugas menyediakan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu, dan selama ini menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan dan jajaran Pemda terkait, harus dirombak dengan sistem baru yang menjemput bola sampai ke tingkat pedesaan dan pedukuhan. Jajaran pemerintah harus mampu memperhitungkan kebutuhan sesuai dengan jumlah penduduk usia subur dan mereka yang siap mengandung dan melahirkan. Begitu juga pemerintah daerah harus mampu memperhitungkan jumlah anak-anak yang rawan penyakit yang bisa mengganggu tingkat kematian yang sudah rendah. Andaikan aparat pemerintah tidak mencukupi, jajaran pemerintah harus tanggap dan dengan cepat mengembangkan pemberdayaan dan suasana yang kondusif bagi munculnya pelayanan mandiri yang bermutu dan murah. Dalam waktu yang bersamaan, jajaran Departemen Dalam Negeri, jajaran BKKBN, dan Pemerintah Daerah, dengan mitra-mitra kerjanya, harus dengan gesit mengembangkan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat, keluarga dan penduduk, makin gandrung terhadap pelayanan kesehatan dan KB secara mandiri. Masyarakat harus mendapat informasi dan edukasi yang mendalam, kalau perlu diberikan contoh dan pendampingan untuk hidup sehat dan ber-KB dengan teratur. Dengan advokasi yang jujur aparat pemerintah harus bisa mengembangkan suasana
[ppiindia] Jenazah Sudah Lebih Sepuluh Hari, Menebarkan Aroma Parfum
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104657 Jenazah Sudah Lebih Sepuluh Hari, Menebarkan Aroma Parfum Sabtu, (26-03-'05) Selama hampir tiga bulan menjalani tugas kemanusiaan di kota Banda Aceh pascabencana tsunami, akhir tahun 2004, banyak diperoleh pengalaman berharga -kadang kala muncul hal-hal unik yang sulit diterima akal sehat. Pengalaman yang cukup menarik bercampur sedih dan haru itu bukan saja ketika melakukan kegiatan evakuasi jenazah dan menguburkan mereka secara massal-tetapi banyak keanehan lain hingga membuat sebagian relawan kemanusiaan benar-benar tidak bisa tidur malam. Komandan Batalyon Arhanudes 11/BS Kodam I/BB, Letkol (Art) Haris Sarjana sebagai salah seorang pimpinan relawan kemanusiaan mengisahkan suka dan dukanya sebagai pemburu jenazah korban bencana tsunami yang meluluh-lantakkan sebagian wilayah pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tugas mengevakuasi jenazah korban bencana dalam skala besar seperti korban tsunami di kota Banda Aceh dianggapnya sebagai suatu pengalaman paling berharga yang belum pernah dilakukan di daerah lainnya di Indonesia sepanjang perjalanan sejarah karir militernya. Saya sulit melupakan pengalaman sebagai relawan evakuasi jenazah di Nanggroe Aceh dan semua pengalaman unik itu sudah dibukukan sebagai kenang-kenang bagi anak cucu, katanya. Menurut Haris, pertama kali menginjakkan kakinya di kota Banda Aceh, pertengahan Januari 2005, ia bersama anak buahnya melihat puluhan ribu jenazah manusia berserakan di mana-mana dibiarkan terlantar berhimpitan dengan reruntuhan bangunan dan puing tsunami. Setelah melihat kondisi kota Banda Aceh yang porak-poranda diterjang bencana, ia bersama anak buahnya memulai tugas kemanusiaannya dengan niat yang tulus -tanpa rasa jijik mengutip jenazah satu persatu diangkat ke atas kendaraan untuk kemudian dikuburkan secara massal. Kegiatan mengevakuasi jenazah berlangsung sekitar hampir dua bulan dengan target masing-masing regu setiap hari sedikitnya mengevakuasi 15 jenazah-hingga pada akhir masa tugasnya di kota Banda Aceh, 26 Maret 2005, berhasil mengumpulkan 9.513 jenazah. Dengan peralatan evakuasi serba terbatas-seperti `body bag`, masker dan sarung tangan-namun semua regu relawan dari Batalyon Arhanudse 11/BS yang diturunkan ke lapangan setiap hari berhasil memenuhi target 15 jenazah. Korban Tewas Sebelumnya, Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Aceh di Banda Aceh menyebutkan masyarakat yang tewas saat tsunami lalu hampir mencapai 200.000 orang, sedangkan jenazah yang telah dievakuasi dan berhasil dikuburkan sebanyak 126.390 jenazah. Korban tewas terbanyak ditemukan di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, sedangkan dari dua daerah lainnya yang cukup parah terkena dampak bencana tsunami 26 Desember 2004, yakni Aceh Jaya dan Aceh barat banyak warga dinyatakan hilang. Total warga masyarakat yang dinyatakan hilang sampai akhir Maret 2005 dilaporkan sebanyak 93.797 orang, sedangkan selamat yang hudup di kamp pengungsi tercatat 400.062 jiwa tersebar dari 20 kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh. Untuk menampung para korban yang selamat dari maut tsunami, pemerintah telah selesai membangun sebanyak 845 unit barak dengan menampung 56.600 jiwa (data 16 Maret 2005), 730 unit di antaranya telah digunakan. Kondisi kota Banda Aceh kini telah pulih kembali, setelah puing-puing tsunami berhasil disingkirkan, termasuk aktivitas kantor pemerintah sudah normal, setelah misi kemanusiaan dari negara asing hampir tiga bulan berada di Nanggroe Aceh. Mayat Melahirkan Selama melakukan kegiatan evakuasi jenazah di Banda Aceh, pasukan TNI dari Arhanudse 11/BS Kodam I/BB juga menemukan berbagai keajaiban dari para korban, mulai dari jenazah ringan dan berat hingga menemukan jenazah hamil bugil mulai mengeluarkan jabang bayinya. Cerita aneh-tapi nyata itu ditemukan dari salah satu jenazah perempuan yang berbadan tambun pada saat ditemukan kondisi badannya masih terbungkus pakaian secara lengkap-walaupun sudah sepuluh hari tidak mengeluarkan aroma menyengat hidung. Anehnya, ketika tubuh jenazah itu didekati, para relawan mencium aroma harum serta ketika jenazahnya diangkat ternyata terasa cukup ringan-sebaliknya mereka juga menemukan jenazah cukup berat, sehinggat sulit diangkat tiga prajurit TNI. Walaupun jenazahnya sudah berhasil diangkat, namun anggota relawan TNI seperti sulit bergerak dan mereka sampai beberapa kali berputar-putar di sekitar lokasi penemuan jenazah tersebut, kata Letkol (Art) Haris Sarjana mengutip laporan anak buahnya. Dari berbagai hasil temuan itu, ia menyimpulkan entah kebaikan apa yang diperbuat semasa hidupnya,
[ppiindia] Desentralisasi dan Demokratisasi Pendidikan di Era Otonomi Daera
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/26/opi02.html Desentralisasi dan Demokratisasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah Oleh Unggul Sagena Pendidikan dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun demokrasi, proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi. Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah yang memegang peranan penting sebagai penggagas ghirah kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik ini. Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passive acceptance). Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-pemerintah (PP) maupun Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri. Kebijakan Pendidikan Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis-kalau tidak dapat disebut liberal-ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, privatisasi perguruan tinggi negeri-dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya. Dalam kondisi yang demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri. Apa sebab, karena pendidikan nasional selama ini bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa. Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas, sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi pendidikan otoriter demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini too much science too little faith, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama. Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa pendidikan otoriter tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan. Demokratisasi Pendidikan Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita. Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi dua jenis. Pertama, desentralisasi kewenangan
[ppiindia] Kostrad Bangun Markas di Papua
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/26/nas05.html Kostrad Bangun Markas di Papua Jayapura, Sinar Harapan, Pangdam XVII/Trikora Mayjen TNI Nurdin Zainal mengungkapkan dalam waktu dekat Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) akan dibangun di Kabupaten Timika-Papua. Alasan Timika dipilih sebagai base camp Kostrad karena pesawat jenis C One Forty serta Hercules sudah bisa mendarat. Kalau suatu waktu ada pengerahan pasukan yang butuh waktu cepat, jalur udara dari Timika adah yang paling strategis. Pembangunan satuan Kostrad ini, menurut Nurdin kepada wartawan di Jayapura, Kamis (24/3), karena tiga batalyon yang sudah ada dan penambahan tiga batalyon organik yang sedang dibangun (Batalyon 754 di Wamena, Batalyon 755 di Merauke dan Batalyon 756 di Timika) dirasa belum cukup. Sampai tahun 2014 nanti, masih akan ada tambahan batalyon di Papua, selain tiga batalyon organik yang sekarang dibangun dengan jumlah pasukan yang khusus. Untuk personel batalyon di Papua sendiri sebanyak personel. Nantinya juga akan ada satuan pusat, yakni satuan kostrad di mana ada brigade dan di bawah brigade paling tidak ada tiga atau empat batalyon. Ditambah lagi kalau sudah ada Kostrad, biasanya ada resimen bantuan tempurnya dan juga ada satuan pelayan. Penambahan pasukan yang cukup itu diharapkan supaya Papua bisa melaksanakan pertahanan sendiri tanpa ada bantuan dari pusat. Untuk bisa mempertahankan pulau besar ini sendiri maka jumlah kesatuan yang ada sekarang yakni enam batalyon organik ditambah dengan Kostrad. Tetapi itu pun belum cukup, karena luas wilayah kita tiga setengah kali Pulau Jawa,kata Nurdin. Program ke depan akan ada cukup banyak satuan baru yang ada di Papua. Tetapi pembangunan pasukan seperti itu membutuhkan biaya sangat besar, sementara kondisi keuangan negara tidak cukup. TNI hanya dapat 34 persen dari kebutuhan minimal. Oleh karena itu, pembangunan kekuatan di Papua pun pasti disesuaikan dengan dana yang ada. Di sisi lain, menurut Nurdin, tidak akan ada pembentukan Kodam baru di Provinsi Irian Jaya Barat yang beribu kota di Manokwari. Kalau itu baunya pun tidak ada dan wacana pun tidak ada untuk pembentukkan Kodam baru di Irjabar,katanya Menurutnya, untuk Kodam di Papua hanya cukup satu saja, tetapi di bawah Kodam, yakni Korem dan Kodim perlu diperbanyak. (ded) Copyright © Sinar Harapan 2003 [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] The Capitalist Age(1)
The Capitalist Age(1) By Shrii Prabhat Ranjan Sarkar Both the warrior class and the intellectual class like to enjoy material wealth, though their methods of accumulating material objects are different. The capitalists/ business class, however, are more interested in possessing material objects than enjoying them. Looking at their possessions, or thinking about them, gives them a certain peace of mind. So in the Age of Capitalism the practical value of material goods is less than at any other time. They gradually become inert both literally and in financial terms. This is the greatest curse of the Commercial Age, because the less the mobility of material goods, that is, the greater their stagnation in different spheres, the more harmful it is for the common people. In the warrior and intellectual Ages it is very rare for people to die of starvation while grains rot in the warehouses. Although there is disparity of wealth in the Warrior(2) and Intellectual Ages, warriors and intellectuals do not kick others into a pit of privation, poverty and starvation while they themselves enjoy their wealth. This is because they see other people as tools to be used for the purpose of exploitation, but do not see them as the wellspring of exploitation as capitalists do. To a capitalist, the laborers/workers, the warrior/military class and the intellectuals are not only tools to be used for exploitative purposes, they are the wellspring of exploitation as well. The capitalists gain material objects of enjoyment through the physical efforts of others; or directly through mental efforts; or sometimes through such physical efforts, sometimes through mental efforts, and sometimes through both simultaneously, according to the situation. So in this respect the capitalists are similar to the intellectuals. However, the difference is that when the intellectuals acquire objects of enjoyment, they do not let others know that that is their intention; they resort to various types of logic, quote from the scriptures, fake indifference, and employ many other techniques. The capitalists do not do such things. In this regard at least, they are more straightforward than the intellectuals. They do not hide their intentions, which are to accumulate an increasing number of objects of enjoyment. As intellectuals are to some extent guided by conscience, they do not utilize their intellects solely to accumulate objects of enjoyment. If they develop a greater degree of conscience or if their intellects increase, they will often neglect to do this altogether. But this never happens with capitalists, first of all because they are somewhat lacking in conscience. And secondly, if any of them do have a bit more conscience, they will satisfy it by making donations according to their convenience, priorities or inclination, but they will never stop accumulating objects of enjoyment. A capitalist with a conscience may donate a hundred thousand rupees at a moment's notice, but while buying and selling he will not easily let go of even a [single penny]. The consequences of accumulating material objects of enjoyment are not the same for capitalists as they are for intellectuals, either. Because they generally spend some time thinking about higher pursuits, intellectuals do not ideate on objects of enjoyment. But capitalists do. As a result they one day take the form of matter. Capitalist Mentality Whatever glory the capitalists gain, they gain at the risk of their lives. In this regard they are definitely greater than the intellectuals and may also be greater than the warriors. The capitalists always keep in mind the possible ups and downs in life and their personal profit and loss; thus they develop the capacity to adapt to a wide variety of situations. They are neither especially attracted to luxuries nor repelled by hardships. This is the key to their success. Capitalists are fighters, but their methods of fighting are different from those of the warriors or even the intellectuals. Actually they lack the powerful personalities of the warriors and are in fact the opposite -- weak personalities. They do not hesitate to sell their personal force, their society, their nation, the prestige of women, or national welfare, which the warrior class would never do. Intellectuals limit their fighting to the intellectual sphere, but this is not exactly the case with capitalists. Although they also fight intellectually, they do so only to make money. If an intellectuals and a capitalist ever engage in a purely intellectual fight, the intellectuals will win. But if the fight is between their urges for financial gain, the capitalist will win; the capitalist will lock the intellectuals' minds up in their iron safes. Capitalists perceive the world through greedy eyes. They do not have the capacity to correctly or fully understand worldly issues. They do not understand anything except the economic value of things. Their commercial outlook is not confined to the