[ppiindia] Jika Terpilih, Mega makin tak Populer

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/3/27/n3.html

Jika Terpilih, Mega makin tak Populer 
Jakarta (Bali Post) -
Popularitas Megawati Soekarnoputri akan terus melorot jika terpilih sebagai 
ketua umum dalam Kongres PDI-P, 28 Maret sampai dengan 2 April 2005. ''Sekarang 
Mega hanya mendapat 30 persen dukungan publik. Artinya, kepemimpinan PDI-P 
dipegang siapa pun, rakyat bisa terima,'' kata Direktur Soegeng Sarjadi 
Syndicated, Sukardi Rinakit, di Jakarta, Sabtu (26/3) kemarin.

Sukardi meramalkan Megawati tetap unggul dalam kongres mendatang. Kalau dilihat 
dari hasil polling, Megawati lebih unggul tetapi tidak lagi mendominasi 
pendapat publik sepenuhnya seperti tahun 1999 yang mendapat dukungan 99 persen. 
Meski gerakan pembaruan mencoba menghadang, Sukardi mengatakan posisi Mega 
makin kuat dan berpeluang besar memimpin partai ini lagi.

Ia melihat peta kekuatan masing-masing. Gerakan pembaruan hanya didukung 
sekitar 800 orang, sedangkan 1.000 dari 1.800 peserta kongres mendukung 
Megawati. Terhadap keinginan sejumlah pihak agar hak prerogatif dan formatur 
tunggal dipertahankan, Sukardi menilai jika itu dipertahankan maka 
demokratisasi di tubuh PDI-P akan terancam. ''Kalau Mega tetap dengan hak 
prerogatif dan formatur tunggal, demokrasi akan hancur. Artinya, Mega berperan 
mengkerdilkan demokrasi partai mungkin secara nasional,'' kata pengamat politik 
ini.

Sementara itu, Koordinator Barisan Pendukung Mega Arnold MP Manurung mengatakan 
kongres kali ini merupakan jembatan emas untuk mengantarkan PDI-P menuju partai 
modern yang berwatak kerakyatan. Atas dasar itulah, kata Arnold, pihaknya 
mendukung secara penuh aspirasi akar rumput yang mengamanatkan kembali kepada 
Mega untuk menjadi ketua umum. Selain itu, mendesak Megawati untuk mempercepat 
penyempurnaan partai menjadi partai modern yang berwatak kerakyatan. (010)

  



[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Is there a place for intolerance in Islam?

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20050326.F05irec=4

Is there a place for intolerance in Islam? 
Sukidi Mulyadi, Cambridge, Massachusetts, USA

In his book, The Place of Tolerance in Islam, (2002:22-33), Khaled Abou El 
Fadl, a distinguished Islamic scholar at the University of California, Los 
Angeles, makes a clear statement about the close interaction between the Koran 
as the text and the Muslim as the reader and interpreter in the construction of 
intolerance in Islam. If the reader is intolerant, hateful, or oppressive, he 
argues, so will be the interpretation of the text.

In particular, the intolerant interpretation of Islam is then attributed to the 
Muslim puritans and extremists who read and interpret the Koran strictly, 
literally, and ahistorically. In support of his thesis, Khaled points to a 
number of these puritans and extremists in the course of Islamic history. 

First, intolerance in Islam, as Khaled postulates, may be traced back to the 
formation of the Kharijites (Arabic, pl. Khawbrij; s. Khawbrijn) in the first 
century of Islam. The Kharijites were commonly considered seceders, rebels, 
or revolutionary activists,, because they seceded and fought against the 
leadership of the fourth caliph, Ali b. Abi-Talib (r. 656-61), cousin and 
son-in-law of Muhammad. 

According to Khaled, the Kharijites were responsible for the assassination of 
Ali b. Abi-Talib by one of their members, Ibn-Muljam, in 661, and the deaths of 
both Muslims and non-Muslims at that time. He regards such historical events as 
examples of intolerance and fanaticism in the first century of Islam. Before 
the rise of the Kharijites, however, Khaled disregards several earlier examples 
that could also be taken to demonstrate intolerance in the course of Islamic 
history. One of these incidences involved the assassination of the third 
caliph, Uthman b. Affan (r. 644-56), at Madina by the mutineers -- a modern 
term for religious extremists -- who broke into Uthman's house and killed him 
in the year 656. 

Second, intolerance in the modern period is often associated with the rise of 
fanatics and extremist groups such as the jihad organizations -- al-Qaeda and 
the Taliban. Khaled argues that their theological foundations draw upon the 
so-called intolerant puritanism of the Wahhabi creed. The Wahhabi creed is a 
puritan form of Islamic teaching and propagation that is based mainly upon a 
strictly literal interpretation of the Koran and the Hadith. The founder of its 
movement, Muhammad b. Abd al-Wahhab (1703-1791), was a typical puritan Muslim. 

However, it seems to me that Khaled fails to trace the line connecting the 
teachings of Abd al-Wahhab back to the tradition of Ibn Taymiyyah (1263-1328). 
I believe it is essential to describe him briefly in order to get a proper 
understanding about the origins of the sort of intolerant interpretations of 
Islam that can be traced back to Ibn Taymiyyah. Born in Harran in Mesopotamia 
and trained in the Hambali tradition, Taymiyyah attempted to reinforce the 
doctrines of sharia using a strictly literal method, and declared that the 
Mongols and their descendants, regardless of their profession of faith in 
Islam, were infidels and apostates, because they paid more attention to the 
propagation of the Yasa than Islamic sharia. 

His literalist and intolerant view of Islam led him to regard the development 
of Islamic practices after the death of the Prophet Muhammad and the four 
rightly guided caliphs as unauthentic Islam, including popular Sufism, 
Shi'ism, and the veneration of saints' tombs. As a consequence, Taymiyyah began 
to oppose all forms of popular Sufism, cultic forms of worship, and the 
veneration of saints' tombs, in favor of purifying Islamic belief and practices 
from such religious deviations. 

Having been influenced by Taymiyyah's exclusivist and intolerant 
interpretations of Islamic sharia, Abd al-Wahhab also reinforced the Islamic 
sharia with a strictly literal approach, and began to purify Islamic doctrines 
and practices from corrupting customary Islam. Accordingly, forms of customary 
Islam were considered unauthentic Islam as they were characterized by a 
combination of Islamic values and doctrines adapted to shared characteristics 
of identity, local tradition and ancestral heritage. 

Similar to Ibn Taymiyyah, Abd al-Wahhab, as Marshall G.S. Hodgson (1974:161) 
argues, was not the first to denounce most other Muslims as infidels to be 
killed, but the Wahhabi state built up by the Sa'ud family proved effectively 
powerful ... to destroy all the sacred tombs, including the tomb of Muhammad, 
to massacre the Muslims of the holy cities, and to impose their own standards 
on future pilgrims. As such, Saudi Arabia's state version of Wahhabi Islam 
is founded on a strictly literal interpretation of the Koran and the Hadith, 
and an intolerant view of both Muslims and non-Muslims alike. 

Given such brief historical

[ppiindia] Menhan Diprotes DPR

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detailid=4712

Menhan Diprotes DPR

Sabtu, 26 Mar 2005,
 

Karena Beberkan Nilai Anggaran Operasi Ambalat Rp 5 Triliun
JAKARTA - Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kini menghadapi hari-hari sulit. 
Selain menghadapi persoalan internal di Dephan karena keberaniannya menolak 
usul pejabat eselon I yang ingin meremajakan mobil dinasnya, kini Juwono menuai 
protes dari para anggota Komisi I DPR. 

Protes para politisi Senayan itu tidak terkait mobil dinas itu, tapi menyangkut 
masalah pengungkapkan dana tambahan untuk operasi Ambalat. Sejumlah anggota 
Komisi I DPR menyatakan keberatannya kepada Juwono yang begitu saja membeberkan 
akan ada tambahan dana Rp 5 triliun untuk operasi TNI. Apalagi, sebagian besar 
dana itu dialokasikan untuk membiayai operasi militer di perairan Blok Ambalat. 

Anggota Komisi I Djoko Susilo (FPAN, dapil Jatim I) menilai, Juwono telah 
melanggar kesepakatan antara Panitia Anggaran DPR, Pokja Pertahanan Komisi I 
DPR, dan Dephan. Ketiga pihak telah sepakat merahasiakan besaran usul anggaran 
tambahan untuk pengembangan kekuatan TNI itu, termasuk berbagai alternatifnya. 

Sikap protes juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie (FKB, dapil 
Jatim IX). Jumlah anggaran belum boleh disampaikan kepada masyarakat karena 
ketiga pihak belum sepakat. Lagi pula, Malaysia jangan sampai tahu dulu ada 
kenaikan anggaran. Kalau ada yang membocorkan, ya artinya melanggar 
kesepakatan, tegasnya kepada koran ini kemarin. 

Seperti diberitakan harian ini sebelumnya, Rabu lalu, setelah mengikuti Rakor 
Polhukam, Juwono kepada wartawan mengungkapkan bahwa pemerintah mengusulkan 
penambahan anggaran 2005 untuk TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Lauat Rp 5 
triliun. Sebagian anggaran itu digunakan untuk membiayai kegiatan TNI di 
Ambalat. 

Effendy tidak menjelaskan lebih jauh konsekuensi yang akan diterima Juwono 
karena membeberkan rahasia dana pertahanan itu kepada pers. 

Yang pasti, menurut dia, Dephan memang mengajukan secara khusus anggaran untuk 
operasi TNI di Ambalat. Tapi, usul itu belum bisa dibahas DPR karena operasi 
militer di Ambalat baru inisiatif pemerintah. DPR belum memberikan kesepakatan 
secara resmi dan tertulis atas penggunaan dan gelar kekuatan TNI di Ambalat. 
Meskipun sejumlah anggota komisi I sudah mendukung inisiatif itu. 

Seharusnya, pimpinan DPR dan pimpinan fraksi memanggil presiden dalam forum 
rapat konsultasi untuk menjelaskan operasi militer Ambalat. Kalau disepakati, 
anggaran yang diajukan bisa disetujui. TNI bisa cepat-cepat membeli rudal, 
roket, atau bom, jelasnya. 

Effendy mengungkapkan, nilai Rp 5 triliun yang disebutkan Juwono hanya satu di 
antara sekian banyak alternatif anggaran pengembangan TNI dan operasi militer 
di Ambalat. Dia menolak merinci besaran alternatif itu dengan alasan masih 
rahasia. Tapi, sumber koran ini di DPR mengungkapkan bahwa alternatif besaran 
anggaran tambahan untuk TNI, antara lain, paket Rp 1 triliun, paket Rp 5 
triliun, dan paket Rp 23 triliun. Kalau disetujui, anggaran tersebut akan masuk 
paket APBN Perubahan atau dana darurat. 

Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Pertama Sagoem Tamboen pernah 
mengungkapkan bahwa pada 2005, pihaknya menyampaikan usul penambahan alutsista 
(alat utama sistem persenjataan). Yang mendesak, misalnya, enam unit pesawat 
tempur Sukhoi, suku cadang pesawat angkut Hercules C-130, maritime aircraft 
sebagai pesawat intai, penambahan pesawat latih Wing B, dan beberapa unit 
radar. 

Kepala Dinas Penerangan TNI-AL Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan, 
beberapa alutsista yang dibutuhkan, antara lain, kapal selam, rudal, dan 
beberapa kapal cepat.


Reaksi Kalla 

Sementara itu, sumber kuat koran ini di Dephan mengungkapkan, usul anggaran 
operasi TNI di Ambalat masuk ke Komisi I DPR tersebut tanpa sepengetahuan 
Menhan Juwono Sudarsono. Tapi, itu disampaikan salah seorang pejabat eselon I 
yang sebentar lagi diganti. 

Masuknya usul penambahan anggaran itu membuat Wapres Jusuf Kalla berang. Kalla 
memerintah Juwono supaya mengingatkan bawahannya itu. 

Mengapa Wapres berang? Sebab, permintaan kenaikan anggaran ke Komisi I DPR 
menyalahi prosedur. Seharusnya itu diajukan ke Depkeu terlebih dahulu. Wapres 
bertanya-tanya, apa ada broker anggaran? terang sumber yang meminta nama dan 
jabatannya tidak dikorankan. 

Sumber koran ini mewanti-wanti supaya nama pejabat eselon I yang disebutkan 
tidak diungkap dahulu di koran. Sebab, saat ini hubungan Menhan dengan sejumlah 
Dirjen sedang renggang. Apalagi sejak pembatalan rencana pembelian mobil dinas 
baru terkuak ke publik. Juwono sendiri dikabarkan bakal mendiamkan saja surat 
desakan klarifikasi dari Sekjen Dephan Suprihadi yang diteken sejumlah pejabat 
eselon I pada Kamis lalu. 

Sejak Juwono kembali memimpin Dephan, kata sumber itu, jajaran pejabat eselon I 
merasa gerah. Mereka tidak lagi bebas bermain dan melakukan pengadaan 
barang/jasa yang kental dengan indikasi mark up. 

Selama 

[ppiindia] Sophan: Mega Harus Ditantang

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detailid=4711

Sabtu, 26 Mar 2005,

Sophan: Mega Harus Ditantang 

JAKARTA - Kongres II PDIP (28 Maret-2 April) bakal ramai. Penantang Megawati 
Soekarnoputri untuk merebut kursi ketua umum partai berlambang banteng moncong 
putih itu semakin merapatkan barisan. Sophan Sophiaan, salah satu penantang 
kuat Mega, menegaskan tak akan surut dari gelanggang pencalonan pucuk pimpinan 
partai. 

Hal itu diucapkan putra Manai Sophiaan tersebut kepada wartawan di kediaman 
cendekiawan Nurcholish Madjid, di kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Kemarin 
siang, Sophan memang membesuk Cak Nur -nama akrab Nurcholish Madjid. Dia datang 
semobil dengan Arifin Panigoro yang juga deklarator gerakan pembaruan PDIP.

Saya jalan terus. Tapi, saya tidak mau berpolitik seperti sekarang dengan 
menggunakan janji, menggunakan uang, dan membujuk, katanya. 

Saya punya cita-cita memperbaiki PDIP karena kemauan. Memperbaiki PDIP sebagai 
kesadaran, lanjut suami aktris Widyawati itu. 

Dia menegaskan, dirinya maju menantang Megawati dan Guruh Soekarno Putra karena 
diminta teman-temannya sesama kader PDIP. Saya melihat PDIP ini stagnan. Tak 
ada orang yang berani melangkahi Bu Mega. Kalau pegang asas demokratisasi, 
setiap anggota itu kan punya hak untuk maju, sambungnya. 

Karena itu, ketika ditanya apakah dirinya berani menantang Mega, dia menjawab 
berani. Kalau ditanya motivasinya, dengan diplomatis dia menjawab, Motivasi 
saya, yakni untuk memotivasi teman-teman untuk berani maju.

Pendukung Anda siapa saja? Ditanya demikian, Sophan memilih menjawab panjang 
lebar. Menurut dia, dalam PDIP itu, ada kepentingan formal dan informal. Nah, 
dalam kaitan informal, lanjut Sophan, banyak orang yang ingin melakukan 
pembaruan, banyak orang yang ingin supaya PDIP tidak dipimpin oleh orang-orang 
yang seperti sekarang. Bagian inilah yang mendukungnya.

Saat ditanya soal posisi Mega yang masih kuat dan kelihatannya bakal menang 
lagi, Sophan menerangkan bahwa soal itu merupakan tanggung jawab semua kader 
PDIP. Apakah ingin PDIP didukung publik atau tidak. Sebab, di mata Sophan, 
jangan harap ada perubahan kalau Mega kembali menjadi ketua umum. 

Alasannya, belum apa-apa Mega tetap menghendaki hak prerogratif, Mega tetap 
menghendaki formatur tunggal. Ini kan pilihan jauh dari demokrasi. Ini semua 
tanggung jawab semua kader PDIP.

Jika di kongres nanti status quo (Mega) menang, gerakan pembaruan PDIP 
bagaimana? Apa mau bikin PDIP-P atau apa? Seorang kader partai itu masuk 
partai karena kesadaran. Kalau partai tersebut tidak bisa lagi menampung dan 
menyalurkan aspirasi saya, saya akan keluar dari partai itu, jawabnya. Dan 
terus terang, sampai saat ini, aspirasi saya dengan PDIP sudah berbeda. Kita 
lihat nanti setelah kongres, tambahnya. 

Sementara itu, Arifin menyatakan pendapatnya secara singkat, Saya akan dukung 
Sophan. Selesai kan. (naz)




[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Sepanjang 400 Kilometer Jalan Lintas Tengah Sumatera Rusak

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/26/utama/1643128.htm

Sepanjang 400 Kilometer Jalan Lintas Tengah Sumatera Rusak 

Baturaja, Kompas - Kerusakan parah jalan lintas Sumatera tidak hanya terjadi di 
lintas timur. Jalan lintas tengah juga rusak berat di banyak lokasi, memanjang 
hingga sekitar 400 kilometer mulai dari Kabupaten Lampung Utara hingga 
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Menurut pengamatan Kamis pagi hingga Jumat (25/3) mulai dari Bandar Lampung 
hingga ke Lahat, kerusakan di sepanjang jalan lintas tengah (jalinteng) 
Sumatera umumnya berupa lubang-lubang yang dalam. Kedalaman lubang bervariasi, 
dari 0,1 meter sampai lebih dari 0,5 meter.

Di banyak lokasi lubang kecil dan dalam terdapat di hampir semua lebar jalan. 
Akibatnya, mobil dan sepeda motor yang melintas harus berjalan pelan agar dapat 
menghindari lubang atau melintasinya dengan perlahan-lahan sehingga kendaraan 
tidak terguncang, terbalik, atau rusak.

Kerusakan jalan yang ditemui di banyak lokasi tampak parah. Lubang menganga 
besar dan dalam selebar badan jalan. Kondisi seperti itu menyebabkan pengemudi 
kendaraan membawa kendaraannya dengan hati-hati supaya tidak mengalami 
kecelakaan. Kondisi ini mengakibatkan semua kendaraan berjalan merayap.

Gara-gara rusak parahnya jalinteng sepanjang ratusan kilometer sebagian besar 
sopir truk, bus, dan mobil pribadi lebih memilih jalan lintas timur (jalintim) 
Sumatera. Sepanjang Kamis siang lalu kendaraan roda empat yang melintas di 
jalinteng tampak jauh lebih sedikit daripada yang melintas di jalintim sehari 
sebelumnya.

Kondisi jalintim sendiri, meskipun rusak parah di kawasan perbatasan Sumatera 
Selatan (Sumsel) dan Lampung, tetap dipilih pengendara karena di beberapa 
lokasi lainnya jalan sudah mulus. Kerusakan di jalintim hanya terdapat di 
kawasan Simpang Pematang, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, sejauh 20 kilometer 
serta di kawasan Lempuing dan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel.

Kerusakan jalintim di perbatasan Sumsel dan Lampung juga parah. Agar bisa 
melewati jalan rusak, semua kendaraan harus berjalan bergantian dengan terlebih 
dulu antre. Pada Rabu lalu antrean di jalintim mencapai sekitar 10 kilometer 
(Kompas, 24/3).

Semua rusak

Rusak parahnya jalintim dan jalinteng menyebabkan kendaraan yang hendak menuju 
ke berbagai daerah di Sumatera kini tidak punya pilihan melewati jalan dengan 
kondisi baik. Kondisi seperti itu dikeluhkan pengemudi kendaraan, terutama para 
sopir truk dan bus yang kerap melewati dua jalan negara tersebut.

Pemerintah payah, masak sekarang ini semua jalan lintas Sumatera rusak parah. 
Kami, sopir, serba salah. Mau lewat jalintim harus antre sehari atau lebih, 
sedangkan untuk lewat jalinteng kerusakan terjadi di sepanjang jalan. Bahkan, 
di beberapa lokasi jalan benar-benar telah hancur, ujar Suhardi, sopir truk 
dari Padang, Sumatera Barat, dengan tujuan Jakarta, ketika ditemui di tepi 
jalinteng di kawasan hutan antara Baturaja dan Muara Enim Kamis petang.

Saat itu truk Suhardi dan mobil yang dikendarai Kompas harus menepi dan 
berhenti karena menunggu beberapa truk besar dari arah berlawanan melintas. 
Akibat jalan di tikungan dan menanjak itu rusak parah, mobil yang hendak lewat 
dari dua arah harus berjalan secara bergantian.

Kondisi ruas jalinteng antara Baturaja dan Muara Enim betul-betul parah. Jalan 
berlubang besar dan dalam tersebar di ruas jalan sepanjang lebih kurang 100 
kilometer itu.

Ruas jalan yang sebagian melewati kawasan hutan tersebut selama ini juga 
dikenal sebagai jalan yang rawan aksi perampokan. Itulah sebabnya pada Kamis 
petang jalan tampak lengang dari kendaraan yang melintas.

Kondisi jalan

Kerusakan jalinteng dari arah Bandar Lampung mulai terjadi sekitar 18 kilometer 
sebelum Kotabumi, ibu kota Kabupaten Lampung Utara. Lokasi itu terletak 88 
kilometer (KM 88) dari Bandar Lampung. Kerusakan terus memanjang hingga Bukit 
Kemuning (KM 151). Lima kilometer setelah kota kecamatan itu jalan tergolong 
mulus dan ada pula perbaikan jalan yang tengah dilakukan. Namun, selepas itu 
jalan rusak tampak di banyak lokasi hingga perbatasan Sumsel (KM 231).

Selepas perbatasan tetap banyak jalan rusak yang ditemui di sepanjang jalan 
hingga Baturaja, ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ulu (KM 270). Di lokasi ini 
kerusakan parah terjadi sepanjang tiga kilometer dan, menurut pengamatan, 
kondisinya sama seperti dua tahun lalu. Kerusakan dengan kondisi lebih parah 
berlanjut di ruas antara Baturaja hingga Muara Enim (KM 383).

Pemakai jalan agak merasa lega selepas wilayah Muara Enim karena jalan-yang 
belum lama ini diperbaiki-mulus. Akan tetapi, jalan mulus itu hanya sepanjang 
17 kilometer. Setelah itu, hingga memasuki kota Lahat (KM 426), jalan kembali 
rusak parah karena penuh lubang besar dan dalam.

Jalan rusak parah kembali menghadang pemakai jalan ketika ia melalui ruas 
jalinteng antara Lahat dan Tebing Tinggi sepanjang 70 kilometer. Kerusakan di 
ruas ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun 

[ppiindia] Baku Hantam akibat Fulus sampai Beda Pendapat

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

MEDIA INDONESIA

  Minggu, 27 Maret 2005

  FOKUS MINGGU

  Baku Hantam akibat Fulus sampai Beda Pendapat
 
  JUTAAN pasang mata pasti terkesima di depan layar kaca, ketika pada Rabu 
(16/3) lalu, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nyaris terlibat 
baku hantam. Mungkin bila tidak ada yang melerai, bukan mustahil Ketua DPR 
Agung Laksono akan jadi bulan-bulanan koleganya yang marah.

  Aksi yang menjurus pada perkelahian itu, bukan tanpa sebab. 
Ketidaktegasan DPR dalam bersikap menolak atau menerima kenaikan harga bahan 
bakar minyak (BBM), dianggap sebagai pemicunya. Terlebih sikap Agung yang 
dianggap telah terkooptasi dengan kebijakan pemerintah.

  Toh soal adu argumentasi hingga baku hantam antaranggota Dewan, 
sebetulnya bukan sesuatu yang aneh pasca-Orde Baru. Semua itu selalu 
mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sehingga kalau kemudian bermuara pada baku 
hantam, barangkali, ya sah-sah saja.

  Soal perdebatan yang mengarah pada caci maki hingga pemukulan, bukan 
monopoli sejumlah anggota DPR pusat saja. Di beberapa daerah, adu argumentasi 
malah berlanjut ke jenjang perkelahian.

  Di Jambi pada Mei 2001 misalnya. Anggota DPRD Muarajambi terlibat saling 
lempar papan nama sebelum berbaku hantam. Pemicunya adalah aksi Wakil Ketua 
DPRD Muarajambi Husin Effendi yang dinilai tidak menghormati paripurna.

  Husin datang terlambat di ruang sidang pembahasan pemilihan ulang Bupati 
Muarajambi. Kalau cuma terlambat lantas duduk sih mungkin tidak akan ada 
kericuhan. Tapi, Husin tetap berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan 
anggota Dewan. Jelas saja situasi itu memancing kemarahan sejumlah koleganya.

  Atau buka ingatan kita sejenak pada Juni 2002, saat terjadi baku pukul 
antarsesama anggota DPRD Kota Depok. Pemicunya, tudingan anggota Komisi D Toni 
Hutapea terhadap rekannya, anggota Komisi C Dadang Ibrahim, yang dianggap 
menerima uang muka Rp15 juta dari pembeli besi baja eks bongkaran Pasar Agung 
di Depok Timur, dari total nilai Rp175 juta.

  Persoalan fulus ternyata menjadi salah satu penyebab kenapa beberapa 
wakil rakyat ini jadi ringan tangan. Bukan cuma di Depok, di Surabaya malah 
sangat transparan. Pada Desember 2002, dua anggota F-PDI Perjuangan DPRD Kota 
Surabaya Isman dan Baktiono terlibat perkelahian di ruang Komisi A DPRD 
Surabaya.

  Penyebabnya, Isman yang kini berada di Partai Nasionalis Banteng 
Kemerdekaan (PNBK), menuntut hak-haknya selama menjadi anggota PDIP seperti 
uang sidang, uang bantuan Pemkot Surabaya, tabungan, serta tunjangan. Namun, 
upaya Isman mendapatkan hak-haknya itu agaknya dipersulit Baktiono.

  Sejumlah kelakuan minus anggota Dewan itu, dalam pandangan sosiolog dan 
Direktur Center for East Indonesia Affairs (CEIA) Ignas Kleden, dipicu oleh 
banyaknya monolog yang simpang siur sehingga masing-masing anggota Dewan tidak 
bisa menerima pendapat lain.

  ''Sebab dalam rapat paripurna, tidak terjadi pertukaran argumentasi 
antaranggota Dewan. Banyak monolog yang simpang siur. Akibatnya tidak ada 
dialog dan interaksi dua arah yang seimbang. Karena itu masing-masing anggota 
Dewan tidak bisa menerima pendapat lain,'' jelas Ignas.

  Kalau Kleden lebih menyoroti soal kemacetan interaksi komunikasi di 
antara anggota Dewan, beda dengan Butet Kertaredjasa. Menurut Budayawan dari 
Yogyakarta ini, sikap nyleneh anggota Dewan menunjukkan adanya persoalan 
kejiwaan.

  ''Perdebatan pendapat yang sengit antaranggota Dewan itu wajar. Tetapi 
menjadi tidak wajar ketika hal elementer dalam politik tidak terekspresikan 
yaitu sopan santun, karena manusia harus punya etika sosial. Berarti secara 
kejiwaan ada yang salah pada mereka,'' kata Butet, Rabu (23/3).

  Sikap berbudaya itu setidaknya merupakan pencerminan watak dari seorang 
anggota Dewan. Kalau memang masing-masing memiliki iktikad dan moral yang baik, 
rasanya tidak mungkin terjadi baku hantam antarsesama anggota.

  Cuma, menurut pakar politik dari UGM Mochtar Mas'oed, kericuhan di DPR 
itu tidak ada kaitannya dengan demokrasi, dan bukan sebuah budaya politik. 
''Tingkatannya jauh di bawah demokrasi, tak ada kaitannya dengan demokrasi, dan 
itu juga bukan budaya politik,'' tegas Mochtar. Namun, menurut anggota DPR dari 
Fraksi Partai Demokrat Adjie Massaid, kejadian tersebut merupakan kemajuan 
proses demokratisasi politik di Indonesia.

  Masyarakat pun bukan mustahil akan melupakan sejenak kepahitan hidup 
dengan melihat reality show tersebut. ''Seru melihat anggota Dewan saling 
dorong, tuding dan maki, bahkan ada yang melompat dari meja dan jatuh 
terjerembab. Lumayan tontonan reality show begini, menurut saya sih, 
menggelikan sekali,'' kata Doni, seorang pegawai negeri sipil di Jakarta. Kalau 
pendapat anggota masyarakat sudah begini, lantas bagaimana sebaiknya? 
(Lng/SA/IA/M-6)

 


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor 

[ppiindia] Partai Pisang, Rambutan, dan Kelapa

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://padangekspres.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=7467PHPSESSID=4abcad4b780160a469f7be71422fb753


Partai Pisang, Rambutan, dan Kelapa
Oleh Muhammad Qodari
Oleh Redaksi
Sabtu, 26-Maret-2005, 12:15:3257 klik


Ada berapa jenis partai politik di Indonesia? Kalau pertanyaan itu diajukan 
pada seorang peneliti dan pengamat politik yang hobi makan buah-buahan, 
jawabannya mungkin hanya tiga: partai pisang, rambutan, dan kelapa.

Kesannya main-main, tapi boleh jadi pohon buah-buahan itu dapat menjadi analogi 
tepat untuk mengggambarkan kondisi partai politik kita. Pohon pisang, misalnya. 
Pohon tersebut memiliki kekhasan, yakni hanya berbuah sekali seumur hidupnya. 
Pohon pisang cuma berbuah sekali, setelah itu mati. Siklus pohon pisang pun 
pendek. Tidak ada pohon pisang yang hidup tahunan. 

Pohon rambutan tidak seperti pohon pisang, mampu berbuah berkali-kali. Umurnya 
juga panjang, bisa mencapai belasan bahkan puluhan tahun. Tapi, pohon rambutan 
cuma mampu berbuah setahun sekali. Kita tidak bisa menikmati rambutan segar 
setiap hari karena rambutan adalah buah musiman. Ia hanya berbuah pada waktu 
tertentu. 

Bagaimana pohon kelapa? Tak seperti rambutan, mangga, atau buah musiman lain, 
kelapa berbuah tak mengenal musim. Ia terus menghasilkan buah sepanjang tahun. 
Tidak seperti pisang atau rambutan yang menunggu tua baru enak dimakan, kelapa 
muda sama bergunanya dengan kelapa tua. 

Uniknya, hampir semua bagian pohon kelapa berguna untuk manusia. Air dan daging 
kelapa muda untuk obat dahaga. Air kelapa tua diolah menjadi nata de coco. 
Dagingnya diparut dan diperas menjadi santan. Sabutnya dapat menjadi bahan 
bakar pengganti minyak tanah yang semakin mahal. Pelepahnya dibuat lidi atau 
anyaman. Batang pohonnya banyak dijadikan bahan bangunan yang kokoh. 

Partai pisang, seperti halnya pohon pisang, cuma sekali berarti dan sudah itu 
mati. Di antara partai-partai yang ada sekarang ini, Partai Demokrat potensial 
menjadi partai jenis tersebut. Pada pemilu 2004 lalu, partai itu membuat 
kejutan dengan langsung menduduki peringkat kelima dalam klasemen pemilu 
legislatif nasional. 

Partai Demokrat adalah pohon pisang yang berbuah subur. Bukan hanya meraih 56 
kursi di DPR, partai berlogo bintang tiga itu bahkan berhasil mengantarkan 
kadernya, Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi presiden keenam Indonesia. Tapi, 
ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan bahwa partai tersebut bakal jadi partai 
gurem pada Pemilu 2009. 

Mengapa? Penyebab utamanya adalah konflik yang dalam dan berlarut antara kubu 
Ketua Umum S. Budhisantoso dan Wakil Ketua Umum Vence Rumangkang. Keduanya sama 
kuat. Tak ada yang mau mengalah. Karena konflik itu, roda organisasi macet 
total. Tidak ada program kerja dan kaderisasi yang jalan. Yang ada cuma 
gontok-gontokan. Saling pecat dan berebut jabatan. Jangan-jangan partai 
tersebut bubar sebelum Pemilu 2009. 

Seperti pohon rambutan, partai rambutan adalah partai musiman. Eksistensi 
partai hanya terasa pada musim-musim tertentu. Apalagi, kalau bukan pada musim 
pemilu. Seperti rambutan yang merah menggoda warnanya, partai rambutan tampil 
menor habis-habisan di masa kampanye. Di musim pemilu, partai rambutan tampil 
sebagai pembela rakyat, penyaji janji-janji pembangunan yang muluk. Intinya 
menjadi sangat perhatian kepada rakyat. 

Partai rambutan adalah tipologi umum partai politik Indonesia. Banyak partai 
besar yang berperilaku menyerupai partai rambutan. Partai-partai, seperti 
Golkar, PDIP, PKB, PPP, dan PAN, mungkin bisa dimasukkan kategori itu. 

PDIP, misalnya, pada Pemilu 1999 memproklamasikan diri sebagai partai wong 
cilik yang membela rakyat Indonesia. Berkat wong cilik, PDIP menjadi partai 
terbesar Pemilu 1999. PDIP kemudian berhasil mengantarkan ketua umumnya menjadi 
wakil presiden dan kemudian presiden Indonesia. 

Namun, apa yang terjadi setelah itu? PDIP gagal memenuhi janji-janjinya yang 
terdahulu. Nasib tenaga kerja Indonesia di luar negeri, misalnya, banyak 
terbengkalai. Banyak TKI di Malaysia yang melarikan diri karena dikejar-kejar 
aparat keamanan Malaysia hingga telantar di berbagai pelabuhan. Tapi, Presiden 
Megawati tidak mengunjungi TKI pengungsi. Padahal, Menteri Tenaga Kerja Jacob 
Nuwawea berasal dari PDIP. 

PDIP baru berusaha keras menyapa rakyat lagi ketika Pemilu 2004 datang. Namun, 
rakyat telanjur kecewa sehingga PDIP terjungkal tiga kali dalam setahun, pemilu 
legislatif, pemilu presiden I, dan pemilu presiden II. 

Adapun partai kelapa, sifat-sifatnya seperti pohon kelapa. Berbuah setiap saat 
dan setiap bagiannya berguna bagi masyarakat. Pohon kelapa banyak tumbuh di 
negeri ini, tapi entah mengapa tanah Indonesia tidak subur untuk partai kelapa. 
Saat ini, mungkin hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang layak disebut 
partai kelapa. Sejak bernama PK, PKS mampu tampil sebagai partai yang 
kehadirannya tidak hanya menonjol pada masa pemilu. Jika terjadi musibah atau 
bencana alam, kader-kader PKS turun tangan membantu. 


[ppiindia] Pendidikan Antikorupsi di Sekolah

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://padangekspres.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=7411

Pendidikan Antikorupsi di Sekolah
Oleh Sabiqul Khair Syarif S.
Oleh Redaksi
Selasa, 22-Maret-2005, 03:55:46114 klik


Pelbagai macam upaya dilakukan pemerintah untuk memberantas praktik-praktik 
korupsi yang sangat parah terjadi di negeri ini. Aksen plan yang dilakukan 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, untuk memberantas korupsi sampai 
perlu dibuat Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2004 tentang Percepatan 
Pemberantasan Korupsi.

Hanya, proses itu cenderung mendapat keluhan atau tanggapan negatif dari 
beberapa kalangan. Mereka beranggapan bahwa mengakarnya mafia peradilan yang 
bercokol di tingkat kejaksaan dan kepolisian semakin membuat proses penegakan 
hukum menjadi pesimistis. 

Tak Membalik Telapak 

Siapa pun harus mengakui bahwa proses percepatan pemberantasan korupsi bukan 
seperti membalik telapak tangan. Lebih dari itu, harus ada kerja-kerja keras 
yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Juga 
harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu 
melakukan korupsi. 

Kini muncul wacana dan kesadaran moral bahwa untuk memberantas korupsi yang 
sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat negeri ini, selain melalui 
mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyemaian nalar dan 
nilia-nilai baru bebas korupsi melalui pendidikan formal. 

Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam menyemai 
pendidikan dan sikap antikorupsi. Melalui pembelajaran sikap mental dan 
nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, generasi baru Indonesia diharapkan 
memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi. 

Ketua MPR Hidayat Nurwahid berpendapat bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan 
diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan 
antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi 
muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. 

Gagasan yang kali pertama dilontarkan Koalisi Antarumat Beragama (KAUB) itu 
perlu diapresiasi secara elegan sehingga akan terbangun sebuah sinergi atau 
garis demarkasi yang secara riil dapat meminimalisasi praktik korupsi di negeri 
Indonesia. 

Hanya, memberikan pendidikan antikorupsi bukan hal mudah. Persoalannya, korupsi 
sering dianggap bukan hal yang paling krusial untuk diberantas. 

Bahkan, lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan 
yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma 
berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk, di sekolah-sekolah di 
negeri ini. 

Misalnya, guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung 
pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi 
waktu. Korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal itu juga dapat 
memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan. 

Pengenalan Bentuk Korupsi 

Terlepas dari apakah pendidikan juga mengalami distorsi makna dan fungsi, yang 
jelas pendidikan tentang filosofi bebas korupsi dan antisegala bentuk praktik 
korupsi -terutama di sekolah- tetap perlu dikenalkan dan ditanamkan. 

Penciptaan virus baru antikorupsi perlu diakumulasikan dengan penyebaran dari 
pelbagai macam lini, baik kultural, ekonomi, maupun sosiopolitik. 

Dengan demikian, virus nilai-nilai antikorupsi diharapkan dapat menjadi benteng 
kukuh dalam melakukan perubahan mendasar untuk memerangi segala macam korupsi 
di negeri ini. Pemetaan penyebaran virus antikorupsi dalam pendidikan harus 
dilakukan secara masif. 

Pakar pendidikan J. Drost, S.J. selalu menampik tujuan utama sekolah adalah 
mendidik. Artinya, yang ingin diperjelas di sini bahwa antara pengajaran dan 
pendidikan sering tidaklah sama. 

Akan tetapi, banyak orang yang mencampur aduk dan menganggap sama. Itulah 
kerancuannya. Tugas utama dan terutama sekolah adalah pengajaran, bukan 
pendidikan. Tugas pengajaran yang dilakukan sekolah dalam proses 
belajar-mengajar adalah membantu anak mengembangkan kemampuan intelektual yang 
dimilikinya. 

Sementara itu, pendidikan dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai ke dalam 
budi anak-anak. Sebenarnya, hal tersebut merupakan tugas utama orang tua, 
sekolah hanya membantu. 

Dari ungkapan itu, kita dapat mengambil beberapa kerangka berpikir yang 
mendasar dan lebih mendalam bahwa penyebaran virus antikorupsi jangan hanya 
berhenti pada ranah sekolah atau perguruan tinggi. 

Lebih jauh dari itu, orang tua dan keluarga juga harus ikut berperan serta 
dalam menyemaikan virus antikorupsi. Dengan kata lain, seharusnya pendidikan 
antikorupsi sudah dimulai dari lingkungan keluarga. Keluargalah yang harus 
turut aktif menanamkan nilai-nilai moral bebas korupsi. 

Jika hal itu terbangun, akan terjadi sinergi yang saling mengisi. Proses 
tersebut akan mengakselerasikan pemberantasan segala macam bentuk praktik 
korupsi di lingkungan keluarga 

[ppiindia] Kompensasi BBM dan Social Welfare

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=103736

Kompensasi BBM dan Social Welfare
Sri Adiningsih
Ekonom Universitas Gajah Mada Yogyakarta 


Senin, (14-03-'05)
Urgensi dan keadilan subsidi BBM yang menjadi beban berat APBN mulai 
dimasalahkan sejak era Presiden Gus Dur. Tim ekonomi pemerintah saat itu 
mencoba mengerem kemarahan publik terkait kenaikan harga BBM melalui pengucuran 
dana kompensasi sosial. Pengalihan dari subsidi komoditas ke subsidi langsung 
kepada masyarakat paling bawah ini diharapkan mampu meminimalisasi dampak 
kenaikan harga BBM. Sejak itulah istilah dana kompensasi BBM mulai dikenal. 

Pengalihan subsidi komoditas menjadi subsidi langsung ke masyarakat dimaksudkan 
untuk menjaga agar sumber dana terbatas benar-benar diberikan kepada masyarakat 
yang memerlukan. Namun mengingat pelaksanaan program kompensasi BBM selalu 
bersifat ad hoc, potensi penyimpangan pun cukup besar dan juga sulit diawasi. 

Kontroversi sekitar dana kompensasi tidak harus terjadi jika kita memiliki peta 
yang baik mengenai di mana, siapa, dan apa kebutuhan utama masyarakat miskin. 
Sayangnya, informasi yang diperlukan tidak dimiliki dengan baik sehingga 
berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif 
maupun lembaga lain yang berkepentingan dalam menangani masalah kemiskinan, 
khususnya terkait dengan subsidi. 

Perlu dibuat kerangka kebijakan integral terkait dengan kebijakan energi dan 
juga kebijakan menyangkut harga komoditas tersebut. Apakah kita akan mengikuti 
harga pasar internasional, atau perlu kebijakan yang mengondisikan harga 
dipatok pada kisaran tertentu. Dengan itu, kalau terjadi lonjakan harga yang 
tajam - namun diperkirakan sementara - beralasan diberikan subsidi untuk 
meminimalisasi guncangan dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat. 

Perubahan kebijakan dari subsidi komoditas ke subsidi langsung itu sendiri 
memang harus dilakukan. Meski demikian, perubahan yang dilakukan perlu bertahap 
agar tidak menimbulkan keguncangan dalam ekonomi maupun dalam kehidupan 
masyarakat. Demikian pula kebijakan kenaikan harga BBM untuk mengurangi subsidi 
langsung perlu dilakukan bertahap. Di lain pihak, pemerintah perlu menyiapkan 
semua pendukungnya agar keguncangan akibat kebijakan tersebut jadi minimal. 

Subsidi komoditas kepada BBM sebenarnya masih digunakan oleh banyak negara, 
seperti Malaysia, Myanmar, juga Brunei Darussalam. Sedangkan negara seperti 
Vietnam, Pilipina, dan Thailand memberikan subsidi pada beberapa jenis BBM 
tertentu. Tapi kenaikan harga BBM yang tajam akhir-akhir ini telah membuat 
negara-negara tersebut menjaga stabilitas harga BBM dengan memberikan subsidi 
agar tidak menimbulkan gejolak harga, di samping meredam dampak negatif dalam 
perekonomian. 

Indonesia tidak sendirian. Namun subsidi BBM yang tahun lalu mencapai Rp 60 
triliun lebih tentu tidak mungkin terus dilanjutkan. Karena itu, pencabutan 
subsidi harus dibarengi dengan berbagai pengaman agar masyarakat yang sudah 
miskin tidak semakin menderita. 

Demikian juga sejalan dengan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) dan sistem 
pendidikan nasional, sudah saatnya pemerintah membangun social welfare ala 
Indonesia dengan modal dasar dana kompensasi BBM. Ini agar kebijakan ad hoc 
yang mudah disalahgunakan dan sulit dikontrol tidak terjadi lagi. Demikian juga 
program subsidi bagi masyarakat miskin dapat terbangun lebih baik dan dapat 
ditingkatkan dari tahun ke tahun. Semoga. *** 


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Czechs' hero? The people's choice is a joke

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

Bung Bismo,
Any comments to this story?

--


Czechs' hero? The people's choice is a joke 
 
By Ladka M. Bauerova International Herald Tribune 
 Saturday, March 26, 2005


PRAGUE He was the hidden Czech genius behind key European discoveries, 
inventions, and musical and literary masterpieces, forgotten merely because he 
never made it to the patent office on time. 
.
He served as a consultant to Einstein, Chekhov, Eiffel and Johann Strauss. He 
was beloved by his countrymen, and still is, judging by the flood of 
nominations he received when a contest to choose the greatest Czech in history 
kicked off on television in January. 
.
But the belated triumph of Jara Cimrman (pronounced YAH-ra TSI-mer-mahn), Czech 
hero, was not to be. 
.
The network running the contest has thrown out his nomination because of what 
most Czechs would consider to be a petty detail: Jara Cimrman is a fiction. He 
was an ingenious, well, loser, who never existed, except in theater and film. 
.
A beloved comic character, Jara Cimrman was created in the 1960s by a troupe of 
actors and writers based in Prague. He has since come to occupy a special 
position in Czech cultural life, as shown by the initial results of Czech TV's 
Greatest Czech contest, based on a popular BBC program. 
.
Although Czech TV will not disclose the figures, an executive, Tereza 
Typoltova, described support for Cimrman as massive in the contest's 
nomination phase, which took place in January. Ten finalists will be chosen, 
with the winner to be announced on June 11. 
.
Other countries with similar contests using the BBC format have elected war 
heroes or great statesmen: Winston Churchill was chosen in Britain, Nelson 
Mandela in South Africa, Konrad Adenauer in Germany. 
.
That Czechs preferred a fictional character is perhaps fitting in a country 
that elected a playwright, Vaclav Havel, as its president and that has produced 
such masters of the absurd as Franz Kafka and Milan Kundera. 
.
But why would Czechs look up to a man who, real or not, managed to blow every 
opportunity to become famous in his fictional lifetime? Why admire a bungler - 
a brilliant bungler, but a bungler nonetheless - who missed becoming the first 
person to reach the North Pole by a mere 7 meters, or 23 feet? 
.
Of Cimrman's brilliance there can be little doubt. This was the man who 
suggested to Anton Chekhov that two sisters were not enough for a full-fledged 
play. It was he who showed Gustave Eiffel how to stabilize his famous tower. 
.
Cimrman's spiritual fathers, Ladislav Smoljak and Zdenek Sverak, were not 
surprised by their creation's popularity. He is the perfect type for the 
greatest Czech, Smoljak said. He was not appreciated in his lifetime. He 
embodies the desire of a small nation to be greater, more famous and more 
respected. 
.
Sverak added: People chose humor, because humor saved our nation several times 
already. Indeed, humor was often the only recourse left to a people whose 
lands were occupied for centuries - by the Hapsburg dynasty, then by the Nazis 
- and who in recent times lived under a Communist dictatorship. 
.
Perpetual lack of control over destiny creates a special mind-set. The Czechs 
know what it is to have victory within their grasp, only to see it snatched 
away. That is why Jara Cimrman, a misunderstood genius who never received his 
due, strikes such a chord here. 
.
Czechs, wary of grand nationalistic gestures, preferred to turn patriotism into 
a joke. But this did not mean they would not fight for their hero's rights. 
.
After Czech TV announced that it could not consider Cimrman a candidate, his 
fans started an Internet petition drive, collecting more than 38,000 
signatures. Finally the BBC stepped in and allowed the creation of a special 
category for fictional characters for the Czech Republic, one of eight 
countries where the format has been licensed. 
.
In addition, Czech TV promised to prepare a documentary about Cimrman modeled 
on those being produced about the 10 finalists. 
.
This solution leaves many Cimrman supporters dissatisfied. I think all 
historical figures are fictional, said Jiri Rak, a historian and author of the 
book Former Czechs: Czech Historical Myths and Stereotypes. 
.
All those great figures are of their time, Rak said, and the different 
epochs projected their own ideals onto them, violating the real people in the 
process. History as such is a fiction that we keep rewriting every day. 
.
Comparing a medieval monarch with a 19th-century artist or a modern-day 
scientist is simply nonsense, added Rak, a fan of Jara Cimrman. In his view, 
the Czechs identify with a loser because, throughout recent history, they were 
always on the losing side. 
.
The Jara Cimrman Theater emerged from the heady cultural brew of the 1960s. As 
the hard-line Stalinist doctrine began to lose its grip on Czechoslovakia, a 
new generation of writers, actors and comedians emerged. Among them 

[ppiindia] The martyr of El Salvador New Feature

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.iht.com/articles/2005/03/25/opinion/edhiggins.html

The martyr of El Salvador New Feature

 By Richard Higgins The Boston Globe 
 Saturday, March 26, 2005

Archbishop Oscar Romero 

In San Salvador 25 years ago, on a Monday at 6:45 p.m., a lone man in the rear 
of a small chapel with a high-power rifle fired one shot at the 62-year-old 
priest raising his arms over the altar. Archbishop Oscar Romero fell dead to 
the marble floor, his vestments soaked in blood. 
.
The primate of the Salvadoran Catholic Church from 1977 to 1980, Romero was 
killed because he supported the right of poor Salvadorans to equal citizenship 
in their own society, and he tried to end the use of repression and violence to 
thwart it. 
.
The last quarter-century has not been kind to the broader liberation theology 
movement that Romero found inspiring. But his star burns bright. To liberals, 
Christians, and supporters of human rights and peace around the world, he is a 
figure of iconic, even mythological, proportions. 
.
Romero is recalled as someone who pursued and achieved a measure of change not 
through an elitist agenda, social theory, hatred of the rich or fury at 
injustice. Rather he displayed the fundamental truth that valuing and loving 
others builds the foundation of justice. He was that rare person in a powerful 
position who sought to bring down the high and raise the low. 
.
Romero triumphed in failure. His murder was a crippling, even humiliating, loss 
to his supporters in 1980. To be shot dead while saying Mass was an unnerving 
exclamation point. To add to their dismay, the killing escalated El Salvador's 
12-year civil war. 
.
Yet what the mourners did not see was that it was really too late to end his 
work. Romero had already sown the seeds of hope in countless others. When El 
Salvador's warring parties made peace in 1992, so many proponents of the accord 
cited Romero's legacy that even cynics had to wonder about the archbishop's 
remark, early in 1980, that if he was killed, he would rise again in the 
Salvadoran people. 
.
Romero's life was drenched in irony. Although he was personable and 
well-spoken, he was no firebrand at first, politically or theologically. He was 
viewed as a bland company man in the Salvadoran hierarchy and, upon being named 
archbishop, was expected to continue his conservative, helicopter-blessing 
ways. 
.
But as fellow priests, friends and others were killed and as Romero consoled 
mourners and listened to witnesses, the company he kept changed him. It led him 
to do outrageous things. He named names in his weekly sermons broadcast over 
national radio. He asked Jimmy Carter to cut off American military aid. He went 
around military leaders and appealed directly to the soldiers carrying out the 
violence: I beg you, I beseech you, I order you, put down your arms. In the 
name of God, stop the repression. 
.
But he could not end the violence, which not only took his life but also marred 
his funeral. In the throng that choked Metropolitan Cathedral that day, 30 died 
in a bombing and stampede. 
.
All this has been known. Last fall, a federal judge in California confirmed 
what has also been suspected. In a ruling in a lawsuit brought under a 1789 
law, the U.S. court found that a retired Salvadoran military official, Alvaro 
Rafael Saravia, plotted the murder and was liable for civil damages. Saravia, 
who lives in Modesto, was an aide to Roberto D'Aubuisson, the founder of El 
Salvador's ruling right-wing party. 
.
Romero's legacy can afflict those people whom one would expect to be comforted 
by it, such as leaders of the Catholic Church in El Salvador and Rome. This is, 
perhaps, the mark of a prophet. 
.
At a ceremony marking Romero's assassination three years ago, the current 
archbishop of San Salvador said that while the event was horrific and 
sacrilegious, Romero was lucky to die in the best way a priest can die, at 
the altar. 
.
Archbishop Fernando Saenz's remark appears less strange in light of the purge 
of liberal priests and liberal Catholic practices that he has championed since 
he was chosen in 1995 to be one of Romero's successors. Indeed, the Catholic 
Church has enjoyed some success in controlling Romero's legacy and appeal to 
young Catholics. 
.
But history suggests that any effort to curb his influence or end his work will 
be limited. Romero's remark a few weeks before he died that his spirit would 
rise in the Salvadoran people struck many people as audacious at the time. It 
may turn out to be the opposite, however: that Romero, by specifying people in 
his country, actually understated how widespread his spirit would be. 
.
.
.


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM

[ppiindia] Pundit sees end of U.S. as model

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

Spotlight: And now, the European Dream New Feature

 By Eric Sylvers International Herald Tribune 
 Saturday, March 26, 2005


Pundit sees end of U.S. as model 

MILAN He stares you straight in the eyes as he tells you the world can be a 
better place and that the European Union has the best chance of making it 
possible. He says it with such conviction that you know he believes it and he 
gesticulates with just enough emphasis that you find yourself believing it, 
too. 
.
So it goes with Jeremy Rifkin, consultant to companies and governments on both 
sides of the Atlantic, a best-selling author and president of the 
Washington-based Foundation on Economic Trends research institute. Rifkin's 
books are as varied as they are plentiful - there are almost 20. But for more 
than a decade he has railed against globalization and the widening income 
inequality between rich and poor countries and within the United States. 
.
In a frontier economy, unfettered capitalism makes sense, Rifkin said in a 
recent interview in Turin, where he participated in a conference organized by 
the World Political Forum to mark 20 years since the beginning of perestroika, 
the series of liberalization measures undertaken by Mikhail Gorbachev in the 
final phase of the Soviet Union. 
.
But times have changed and Adam Smith's dictum of everybody pursuing their 
self-interest doesn't make sense anymore now that everything and everybody are 
interconnected. 
.
Rifkin embraces that interconnectedness and says Europe should do the same to 
protect its way of life - long vacations, universal health care, strong pension 
plans and more developed workers' rights - and avoid joining the United States 
on the road to increased income inequality and uncontrolled capitalism. He 
wants a more integrated Europe that uses its massive internal market to dictate 
its own terms and avoid being drawn into competition with the United States and 
Asia based on lower wages and fewer workers' benefits. 
.
Rifkin, 60, was born in Colorado one day before the Soviet Army liberated 
Auschwitz, a coincidence that does not leave him indifferent. He takes it as a 
cue to ponder Europe then and now. 
.
When I was born, they were still putting people to death in German 
concentration camps, he said, almost incredulous that the two events could 
have happened contemporaneously. That was Europe when I was born. 
.
His latest efforts, and book, The European Dream, are dedicated to informing 
the world that the American Dream is dying and that there is a European Dream, 
and way of life, that can become a permanent reality. 
.
This is nothing new for Rifkin, who has been pontificating about the European 
Dream since his book came out in September. Only now he is getting the ear of 
European leaders, including Chancellor Gerhard Schröder of Germany, who made 
reference to Rifkin's work in a recent speech. On March 23, Rifkin spoke at a 
hearing of the Social Democrats, Schröder's party, in Berlin and then in April 
he will debate with Foreign Minister Joschka Fischer on the merits of the 
American and European Dreams. 
.
If this all sounds a bit too fuzzy and academic for the real world, it is only 
because Rifkin uses the question of the dreams as a pretext to begin a 
discussion on where the United States and Europe are headed and what can be 
done to get them on what he maintains is the right road. 
.
Many Europeans think they must give up their way of life and move toward the 
U.S. model, or else they won't be able to compete, said Rifkin, who has lived 
the past 34 years in Washington but spends about a third of his time in Europe. 
These people say, 'Yes, the American model is brutal, draconian, but we must 
do it.' I don't see it like that. 
.
The American model is not working and globalization under American stewardship 
has failed totally. 
.
But looking for answers in Rifkin's vision of the European Dream while trying 
to make European policies the default for the rest of the world is a cure some 
economists say will bring more bad than good. 
.
Income inequality in the U.S. is a problem, but following European practices 
is not the answer, said Michael Plummer, an economics professor at Johns 
Hopkins University's School of Advanced International Studies in Bologna. Many 
European policies, including labor laws, actually exacerbate inequality. There 
is no easy fix to income inequality, and it is naïve to think that Europe has 
all the answers. 
.
Rifkin does note that Europe is plagued by its own problems, including bloated 
welfare programs, a rigid labor market and an aging population. But he says 
that can be solved, at least in the short term, with more vigorous integration 
of the European Union. 
.
That will not be easy, he concedes, because the nation-state remains the 
paramount governmental institution. But it is possible if the member countries 
begin to see the region's 25 countries like the 50 states are seen in the 
United States, he says. 

[ppiindia] New changes of multinationals in China

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://english.peopledaily.com.cn/200503/24/eng20050324_178093.html
UPDATED: 16:08, March 24, 2005

New changes of multinationals in China

China, through over 20 years of reform and opening to the outside world has not 
only become a processing workshop for world manufacturing industry endowed with 
quite some competitiveness but also an arresting world market. 

Say, if China's opening to the outside was under the guidance of policies 
before its entry into the World Trade Organization, but now after 3 years of 
its entry into the WTO it has turned out a country opened to the outside that 
can be predicted under the framework of the law. Over the past 3 years, many 
famous multinationals in China have adjusted their development strategies in 
China in view of the new situations here. 

Change 1, expansion of investment 

Multinationals have taken China one after another into their strategies for 
global development and expanded their business operation goals in China. The 
expansion of investment constitutes the necessary measures for the realization 
of their new strategic goals in China. The actions taken by many multinationals 
have turned out a new round of heated investment here in the country. 
As investigation indicates, many famous multinationals have vying with one 
another extended their investment scales in China since its entry into the WTO. 
Among them the Japanese enterprises stand out relatively prominent. During the 
past quite a few Japanese enterprises took China only as its processing 
workshop for export but now they've taken China for a market which can be 
actively developed. 

Change II, Extending their industry chains 

In 1990s, the invested projects by multinationals in China were mostly focused 
on manufacturing industry. Among them a considerable foreign invested 
enterprises took China only as their processing bases instead of their markets. 
During this period the investment by multinationals in China was mainly 
centered on shifting their assembling and processing links into China as the 
labor-cost was low in China, namely shifting the links of the lowest added 
value to China. They put up a great number of modernized factories in China. 
However, after entering into the 21st century more and more multinationals have 
not only taken China as their processing bases but also as their newly-boomed 
markets of the greatest potentials. Under the circumstances multinationals 
began to adjust their ideas for business operations in China. 

In view of their experiences both positive and negative the multinationals came 
to realize if they engaged only in production and manufacturing industry 
without a complete network for goods distribution and circulation in China it's 
quite difficult for them to expand their market here, nor is it easy for them 
to get over others only by introducing in some new products from alien lands 
without engaging themselves in researches for development. To carry on research 
work in China is not only near the bases but also apt to the development of 
products for the Chinese market. This can not only help themselves reduce the 
cost for research work but is also good for raising the competitiveness in the 
Chinese market. 

On entering into the new era, the production competition carried out by 
multinationals in China has been further intensified, being raised from only 
one industrial link to the whole production links. Confronted with the 
competition of other multinationals and of local Chinese enterprises that are 
on the boom the multinationals began to carry out the competition along the 
whole industrial links while increasing their investment. They've begun to 
extend their industrial links, namely on the one hand to proceed to the upper 
reaches for doing researches and development and the core accessories of the 
manufacturing industries and on the other for developing goods distribution and 
circulation along the lower reaches of the industrial links. 

Change III, Integrated adjustment of enterprise groups 


In recent years, many multinationals, while adjusting their strategies 
operations here have been making adjustments in their management structures in 
China. They aim at an integrated adjustment and harmonization of all their 
resources in China, for instance, setting up headquarters for coordinating and 
harmonizing all the operational bodies into an integrated entity for taking 
part in the competition, namely to make the several independent and 
decentralized enterprises of the past into enterprise groups with a unified 
goal, uniformed strategy and unified brands, in a word a harmonized one in 
action. 

By People's Daily Online

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!

[ppiindia] RehatPaskah : waspada sby-kalla ?

2005-03-26 Terurut Topik antonhartomo


--- In [EMAIL PROTECTED]:
Ada kecenderungan menteri2  rezim SBY berambisi jadi Ketua umum 
Parpol. Hatta Rajasa ingin jadi Ketum PAN, Bachtiar ingin jadi Ketum 
PPP, Saifulah Jusuf ingin jadi Ketum PKB , MS Kaban ingin jadi Ketum 
PBB. Rezim pemerintahan SBY berkepentingan untuk memuluskan kekuasaan 
dengan politik tidak sehat.  Ini adalah satu gaya militerisme yang 
ingin merusak tatanan demokrasi. Gaya politik komunisme dimana pejabat 
pemerintah adalah juga pejabat Partai adalah yang lazim terjadi di 
negara komunis. Sebaiknya menteri lebih baik memusatkan diri bekerja 
untuk pemerintah.





--- End forwarded message ---






 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Fwd: JAPANESE's WRONGDOING dst

2005-03-26 Terurut Topik antonhartomo


--- In koran-sastra:

hari-hari ini
media asia timur lagi rame lagi soal perangai Jepang
para JAINICHI (koreans di Jp) juga disorot krn diskriminasi
buku sejarah anak2 SD Jepang diprotes

Jepang memang harus selalu DIINGATKAN
perilakunya di masa lalu di ASIA TENGGARA sangat kejam
perampokan penyiksaan pembunuhan semua tak terkira kata

bangsa Indonesia tak sadar hal ini ?
juga dalam kaitan kehidupan sosial lokal
sehubungan minoritas
sampai pengembangan budaya lokal ?

mana janji sby-kalla
gedobos ?
--- End forwarded message ---






 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





re: [ppiindia] http://www.ppi-india.org is up

2005-03-26 Terurut Topik Ari Condro

Mbok ya, wenya dilengkapi dengan forum.
Karena web baru idup selain dari news
juga dari forum.  Sekedar utak utek coba
liat www.kaskus.com
mereka bikinnya pake vbulletin.

salam,
Ari Condro


- Original Message - 
From: Mario Gagho [EMAIL PROTECTED]

Rekan-rekan milis,

Sejak tadi malam, alamat situs resmi ppi-india sudah
berpindah ke alamat baru yaitu
http://www.ppi-india.org.

Kami sedang trus dalam proses perbaikan baik isi
maupun tampilan. Saran dan kritik silahkan alamatkan
ke: [EMAIL PROTECTED] atau langsung anda mengisi
buku tamu atau pesan singkat (di halaman muka).

FYI, situs ini hanya nama domain yg beli, sedang
hostingnya gratis. pertimbangan kami, selain spacenya
lebih luas yg gratis, waktunya juga unlimited.

Bagi yg berminat mengirim tulisan, silakan juga
dialamatkan ke: [EMAIL PROTECTED]

Terima kasih.

salam,
a.n. Tim Administrator ppi-india.org

Mario Gagho
Political Science,
Agra University, India
-
A WINNER works harder than a loser and has more time. 
A LOSER is always too busy to do what is necessary.









 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Fwd: IMAN TODAY ...

2005-03-26 Terurut Topik antonhartomo


--- In _ITB 
 
Gereja Katolik Indonesia Bukan Alien 

Judul buku: Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia 
Menjadi Gereja Katolik Indonesia
Penulis: Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap
Penerjemah: R Hardawiryana, SJ
Penerbit: Kanisius, 2005
Tebal Buku: 540 halaman
Ukuran: 16 x 23 cm

Kisah sukses kelapa sawit, menurut Dr Huub J Boelaars, adalah contoh 
Indonesianisasi yang berhasil. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit 
merupakan komoditas ekspor yang sekarang menjadi soko guru penting 
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum direbut oleh Malaysia, 
Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil minyak kelapa sawit 
nomor satu di dunia.

Keberhasilan itu, tulis Boelaars, seorang pastor Ordo Fransiskan 
Kapusin, berawal dari yang sederhana. Pohon-pohon kelapa sawit 
berasal dari sebuah pohon kelapa sawit yang ditanam tahun 1848 oleh 
Dr Johannes Elias Teijsman di Kebun Raya Bogor. Analoginya jelas. 
Kekristenan yang tidak berasal dari Indonesia ditanam di Nusantara 
pada awal-awal abad yang silam, kemudian mengakar menjadi dewasa 
(hal 21). Melalui proses inkulturasi, Gereja Katolik Indonesia 
berkembang dan buah proses itu memberi sumbangan besar bagi Gereja 
Katolik semesta. 
Indonesianisasi dalam konteks buku ini berarti proses integrasi 
tidak menuju mentalitas ghetto. Gereja Katolik (Roma)-selanjutnya 
ditulis Gereja Katolik atau Gereja-dalam proses tidak menjadi unsur 
yang terasing dalam masyarakat (Indonesia). Gereja harus kerasan 
di Indonesia dan dipandang sebagai gejala yang biasa (hal 448). 
Indonesianisasi tiada lain ialah pemribumian atau pembangunan Gereja 
setempat di Indonesia (hal 56). Pernyataan yang dirumuskan tahun 
1972 itu menjadi titik berangkat buku J Boelaars yang aslinya 
berbahasa Belanda. Premis Boelaars, benarkah di kalangan umat 
Katolik ada mental ghetto? Benarkah Gereja belum terintegrasi dalam 
negara-bangsa Indonesia? Jawaban atas premis diuraikan lewat 
analisis historis-deskriptif, sebuah pendekatan yang unik menurut 
penerjemahnya, Pater Hardawiryana, teolog yang merasa terinspirasi 
mengembangkannya. Berkat buku itu Pater Hardawiryana 
menulis pentalogi, sebuah refleksi teologis bagi pengembangan 
reksa pastoral umat Katolik
 Indonesia (hal 9-10) yang terdiri atas lima judul buku 
bertopik Cara Baru Menggereja di Indonesia (2001). Arti reksa 
pastoral selain menekankan pembinaan dan pengembangan, juga 
pelayanan.

Bukan Alien

Ditempatkan dalam sederet buku sejarah perjalanan Gereja berbahasa 
Indonesia, buku ini komplementer. Di antaranya ia melengkapi buku-
buku Dr MPM Muskens (editor) Sejarah Gereja Katolik Indonesia 
(1974), buku Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (1999), 
buku Dr F Hasto Rosariyanto SJ (ed) Bercermin pada Wajah Keuskupan 
Gereja Katolik Indonesia (2001), dan buku-buku deskriptif tentang 
keuskupan-keuskupan setempat maupun analisis tentang hubungan Gereja 
dan negara, Gereja dan masyarakat Indonesia. Data yang dikumpulkan 
sangat lengkap, rinci dan diperbandingkan dengan berbagai sumber, 
dianalisis secara deskriptif mendalam sehingga tidak kering. Mungkin 
saja itu pun berkat sentuhan tangan penerjemah.

Buku ini tidak menguraikan munculnya nasionalisme Indonesia yang 
sudah ditulis Dr Muskens dan Dr Bank, di mana dalam kedua buku 
tersebut pihak Indonesia memperoleh banyak penguraian. Boelaars juga 
tidak menguraikan kasus konflik Jacob Groof-J Rochussen. Jacob Groof 
adalah Vikaris Apostolik (perwakilan Paus di suatu Gereja) yang 
dikirim ke Hindia Belanda tahun 1845 oleh Vatikan. Sebagai seorang 
penganut garis konservatif, ia menganjurkan umat Katolik di Hindia 
Belanda menjauhi kenikmatan duniawi, seperti pesta dan menonton 
teater. Gubernur Hindia Belanda JJ Rochussen tidak berkenan. Jacob 
Groof diminta dikembalikan ke Belanda, dan sebagai pengganti dikirim 
PJ Willekens yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Hindia 
Belanda tahun 1934.

Buku ini juga tidak menguraikan secara rinci berkembangnya 
nasionalisme di kalangan tokoh-tokoh Katolik, walaupun kenyataan 
historis ini menjadi faktor penting dalam nuansa Indonesianisasi. 
Penegasan Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia yang kemudian 
memunculkan slogan pro eccelesia et patria (untuk Gereja dan 
Negara) dari uskup asli pertama Indonesia, Mgr Albertus 
Soegijapranata SJ, hanya disinggung sedikit.

Titik temu mungkin banyak terjadi dengan buku Pater Hasto 
Rosariyanto (editor), yang merupakan refleksi atas berdirinya 
keuskupan-keuskupan, mulai dari Provinsi Gerejani Ende hingga 
Provinsi Gerejani Makassar. Lewat pembagian tiga fase Gereja Katolik 
Indonesia (fase I tahun 1534-sampai akhir abad ke-18, fase II abad 
ke-19, fase III abad ke-20), buku yang terkumpul dari tulisan para 
uskup itu mengajak pembaca bercermin pada perjalanan jatuh-bangun 
Gereja Katolik Indonesia, atau menurut istilah Boelaars sebagai 
Indonesianisasi.

Dari antara buku Jan Bank, Muskens, dan Hasto ditemukan tiga titik 
berangkat yang sama. Dengan redaksi dan penekanan yang berbeda, 
termasuk 

Re: [ppiindia] Re: khilafah islam (was: Islam Hadhari) ......

2005-03-26 Terurut Topik aris solikhah



sidikpam [EMAIL PROTECTED] wrote:
Mas Sidik,

Maaf baru sempat bales, esok Senin ada acara, konsentrasi saya terfokus demi 
kesuksesan acara tersebut.
Inilah penyakit akut umat Islam, merasa bahwa penderitaan yang 
dialaminya adalah akibat perbuatan orang lain. Bukankah itu semua 
terjadi karena kelemahan kita sendiri, karena kita bodoh? Kalau kita 
kuat, tentu itu tidak akan terjadi. Itulah sebenarnya inferioritas!! 
Berhentilah menyalahkan orang lain, berkacalah pada diri sendiri. 

Saat di bangku kuliah kita pernah diajari  analisis SWOT. Tanpa disadari kita 
menggunakan analisis tersebut untuk berbagai hal. Termasuk dengan kemunduran 
umat Islam yang mencakup sebuah negara besar. Kayaknya naif bila kita hanya 
mengambil bagian weakness-nya aja tanpa memandang threatment. Jadi dua-duanya 
perlu digunakan, bahkan S dan O-nya juga.

Keberdayaan sebuah masyarakat tidak muncul karena sebuah hukum yang 
turun dari langit, tapi karena ada proses belajar yang mencerdaskan 
dan menyadarkan dalam masyarakat tersebut. Jadi prosesnya bottom-up. 
Logika yang digunakan mbak Aris, bahwa seluruh negara muslim 
sekarang hanyalah negeri2 kecil, terpecah belah dan tidak 
berdasarkan hukum Islam, sehingga lemah, jelas menggunakan 
pendekatan top-down. 


Benar sekali mas, bahwa segala sesuatu melalui proses. Sebuah proses itu tidak 
kentara jika kita tak rajin mengamati secara jeli. Seperti bayi yang beberapa 
bulan kemudian kita lihat bisa berbicara. Begitu pula dengan hukum langit, 
sosialisasi memegang peranan penting (pencerdasan dan penyadaran ke 
masyarakat). Hal  itu muskil dilakukan tanpa proses dan penyadaran serta 
percerdasan. Kekhilafahan juga lho. Coba mas renungkan, sejak kapan mas 
mendengar istilah ini. Sejak kecil atau pertama kali mendengar dari media yang 
merupakan istilah asing. Kemudian jika setiap seminggu sekali mas dengar hal 
ini apa yang terjadi mas jadi familiar. Ini baru sebatas opini umum. Lama-lama 
akan membentuk kesadaran umum. Tentu saja penyadaran intrapersonal pun sangat 
penting dilakukan juga. Tapi metode penyadaran intrapersonal ini kan sifatnya 
bukan terbuka sehingga jarang lah di blow up media dan mas pasti sulit 
menjumpainya.
Kalau saya tangkap, menurut mbak Aris ini menciptakan sebuah 
masyarakat yang kuat harus dimulai dengan menciptakan sebuah 
kekhalifahan yang besar, yang berdasar hukum Islam. Naif menurut 
saya, karena berkaca dari sejarah manapun, penguasa besar dunia mana 
pun (termasuk Muhammad Saw) dahulu selalu memulainya dari yang 
kecil. Lha, wang ngurus yang kecil saja gak bisa, gimana mau ngurus 
yang besar???!!!

Sepakat dari yang kecil dulu.Jangan lupakan subtasi dan pelabelan pula. Jangan 
takut dengan label itu, sebab ini penting untuk mengidentifikasi dan identitas. 
Dulu juga islam itu asing  di masyarakat quraisy tapi karena Rasul dan shahabat 
konsisten dan terus menerus mensosialisaikan islam (dakwah) maka kita bisa 
memeluk islam hingga di Indonesia.So, what different. Btw diskusi ini adalah 
salah satu bentuk sosialisasi he he he .

Kalau anda ngotot ingin membentuk khilafah Islam, saya memberi 
saran, sebaiknya mulailah dengan menguatkan Indonesia, menguatkan 
Bangladesh, Saudi Arabia, dst. Karena hanya sebuah masyarakat yang 
kuatlah yang dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat lain dengan 
baik, menjadikannya sebuah kekuatan.  
Sangat sepakat, jadi penggarapan dan sosialisasi sifatnya hanya lokal saja tapi 
internasional. Setiap wilayah harus digarap, khususnya oleh penduduk asli 
masing2 negri setempat. Iya kan mas. Jadi nanti akan jadi kekuatan yang 
sifatnya nggak lokal saja.


Kalau anda katakan bahwa Rasulullah adalah contoh terbaik, berarti 
anda tidak konsisten dengan pendapat anda! Kalau pendapat anda yang 
diambil, maka yang dilakukan Rasulullah dulu tentu membangun dulu 
khilafah Islam, baru kemudian menegakkan syariah Islam. Ternyata, 
bukan itu yang dilakukan beliau. Beliau memulai penyebaran Islam 
dengan sebuah kelompok kecil yang solid, yang kemudian meluas hingga 
ke seluruh dunia, sebuah pendekatan bottom-up.
 

Sepakat juga. Dimulai dari sekelompok kecil orang sadar seperti mas kemudian 
bergerak, membesar, lantang menyuarakannya. Gitu kali ya. Yang patut direnungi 
pula, tugas utama umat islam sekarang bukan memuslimkan umat islam tapi 
menyadarkan kembali mereka akan pilihan agama mereka.


Salam,

Aris solikhah
Mbak Aris wrote:
...hanya saja negeri tersebut Banglades, pakistan, indonesia, 
malaysia dll mereka akan menjadi semacam propinsi dibawah gubernur 
(Wali atau qadhi, bahasa kerennya), wali mengatur semua urusan 
didaerahnya sesuai hasil ijtihad dia .Tentu saja ijtihad diwilayah 
yang tak bertentangan dengan kekhilafahan atau pemerintah pusat. 
 
 Sementara pemerintah pusat hanya melegalisasi hukum islam yang 
sifatnya menjaga kesatuan negara saja. Bukan semua hukum diadopsi. 
Ini tidak boleh karena berarti mematikan kreativitas ijtihad. 
(ijtihad beda dengan fatwa atau pendapat) menjadi mujtahid itu harus 
punya 

[ppiindia] Merancang Pendidikan Transformatif

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.indomedia.com/bpost/032005/26/opini/opini1.htm


Sabtu, 26 Maret 2005 03:17

Merancang Pendidikan Transformatif
Oleh: Teddy Suryana

Wacana tentang pendidikan yang mengemuka akhir-akhir ini, 
seharusnya diselesaikan secara tuntas. Sebab, perdebatan seputar pendidikan 
Indonesia tersebut baru sebagian yang sampai menghujam pada akar persoalan 
pendidikan kita. Perdebatan mutakhir berputar pada wacana otonomi daerah (otda) 
yang berpengaruh pada persoalan kebijakan dan finansial.

Akan tetapi, sejauh yang kita amati, wacana pendidikan tersebut belum 
menghunjam pada akar persoalan pendidikan di Indonesia. Artinya, pendidikan 
seharusnya dibaca dalam kerangka konstruksi ideologis yang tersembunyi di balik 
pendidikan Indonesia. Tanpa pembacaan seperti itu, berbagai perbincangan 
tersebut hanya karikatural belaka. Tulisan ini membaca pendidikan sebagai suatu 
'teks' yang tidak terlepas dari teks lain dan juga konteksnya.

Pendidikan merupakan salah satu entitas sosial yang terelasi dengan teks sosial 
yang melingkupinya. Artinya, konstruksi pendidikan suatu bangsa merupakan salah 
satu metafor kebudayaannya, yang merefleksikan ideologi dan filsafat 
pendidikannya. Karena itu, persoalan sosial suatu bangsa tidak dapat dilepaskan 
dari konstruksi pendidikannya yang menjadi kerangka kerja proses sosial.

Dengan demikian, pendidikan harus dibaca dalam setting sosial dan budayanya 
yang terajut dalam interrelasi antarteks sosial. Pembacaan tersebut memunculkan 
realitas, pendidikan di Indonesia disubordinasikan dalam wacana 
developmentalism yang merupakan ideologi ekonomi negara.

Ini terlihat, misalnya, dalam berbagai kebijakan dan politik pendidikan yang 
diterapkan. Konsep subordinasi organ mahasiswa di bawah rektorat era Daoed 
Yoesoef, konsep link and match yang digagas era Wardiman, konsep Pengabdian 
Pada Masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dibangun atas dasar 
asumsi teori modernisasi dan terakhir gagasan otonomi perguruan tinggi, 
merefleksikan wacana developmentalistik. Selain ideologi kapitalisme, 
pendidikan kita, konon, juga menjadi penandaan bagi ideologi militeristik 
seperti terefleksikan dalam penyeragaman dari cara bersetubuh hingga nalar, 
feodalisme yang tecermin dalam metodelogi pengajaran yang berlogika 
kawula-gusti dan nasionalisme-fasis melalui penjejalan doktriner ideologi 
Pancasila.

Subordinasi kasar ini, lama kelamaan mendistorsi filsafat dasar pendidikan 
bangsa sebagai wahana pencerdasan dan pencerahan bangsa. Pendidikan berjalan di 
luar kodratnya. Kurikulum pendidikan didominasi sains positivistik dan 
paradikma fungsionalisme yang juga dipaksakan diterapkan dalam sains sosial dan 
humaniora. Keberhasilan pendidikan diukur melalui nilai verbal dan ijazah tanpa 
mau tahu proses material munculnya nilai tersebut.

Maka, yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi wahana transfer of knowledge 
yang oleh Freire dikatakan tidak lebih dari pendidikan preskriptif, jauh dari 
pendidikan dialogis yang ideal. Model pendidikan tersebut merupakan model 
pendidikan yang dalam bahasa Freire, membelenggu (domesticating) yang kontras 
dengan pendidikan membebaskan (liberating), yang selain memuat dimensi to know 
juga memuat dimensi to transform.

Oleh karena pendidikan diseting untuk memenuhi hanya salah satu aspek dalam 
kehidupan manusia yakni kepentingan pasar, maka pendidikan tidak dapat 
responsif menghadapi dinamika dan perubahan sosial yang kompleks. Pendidikan 
yang tidak dirancang untuk menjawab tantangan secara komprehensif tantangan 
masa depan ini, menjadikannya mengalami stagnasi bahkan involutif karena gagal 
mengakomodasi transformasi sosial yang ada.

Involusi tersebut tecermin, misalnya, dalam dataran teknis. Upaya membangun 
infrastruktur yang memadai sebagai investasi masa depan, dipandang kurang 
penting dibanding anggaran militer. NER (Net Enrolment Ratio) untuk tingkat SD, 
SMP, SMU di Indonesia yang rata-rata lebih rendah dibanding negara berkembang 
lainnya, dapat dijelaskan dalam politik pendidikan ini.

Dalam tataran diskursus, pendidikan yang berjalan di luar kodratnya melahirkan 
tradisi fashion dalam pergulatan intelektualisme. Tren diskursus intelektual 
yang berkembang tidak berasal dari basis sosial permasalahan yang ada. Namun 
terpengaruh oleh isu intelektualisme yang berkembang di barat yang memiliki 
basis sosial berbeda.

Era 1990-an, misalnya, intelektual terkena demam postmodernism sebagai wacana 
an sich yang tidak dibenturkan dengan realitas objektif. Begitu juga wacana 
civil society yang amat penting itu. Wacana ini lebih sering dibaca secara 
konseptual daripada elaborasinya dalam konteks Indonesia. Tren wacana paling 
mutakhir adalah cultural studies, yang siap dijadikan onani intelektual. Maka, 
dapat dikatakan wacana yang dikembangkan intelektual tidak sebangun dengan 
persoalan sosial yang digumuli rakyat, terserabut dari akar sosial dan 
kulturalnya.

Oleh karena itu, diperlukan paradigmatisasi pendidikan transformatif. 

[ppiindia] Pemutakhiran Data Orang Miskin

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/26/o5.htm

Sabtu Paing, 26 Maret 2005 
 Tajuk Rencana


Pemutakhiran Data Orang Miskin 


DPR tampaknya sangat memahami keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Itu 
tercermin dari opsi yang ditawarkan DPR agar pemerintah mengkaji lagi dan 
mengajukan APBN Perubahan terkait dengan kenaikan tersebut.
Atas opsi itu, pemerintah pun telah mengajukan APBN Perubahan tidak lama 
setelah voting yang menguntungkan pemerintah. Namun, bukan berarti persetujuan 
DPR itu semua masalah telah selesai. Ada tugas berat yang dihadapi pemerintah, 
terutama dalam pembagian dana kompensasi BBM. Sebab, banyak data menunjukkan 
bahwa bantuan itu acap salah sasaran. Mereka yang semestinya tak menikmati 
bantuan malah diberikan kemudahan, termasuk diberi beras miskin. 


Untuk itu, pemerintah harus mengadakan pemutakhiran data serta inventarisasi 
data untuk menghindari terjadinya salah sasaran atau rangkap dalam pemberian 
kompensasi BBM. Adapun  program kompensasi ini diperuntukkan kepada gakin 
(keluarga miskin) yang terdiri atas delapan program; pendidikan, kesehatan, 
beras murah, pembangunan prasarana pedesaan, perumahan rakyat, pelayanan 
sosial, dana bergulir untuk usaha mikro, pelayanan kontrasepsi untuk Keluarga 
Berencana (KB) dan pengendalian-pengamanan program.

Untuk itu, pemutakhiran data merupakan pedoman teknis untuk menentukan rakyat 
miskin. Pemuktahiran serta inventarisasi data perlu dilakukan karena saat ini 
antara data yang diberikan pihak pusat dengan yang dimiliki daerah terjadi 
ketidaksinkronan.

Namun, dengan terlambatnya pembahasan APBN Perubahan akan menyebabkan 
terhambatnya penyaluran dana kompensasi ini termasuk subsidi. Hal ini pulalah 
yang menjadi kekhawatiran pemerintah. Sebab, persetujuan APBN-P 2005 di samping 
untuk mendukung pengalokasian dan pencairan dana kompensasi harga BBM, juga 
untuk penyesuaian program-program yang belum ada dalam APBN 2005. Persoalannya 
adalah, di antara program-program baru yang direncanakan dalam APBN-P tidak 
mungkin dilaksanakan tanpa dukungan dari APBN, sehingga satu-satunya jalan 
adalah pembahasan APBN-P harus dipercepat.

Untuk itu, agar cakupan program kompensasi kenaikan harga BBM difokuskan kepada 
program yang menyangkut pelayanan dasar kepada masyarakat. Semakin banyak 
cakupan program kompensasi semakin besar kemungkinan penyimpangan serta semakin 
sukar dan rumit pengawasan yang dilakukan.

Untuk itu, program kompensasi itu hendaknya lebih diarahkan dan difokuskan 
kepada bidang pendidikan dan kesehatan. Pelaksanaannya sebisa mungkin bersifat 
meluas dan nondiskriminatif. Oleh karena itu, perlu perbaikan dan penyempurnaan 
identifikasi, mekanisme penyaluran dan pengawasan program kompensasi dengan 
melibatkan masyarakat secara luas, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun 
monitoring serta evaluasi program kompensasi. Sebab, selama ini program 
kompensasi tidak jelas arahnya (mendua) yaitu meningkatkan daya beli dan 
meningkatkan pendapatan.
Banyak kasus menunjukkan bantuan tersebut lama sampai ke sasaran atau bahkan 
nyangkut di penyalurnya. Mestinya pemerintah tegas memilih program yang 
langsung pada keluarga miskin seperti bantuan pangan, pemberian beasiswa, dan 
bantuan kesehatan.


Dalam APBN 2005 dana kompensasi disebut sebagai dana program bantuan sosial 
yang berjumlah Rp 7,34 trilyun. Pemerintah mengusulkan tambahan dana sebesar Rp 
10,5 trilyun, sehingga jumlahnya menjadi Rp 17,8 trilyun.
Mudah-mudahan dengan kenaikan harga BBM yang diikuti dengan program kompensasi 
akan menurunkan tingkat kemiskinan 3 persen dari 16 persen menjadi 13 persen. 
Namun, apa yang disampaikan pemerintah yang merujuk pada penelitian yang 
dilakukan UI, terbantah dengan hasil yang disampaikan lembaga lain. 
Lembaga yang mengutip hasil BPS menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM ini akan 
meningkatkan orang miskin di Indonesia. Itu artinya pemerintah dituntut jeli 
untuk menyalurkan dana kompensasi, sehingga betul-betul dapat meningkatkan 
pendapatan masyarakat.

Kita menduga berbedanya hasil penelitian tersebut dikarenakan berangkat dari 
data base yang berbeda. Itu artinya data yang ada selama ini tentang orang 
miskin juga belum fixed, sehingga tidak berlebihanlah kiranya kalau yang 
pertama dilakukan adalah memperbarui data sehingga bantuan itu tepat sasaran. 
Sehingga, dapat berdaya guna dan berhasil guna

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org

[ppiindia] Di Batam Ada Nagoya

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=8183PHPSESSID=84b782bf5ed99830d0efd63ca70851e7


Di Batam Ada Nagoya
Oleh redaksi
Rabu, 23-Maret-2005, 14:16:14

Sebuah Cerita 
oleh : Lisya Anggraini

Di Batam ada Nagoya. Tapi bukan berarti salah satu kota di Jepang itu, pindah 
ke pulau yang dikatakan berbentuk kalajengking dan berdampingan dengan 
Singapura ini. 

Nagoya, ya... Nagoya. Meski tak begitu jelas batasan wilayahnya, Nagoya 
setidaknya bertetangga dengan Jodoh, Kampung Utama, Windsor serta Seraya. 

Jodoh tetangga terdekat, Nagoya. Dan bukan bermakna tempat perjodohan, walaupun 
tak jarang juga di tempat ini orang ketemu jodohnya. Ketika menunggu taksi di 
pinggir jalan, atau ketika makan di salah satu restoran, atau sedang menjalani 
tugas rutin di kantor. Atau pula, di saat berbelanja di pusat perbelanjaan, 
serta pasar. 

Dan wilayah ini adalah, tempat yang paling komplit aktifitas kehidupan manusia, 
meski tak ada rumah sakit, atau pabrik. 

Sebenarnya pula, penyebutan benar nama wilayah ini adalah Sei Jodoh, atau dalam 
bahasa melayu berarti Sungai Jodoh. Namun, entah dari mana asal muasal nama 
kota itu, saya pun belum begitu paham. Dan saya cuma tahu di mana letaknya, dan 
bagaimana situasinya. Itu saja. Mungkin perlu berguru terlebih dulu dengan para 
ahli pakar sejarah Batam? 

Tetangga terdekat lainnya, Kampung Utama. Bahkan, karena terlalu dekatnya, tak 
jarang pula orang menyebut Kampung Utama, juga Nagoya. Supir taksi, yang 
dikatakan penguasa jalanan itu mengatakan begini : Penumpang suka bilang mau ke 
Nagoya, kita mesti Tanya lagi, Nagoya nya di mana? Dia jawab, Kampung Utama. 
Karena itu, Kampung Utama bisa dikatakan tetangga Nagoya, ada pula yang 
menyebutkannya bagian dari Nagoya. Terserahlah, saya hanya ingin bercerita 
bukan sedang belajar ilmu geografi tentang Batam. 

Lalu, tetangga lainnya adalah Windsor. Jangan salah kira lho, tempat ini tak 
ada kaitannya dengan istana keluarga Elizabeth, Ratu Inggris Raya itu. 
Yakinlah, tidak akan ditemukan satu Kastil pun di tempat ini. Melainkan deretan 
Ruko (Rumah Toko), tempat makan Pujasera, Pusat Perbelanjaan, Hotel dan tentu 
saja, segala aneka hiburan malam, yang juga dilangsung siang hari. 

Karena tidak saja bermakna menunjukkan waktu, melainkan perumpaan aktifitas 
yang menghibur dan biasa dilakukan orang di malam hari. Ya, berbagai macam 
bentuk hiburan malam lah. Tentu dah tahu semua. 
Tetangga lainnya, adalah Seraya. Yang pasti di tempat ini ada rumah sakit. 
Tentu saja, banyak kejadian kriminal. Serta tragedi juga bisa dicari infonya 
dari tempat ini. Saya katakan begitu, karena ada beberapa wartawan yang di pos 
kan di tempat ini. Dari situ sang jurnalis akan bisa mengungkap kejadian dari 
setiap pesakit yang masuk ke rumah sakit. 

Tentu tak hanya rumah sakit saja di tempat itu. Yang pasti Ruko juga ada, walau 
tak seramai di Nagoya, Jodoh, atau Windsor. Di wilayah ini beberapa pabrik 
tempat bekerja ratusan orang, yang disebut sebagai buruh, dari berbagai wilayah 
di negeri bernama Indonesia ini. Tempat makan yang enak-enak juga ada di tempat 
ini. Tentu saja, juga rumah penduduk, serta tempat jualan barang seken dari 
Singapura, walau tak seramai pusat seken lainnya di kota ini. 

Diantara beberapa wilayah yang tidak terlalu luas itu lah, Nagoya berada. Salam 
yang akan menyapa bukanlah Konichiwa? di sini, , melainkan: Apa kabar? Ndak 
kemane?, Aaaa kaba?, Ni How Ma?, Opo kabare? juga sesekali How are You? 
Jangan pula berharap akan menemukan kereta api cepat di wilayah ini. Ojek, 
taksi, bus Damri, bus-bus kecil dan angkot Carry yang akan menawarkan tumpangan 
hendak mau ke mana. 

Dan apa pula yang paling banyak dimiliki Nagoya dibandingkan wilayah lainnya di 
Batam? Teman saya dengan yakin mengatakan Money Changer. Hampir di setiap 
simpang, dan toko pusat perbelanjaan, ada Money Changer, katanya. 

Ada pula yang mengatakan hotel. Mulai dari Hotel bintang empat, terutama 
ruko-ruko yang disulap menjadi hotel kelas melati. Ada yang menyebutkan, 
restoran dan tempat makan. Ada pula yang berkata: toko-toko, terutama menjual 
barang branded luar negeri, mulai dari parfum, sepatu, aksesoris, elektronik 
hingga alat komunikasi Hand Phone. Meskipun juga berderet toko penjual jamu 
seduh, atau menjual buah lokal maupun impor. 

Teman saya yang lain menyebutkan, bank-bank paling banyak di tempat ini, 
dibandingkan wilayah lainnya di kota Batam. 

Dan bos saya mengatakan, tempat melepas puyeng, dugem hingga esek-esek berkedok 
tempat hiburan paling ramai berada di sini. 

Kalau saya mengatakan tempat kos. Karena saya menempati salah satu kos-kosan di 
sana, dan banyak pula tempat saya kos di sekitar Nagoya. 

Itulah sedikit cerita pemula tentang Nagoya. Dan tentu saja, tak hanya Nagoya 
yang ada di Batam. Banyak tempat di kota ini, meskipun wilayahnya tidak terlalu 
besar dibandingkan kawasan lainnya di tanah air. 
Seperti Mukakuning, meski banyak pula orang yang bermuka hitam, coklat dan 
putih 

[nasional_list] [ppiindia] Kejahatan oleh Aparat

2005-03-26 Terurut Topik Ambon
** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=8172

  Kejahatan oleh Aparat 
  Oleh redaksi 
Rabu, 23-Maret-2005, 08:22:00   
 
 
Oleh: Valdesz Junianto 
 
 
  Pemikiran tentang akar lahirnya gejala kriminalitas oleh aparat negara 
(state apparatus criminality) memang baru mencuat belakangan. Sebelum ini, 
keberadaan negara kurang pernah dilihat sebagai pihak yang potensial berbuat 
salah. 

  Seiring masa, secara perlahan muncul anggapan bahwa hanya warga negara 
kelas tertentu- entah dalam kapasitasnya sebagai aparat, birokrat, atau 
lainnya- adalah pihak yang paling leluasa memanfaatkan berbagai produk negara 
guna diakal-akali untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, entitas negara 
(termasuk perangkat di dalamnya) acap diposisikan sebagai pihak yang innocent, 
atau senantiasa berada dalam jalur yang benar dan bekerja untuk melindungi 
warganya. 

  Cukup banyak produk semisal, KUHP, Peraturan Pemerintah, atau 
Undang-undang (UU) profesi yang dikategorikan sebagai ''buatan negara. Soal 
kekeliruan menerjemahkan produk tersebut, teramat jarang ditemui wacana yang 
menyoroti tindakan penyimpangan atau fenomena kejahatan dari sudut aparat 
atau birokrat sebagai pelakunya. 

  Mengacu sejumlah literatur, beberapa pemikir penganut kriminologi kritis 
sesungguhnya telah mulai melakukan itu. Hanya saja-untuk konteks Indonesia 
misalnya, pertanyaan-pertanyaan studi mereka barangkali terlampau }seram. 
Disimpulkan begitu, karena masyarakat belum terbiasa berhadap-hadapan secara 
diametral (baca: langsung) dengan institusi kekuasaan. 

  Mari sejenak membaca sejarah. De facto, kajian tentang kriminalitas oleh 
aparat negara memang tertinggal dibanding berbagai wacana kejahatan 
kontemporer, semisal white collar crime, atau lainnya. Bahkan, kriminalitas 
oleh aparat negara dalam studi kejahatan politik- sebagai wacana induknya 
sekali pun- nyaris tak ditemukan. Lho? Harus diakui menemukan batasan diskresi 
suatu wilayah penugasan memang sukar. Toh, penyebabnya selalu bermula dari 
seuntai pertanyaan: apakah diskresi itu termasuk, atau tidak termasuk ke 
dalam lingkaran perbuatan yang mengandung motif tertentu, atau alamiah karena 
tuntutan tugas. Pasti sesulit menyeret dukun santet ke muka persidangan. 

  Tentu berkembang pertanyaan. Lantas, apabila ada aparat yang menganiaya 
atau membunuh tersangka pelaku kejahatan, dapatkah ia dianggap sebagai 
katakanlah, eksekutor} hak hidup orang lain? Bila ya, maka baginya patut 
dikenakan delik kriminalitas oleh aparat negara. Tapi bagaimana sebaliknya? 
Jika yang bersangkutan ternyata tidak dapat tersentuh oleh delik yang ada 
tentunya mengalirkan beberapa pemikiran lanjutan. 

  Pertama, perintah tugas dari atasan telah diterjemahkan secara salah atau 
dilaksanakan secara eksesif dan ekstrim oleh aparat di lapangan. Kedua, aparat 
mendapatkan tugas dari atasannya yang secara terselubung mengandung 
illegalitas. Yang terakhir ini tentunya menuntut konsekuensi yang lebih 
panjang. 
  Apa pasal? Perintah yang ilegal menjadikan tanggung jawab hukum 
seharusnya dipikul juga oleh yang melempar tugas tadi. Sebab, aparat di 
lapangan hanya bertindak sebagai pelaksana perintah, entah untuk menyekap, 
menganiaya, atau bahkan membunuh sekali pun. 

  Toh, muskil membongkarnya mengingat perbuatan itu melekat erat pada 
kewenangan kekuasaan. Inilah perbedaan mendasarnya, misalnya, dengan tindak 
kejahatan oleh oknum aparat yang korupsi, atau yang melakukan tindak kekerasan 
tanpa motif politis. 

  Sejatinya, model kriminalitas semacam ini tidak paham istilah oknum. 
Atasan yang memberikan perintah menyimpang itu pada dasarnya juga hanya 
menjalankan tugas dari atasan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Alhasil, studi 
tentang kriminalitas oleh aparat negara ini hampir selalu berhenti pada 
pernyataan hipotesis bahwa di balik perilaku aparat lapangan yang kejam, 
melanggar hak asasi, serta tidak sesuai dengan hukum justru terdapat 
tangan-tangan tak terlihat (invisible hand). Sebaliknya, antara yang di 
belakang layar dan yang di lapangan tercipta kesan bahwa tidak ada 
pertanggungjawaban hukum- paling-paling sekadar pertanggungjawaban moral. 

  Bila saja perkembangan pemahaman kriminalitas oleh aparat negara telah 
menyentuh pada tahap di mana segala perilaku jahat yang secara resmi 
dilaksanakan oleh penguasa terhadap warga negaranya, maka ketika itu secara 
formal terdapat kemungkinan bagi hukum untuk mengejar perintah jahat tadi. 
Selama itu belum tercipta, persepsi masyarakat seolah-olah terbelah yakni, 
antara para aparat di lapangan yang sadis dan beringas, serta di pihak lain, 
para petinggi yang selalu tersenyum ramah. 

  Dalam sebuah risalah (1998), Kriminolog Adrianus Meliala, menyatakan, 
institusi seperti PTUN pada dasarnya merupakan langkah maju untuk membuktikan 
terjadinya penyalahgunaan 

[ppiindia] Ulama, Pewaris Para Nabi

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=8016

  Ulama, Pewaris Para Nabi 
  Oleh redaksi 
Jumat, 18-Maret-2005, 07:50:46   
 
 
Oleh: Jaafar Usman Al-Qari 
 
 
  Sebagai pewaris nabi dan orang yang tertanam akarnya di masyarakat, para 
ulama dengan semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, 
berwatak sosial, serta menjadi suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. 
Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka peran ulama sebagai rausyan fikr- 
meminjam istilah Ali Syariati akan betul-betul membumi di masyarakat. 

  Intelektual organik semacam itulah, yang akan memberikan pencerahan dan 
keoptimisan bangsa ini ke depan. Demokratisasi dan pengentasan krisis tidak 
akan berhasil dilakukan, jika di kalangan bawah tidak dibangun civil society 
yang kuat dalam melakukan kerja-kerja peradaban secara konsisten. Tapi, 
bagaimana halnya jika sekarang ulama juga ikut berkompetisi dalam kancah 
politik untuk menjadi bagian dari kepemerintahan, dan atau bahkan 
mengeksploitasi nama-nama kelompok ulama untuk mendukung misinya? 
  Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena para 
balon kepala daerah (kada) yang sowan ke masyarakat kembali marak terjadi. 
Begitu juga dengan para ulama yang aktif menjadi tim sukses balon kada. Memang, 
kedua fenomena itu telah menunjukkan adanya kesalingtergantungan antara 
keduanya. Hal itu, mempunyai preseden sejarah yang sudah sangat lama. Sejak 
zaman penjajahan dan kemerdekaan, kesaling-eratan hubungan antara ulama dan 
politisi-pemerintah marak terjadi. 

  Ditambah lagi sekarang ini ada pribadi-pribadi yang dikenal sebagai ulama 
juga ikut-ikutan mencalonkan diri di kancah pilkada, yang akhirnya juga sibuk 
melakukan lobi-lobi dengan pihak politisi untuk kepentingan tersebut. 
Khawatirnya, kalau mereka itu sampai terjebak kepada hal-hal yang tidak pas 
dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai ulama oleh masyarakat, seperti 
melakukan ghibah apalagi menyebar fitnah. 

  Saat ini, sudah mulai ada kecenderungan untuk sulit membedakan mana yang 
penjahat dan mana musuh penjahat, itulah yang disebut dalam surah Al-an am ayat 
112: Dan begitulah kami adakan musuh-musuh untuk masing-masing dari nabi-nabi, 
yaitu manusia-manusia [EMAIL PROTECTED] dan jin, yang sebagian mereka 
membisikkan kata-kata manis kepada orang lain untuk menipu. Dan tentunya bagi 
mereka yang tidak punya hati kecil, dan tidak punya landasan iman yang kokoh 
serta dasar pemahaman keagamaan yang baik akan bisa terpengaruh dengan berbagai 
tipu daya yang disebarkan. 

  Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan 
peran yang maha penting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis 
besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan 
kedudukannya sebagai para pewaris nabi (waratsatul anbiya) (QS. al-Jumu ah: 2). 
Peran itu biasa disebut dengan amar ma ruf nahi munkar yang rinciannya adalah 
bertugas untuk mendidik umat di bidang agama dan lainnya, melakukan kontrol 
terhadap masyarakat, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, menjadi 
agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para 
ulama sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 
1999). 

  Bisa jadi juga, seorang ulama akan konsisten menjadi -meminjam istilah 
Clifford Geertz- perantara dan pialang budaya (cultural broker), dan mungkin 
saja ia akan masuk jalur politik praktis. Sebagai seorang pialang budaya, ulama 
berfungsi untuk menghubungkan budaya lokal atau rakyat dengan budaya asing guna 
lebih memudahkan pemahaman rakyat. Fungsi ini, bisa tampak dari, semisal 
penjelasan para ulama tentang Pancasila yang tidak bertentangan dengan Islam, 
halal haramnya bunga bank dan sah-tidaknya bank konvensional yang terus menerus 
diteriakkan, dan perlunya lembaga pengontrol makanan halal LPPOM MUI untuk 
membantu mewujudkan kebersihan dan kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakat 
Muslim yang terbesar penduduknya di negeri ini. 

  Sedang ulama yang masuk jalur politik praktis, ada juga yang memang 
berniat menjadikan politik sebagai jalur ibadah dan pengabdian kepada umat. 
Semisal tokoh pada zaman dulu Muhamad Natsir, Kasman Singodimedjo, serta Buya 
Hamka, betul-betul menjadikan politik sebagai jalur untuk mewujudkan aspirasi 
umat dan menentang segala bentuk penindasan dan kediktatoran. Meski hal itu 
mengakibatkan kesengsaraan hidup pada diri dan keluarganya. 

  Sayangnya, saat ini masih ada yang menjadikan fungsi-fungsi budaya dan 
politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. 
Sebagian ulama yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi 
pengikutnya sendiri dan memenangkan golongannya di arena pemilihan (baca: 
pilkada). Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga 
banyak yang hanya menjadi corong pembenar 

[ppiindia] SKS, Strategi Tentukan Kelulusan

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_cid=163469

Sabtu, 26 Mar 2005,

SKS, Strategi Tentukan Kelulusan
Oleh Imam Muttaqin *


Pada 2003, UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disahkan. Kala itu, 
pengesahan UU tersebut menuai banyak kontroversi. Salah satu di antaranya soal 
ketentuan standar minimal nilai kelulusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) 
dan sekolah menengah atas (SMA). Nilai hasil ujian nasional (UN) siswa sekolah 
menengah yang menempuh ujian pada 2004 harus lebih dari 4. 

Menurut pemerintah, penentuan standar minimal nilai kelulusan bertujuan 
meningkatkan kualitas output sekolah menengah. Dengan dibuatnya standar 
kelulusan yang tinggi, pemerintah berharap agar siswa terpacu lebih giat 
belajar. Lebih jauh, diharapkan siswa mampu menguasai setiap mata pelajaran 
yang diajarkan di sekolahnya. 

Tetapi, langkah tersebut tidak sepenuhnya berjalan lurus di lapangan. Salah 
satu penyimpangan yang bisa dianggap mengkhianati tujuan semula ketika sistem 
konversi nilai diberlakukan. 

Dengan konversi, nilai di bawah standar dapat dikatrol naik oleh nilai yang 
lebih tinggi. Akibatnya, siswa yang mestinya tidak lulus dapat diluluskan 
karena dibantu nilai siswa lain.

Sistem konversi nilai akhirnya juga menjadi dilema. Pada satu sisi, sistem 
konversi bisa menolong siswa untuk lulus. Tetapi, pada sisi lain, banyak siswa 
yang kecewa karena nilainya dikurangi untuk membantu nilai siswa lain.

Kemudahan kelulusan yang diberikan tidak hanya dalam hal konversi nilai. 
Kemudahan lain yang diberikan pemerintah adalah adanya UN susulan. Siswa yang 
tidak lulus pada UN utama masih diberi kesempatan memperbaiki nilainya pada UN 
susulan.

Alasan kedua langkah -memudahkan kelulusan- tersebut dilakukan sangat berkaitan 
dengan keadaan masyarakat. Banyak masyarakat belum siap menerima kenyataan 
banyak siswa yang tidak lulus apabila kedua langkah tersebut tidak dilakukan. 

Pada kelulusan siswa sekolah menengah 2005, standar nilai minimal kelulusan 
dinaikkan lagi. Untuk bisa dinyatakan lulus, siswa harus mencapai nilai minimal 
4,25 tiap mata pelajaran yang diujikan. Tetapi, hal itu pun akan mendapatkan 
banyak kritikan apabila kasus konversi nilai dan UN susulan terulang. Keinginan 
pemerintah untuk meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah pun akan 
tertunda atau malah gagal. 


SKS Atur Kelulusan

Pemerintah berencana memberlakukan sistem satuan kredit semester (SKS) untuk 
SMP dan SMA. Tentunya, itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di 
Indonesia, yang jadi alasan utama. Rencanaya, yang masuk ke sekolah akan 
berproses dengan sistem baru tersebut. Sistem yang biasa dipakai di perguruan 
tinggi itu diharapkan mampu menjawab kegelisahan para orang tua siswa dan siswa 
sendiri dalam hal kelulusan selama ini. 

Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa dinyatakan lulus apabila telah menempuh 
sejumlah mata kuliah yang dihitung per-SKS. Ketentuan lulus suatu mata kuliah 
-mata kuliah wajib ataupun pilihan- juga mempunyai batas minimal nilai yang 
harus dicapai. 

Artinya, apabila seorang mahasiswa tidak lulus mata kuliah tertentu pada satu 
kesempatan, dia harus mengulang mata kuliah tersebut pada kesempatan lain.

Kalau sistem SKS perguruan tinggi juga dipakai di sekolah menengah, keadaan 
yang terjadi pada mahasiswa akan dialami juga siswa sekolah menengah. Mereka 
akan mendapat mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan untuk 
pengembangan skill. Mata pelajaran wajib merupakan mata pelajaran dasar yang 
harus ditempuh, sedangkan mata pelajaran pilihan bertujuan memenuhi minat dan 
bakat siswa. 

Ketika siswa telah mencantumkan mata pelajaran yang diambil dalam kartu rencana 
studi (KRS) -biasa dipakai di perguruan tinggi-, mereka harus bertanggung jawab 
pada setiap mata pelajaran yang tercantum. 

Misalnya, jika tidak lulus pada mata pelajaran tertentu, mereka harus mengulang 
pada kesempatan lain. Meski demikian, sistem SKS juga menguntungkan. Bila 
seorang siswa belum puas terhadap hasil yang dicapai untuk mata pelajaran 
tertentu -meski lulus-, dia diizinkan untuk memperbaiki nilai di kesempatan 
lain.

Dengan aturan seperti itu, siswa dapat menentukan sendiri lama studi yang ingin 
ditempuh. Dia diberi kesempatan untuk memaksimalkan usahanya dalam menguasai 
mata pelajaran. Tetapi, jika dia sudah puas dengan hanya dinyatakan lulus 
-walau nilainya belum maksimal-, itu pun tidak mengapa. 

Melihat hal itu, dugaan bahwa sistem SKS diberlakukan merupakan strategi 
pemerintah untuk mengatur dan menentukan kelulusan dapat dimungkinkan. Dengan 
sistem itu, pemerintah berharap agar masyarakat menjadi sadar bahwa kelulusan 
berada di tangan masing-masing siswa. 

Pemerintah hanya menentukan dan mengatur kebijakan. Guru hanya membantu 
menyampaikan pelajaran. Orang tua hanya bisa memberikan dukungan moril maupun 
materiil kepada anaknya. 

Apabila seluruh komponen masyarakat menghayati peran masing-masing, pendidikan 
di Indonesia akan meningkat. Pihak pemerintah 

[ppiindia] Uang

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

Harian Komentar
26/3/2005

Uang
Oleh: denni pinontoan 

Manusia akhirnya harus mempunyai uang untuk hidup. Entah diperoleh dengan cara 
menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal atau haram. Malam 
itu, sebuah institusi keagamaan sedang melakukan persidangan. Suasana gedung 
yang dihadiri ribuan perutusan dari berbagai penjuru, gaduh, ribut. Teriakan 
interupsi, membahana dari berbagai sudut gedung. Pimpinan sidang kelihatan 
terdesak.Berulang-ulang kali pimpinan sidang memohon agar peserta tenang. Tapi 
itu tak digubris. Agaknya ada yang mendesak untuk segera disikapi pimpinan 
sidang. Suasana tetap kacau, mirip sidang paripurna para anggota legislatif di 
era reformasi. 

Suasana masih gaduh, sam-pai pimpinan sidang berhasil dengan sekuat tenaga 
mem-persilakan seseorang untuk bicara. Pimpinan sidang ber-hasil membuat para 
peserta sidang yang gaduh dengan interupsi-interupsinya, menjadi tenang, 
terpusat pada seseorang yang akan bicara itu. Kira-kira ada yang perlu 
diketahui dari si orang itu. Benar. Apa yang dia akan kata-kan itu penting. 
Penting un-tuk mereka. Orang yang di-maksud itu ternyata ketua pa-nitia 
pembangunan sebuah proyek mercusuar institusi itu. Orang itu dengan santai dan 
gaya berkelakar mengumum-kan bahwa pemerintah daerah di mana institusi itu ada, 
telah menganggarkan dalam anggaran belanja daerah, uang se-banyak satu miliar 
untuk proyek mercusuar tersebut. Bu-kan cuma itu, untuk sukses-nya acara 
persidangan, peme-rintah juga telah memberikan dana ratusan juta. Itu uang 
legal, karena telah ada kese-pakatan antara pihak ekseku-tif dan legislatif 
sebelumnya. 


Apa yang terjadi kemudian? Para peserta sidang yang sebelumnya ribut dan 
berlom-ba-lomba untuk menginte-rupsi pimpinan sidang, kini bertepuk tangan. 
Mereka tersenyum puas. Interupsi ti-dak ada lagi. Suasana ber-ubah dalam 
beberapa menit. Suasana menjadi sukacita dengan uang miliaran rupiah! Syukur 
malam itu ada sin-terklas. Kado dalam bentuk uang mengubah segala-gala-nya. 
Uang seolah-olah mengu-asai emosi mereka yang me-ledak-ledak, menjadi emosi 
gembira. Puas. Malam itu mereka pun bisa tidur cepat, terlelap karena lelah 
duduk seharian. Bunga tidur, mimpi pun masih bisa dinikmati. Mudah-mudahan 
bukan mimpi buruk yang hanya mengganggu tidur mereka. 

Ini cerita tentang uang, ma-nusia dan idealisme. Cerita tentang kehidupan yang 
ril dan hadir di setiap tarikan napas para petualang di rimba yang dipenuhi 
binatang buas, pohon lebat dan susah men-cari jalan keluarnya kalau su-dah 
terdampar di dalamnya. Ini cerita tentang manusia yang menciptakan uang 
seba-gai alat tukar. Ini cerita ten-tang uang sebagai hasil cip-taan, yang 
kemudian mengu-asai jiwa dan tubuh si pencip-tanya. Uang hanyalah alat tukar. 
Barang di tukar dengan uang, maka terjadilah jual be-li. Itu dulu. Cita-cita 
untuk meng-ganti sistem barter dengan alat tukar uang, awalnya hanyalah untuk 
barang, komoditi, jasa. Itu dulu. 

Tapi kini, manusia jiwa dan tubuhnya juga ter-jerembab dalam perdagangan itu.
Ini yang dipikirkan oleh Karl Marx dulu. Ia sebenarnya te-lah me-warning 
manusia. Ta-pi, peringatan ini tak digubris. Jadilah manusia tak ubahnya 
seperti barang, komoditi, yang sebenarnya adalah objek da-lam sebuah sistem 
perdaga-ngan itu. Manusia akhirnya harus mempunyai uang un-tuk hidup. Entah 
diperoleh dengan cara menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal 
atau haram. Bah-kan, uang yang dalam bahasa sana disebut money, kalau didengar 
oleh orang yang tak mengerti bahasa sana itu, bisa berubah artinya. Kata 
'money', dalam pendengaran orang kita yang tak mengerti bahasa asal kata itu, 
bisa berarti benih kehidupan. 

Goenawan Mohamad (Se-buah Pengantar dalam I. Bam-bang Sugiharto, 
Postmodernisme: Tantangan Filsafat, Kanisius, 1997) si penyair itu memandang 
uang sama dengan Karl Marx. Uang, baginya, .mengubah setiap objek, juga 
manusia, menjadi sama dengan apa yang lain. Benar. Di zaman sekarang, apa lagi 
yang tak berurusan dengan uang. Ketika kita berada di terminal, mau pipis dan 
berak saja, harus pakai uang. Di kampung, hubungan kekerabatan 
tetangga-berte-tangga, saudara-bersaudara, juga mulai diukur dengan uang. Dulu, 
orang bisa menumpang begitu saja kendaraan bermo-tor roda dua yang dikemudi-kan 
tetangga atau teman. Ta-pi, sekarang, ojek/ompreng, telah mengubah hubungan 
kekerabatan itu menjadi hu-bungan dagang. Antara pelang-gan dan tukang ojek. 
Senyum si tukang ojek, tak lagi ber-makna hormat, tapi uang. 


Tak hanya itu. Uang juga bisa membuat orang kehila-ngan nyawa. Berita tentang 
seorang pemuda yang tewas terbunuh hanya karena tidak memberi uang seribu 
rupiah untuk satu sloki cap tikus bagi segerombolan preman, adalah juga bukti 
kekuatan uang. Di tingkat lain, seorang pejabat pemerintahan yang menjadi 
terdakwa karena kasus korupsi, bisa bebas, juga karena uang. Uang bisa membuat 
diri terpenjara dalam kebobrokan hidup. Bisa juga membuat diri merdeka dalam 
ketidakmerde-kaan orang lain atau 

[ppiindia] Kewajiban sebagai Hak

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

  MEDIA INDONESIA

  Sabtu, 26 Maret 2005

  OPINI

  Kewajiban sebagai Hak

  Putu Wijaya; Budayawan
 
  SEORANG dokter yang bekerja di perairan lepas pantai bercerita tentang 
pengalamannya di daerah terpencil. Ada pengalaman istimewa yang 
membelajarkannya tentang apa arti tugas. Etos kerja dalam mekanisme kehidupan 
kota yang dibawanya, ternyata berbeda dengan tata kerja masyarakat terpencil 
yang tidak diukur oleh 'prestasi'. Hasilnya ketegangan emosional yang nyaris 
merusak seluruh tugasnya.

  Dokter itu telah terdidik untuk melihat kerja sebagai tugas yang kemudian 
membuahkan hak, sehingga ia terbiasa memaknakan kewajiban adalah hak. Dengan 
konsep itu, ia menghitung hari kerja sebagai proyek yang harus digarap. Makin 
berhasil ia menggarap, akan semakin penuh haknya. Sementara penduduk setempat 
yang menjadi karyawan pembantunya, mengukur kerja dari kebutuhan emosionalnya. 
Kalau ada minat, mereka bekerja. Kalau merasa ada yang lebih penting, misalnya 
urusan keluarga, upacara, bahkan tidur dan ngobrol, mereka tak berpikir dua 
kali untuk tidak masuk kerja.

  Perbedaan cara memandang kewajiban yang kemudian juga berakhir pada 
perbedaan memaknai hak tersebut, mengandung potensi konflik. Apabila ingin 
membenarkan etos kerja sendiri, dokter itu mau tak mau harus memvonis penduduk 
sebagai orang-orang malas. Karena itu harus dipecat.

  Sebagai kelanjutannya, ia memikul tugas suci, untuk membelajarkan 
penduduk tata pikir baru, yang memaknai kerja sebagai hak. Dan, itu berarti 
akan membongkar tak hanya perilaku, juga konsep hidup. Dan, akhirnya akan 
berhubungan dengan masalah keyakinan.

  Tidak mungkin tidak, pasti akan sampai ke pertengkaran. Baik konflik 
dalam pengertian yang positif, yakni dinamika maupun sebaliknya konflik yang 
diakhiri permusuhan. Etos kerja yang berbeda menyebabkan ketidaknyamanan bagi 
kedua belah pihak. Dokter mendapat beberapa pengalaman lapangan yang pahit. Ia 
sempat kaget lalu marah, kenapa karyawan yang harusnya masuk setiap hari kerja 
itu tidak datang setiap hari. Bagi dokter pelanggaran komitmen itu sudah 
sabotase. Apalagi alasan yang diberikan oleh para pekerjanya sangat tidak 
relevan. Mereka mengatakan, lagi tidak ada selera bekerja, sedang ada urusan 
lain, mengurus keperluan keluarga, upacara, atau sama sekali tanpa alasan. 
Hanya sekadar kepingin tak masuk kerja saja. Buat mereka aneh kenapa tidak 
hadir mesti harus ada alasan?

  Dokter tersinggung dan gemas. Ketika ia marah, karyawan itu lebih marah 
dan siap hendak melakukan pembelaan fisik. Di situ dokter sadar, bukan hanya 
dalam etos kerja, dalam konsep 'bertengkar' pun mereka berbeda. Dialog yang 
bagi dokter adalah adu argumentasi mencari mana yang lebih benar, bagi para 
pembantunya hanya pendahuluannya memerlukan kata-kata, selanjutnya diselesaikan 
secara fisik. Dengan acuan yang tak sama itu, dialog hanya akan berarti 
perkelahian.

  Akhirnya dokter memutuskan hubungan kerja. Ternyata itu tidak menjadi 
masalah. Para pembantunya bersedia dipecat, hanya saja begitu diberhentikan 
mereka langsung memboyong tempat tidur inventaris kantor, sebab balai-balai 
yang pernah mereka tiduri itu sudah dianggap sebagai miliknya. Dokter tak 
berani mencegah, karena akan berarti perkelahian.

  Akhirnya dokter memaknai peristiwa itu sebagai pembelajaran buat dirinya. 
Seluruh konsep kerjanya ternyata sudah mengganggu harmoni penduduk yang sudah 
berjalan bertahun-tahun. Dokter melakukan introspeksi. Ia mendaur ulang 
pendapat dan kemudian sikapnya.

  Pemahamannya tentang etos kerja yang memandang kewajiban adalah hak 
dibuang. Ia mengembalikan kewajiban hanya sebagai beban yang setiap saat harus 
disiasati agar bisa dikurangi. Lalu ia mencoba menikmati itu sebagai 
kebahagiaan baru. Bukan prestasi yang harus diburu, karena itu hanya akan 
membuat frustrasi, tetapi harmoni. Hidup santai saja, menggelinding mengikuti 
suasana hati, sehingga tidak perlu ada kontraksi saraf.

  Setelah mengganti sudut pandang, dokter itu tidak mengalami tegangan 
emosional lagi.

  Ia mulai lebih akrab dengan penduduk. Mereka pun mendekat dengan 
sukarela, karena tidak merasakan lagi ada ancaman bahaya dari kehadiran dokter. 
Hubungan mulai mesra. Dialog pun terjadi tanpa dipaksa. Dokter menemukan bonus, 
ketika kacamatanya diganti. Apa yang dulu dianggapnya sebagai kemalasan, 
sebenarnya adalah sebuah protes. Penduduk bukan tak mau memosisikan kewajiban 
adalah hak. Itu bukan sesuatu yang baru buat mereka. Setiap hari, penduduk 
sudah melakukannya dalam kebersamaan kelompok di dalam segala hal. Mereka hanya 
tak ingin memberikannya nama yang keren.

  Dengan memberikan nama, berarti memberikan batasan. Dengan adanya 
batasan, kemudian jelas apa yang ya dan apa yang tidak. Hitam dan putih 
terpisah dalam lempengan yang berbeda. Padahal dalam kenyataan, hidup itu 
tumpang-tindih. Masyarakat modern menyebut orang yang tidak suka bekerja 
sebagai 

[ppiindia] Neo-Sontoloyo *)

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=192004kat_id=16
Kamis, 24 Maret 2005

Neo-Sontoloyo *) 
Oleh : 
Sri-Edi Swasono
Ekonom
Tentu banyak yang masih ingat Bung Karno menulis artikel di Panji Islam (1940), 
dengan judul Islam Sontoloyo. Saya mengagumi ketegasan Bung Karno mengkritik 
para kiai. Saya kutipkan lagi: ''Dari sebab perempuan-perempuan itu diajar oleh 
(kiai)nya dan musti bertemuan dan beromong-omong (tanpa ditutup mukanya), maka 
murid-murid perempuan itu musti 'dimahram dahulu' musti dinikahinya. 
Benar-benarlah di sini kita melihat Islam sontoloyo. Suatu perbuatan dosa 
dihalalkan menurut fiqh, tak ubahnya dengan merentenkan uang yang 'dihalalkan' 
ribanya dengan berpura-pura berjual-beli barang halalnya orang yang memain 
'kucing-kucingan' dengan Tuhan, halalnya orang yang mau mengelabui mata 
Tuhan''. Ini reaksi Bung Karno tentang pemberitaan surat kabar Pemandangan, 8 
April 1940.

Kita punya pengalaman dalam mengurus negara Pancasila ini, yang apabila Bung 
Karno masih hidup (apalagi beliau bersama Bung Hatta adalah pendekar paham 
sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme), saya akan minta Bung Karno mengecam 
pula absurditas nasional berikut ini sebagai absurditasnya Islam sontoloyo. 
Tulisan Revrisond Baswir berjudul 'Amerikanisasi BBM' (Republika, 21 Maret 
2005) dan tulisan Mubyarto berjudul 'Pemerintah Buta dan Tuli' (Kompas, 21 
Maret 2005) mendorong saya lekas-lekas menulis perihal berikut ini, yang sudah 
lama saya ancer-ancerkan. Kesontoloyoan ini akan saya kaitkan dengan Pasal 33 
UUD 1945 dan UU Migas 2001.

Neo-sontoloyo: menggusur ukhuwah
Kita masih ingat Prof Mubyarto dan Prof Dawam Rahardjo mengundurkan diri dari 
tim pakar Badan Pekerja MPR karena mereka berdua tidak bisa bekerja sama dengan 
para anggota tim pakar lainnya, terutama yang menginginkan mengubah Pasal 33, 
menghilangkan sukma utama dari Pasal 33 (juga sukma UUD 1945 secara 
keseluruhan) yaitu menghapus azas kekeluargaan. Memang niat para anggota tim 
pakar (selain Prof Mubyarto dan Prof Dawam Rahardjo) itu membuahkan hasil. 
Mereka mampu bicara 'mengagumkan' di depan terhadap para anggota Dewan Pekerja 
MPR, sehingga akhirnya Pasal 33 UUD 1945 diubah pada amandemen kedua UUD 1945.

Asas kekeluargaan hilang, ide demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran 
masyarakat daripada kemakmuran orang-seorang, produksi dikerjakan oleh semua 
untuk semua, penilikan oleh masyarakat dan seterusnya. Termasuk perkataan 
''koperasi'' yang ada pada Penjelasan Pasal 33, tidak diangkat ke dalam Pasal 
33 yang diamandemen. Ini menyalahi kesepakatan sebelas fraksi MPR yang telah 
berkonsensus bahwa hal-hal yang bersifat normatif dalam Penjelasan harus 
dipindahkan ke dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945. Para anggota Badan Pekerja 
(Ad-Hoc I) ibaratnya memang telah kesetanan, mediokritasnya mudah termakan oleh 
polapikir liberalistik, oleh simplisme empirik globalisasi yang penuh gebyar, 
atau memang mengidap libertarianisme, atau (moga-moga tidak) terjebak 
kompradorisme. Sebagai anggota MPR-FUG, saya menyaksikan dan meniti peristiwa 
itu.

Asas kekeluargaan yang anggun dan mulia, yang menyertai keseluruhan semangat 
perjuangan nasional menuju kemerdekaan Indonesia, dihapuskan oleh mereka secara 
gampang-gampangan. Sebagai gantinya ditonjolkan asas efisiensi ekonomis (yang 
tidak jelas tataran mikro dan makronya, hingga tidak jelas kaitannya dengan 
kesejahteraan sosial dalam dimensi societal welfare). Mudah dibaca rumusan 
Pasal 33 baru sesuai amandemen kedua, bahwa penggantian itu untuk memperkokoh 
libertarianisme mereka dan merupakan pereduksian istilah dan makna 
''Kesejahteraan Sosial'' Indonesia (sebagai judul BAB XIV UUD 1945 di mana 
Pasal 33 bernaung). Tuntutan kembali ke stelsel liberalisme kuno ini sebenarnya 
telah dihujat oleh perkembangan pemikiran ekonomi mutahir dengan istilah the 
end of laizzes-faire kedua (Sen-Etzioni-Striglitz-Kuttner cs).

Di mana kaitan asas kekeluargaan dengan kosontoloyoan? Saya tegaskan di sini, 
terutama bagi mereka yang mudah tergiring oleh pemikiran dengan istilah asing, 
bahwa paham usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan adalah suatu konsepsi 
orde ekonomi atau doktrin yang berdasar pada paham mutualism and brotherhood. 
Saya ingin mengulangi dan menegaskan di sini bahwa mutualism and brotherhood 
dalam bahasa agama kita kenal dengan istilah ukhuwah. Pada tingkat kelompok, 
kita hidup ber-ukhuwah kelompok, oleh karena itu kita mengenal ukhuwah 
Islamiyah bagi antarummat Islam; dan tentu kita boleh memperkirakan pula adanya 
ukhuwah antarummat Nasrani (yang mungkin boleh disebut ukhuwah Nasroniah). 
Demikian pula antarummat Hindu, antarummat Budha, dan seterusnya. 

Pada tingkat nasional, rasa kebersamaan dan asas kekeluargaan ini membentukkan 
suatu ukhuwah wathoniah. Selanjutnya sesuai dengan makna rahmatan lil alamin, 
pada tingkat mondial membentukkan suatu ukhuwah bashariah, yaitu suatu world 
mutualism and brotherhood, suatu persaudaraan atau solidaritas yang 

[nasional_list] [ppiindia] Pemimpin Pilihan Rakyat

2005-03-26 Terurut Topik Ambon
** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

REPUBLIKA

Sabtu, 26 Maret 2005

Pemimpin Pilihan Rakyat 
Oleh : Taufiq Effendi
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI



Di bawah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat Indonesia 
mulai Juni 2005 nanti akan melangsungkan pilkada guna memilih pemimpin 
daerahnya masing-masing, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kotamadya. 
Ada sebanyak 224 kepala daerah, terdiri dari 11 gubernur, 36 wali kota, dan 178 
bupati akan dipilih. Berbeda dengan pilkada sebelumnya, di mana kepala daerah 
dipilih oleh para wakil rakyat yang duduk di DPRD, pilkada mendatang akan 
menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Yaitu rakyat memilih pasangan calon 
kepala daerah yang diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik (parpol). 
Mekanisme pemilihan langsung ini, selain bertujuan untuk melahirkan pemimpin 
yang benar-benar legitimate karena dipilih langsung oleh rakyat juga 
dimaksudkan untuk menghindari derasnya arus praktik-praktik pembelian suara 
sebagaimana disinyalir banyak terjadi di lembaga legislatif atau parlemen.

Praktik pembelian suara memang bukan hal baru di kancah atau percaturan 
politik. Di Amerika Serikat ada skandal Watergate pada saat dilaksanakan 
pemilihan presiden tahun 1972. Di Indonesia-meskipun sulit dibuktikan- isu 
praktik pembelian suara ini juga santer terdengar dan marak dibincangkan. 
Barangkali, maraknya isu pembelian suara ini akibat langsung dari dibukanya 
kran kebebasan informasi di era reformasi yang begitu lebar, sehingga hampir 
tidak ada rahasia yang dapat disembunyikan atau ditutup-tutupi secara rapi. 

Tetapi boleh jadi juga, hiruk-pikuknya praktik politik uang berupa pembelian 
suara dalam berbagai even politik adalah akibat langsung dari mentalitas suka 
menerabas, yaitu cari jalan pintas yang penting tujuan tercapai-tidak peduli 
apakah cara yang ditempuhnya melawan hukum atau tidak. Tidak diketahui secara 
pasti mengapa seorang kandidat pemimpin, baik untuk menjadi kepala daerah, 
ketua organisasi politik, ketua organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain 
sebagainya begitu dermawannya membagi-bagikan uang kepada para calon pemilih. 

Memang, uang penting guna menunjang mobilitas. Tetapi, kalau uang itu digunakan 
untuk menaklukkan hati pemilih, maka yang demikian itu sejatinya adalah 
pelecehan terhadap eksistensi rakyat dikarenakan memposisikannya sebagai pihak 
yang dapat dibeli, terutama cita-citanya. Padahal cita-cita mereka begitu 
tinggi dan tidak dapat dinilai dengan uang, berapa pun jumlahnya. Karenanya, 
tidak berlebihan kiranya jika kemudian muncul istilah suara rakyat adalah suara 
Tuhan (vox populi, vox dei). Oleh sebab itu, keluhurannya harus dijaga secara 
ekstra ketat guna merawat agar predikat suara Tuhan tidak bermetamorfosis 
menjadi suara gemerincing uang (vox populi, vox argentums). Pada dasarnya, 
jabatan pemimpin yang diperoleh dengan membeli suara adalah cara-cara primitif 
seperti yang dilakukan oleh para agresor kolonialisme. Yang membedakan hanyalah 
alat penakluknya saja. Para agresor menggunakan kekuatan senjata guna 
menunduk-taklukkan penduduk di daerah jajahannya, sementara pemimpin yan
 g memperoleh jabatannya dengan cara membeli suara menaklukkan rakyat pemilih 
dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Jangan-jangan mereka nanti juga akan 
berperilaku sebagaimana agresor yang gemar memeras dan menindas! 

Menjadi pemimpin adalah amanat
Menjadi pemimpin adalah amanat. Oleh sebab itu prasyarat yang harus terpenuhi 
adalah kerelaan hati orang-orang yang dipimpinnya untuk menyerahkan dan 
mempercayakan segala urusannya yang berkaitan dengan upaya meraih 
kepentingan-kepentingan dan cita-citanya (politik, ekonomi, hukum, budaya, dan 
lain sebagainya). Untuk itu perlu disadari bersama bahwa menjadi pemimpin 
bukanlah alat untuk gagah-gagahan tetapi untuk mengabdi dan menjalankan tugas. 
Pemimpin berkewajiban untuk melayani bukan minta dilayani. 

Berhubungan dengan soal kepemimpinan ini, adalah menarik mencermati pidato 
politik Abu Bakar Sidiq, khalifah pertama dalam sejarah Islam, saat dirinya 
dinobatkan sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah Muhammad. Dalam 
pidatonya, beliau mengatakan, ''Wahai sekalian manusia, sekarang aku telah 
kalian angkat untuk memegang urusan kalian ini, padahal aku bukanlah orang 
terbaik di antara kalian. Karenanya, jika aku berjalan di atas kebenaran dan 
keadilan, maka dukunglah aku. Sebaliknya, jika aku menyimpang dari jalan 
kebenaran dan keadilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat 
kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, bila aku melanggar perintah-Nya dan tidak 
menjalankan sunah Rasul-Nya, maka janganlah kalian mengikuti aku.''

Pidato ini memberi pemahaman kepada kita bahwa pemimpin harus mempunyai 
kepribadian jujur dan komitmen (sidiq), dapat dipercaya dan bertanggung jawab 
(amanah), cerdas serta memiliki kepekaan yang tinggi (fatonah), dan mau membuka 
ruang dialog dengan rakyatnya (tabliq). Atau, seorang 

[ppiindia] Gebrakan SBY dalam Kependudukan

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104621

Gebrakan SBY dalam Kependudukan
Oleh Haryono Suyono 


Sabtu, (26-03-'05)
Awal minggu ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan 
gebrakan strategis dengan mengundang dan membuka Rapat Kerja Nasional Gerakan 
Keluarga Berencana tahun 2005 di Istana Negara, Jakarta. Sepintas Rakernas yang 
dibuka oleh seorang Presiden di Istana Negara adalah suatu hal yang biasa. 
Rapat kerja bidang kependudukan dan KB di masa lalu, pada masa Presiden HM 
Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, atau Presiden Megawati 
Soekarnoputri, juga dibuka oleh Presiden di Istana Negara. 

Namun, dalam suasana perhatian dunia terhadap masalah kependudukan 
sedang berubah bentuk seperti sekarang ini, gebrakan Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono mengandung harapan yang besar bahwa Indonesia bisa kembali menjadi 
pioner dalam mengembangkan pemberdayaan penduduk yang besar sebagai kekuatan 
dan modal pembangunan bangsa atau human capital. Indonesia yang miskin tetapi 
mempunyai penduduk dengan jumlah besar, apabila ditangani dengan 
pemberdayaannya secara terpadu, dengan mengundang partisipasi semua kekuatan 
pembangunan yang tinggi, akan menghasilkan sumber daya manusia bermutu yang 
besar jumlahnya. Kalau setiap warga menghasilkan sesuatu untuk bangsa dan 
negaranya, hampir pasti negara yang besar dan kaya raya ini akan muncul sebagai 
negara besar yang sejahtera, adil dan makmur. 

Indonesia dengan penduduk lebih dari 215 juta jiwa mempunyai 
potensi yang makin siap untuk membangun bangsanya. Dalam tigapuluh tahun 
terakhir, tingkat kelahiran dan tingkat kematian sudah menurun lebih dari 50 
persen. Sementara tingkat pertumbuhan penduduknya telah menurun dari angka 
diatas 2 persen menjadi hampir dekat dengan angka 1,2 - 1,3 persen. Bahkan 
beberapa provinsi, kabupaten dan kota telah menunjukkan angka sekitar 1 persen. 

Makin siapnya penduduk dikembangkan menjadi potensi pembangunan 
yang kuat itu ditandai pula dengan jumlah penduduk di bawah usia limabelas 
tahun yang relatif tidak bertambah lagi, yaitu sekitar 60-65 juta jiwa. Dengan 
jumlah tersebut, apabila kita bekerja dengan keras, tidak mustahil tingkat 
kesehatan dan tingkat pendidikan awal dari penduduk tersebut dapat diberikan 
dengan baik. Pemeliharaan kesehatan dan pendidikan dalam usia dini akan 
menghasilkan bibit-bibit unggul yang di kemudian hari dapat menghasilkan 
manusia unggul dan bermutu yang bisa diandalkan untuk melanjutkan pembangunan 
bangsa. 

Penurunan tingkat kelahiran dan kematian juga menyebabkan 
melejitnya usia harapan hidup dari angka di bawah 50 tahun menjadi 65 tahun 
atau lebih. Angka-angka itu relatif tinggi tetapi masih rawan untuk menurun 
kembali karena angka kematian ibu hamil dan melahirkan masih tinggi, sekitar 
300 per 100.000 kelahiran, atau sekitar 30-40 kali lebih besar dibandingkan 
angka yang sama di negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Gebrakan 
Presiden SBY dengan menggelar Rapat Kerja Nasional di Istana harus segera 
diikuti dengan kegiatan menggelar program kesehatan ibu dan anak secara 
besar-besaran di tingkat pedesaan. Program ini harus disiapkan dengan baik 
untuk menolong ibu muda yang karena kemiskinan dan pendidikan yang rendah 
terpaksa menikah pada usia muda. Karena kemiskinan dan tingkat pendidikan yang 
rendah, perkawinan usia muda biasanya tidak disertai dengan persiapan 
pengetahuan reproduksi yang matang, dan tidak pula disertai oleh kemampuan 
mengakses pelayanan kesehatan yang masih dianggap mahal. 

Karena sifatnya menolong ibu-ibu muda yang subur, maka tugas 
menyediakan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu, dan selama ini menjadi 
tanggung jawab Departemen Kesehatan dan jajaran Pemda terkait, harus dirombak 
dengan sistem baru yang menjemput bola sampai ke tingkat pedesaan dan 
pedukuhan. Jajaran pemerintah harus mampu memperhitungkan kebutuhan sesuai 
dengan jumlah penduduk usia subur dan mereka yang siap mengandung dan 
melahirkan. Begitu juga pemerintah daerah harus mampu memperhitungkan jumlah 
anak-anak yang rawan penyakit yang bisa mengganggu tingkat kematian yang sudah 
rendah. Andaikan aparat pemerintah tidak mencukupi, jajaran pemerintah harus 
tanggap dan dengan cepat mengembangkan pemberdayaan dan suasana yang kondusif 
bagi munculnya pelayanan mandiri yang bermutu dan murah. 

Dalam waktu yang bersamaan, jajaran Departemen Dalam Negeri, 
jajaran BKKBN, dan Pemerintah Daerah, dengan mitra-mitra kerjanya, harus dengan 
gesit mengembangkan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat, keluarga dan 
penduduk, makin gandrung terhadap pelayanan kesehatan dan KB secara mandiri. 
Masyarakat harus mendapat informasi dan edukasi yang mendalam, kalau perlu 
diberikan contoh dan pendampingan untuk hidup sehat dan ber-KB dengan teratur. 
Dengan advokasi yang jujur aparat pemerintah harus bisa mengembangkan suasana 

[ppiindia] Jenazah Sudah Lebih Sepuluh Hari, Menebarkan Aroma Parfum

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104657

Jenazah Sudah Lebih Sepuluh Hari, Menebarkan Aroma Parfum 


Sabtu, (26-03-'05)
Selama hampir tiga bulan menjalani tugas kemanusiaan di kota Banda 
Aceh pascabencana tsunami, akhir tahun 2004, banyak diperoleh pengalaman 
berharga -kadang kala muncul hal-hal unik yang sulit diterima akal sehat. 

Pengalaman yang cukup menarik bercampur sedih dan haru itu bukan 
saja ketika melakukan kegiatan evakuasi jenazah dan menguburkan mereka secara 
massal-tetapi banyak keanehan lain hingga membuat sebagian relawan kemanusiaan 
benar-benar tidak bisa tidur malam. 

Komandan Batalyon Arhanudes 11/BS Kodam I/BB, Letkol (Art) Haris 
Sarjana sebagai salah seorang pimpinan relawan kemanusiaan mengisahkan suka dan 
dukanya sebagai pemburu jenazah korban bencana tsunami yang meluluh-lantakkan 
sebagian wilayah pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). 

Tugas mengevakuasi jenazah korban bencana dalam skala besar seperti 
korban tsunami di kota Banda Aceh dianggapnya sebagai suatu pengalaman paling 
berharga yang belum pernah dilakukan di daerah lainnya di Indonesia sepanjang 
perjalanan sejarah karir militernya. 

Saya sulit melupakan pengalaman sebagai relawan evakuasi jenazah 
di Nanggroe Aceh dan semua pengalaman unik itu sudah dibukukan sebagai 
kenang-kenang bagi anak cucu, katanya. 

Menurut Haris, pertama kali menginjakkan kakinya di kota Banda 
Aceh, pertengahan Januari 2005, ia bersama anak buahnya melihat puluhan ribu 
jenazah manusia berserakan di mana-mana dibiarkan terlantar berhimpitan dengan 
reruntuhan bangunan dan puing tsunami. 

Setelah melihat kondisi kota Banda Aceh yang porak-poranda 
diterjang bencana, ia bersama anak buahnya memulai tugas kemanusiaannya dengan 
niat yang tulus -tanpa rasa jijik mengutip jenazah satu persatu diangkat ke 
atas kendaraan untuk kemudian dikuburkan secara massal. 

Kegiatan mengevakuasi jenazah berlangsung sekitar hampir dua bulan 
dengan target masing-masing regu setiap hari sedikitnya mengevakuasi 15 
jenazah-hingga pada akhir masa tugasnya di kota Banda Aceh, 26 Maret 2005, 
berhasil mengumpulkan 9.513 jenazah. 

Dengan peralatan evakuasi serba terbatas-seperti `body bag`, masker 
dan sarung tangan-namun semua regu relawan dari Batalyon Arhanudse 11/BS yang 
diturunkan ke lapangan setiap hari berhasil memenuhi target 15 jenazah. 

Korban Tewas


 Sebelumnya, Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan 
Bencana dan Pengungsi (PBP) Aceh di Banda Aceh menyebutkan masyarakat yang 
tewas saat tsunami lalu hampir mencapai 200.000 orang, sedangkan jenazah yang 
telah dievakuasi dan berhasil dikuburkan sebanyak 126.390 jenazah. 

Korban tewas terbanyak ditemukan di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, 
sedangkan dari dua daerah lainnya yang cukup parah terkena dampak bencana 
tsunami 26 Desember 2004, yakni Aceh Jaya dan Aceh barat banyak warga 
dinyatakan hilang. 

Total warga masyarakat yang dinyatakan hilang sampai akhir Maret 
2005 dilaporkan sebanyak 93.797 orang, sedangkan selamat yang hudup di kamp 
pengungsi tercatat 400.062 jiwa tersebar dari 20 kabupaten/kota di Provinsi 
Nanggroe Aceh. 

Untuk menampung para korban yang selamat dari maut tsunami, 
pemerintah telah selesai membangun sebanyak 845 unit barak dengan menampung 
56.600 jiwa (data 16 Maret 2005), 730 unit di antaranya telah digunakan. 

Kondisi kota Banda Aceh kini telah pulih kembali, setelah 
puing-puing tsunami berhasil disingkirkan, termasuk aktivitas kantor pemerintah 
sudah normal, setelah misi kemanusiaan dari negara asing hampir tiga bulan 
berada di Nanggroe Aceh. 

Mayat Melahirkan


Selama melakukan kegiatan evakuasi jenazah di Banda Aceh, pasukan 
TNI dari Arhanudse 11/BS Kodam I/BB juga menemukan berbagai keajaiban dari para 
korban, mulai dari jenazah ringan dan berat hingga menemukan jenazah hamil 
bugil mulai mengeluarkan jabang bayinya. Cerita aneh-tapi nyata itu ditemukan 
dari salah satu jenazah perempuan yang berbadan tambun pada saat ditemukan 
kondisi badannya masih terbungkus pakaian secara lengkap-walaupun sudah sepuluh 
hari tidak mengeluarkan aroma menyengat hidung. 

Anehnya, ketika tubuh jenazah itu didekati, para relawan mencium 
aroma harum serta ketika jenazahnya diangkat ternyata terasa cukup 
ringan-sebaliknya mereka juga menemukan jenazah cukup berat, sehinggat sulit 
diangkat tiga prajurit TNI. 

Walaupun jenazahnya sudah berhasil diangkat, namun anggota relawan 
TNI seperti sulit bergerak dan mereka sampai beberapa kali berputar-putar di 
sekitar lokasi penemuan jenazah tersebut, kata Letkol (Art) Haris Sarjana 
mengutip laporan anak buahnya. 

Dari berbagai hasil temuan itu, ia menyimpulkan entah kebaikan apa 
yang diperbuat semasa hidupnya, 

[ppiindia] Desentralisasi dan Demokratisasi Pendidikan di Era Otonomi Daera

2005-03-26 Terurut Topik Ambon

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/26/opi02.html

Desentralisasi dan Demokratisasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah 
Oleh Unggul Sagena

Pendidikan dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam 
membangun demokrasi, proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang 
merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi. 
Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah 
yang memegang peranan penting sebagai penggagas ghirah kebangsaan dan sekaligus 
sebagai founding fathers berdirinya republik ini. 
Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika 
berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh 
pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa 
(passive acceptance). Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 
tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang 
Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan 
memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-pemerintah (PP) maupun 
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, 
selain UU Sisdiknas itu sendiri.

Kebijakan Pendidikan
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang 
demokratis-kalau tidak dapat disebut liberal-ketika pada saat ini otonomisasi 
pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 
tentang Sistem Pendidikan Nasional, privatisasi perguruan tinggi negeri-dengan 
status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, 
sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan 
Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, 
juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. 
Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan 
insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa 
secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi 
kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) 
yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya. Dalam kondisi yang 
demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan negeri ini dihancurkan oleh 
kaum intelektualnya sendiri. Apa sebab, karena pendidikan nasional selama ini 
bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa. 
Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas, 
sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan 
pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan 
moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi pendidikan 
otoriter demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, 
mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini too much science too little 
faith, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa pendidikan 
otoriter tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era 
yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan 
perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 
22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 
dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru 
dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan 
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) 
serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. 
Implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada 
pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah 
pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional 
yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini 
secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.

Demokratisasi Pendidikan
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi 
dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan terutama perbaikan 
institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti 
pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung 
berbagai elemen demokrasi 

di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif 
terhadap pendidikan nasional.
Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain 
desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu 
Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita. 
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki 
et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual 
dibagi menjadi dua jenis. 
Pertama, desentralisasi kewenangan 

[ppiindia] Kostrad Bangun Markas di Papua

2005-03-26 Terurut Topik Ambon


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/26/nas05.html

Kostrad Bangun Markas  di Papua 

Jayapura, Sinar Harapan, 
Pangdam XVII/Trikora Mayjen TNI Nurdin Zainal mengungkapkan dalam waktu dekat 
Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) akan dibangun di Kabupaten 
Timika-Papua. Alasan Timika dipilih sebagai base camp Kostrad karena pesawat 
jenis C One Forty serta Hercules sudah bisa mendarat. Kalau suatu waktu ada 
pengerahan pasukan yang butuh waktu cepat, jalur udara dari Timika adah yang 
paling strategis. 
Pembangunan satuan Kostrad ini, menurut Nurdin kepada wartawan di Jayapura, 
Kamis (24/3), karena tiga batalyon yang sudah ada dan penambahan tiga batalyon 
organik yang sedang dibangun (Batalyon 754 di Wamena, Batalyon 755 di Merauke 
dan Batalyon 756 di Timika) dirasa belum cukup.
Sampai tahun 2014 nanti, masih akan ada tambahan batalyon di Papua, selain tiga 
batalyon organik yang sekarang dibangun dengan jumlah pasukan yang khusus. 
Untuk personel batalyon di Papua sendiri sebanyak  personel. 
Nantinya juga akan ada satuan pusat, yakni satuan kostrad di mana ada brigade 
dan di bawah brigade paling tidak ada tiga atau empat batalyon. Ditambah lagi 
kalau sudah ada Kostrad, biasanya ada resimen bantuan tempurnya dan juga ada 
satuan pelayan. 
Penambahan pasukan yang cukup itu diharapkan supaya Papua bisa melaksanakan 
pertahanan sendiri tanpa ada bantuan dari pusat. Untuk bisa mempertahankan 
pulau besar ini sendiri maka jumlah kesatuan yang ada sekarang yakni enam 
batalyon organik ditambah dengan Kostrad. Tetapi itu pun belum cukup, karena 
luas wilayah kita tiga setengah kali Pulau Jawa,kata Nurdin. Program ke depan 
akan ada cukup banyak satuan baru yang ada di Papua. 
Tetapi pembangunan pasukan seperti itu membutuhkan biaya sangat besar, 
sementara kondisi keuangan negara tidak cukup. 
TNI hanya dapat 34 persen dari kebutuhan minimal. Oleh karena itu, pembangunan 
kekuatan di Papua pun pasti disesuaikan dengan dana yang ada. 
Di sisi lain, menurut Nurdin, tidak akan ada pembentukan Kodam baru di Provinsi 
Irian Jaya Barat yang beribu kota di Manokwari. Kalau itu baunya pun tidak ada 
dan wacana pun tidak ada untuk pembentukkan Kodam baru di Irjabar,katanya 
Menurutnya, untuk Kodam di Papua hanya cukup satu saja, tetapi di bawah Kodam, 
yakni Korem dan Kodim perlu diperbanyak. (ded)
 
  
Copyright © Sinar Harapan 2003 

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] The Capitalist Age(1)

2005-03-26 Terurut Topik widyapati


The Capitalist Age(1)

By Shrii Prabhat Ranjan Sarkar

Both the warrior class and the intellectual class like to enjoy
material wealth, though their methods of accumulating material objects
are different. The capitalists/ business class, however, are more
interested in possessing material objects than enjoying them. Looking
at their possessions, or thinking about them, gives them a certain
peace of mind. So in the Age of Capitalism the practical value of
material goods is less than at any other time. They gradually become
inert both literally and in financial terms. This is the greatest
curse of the Commercial Age, because the less the mobility of material
goods, that is, the greater their stagnation in different spheres, the
more harmful it is for the common people. In the warrior and
intellectual Ages it is very rare for people to die of starvation
while grains rot in the warehouses. Although there is disparity of
wealth in the Warrior(2) and Intellectual Ages, warriors and
intellectuals do not kick others into a pit of privation, poverty and
starvation while they themselves enjoy their wealth. This is because
they see other people as tools to be used for the purpose of
exploitation, but do not see them as the wellspring of exploitation as
capitalists do. To a capitalist, the laborers/workers, the
warrior/military class and the intellectuals are not only tools to be
used for exploitative purposes, they are the wellspring of
exploitation as well.

The capitalists gain material objects of enjoyment through the
physical efforts of others; or directly through mental efforts; or
sometimes through such physical efforts, sometimes through mental
efforts, and sometimes through both simultaneously, according to the
situation. So in this respect the capitalists are similar to the
intellectuals. However, the difference is that when the intellectuals
acquire objects of enjoyment, they do not let others know that that is
their intention; they resort to various types of logic, quote from the
scriptures, fake indifference, and employ many other techniques. The
capitalists do not do such things. In this regard at least, they are
more straightforward than the intellectuals. They do not hide their
intentions, which are to accumulate an increasing number of objects of
enjoyment.

As intellectuals are to some extent guided by conscience, they do not
utilize their intellects solely to accumulate objects of enjoyment. If
they develop a greater degree of conscience or if their intellects
increase, they will often neglect to do this altogether. But this
never happens with capitalists, first of all because they are somewhat
lacking in conscience. And secondly, if any of them do have a bit more
conscience, they will satisfy it by making donations according to
their convenience, priorities or inclination, but they will never stop
accumulating objects of enjoyment. A capitalist with a conscience may
donate a hundred thousand rupees at a moment's notice, but while
buying and selling he will not easily let go of even a [single penny].

The consequences of accumulating material objects of enjoyment are not
the same for capitalists as they are for intellectuals, either.
Because they generally spend some time thinking about higher pursuits,
intellectuals do not ideate on objects of enjoyment. But capitalists
do. As a result they one day take the form of matter.

Capitalist Mentality

Whatever glory the capitalists gain, they gain at the risk of their
lives. In this regard they are definitely greater than the
intellectuals and may also be greater than the warriors. The
capitalists always keep in mind the possible ups and downs in life and
their personal profit and loss; thus they develop the capacity to
adapt to a wide variety of situations. They are neither especially
attracted to luxuries nor repelled by hardships. This is the key to
their success.

Capitalists are fighters, but their methods of fighting are different
from those of the warriors or even the intellectuals. Actually they
lack the powerful personalities of the warriors and are in fact the
opposite -- weak personalities. They do not hesitate to sell their
personal force, their society, their nation, the prestige of women, or
national welfare, which the warrior class would never do.
Intellectuals limit their fighting to the intellectual sphere, but
this is not exactly the case with capitalists. Although they also
fight intellectually, they do so only to make money. If an
intellectuals and a capitalist ever engage in a purely intellectual
fight, the intellectuals will win. But if the fight is between their
urges for financial gain, the capitalist will win; the capitalist will
lock the intellectuals' minds up in their iron safes.

Capitalists perceive the world through greedy eyes. They do not have
the capacity to correctly or fully understand worldly issues. They do
not understand anything except the economic value of things. Their
commercial outlook is not confined to the