[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA: -- "WERTHEIM AWARD" untuk JOESOEF ISAK dan,,GOENAWAN MOHAMAD.,,Upacara berlangsung pada tanggal 16 Des, di KBRI Den Haag.

2005-12-08 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA:



Kemis, 8 Desember 2005.


"WERTHEIM AWARD" untuk JOESOEF ISAK dan

GOENAWAN MOHAMAD.

Upacara berlangsung pada tanggal 16 Des, di KBRI Den Haag.


Pada akhir tahun 2005 yang bergejolak dan segera akan dilalui, kita 
masih dapat bergembira dan berbesar hati serta beroptimisme. Antara lain 
dengan akan disampaikannya WERTHEIM AWARD, oleh WERTHEIM FOUNDATION, 
kepada Joesoef Isak, pemimpin Penerbit HASTA MITRA, dan mantan Akting 
Sekeretaris Jendral Persatuan Wartawan Asia-Afrika (Afro-Asian 
Journalist Association, AAJA); dan kepada Goenawn Mohamad, Budayawan dan 
Senior Editor Majalah TEMPO.


Kedua tokoh di bidang publikasi tsb memperoleh penghargaan WERTHEIM 
AWARD, berhubung dengan sumbangan, jasa dan peranan mereka dalam 
perjuangan emansipasi bangsa Indonesia.
Halmana menunjukkan bahwa situasi bangsa kita, meskipun menghadapi 
begitu banyak kesulitan dan kendalan menuju suatu Indonesia Baru, yang 
berkepedulian terhadap Hak-Hak Azasi Manusia, terhadap hak-hak 
Demokrasi, Keadilan dan Kemakmuran, namun semangat dan usaha serta 
perjuangannya tak kunjung padam untuk merealiasi cita-cita kemerdekaan 
bangsa: KEADILAN,

KEMAJUAN dan KEMAKMURAN bagi semua.


Penyampaian WERTHEIM AWARD kepada Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad, 
akan berlangsung pada tanggal 16 Desember 2005, - mulai jam 15.00, di 
ruangan pertemuan Nusantara, KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA (KBRI) di 
Den Haag. Ini berarti bahwa penyerahan WERTHEIM AWARD kepada dua tokoh 
Indonesia tsb akan berlangsung di wilayah Republik Indonesia. Sama 
halnya ketika diluncurkannya buku Prof Dr Bob Hering, SOEKARNO FOUNDING 
FATHER OF INDONESIA, di KBRI Den Haag, tiga tahun yang lalu.

Wertheim Foundation menggunakan nama Wertheim, ini bukan suatu 
kebetulan. Dari perjalanan hidup beliau sebagai sarjana ilmu sosial yang 
mengenal Indonesia, negeri dan rakyatnya dari dekat, yang hidup bersama 
bangsa Indonesia selama belasan tahun, bisa disimpulkan bahwa Prof Dr 
W.F. Wertheim bukan saja mengenal Indonesia, tetapi ia cinta kepada 
negeri dan rakyatnya. Dengan sepenuh hati beliau memberikan sokongan 
pada perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai
kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Sesudah Indonesia mencapai kemerdekaan, beliau tetap meneruskan 
keterlibatan dan kepeduliannya terhadap perjuangan emansipasi bangsa 
Indonesia.

Wertheim adalah pemrakarsa didirikannya Komite Indonesia di Belanda, 
yang memprotes pelanggaran HAM di Indonesia oleh Orba. Dengan sepenuh 
hati beliau ambil bagian dalam kegiatan ilmiah dan kegiatan masyarakat 
yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia untuk bebas dari penindasan 
rezim Orba, untuk mencapai Indonesia yang demokratis dan bebas.


Di bawah ini adalah teks undangan (dalam bahasa Inggris, karena seluruh 
upacara akan berlangsung dalam bahasa Inggris), sbb:


*/INVITATION

The Board of the Wertheim Foundation invites you to attend the 
presentation of the Wertheim Award to the Indonesian authors and human 
rights activists Goenawan Mohamad and Joesoef Isak. They are awarded for 
their continuous struggle for emancipation in Indonesia and their 
ongoing support of the process during the Soeharto process and after.

The presentation will take place on December 16, 2005 in the auditorium 
of the Embassy of the Republic of Indonesia, Tobias Asserlaan 8, The 
Hague, and starts at 15.00  Hrs in the afternoon.

Mailing address: Secretary Ibrahim Isa: /_/[EMAIL PROTECTED]/ 
/**//**/_/ ; 020-6974 794
Chairman Coen Holtzappel: 071 - 568 08 11 /*


*/* * *
Agenda
Opening of the meeting by Coen Holtzappel, chairman of the Wertheim 
Foundation
A word of welcome by the Indonesian Embassy
Keynote spech by Prof. Dr. Frans Hüsken
The presentation of the Awards

Short break (15 minutes)

Short presentation by the two prize winners and Saskia Wirenga on 
emancipation
Panel discussion on the opinions and subjects of the dicussants
Closing words

Reception /*


*/* * *
/*
Menurut sumber yang diterima dari Wertheim Foundation, bagi yang menaruh 
perhatian dan berkenan untuk hadir pada upacara tsb, dipersilakan 
berhubungan dengan alamat Wertheim Foundation tsb diatas. * * *










 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Lin

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - 'PEMBUNUHAN MASAL 65' adalah PELANGGARAN H.A.M TERBESAR yang BELUM DITANGANI NEGARA

2005-12-09 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA*

*-*

*Sabtu, 10 Desember 2005.*

*'PEMBUNUHAN MASAL 65' adalah PELANGGARAN H.A.M TERBESAR yang BELUM 
DITANGANI NEGARA*

 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON ASEAN'S 'CONCERN' FOR HUMANRIGHTS

2005-12-13 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON ASEAN'S 'CONCERN' FOR HUMANRIGHTS --* 
*Tuesday, 13 Dec. 2005.*

*---*

*Being ASEAN citizens*

*ASEAN summit opens with sights on Myanmar*

*Kuala Lumpur summit takes ASEAN to higher plane *

*ASEAN moves toward charter, human rights on agenda*

-

*Being ASEAN citizens*

When leaders of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) 
gather in Kuala Lumpur this week for their traditional tˆte-…-tˆte, they 
would do well to browse a regional poll conducted by the Asia News 
Network (ANN) on the question of a common ASEAN identity.

Formed in 1999, the ANN comprises 13 Asian dailies of which /The Jakarta 
Post/ is a founding member. The poll was conducted by the six-ASEAN 
based newspapers in the ANN.

The poll shows that some four decades after ASEAN's formation in 1967, a 
distinctive regional spirit is emerging among peoples of the region.

Though we may be decades away from declaring ourselves "citizens of 
ASEAN", the perceptions reflected in the poll are an encouraging, and 
unexpected, derivative of an organization whose annual highlight is a 
flamboyant forum of humbug and ceremony.

Among the highlights of the survey was that over 60 percent of 
respondents said the peoples of ASEAN identified with one another. A 
desire for stronger integration was also evident as 45.4 percent of 
those polled said ASEAN was moving too slowly in this endeavor.

What is even more surprising is the progressive views of respondents 
regarding integration, with 45 percent saying ASEAN should adopt a 
common currency.

While ASEAN officials should be given some acknowledgment for imbuing 
the ASEAN spirit, we do not believe that it should take credit for this 
growing fraternity.

This sense of ASEAN identity emerged not as a result of any particular 
initiative of the regional grouping; it blossomed in spite of what the 
organization did not do.

For all the celebrated declarations and treaties, ASEAN rarely inspires 
the hearts and minds of Southeast Asians. On the contrary, the politics 
of self-preservation has often created an ignoble grouping, which is 
spiteful of grassroots organizations that seek to unite across borders 
for a common cause.

This growing sentiment of shared values -- respect for human rights, 
mutual prosperity, freedom from oppression -- exceeds any commonality 
leaders of the 10 ASEAN member states have when they sit down in Kuala 
Lumpur.

Today we find networks reaching almost all ASEAN states working together 
to achieve mutual goals. The most vibrant of these have rarely received 
support from the formal ASEAN structure, and many have in fact been 
looked upon with suspicion. Yet, despite the hurdles set before them, 
these civil society organizations continue to grow. And it is they who 
add value to what we perceive as ASEAN.

Despite adopting "Functional Cooperation" as a third plane to accompany 
ASEAN security and economic cooperation, this initiative in the social 
sphere has not changed the reputation of ASEAN being an elitist endeavor.

The business community has certainly become an active participant in the 
ASEAN grouping, but its primal motivation is simple profit. One does not 
need a supra-structure such as ASEAN to propel profit-seeking ventures.

Perhaps the most compelling lesson from the ANN survey is that the 
evolution of a true ASEAN identity is not a question of "if", but "when".

What officials must understand is that a community does not stem from 
trade regimes, security cooperation or tariff reductions. A community, 
be it five people or 500 million, merges together when they share common 
values.

Values that evolve from a common history, a root ancestry, similar 
languages. Proximity by itself is insufficient to found a shared vision.

These are elements that the ASEAN leaders must also take into account 
when neighboring communities come together in the inaugural East Asia 
Summit.

A signature on a document is the most feeble grounds to form a true 
community.

It is time for ASEAN officials, ministers and leaders to become more in 
tune with the values of their people. An ASEAN citizenry based on a 
pillar of shared ethical beliefs, which requires no parade of leaders, 
promulgate its virtues. ***

---

*ASEAN summit opens with sights on Myanmar*

KUALA LUMPUR (AFP): Southeast Asian nations opened their annual summit 
Monday with a focus on Myanmar, putting pressure on the increasingly 
isolated regime to stop stalling on democracy and human rights.

As Asia grapples with a host of issues including bird flu, high oil 
prices and the rising economic power of China and India, the 10-nation 
ASEAN bloc opened two days of wide-ranging talks by taking aim at the 
Myanmar junta.

Diplomats said the country's secretive military rulers had agreed to 
accept an ASEAN visit to check o

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- Prof. Dr. WERTHEIM, ---- JOESOEF ISAK DAN --- GOENAWAN MOHAMAD (1)

2005-12-17 Thread I. Bramijn
/*IBRAHIM ISA dari BIJLMER*/

/*--*/

/*Minggu, 18 Desember, 2005*/


/*Prof. Dr. WERTHEIM,  JOESOEF ISAK DAN --- GOENAWAN MOHAMAD (1)*/


/Apa sebab nama-nama yang tidak asing lagi seperti : - - - Wertheim, 
Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad - - - , dideretkan begitu ? Memang 
tiga nama itulah yang sering disebut dalam pertemuan pada hari Jum át 
sore anggal 16 Desember di KBRI Den Haag. /


/Pasalnya: "Wertheim Foundation" tahun 2005 ini memutuskan untuk 
memberikan Wertheim Award kepada Joesoef Isak, Pemimpin Penerbit HASTA 
MITRA, dan kepada Goenawan Mohamad, budayawan, dan senior Editor 
Mingguan TEMPO, berhubung dengan keterlibatan, peranan dan sumbangan 
mereka terhadap perjuangan EMANSIPASI BANGSA INDONESIA. Kongkritnya di 
bidang perjuangan untuk demokrasi, untuk bebebasan menyatakan pendapat, 
kebebasn pers dan HAM./


/Sore hari Jum át kemarin itu, usai sembahyang Jum át, ruangan NUSANTARA 
KBRI penuh sesak dengan para sahabat dan relasi orang-orang Belanda 
maupun dari kalangan masyarakat Indonesia, serta kalangan pers. 
Kira-kira duaratus orang sih ada. Mereka menghadiri berlangsungnya 
penyerahan WERTHEIM AWARD 2005, kepada Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad. /


/Mengapa diadakakan di KBRI Den Haag? Banyak orang menganggapnya sebagai 
"surprise". Sebagai suatu 'kejutan'. Kejutan yang positif, yang 
menggembirakan dan yang disambut hangat. Pertama-tama hal ini 
mencerminkan perubahan besar Reformasi yang telah berlangsung di 
Indonesia. Meskipun, perlu ditandaskan dengan terus terang, bahawa pada 
saat ini gerakan Reformasi dalam poisisi jalan di tempat. Tokh perlu 
dinyatakan bahwa peristiwa berlangsungnya penyerahan Wertheim Award 
untuk Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad di KBRI Den Haag, adalah berkat 
telah terjadinya Reformasi di Indonesia. Tidak salah untuk mengatakan 
bahwa situasi ini mencerminkan bahwa Reformasi di Indonesia --- 
betapapun ada hasilnya, meskipun belum seperti apa yang diharapkan oleh 
kaum Demokrat dan Reformator. /


/Kedua, --- ini disebabkan oleh kebijaksanaan kepala perwakilan, dalam 
hal ini kepala perwakilan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den 
Haag. Sejak gerakan Reformasi, pada periode pemerintahan Presiden 
Abdurrahman Wahid, ketika dubesnya adalah Abdul Irsan, di KBRI Den Haag 
telah berlangsung peluncuran buku Prof. Bob Hering, --- Sukarno, Father 
of the Nation. Ketika berlangsung peringatan Seabad Bung Karno, KBRI dan 
Dubes Irsan langsung terlibat dalam kegiatan itu bersama masyarakat 
Indonesia di Belanda. /


/Faktor Ketiga, ialah telah terjalinnya hubungan baik dan wajar antara 
KBRI Den Haag dengan masyarakat Indonesia. Dimulai ketika Abdul Irsan 
menjabat sebagai Dubes, dan kemudian selanjutnya oleh Dubes Mohamad 
Jusuf, yang dilanjutkan oleh Kuasa Usaha  
Jauhari Oratmangun dan Minister Councellor, Wirana Mulya beserta Staf 
KBRI lainnya. /


/Demikianlah, karena adanya tiga faktor ini maka penyampaian Wertheim 
Award kepda Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad bisa berlangsung di KBRI 
Den Haag./


/Semoga dengan ini Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag, mantap 
langkah-lngkah selanjutnya menuju KBRI sebagai WISMA INDONESIA yang 
BENERAN./


/Untuk memperoleh gambaran lebih lanjut tentang situasi pada penyerahan 
Wertheim Award tsb, mari ikuti pidato Prof. Dr Frans Hüsken, salah 
seorang anggota pengurus Wertheim Foundation, yang sore hari itu, 
membacakan pidato 'keynote speechnya', seperti di bawah ini:/


/*Opening speech Wertheim awards 2005 (Den Haag, KBRI, 16 Dec. 2005)*/

/*Willem Frederik Wertheim: Convictions, Commitments and Concerns*/


/*Prof. Dr. Frans Hüsken*/


/Today is a remarkable occasion as it is for the first time that the 
Wertheim awards are being handed over during an official ceremony on 
Indonesian territory. I am pretty sure that during his life Wertheim 
never set foot on these premises of the Indonesian Embassy at Tobias 
Asserlaan: during his life, he was never invited and even if the Embassy 
would have invited him, as a strong critic of the Orde Baru government 
Wertheim would as a matter of principle have rejected the invitation./


/Things have changed over the years: Indonesia has embarked on the 
trajectory of Reformasi and even if this is still a bumpy road, I am 
convinced that now he would gladly have come here. Wertheim still lived 
to see the fall of the Soeharto regime and had high hopes for the future 
of a more democratic Indonesia./


/But who was Willem Frederik Wertheim, better known in Indonesia as 
Paman Wim? I will try to briefly sketch his life and his achievements to 
explain why there is something like the Wertheim Award that will be 
handed over to two prominent Indonesian citizens. I am sure that most of 
you know very well who he was and what he has done and that gives me the 
opportunity to limit myself to the painting Wertheim with short 
brushstrokes for those of you who are less familiar with him./


/First of all, his 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- Prof. Dr. WERTHEIM,---- JOESOEF ISAK DAN --- GOENAWAN MOHAMAD (2)

2005-12-18 Thread I. Bramijn
/*IBRAHIM ISA dari BIJLMER*/

/**/

/*Senin, 19 Desember, 2005*/

/*Prof. Dr. WERTHEIM, JOESOEF ISAK DAN --- GOENAWAN MOHAMAD (2)*/

/Dalam tulisan yang pertama berjudul sperti diatas PROF. DR WERTHEIM, 
JOESOEF ISAK dan GOENAWAN MOHAMAD (1), salah seorang anggota pengurus 
Wertheim Foundation, Prof. Dr. Frans Hüsken, menandaskan:/

/(Terjemahan dalam bahasa Indonesia): /


/"Hari ini -- suatu peristiwa yang luar biasa, karena adalah untuk 
pertama kalinya Hadiah Wertheim disampaikan dalam suatu upacara resmi di 
wilayah Indonesia. Saya yakin sekali bahwa selama hidupnya Wertheim 
tidak pernah menginjakkan langkahnya di tempat KBRI ini, di Tobias 
Asserlaan: Selama hidupnya, beliau tidak pernah diundang bahkan 
andaikata pun Kedutaan mengundang beliau, maka sebagai pengeritik keras 
pemerintah Orde Baru, bertolak dari prinsip beliau akan menolak undangan 
itu./


/Dalam beberapa tahun ini hal-ihwal telah mengalami perubahan: Indonesia 
telah bertolak pada jalan Reformasi, meskipun jalannya masih tidak rata, 
saya yakin bahwa beliau dengan gembira akan datang kemari. Wertheim 
masih hidup dan sempat menyaksikan jatuhnya rezim Soeharto dan punya 
harapan tinggi untuk haridepan Indonesia yang lebih demokratis." 
Demikian Prof. Dr Frans Hüsken, dalam keynote speechnya pada pembukaan 
upcara pemberian WERTHEIM AWARD 2005 kepada Joesoef Isak dan Goenawan 
Mohamad, pada tanggal 16 Desember 2005 yang lalu./


/Sesudah menerima PIAGAM WERTHEIM AWARD di tangan, yang disampaikan oleh 
Ketua Wertheim Foundation, COEN HOLTZAPPEL, -- Joesoef Isak mengucapkan 
'speech of acceptance-nya'. Seperti diketahui, pada upacara hari itu, 
digunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Pidato Joesoef Isak 
aslinya di buat dalam bahasa Indonesia, lalu ada terjemahan bahasa 
Belanda dan bahasa Inggris. Meskipun yang digunakan hari itu sebagai 
bahasa pengantar adalah bahasa Inggris, namun, Joesoef Isak minta izin 
pada hadirin, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Belanda, untuk 
membacakan pidatonya dalam bahasa Belanda. Karena bagi Joesoef ia lebih 
fasih berbahasa Belanda ketimbang berbahasa Inggris./


/Pada bagian ke-dua tulisan sekitar penyerahan Wertheim Award tsb 
disampaikan di bawah ini 'speech of acceptance', yaitu tanggapan Joesoef 
Isak berkenaan dengan terpilihnya ia oleh WERTHEIM FOUNDATION, sebagai 
pemenang Wertheim Award, 2005, sbb:/

/*JOESOEF ISAK:*/

/*-*/

/*Jum át, 16 Desember 2005.*/

/*Yang terhormat Pimpinan Wertheim Foundation,*/

/*Yang terhormat pimpinan dan staf KBRI di Den Haag,*/

/*Bung Goenawan dam rekan-rekan ku yang baik,*/


/Hadirin yang terhormat, secara fisik setelah operasi jantung tiga/

/minggu yang lalu kesehatan saya belum sepenuhnya pulih kembali, akan 
tetapi hati dan otak saya (soul and mind) pada saat ini segar bugar dan 
saya sangat berbahagia berdiri di sini bertatap muka dengan 
saudara-saudara sekalian dalam peristiwa yang punya arti istimewa bagi 
diri saya ini./

/Wertheim Award yang saya terima hari ini bersama kawan baik saya bung 
Goenawan Mohammad sangat membanggakan dan merupakan kehormatan besar 
bagi saya, dan justru karena itu saya segera merasa perlu menyatakan di 
sini bahwa penghargaan ini tentu bukanlah semata-mata bagi diri saya 
seorang diri. Dalam hal ini saya sangat sadar bahwa perjuangan untuk 
kebebasan menyatakan pendapat bagi individu maupun bagi masyarakat 
adalah suatu kerja-kolektif oleh insan-insan yang seazas dan 
sependirian. Khusus mengenai kegiatan Hasta Mitra yang bergerak di 
bidang penerbitan, pertama-tama ingin saya sebut di sini jasa rekan saya 
almarhum Hasyim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer, selanjutnya jasa para 
pekerja yang tekun dan setia pada cita-cita Hasta Mitra, antara lain 
almarhum sdr. Kasto dan sdr. Sugeng. Empat nama yang saya sebut itu 
adalah bekas tapol Pulau Buru. Saya juga tidak akan melupakan para 
pemuda dan mahasiswa, begitu pun toko-toko buku kecil yang berani ikut 
memikul risiko dalam mengedarkan buku-buku yang kami terbitkan akan 
tetapi selalu dilarang beredar oleh pemerintah Suharto./

/Ada satu hal yang ingin saya garis-bawahi di sini, yaitu bahwa Award 
ini inherent mengandung pengakuan bahwa di zaman Republik Indonesia yang 
baru berdiri sejak 1945 terdapat cacat hitam yang sangat merendahkan 
martabat manusia. Dalam lebih dari separoh usia republik yang enam-puluh 
tahun ini, telah berlangsung otoriterisme militer di bawah pimpinan 
jendral Suharto, akan tetapi kita semua tahu bahwa negeri-negeri yang 
menamakan diri "the free world"  justru menganggap periode Suharto itu 
adalah periode demokrasi di Indonesia karena jendral itu berhasil 
menumbangkan kekuasaan Soekarno yang katanya pro-komunis. Award yang 
saya terima ini saya anggap sebagai koreksi terhadap manipulasi politik 
dan kekisruhan penilaian sejarah itu. Selanjutnya Award ini mengandung 
pengakuan bahwa di tengah-tengah kekuasaan facsisme militer telah lahir 
dan tumbuh kekuatan 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA: "CAKAP-CAKAP SANTAI" -- Bagaimana di MALAYSIA - bagaimana di INDONESIA

2005-12-19 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA: "CAKAP-CAKAP SANTAI"*

*--*

*Senin, 19 Desember 2005.*

*Bagaimana di MALAYSIA - bagaimana di INDONESIA*

Siang ini kami, --- istriku Murti, putri kami yang sulung Tiwi dan si 
bungsu Yasmin dengan putrinya Anusha, -- mengundang keluarga Brian 
Boslaugh /Dini Maharani dan putranya Christopher (6 bulan), dan nenek 
mereka, Sumi,untuk makan siang bersama. Biasalah kita orang-orang 
Indonesia ini, kalau jumpa sahabat lama atau belajar kenal dengan teman 
baru, tidak akanketinggalan acara makan bersama. Berpotret bersamapun 
ketika sedang mengelilingi meja makan, -- penuh dengan masakan Murti 
yang sudah sejak kemarin sibuk didapur menyiapkannya. Brian Boslaugh, 
sahabat baru kami itu, adalah orang Amerika asal Seatle, USA. Sedangkan 
Dini, istrinya, adalah cucu sahabat kami Sumi, yang sekarang ini 
berdomisili di Amsterdam, tetangga kami.


Brian Boslaugh bekerja di suatu perusahaan minyak AS yang sedang ada 
kontrak di Kuala Lumpur. Sudah satu setengah tahun mereka di KL. 
Sebelumnya mereka di Indonesia beberapa waktu lamanya. Sekarang mereka 
dalam perjalanan ke kampung halaman Brian di Seatle, untuk merayakan 
Hari Natal dan Tahun Baru bersama orangtua dan saudara-saudara Brian.


Ku ajukan pertanyaan kepada pada Brian, bagaimana rasanya bekerja di 
Malaysia. Apa dia merasa cocok di KL. Cocok katanya. Pertanyaanku 
berikutnya: Apa bedanya Malaysia dengan Indonesia. Jawab Brian: Di 
Indonesia, kemanapun kita pergi kita akan jumpai orang-orang Indonesia. 
Di sana sini bisa jumpa dengan orang bulé. Tetapi di KL, tidak demikian. 
Orang Bumiputera, penduduk aslinya, seperti minoritet layaknya. Yang 
banyak kelihatan adalah orang Tionghoa, orang Tamil dan orang-orang 
Eropah. Mula-mula agak heran mendegar ceritera Brian ini. Kemudian 
teringat, memang penduduk Malaysia terdiri dari tiga bangsa. Bangsa 
Melayu, bangsa Tionghoa dan bangsa Tamil. Ya, begitulah komposisi 
demografi Malaysia. Tetapi tidak terduga bahwa orang-orang Melayu 
merupakan minoritas. Paling tidak itu apa yang dilihat dan dialami oleh 
sahabat baru kami keluarga Brian Boslaugh.


Satu hal yang juga menarik pengamatan pandai Brian terhadap dua negeri 
Malaysia dan Indonesia. Kegiatan orang-orang di Malaysia, kata Brian, 
adalah 'cari duit'. Bagaimana menjadi lebih kaya. Tetapi di Indonesia, 
katanya, kegiatan utama rakyat biasa ialah bagaimana 'survive'. 
Bagaimana melanjutkan hidup yang miskin ini.

Memang itu salah satu perbedaan yang menyolok antara Malaysia dan 
Indonesia. Aku katakan bahwa bangsa Indonesia adalah tergolong bangsa 
yang pandai 'survive'. Hal itu dari zaman ke zaman. Brian sepenuhnya 
setuju. Memang, kata Brian, orang Indonesia itu melakukan kegiatan hidup 
sepanjang hari, dari siang sampai jauh malam. Dari bahan-bahan yang 
tidak berarti, dari bahan-bahan bekas, orang-orang Indonesia mengubahnya 
menjadi benda-benda yang berguna di dapur, maupun untuk menghiasi rumah. 
Semacam melengkapi 'interior design'. Begitu rajin dan penuh inovasinya 
bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang rajin, kata orang 
Amerika bernama Brian ini.


Tentu saja aku gembira dan bangga mendengarnya. Karena memang penilaian 
itu benar adanya. Bukan dilebih-lebihkan. Maka sering aku bingung dan 
heran mengapa sampai ada orang-orang Indonesia yang malu jadi orang 
Indonesia. Memang ada benarnya. Indonesia sering disebut sebagai negeri 
yang ngetop di bidang korupsi, di bidang mencuri kekayaan negara. Tetapi 
siapa yang mencuri kekayaan negara? Jangan main pukul rata dong. Bangsa 
kita, rakyat kita, bukan bangsa maling dan bukan rakyat pencuri. Yang 
mencuri dan korupsi itu adalah segelintir orang yang merebut kekuasaan 
negara dan pelbagai bidang lembaga kenegaraan, teristimewa pada periode 
Orba. Menggunakan kedudukan mereka untuk melakukan kegiatan kriminal 
mencuri dan meggelapkan kekayaan negara, memperkaya diri dan kliknya. 
Sejenak aku ingat apa yang diceriterakan Jusuf Isak baru dua hari ini 
saja, ketika dia berkunjung ke Amerika belum lama. Di Boston, AS, kata 
Jusuf, dia 'ngeri' melihat ulah-pulah dan kehidupan para 'mahasiswa' 
Indonesia yang katanya studi di situ. Mereka tidak tinggal di asrama 
atau flat-flat, seperti mahasiswa lainnya. Tetapi tinggal di 
mansion-mansion. Tempat tinggal orang-orang kaya. Punya mobil lebih dari 
satu. Rumahnya ada halamannya, dsb. Pokoknya hidup mewah. Siapa mereka 
itu? Mereka itu adalah putra-putra dan putri-putri orang-orang kaya 
Indonesia, yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi negara, sipil dan 
militer, dan para pengusaha Indonesia yang menjadi kaya dalam priode 
rezim Orbanya Suharto.


Kukatakan kepada Brian: Sering orang mengatakan bahwa Indonesia ada di 
puncak dalam kelompok negeri-negeri yang korup. Praktek korupsi di 
Indonesia sudah membudaya. Ungkapan itu tidak salah, kataku. Tetapi 
jangan dikira negeri maju dan yang punya taraf hidup tinggi seperti 
negeri Belanda ini, sudah bebas dari korupsi. Wah, disini, di Belanda, 
korupt

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- PROF. DR WERTHEIM, JOESOEF ISAK dan,,GOENAWAN MOHAMAD (3),,

2005-12-23 Thread I. Bramijn
  /IBRAHIM ISA dari BIJLMER/

//

/Jum 'at, 23 Desember 2005./


/*PROF. DR WERTHEIM, JOESOEF ISAK dan*/

/*GOENAWAN MOHAMAD (3)*/

/**/


/Pagi ini kuteruskan lagi tulisan (ke-3) sekitar PENYAMPAI AN "WERTHEIM 
AWARD 2005" kepada Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad, yang berlangsung 
di KBRI Den Haag, pada tanggal 16 Des 2005. /

/Sebelum dilanjutkan, sedikit intermezo. Intermezo tetapi penting. Baca 
saja: /


/Beberapa hari ini, sejak kedatangan Joesoef Isak ke negeri Belanda, 
kesibukan belum mereda. Antara lain karena Joesoef Isak mondok di rumah 
kami, di Haag en Veld 76, Amsterdam. Suatu hal yang menyenangkan bagi 
kami sekeluarga. Terus terang, baru pertama kali ini Joesoef Isak 
bermalam di rumah kami. Padahal ia sering sekali datang ke negeri 
Belanda. Biasanya jika ke Amterdam ia mampir dan bermalam di rumah Zus 
Els T. Kali ini, untuk beberapa hari Joesoef juga bermalam di Zus Els T. /


/Selama beberapa hari itu, sejak Joesoef Isak mondok di rumah kami, 
sampai ia berangkat ke Jakarta kemarin sore; keberadaannya di rumah aku 
manfaatkan betul untuk bertukar fikiran dengan Joesoef mengenai 
Indonesia. Tentang seribu satu macam hal. Karena, aku mengenalnya sejak 
tahun enam-pluhan, banyaklah ceritera kami berkisar sekitar saat ketika 
Joesoef memainkan peranan aktif mempersiapkan Konferensi Wartawan 
Asia-Afrika dan kemudian menggantikan Jawoto sebagai Sekretaris Jendral 
PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika), karena ketika itu, -- Jawoto 
diangkat Bung Karno menjadi dubes RI di RRT. /


/Dalam 'kongko-kongko' kami itu, aku terutama mendengar (lagi) 
ceritera-ceritera Joesoef sekitar saat Suharto merebut kekuasaan negara 
(1965-'66) dari Presiden Sukarno, segera sesudah terjadinya G30S. 
Bagaimana Joesoef kemudian dipenjarakan Orba selama lebih dari 10 tahun 
tanpa proses pengadilan apapun; tentang situasi di penjara, dll. Aku 
manfaatkan benar kesempatan ini untuk bertukar fikiran mengenai situasi 
Indonesia, situasi kini dan haridepannya. Pembicaraan kami terutama 
mengenai situasi Indonesia kini dan mendatang, dan ide-ide dan visi Bung 
Karno. Bahwa visi Bung Karno tentang Indonesia dan dunia, pada pokoknya 
masih relevan./


/Kami bertukar fikiran mengenai ide-ide Bung Karno sebagai bapak pembina 
bangsa. Tentang ide-ide beliau mengenai persatuan dan kesatuan bangsa. 
Mengenai visi Bung Karno sekitar "The New Emerging Forces" dan "The Old 
Established Forces" , yang agak umum kurang dimengerti oleh para 
pendukung Bung Karno sendiri. Terutama tentu oleh para penentang ide 
Bung Karno itu yang dengan sengaja memberikan interpretasi keliru dan 
bahkan memutar balikkan samasekali. Dengan demikian hendak menunjukkan 
seolah-olah Bung Karno itu adalah seorang pemimpin dan negarawan yang 
'radikal' dan menjalankan politik yang 'avontur' dan 'kekiri-kirian' . 
Kami bicara dan bertukar fikiran mengenai pandangan dan visi Bung Karno 
mengenai situasi Indonesia dan kedudukan Indonesia di tengah- tengah 
pergolakan dunia ketika itu, mengenai apa pandangan Bung Karno tentang 
Konferensi Bandung dan Gerakan Non Blok./


/Suatu ketika, ditengah percakapan kami, aku bertanya kepada Joesoef: Di 
Indonesia sekarang ini siapa yang bisa disebut sebagai benar-benar 
mendukung ide-ide dan visi Bung Karno, serta, ---ini lebih penting --- 
yang memahaminya , bersedia serta pandai mentrapkannya pada situasi 
dewasa ini di Indonesia. Dengan senyum kelakar ia membenarkan jawabanku 
sendiri, sbb: Kecuali Joesoef Isak sendiri, masih sulit untuk menemukan 
orang lain di Indonesia yang benar-benar memahami dan mendukung ide-ide 
dan visi Bung Karno./


/Tentu tidak ketinggalan kami bertukar fikiran mengenai konspirasi-baru, 
atau, mungkin lebih tepat dikatakan suatu 'ofensif- angin sakal' 
belakangan ini ditujukan terhadap Bung Karno, dengan terbitnya buku-buku 
Giebels, Dake dan Fic serta ulah GOLKAR memberikan gelar baru untuk 
memulas imago buruk mantan Presiden Suharto. Kami simpulkan bahwa 
peristiwa tsb tidak kebetulan. Itu adalah suatu realisasi sesuatu 
konspirasi dalam dan luarnegeri yang direncanakan./


/Suatu waktu nanti akan kusinggung lagi dalam tulisanku kelak sekitar 
percakapan-ku dengan Joesoef Isak mengenai pelbagai hal yang mungkin 
menarik dan ada gunanya diketahui pembaca./


/* * */


/Sekarang ini aku masih harus meneruskan publikasi mengenai ACCEPTANCE 
SPEECH Goenawan Mohamad, kemudian nanti pidato pembukaan ketua Wertheim 
Foundation, Coen Hotlzappel./


/Dalam bagian (2) dari rentetean tulisan berjudul "Prof. Dr. Wertheim, 
Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad", telah disampaikan 'acceptance 
speech' Joesoef Isak ketika ia menerima Wertheim Award, pada tanggal 16 
Des 2005 di KBRI, Den Haag. /


/Joesoef menekankan arti penting keberanian dalam berlawan terhadap 
setiap gejala dan macam represi terhadap kebebasan berbicara dan 
kebebasan pers. Bahwa setiap tanda kompromi dalam bentuk 'selfcensor' 
adalah gejala kelemahan yang samasekali tidak akan mengubah wa

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- IN MEMORIAM,,Soewarno Warno (Bowo/Ali)

2005-12-25 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA*

*---*

*25 Des 2005*


*IN MEMORIAM *

*Soewarno Warno (Bowo/Ali)*


Kemarin, hari Sabtu malam Minggu tanggal 24 Des 2005, ketika seluruh 
keluarga kami, sedang kumpul, -- suatu kebiasaan keluarga kami untuk 
kumpul-kumpul pada Hari Natal/Tahun Baru -- menantu kami, Amir Hendradi, 
menerima tilpun pada HP-nya, memberitakan kabar duka, bahwa Warno, 
sering dipanggil ALI, juga dikenal dengan nama Bowo, telah meninggal di 
rumah sakit Dortmund dalam usia 65 tahun. Ia telah lama mengidap 
penyakit gula yang kemudian menjadi serius dengan terjadinya komplikasi.


Warno meninggalkan dua orang anak, seorang putri, Kartika Warno, dan 
seorang putra, Viktor Warno, masing-masing, 20 dan 13 tahun.

Viktor masih belajar di sekolah dan Kartika menempuh studinya di 
perguruan tinggi, jurusan bahasa Spanyol di Jerman.


Warno, adalah seorang sahabat yang ringan tangan dan aktif dalam Forum 
Masyarakat Indonesia Dortmud dan Sekitarnya (FMID), sebuah perkumplan 
masyrakat Indonesia yang aktif di bidang budaya, sosial, seperti 
belakangan ini dalam pengumpulan dana untuk membantu korban Tsunami dan 
Pakistan. Ketika dalam rangka memperingati Hari Nasional 17 Agustus 
2005, FMID menyelenggarakan malam kebudayaan, Warno dengan antusias 
turut aktif di dalamnya. Ia tidak absen dalam kegiatan-kegiatan FMID 
baik yang bersifat budaya, sosial maupun lain-lainnya. Warno juga sering 
sekali menyediakan tempat tinggalnya untuk pemondokan kepada 
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang karena baru datang, memerlukan 
pemondokan sementara.


Warno dilahirkan di Gorang Gareng, Kabupaten Madiun, pada tanggal 12 
April 1940. Pada tahun 1963 Warno berangkat ke Eropah Timur untuk 
melanjutkan studi di bidang ekonomi.


Para sahabat dan handai turut berdukacita dengan kepergian Warno, serta 
merasa kehilangan seorang sahabat yang aktif dalam kehidupan masyrakat 
Indonesia di Dortmund dan sekitarnya; menyatakan belasungkawa 
sedalam-dalamnya kepada keluarga Warno di tanah air, khususnya kepada 
putra-putrinya : Kartika dan Viktor.


Semoga arwah Warno diterima Tuhan Y.M.E. di sisi Beliau.


Kepada para sahabat dan handai yang berkenan menghubungi keluarga 
almarhum, silahkan mencatat alamat di bawah ini:


Kartika Warno

Hubertus Str 11

D-44789 Bochum, Jerman.

Tel. +49 (0)234 5895 575; HP +49(0)179 7783 481


* * *







 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 28.12.05

2005-12-28 Thread I. Bramijn
*--*

*IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 28.12.05

--

Life is an onion* - The Jakarta Post Editorial

Troops withdrawal from Aceh to complete on Thursday

What political economy? *

---
*Life is an onion* - The Jakarta Post Editorial

They say one can separate the pessimists from the optimists by asking
them to describe a half-filled glass: Is the glass half-empty or half-full?

But daily existence is never so absolute. Even in the darkest hours
things are rarely all good, or all bad.

Instead, it is better to think of life's journey as an onion -- we peel
it away one layer at a time, and sometimes we weep.

It may be a bit premature for the customary end-of-the-year editorial
reflection. And one is certainly forthcoming. But we feel it necessary
to provide readers with a little lift a few days ahead of the year's
turn, given the slew of yearly roundups in the media that have
incessantly focused on the doom and gloom of 2005.

Sometimes in their profession -- one which is still maturing in this
country -- journalists fixate on the traditional precept that bad news
is good news.

The daily toil of being witness to injustices, the pilfering of natural
resources, the abuse of power, hardens the heart and darkens the mind.
Eventually, many journalists come to seen nothing but a vista of
half-empty glasses.

While we -- in our service to our readers -- continue to be critical in
our ceaseless effort to uphold the public's interests, we too have at
times been guilty of pessimism.

One can be a skeptic, but there is no reason to be a cynic. That is not
to say we do not realize the hardships of the past 12 months. But life,
after all, is hard.

Hope is what keeps us looking for a brighter day, and the challenge is
to keep that hope alive.

We encourage the nation to remain hopeful; for our children, and for the
belief in a democratic way of life that the people of Indonesia have
struggled so painfully to construct.

The latter and early parts of the year are filled with religious
significance for people of many faiths. Appropriately, this is a time to
count our blessings. Ironically, it is the small miracles that occur
behind the gloomy headlines which provide a spring for humanity.

Amid the continued pain of the tsunami survivors, there are stories of
families rebuilding their lives. Alongside tragedies of violence, there
is confidence in a sustained peace in Aceh. And between the tales of
greed and corruption, there are displays of overwhelming charity and
belief in the struggle to create good governance.

Instead of the autumn of defeat, let us embrace the final four days of
2005 as, in the words of one poet, "Sweet spring ... the year's pleasant
king."

Even if the winds of spring can be furious, hope still blooms, allowing
us to build a better tomorrow.

Perhaps providing hope is a goal we should all strive for in the coming
year. Perhaps that is a New Year's resolution this newspaper will also
seek to pursue.

Providing good news does not imply seeing the world through rose-colored
glasses. It need not gloss over life's grievances. Instead, it is a way
to provide a balanced look at the daily existence of 220 million
Indonesians who subsist on both sorrow and joy.

It is about telling stories of common acts that require uncommon bravery.

If there are those few among us who can go on with life despite the
overwhelming tragedies they have faced, it is then the duty of the rest
of us to build on all that was good in 2005.

The spirit of this nation will be to pick up the pieces and move forward
with the determination that things can get better.

Let us be somber without being gloomy. ***

*Troops withdrawal from Aceh to complete on Thursday**

LHOKSEUMAWE, Aceh (AP): Indonesia was preparing to pull the last of
24,000 troops from tsunami-ravaged Aceh province on Thursday -- a key
step in a peace accord to end three decades of fighting with separatist
rebels -- the military said.

Lt. Col. Eri Soetiko said Wednesday that 3,353 Indonesian soldiers were
scheduled to leave from the port town of Lhokseumawe on three navy ships
and two air force transport planes within 24 hours.

The announcement came one day after the Free Aceh Movement rebels said
they had disbanded their military wing, paving the way for their
participation in local elections next year.

e Aceh national army is now part of civil society," said rebel commander
Sofyan Daud, effectively ending the separatist insurgency that has
killed at least 15,000 people since 1976.

"We are entering a political era now," he said, days after the group
finished handing in all of their self-declared 840 assault rifles,
rocket launchers and handguns. "We do not need weapons anymore."

Peace efforts picked up speed after a magnitude 9 earthquake and
resulting tsunami struck the area on Dec.

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Untuk 2006 , dst -TERUSKAN PERJUANGAN!,,Alternatif lain tak ada!

2005-12-30 Thread I. Bramijn
/*Kolom IBRAHIM ISA*/

/*---*/

/*30 Desember 2005*/


/*Untuk 2006 , dst -TERUSKAN PERJUANGAN!*/

*/Alternatif lain tak ada!/*


/Adalah suatu kebiasaan, kebiasaan yang baik, suatu tradisi bangsa 
merdeka yang unggul, pada setiap akhir tahun, dikala berada diambang 
tahun baru, melakukan pemikiran kembali. Merenungkan, menganalisis dan 
menarik kesimpulan yang diperlukan. Hal itu diperlukan demi mencari 
jawaban terhadap soal maha besar yang ada di hadapan nasion dan negeri 
kita: -- /


/Kita ini sedang berada dalam situasi yang bagaimana? Adakah alasan 
untuk mempertahankan optimisme realis dan positif? Ataukah membiarkan 
saja diri diseret ke jurang pesimisme fatal yang meggerowoti semangat 
dan jiwa bangsa. Jangan sekali-kali dilupakan bahwa dari masa ke masa, 
bangsa ini tidak pernah berhenti mendambakan dan memperjuangkan 
kebenaran, kemajuan, keadilan dan kemakmuran bagi setiap warga. Oleh 
karena itu dirasakan perlu untuk berulang kali dan untuk kesekian 
kalinya bertanya pada diri sendiri: Jalan apa yang hendak di tempuh oleh 
bangsa Indonesia. /


/Sebagai insan berakal: Kita selalu dikejar dan dipaksa oleh keadaan 
untuk melakukan pemikiran kembali. Jadi, bukanlah sesuatu formalitas 
belaka. Bukan sesuatu yang dilakukan karena latah disebabkan oleh 
keinginan untuk tidak kelihatan ketinggalan. Bukan pula karena hal itu 
tokh b i a s a dilakukan setiap tahun. Kiranya perlu ditegas-tegaskan 
dan dicamkan sendiri bahwa melakukan pemikiran ulang, hal itu, memang 
karena diperlukan. Jelas, supaya bangsa dan negeri ini tidak menjadi 
bangsa yang 'nrimo saja', agar tidak mandek, tidak 'jalan ditempat'. 
Tetapi sebaliknya, agar terus mempertahankan semangat MAJU TERUS PANTANG 
MUNDUR. /


/Mempertahankan terus jiwa berjuang dan berlawan, adalah keharusan, 
karena nyatanya alternatif lain tidak ada! Juga karena sudah tertanam 
kesadaran bahwa perubahan ke arah perbaikan tidak bisa digantungkan pada 
seorang 'genius' atau 'seorang pahlawan' bahkan tidak bisa diharapkan 
dari kedatangan seorang 'ratu adil' yang hanya terdapat di dalam 
dongeng-dongeng dan ilusi indah. Seperti kata seorang budayawan besar 
Tiongkok, Lu Shin, seorang jenius itu hanya bisa lahir dari 'lahan' yang 
kondusif dan cocok. Dan lahan itu adalah keaktifan masyarakat, keaktifan 
bangsa untuk melakukan pemikiran kembali, untuk dengan pandai menarik 
pelajaran dari masa lalu dan kini./


/Menoleh ke belakang sejenak: /


/Dibandingkan dengan zaman Orba, dimana kekuasaan rezim mantan Presiden 
Suharto adalah absolut, di kala hak-hak azasi manusia warganegara 
Republik ini dengan sewenang-wenang , disepelekan, diinjak-injak dan 
dinistakan, di saat ketika Golkar sebagai kendaraan politik Jendral 
Suharto, kukuh pada pelana kekuasaan rezim otoriter yang berlangsung 
lebih dari 30 tahun -- nyatanya --- dewasa ini ada perubahan, suatu 
perubahan yang tidak bisa dianggap kecil./


/Perlu pula dicatat dan sejenakpun tidak boleh dilupakan, bahwa rezim 
Orba ditegakkan dengan pengorbanan lebih dari sejuta rakyat Indonesia 
yang tidak bersalah, atas dasar pembantaian dan pemusnahan kekuatan 
politik Kiri dengan sasaran utama penggulingan pemerintahan Presiden 
Sukarno. Orba ditegakkan sebagai suatu orde kekuasaan yang paling 
anti-demokratis di sepanjang sejarah Republik Indonesia. Tahun 2005 di 
pelbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri telah dialngsungkan 
peringatan Peristiwa Pembantaian Masal 1965, telah diajukan tuntutan 
adil untuk meluruskan sejarah dan merehabilitasi jutaan korban Peristiwa 
1965. Namun, hingga sekarang ini fihak yang berwewenang, yaitu 
pemerintah, masih berbuta tuli terhadap tuntutan adil ini. Juga perlu 
dicatat dan disesalkan, bahwa sementara kalangan bangsa yang biasa 
disebut terpelajar, cendekiawan dan elite, masih mengambil sikap seperti 
'burung unta yang menyembunyikan kepalanya di dalam pasir' terhadap 
peristiwa pelanggaran besar HAM pada tahun 1965 ./


/* * * * * /


/Betapaun, disadari atau tidak, --- situasi pasca Suharto sekarang ini, 
adalah lebih baik. Dilihat dari struktur dan praktek negara hukum, 
keadaan sekarang besar berbeda dengan masa periode Orba. Meskipun 
disadari pula bahwa, apa yang telah dicapai tsb masih jauh dari yang 
diagendakan oleh gerakan Reformasi. /


/Masih jauh! Namun, betapapun tidak bisalah orang menutup mata terhadap 
realita dewasa ini, bahwa masyarakat kita, bangsa ini sudah 'menghirup' 
kembali serta pula tampaknya pandai 'memanfaatkan' perubahan yang 
terjadi. Sayangnya muncul suasana dimana orang menjadi 'terbiasa' dengan 
keberadaan hak demokratis untuk dengan bebas menyatakan pendapat serta 
mempublikasinya. Menjadi 'terbiasa' pula dengan kebebasan pers, dengan 
hak-hak elementer setiap warga untuk secara kolektif mengorganisasi 
diri, membentuk partai politik yang dikehendaki, dsb. /


/Unsur-unsur demokrasi yang elementer tsb dianggap dan diyakini 
keberadannya sebagai suatu keharusan dalam masyarakat yang berbhineka, 
pluralis, tra

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BILJMER -- Prof Dr Wertheim, Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad (4)

2006-01-02 Thread I. Bramijn
/*IBRAHIM ISA dari BILJMER*/

/*--*/

/*Senin, 02 Januari 2006.*/

/*Prof Dr Wertheim, Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad (4)*/

/Penyampaian Wertheim Award 2005 untuk Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad 
(16 Desember 2005 di KBRI, Den Haag, Nederland), sudah berlangsung 
hampir 3 minggu yang lalu. Joesoef Isak sudah pulang kembali ke 
Indonesia. Demikian pula halnya dengan Goenawan Mohammad. Tetapi dua 
tokoh tsb akan kembali lagi ke Nederland, Den Haag pada pertengahan 
bulan ini. Mereka diundang untuk hadir pada festival sastra 
internasional WINTERNACHTEN di Den Haag, yang dimulai pada tanggal 20 
Januari s/d 22 Januari 2006. /


/Telah disiarkan dalam rubrik ini bahan-bahan yang bersangkutan dengan 
penyerahan Wertheim Award 2005 kepada Joesoef Isak dan Goenawan Mohamad. 
Kali ini dipublikasikan pidato pembukaan Ketua Wertheim Foundation, Dr 
Coen Holtzappel. Seperti diketahui seluruh acara peyerahan Wertheim 
Award tsb dilakukan dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu pidato Dr Coen 
Holtzappel juga diucapkan dalam bahasa Inggris./


/Sungguh benar apa yang dinyatakan oleh Coen Holtzappel pada permulaan 
pidatonya :/


/"Sudah empat puluh tahun berlalu sejak Indonesia mengalami peristiwa 
yang paling gelap dalam sejarah kemerdekaannya; yang saya maksudkan 
ialah pembantaian 1965. Apa yang terjadi masih merupakan suatu misteri 
dan di Indonesia belum merupakan subyek diskusi yang menyeluruh/

/sebagai suatu refleksi ilmiah dan intelektual. Peristiwa tsb masih 
merupakan titik terlemah dalam proses emansipasi, sesuatu yang orang 
ingin lupakan atau abaikan. Nama Wertheim akan selamanya berkaitan 
dengan peristiwa-peristiwa tsb karena beliau telah mendedikasikan sisa 
hidupnya untuk menemukan kebenaran, menpublikasikannya dan berjuang 
untuk keadilan bagi para korban, keluarga dan keturunan mereka. Namun, 
betapapun pentingnya subyek tsb untuk 40 tahun lamanya peng-abai-an 
intelektual bagi para historikus dan sosiolog, hal tsb bukan subyek pada 
pertemuan kita hari ini"./


/Selanjutnya pembaca dipersilahkan mengikuti sendiri pidato Dr Coen 
Holtzappel dalam bahasa Inggris, seperti yang beliau ucapkan hari itu./

/* * */

/COEN HOLTZAPPEL/

/Chairman WERTHEIM FOUNDATION/

/ 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Tanggapan atas RENCANA PENERBITAN BUKU BARU SEJARAH NASIONAL INDONESIA

2006-01-03 Thread I. Bramijn
Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 03 Januari 2006.

Tanggapan atas RENCANA PENERBITAN BUKU BARU SEJARAH NASIONAL INDONESIA
===
Setiap yang berkepedulian terhadap penulisan sejarah Nasional Indonesia 
(yang baru) tentu akan menyambut rencana penerbitan buku Sejarah 
Nasional Indonesia. Menurut berita yang diforwardkan oleh sahabat saya 
Heri Latief (terlampir di bawah) penulisan baru itu akan terdiri dari 8 
jilid.

Kita semua menanti-nantikan, waktu terbitnya buku sejarah baru, yang 
dipandu oleh sejarawan Taufik Abdullah. Semoga lancar.

Satu pertanyaan: Mengapa sejarawan Taufik Abdullah perlu menjelaskan 
bahwa buku baru sejarah Nasional Indonesia itu, bukan untuk membenarkan 
kekeliruan dalam buku sejarah periode Orba? Mudah-mudahan bukan karena 
khawatir dan takut pada kekuatan politik Orba yang memang masih kuat dan 
berpengaruh besar sampai sekarang ini, termasuk di bidang budaya dan 
ilmu pengetahuan.


Belum apa-apa kok sudah pasang ancang-ancang. Kalau menulis buiku 
sejarah tentu akan ada penulisan kembali -- bila dianggap di masa lalu 
penulisan tsb keliru atau ada kekurangannya. Lagipula bukankah semua 
tahu bahwa di zaman Orba, penulisan sejarah itu benar-benar dari 
pandangan penguasa semata, yang sengaja memelintir fakta-fakta sejarah 
untuk mengabsahkan kekuasaan ketika itu.

Kalau penulisan sejarah Nasional Indonesia yang baru tanpa ada niat 
untuk mengkoreksi penulisan yang palsu dan keliru pada masa Orba, lalu 
apa keperluannya penulisan yang sampai 8 jilid itu. Mudah-mudahan para 
sejarawan dan cendekiawan yang terlibat dalam penulisan sejarah nasional 
Indonesia yang baru, tidak mengulangi kekeliruan para cendekiawan 
Indonesia yang melakukan penulisan sejarah semasa Orde Baru, seperti 
a.l. Nugroho Notosusanto. Sejarawan ini jelas melakukan penulisan 
sejarah sesuai selera penguasa.

Salah satu batu ujian apakah para penulis buku sejarah nasional 
Indonesia yang baru itu nanti berani obyektif dan tidak a-priori, - 
itu bisa kita baca bagaimana mereka menulis mengenai gerakan 
kemerdekaan, peranan masing-masing parpol dan alirannya. Bagaimana 
peranan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Natsir, Alimin, Tan Malaka, Amir 
Syarifuddin dsb.

Tentu ujian yang paling berat bagi para penulis, ialah bagaimana mereka 
menulis tentang peristiwa pembantaian masal 1965 (pelanggaran HAM 
terbesar dalam sejarah Indonesia). Bagaimana tentang keabsahan Orde Baru 
dan masalah pelanggaran hukum dan 'impunity' yang terjadi semasa Orde 
Baru secara keseluruhan. Juga bagaimana mereka menulis tentang gerakan 
Reformasi, peranan tentara, khususnya AD dalam Dwifungsi dalam proses 
perjuangan bangsa Indonesia untuk menegakkan negara hukum Indonesia. 
Singkatnya bagaimana mereka menulis tentang politik, ekonomi dan budaya 
serta visi Orde Baru.

Aneh juga, masalah HAM misalnya baru kemudian ditambahkan. Jadi pada 
mulanya belum difikirkan tentang masalah HAM dalam sejarah Indonesia.

Sayang dalam tim penulis misalnya, tidak terdapat sejarawan generasi 
muda yang berani dan lugu, seperti Aswi Adam. Juga sayang tidak mengikut 
sertakan wartawan sesepuh seperti Joesoef Isak dan budayawan Goenawan 
Mohamad.

Last but not least, alangkah baiknya andaikata budayawan Pramudya Ananta 
Toer termasuk dalam tim pendukung. Siapa tidak tahu bagaimana cintanya 
dan kepedulian Pram terhadap sejarah Indonesia.

Mungkin komentar ini terlalu pagi, kita tunggu saja bagaimana nanti.

* * * * *

*Heri Latief wrote: *

Buku Sejarah Baru Bukan untuk Betulkan Sejarah
  
  http://kompas.com/utama/news/0601/03/171506.htm
  Jakarta, SelasaRencana penerbitan 
delapan jilid buku Sejarah Nasional yang akan memaparkan perjalanan peradaban 
dari masa prasejarah hingga reformasi bukanlah suatu upaya untuk membenarkan 
kekeliruan yang ada pada enam jilid buku Sejarah Nasional yang terbit pada masa 
Orde Baru.

Pernyataan tersebut diungkapkan editor utama buku tersebut sejarawan Taufik 
Abdullah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, Selasa (3/1).

"Buku itu ’totaly new’, sesuatu yang berbeda tidak usah dibandingkan. Jika buku 
yang dulu bertolak dari sistematika rapi maka yang sekarang lebih menyerupai 
ensiklopedia," kata Taufik yang baru saja merayakan ulang tahun ke-70.

Lebih lanjut Taufik mengatakan agar buku yang dahulu tetap ada dan menjadi 
salah 
satu buku yang perlu dilihat. "Secara umum, buku ini akan mencoba menceritakan 
semua hal secara keseluruhan misalnya jika buku yang dulu seolah-olah lebih 
banyak berkisah tentang Jawa maka diharapkan yang ini akan lebih lengkap tidak 
hanya Jawa," katanya.

Dia menguraikan contoh, buku itu antara lain akan bercerita tentang 
terbentuknya 
Pulau Sulawesi dan mengupas alasan tentang Sulawesi yang memiliki flora dan 
fauna berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Taufik yang menolak berbicara lebih lanjut tentang sisi politis buku tersebut 
terutam

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SBY--'Tritura' dan Manuver Politik Anti-Komunisme

2006-01-06 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA*

*-*

*Sabtu, 7 Januari 2006.  -- 
*

*SBY--'Tritura' dan Manuver Politik Anti-Komunisme *

Apakah karena dari jarak kejauhan, yang menjadi penyebab maka tidak 
nampak bahwa di Indonesia saat ini ada "bahaya Komunisme". Soalnya: 
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, baru-baru ini 
mencanangkan tentang "bahaya Komunisme" di Indonesia.

Pernyataan SBY itu, dikeluarkan dalam rangka peringatan 'Tritura' 
(Kompas, 5/1/06). "Tritura" adalah tiga agenda politik Jendral Suharto 
ketika memulai kup merangkak (1965-1966-1967)terhadap Presiden Sukarno. 
Secara formal "Tritura" dicetuskan oleh KAMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa 
Indonesia, yang menjadi kendaraan politik tentara (AD). Sasaran utamanya 
adalah kekuasaan Presiden Sukarno. Tujuannya tunggal: Menggulingkan 
Presiden Sukarno. "Tritura", adalah tiga pokok program politik Jendral 
Suharto yang terdiri dari: 1) Membubarkan PKI; 2) Membersihkan kabinet 
(Presiden Sukarno) dari elemen G30S dan 3), Menurunkan harga-harga. 
Dipusatkan maka "Tritura" adalah agenda politik tentara (AD) di bawah 
Jendral Suharto, untuk merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno.

Gawatnya ialah bahwa menurut SBY "Tritura" masih "relevan". Sebenarnya 
yang dimaksudkan oleh SBY masih relevan dari "Tritura" tsb, ialah 
hakikat politik anti-komunisme. Hakikat anti-komunisme sebagai selubung 
manuver-politik untuk merebut kekuasaan politik dari Presiden Sukarno. 
Karena ketika itu, siapapun tahu yang memiliki kekuasaan (formalnya) 
adalah Presiden Sukarno. Tetapi, siapa tidak tahu bahwa yang lebih riil 
memiliki kekuasaan lebih besar dan yang lebih dominan di bidang 
ekonomi,politik dan militer adalah yang memegang bedil, adalah tentara, 
kongkritnya AD di bawah Jendral Suharto. Tidak bisa diartikan lain, bila 
penguasa mendengungkan kembali "Tritura", maka itu adalah suatu manuver 
politik agar yang berkuasa dibenarkan mengambil tindakan yang 
bagaimanapun, demi "menghadapi bahaya Komunisme". Manuver politik SBY 
ini tidak banyak beda dengan kebijaksanaan presiden AS, G.W.Bush, yang 
mulai melanggar hak-hak sipil warganegara AS, dengan dalih "perang 
melawan terorisme".

Cobalah diingat-ingat kembal: Pada periode Demokrasi Terpimpin Presiden 
Sukarno, PKI dan kekuatan politik Kiri lainnya boleh dibilang hanya 
secara politik berhegemoni. Namun, kekuasaan riil ygan dimiliki PKI dan 
kekuatan Kiri, hanyalah sekadar menteri pupuk bawang di kabinet Presiden 
Sukarno, dan jabatan sebagai gubernur, bupati, walikota atau lurah di 
pelbagai propinsi. Yang riilnya berkuasa dari pusat sampai ke desa-desa 
tetap adalah tentara, AD. Maka, fihak militer (AD) melalui doktrin 
'Dwifungsi', adalah lembaga yang paling berkuasa di Indonesia sampai 
periode Orba, dan yang hingga kini masih ada sisa-sisanya/

Bisakah ucapan seorang presiden Republik Indonesia yang dipilih langsung 
oleh pemilih, dianggap seris, bila beliau seenaknya saja bicara tentang 
masih relevannya "Tritura" dan "tentang ancaman Komunisme"? Peringatan 
SBY itu lebih mirip dengan permainan politik belaka.

Mengapa timbul pertanyaan demikian itu? Sederhana saja. Karena ucapan 
itu dilontarkan oleh SBY di saat ketika korupsi masih merajalela. Di 
saat lembaga pengadilan masih belum menangkap koruptor kakap yang paling 
gedé, paling kriminil . Di saat ketika pembunuhan kejam atas pejuang HAM, Munir, belum 
terungkap dan dalang di belakang pembunuhan politik tsb masih ditutupi.

Ketika jumlah penganggur bertambah terus, harga-harga kebutuhan hidup 
sehari-hari rakyat kecil melaju dengan pesatnya, di saat celah antara 
yang kaya dan yang miskin semakin menganga. Disaat biaya pendidikan bagi 
anak-didik sampai ke mahasiswa meningkat terus, halmana tidak mudah 
tercapai oleh rakyat biasa. Di saat ketika bencana alam Tsunami masih 
belum teratasi dengan baik. Disaat bencana banjir-baru melanda pelbagai 
tempat; di mana lagi-lagi rakyat kecil yang jadi korban. ---

Adalah di saat seperti itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
mencanangkan tentang "bahaya Komunisme" yang "mengancam" negeri kita. 
Mungkin akan dikatakan bahwa pernyataan bliau itu sesuai dengan TAP MPRS 
No XXV/1966. Bukankah TAP MPRS tsb jelas-jelas melanggar hak-hak 
warganegara yang sudah ditetapkan oleh UUD RI? Sudah lupakah pernyataan 
mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengusulkan agar TAP MPRS No 
XXV/1966 tsb dibatalkan, karena melanggar hak-hak azasi manusia dan 
bertentangan dengan UUD RI? Lagipula MPRS saat itu (1966) adalah MPRS 
yang sudah "dibersihkan" dari anggota-anggota yang beraliran Kiri dan 
mendukung Presiden Sukarno! MPRS ketika itu sudah tak punya legitimitas 
samasekali, karena sudah direkayasa di tengah-tengah suasana teror 
pembantaian masal warganegara yang tidak bersalah. MPRS ketika itu sudah 
menjadi alat kekuasaan di tangan Jendral Suharto.

Selama SBY menjabat fungsi kepresidenan Republik Indonesia, bisa dicatat 
pernyataan tentang 'bahaya Komunisme' yang mengancam bangsa kita, adalah 
suatu seruan y

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS -- 09 JANUARY 2006*

2006-01-09 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS -- 09 JANUARY 2006**

*-*

**Post-tsunami aid and building civil society in Aceh**

**Pramoedya sheds light on dark side of Daendels' highway**

**Susilo OKs plan to assess all justices **

**===**

*.*

**Post-tsunami aid and building civil society in Aceh**

**Olle Tornquist*, Oslo*

*Donors often say that the major obstacle in the post-tsunami relief and*
*reconstruction work is poor co-ordination of the organizations involved.*
*This may be true, but the observation does not help much unless we*
*discuss why.*

*International development co-operation has become neo-liberal. A myriad*
*of state and private actors compete for funds and influence on imperfect*
*markets in order to reach diffuse goals. In addition, there is little*
*trust in the state. In Nanggroe Aceh Darussalam it has even been*
*repressive and suffers still from authoritarianism, corruption and*
*inefficiency. To improve co-ordination, these factors should be*
*addressed. But then the reconstruction work and the peace- and democracy*
*efforts must be combined -- and this is not being done. That is the*
*basic problem!*

*In principle, everybody wants to combine peace- and development work, at*
*best by means of democracy. The question is how. In Sri Lanka several*
*years of Norwegian facilitation of negotiations between the government*
*and the Tamil guerrilla indicates that it is not always fruitful to*
*avoid the political conflicts and to use instead "neutral" development*
*aid as a carrot to promote peace. By now, the post-tsunami aid suffers*
*from hidden politicization. Actors on the government side and the*
*guerrilla give special privileges to their respective constituencies and*
*sympathizers. At times this even increases the conflicts.*

*In Nanggroe Aceh Darussalam the situation has instead improved by way of*
*explicitly political peace negotiations. Enlightened politicians,*
*military officers and guerrilla leaders have made compromises on the*
*division of power and the government of Nanggroe Aceh Darussalam. This*
*has been followed by an international monitory mission and some space*
*for civil society and media to act as watchdogs.*

*Many say that this was possible only because the tsunami made people*
*around the world deeply concerned about the problems in Nanggroe Aceh*
*Darussalam. But that was true of Sri Lanka as well. The major factors*
*were rather that both Free Aceh Movement (GAM) and the new Indonesian*
*government realized that they would not be able to win the battle*
*militarily -- and that the fledgling democracy in other parts of*
*Indonesia stood out as a potentially more fruitful method to handle the*
*conflicts than violent struggle over independence.*

*The bottom line is thus that the Indonesian democracy must be*
*strengthened -- so that it does not only stand out as a potential but*
*also real alternative. But while the progress in Nanggroe Aceh*
*Darussalam is due less to the regular reconstruction work than to the*
*peace- and democracy efforts, the problem is that the former is swamped*
*with money while the latter is neglected.*

*Even so it is true that the implementation of the peace accord has been*
*more successful than expected. GAM and the Government have both*
*demonstrated the best of intentions. The guerrilla has contributed to*
*its own decommissioning and dissolved itself. The military and police*
*withdraw their non-organic forces. The peace monitors are effective.*
*Local combatants are being compensated to facilitate their reintegration*
*into society. There are fruitful broad dialogues between all relevant*
*parties (including civil society groups) on the governance of Nanggroe*
*Aceh Darussalam.*

*But the real obstacles remain. Sustainable integration of the combatants*
*in society presupposes new jobs within reasonably non-corrupt*
*reconstruction work. This calls for supervision by a strong civil*
*society and a working democracy. The Indonesian Reconstruction Agency is*
*not even mandated to work on post-conflict issues (but obviously even*
*wants to engage Indonesian soldiers in supposedly civil rebuilding).*

*Further, the implementation of the locally approved proposals on the*
*governance of Nanggroe Aceh Darussalam presupposes the approval of*
*Jakarta. The President, the Vice President and the Government honor the*
*intentions of the peace accord, but the nationalist opposition and*
*conservative officers resist it. One method is trying to divide Nanggroe*
*Aceh Darussalam into several provinces, which would nullify the peace*
*agreement and the reconstruction work. Another is trying to block the*
*chances for GAM and various civic groups to participate with their own*
*parties and independent candidates in local elections.*

*The important

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS -- 10 JAN 2006.

2006-01-10 Thread I. Bramijn
*
==
IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS -- 10 JAN 2006.*

*=*

*More crossroads for Indonesia*
*Tsunami aid stuck in port for eight months
This year, KPK to focus probes on state agencies*



*More crossroads for Indonesia *

/Opinion and Editorial - January 09, 2006/

Good and bad exists in us all and it's only the degree of each that 
varies. There was good and bad in Indonesia during 2005, the bad being 
the unwanted and horrendous tsunami in Aceh province and the good was 
the peace that came on its ebb. The rest was a mixture and a mess like 
it always has been.

Two things perhaps stood out as crossroads, one being the ongoing 
debates on how to reeducate Muslims in the area of understanding as 
regards to their own religion, the various methods of teaching and of 
course pluralism.

Tolerance is simply not enough as the word indicates a reluctant 
acceptance of something, but in saying that, at least 2005 could be 
viewed as a start. The second area would be the national pastime known 
as corruption, collusion and nepotism (KKN), the corruption factor that 
erodes almost everything this country is trying to achieve.

I'm not quite sure which one is the most difficult to conquer as both 
require an enormous effort nationwide. Corruption has slithered its way 
into almost everything we see and touch whereas Islam has exploded into 
a subject that has horrified the planet. The danger of course is the 
"lip service" syndrome whereby people say they intend to do something 
but really they duck and dive and do nothing worthwhile.

There is optimism (yet again) in Indonesia, this time that President 
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) can turn the tide on corruption, but the 
oceans are relentless as Canute found out to his embarrassment. As 
regards to Islam it would be wise of Indonesia to keep a sharp eye on 
what is going on in Iran, and in doing so imagine what a mess such a 
regime would make of these islands.

2006 will obviously be a building year for Indonesia, but it could be a 
lot more if they can make the right decisions at these crossroads which 
hopefully would encourage people to invest such that this nation can get 
its population back into work and thus see the economy grow.

Every new year brings forth resolutions, and one that should be 
considered by many is to give rather than take, as the more you give the 
more you receive, but of course we all know that.

DAVID WALLIS, Medan, North Sumatra

---*
**
Tsunami aid stuck in port for eight months*

*Apriadi Gunawan*, The Jakarta Post, Medan

After living in a tent in a tsunami refugee camp for months, Cut 
Samsidar left Aceh Besar regency for Medan two months ago to work as 
housemaid.

She said she could no longer stand the conditions in the camp as aid was 
no longer forthcoming. She still is at a loss to know why the assistance 
has been cut off.

"Through the newspapers and television, we can see that foreign aid is 
continuing to pour into Aceh. But where is it all going?" asked 
Samsidar, 39, who lost her husband to the disaster that left over 
130,000 people dead in Aceh alone.

She said her life had greatly improved since she started working. She, 
along with her children, live in her employer's house.

"I love to be here, although I'm only a housemaid and have to work as a 
household assistant. My children and I have enough to eat," she said.

Samsidar is only one of the displaced who have been made suffer by the 
complicated processes involved in aid delivery, which only serve to keep 
the aid from those who need it.

There is clear evidence that the distribution system is in a mess.

The Belawan Customs and Excise Office has detained 117 containers filled 
with tsunami aid, including food, clothes, medicines and generators, at 
Belawan Port in Medan for the past eight months due to what it claims is 
inadequate documentation.

The aid was sent by donors from countries like the United States, Japan, 
the United Kingdom, Denmark and China.

Samsidar said she suspected that unscrupulous individuals were 
deliberately halting the aid distribution so as to profit themselves.

"It doesn't make any sense. It's been eight months and the aid has never 
arrived. Whatever the reason, the donations must be delivered 
immediately because the tsunami victims need them badly," Samsidar said.

Several months ago, canned fish donated by the World Food Program (WFP) 
to tsunami victims were instead found being sold in Medan markets.

Secretary to the North Sumatra Disaster Management Committee, Edy Aman 
Saragih, who is also the acting regent of Nias Selatan, said on Saturday 
there was a major likeli

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Niat PDI-P Memantapkan Ideologi PANCASILA --,,Adalah Suatu Kemajuan Berfikir

2006-01-12 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA*

*-*

*Kemis, 12 Jan 2006.*

*Niat PDI-P Memantapkan Ideologi PANCASILA --*

*Adalah Suatu Kemajuan Berfikir ---*

"MEMANTAPKAN IDEOLOGI PANCASILA!". "DENGAN PANCASILA MEMBELA RAKYAT".

Selanjutnya, pernyataan bahwa: ”Negara ini adalah negara kesejahteraan, 
bukan negara korporasi, sehingga hubungan antara negara dan rakyat tidak 
boleh hanya didasarkan pada untung dan rugi” (Sinar Harapan, 11 Juni 
2006) , adalah suatu pernyataan politik yang menimbulkan harapan baru.

Apakah niat "Memantapkan Ideologi Pancasila", serta pernyataan bahwa 
"negara ini adalah negara kesejahteraan rakyat" dst,merupakan tiupan 
angin-segar baru dari jurusan Megawati Sukarnoputri?

Apakah pernyataan Mega di depan pertemuan peringatan ultah ke-33 PDIP 
pada tanggal 10 Januari y.l. bisa dianggap sebagai suatu pertanda, bahwa 
juga di kalangan pimpinan PDIP -- terlihat hidupnya kembali aliran 
fikiran maju, fikiran progresif, atau, bolehkah ditegaskan lebih lanjut, 
sebagai suatu aliran fikiran Kiri? Mungkinkah itu?

Perhatikan lagi kata-kata Mega berikutnya: Pancasila adalah satu-satunya 
ideologi PDIP. “Tidak boleh ada penjabaran lain terhadap ideologi partai 
selain Pancasila”.

Secara lebih spesifik, Megawati menyebutkan Pancasila yang ia maksud 
adalah Pancasila 1 Juni 1945. Dengan demikian panduan bagi kader dalam 
menjalankan mekanisme partai hanya ada dua buku, yaitu buku “Lahirnya 
Pantjasila” (yang dibagikan kepada semua hadirin malam itu) dan anggaran 
dasar dan rumah tangga partai“.

Melalui peringatan ulang tahun yang bertemakan “Dengan Pancasila Membela 
Rakyat”, Megawati mengajak rakyat Indonesia untuk kembali pada 
Pancasila. .

Masuk akal! Pasti orang yang mendengar atau membaca pernyataan itu 
berhak untuk memperoleh kejelasan. Karena, satu hal: Bila dipelajari 
dengan seksama karya politik klasik Bung Karno, berjudul LAHIRNYA 
PANCASILA (1 Juni 1945), maka kesimpulannya ialah bahwa karya Bung Karno 
itu, adalah suatu konsepsi politik yang maju, yang progresif, yang Kiri, 
--- terbanding konsep politik lainnya mengenai kenegaraan yang terpikir 
dan terucapkan di kalangan kaum nasionalis dan agama ketika itu (1945). 
Perbandingan ini lebih jelas lagi dapat ditelaah dari dokumen sekitar 
perdebatan di Dewan Konstituante Republik Indonesia. Perdebatan sengit 
ketika itu yang berakhir dengan kemacetan, ialah mengenai Undang-Undang 
Dasar Republik Indonesia (yang dirancang baru), mengenai dasar negara. 
Terjadi perbedaan yang tajam antara konsepsi negara sekuler (Bhineka 
Tungal Ika) atas dasar falsafah negara Pancacila, -- disatu fihak (kaum 
nasionalis - PNI dan parpol nasionalis lainnya, partai-partai Kristen, 
dan PKI) -- yang berhadapan dengan konsep negara atas dasar ajaran Islam 
(Masjumi-NU dll).

Dengan latar belakang sejarah demikian itu maka boleh dikatakan bahwa 
pernyataan Megawati itu bukanla sebarang pernyataan. Karena itu 
dikemukakan oleh seorang Ketua Umum DPP PDIP.

Aliran fikiran maju, fikiran progresif, fikiran Kiri di dunia 
internasional,- berbeda dengan prediksi sementara politisi dan 
sejarawan pelbagai negeri, termasuk Indonesia, sesudah ambruknya blok 
Sosialis yang dikepalai oleh Uni Sovyet, -- lebih khusus lagi sesudah 
terjadinya peristiwa G30S dan dibubarkannya PKI, --- sudah dengan pasti 
disimpulkan, bahwa aliran Kiri itu -- tidak punya hari depan lagi. 
Kemenangan kapitalisme atas sosialisme sudah pasti, kemenangan 
neo-liberalisme di dunia, sudah menjadi kenyataaan, sudah mutlak, 
demikian dikatakan.

Tetapi, nyatanya sudah cukup lama, sejak 1949 Republik Rakyat Tiongkok 
masih tetap dipimpin oleh suatu partai Kiri, yaitu Partai Komunis 
Tiongkok yang bertahan dan maju terus dengan menyesuaikan kosepsinya 
pada keadaan nyata di Tiongkok. Demikian juga halnya yang terjadi dengan 
Vietam.

Sedangkan di Amerika Latin, kongkretnya di Cuba, sistim sosialis sejak 
berdirinya (1 Januari 1959) sampai kini tetap bertahan. Meskipun 
dikepung, diblokade dan di subversi oleh AS. Cuba Sosialis tetap kokoh, 
dengan konsisten mempertahankan hasil revolusinya yang utama. Yaitu 
kebebasan dari imperialisme (AS), mengutamakan kesejahteraan rakyat 
(jaminan pendidikan dan kesehatan rakyat yang cuma-cuma), jaminan 
pekerjaan dan perumahan bagi rakyat --. Sedangkan di Venezuela, Bolivia, 
Brazilia dan dalam batas tertentu juga Argentia kaum progresif/Kiri 
mencapai kemajuan penting. Lalu, kemungkinan besar sebentar lagi Chili 
akan memperoleh (hasil pemilu) seorang presiden wanita yang progresif, 
yang Kiri. Di Amerika Latin telah terjalin kerjasama dan kordinasi antar 
negeri-negeri yang mengikuti kosep politik yang pro rakyat, yang 
progresif, yang Kiri, melawan dikte dan intervensi AS, untuk 
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasionalnya masing-masing.

Yang dimaksud dengan aliran fikiran maju, fikiran progresif atau fikiran 
Kiri, adalah fikiran yang pro-rakyat, yang memihak mayoritet terbesar 
rakyat.

Politik yang pro-rakyat adalah kosepsi politik yan

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS,13 January, 2006

2006-01-13 Thread I. Bramijn
--
 

*IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS
*13 January, 2006 *
*==

*INDONESIA - Holland ink education pact *

*Insult to humanity*

*Officials lay blame as tsunami aid lies in wait*



Insult to humanity -- The Jakarta Post Editorial -- 13 jan 06

As reported in this paper, hundreds of containers containing goods meant 
for Aceh tsunami survivors have been languishing in Indonesian ports for 
at least nine months. While the aid effort in Aceh has been generally 
applauded, and rightfully so, this is the most dramatic failure in the 
operation to bring relief to the province since the catastrophic 
earthquake and waves brought so much devastation in December, 2004.

How could such desperately needed aid be tied up for so long? The 
customs office's explanation that it needed time to make sure the 
containers were not carrying smuggled goods is completely unacceptable. 
Does the customs service place paperwork over the lives of tsunami 
survivors? The argument that the goods did not have "proper 
documentation" does not ring true.

A disaster of the apocalyptic proportions of the Aceh tsunami, in which 
over 100,000 people died, does not deserve such a response. How long 
does it take to determine whether a container is filled with smuggled 
goods or legitimate aid? How many agencies is it necessary to go through 
to get goods out of the ports -- the Ministry of Social Services, 
Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Trade, Customs and Excise 
Office, National Disaster Management Coordination Body -- in such an 
emergency situation? Is it not possible to expedite clearance to get the 
aid to the people who need it?

We are at a loss for answers as to what could have caused this delay. It 
is difficult to imagine customs officials were not aware of the need to 
get aid to tsunami survivors as quickly as possible, given the blanket 
media coverage of the suffering in the province. The 117 containers left 
languishing in a port in Jakarta are said to contain blankets, medicines 
and food, items in great demand in the aftermath of the disaster.

In Belawan Port in Medan, another 232 containers were left in limbo, 
along with 58 vehicles, among them ambulances. On the surface, it 
appears the government is grossly lacking in coordination and any sense 
of urgency.

Officials may be able to find all sorts of excuses for the delay, but 
that does not change the absurdity of the episode. It amounts to an 
audacious robbery of tsunami survivors, a scandal whose seriousness 
cannot be overstated. The government has, in effect, slapped donors in 
the face by allowing their aid to rot in the ports. The generosity of 
donors from around the world should never be forgotten, as they rushed 
to help the country in a time of need. Foreign governments, local and 
foreign companies, NGOs and individual donors all gave freely to ease 
the suffering we all saw on our television screens and in the newspapers.

There could be no more inappropriate way in which to treat donors who 
acted promptly out of a deep sense of shared humanity. Our failure to 
get the aid immediately to the survivors is like saying, "Better to let 
the food rot than to bring it to the hungry, to prolong the suffering of 
the sick than to make use of the medicine, and to let the victims suffer 
from the cold than to bring them blankets." It might have been better 
simply to reject the aid, as India did, than to agree to receive it and 
then fail to deliver it to the intended recipients.

There is another troubling question: if all these donors acted so 
promptly to help Indonesian victims, why have Indonesian officials acted 
so slowly? Worse, there have been reports that some of this aid has been 
found being sold in Medan markets.

If corruption is part of this shameful episode -- there have been 
reports that Rp 65 million was required to get a container out of the 
port in Jakarta -- the government must take a close look at the 
officials involved. Otherwise, countries will think very seriously 
before sending aid to Indonesia in the future, simply because corruption 
takes such a heavy toll. The country's track record is already extremely 
shaky. Leakage is common in any assistance coming into the country, 
especially during the 30 years of the New Order regime. It has been well 
established that in the past up to 30 percent of all financial aid ended 
up in the pockets of government officials.

It is common courtesy to return the goodwill of the global community. In 
this case, that simply would have required making use of the assistance. 
Donors deserve our respect, which would have meant assuring not a single 
item of aid went astray.

A lot has been done to assist the survivors in Aceh, but there is s

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- KEMBALIKAN PASPOR YANG KALIAN CABUT DNG SEWENANG-WENANG!

2006-06-04 Thread I. Bramijn
Kolom IBRAHIM ISA
-
MINGGU, 04 JUNI 2006.


KEMBALIKAN PASPOR YANG KALIAN CABUT DNG SEWENANG-WENANG!
KEMBALIKAN HAK-HAK SIPIL DAN KEWARGANEGARAAN MEREKA!!

Terdengar slentang-slenting, via-via. . . ., katanya, belum lama 
(kira-kira dalam bulan Maret 2006), SBY telah mengeluarkan semacam 
instruksi kepada bawahannya dalam kabinetnya sehubungan dengan masalah 
"pengembalian paspor/kewarganegaraan para eksil". Beliau belum sampai 
pada kebijakan untuk mengembalikan paspor-paspor para eksil, tetapi baru 
sampai pada "mempelajari masalah pengembalian paspor". Bagaimana 
nasibnya dengan Instruksi Presiden No 1 Th 2000. ( yang dikeluarkan oleh 
mantan Presiden Abdurrahman Wahid) yang bersangkutan dengan "orang-orang 
yang terhalang pulang", yang waktu itu ditangani oleh Menkumdang Yusril 
Ihza Mahendra. Mengenai hal ini samasekali tidak jelas. Misteri!

Yusrilnya sekarang ini duduk lagi di dalam pemerintahan SBY/Kalla 
sebagai Sekretaris Negara. Kalau ditanyakan kepada beliau mengenai 
perihal Instruksi Presiden Wahid dulu itu, barangkali menteri ini sudah 
lupa. Entah disembunyikan dilaci yang mana, mungkin sudah tak ingat 
lagi. Karena tampaknya Yusril sibuk sekali mencari jalan bagaimana 
membebaskan Suharto dari segala tuntutan pengadilan.

Bila benar, katanya bulan Maret y.l., SBY sudah mengeluarkan keputusan 
yang bersangkutan dengan pengembalian paspor para eksil, maka memang itu 
suatu p e r k e m b a n g a n. Suatu perkembangan berasal dari fihak 
pemerintah yang perlu diikuti bagaimana tindak-lanjutnya. Terdengar 
reaksi di sana-sini: --- Andaikata, ini andaikata, . . . . memang 
benarlah ada perkembangan seperti itu, itu bisa berarti positif. Ya, ya, 
bisa juga negatif sekali. Seperti dulu itu, di zamannya ketika Yusril 
masih menjabat Menkumdang. Betapa tidak hebatnya janji-janji Yusril enam 
tahun y.l. itu. Apa yang sekarang ini lagi-lagi akan berupa janji-janji 
semata-mata yang menina-bobokkan saja. Atau memang sudah beneran, sudah 
sungguhan, . . . . wallualam bissawaab. Enggak ada yang tahu. Bahkan 
umumnya tak ada yang berani meramalkan.

Bukankah salah satu program penting pemerintah SBY-Kalla adalah 
menangani korupsi? Tetapi apa jadinya? Malah yang menyibukkan pemerintah 
adalah manuver dan usahanya untuk merealisasi maksud hendak memaafkan, 
hendak membebaskan mantan Presiden Suharto dari segala tuntutan 
pengadilan. Embahnya, pelanggar terbesar HAM, biangnya koruptor dan KKN 
di negeri ini. Justru diaitlah yang hendak dibebaskan. Bagaimana ulah 
seperti ini bisa bikin orang percaya pada pemerintah?

Bisa saja sementara pendapat menganggap kebijakan SBY "untuk mempelajari 
masalah pengembalian paspor para eksil" adalah positif. Sementara lagi 
masih tetap pesimis, bahkan menganggap adalah berilusi --- ilusi besaaar 
--- bila mengharapkan pemerintah yang sekarang ini bersedia 
mengembalikan paspor yang mereka telah cabut atau "batalkan" lebih dari 
40 tahun yang lalu. Paspor- paspor yang mereka cabut itu, adalah milik 
para warganegara yang samasekali tanpa proses pengadilan apapun telah 
kehilangan paspornya, kehilangan hak-hak sipil dan politiknya sebagai 
negara RI. Untuk tidak dilupakan, paspor-paspor yang dicabut/dibatalkan 
oleh KBRI itu , hakikatnya yang membatalkan atau mencabutnya adalah 
fihak militer yang berkuasa ketika itu. KBRI "sekadar" aparat yang 
melaksanakannya saja.

Paspor itu milik siapa sih ? Di Belanda ini, dan kemungkinan besar juga 
di banyak negri, paspor itu jelas ditulis di dalamnya, bahwa dokumen 
identitas itu adalah milik negara. Jadi kalau pemiliknya meninggal, atau 
menggantikannya dengan paspor baru karena sudah daluwarsa, maka paspor 
lama yang dimilikinya ketika itu harus dikembalikan kepada negara.

Tidak ada satu peraturan atau undang-undangpun di negeri kita, yang 
memberi hak kepada pemerintah untuk dengan sewenang-wenang mencabut 
paspor dan kewarganegaraan warganegaranya sendiri.
Mengnutip tulisan wartawan Rakyat Merdeka, A.Supardi: UU No 62/1958 
(pasal 17e) berbunyi:
“Kewarganegaraan seseorang hanya bisa dicabut melalui Keputusan Menteri
Kehakiman atas permohonan orang yang bersangkutan, dan tidak bo­leh
menimbulkan status tanpa kewarganegaraan”. Ini juga jelas sekali.

Di negeri-negeri mancanegara yang merupakan negara hukum, dimana berlaku 
supremasi hukum, penguasa tidak boleh sewenang-wenang mencabut, menahan, 
mengumumkan tidak berlakunya paspor warganegaranya, atas tuduhan, 
fitnahan semata, tanpa proses pengadilan yang sah menurut norma-norma 
suatunegara hukum. Justru itulah yang dilakukan oleh Orba.

Para warganegara Indonesia yang patuh hukum, yang berangkat ke luar 
negeri ketika itu, meninggalkan keluarga mereka; mereka itu mengemban 
tugas negara dan bangsa, baik itu tugas belajar, tugas diplomasi ataupun 
tugas-tugas lainnya, --- mereka itu, adalah abdi bangsa dan negara. 
Tetapi, yang atas tuduhan dan fitnahan rezim Orba, tanpa bukti 
pelanggaran hukum apapun, telah dicabut paspornya.

Satu tuduhan dan fitnah

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 5 JUNE 2006

2006-06-05 Thread I. Bramijn



---
IBRAHIM ISA'S  --  SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 5 JUNE 2006
---
MUSLIM HARDLINERS ACCEPT PANCASILA IN OWN WAY
'IMF  NEEDS REFORM TO HANDLE CRISIS BETTER'
HOW FREE ARE INDONESIANS TODAY?
---

MUSLIM HARDLINERS ACCEPT PANCASILA IN OWN WAY
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
The Jakarta Post, Jakarta - June 05, 2006

The ongoing campaign to revitalize the state ideology,
Pancasila, has put some Muslim hard-liners, currently
working to turn Indonesia into an Islamic state, on
the defensive.

It turns out, however, that leaders of the groups say
that they too accept Pancasila -- but they have the
right to interpret its meaning the Islamic way.

Pancasila is the philosophical basis of Indonesia. It
comprises five principles that are held to be
inseparable and interrelated.

The five tenets are: Belief in the one and only God;
just and civilized humanity; the unity of Indonesia;
deliberation for consensus; and social justice for the
whole of the people of Indonesia.

"Every religion has the right to interpret Pancasila
according to it religious teachings," said Ma'ruf
Amin, chairman of the fatwa commission of the
Indonesian Ulema Council (MUI).

The MUI came under attack when, at the end of its 7th
congress in July 2005, it issued 11 fatwas, one
frowning upon secularism, liberalism and pluralism,
which are essentially the spirits of Pancasila.

Pancasila lost credibility among militant Muslims when
the authoritarian Soeharto regime used it to suppress
them and stop them from trying to turn Indonesia into
a theocratic state. Many Islamist activists and
leaders were sent to jail for their political beliefs.


At the 61st commemoration of Pancasila on June 1,
President Susilo Bambang Yudhoyono said abandoning
Pancasila for narrow religious or ethnic-based
ideologies would only jeopardize the unity and
diversity of the nation.

Ma'ruf said, "Islam that has lived in this country for
500 years, regulates all aspects of human life," he
said.

He said Islamic values were better than human rights.
"We know that Islam comes from God. We don't know who
created human rights," he said.

Commenting on the fatwa rejecting pluralism, he said
people had interpreted it incorrectly. "As far as
religion is concerned, we appreciate co-existence but
we reject the idea of mixing the teachings of various
religions."

Many Muslim groups, such as the militant Hizbut
Tahrir, regard MUI's fatwa on pluralism as a
non-negotiable issue.

"Different ethnic groups and religions already exist
here," said the group's spokesman, M. Ismail Yusanto.
"But religions should not be mixed up."

He said that the most important thing about Pancasila
was its manifestation. "I think every group has the
same understanding about the social justice prescribed
by Pancasila. However, everyone has the freedom to
decide how Pancasila should be put into practice."

Yusanto pointed out that Sukarno and Soeharto also had
different perspectives about Pancasila.

"Sukarno believed in socialism and Soeharto believed
in capitalism," he said.

The Yudhoyono administration had a similar
interpretation of Pancasila, Yusanto said.

"The government is now afraid of multinational
corporations. For instance, the government handed over
the operation of the Cepu block (a potentially
lucrative oil field in Central Java) to Exxon," he
said. (05)
--

'IMF  NEEDS REFORM TO HANDLE CRISIS BETTER'
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
JKT POST, 05 JUNE 06

The International Monetary Fund is again in the spotlight, following 
Indonesia's plan to repay its debt to the fund ahead of schedule. Riyadi 
Suparno of The Jakarta Post interviewed Joseph Stiglitz, a long-time 
critic of the IMF and Nobel laureate in economics, about the fund and 
its future. The interview was conducted on the sidelines of the Annual 
Bank Conference on Development Economics in Tokyo last week.
Question: Indonesia, currently the second largest debtor to the IMF 
after Turkey, plans to repay its debt to the IMF ahead of schedule. Of 
course, there are pros and cons to this. What's your opinion?
Answer: Many of the countries in the world are trying to pay their debt 
ahead of time. I think it makes a lot of sense, largely because the IMF 
often intrudes into a country's sovereignty in policy making, and in a 
way it's often not helpful. So it's the very high cost of having an IMF 
program.
But it's also the case of interest rates. I don't know what the interest 
rate Indonesia has to do with the IMF loans. Maybe it's below market 
rate, but below market means below which Indonesia can borrow. But if 
Indonesia is sitting on a US$42 billion reserve and it has some of those 
reserves in U.S. government bonds, earning 5 percent, and maybe its debt 
to the IMF stays at 7 pe

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S ---- FOCUS ON VIOLENCE IN THE NAME OF ISLAM, 07 May, 2006

2006-06-07 Thread I. Bramijn
===
IBRAHIM ISA'S     FOCUS  ON  VIOLENCE IN THE NAME OF ISLAM, 07 May, 2006
===
'NU  OPPOSED TO FORMALIZATION OF ISLAM'
BALI BOMBING PRISONER  TO BE SET FREE
-

'NU  OPPOSED TO FORMALIZATION OF ISLAM' ,  TheJakarta Post.
Islamic radicalism seems to have found fertile ground here, as seen in 
the growing number of hard-line groups taking the law into their own 
hands in the name of religion. These groups have intimidated activists 
opposing the pornography bill, attacked the office of Playboy Indonesia, 
raided cafes selling liquor, ransacked suspected houses of prostitution 
and forcibly closed down churches. The Jakarta Post's Tiarma Siboro, 
Pandaya and Dwi Atmanta recently interviewed Hasyim Muzadi, chairman of 
the 40-million strong Nahdlatul Ulama (NU), a traditionally moderate 
Muslim group, on the rising radicalism. The following are highlights of 
the interview.
Question: As a mainstream Muslim organization, what has NU been doing to 
stop people from committing violence in the name of religion?
Answer: The NU cannot do this alone. Neither can ordinary citizens. The 
police should act, and I have repeatedly told them we (NU) are ready to 
help them if they need it. I can send Banser (NU civilian guards) 
anywhere to assist the police. Of course, their (Banser's) involvement 
could create problems, too. Therefore the best thing to do would be for 
the government to take legal action against (these groups committing 
violence).
They are strong because they have the backing of political leaders in 
both the Cabinet and the House of Representatives.
Do you ever meet with leaders of radical groups and remind them of the 
dangers of radicalism?
Yes. I have often appealed to them through the media, at seminars and 
during personal meetings not to resort to violence in pursuing their 
agenda.
And what did they reply?
(He mentions the leader of one group and quotes him.) "If we act your 
way we would be like you and nobody would listen to us."
More and more regencies and cities have been adopting sharia ordinances, 
exploiting loopholes in autonomy laws. What is your comment?
The public is skeptical about sharia. Even upon hearing the word sharia 
people have negative preconceptions.
Islam should be understood in substance, not in rigid interpretation of 
the scripture, and therefore it should not be formalized as the common 
principle in multireligious and multiethnic Indonesia.
For example, the Tangerang mayor's antiprostitution ordinance. What's 
the point of adopting it? No religion permits prostitution. Besides, the 
crime is dealt with in the Criminal Code, so why not enforce the 
existing laws instead of making a new bylaw? If the bylaw is based on 
Islamic values, it creates problems with citizens of other faiths.
In Aceh (where sharia has been formally in place since 2002), some 
people I talked to have begun to realize that true sharia is doing your 
best to improve people's welfare.
What's your stand on the pornography bill?
NU has repeatedly asked all parties involved in the debate to maintain 
the balance between religious and secular values. I believe Indonesia 
should have a pornography law to withstand the onslaught of pornography 
brought to us through globalization. Even developed countries have such 
laws.
However, the future law should accommodate diversity in terms of 
religion, culture and ethnicity. In Bali, for example, women 
traditionally wear more revealing clothes and the future law should 
tolerate this. And the same with Papuan men who wear koteka (penis 
sheaths) ... so long as they don't wear them in (Jakarta's) Pasar Baru 
market because then it would become pornographic.
The spirit of the future law should be to help protect the people from 
moral decadence. But again, it should respect pluralism.
The present draft has fomented suspicion that it is sharia-inspired, and 
is conspicuously supported by radical Muslims but rejected by the 
liberal-minded.
I am concerned by the harassment of (singer) Inul by a group of 
individuals simply because she opposes the bill. The use of violence 
only taints the image of Islam.
What do you think about the campaign to revitalize (the state ideology) 
Pancasila?
People should stop debating and start putting Pancasila into practice, 
because it has long been accepted as a way of life for Indonesian people.
Indeed, different regimes had different perceptions about Pancasila. 
(First president) Sukarno used it as a doctrine for his revolutionary 
movement. To fit his political agenda, he tried to condense the five 
tenets into one, Ekasila -- which promotes universalist values.
Under (second president) Soeharto, Pancasila was used as a political 
weapon to back his authoritarian political system and t

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER - MENGUTIP FAKTA-FAKTA SEJARAH ---- USAHAKAN SEKOREK MUNGKIN.

2006-06-08 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
--
08 Juni 2006.

MENGUTIP FAKTA-FAKTA SEJARAH  USAHAKAN SEKOREK MUNGKIN.
---

Belum lama Radio Nederland  
menyiarkan sebuah tulisan berjudul "Krisis Timor Leste . . ." Yang 
menganalisa situasi Timor Leste dewasa ini, khususnya sehubungan dengan 
pergolakan dan konflik intern di negeri tsb.

Tulisan tsb informatif dan berusaha analitis.
Namun, ada dikemukakan fakta-fakta sejarah yang menurut catatan yang 
diketahui selama ini, tidak sesuai dengan kenyataan.
Maka Penulis (I.I.) berusaha memberikan gambaran yang lebih sesuai.

* * *

Di bawah ini dikutip bagian-bagian tertentu yang relevan dari tulisan 
Radio Nederland tsb., kemudian dikomentari seperlunya:

1) Kutipan sebagian dari tulisan tsb:

"Di Indonesia tahun 1950an juga terjadi krisis menyusul rencana Wakil 
Presiden Mohammad
Hatta untuk merasionalisasi BKR, tentara pejuang kemerdekaan Indonesia."

Komentar:
Di Indonesia akhir tahun 1950-an tak ada krisis yang menyangkut suatu 
rencana merasionalisasi BKR, Badan Keamanan Rakyat. Satu kenyataan: Pada 
akhir tahun 1950-an BKR sudah lama tak ada, sudah 
berkembang/berubah/dilebur menjadi, TKR, lalu TRI, selanjutnya TNI, 
menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesi Serikat, lalu ABRI/TNI 
lagi.
Kenyataan lainnya, pada akhir tahun 1950-an, Wapres Hatta tak lagi duduk 
dalam lembaga eksekutif langsung.

Yang dimaksudkan dengan "krisis dalam tentara nasional Indonesia" pada 
periode pemerintahan Moh. Hatta tsb , kiranya adalah konsep 
"rasionalisasi" Wapres / PM Moh Hatta yang dilaksanakannya sebagai 
kepala pemerintahan presidensil, setelah jatuhnya kabinet Amir 
Syarifuddin (Pertengahan 1948). Salah satu kelanjutan dari 
"rasionalisasi" Hatta, adalah meletusnya "Peristiwa Madiun".
Mr. Amir Syarifuddin adalah tokoh pimpinan PKI, pernah menjabat Menteri 
Pertahanan RI, kemudian Perdana Menteri RI. Setelah Peristiwa Madiun 
(1948) tanpa proses pengadilan yang wajar kemudian dieksekusi di desa 
Ngalihan, Jawa Tengah oleh kekuasaan militer TNI di bawah Gubernur 
Militer Gatot Subroto, yang berada di bawah pemerintahan presidensil 
Wapres Moh. Hatta..

Mr Amir Syaifuddin terlibat dalam pembangunan dan pembentukan tentara 
nasional Indonesia sejak Revolusi Agustus 1945. Tidak heran, bahwa di 
dalam tentara nasional Indonesia tidak sedikit terdapat
pengaruh PKI dan Kiri. Selain itu sejak revolusi 1945 terbentuk kekuatan 
Kiri bersenjata yang merupakan bagian dari Pesindo .

Mengenai BKR (Badan Keamanan Rakyat).: -- BKR adalah badan kekuatan 
bersenjata utama yang terbentuk sejak permulaan Revolusi Agustu 1945. 
Kekuatan bersenjata ini, termasuk kekuatan-kekuatan bersenjata dan 
lasykar-lasykar lainnya, kemudian berkembang menjadi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu menjadi Tentara Republik Indonesia 
(TRI). Selanjutnya berkembang menjadi TNI. Perubahan dan perkembangan 
itu berlangsung selagi parpol PKI dan kekuatan Kiri lainnya masih punya 
pengaruh penting di dalam kekuatan bersenjata revolusi. Amir Syarifuddin 
sebagai salah seorang Menteri Pertahanan RI punya peranan dalam 
pembentukan dan pembangunan Tentara Republik Indonesia sejak BKR (Badan 
Keamanan Rakyat) didirikan dalam tahun 1945. Dengan demikian, yang 
dirasionalisasi oleh Hatta bukan BKR tetapi TRI/TNI.

* * *

2) Kutipan sebagian dari tulisan tsb:

"Sama seperti rakyat Indonesia traumatik dengan kedatangan tentara 
Belanda tahun 47, . . "

Komentar :
Tentara Belanda datang di Indonesia sudah sejak 1945/46. Membonceng di 
belakang tentara Sekutu/Inggris, Australia. Kedatangan tentara Belanda, 
bukan baru terjadi dalam tahun 1947. Tahun 1947 kekuatan militer Belanda 
sudah siap untuk berperang, maka secara terang-terangan melakukan dua 
kali agresi terhadap Republik Indonesia (1947 kemudian 1948). Agresi 
Belanda itu dilakukan atas nama "aksi kepolisian".

Sekadar kutipan dari Ensiklopedia WIKIPEDIA:

"De Eerste Divisie "7 December" werd in 1946 als expeditionaire macht 
(EM) naar de Oost gezonden om in Indië, 'rust, orde en veiligheid' te 
herstellen. Nederland was van plan om Indië langs geleidelijke weg een 
grotere zelfstandigheid te geven, echter het uitroepen van de 
onafhankelijke Republiek Indonesia twee dagen na de Japanse capitulatie 
versnelde deze gebeurtenissen."

* * *

3) Kutipan sebagian dari tulisan tsb:

"Impunitas bagi anggota TNI dalam bertugas menjaga negara kesatuanNKRI 
merupakan doktrin negara warisan Orde Baru yang dipelihara rapi oleh 
negara pasça-Soeharto – bahkan, ironisnya, juga oleh sebagian oposisi 
kiri dan kanan di dalam dan di luar negeri."

Komentar:
Sulit mencari contoh: -- Dalam kesempatan apa, dimana dan kapan bisa 
disaksikan bahwa oposisi Kiri di dalam dan luar negeri, yang membela 
"impunitas bagi TNI" sebagai doktrin negara. Kekuatan Kiri di luar 
maupun di dalam negeri jelas diketahui adalah korban impunitas TNI.
PRD, Partai Raky

[wanita-muslimah] BRAHIM ISA dari BIJLMER - < Sebuah Resensi == (1) ==>,,IBARRURI PUTRI D.N. AIDIT PENULIS ROMAN-BIOGRAFIS

2006-06-09 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
---
Jum 'at, 09 Juni 2004.

< Sebuah Resensi  == (1) ==>

IBARRURI  PUTRI D.N. AIDIT PENULIS ROMAN-BIOGRAFIS
Tulisan ini adalah bagian pertama dari tulisan yang seryogianya 
merupakan semacam resensi terhadap buku Ibarurri Putri Alam, anak D.N. 
Aidit , mantan Ketua PKI, dan mantan Menko Wakil Ketua MPRS pada periode 
akhir pemerintahan Presiden Sukarno.

Menurut penulisnya sendiri, Ibarruri Putri Alam, bukunya itu , adalah 
sebuah  roman biografis. Apakah  penamaan ini aslinya berasal dari Iba 
ataukah saran seseorang, kurang jelas.

Terus terang saja,  sebagai orang awam di bidang kesusasteraan,  aku 
baru sekali ini mengetahui dan mendengar ada tulisan yang diberi nama  
"roman biografis". Apakah ada perbedaan arti yang penting antara 
"memoir" dan  "roman biografis",  antara  "auto-biography" , buku yang 
berjudul "perjalanan hidupkku"  atau "kenang-kenangan masa lampau", juga 
belum kupelajari. Buku-buku yang ditulis yang mengisahkan perjalanan 
hidup seseorang, apakah itu ditulis oleh seorang negarawan, politikus, 
olahragawan, wartawan ataupun seniman,  ilmuwan ataukah "orang-orang 
biasa",  bagiku,  bentuk dan cara penulisannya tidaklah terlalu  menarik 
perhatian.

Yang penting ialah bagaimana isinya. Dan bagaimana ia mengisahkan 
tentang orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai, dikenal dan 
dialamaninya. Apakah yang dikisahkannya  itu benar adanya?  Apakah itu 
ditulis dengan jujur, lugu dan apa adanya, tidak mengada-ada bahkan 
membengkokkan fakta-fakta sejarah. Seperti halnya banyak buku tentang 
''biografi" atau "memoir"  tokoh-tokoh dan elite zaman Orba.  Ketika 
Orba  masih berkuasa mutlak, salah seorang sahabatku, seorang veteran 
pejuang kemerdekaan, membaca semacam buku memoir salah seorang tokoh 
pejuang  kemerdekaan lainnya. Di situ sang penulis itu banyak 
menonjolkan peranan pribadinya pada periode sekitar Proklamasi.  
Sahabatku  pejuang kawakan  tadi itu berkomentar:  Ah, memoirnya itu 
banyak ngibulnya.  Dia bisa berbicara demikian karena dia tahu dan 
terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Celakanya di buku  
memoirnya penulis tsb, entah mengapa,  memuji Suharto. Maka banyak teman 
seperjuangan kemedekaan lainnya, mengkritik habis sikapnya yang 
"menjilat" Suharto. Sang penulis memoir tampaknya sadar. Lalu ia menulis 
buku kedua. Disitu pejuang tua ini akhirnya membelejeti kejahatan 
Suharto selama Orba.

Tentu saja, menulis suatu memoir, kenang-kenangan, biografi atau kisah 
perjalanan hidup, pasti yang ditulis tidak bisa lengkap. Biasanya  
memoir itu ditulis atas dasar catatan dan ingatan yang ada yang bisa 
dicapai dengan kemampuan memori sesuatu saat. Dari apa yang dicatat dan 
diingat itupun tidak bisa semua ditulis. Hendak ditulis emua,  maka 
hasilnya nanti akan berjilid-jilid, jadi membosankan. Maka, atas dasar 
catatan dan ingatan itu,  dilakukanlah  s e l e k s i . Ya,  terpaksalah 
dilakukan pilihan dari sekian  banyak yang ada itu. Maka timbullah 
masalah prioritas. Mana yang dirasa perlu ditulis untuk menjadi khazanah 
pengetahuan masyarakat. Mana yang kira-kira tidak perlu atau tidak 
begitu relevan untuk ditulis.

Yang penting ialah: Asal saja di situ tak ada rekayasa a la Prof Nugroho 
Notosusanto,  pakar sejarah ABRI. Nugroho ini kasarnya memang memalsu 
sejarah.  Ia mengidap maksud buruk.  

Maka setiap penulisan sejarah pribadi, apakah itu bentuknya memoir, 
pengalaman hidupku, perjalanan hidupku, atau roman biografis, itu 
tidaklah jadi soal. Tulisan-tulisan seperti itu patut disambut dan 
dianjurkan kepada para "senioren" untuk menuliskan pengalaman mereka. 
Ini juga suatu cara yang baik dan efektif dalam usaha untuk 
memberlakukan "pelurusan sejarah". Penulisan sejarah, pelurusan sejarah, 
tidak seharusnya diserahkan, digantungkan atau diekslusifkan bagi para 
pakar penulis sejarah saja. Sering-sering  "orang-orang biasa" seperti 
Ibarurri, malah lebih baik menulis yang bersangkutan dengan sejarah, 
karena ditulis dengan  jujur dan lugu. Makin banyak keterlibatan 
masyarakat dalam penulisan sejarah, termasuk sejarah pribadi-pribadi, 
makin banyak bahan dan dokumentasi yang bisa diwariskan pada generasi muda.

* * *
Contoh buruk penulisan  biografi adalah yang dilakukan oleh salah  
seorang  wartawan Far Eastern Economic Review. Buku itu mengenai dan 
ditulis untuk kepentingan  Presiden Jendral Suharto. Berjudul  -- "THE 
SMILING GENERAL". Buku itu adalah biografi Suharto.

Mengenai masalah terpenting dalam sejarah Indonesia di mana terdapat 
keterlibatan Jendral Suharto -  tentang tanggungjawabnya terhadap 
Presiden Sukarno yang memberikannya Surat Perintah Sebelas Maret, 
mengenai pembantaian masal tahun-tahun  1965-66  terhadap lebih sejuta 
warganegara yang tak bersalah,  yang berlangsung di bawah 
tanggung-jawabnya,  perebutan kekuasaan merangkak terhadap Presiden 
Sukarno --- Fakta-fakta  mengenai itu dipulas,  diperkosa. Misalnya,  
kasus

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- LANGKAH BENAR MENUJU NEGARA HUKUM,

2006-06-12 Thread I. Bramijn
Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 12 Juni 2006.


LANGKAH BENAR MENUJU NEGARA HUKUM


Pagi ini jam 11.40 waktu setempat  baru saja kuterima berita dari 
seorang sahabat karibku dari Jakarta, sbb:

--
STOP PRESS
==
Siang ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengambil keputusan
memenangkan gugatan pra-peradilan SKP3 Suharto.
Artinya : SKP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung dibatalkan,
Suharto harus diadili.
Entah dalam praktek bisa jalan atau tidak . . . .
-

Siapa yang tidak gembira dan lega mendengar  berita bahwa SUHARTO TETAP 
AKAN DIADILI.
Tidak diragukan bahwa keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang 
diambil,  yang MEMENANGKAN GUGATAN PRA-PERADILAN SKP-3 SUHARTO,  yang 
berarti bahwa:
Suharto tetap harus diadili, --:

Adalah suatu keputusan yang patut disambut!!!

Juga tidak keliru untuk mengatakan bahwa keputusan Pengadilan Negeri 
Jakarta Selatan tsb mencerminkan bahwa kekuatan pro-demokrasi, 
pro-supremasi hukum di dalam masyarakat Indonesia, cukup punya pengaruh 
dan kekuatan sehingga memungkinkan keluarnya keputusan tsb.

Keputusan resmi akan diteruskannya proses mengadili Suharto, juga  
merupakan suatu langkah yang cukup penting.  Suatu langkah yang 
berangsur-angsur  bisa menuju ke arah tegaknya negeri dan NEGARA HUKUM. 
Suatu Republik Indonesia dimana tidak ada tempat lagi bagi IMPUNITY. 
Harus tetap diingat dan diwaspadai  bahwa   sampai sekarang  IMPUNITY 
masih berlangsung.

Tentu, masih perlu dilihat lagi, sampai dimana lembaga pengadilan 
Jakarta Selatan  sungguh-sungguh dan konsisten dengan keputusannya untuk 
mengadili Suharto.

Betapapun keputusan tsb baru di atas kertas.

Bisa diantisipasi bahwa usaha untuk tetap membebaskan Suharto dari 
segala pelanggaran hukum yang dilakukannya, akan berlangsung terus. 
Jangan ragukan lagi. Tokoh-tokoh politik yang sekarang  ini masih 
menjabat kedudukan kekuasaan resmi, seperti Wapres Jusuf Kalla dan 
Yusril Ihza Mahendra, dll,  selain itu  para mantan Jendral TNI, yang 
belum lama santer sekali mendengungkan seruan untuk membebaskan Suharto, 
-- akan meneruskan, bahkan, mungkin melipat gandakan usaha mereka untuk 
membebaskan Suharto dari segala tuntutan hukum.

Di lain fihak masyarakat kita yang masih diilhami oleh semangat 
Reformasi dan Demokratisasi, juga tidak akan tinggal diam.

Maka perjuangan antara kekuatan politik yang hendak membebaskan Suharto 
--- dengan demikian ingin meneruskan keadaan dan kultur IMPUNITY seperti 
pada zaman Orba,   dengan  kekuatan yang juga konsisten hendak 
meneruskan perjuangan Reformasi dan Demokratisasi  akan berlangsung terus.

Perjuangan demkian itu akan punya dampak dan pengaruh posistif  terutama 
di kalangan generasi muda kita. Mereka  mengalami langsung betapa tujuan 
untuk menegakkan negara hukum Indonesia  merupakan suatu perjuangan yang 
berlangsung lama, rumit dan tidak mudah.

Namun,  adalah dalam perjuangan nyata, dimana mereka ambil bagian 
langsung,  generasi  muda kita akan mendewasa dan tergembleng. * * *

 



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives
http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/aYWolB/TM
~-> 

Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogya melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. 
Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia KCP DEPOK No. 421-236-5541 atas 
nama RETNO WULANDARI. 

Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa.

===
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON - ISLAM AND SECURITY - 14 JUNE 2006

2006-06-14 Thread I. Bramijn

>
>> 
>> IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON -  ISLAM AND SECURITY - 14 JUNE 2006
>> 
>> Legislators take stand against sharia laws
>> Ba'asyir to walk free with hero's welcome
>> Issues behind Indonesia joining the PSI
>> 
>>
>> Legislators take stand against sharia laws
>> M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta
>> Concerned by the creeping Islamization of the country's secular 
>> state, 56 national legislators are urging President Susilo Bambang 
>> Yudhoyono to abolish sharia-based bylaws already in place or risk the 
>> country's disintegration.
>> In a petition, which included signatories from Muslim-based political 
>> parties, the House members said local administrations' implementation 
>> of the bylaws contravened the 1945 Constitution and the five 
>> principles enshrined in the Pancasila state ideology.
>> "The deliberation and implementation of bylaws should have been 
>> carried out according to the 1945 Constitution and Pancasila, and 
>> within the framework of the Unitary State of Indonesia," one of the 
>> signatories, Constant Ponggawa of the Prosperous Peace Party (PDS), 
>> said Tuesday during a meeting with the House leadership to express 
>> their views.
>> Constant said that the President should move quickly to nullify the 
>> bylaws or the state faced disintegration.
>> Gayus Lumbuun of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) 
>> said the petition was aimed at creating a powerful legislative 
>> movement to reverse the drive for Islamization of the country.
>> "We want to create a snowball effect, something that we hope will end 
>> up with the establishment of a House working committee to investigate 
>> the matter," Gayus told The Jakarta Post.
>> Signatories met with House Deputy Speaker Soetardjo Soerjogoeritno.
>> Aside from nationalist politicians from the Indonesian Democratic 
>> Party of Struggle (PDI-P) and the PDS, a number of Muslim 
>> politicians, including Nusron Wahid and Helmy Faishal of the National 
>> Awakening Party (PKB) and Anwar Sanusi of the United Development 
>> Party (PPP), were present during the meeting.
>> Politicians from nationalist political parties included Trimedya 
>> Panjaitan, Permadi and Wayan Koster of the PDI-P, Carol D. Kadang and 
>> Jeffrey Massie of the PDS and Joko Purwongemboro of the Golkar Party 
>> and Muhammad A.S. Hikam of the PKB.
>> The petition is the first cross-factional campaign to oppose the 
>> passing of Islamist-oriented regulations.
>> Currently, 22 regencies and municipalities have implemented 
>> sharia-influenced bylaws.
>> Some of the bylaws criminalize conduct prohibited under Islamic law, 
>> such as adultery, alcoholism and prostitution.
>> Some of the regulations have been criticized for restricting public 
>> freedom, especially women's dress.
>> In the West Sumatra city of Solok and the capital Padang, as well as 
>> Banten province, local governments have issued regulations obliging 
>> women to wear headscarves in public.
>> Local administrations in Padang, Indramayu, West Java, and Maros, 
>> South Sulawesi, have gone even further in passing bylaws requiring 
>> Koran literacy among schoolchildren.
>> Some local governments cited the granting of special autonomy to 
>> Nanggroe Aceh Darussalam, a strongly Islamic area, as inspiration for 
>> the drawing up of the bylaws.
>> Earlier Monday, Justice and Human Rights Minister Hamid Awaluddin 
>> told House Commission III on legal affairs that his ministry, in 
>> collaboration with the Home Affairs Ministry, would take action 
>> against religion-inspired bylaws.
>> --
>>
>> Ba'asyir to walk free with hero's welcome
>>
>>
>> The Jakarta Post, Jakarta
>>
>> Thousands of Muslims from hard-line Islamist groups are planning to 
>> celebrate the release of Muslim cleric and Bali bombing convict Abu 
>> Bakar Ba'asyir from a Jakarta jail Wednesday (today).
>>
>> Ba'asyir supporters from the Indonesian Mujahidin Council (MMI), 
>> which he leads, the Islam Defenders Front (FPI), Hizbut Tahrir 
>> Indonesia and the Betawi Brotherhood Forum (FBR) are expected to 
>> gather outside Cipinang Penitentiary in East Jakarta on Tuesday night 
>> before escorting the cleric to his hometown in Surakarta, Central 
>> Java, late the next day.
>>
>> A huge night-time convoy, which could take about 12 hours to get to 
>> Surakarta, will be escorted by police motorcades throughout the journey.
>>
>> "At least 500 FBR men will greet Ba'asyir's release tomorrow," forum 
>> leader Fadloli El Muhir said after visiting Ba'asyir at Cipinang on 
>> Tuesday.
>>
>> Ba'asyir was sentenced to 30 months imprisonment in March 2005 for 
>> his involvement in the conspiracy to attack Bali in 2002. The 
>> bombings claimed 202 lives.
>>
>> Ba'asyir was convicted

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- PANCASILA ADALAH IDENTIAS DAN JIWA BANGSA DAN NEGARA R.I.

2006-06-22 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA
---
22 JUNI 2006.

PANCASILA ADALAH IDENTIAS DAN JIWA BANGSA DAN NEGARA R.I.

Bila disimak tulisan-tulisan dalam pers belakangan ini, tampak menyolok 
artikel-artikel ataupun komentar pendek yang mempersoalkan Pancasila 
sebagai falsafah dasar negara Republik Indonesia. Tidak kurang dari 
Presiden RI sendiri turut ambil bagian dalam diskusi tsb.

Pancasila adalah identitas dan jiwa bangsa kita. Juga identitas dan jiwa 
negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 
1945. Perjalanan hidup bangsa kita dan Republik menunjukkan hal tsb.

Arikel di bawah ini ditulis ketika memperingati ultah ke-60 Republik 
Indonesia dan kaitannya dengan Pancasila dan peranan Bung Karno. Kiranya 
tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam pemikiran mengenai 
Pancasila, bangsa dan negara Indonesia.

* * *
REPUBLIK INDONESIA dan
BAPAK PENDIRI BANGSA BUNG KARNO
Tahun ini, 2005, adalah tahun Republik Indonesia mencapai usia 60 tahun. 
Menjelang hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, 
kiranya adalah pada tempatnya mengenangkan kembali, memikirkan kembali, 
mengadakan penelitian kembali sekitar Republik Indonesia: lahir, tumbuh 
dan perkembangan serta pengkonsolidasiannya. Tidaklah terlalu pagi 
memulai penulisan seperti itu. Maksudnya tidak lain untuk menarik 
pelajaran dari pengalaman sendiri dan menatap ke depan dengan sikap dan 
semangat "berfikir positif" dan dengan pandangan optimisme.

Sesuai pemikiran tsb diatas, punya arti penting pernyataan baru-baru ini 
oleh salah seorang tokoh nasional, juga dianggap "sesepuh", mantan 
Sekjen Konferensi Asia-Arika di Bandung (1955): Roeslan Abdoelgani. 
Berkenaan dengan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni yang lalu, beliau 
menyatakan, bahwa, Pancasila (adalah) sebagai ruh dan ideologi Negara 
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini masih sangat relevan 
dan dibutuhkan untuk membangun bangsa yang bermartabat dan punya harga 
diri di mata dunia. Sehubungan dengan ini Cak Rus (panggilan akrab 
Roeslan Abgdoelgani) mengutip kata-kata Bung Karno penggali Pancasila, 
sbb: "Bangsa ini akan mengalami kesulitan besar kalau ideologi Pancasila 
ditinggalkan".

Pancasila (Alhamdulillah) sudah dipakukan di dalam UUD Negara, sebagai 
dasar falsafah negara Republik Indonesia. Syukur sampai sekarang bangsa 
ini masih berdiri tegak sebagai nasion, --- tanpa sedikitpun menutup 
mata, tanpa meremehkan berbagai tantangan dan kesulitan maupun rintangan 
yang dihadapinya dari luar maupun dari dalam. Yang merupakan  masalah 
serius ialah bagaimana Pancasila diinterpretasi, bagaimana 
pelaksanaannya dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial-budaya 
bangsa. ORBA, para sejarawan dan pakar yang mendukung ORBA, tidak 
tanggung-tanggung berusaha untuk mensalahtafsirkan, memutarbalikkan 
makna sesungguhnya Pancasila. Untuk itu mereka merekayasa dan memulas 
fakta-fakta sejarah sekitar lahirnya Pancasila. Mereka bahkan 
menyalahgunakan Pancasila untuk memberangus hak-hak demokrasi dan 
menginjak-injak HAM. Pancasila mereka gunakan untuk membenarkan 
penyerobotan kekuasaan negara dari tangan penggali Pancasila itu sendiri.

Jalan terbaik dalam memahami makna dan tujuan Pancasila, adalah 
memulainya dengan membaca dan mengkaji sendiri tulisan penggalinya, 
karya politik klasik: LAHIRNYA PANCASILA, pidato Bung Karno di muka 
Panitia Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945.

Yang tidak kurang serius, bahkan yang teramat serius, ialah bahwa Orba 
dengan sewenang-wenang menyalahgunakan Pancasila untuk memaksa bangsa 
ini BERFIKIR SERAGAM. Manusia Indonesia hanya dibolehkan berfikir 
menurut pola berfikir penguasa. Menjadikan bangsa ini bangsa yang paling 
dungu. Yang beranggapan kebenaran itu hanya ada pada penguasa, pada 
pemerintah, pada para elite, para "bapak-bapak" pemimpin. Suatu hal yang 
tidak mungkin tercapai. Kalaupun berhasil itu hanya bisa berlaku untuk 
waktu tertentu saja. Dalam hal ini 32 tahun periode ORBA. Tidak mungkin 
berhasil dalam waktu panjang, karena fikiran tsb berasal dari ideologi 
fasisme. Gerakan Reformasi dan Demokratisasi telah berhasil mendobrak 
pola berfikir seperti itu, tetapi belum tuntas. Terutama kalangan 
generasi muda dalam jumlah besar telah meninggalkan pola berfikir 
seperti itu. Namun, disebabkan belum konsisten dan belum mendalamnya 
gerakan Reformasi dan Demokratisasi, sampai dewasa ini pola baerfikir 
semacam itu masih besarang pada para elite; pada kebanyakan pemimpin, 
baik dalam badan-badan eksekutif, legeslatif ataupun judikatif; baik 
dalam birokrasi maupun aparat kekuasaan negara.

Salah satu masalah yang masih terus didiskusikan dan diseminarkan, 
dipelajari kembali dan dianalisis atas dasar fakta-fakta, adalah masalah 
PELURUSAN SEJARAH. Membicarakan kembali dengan maksud memperdalam dan 
akhirnya mentuntaskan masalah PULURUSAN SEJARAH bangsa kita terutama 
selama periode kemerdekaan, adalah sesuai dengan maksud memperingati 
HARI KEMERDEKAAN. Maka, adalah menarik apa yang ditulis oleh sejarawan, 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- WASPADAI KECENDERUNGAN TNI MAU AKTIF-POLITIK KEMBALI

2006-06-24 Thread I. Bramijn

> IBRAHIM ISA dari  BIJLMER
> 
> SABTU, 24 JUNI 2006
>
>
> WASPADAI  KECENDERUNGAN  TNI   MAU  AKTIF-POLITIK  KEMBALI
> --
>  
>
>
> Di bawah ini saya siarkan kembali tulisan :
>
> Mohammad Nasih, M.Si, analis politik di Yayasan KATALIS Jakarta,
> Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, berjudul:
>
> "PKI SELALU MENJADI KAMBING HITAM"
>
> Tulisan tsb saya terima dari  penulis Umar Said (Paris).
>
> Benar, tulisan Mohammad Nasih bersifat analitis dan dengan
> tajam mencanangkan bahaya riil bahwa TNI mau kembali lagi
> berpolitik seperti pada periode Orba, sesuai konsep "DWIFUNGSI ABRI".
>
> Kritik Mohammad Nasih tertuju pada TNI kali ini tepat pada waktunya
> halmana harus menjadi perhatian khusus kalangan TNI sendiri.
>
> Tetapi yang utama ialah agar canang ini menjadi perhatian dari yang 
> paling
> bertanggungjawab dan paling berwewenang di negeri ini: Presiden RI  
> Susilo Bambang Yudhoyono.
>
> Canang Mohammad Nasih itu merupakan peringatan bagi seluruh 
> masyarakat, khususnya 

> kaum Reformasi dan Demokrat agar selalu mewaspadai
> usaha-usaha TNI kembali aktif campur tangan dalam politik, serta 
> PERLUNYA pada
> waktunya mengungkapkannya untuk menjadi pengetahuan dan perhatian kita 
> semua.
>
>
> Ibrahim Isa
> ---
>
>
> Berikut di bawah ini disajikan selengkapnya tulisan Sdr Mohammad Mohammad
>> Nasih, M.Si,, di harian Suara Merdeka, tanggal 23 Juni 2006. Tulisan 
>> yang
>> berjudul « PKI selalu menjadi kambing hitam » menanggapi pernyataan 
>> Pangdam
>> Jaya dan Pangdam Siliwangi yang menyebut bahwa lembaga DPR disusupi
>> kader-kader komunis. Tulisan ini mengangkat, secara baik dan gamblang,
>> masalah peran TNI sebagai alat negara yang seyogyanya tidak mencampuri
>> politik.
>>
>> Pandangannya dalam tulisan ini bisa merupakan tambahan bahan renungan 
>> dari
>> tulisan « Sekitar kebangkitan komunisme dan masalah peran TNI-AD » yang
>> telah disajikan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak.
>>
>> Tulisan Sdr Sdr  Mohammad Mohammad Nasih, M.Si,, ini juga disajikan 
>> dalam
>> website, dalam kumpulan berita « Masalah antara PKI dan TNI-AD ».
>>
>> Umar Said
>> = = =   =
>> Tulisan tersebut  lengkapnya  adalah sebagai berikut :
>>   
>
> "PKI SELALU MENJADI KAMBING HITAM"
> ==
> Oleh:  MOHAMMAD NASIH, M.Si, analis politik di Yayasan KATALIS Jakarta,
>
> Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, berjudul:
>
>
> PERNYATAAN Pangdam Jaya dan Pangdam Siliwangi yang menyebut lembaga Dewan
>> Perwakilan Rakyat (DPR) disusupi kader-kader komunis yang tersebar di 
>> banyak
>> partai politik menjadi wacana yang membuat panas elite politik di 
>> Senayan.
>> Beberapa fraksi di lembaga legislatif itu bahkan langsung menanggapi 
>> secara
>> resmi pernyataan tersebut dan melayangkan surat yang menuntut agar yang
>> bersangkutan menjelaskan pernyataan tersebut dan segera meminta maaf 
>> kalau
>> tidak bisa mempertanggungjawabkannya.
>>
>> Pernyataan tentang penyusupan ini adalah pernyataan yang telah menyulut
>> suasana politik relatif terganggu. Wacana tentang Partai Komunis 
>> Indonesia
>> (PKI) merupakan wacana yang sangat sensitif.
>> TNI adalah alat negara. Pernyataan tersebut membuat TNI seolah-olah 
>> bukan
>> alat negara, melainkan alat kekuasaan dan berpretensi kepada ideologi
>> politik tertentu. Menjadikan TNI sebagai alat kekuasaan secara faktual
>> menyebabkan banyak pelanggaran dan penyelewengan kekuasaan. Sebagai alat
>> negara, TNI dalam konteks ini tidak mempunyai hak sama sekali untuk 
>> masuk ke
>> dalam wilayah politik.
>>
>> Sebagai alat negara agar dapat menjalankan tugas pertahanan dengan baik,
>> maka personelnya harus bersikap dan bertindak secara profesional. 
>> Lontaran
>> pernyataan yang bukan wewenangnya, merupakan satu bentuk bukti bahwa
>> profesionalisme yang diharapkan tersebut belum melekat pada diri 
>> prajurit
>> TNI.
>> Kasus ini membuka mata publik bahwa masih ada oknum-oknum TNI yang 
>> melampaui
>> wewenangnya, melakukan apa saja kecuali tugas yang seharusnya 
>> diemban. Ini
>> adalah sebuah realitas kontraproduktif untuk menciptakan TNI sebagai 
>> alat
>> negara yang netral dan professional sebagaimana diharapkan reformasi.
>>
>> Apa pun ceritanya, karena pernyataan tersebut sudah terlanjur 
>> dilontarkan
>> maka untuk menghindarkan fitnah, yang bersangkutan perlu melakukan
>> klarifikasi, dan jika tidak mampu mempertanggungjawabkan maka harus 
>> secara
>> lapang dada dan besar hati meminta maaf. Itulah yang harus dikedepankan
>> sebagai prajurit sejati.
>> Selain itu, sebagai alat negara yang profesional, jika toh memang ada
>> penyusupan, seharusnya hanya dijadikan sebagai laporan saja yang 
>> disampaikan
>> kepada pihak intelijen bukan untuk dijadikan sebagai opini umum.
>> Ini perlu dijadikan sebagai pengetahuan. Peran TNI hanya diperlukan jika
>> memang s

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- OPEN LETTER to the,International Secretariat of,Amnesty International,,1 Easton Street,London,WC 1X 0DW, UK

2006-02-17 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA
--
18 February 2006


OPEN LETTER to the
International Secretariat of
Amnesty International,
1 Easton Street
London
WC 1X 0DW, UK
INTERNATIONAL SECRETARIAT


Dear friends,

To date, the international community has failed to address the massacre 
of around 1 million law-abiding citizens of Indonesia, orchestrated by 
General Suharto during his rise to power in 1965-1966.

Whereas the victims of the Bali bombings of 2002, mostly 
non-Indonesians, found some measure of justice within months, more than 
four decades later the survivors of this massive crime against humanity 
as yet pass unrecognised.

Two years ago, March 27, 2004, I wrote an open letter to the Secretary 
General of the UNO, Mr Kofi Annan. Quoting his selfcriticism on the 
occasion of the memorial conference at the UN,  March 26, 2004, 
comemmorating  the tenth anniv.  of the Rwanda Genocide,  that "The 
International Community is guilty of sins of omission" , I asked his 
attention to the present situation of  i m p u n i t y   in Indonesia. 
Sadly enough I did not receive even an answer  to my letter.

Now,  I  would like to draw the attention of the Internatinal  
Secretariat to the following:

In 1965-1966 , anyone alleged to have the most tenuous links to the 
Communist Party of Indonesia was killed, at heir houses, in the streets, 
or at mass grave sites, such as the Wonosobo site, exhumed in November 
2000. Some were hit on the head and thrown vertical caves, as was done 
at the Blitar site, uncovered in August 2002. Many of the over 200.000 
political prisoners were tortured, worked or starved to death; those who 
survived did so by enduring years, often decades, of the most inhuman 
conditions.

Upon release they, like other alleged communists who survived the 
killings and avoided the jails, were systematically discriminated 
against and ostracised. The regulations introduced to deal with these 
persons remain in force even today, despite the fall of the Suharto 
regime, and include restrictions on the right to marry freely, work, 
travel and practice religion. To this day, nobody accused of being 
connected with communism is allowed to participate in elections or hold 
certain public or professional positions in society, such as practicing 
medicine, working in government departments or undertake military service.

But these systematic remnants of the massacre are by no means its most 
malevolent legacy. Far more insidious is the violent opportunism and 
mean vengeful spirit that persist to this day. This was seen in the last 
days of the Suharto dictatorship, with the so-called  'May Riots' of 
1998, during which the military encouraged civilians to rape and kill 
ethnic Chinese Indonesians, destroy or loot their property. An es 
timated 1190 were killed in Jakarta and 168 women gang-raped. In 
September 1999 the military again incited murder, this time by civilian 
militias in East Timor, after a successful referendum for independence. 
One to two thousands person were again killed.

In October 1999, the military engineered a religious war in the Maluku 
islands, causing an estimated 6000 deaths and displacing 500.000 person. 
In February 2001, an estimated 500 Madurese settlers were massacred in 
Sampit, Central Kalimantan.
None of these crimes have been properly investigated, perpetrators 
subjected to fair and independent trials, or victims conpensated.

I solemnly request the International  Secretariat of the Amnesty 
International  to do something in order to put pressure to bear upon the 
Indonesian authorities, so as to:

Conduct a full, idependent and official ivestigation into the massacre 
of 1965-66 

Ensure that major criminals are not given impunity and that the safety 
of witnesses is assured through a protection programme,

Immediately remove all discriminatory regulations against alleged former 
communists and communist sympathisers,

Protect  the human rights defenders and activitists collecting evidence 
and advocating on behalf of the 1965-1966 massacre, such as the PAKORBA, 
LPKP,  LPKROB, YPKP and the Forum  of  Coordinating Advocacy and 
Rehabilitation Team.

Sincerely yours,

Ibrahim Isa



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEUWS, 22 FEB 06

2006-02-21 Thread I. Bramijn
==
IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEUWS, 22 FEB 06
==
--- Indonesia sees 2006 growth near 6 percent
--- We really must fear for the future!
--- SBY, Xanana reach understanding
==
Indonesia sees 2006 growth near 6 percent
JAKARTA (AFP): Indonesia may achieve economic growth of nearly 6.0 
percent in 2006, up on last year's of 5.6 percent, Coordinating Minister 
for Economic Affairs Budiono said Tuesday.
"I am optimistic that achieving (gross domestic product) growth of close 
to 6.0 percent is not impossible," Budiono told reporters.
The official growth forecast for 2006 is still 6.2 percent but 
institutions such as the central bank and the World Bank, as well as 
independent economists, have predicted a lower rate. In 2004, growth was 
at 5.05 percent.
Bank Indonesia has said that due to increases in fuel prices last year, 
Southeast Asia's largest economy may grow only 5.0-5.7 percent in 2006.
Fuel prices jumped by an average of 126 percent last October as the 
government sought to slash expensive subsidies, resulting in inflation 
shooting up to 17 percent and a dramatic tighteningof monetary policy.
The International Monetary Fund said this month that Indonesia must give 
immediate priority to completing tax, labor and other key reforms aimed 
at stimulating investment crucial to boosting growth.  
---
We really must fear for the future!
One for us, all for impunity(**)

 , The Jakarta Post 21/2
Our Vice President has questioned the use of a truth commission for East 
Timor lately by saying that "Establishing a Truth and Reconciliation 
Commission to probe and resolve past human rights abuses here is 
unnecessary".
His concern is that we might be likened to South Africa's apartheid 
regime. He tries to elaborate on the issue by pointing out the aborted 
Communist coup of 1965, which he sees as outdated.
So, his argument is that because he cannot see "clear opposing opinions" 
in the East Timor case and because he thinks it is kind of "old stuff" 
to keep bringing it up, the idea of a truth commission should be dropped.
So, if the dispute is blurred enough and pretty archaic (according to 
his standards) any atrocity should not be eligible for a truth 
commission, let alone common justice.
Such an attitude does not surprise me coming from a Vice President in 
this country. It is these leaders with such versions of "wisdom" and 
"vision" that make our country worldwide notorious for its impunity.
I wonder what he had in mind when he brokered the Malino "peace 
accords". Maybe he thought "let us kiss and make up" because it is so 
damned fuzzy and forget about the over 8000 deaths, because soon that 
will be outdated too?
When our Vice President shows such insensitivities to victims of the 
past, we really must fear for the future. When we watch TV or open a 
newspaper, we cannot but see and read about clear opposing opinions.
When we honor our dead, we think about the past and what they stood for 
and what they died for. They never become obsolete, they are never 
vague. Every single drop of blood spilled has its own story to tell and 
with such an insensitive remark by Kalla, the story they are telling us 
is the one of our nation's prolonged culture of impunity.
ASHER TAURAN
Jakarta

SBY, Xanana reach understanding , February 18, 2006
Tiarma Siboro and I Wayan Juniartha, The Jakarta Post, Tampak Siring, Bali
President Susilo Bambang Yudhoyono said Friday that Timor Leste 
President Xanana Gusmao's decision to submit a report -- detailing 
alleged human rights abuses by the Indonesian Military in the former 
Indonesian province -- to the UN was a domestic matter.
"President Xanana has briefed me on the submission of the document," 
Yudhoyono said of the report by the UN-sanctioned Commission for 
Reception, Truth and Reconciliation (CAVR).
"Of course, I can understand because, in fact, (the report) is a 
domestic issue and internal process of Timor Leste, and a matter between 
Timor Leste and the UN."
Xanana provided the report to UN Secretary-General Kofi Annan in January.
Yudhoyono and Xanana conducted a joint press conference at the 
conclusion of one-day bilateral talks held at Tampak Siring Presidential 
Palace in a hill resort about 50 kilometers from Denpasar.
The meeting was attended by dozens of high-ranking civil and military 
officials from both countries, including newly installed Indonesian 
Military chief Air Marshal Djoko Suyanto and Timor Leste Foreign 
Minister Jose Ramos Horta.
The CAVR report provides a chronological detailing of the alleged abuses 
from 1975, when Indonesia invaded the former Portuguese colony, through 
1999, when the Timorese voted for independence.
The report alleges that the military used star

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- JUSUF KALA DAN SEJARAWAN D.IRVING

2006-02-22 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-
23 Februari 2006.
JUSUF KALA DAN SEJARAWAN D.IRVING
Entah mengapa . . . , ketika aku membaca di media Barat yang ramai 
memberitakan dan mengomentari sekitar kasus sejarawan Inggris David 
Irving yang baru-baru ini diadili dan divonis di Austria, ---  ummat Jahudi, orang-orang Cigan dan oposan Hitler 
lainnya>, ---  mendadak fikiranku  melayang ke tokoh elite Indonesia, 
Wapres R.I. JUSUF KALA.

Yang satu sejarawan Inggris, yang satu lagi adalah Wakil Presiden 
Republik Indonesia. Apa yang menjadi penyebabnya maka dalam fikiranku 
kedua nama itu: David Irving dan Jusuf Kala berkaitan adanya?

Ini pasti mesti ada jawabnya.

Rupanya yang ada kesamaan pada kedua tokoh tsb, -- David Irving dan 
Jusuf Kala--, ialah sikap 'agnosia' mereka terhadap fakta-fakta serta 
peristiwa sejarah. Begini: Suatu ketika, (1989), David Irving cadok atau 
'buta', sehingga tak mampu melihat fakta sejarah 'pemusnahan' fisik yang 
dilakukan Hitler terhadap orang-orang Yahudi, terkenal dengan julukan 
"HOLOCAUST". David Irving, pernah menyatakan di Austria dalam tahun 
1989, bahwa tidak benar itu bahwa Hitler membunuh berjuta-juta orang 
Yahudi. Kamp Auschwitz dan  HOLOCAUST itu tak ada, hanya karangan 
orang-orang Yahudi saja, kata Irving. Di Austria, dan di 11 negara 
Eropah lainnya, ada undang-undang yang menegaskan bahwa pendustaan 
tentang  adanya kamar-kamar gas di kamp Auschwitz dan pembunuhan 
berjuta-juta orang Yahudi oleh Hitler, -- sebagai suatu pelanggaran 
hukum. Itulah sebabnya sejarawan Irving ketika ia di Austria diseret ke 
pengadilan dan dihukum 3 tahun karena pelanggarannya itu.

Jusuf Kala, idem dito dengan sejarawan Irving. Yaitu dalam hal 
pendustaanya terhadap pelanggaran HAM dalam tahun-tahun 1965-66 dst. J. 
Kalla menganggap PEMBANTAIAN 65 terhadap warganegara Indonesia yang 
tidak bersalah karena alasan anggota partai Komunis atau diduga Komunis 
atau simpatisan Komunis, suatu pelanggaran terbesar terhadap HAM yang 
pernah terjadi di Indonesia di sepanjang sejarahnya, --- seperti sesuatu 
yang tak pernah terjadi samasekali. 'Itu kan sudah lama berlalu, apalagi 
yang harus direkonsiliasikan', kata Jusuf Kala. Begitu juga pelanggaran 
HAM yang dilakukan oleh tentara di Timor Timur, bagi Jusuf Kala itu 
bukan pelanggaran HAM.

Tapi ada perbedaan antara Jusuf Kala dengan sejarawan David Irving. 
Jususf Kala punya kekuasaan. Beliau punya kedudukan sebagai Wakil 
Presiden Republik Indonesia. Menjadi wakilnya Presiden SBY. Sebagai 
suatu negeri yang mengaku demokratis yang berprogram akan memberlakukan 
hak-hak azasi manusia, mana mungkin bisa berkiprah di bidang HAM, dengan 
pandangan seorang Wakil Presidennya yang begitu agnostisis terhadap HAM? 
J. Kala seolah-olah  samasekali tidak mengerti, tidak faham, bahwa 
pelanggaran HAM paling gawat,  yaitu membunuh manusia tanpa tuduhan yang 
dibuktikan melalui proses pengadilan yang wajar, transparan, dan 
independent dari kekuasaan, seperti yang terjadi dalam tahun-tahun 
1965-66 ketika Jendral Suharto sedang sibuk dengan kup merangkaknya, --  
bahwa itu semua adalah 'kejahatan terhadap kemanusiaan'. Suatu 
pelanggaran HAM yang kapanpun harus diusut dan diurus, agar yang tidak 
berasalah dibersihkan namanya, direhabilitasi hak-hak kewarganegaraannya 
dan yang bersalah dihukum setimpal. Tidak peduli apakah pelanggaran itu 
sudah berlalu beberapa puluh tahun lamanya.

Sedangkan David Irving seorang warganegara Inggris yang profesinya 
sejarawan belaka itu, ia tidak punya kekuasaan apa-apa.

Namun ada perbedaan lainnya yang kiranya lebih penting, yaitu ini: David 
Irving bersedia untuk mengkoreksi pandangannya setelah membaca 
fakta-fakta baru sekitar Holocaust.

Tapi Jusuf Kala, makin lama makin cadok matanya dan makin agnostisis 
terhadap fakta-fakta sejarah. Mungkin ini disebabkan karena beliau tidak 
menggunakan waktunya untuk mengikuti dengan teliti penelitian sejarah.

Jusuf Kala berkeras kepala bersikap masa bodoh terhadap pelanggaran HAM 
terbesar di Indonesia, yang terjadi pada tahun-tahun 1965-66 dan 
selanjutnya pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya semasa rezim Orba, 
seperti dalam kasus Malari, Lampung, Tanjung Priok, kasus 'Petrus', 
kasus Timor Timur, Aceh, Maluku, Papua, kasus Jakarta Mei 1998. Tidak 
demikian halnya sikap Irving. David Irving belakangan mengakui bahwa 
pendapatnya yang dinyatakannya di Austria dalam tahun 1989, bahwa  
holocaust itu tidak ada, bahwa kamp maut Auschwitz itu tak pernah ada, 
bahwa Hitler bersih dari 'tuduhan-tuduhan' tsb -- bahwa pernyataannya 
dulu itu adalah keliru.

Ia menemukan fakta-fakta baru dari catatan pribadi Adolf Eichman, salah 
seorang petinggi rezim Hitler, pengelola/pelaksana holocaust yang 
kemudian bisa ditangkap intel Israel di Amerika Latin, lalu dihukum mati 
di Israel. Fakta-fakta tsb  menyebabkan sejarawan Inggris itu mengubah 
pandangannya mengenai holocaust dan kamp maut Auschwitz. Pokoknya ia 
mengakui kesalahannya cadok fakta sejarah, lalu 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- "De februari 1941 STAKING" --,"Pemogokan Februari 1941, Amsterdam"

2006-02-24 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-
24 Februari 2006.

"De februari 1941 STAKING"  --
"Pemogokan Februari 1941, Amsterdam"

Jum'at  pagi tadi, seperti biasa tiap hari, bersama istriku Murti kami 
keluar untuk 'jalan'. Tak peduli meski suhu musim dingin kali ini 
mengigigit sampai ketulang sumsum rasanya. Bagi orang-orang seumur kami 
ini (diatas 75 tahun), g e r a k  adalah suatu keharusan. Gerak itu 
semakin penting dan fital untuk memelihara 'kondisi' badan. Tentu, 
selain itu harus menjaga diri, makan makanan yang sehat. Jangan makan 
gajih, jangan yang asin-asin, jangan banyak makan yang manis-manis. 
Sungguh pesan dokter ini sekali-kali jangan dilupakan.

Ketika memasuki Winkelcentrum Amsterdamse Poort, pusat perbelanjaan 
Amsterdam Bijlmer, segera saja mataku terpancang pada iklan besar yang 
dipasang di papan spesial. Di situ tertera: 25 Februari, HERDENKING 
FEBRUARI STAKING. 25 Februari, Peringatan Pemogokan Februari 1941. 
Diumumkan bahwa besok, hari Sabtu, tanggal 25 Februari, akan 
dilangsungkan Peringatan Pemogokan Februari 1941, di Jonas Daniel Meijer 
Plein, Amsterdam.

Mungkin untuk kaum elite Indonesia, bisa jadi juga bagi kebanyakan  
penguasa Indonesia dewasa ini, yang sudah tidak faham lagi apa itu 
hak-hak demokrasi, apalagi jika sudah kadung ambil bagian dalam 
penindasan terhadap hak-hak demokrasi warga Indonesia pada zaman Orba, 
termasuk mencabut hak-mogok warganegara, tidak gampang memahami bahwa 
suatu pemogokan kok diperingati. Pasti akan terheran-heran, bagaimana  
mungkin, negeri Belanda yang kapitalis itu, bisa-bisanya memperingati  
suatu peristiwa pemogokan. Bukankah  pemogokan itu sesuatu yang buruk, 
yang hanya dilakukan oleh kaum buruh yang tidak puas. Tambahan lagi yang 
dihasut oleh kaum Komunis atau golongan Kiri lainnya? Ya, mereka-mereka 
itu tidak mengerti bahwa, bagi kaum yang tidak punya apa-apa selain 
tenaga kerja, pemogokan itu adalah satu-satunya alat perjuangan yang 
ampuh untuk membela nasibnya.

Apalagi kalau mengetahui bahwa Pemogokan Februari 1941 di Belanda itu, 
--- inisiatif dan organisatornya adalah CPN, Partai Komunis Belanda. 
Bukankah bagi mereka itu nama Komunis itu sudah lama menjadi sesuatu 
yang tabu di Indonesia? Tambah-tambah lagi kalau tahu bahwa pamflet  
perjuangan yang menyerukan pemogokan melawan pendudukan Jerman  Hitler, 
menentang teror dan perlakuan diskriminasi-rasial dan persekusi terhadak 
warganegara Belanda asal etnik Jahudi, --- bahwa pamflet itu ditulis 
oleh seorang anggota CPN, bernama Lou Jansen. Pamflet perlawanan tsb 
ternyata telah berperan sebagai suatu  seruan umum  untuk suatu 
perlawanan nasional terhadap pendudukan nazisme Hitler.

Namun, dibawah pengaruh politik  "Perang Dingin"  Amerika Serikat dan 
NATO, -- peranan penting CPN, kaum Komunis Nederland, dalam perjuangan  
melawan pendudukan Jerman Hitler, sudah dilupakan. Bahkan sejarah 
direkayasa sedemikian rupa, seolah-olah tidak ada samasekali peranan 
kaum Komunis dalam pembebasan Nederland dan Eropah. Ini sama halnya 
dengan usaha untuk mengecilkan peranan Uni Sovyet dalam pembebasan 
Eropah dari Jerman Hitler. Begiutlah mereka memelintir peristiwa 
sejarah. Rekayasa sejarah tsb, terutama dilakukan oleh kalangan 
penguasa, pers, golongan atas, termasuk kaum cendekiawan yang reaksioner 
di Eropah dan di Barat umumnya.

Pemogokan Februari 1941 telah menjadi HARI NASIONAL BELANDA. Resmi atau 
tidak, tetapi begitulah kenyataannya. Pemogokan Februari 1941 
diperingati setiap tahun. Apakah ini disebabkan karena Amsterdam sudah 
'tradisionil'  walikotanya dari Partai Buruh, PvdA? Aku kira tidak. 
Karena, memang Pemogokan Februari 1941 mempunyai arti nasional, bahkan 
internasional. Pemogokan Februari adalah manifestasi rakyat Belanda 
menentang pendudukan dan teror fasisme Hitler, menentang persekusi 
terhadap golongan etnis Yahudi, untuk kemerdekaan, keadilan dan demokrasi.

Diumumkan juga bahwa pada peringatan Pemogokan Februari 1941 tsb akan 
bicara Komisaris Sri Ratu dan akan dibacakan sajak oleh 
penyair-budayawan Belanda Remco Campert. Kemudian akan ada defile di 
sepanjang Dokwerker.  

Pemogokan Februari 1941 yang terjadi 65 tahun yang lalu itu, dan 
berlangsung selama dua hari, terjadi tidak saja di Ameterdam, tetapi 
juga di Zaanstreek, Kennemerland, t Gooi, Utrecht dan tempat-tempat 
lainnya di Belanda.

Diperingatinya Pemogokan Februari 1941 di Belanda, mengingatkan orang 
kembali bahwa perjuangan melawan pendudukan Jerman Hitler dalam Perang 
Dunia yang lalu, terutama dimulai dan dilakukan oleh rakyat, oleh kaum 
pekerja. ***





 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wan

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON HUMAN RIGHTS IN INDONESIA

2006-02-25 Thread I. Bramijn

IBRAHIM ISA'S  -- FOCUS ON HUMAN RIGHTS IN INDONESIA
---
25 February  2006.

***   Human rights a nonissue to elite
***   SBY still seeking political support for truth body
---

HUMAN RIGHTS A NONISSUE TO ELITE
National News - February 24, 2006
Tony Hotland, Jakarta
Doing the necessary work to address human rights issues has never held 
much appeal for any administration in Indonesia.
During the many decades that Sukarno and his successor Soeharto were in 
power, rights abuses of all types occurred.
Subsequent presidents -- B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid and Megawati 
Soekarnoputri -- had little time for such issues.
Indeed, human rights were never discussed when Susilo Bambang Yudhoyono 
and Megawati were campaigning for the presidency in 2004.
On the legislative side, it does not take a genius to determine the 
House of Representatives has never lived up to its billing as the 
representatives of the people, especially regarding rights issues.
While the future protection of human rights in the country remains an 
uncertainty, settling past atrocities seems to be even less likely.
Already frustrated by a lack of action over the 1998 Trisakti and 
Semanggi student shootings, families of the victims were dealt another 
blow last Thursday when the House decided to do nothing about a 
recommendation issued by lawmakers from the previous term.
Legally flawed, the recommendation says there were no elements of gross 
human rights violations in the shootings, although an investigation by 
the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) found otherwise. 
The commission implicated the military in the shootings.
Unlike the commission, the House does not have the authority to make 
such a determination, and now this recommendation poses a hurdle to the 
Attorney General's Office as it tries to follow up on the case.
House Commission III overseeing human rights issues promised last June 
to have the recommendation revoked, providing a glimmer of hope for the 
families of the victims.
But months passed with no news until Thursday's decision, which was 
reached in a leadership forum.
House Deputy Speaker Zaenal Maarif quoted fellow Deputy Speaker 
Soetardjo Soerjogoeritno, who is said to be the person most familiar 
with the issue, as saying that revoking the recommendation would be 
unethical.
Speaker Agung Laksono says there is no precedent for revoking earlier 
House recommendations.
It can be dangerous to make assumptions, but let's try these:
Fact No. 1: Soetardjo is a top figure in the Indonesian Democratic Party 
of Struggle (PDI-P), which has close ties with the military, at least 
when it was the ruling party under Megawati's administration.
Fact No. 2: Agung is the vice chairman of the Golkar Party, an 
inseparable ally of the military during Soeharto's reign.
"Funny, even the Constitution and laws can be revised and revoked," said 
National Awakening Party legislator Nursjahbani Katjasungkana, who dealt 
with human rights cases before moving into politics.
"The idea that a decision by a commission can be overruled by four 
people is ridiculous. The leadership forum is only a substitute for a 
House consultative meeting, which deals only with scheduling issues."
Another avenue for probing past human rights cases, the Truth and 
Reconciliation Commission (KKR), is still a long way from being formed, 
almost a year since the April 2005 "deadline" for its creation passed.
The KKR eventually will investigate alleged human rights abuses that 
occurred between 1945 and 2000, with its main tasks being to seek the 
truth behind alleged abuses, facilitate a reconciliation between 
perpetrators and victims, and provide compensation and amnesty for both 
parties.
Stuck with the President is a list of 42 names to be screened for 
possible inclusion on the commission, as he is too busy to arrange a 
meeting with the screening team.
Yet, the President has time to travel the world. He even plans to visit 
Myanmar to preach democracy in another country accused of gross human 
rights abuses, as well as to South Korea to help reconcile the two Koreas.
He can spare time to play golf with colleagues and even has time to meet 
with a group of librarians to discuss a private library at his residence.
It is again shaky to make assumptions, but who's to blame?
Fact No. 1: The President, infamous for his indecisiveness, is a retired 
military general.
Fact No. 2: Vice President and Golkar leader Jusuf Kalla has openly 
expressed his objection to the KKR, calling it unnecessary.
Still waiting for justice are hundreds of families and victims of the 
1984 Tanjung Priok massacre, the 1989 Lampung incident, the 1997 forced 
disappearances of government critics, the May 1998 riots an

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- Perempuan Belanda: GRETA DUISENBERG,Mantap Sokong Perjuangan Rakyat Palestina

2006-02-27 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-
Senin, 27 Februari 2006.

Perempuan Belanda: GRETA DUISENBERG
Mantap Sokong Perjuangan Rakyat Palestina

Kali ini kutulis lagi tentang perjuangan rakyat Palestina melawan 
pendudukan Israel atas Palestina.

Ada sesuatu yang benar-benar  menggugah orang untuk mengenal  siapa 
perempuan Belanda bernama Greta Duisenberg, yang beberapa tahun yang 
lalu,  mengibarkan bendera Palestina di balkon rumahnya, yang berada di 
perumahan orang-orang  elite. Perempuan Belanda  ini juga pernah 
mengunjungi Yaser Arafat pemimpin organisasi perjuangan kemerdekaan 
Palestina, Al Fatah,  dan juga berjumpa dan bicara dengan salah seorang 
pemimpina Hamas.  

Mari ikuti siapa perempuan Belanda ini.

Di kalangan perbankan Nederland, dan di masyarakat perbankan Uni Eropah 
-- orang sudah lama  mengikuti dan mengomentari sikap dan tindak-tanduk 
njonya Greta Duisenberg,  yang dianggap  'first lady'-nya dunia 
perbankan di Eropah. Orang mengenal njonya Greta sebagai istri dari Wim 
Duisenberg, mantan presiden Bank Central Nederland dan kemudian  
presiden Bank Central Eropah yang berkedudukan di Frankfurt.   

Nyonya Greta  dianggap  'aneh', lain dari pada yang lain.  Orang juga 
tahu bahwa suaminya, almarhum Wim Duisenberg, adalah anggota PvdA, 
Partai Buruh Belanda. Pernah menjabat menteri keuangan dalam kabinet Den 
Uyl (1973-1977). Den Uyl adalah pemimpin PvdA,  dan  dianggap Kiri. Di 
dalam masyarakat Belanda yang kapitalistis ini, kabinet Den Uyl, 
dianggap yang paling progresif.  Jadi  Wim  Duisenberg sedikit banyak 
juga dianggap Kiri. Tetapi itu kan  'kirinya'  PvdA. Kirinya sosdem. 
Sering dikatakan di kalangan progresif Belanda, bahwa PvdA sering 
melenceng  ''ketengah'' . Dan bagi PvdA, dikatakan orang , bila partai 
tsb miring ''ketengah'', itu berarti bergeser ke Kanan. Sebab, PvdA, 
Partai Buruh Belanda itu, sesungguhnya, ya Kini ya Tengah. Jadi, dari 
Tengah mau ke Tengah lagi, artinya itu ke Kanan.

Nyonya Greta Duisenerg dilihat  'aneh'  karena ia itu dinilai sebagai 
elite.  Namun melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap Kiri. Tentu 
saja, karena ia kan istri seorang presiden Bank Central Eropah.  Namun 
pandangannya dinilai sebagai progresif, bahkan Kiri. Greta juga dekat 
dengan SP, Socialistische Partij Nederland. Yang menonjol dari sikap 
progresif Greta Duisenberg ialah sokongannya yang konsisten terhadap 
perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel. Beberapa tahun 
yang lalu Greta mengadakan aksi vokal membela Palestina. Dengan a.l. 
menggantungkan di balkon rumahnya   bendera Palestina.  Seorang wartawan 
Belanda menulis bahwa di mata orang-orang Israel, bendera Palestina itu, 
adalah seperti sehelai kain merah bagi seekor banteng.

Dalam tahun 2003 Greta Duisenberg  berkunjung ke daerah Palestina yang 
masih diduduki oleh Israel. Greta membantu didirikannya Grup STOP 
PENDUDUKAN Palestina. Grup ini bertujuan untuk mendidik masyarakat 
Belanda apa hakikat pendudukan Israel terhadap Palestina. Juga bertujuan 
untuk mengubah politik pemerintah Belanda berkenaan dengan masalah 
Palestina. Sikap dan kegiatan  Greta Duisenberg ini  seperti duri di 
mata golongan Kanan Belanda.

Dalam suatu wawancara yang diberikannya kepada wartawan Belanda,  atas 
pertanyaan apakah ia juga aktiv dalam gerakan menentang perang di 
Vietnam, Greta Duisenberg menjelaskan:

 "Sepanjang hidup saya, saya adalah seorang aktivis. Selamanya saya 
terlibat dengan kegiatan pembelaan hak-hak manusia, mulai dari gerakan 
anti-apartheid di Afrika Selatan; perjuangan kemerdekaan bagi Rhodesia 
(sekarang Zimbabwe), ketika itu saya berfihak pada mendiang Joshua 
Nkomo; gerakan menentang peluru kendali "Cruise" yang bekepala nuklir di 
Nederland sampai, saat ini; gerakan untuk mencapai penyelesaian adil 
bagi perjuangan rakyat Palestina dan membantu mereka membangun wilayah 
yang dimusnahkan (oleh Israel).

Ketika ditanyakan bagaimana ia terlibat dalam kampanye menentang 
pendudukan Israel atas Palestina, Greta Duisenberg memberikan penjelasan 
sederhana, sbb: (Trini Center, 26/2/2006):

"Dalam bulan April 2002 berlangsung demonstrasi besar di Amsterdam 
melawan tindakan Israel di daerah pendudukan  
Israel atas Palestina. Ketika itu saya sedang di Jerman < dimana saya 
berdiam beberapa bulan setiap tahunnya>.  Saya memesan bendera Palestina 
lewat situs dan pergi ke Amsterdam untuk ambil bagian dalam demo  tsb. 
Di jalan saya berjumpa dengan dua orang mahasiswa yang datang dari 
Jenin, Palestina, yang orangtuanya menderita sekali akibat pendudukan 
Israel. Pada saat demo sedang berlangsung   apa yang terjadi di 
Jenin baru saja berakhir,  tetapi pengepungan tentara Israel 
terhadap Gereja di Bethelehem  berlangsung terus. Wah, saya menjadi 
emosionil sekali. Dalam perjalanan pulang, saya fikir, (demo) ini tidak 
cukup, saya harus bertindak lebih lanjut. Karena saya harus bekerja di 
studio saya, maka bendera Palestina saya gantungkan di balkon.

Kenudian saya diu

[wanita-muslimah] -,IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIAN ECONOMY, 3 March 2006

2006-03-01 Thread I. Bramijn
--
IBRAHIM ISA'S  -- FOCUS ON INDONESIAN ECONOMY, 3 March 2006
--
Gas Negara commences work on pipeline project
Indonesia's inflation accelerates more than expected on food
Pertamina, Exxon Cepu deal "long way off": Source
RI to sell dollar bonds maturing in 2017, 2035
--

Gas Negara commences work on pipeline project
JAKARTA (Dow Jones): PT Perusahaan Gas Negara said Wednesday that it had 
commenced work on the South Sumatera-West Java transmission gas pipeline 
project.
The commencement of the 105-kilometer project was marked by the start of 
offshore trenching for Labuhan Maringgai, an important section of the 
South Sumatera-West Java transmission pipeline.
"The operational process is exercised by means of a dredger vessel, 
which is located 1.2 kilometers from Bojonegara port on Labuhan 
Maringgai in Cilegon, a 105-km length offshore segment," the state-owned 
gas distribution company said in a press release.
Nippon Steel Corporation will install the submarine pipelines, it said.
Offshore trenching is scheduled to be commissioned in February next 
year. (**)
---
Indonesia's inflation accelerates more than expected on food
JAKARTA (Bloomberg): Indonesia's inflation accelerated more than 
economists expected in February, increasing pressure on the central bank 
to raise its benchmark interest rate.
Consumer prices in Southeast Asia's biggest economy rose 17.9 percent 
after gaining 17 percent in the previous month, Choiril Maksum, director 
of the Central Statistics Agency (BPS) said today. That's more than the 
17.7 percent median forecast in aBloomberg News survey of 17 economists.
Consumer prices rose 0.6 percent from January, when they gained 1.36 
percent. Core inflation, which excludes food and fuel prices gained 10.2 
percent from a year earlier compared with January's 9.7 percent increase.
Today's report may prompt Bank Indonesia to raise its benchmark rate for 
the first time in three months when Governor Burhanuddin Abdullah and 
his seven deputies meet on March 7. Six interest-rate increases since 
July helped the rupiah surge 15 percent against from a four-year low in 
August, and inflation eased from a six-year high of 18.4 percent in 
November.
Food prices rose from a year earlier in February as costlier fuel 
increased transportation costs and also because landslides and floods 
last month disrupted supply.
Prices of rice, Indonesia's staple food, are about 26 percent higher 
than in the same period last year, said Bhaktiono Nasion, head of 
Cipinang Rice Market near Jakarta.
Still, rice prices fell from January as supply increased. The price of 
the best-selling rice fell 5 percent to Rp 4,600 a kilogram this month 
from February, he said.
The rupiah plunged to a four-year low against the dollar on Aug. 30 amid 
concern rising international oil prices may lead to a surge in fuel 
subsidies and the government's budget deficit.
The government's move to double fuel prices in October and interest-rate 
increases by the central bank helped the currency recover.
The currency has gained 7.2 percent this year and is the world's 
second-best performer after the Brazilian real.
The central bank raised its BI rate, which is used as a reference for 
bill sales, to 12.75 percent in December from 8.50 percent in July when 
it was introduced. Bank of Thailand's 14-day bond repurchase rate is 
4.25 percent, while Malaysia's overnightpolicy rate is 3 percent.
Interest rates in Indonesia are among the highest in the region and have 
curbed consumer spending and economic growth. (***)
-
Pertamina, Exxon Cepu deal "long way off": Source
JAKARTA (Dow Jones): Resolution of U.S. oil giant Exxon Mobil Corp. and 
state-owned Pertamina's deadlocked operating contract talks for the 
massive Cepu oil block remains "a long way off," a source close to the 
negotiations said Wednesday.
Government efforts to broker an agreement between the two companies have 
been complicated by a politicization of the dispute, the source told Dow 
Jones Newswires.
"One thing for sure is they don't want to sideline Pertamina because 
it's become a nationalistic issue...it's become a political matter and 
nobody wants to get blamed for this."
A slew of politicians and members of parliament urged the government 
last week to give the control over Cepu block in East Java to Pertamina.
Senior government officials, including Minister of Energy and Mineral 
Resources Purnomo Yusgiantoro and Minister of State-Owned Enterprises 
Sugiharto, are scheduled to meet with the Exxon Mobil and Pertamina 
negotiating teams Wednesday for a progress report.
But senior ministers have decided to leave any decision to intervene in 
the dispute to President Susilo Bambang Yudhoyono due to the potential 
political risks, the source said.
Those com

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- Adalah Tanggungjawab Pemerintah Mengurus,KASUS ORANG HILANG di INDONESIA,

2006-03-02 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA

03 Maret 2006.

Adalah  Tanggungjawab Pemerintah Mengurus
KASUS ORANG HILANG di INDONESIA


Kasus ORANG HILANG adalah salah satu dari pelanggaran besar HAM rezim 
Orba yang dibiarkan begitu saja berlalu. Ada kesengajaan tertentu. 
Dengan maksud lama-kelamaan  masyarakat samasekali melupakan KASUS ORANG 
HILANG.

Ini sama dengan sikap dan tindakan buruk penguasa, bersangkutan dengan 
kasus PEMBANTAIAN MASAL pada tahun 1965, terhadap orang-orang tak 
bersalah, yang tanpa bukti dan proses pengadilan apapun,  dituduh 
terlibat dalam peristiwa G30S. Entah berapa banyak ORANG HILANG ketika 
itu sampai kini belum terungkap samasekali.

Dengan sewenang-wenang 'menghilangkan'  seseorang  adalah suatu 
kejahatan besar. Dalam periode rezim Orba siapa saja yang dianggap bikin 
sulit,  ---   karena dengan berbagai kegiatan mengecam keras pelanggaran 
hukum dan HAM  yang dilakukan oleh rezim; dan siapa saja yang berani 
menentang rezim yang berkuasa , ---  besok-lusa  bisa  'hilang'.  
Tidak diketahui lagi dimana rimbanya. Tak seorangpun tahu dimana korban 
itu ditahan atau dikubur. Apakah masih hidup. Kalau masih hidup dan 
ditahan, ditahan di sel atau penjara mana? Dan jika dibunuh, apakah 
dibuang ke sungai atau bila dikubur, dikubur dimana. Tidak seorangpun 
mengetahuinya.  Satu-satunya  'pelanggaran' yang dilakukan oleh korban, 
ialah karena berani melawan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan 
penguasa. Dalam hal ORANG HILANG yang terjadi pada periode permulaan 
rezim Orba, yang korban-korbannya adalah rakyat biasa yang samasekali 
tak beralah, samasekali tak ada hubungannya dengan perlawanan terhadp 
rezim Orba. Karena ketika itu Orba baru saja muncul di panggung 
kekuasaan. Lagipula Presiden Sukarno secara formal masih memegang 
jabatan Presiden, namun,  secara riil adalah Jendral Suharto yang berkuasa.

KASUS ORANG HILANG di Indonesia,  adalah korban persekusi dan penindasan 
yang dilakukan oleh rezim Orba selama bertahun-tahun. Tujuannya adalah 
untuk menakut-nakuti dan membungkam kritik masyarakat terhadap ketidak 
adilan dan kesewenang-wenangan rezim.

Penderitaan keluaga korban, apakah itu ibu atau bapaknya, suami atau 
istrinya, putra atau putrinya, adik, abang atau pamannya,  tak kunjung 
berakhir.  Terus saja  berkepanjangan dari bulan ke bulan, dari tahun 
ketahun, entah sampai kapan. Bagi keluarga yang ditinggalkan sang 
koraban selamanya merupakan "orang hilang". Tetap merupakan 'misteri'. 
Barangkali  hanya suatu keajaiban saja  yang mampu  mengungkap "misteri 
ORANG HILANG".. . .
Nyatanya, sampai saat ini, KASUS ORANG HILANG   tetap masih  suatu'm 
i s t e r i'.  Meskipun itu suatu 'misteri',  namun, bukan berarti tidak 
diketahui siapa yang bertanggungjawab. Bukankah seringkali orang hilang 
itu, terakhir  terlihat ketika korban  dibawa  aparat keamanan ke salah 
satu markas.  

Sudah lebih dari empat-puluh tahun berlalu sejak terjadinya peristiwa 
G30S,  Oktober 1965, pada saat ketika telah berlangsung pembantaian 
masalah terhadap orang-orang tidak bersalah. Semata-mata karena tuduhan 
anggota PKI atau simpatisan PKI, serta tuduhan terlibat atau berindikasi 
terlibat dalam G30S. Bukankah sudah waktunya untuk menyadari bahwa 
adalah kewajiban setiap pencinta keadilan dan kebenaran untuk 
memperjuangkan diakhirinya kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Agar 
pelanggarah HAM besar-besaran tsb tidak dilupakan dan diurus semestinya 
oleh pemerintah yang berwewenang.

Di antara sedemikian banyaknya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh 
rezim Jendral Suharto,  yang masih belum dijamah,  adalah KASUS ORANG 
HILANG!

Bicara mengenai ORANG HILANG,  salah satu dari korbannya adalah WIJI 
THUKUL, penyair muda dan pejuang demokrasi. Dalam waktu panjang pers 
Orba 'mem-black-out' pemberitaan sekitar HILANGNYA WIJI THUKUL. Namun,   
suatu kejahatan, sesuatu yang busuk, akhirnya tokh akan terbongkar 
juga.  Kini masyarakat mengetahui, bahw Wiji Thukul adalah salah seorang 
dari korban kekejaman rezim Orba. Yang sampai saat ini masih  berstatus  
ORANG HILANG.

Pemerintah bukan saja belum mengurusnya, tetapi bahkan, telah sedemikian 
lama menterlantarkannya. Padahal gerakan Reformasi dan Demokratisasi 
formalnya telah mengakhiri rezim Orba dan menggulingkan orang yang 
paling bertanggungjawab mengenai  kejahatan  terhadap kemanusiaan, yaitu 
Jendral Suharto yang sempat menduduki jabatan Presiden RI selama lebih 
dari 30 tahun.

Perjuangan untuk keadilan tak dapat dipadamkan!

Begitu juga halnya perjuangan untuk mengungkap KASUS ORANG HILANG. Maka 
pada tanggal 23 September 1998, 4 bulan sesudah digulingkannya mantan 
Presiden Jendral Suharto, para korban dan anggota keluarga ORANG HILANG, 
dan sejumlah aktivis prodem dan kemanusiaan, berhasil mendirikan IKOHI, 
Ikatan Keluarga Orang Hilang. Empat tahun kemudian,  dalam bulan Oktober 
2002, dilangsungkan Kongres Pertama IKOHI.

Dalam hari-hari ini, mulai tanggal 07 Maret  s/d 10 Maret 2006, IKOHI 
akan menyelenggarakan Kong

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- A SOLEMN AND URGENT APPEAL

2006-03-03 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA
Member of the A.I. Netherlands, No.8351805

March 3, 2006

A SOLEMN AND URGENT APPEAL
 
---  To The INTERNATIONAL SECRETARIAT (IS) of the AMNESTY INTERNAIONAL, 
London.
---  To Amnesty International, the Netherlands.


SUPPORT The SECOND CONGRESS of the IKOHI, in Indonesia.
===


Esteemed Leading Members of the Amnesty International
in Amsterdam and London,


This TRANSPARENT APPEAL to the Amnesty International in the Netherlands 
and the International Secretariat (IS) in London, is meant to underline 
the urgency of the solemn request I made to you, to support, i.e. to 
express your open support and solidarity to the Second Congress of the 
IKOHI, a HUMAN RIGHTS organization in Indonesia, for the victims of the 
DISSAPPEARED.

Recently I received an invitation to attend the Second Congress of the 
IKOHI, to be held in Makassar, Indonesia, from 07 March to 10 March 
2006. As informed by the IKOHI, the Attorney General of Indonesia, Mr 
Abdulrahman Saleh, was invited to make an opening speech. The IKOHI is 
an NGO wellknown in Indonesia.

For your information, I am forwarding herewith, the letter of IKOHI I 
received, as follows:

==
Invitation and Call for Solidarity Message on
the Occasion of the 2nd Congress of the IKOHI, Indonesia
==

Dear friends,
First let me introduce our organization, the Indonesian Association of 
Families of the Disappeared (IKOHI). IKOHI was established by the 
victims and relatives of victims of disappearances on September 23, 
1998. It was only 4 years later that we were able to conduct our 1st 
Congress in October 2002.

Besides our work in the local and national level, IKOHI has also been 
part of the international struggle against disappearances, as since 2003 
IKOHI has been the member of the Asian Federation Against Involuntary 
Disappearances (AFAD).

Soon, IKOHI is going to carry out its 2nd Congress on March 7-10, 2006 
in Makassar, Sulawesi. The Congress will be attended by some 100 victims 
and families of victims of human rights violation representing the 
branches of IKOHI, networks and victim's communities from all over 
Indonesia, including Aceh and Papua.

The theme of the 2nd Congress is "Developing and Strengthening 
Organization of Victims of Human Rights Violation to Fight for Justice 
and Truth and Combating Impunity". The Congress is aimed at 
consolidating members and networks, strengthening solidarity among 
victims, uniting platform, mission and vision of IKOHI for achieving 
justice, truth and reparation, and
ending impunity.

Participated by 100 representatives from branches and
networks in 12 provinces in Indonesia, the Congress as the highest 
decision making body will gather for 4 days in Makassar of the capital 
of the eastern province of South Sulawesi to formulate the constitution 
and by-law, strategic long term programs, election of national executive 
and resolutions on Truth Commission, Human Rights Court and Impunity.

The Congress will be opened with the opening remarks of
the Attorney General, Mr Abdulrahman Saleh and
ended with the rally to the Indonesian Muslim University
(UMI) in Makassar to express solidarity with the victims of the Bloody 
April Incident in 1996 (AMARAH), and Bloody May Incident in 2004 (MEMAR) 
that took lives of the pro democracy students in the area.

During the opening ceremony, IKOHI as the organization of the victims of 
human rights violation will also give an IKOHI Award to the late Munir 
for his bravery and consistency in fighting along with the victims for 
truth, justice and reparation.

In regards to this, we are inviting you to attend the said activity as 
an observer. However, due to the limited fund we have, we will only be 
able to shoulder your accommodation during your stay in the 2nd Congress.

However, if you are not able to attend, we are calling for you or your 
organization to send us your solidarity message to the said activity. 
The said solidarity message can be sent via email address: 
[EMAIL PROTECTED] or the fax number: +62-21-31904733.

We are looking forward to hearing from your response soon.

In solidarity,
Mugiyanto
Chairperson

DISAPPEARANCES, NUNCA MAS!
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia - IKOHI
Indonesian Association of Families of the Disappeared
Jl. Borobudur No. 14, Jakarta 10320
Telp/Fax: +62-21-31904733
Email: [EMAIL PROTECTED], Web: www.ikohi.org
JAKARTA - INDONESIA


* * *

Dear Friends,

The Second Congress of the IKOHI is about to begin its deliberations, 
four days from to-day, i.e. March 07, 2006. The IKOHI Congress will 
close March 10, 2006.

As an international organization and movement dealing with HUMAN RIGHTS, 
it is widely and rightly expected that the AMNESTY INTERNATIONAL in 
London and the The Netherlands branch of t

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN VIEWS AND NEWS, 4 MARCH 06

2006-03-04 Thread I. Bramijn
=
IBRAHIM ISA'S  -  SELECTED INDONESIAN VIEWS AND NEWS, 4 MARCH 06
=
Freeport's imbroglio
SBY promises probe into Freeport fracas
Where does leader's accountability lie?
=
Freeport's imbroglio , Jakarta Post Editorial
The stated motives behind the series of recent street demonstrations by 
Papuans in Jayapura, Jakarta, Semarang and Makassar, demanding the 
closure of Freeport's giant mine in Papua, are said to be because the 
mine does not benefit the local people. But such complaints are highly 
questionable, even mind-boggling.
The presumed trigger for the demonstrations was a minor clash Feb. 21 
when Freeport security guards ordered at least 100 illegal miners to 
stop panning for gold just outside the Grasberg copper and gold mine. 
Only one security guard was reported hurt, but the local gold panners 
and their supporters succeeded in halting the mine's operations for 
three days.
The street protests in the four aforementioned cities against PT 
Freeport Indonesia, the unit of U.S.-based Freeport-McMoRan Copper & 
Gold Inc., seemed to only have a tenuous connection to the local miners' 
grievances. The city protesters stated that they wanted the closure of 
the Freeport mine, which last year produced 793,000 metric tons of 
copper and 3.55 million ounces of gold (and paid over US$130 million in 
taxes to the government).
Such street demonstrations have become commonplace here since 1998-1999, 
when Soeharto's exit unleashed a collection of activists -- 
non-governmental organizations, local leaders -- some touting genuine 
community interests, several with selfish interests and ulterior motives 
-- most of whom were kept silent during Soeharto's authoritarian rule.
The resulting breakdown of law and order in several provinces, combined 
with the virtual meltdown of the national economy, had made many big 
resource-based ventures, located mostly in remote areas, highly 
vulnerable to arbitrary claims or other forms of opposition.
We have also observed protests from environmental and human rights 
groups, which accused large companies like Freeport of damaging the 
environment, violating basic human rights or being involved in the 
intricate web of Soeharto's crony capitalism.
Freeport, which began production in Papua in 1972, could have been an 
integral cog of Soeharto's politico-business machinery and could have 
been inevitably drawn into collusion and corruption, which characterized 
the Soeharto era. But none of the allegations charged against the New 
York-listed company has ever been proven in court.
Now that such street protests emerged again without any major accident 
or incident, we cannot help but to be reminded of a similar "incident" 
that hit PT Kaltim Prima Coal, in East Kalimantan, which was then 
controlled by BP (now called "Beyond Petroleum") and Anglo-Australian 
company Rio Tinto, in 2003.
Kaltim Prima, which operates one of Indonesia's largest coal mines, was 
then hit by a barrage of protest demonstrations that halted its 
operations. As it happened, BP and Rio Tinto were then facing deadline 
pressures to divest their shares in the coal mine to Indonesian 
interests. So damaging had been the impact of the demonstration and 
blockade of its mining operations that both foreign companies hastily 
sold their controlling interests, reportedly at a fire-sale prices, to 
PT Bumi Resources-- a unit of the Bakrie Group, a diversified 
conglomerate connected to the Bakrie family (of which Aburizal Bakrie, 
the welfare minister is an integral part) -- simply to get out of its 
mining operations in the province as soon as possible.
It may well be purely coincidence that Freeport McMoRan, at the request 
of the Indonesian government, is also offering 10 percent of its shares 
to private Indonesian interests under the condition that the transaction 
must be concluded at a fair market price. Analysts say the market value 
of the 10-percent stake, based on its latest quotations in the New York 
Stock Exchange, is now about US$1.2 billion.
The 10-percent stake had actually been sold in 1991 to PT Bakrie 
Brothers, which later resold it to PT Nusamba, controlled by Soeharto's 
golf buddy Mohammad Bob Hasan, as part of the realization of Freeport 
McMoRan's divestment of 20 percent of its interests in FI -- the other 
10 percent was sold to the Indonesian government. However, because 
Nusamba defaulted on its debt after the 1998 economic crisis, Freeport 
McMoRan reacquired the 10 percent stake.
Even though, Freeport McMoRan is not facing any deadline pressures for 
the divestment, we cannot help but suspect that some provocateur might 
have been playing a big part in the current protest demonstrations in a 
subterfuge to drive down Freeport McMoRan's share prices.
Whatever the real motive of the protest demons

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN VIEWS AND NEWS, 4 MARCH 06

2006-03-04 Thread I. Bramijn
=
IBRAHIM ISA'S  -  SELECTED INDONESIAN VIEWS AND NEWS, 4 MARCH 06
=
Freeport's imbroglio
SBY promises probe into Freeport fracas
Where does leader's accountability lie?
=
Freeport's imbroglio , Jakarta Post Editorial
The stated motives behind the series of recent street demonstrations by 
Papuans in Jayapura, Jakarta, Semarang and Makassar, demanding the 
closure of Freeport's giant mine in Papua, are said to be because the 
mine does not benefit the local people. But such complaints are highly 
questionable, even mind-boggling.
The presumed trigger for the demonstrations was a minor clash Feb. 21 
when Freeport security guards ordered at least 100 illegal miners to 
stop panning for gold just outside the Grasberg copper and gold mine. 
Only one security guard was reported hurt, but the local gold panners 
and their supporters succeeded in halting the mine's operations for 
three days.
The street protests in the four aforementioned cities against PT 
Freeport Indonesia, the unit of U.S.-based Freeport-McMoRan Copper & 
Gold Inc., seemed to only have a tenuous connection to the local miners' 
grievances. The city protesters stated that they wanted the closure of 
the Freeport mine, which last year produced 793,000 metric tons of 
copper and 3.55 million ounces of gold (and paid over US$130 million in 
taxes to the government).
Such street demonstrations have become commonplace here since 1998-1999, 
when Soeharto's exit unleashed a collection of activists -- 
non-governmental organizations, local leaders -- some touting genuine 
community interests, several with selfish interests and ulterior motives 
-- most of whom were kept silent during Soeharto's authoritarian rule.
The resulting breakdown of law and order in several provinces, combined 
with the virtual meltdown of the national economy, had made many big 
resource-based ventures, located mostly in remote areas, highly 
vulnerable to arbitrary claims or other forms of opposition.
We have also observed protests from environmental and human rights 
groups, which accused large companies like Freeport of damaging the 
environment, violating basic human rights or being involved in the 
intricate web of Soeharto's crony capitalism.
Freeport, which began production in Papua in 1972, could have been an 
integral cog of Soeharto's politico-business machinery and could have 
been inevitably drawn into collusion and corruption, which characterized 
the Soeharto era. But none of the allegations charged against the New 
York-listed company has ever been proven in court.
Now that such street protests emerged again without any major accident 
or incident, we cannot help but to be reminded of a similar "incident" 
that hit PT Kaltim Prima Coal, in East Kalimantan, which was then 
controlled by BP (now called "Beyond Petroleum") and Anglo-Australian 
company Rio Tinto, in 2003.
Kaltim Prima, which operates one of Indonesia's largest coal mines, was 
then hit by a barrage of protest demonstrations that halted its 
operations. As it happened, BP and Rio Tinto were then facing deadline 
pressures to divest their shares in the coal mine to Indonesian 
interests. So damaging had been the impact of the demonstration and 
blockade of its mining operations that both foreign companies hastily 
sold their controlling interests, reportedly at a fire-sale prices, to 
PT Bumi Resources-- a unit of the Bakrie Group, a diversified 
conglomerate connected to the Bakrie family (of which Aburizal Bakrie, 
the welfare minister is an integral part) -- simply to get out of its 
mining operations in the province as soon as possible.
It may well be purely coincidence that Freeport McMoRan, at the request 
of the Indonesian government, is also offering 10 percent of its shares 
to private Indonesian interests under the condition that the transaction 
must be concluded at a fair market price. Analysts say the market value 
of the 10-percent stake, based on its latest quotations in the New York 
Stock Exchange, is now about US$1.2 billion.
The 10-percent stake had actually been sold in 1991 to PT Bakrie 
Brothers, which later resold it to PT Nusamba, controlled by Soeharto's 
golf buddy Mohammad Bob Hasan, as part of the realization of Freeport 
McMoRan's divestment of 20 percent of its interests in FI -- the other 
10 percent was sold to the Indonesian government. However, because 
Nusamba defaulted on its debt after the 1998 economic crisis, Freeport 
McMoRan reacquired the 10 percent stake.
Even though, Freeport McMoRan is not facing any deadline pressures for 
the divestment, we cannot help but suspect that some provocateur might 
have been playing a big part in the current protest demonstrations in a 
subterfuge to drive down Freeport McMoRan's share prices.
Whatever the real motive of the protest demons

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- * HASIL PEMILIHAN BELANDA: KIRI MENANG !,*.WANITA -- SEDERAJAT PRIYA -- MESTINYA!

2006-03-08 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-
Rabu, 08 Maret 2006.
* HASIL PEMILIHAN BELANDA: KIRI  MENANG !
*.WANITA -- SEDERAJAT PRIYA -- MESTINYA!

-
  
 


Hari ini adalah  hari Rabu 08 Maret, 2006:  Hari Wanita Internasional. 
Kepada istriku telah ku sampaikan ucapkan SELAMAT HARI WANITA 
INTERNASIONAL. Bukan gurau!,
Sungguhan!

Ketika belanja ke  daerah pertokoan tadi pagi, aku beli 4 ikat (bos) 
bunga mawar pelbagai warna (merah, putih, kuning dan jingga) -- untuk di 
rumah, dalam rangka memperingati HARI PEREMPUAN.  Mengenai Hari 
Perempuan kali ini, aku kira, juga agak istimewa.  Maka aku akan menulis 
sedikit.  
Pemicunya, a.l. ialah tulisan sahabatku Goenawan Mohamad di  Tempo, 
ketika ia menanggapi masalah sekitar  "RUU Anti-Porno".  Tulisannya 
berjudul 'RUU PORNO - Arab atau Indonesia?".  Apa  perancang dan 
pendukung RUU tsb barangkali  mau melebihi Arab? Kok, pas sekali, --  
di   satu fihak,  di Indonesia sedang serius-seriusnya didiskusikan --  
apa ditolak, diterima, RUU Anti-Porno dinalkisis dengan tajam.  

Pas  pula di  lain fihak  --   dalam rangka memperingati Hari Wanita 
Internasional -- di pelbagai negeri marak demo-demo kaum perempuan 
menuntut sama hak dengan priya.  Antara lain, di Pakistan, Bangladesh, 
Malaysia dan Indonesia diberitakan tentang adanya demo-demo tersebut.  
Lalu, mengapa sebagian anggota DPR - RI malah merancangkan UU,  yang 
katanya anti-porno, tetapi kelihatan tujuannya kok lebih jauh dari itu. 
Dikahawatirkan betul bahwa yang jadi korban  pertama dari UUD Anti_Porno 
semacam itu nantinya adalah kaum perempuan yang sampai kini, di manca 
negara  masih  menderita banyak  peraturan dan ketentuan diskriminastif.

Kekhawatiran  yang lebih gawat ialah, bahwa  RUU semacam itu, yang 
menjadikan perempuan sebagai obyek semata-mata,  jebolnya merupakan 
manuver sementara parpol dan fihak, untuk men - Syariat-kan  Indonesia 
dengan jalan lain. Gagal dalam usaha lewat Amandemen UUD-RI, mau di 
terobos jalan pintas. Apa begitu maksudnya?  Itu berarti menambahkan  
satu faktor lagi yang akan membikin masyarakat kita ini,  tidak kunjung 
dapat bersatu, tidak dapat hidup dengan harmonis, tidak dapat 
mentrapkan  kebijaksanaan  bersatu di atas dasar falsafah BHINEKA 
TUNGGAL IKA. Suatu falsafah yang memungkinkan kita dengan berhasil  
berjuang bersama melawan konolialisme dan impeialisme, untuk kemerdekaan 
nasional Indonesia.

Aku sendiri  tidak  akan meneruskan dulu pembicaraan tentang soal ini.  
Tunggu dulu sebentar. Nanti sesudah sedikit menaggapi hasil 'pemilihan  
untuk wakil-wakil rakyat di gemeente" di Holland kemarin.

PEMILLIHAN untuk  perwakilan rakyat di  dewan GEMEENTE di HOLLAND:
Peristiwa penting ini tidak bisa  aku biarkan berlalu begitu saja. Apa 
yang terjadi kemarin di tempat kediamanku di Bijlmer,  Amsterdam 
Zuidoost, Holland, adalah terlalu penting.  Kemarin itu ---  telah 
berlangsung pemilihan untuk  dewan perwakilan  di 'gemeente'  seluruh 
Belanda, termasuk daerah kami. Stadsdeel Zuidoost.  Di negeri ini setiap 
4 tahun ada pemilihan untuk dewan perwakilan. Tetapi kali ini agak 
istimewa. Karena hasilnya  bukan saja jauh berbeda dengan   hasil 
pemilihan  4 tahun yang lalu, tetapi  merupakan suatu , katakanlah, 
penjungkir balikkan bagi partai-partai pemerintah.

Hari ni koran-koran pagi Belanda,  semua  memberitakan dan mengomentari 
hasil pemilu 07 Maret 2006  kemarin untuk perwakilan rakyat  di 
'gemeente'  -- kotapraja, kota madiya, daerah atau kecamatan. Radio dan 
TV sudah sejak jam 11 tadi malam dengan gaya masing-masing memberitakan 
hasil-hasil pemilihan.

Belanda, suatu negeri yang sudah  berkembang maju memang beginilah. 
Mulai jam 08.00 pagi  pelbagai lokasi kotak-kotak suara sudah dibuka. 
Ada yang di toko, ada yang di stasiun k.a. dan ada yang di sekolah. 
Santai saja. Tetapi serius. Cara memilih amat modern: --elektronis.  
Tidak lagi perlu menggunakan pena atau pinsil, tapi main sénggol saja 
dengan jari telunjuk di atas layar kaca yang memuat pelbagai nama partai 
dan calon-calonnya.. Jam 11.15 malam kemarin itu juga,  hasil pemilihan 
sudah diumumkan. Lagipula pemilihan di kebanyakan negeri Eropah Barat, 
sudah tidak memerlukan pemantau khusus lagi. Karena, sudah dianggap 
semua pada tahu aturan main, dan tidak akan memanipulasi hasil 
pemilihan.  Memang benar, tak ada manipulasi.  Yang meragukanpun tak 
ada.  Sesuatu yang boleh dicontoh dari Belanda. Bukankah begitu . . . . 
. Pak Yusril?

Siapa yang menang?  Ini dia yang kukatakan suatu penjungkir balikkan 
bagi partai-partai pemerintah.  Yang menggondol kemenangan  besar adalah 
partai-partai  Kiri  yang  selama ini melakukan oposisi : yaitu PvdA 
(Partai Buruh)  dan Socialistische Partij (SP). Bila digabung dengan 
partai Kiri lainnya yaitu GROEN LINKS (Kiri Hijau-- Hijau bukan hijaunya 
Islam, tetapi adalah hijaunya lingkungan alam sekitar), m

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SUDAH WAKTUNYA: -- JADIKAN KARYA-KARYA PRAMOEDYA MATA PELAJARAN WAJIB!!,

2006-05-03 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 03 Mei 2006.

SUDAH WAKTUNYA: -- JADIKAN KARYA-KARYA PRAMOEDYA MATA PELAJARAN WAJIB!!

--

Tidak sedikit orang Indonesia, terlebih-lebih generasi mudanya, yang 
tergugah dan bangkit rasa cinta tanah air dan kebangsaannya,- - - selain 
mereka-mereka yang bertambah pengetahuan sejarahnya mengenai tumbuh dan 
perkembangan nasionalisme patriotik di tanah air kita. Itulah yang 
terjadi   setelah membaca karya-karya Pramoedya, teristimewa 
Tetralogi Pramoedya, yaitu "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak 
langkah" dan "Rumah Kaca". Karya-karya sastra itu semua adalah hasil 
ciptaan Pramoedya selama ia diasingkan Orba ke pulau Buru (14 tahun 2 
bulan)oleh Orba.

Sesuatu yang benar-benar baru bagi banyak pembaca dan yang betul-betul 
mengagumkan -- ialah, bahwa perubahan juga terjadi setelah membaca 
karhya-karya Pram tsb, . . . pada seorang asing. Ia adalah mantan 
diplomat Australia di Jakarta pada zaman Orba.

Orang asing tsb, --- Max Lane --, adalah diplomat Australia yang setelah 
membaca buku-buku Pram, tergugah  dan tergerak hatinya, karena 
mengangggap buku Pram itu begitu bagus. Maka ia ingin sekali supaya 
banyak orang membacanya, termasuk orang-orang asing. Max lalu 
menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Ketika itu zaman masih 
berkuasanya Jendral Suharto dimana Max ditempatkan sebagai diplomat 
Australia,  maka sudah bisa diduga bahwa Max Lane akan menanggung 
akibatnya. Suatu kelanjutan yang cukup berat atas perubahan yang terjadi 
pada dirinya sesudah membaca karya Pram dan kemudian menterjemahkannya 
ke dalam bahasa Inggris. Cepat saja terjadi, Max Lane dipecat dan 
disuruh pulang oleh dubes Australia di Jakarta ketika itu. Komentar Max 
Lane: Saya tidak menduga dubes Australia sebiadab itu.

Sudah banyak yang tahu, bahwa Max Lane, diplomat Australia yang 
didetasir di Jakarta ketika itu, adalah orangnya yang pertamakali 
menterjemahkan "Bumi Manusia"-nya Pram ke dalam bahasa Inggris. Sehingga 
buku Pram itu, sekejap masuk ke khazanah dunia sastra mancanegara. 
Tetapi baru kali ini aku ketahui, setelah membaca wawancara Max Lane 
dengan Radio Hilversum,  bahwa,   perubahan fundamental dalam 
pemikiran Max Lane, yang terpting a.l. terjadi sesudah ia membaca 
karya-karya Pram. Max Lane, dikatakan menjadi "Marxis", setelah membaca 
buku Pramoedya.
Kata Max Lane: "Pada saat itu juga sehabis baca, saya pergi ke Pak Pram 
dan juga kepada Pak Joesoef Isak untuk membicarakan kemungkinan 
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
 
"Sesudah membaca buku Pramoedya, sesudah kembali ke Australia saya 
memang terjun dan tenggelam di gerakan aktivis demokrasi dan sosialis 
Australia sejak saat itu". Demikian Max Lane.

Kiranya banyak dari  generasi muda kita yang setelah membaca karya-karya 
Pram, terbuka fikirannya, tergugah hatinya dan siapa tahu, banyak pula 
yang kemudian menjadi Kiri. Pada zaman masih jaya-jayanya Orba ketika 
itu, anak-anak muda kita banyak yang secara diam-diam, katakanlah "di 
bawah tanah", -- menyebarkan buku Pram. Kalau risiko yang ditanggung  
Max Lane adalah dipecat sebagai diplomat, maka para mahasiswa kita itu, 
ada yang ditangkap dan dikeluarkan dari universitas. Ini a.l. yang 
dialami oleh puteranya Jusuk Isak sendiri. Pemimpin Penerbit "Hasta 
Mitra", penerbit Indonesia yang dilahirkan di zaman Orba, untuk bisa 
menerbitkan karya-karya Pram. "Hasta Mitra" berjuang jatuh bangun, 
pontang pontang-panting untuk menerbitkan dan akhirnya berhasil 
mengedarkan karya-karya Pramoedya tsb, bukan saja di Indonesia, tetapi 
juga di seluruh dunia.

Maka, bila terjadi, seperti a.l. diungkapkan di dalam sajak Goenawan 
Mohammad, bahwa disaat pemakaman Pramoedya, sejumlah anak-anak muda, 
mungkin sekali termasuk yang tua-tua, dengan mengepalkan tangan kiri 
mereka menyanyikan lagu "Internasionale" dan "Darah Rakyat", itu logis, 
w a j a r   dan menunjukkan pemikiran dan nurani yang s e h a t. Syukur 
Alhamdulillah ini masih terjadi di Indonesia! Masih ada di kalangan kita 
yang jernih fikirannya dan bersih nuraninya.

Dalam kenyataannya Tetralogi Pramoedya telah menjadi salah satu tembakan 
meriam awal bagi usaha pelurusan sejarah Indonesia. Hal mana menunjukkan 
bahwa Pram bukan saja sastrawan besar Indonesia, tetapi juga adalah 
salah seorang pemikir cendekiawan Indonesia yang menyelam dalam ke 
kehidupan sejarah bangsa ini.  

Maka pantaslah kita perhatikan dan khayati tanggapan Max Lane atas 
Tetralogi Pramoedya, berikut ini: "Kualitasnya dan isinya. Bukan hanya 
kualitasnya dalam semacam ukuran sastra, tetapi sebagai suara dari 
revolusi bangsa Indonesia itu, suara yang kental sekali dengan 
kerevolusionerannya dan dengan kekayaan pengalaman revolusi nasional 
Indonesia. Padahal buku itu hanya menggambarkan asal mulanya. Tapi 
dengan menggambarkan asal mulanya revolusi Indonesia itu, kita bisa 
membayangkan betapa kaya dan betapa membebaskan proses revolusi yan

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- BACA TULISAN WILSON: - PRAMOEDYA----HASTAMITRA----MAXLANE

2006-05-04 Thread I. Bramijn



IBRAHIM ISA dari BIJLMER
---
Kemis, 4 Mei 2006.


BACA TULISAN WILSON:
Inilah  triumvirat yang membuat karya Pramoedya menjadi karya dunia  
PRAMOEDYAHASTAMITRAMAXLANE

Pagi ini baru saja kubaca tulisan Wilson, sahabatku di Jakarta, mengenai 
saling hubungan kerjasama seperjuangan antara Pramoedya, Jususf Isak, 
pemimpin penerbit Hasta Mitra dan Max Lane. Tulisan  Wilson yang 
kupublikasikan ulang ini,  berdata November 2001. Jadi Wilson menulisnya 
ketika Pramoedya masih hidup. Dapat dipastikan Pram juga telah 
membacanya. Sekiranya ada yang tidak sesuai dalam tulisan itu, bisa 
dipastikan pula, Pram akan mengkoreksinya. Begitu juga halnya dengan 
Jusuf Isak, Pemimpin Hasta Mitra. Pasti ia akan mengkoreksi tulisan 
Wilson lima tahun yang lalu, bila di situ ada kekeliruan atau yang tidak 
sesuai dengan apa yang terjadi dengan Tiumvirat tsb. Juga Max Lane masih 
hidup. Bisa memngkoreksinya bila salah.

Kemarin aku menulis sebuah kolom, dengan tujuan jelas, agar Pemerintah 
Indonesia, bila benar-benar ingin menghargai Pramoedya, bisa mengambil 
langkah historis, dengan mengatur sedemikian rupa, agar karya-karya 
Pramoedya Ananta Toer, khususnya Tetralogi Pulau Buru, dijadikan mata 
pelajaran wajib di semua  sekolah dan lembaga pendidikan Indonesia.

Alasanku: Di satu fihak -- Ini adalah pesan dan saran seorang sahabat 
dari Australia yang amat berkepedulian dengan haridepan Indonesia, 
mengajukan sesuatu yang kongkrit, positif dan benar. Bagiku:  
Karya-karya Pram akan lebih lanjut memperkuat  pendidikan kebangsaan 
kepada generasi muda dan seluruh masyarkat, mengenai  perjuangan bangsa 
Indonesia, mengenai pembangunan nasion Indonesia. Lebih lanjut mengenal 
dan mengkhayati identitas kita sebagai bangsa Indonesia, dengan demikian 
memperbesar cinta sayang kepada tanah air, dan memberikan sumbangan 
bakti demi  haridepan bangsa ini.

Di bawah ini adalah tulisan Wilson yang dimaksudkan:

* * *
Inilah  triumvirat yang membuat karya Pramoedya menjadi karya dunia
PRAMOEDYAHASTAMITRAMAXLANE

PANTAU Tahun II Nomor 019
Nopember 2001 halaman 50-55

Berhilir pada Sastra, Berhulu pada Politik
Kisah Max Lane dari penterjemah Pramoedya  akhirnya jadi pejuang politik.

Oleh: WILSON
PADA April 2000 Sydney Morning Herald menulis, "Kolaborasi antara Max 
Lane dan
Pramoedya telah mempengaruhi takdir sejarah keduanya." Kalimat ini 
mungkin lebih tepat untuk Lane. Bagi Pramoedya Ananta Toer, novelis 
Indonesia yang secara internasional mungkin paling terkenal, takdir 
hidupnya sebagai pengarang tak akan dilupakan orang, baik sebelum maupun 
sesudah mengenal Max Lane. Namun, bagi Lane, nasibnya sebelum dan 
sesudah bertemu Pramoedya jelas sangat berbeda.

Sebelum bertemu Pramoedya, mungkin pria ini akan berkarier bagus sebagai
diplomat Australia. Max Lane kini berusia 50 tahun. Dengan tubuh tambun 
dan senyum menawan ia sosok yang tak mudah dilupakan. Pria penggemar 
rujak ini sudah lama punya keterikatan dengan Indonesia. Istrinya orang 
Indonesia. Mereka bertemu di Yogyakarta pada 1970-an, saat Lane dekat 
dengan penyair W.S. Rendra.
Pernikahan mereka membuahkan seorang putri.

Sejak remaja Lane menunjukkan minat besar pada Indonesia. Berbeda dengan
kebanyakan teman sebayanya di Sidney, Australia, yang lebih suka belajar 
bahasa
Cina atau Jepang, ia justru memilih belajar bahasa Indonesia. Setiap 
minggu Lane
menempuh perjalanan ke konsulat Indonesia di daerah Rose Bay untuk 
kursus bahasa
Indonesia.

Lulus dari sekolah menengah pertama, Lane kuliah di jurusan studi 
Malaysia dan
Indonesia di Universitas Sidney dan lulus pada l972. Setelah itu ia 
bekerja di
sebuah kantor dagang Australia di Jakarta pada 1973. Tapi ia tak betah. 
Lane
mengundurkan diri, karena tak sepakat dengan kebijakan atasannya yang 
hendak
memberikan "saham gratis" kepada para pejabat dan beberapa orang jenderal
Indonesia.

Saat itu iklim ekonomi dan politik di Indonesia memberikan hak istimewa 
kepada
para perwira militer dan pejabat negara untuk mendapatkan saham gratis 
sebagai
jaminan stabilitas industri. Persekutuan antara pemodal dan pejabat negara
inilah yang mendorong pertumbuhan ekonomi semu di Indonesia. Krisis 
ekonomi yang
dimulai pada l997 membuktikan bangunan ekonomi konglomerasi yang penuh 
korupsi,
kolusi, dan nepotisme tersebut tak ubahnya bangunan pasir yang menunggu 
waktu
untuk runtuh.

Setelah keluar dari kantor dagang, Lane menetap di Yogyakarta dan 
berkenalan
dengan Aini Chalid, seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Gadjah 
Mada, dan
penyair W.S. Rendra.

Ketika demonstrasi mahasiswa antimodal asing meletus pada Januari l974, 
Aini
Chalid ditangkap. Dalam surat dakwaan jaksa nama Max Lane disebut-sebut. Ia
dituduh sebagai "mahasiswa Australia penganut ajaran Marx." Lane tak 
terima dan
menemui Yap Thiam Hiem dari Lembaga Bantuan Hukum untuk jadi pembelanya, 
dan
minta dipertemukan dengan sang jaksa. Lane menyatakan akan menuntut jaksa
tersebut ke pengadilan bila tak seger

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS -- MAX LANE ON PRAMOEYDA--Amsterdam, May 7th, 2006.

2006-05-07 Thread I. Bramijn

> -
>  
>
> IBRAHIM ISA'S FOCUS -- MAX LANE ON PRAMOEYDA
> 07. 05. 2006.
> -
>  
>
>  
>
> Three days ago I reeived the following articles on PRAMOEDYA, by my 
> Australian friend, MAX LANE, as follows:
>
> * * * *
>
> INDONESIA'S GREATEST NOVELIST PRAMOEDYA A. TOER
> < Max Lane >
> Submitted to Sydney Morning Herald
> Pramoedya Ananta Toer
> Indonesia’s greatest novelist Pramoedya Ananta Toer died aged 81 on 
> Sunday April 30. In the days before, text messages and emails had 
> warned Indonesians that he was seriously ill. Many readers gathered to 
> his hospital bed and then later his home where they sang songs of 
> struggle or prayed. He was buried later in the afternoon at Karet 
> Bivak public cemetery.
> I first met Pramoedya in 1980 after having read his wonderful novel 
> This Earth of Mankind, which I was to later translate. I met him many 
> times since then. He was an earthy, stubborn man who loved Indonesia 
> and the revolution that created it, its history, and its people, 
> deeply. He wrote more than 40 works, including novels, short stories, 
> plays, history books, literary criticism and more than 400 hundred 
> newspaper essays. He translated Gorky, Tolstoy and Steinbeck, among 
> others. All this work was motivated by a love for humanity. He never 
> tired of quoting from the great Dutch novelist, Multatuli, “it is the 
> duty of human beings to become human”.
> His early works – novels, short stories and essays – were explorations 
> of the many sides of humanity that are exposed in time or war and 
> revolution. He himself took up arms to fight Dutch colonialism in 
> 1945, was captured and spent almost two years in gaol. Later, by the 
> mid-1950s, when he began to realize that the ideals of the revolution 
> – justice and prosperity – were not being realized, his stories turned 
> to exposing the revolution’s betrayal by corruption and elitism.
> It was in the late 1950s that he started to travel down a path that 
> made him unique in Indonesian culture and politics and which paved the 
> way for him to write the six great historical novels setting out the 
> crucial chapters in Indonesia’s pre-history. He began a search for the 
> origins of the blockages to the revolution in the archipelago’s 
> history, going back a thousand years. He also discovered for Indonesia 
> the origins of its original radical energies in the confrontation 
> between the ideals of humanism and Western hypocrisy and dictatorship, 
> i.e. colonialism, at the turn of the 20th century. He immersed himself 
> in history, gathering every kind of historical source.
> He did this for the people and out of respect for them. One story from 
> a former student of his symbolizes this respect for me. Pramoedya 
> lectured at a university in 1965, before he was arrested with a 
> hundred thousand other left-wing Indonesians in 1965 – perhaps more 
> than half a million were murdered at the same time. The student was 
> given an assignment to interview a source about a prominent political 
> figure. He ignored his assignment regarding the source he was given as 
> being too insignificant and interviewed a colleague of the political 
> figure instead. He was reprimanded and told to do the assignment again 
> and had to admit that Pramoedya’s source turned out to be a much 
> richer source of information: the political figure’s barber!
> In the late 1950s as corruption and elitist contempt for the plight of 
> the people strengthened, Pramoedya joined the tens of millions of 
> other Indonesians who supported President Soekarno’s call for the 
> nation to concentrate on finishing the revolution. Until his death, he 
> remained a committed supporter of Sukarno, a man he considered was 
> able to unite Indonesia by force of ideas not weapons. Pramoedya 
> plunged into the cultural struggle writing prolifically for the 
> independent left-wing daily paper, Bintang Timor. He wrote hundreds of 
> columns. He polemicised against what he saw as imported salon art, 
> which ignored the struggle to complete the revolution, to bring 
> ordinary people to power. But mostly, he wrote about history, about 
> people who he thought official history had forgotten or had 
> misunderstood. His writings about the late 19th century feminist, 
> Kartini; about early turn-of-the-century novelists; about later 
> communist novelists and, most of all, about the first indigenous 
> Indonesian newspaper editor, Tirto Adhisuryo were prolific.
> His open partisanship with Soekarno and the Left saw him imprisoned 
> when General Suharto took power in October, 1965. He was seized at his 
> home; his library ransacked and his home confiscated for the personal 
> use of army officers. He spent the next fourteen years in prisons: 
> never charged and never tried. After four years in Jak

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- MANUSIAWI-KAH MENGADILI PASIÉN SUHARTO?

2006-05-09 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 09 Mei 2006.

MANUSIAWI-KAH  MENGADILI PASIÉN  SUHARTO?

Berita akhir-akhir ini menunjukkan  bahwa  kesehatan mantan Presiden 
Suharto memburuk sehingga harus  menjalani operasi. Dinyatakan kemudian  
bahwa operasi pada usus telah dilakukan dengan sukses dan keadaan  
pasien Suharto diberitakan membaik.

Sehubungan dengan sakitnya pasien Suharto,  Kejaksaan Agung, mengambil 
sikap seperti yang bisa dibaca berikut ini:

"JAKARTA--MIOL":  Kejaksaan mempersilahkan mantan Presiden HM Soeharto 
berobat ke luar negeri. Lanjutan proses hukumnya akan dilakukan setelah 
dinyatakan sehat oleh dokter.
"Kami sekarang bicara Pak Harto yang sedang sakit. Kami doakan supaya 
sembuh. Kalau perlu berobat keluar negeri, silakan berobat keluar 
negeri. Kami akan kasih kesempatan berobat," papar Jaksa Agung Abdul 
Rahman Saleh kepada wartawan di Kantor Presiden Jakarta, Senin (8/5).
Sementara soal proses hukumnya, Jaksa Agung menyatakan, untuk sementara 
dihentikan dulu hingga sembuhnya Soeharto. "Proses hukumnya untuk 
sementara ini berhenti dulu sampai beliau sehat," ujarnya.(Msc/Wis/OL-02).
Sekian berita yang bisa dibaca di dalam media..

Sikap Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang menyatakan proses hukum 
Suharto untuk sementara dihentikan dulu hingga sembuhnya Suharto,  wajar 
dan bisa difahami. Tertuduh yang sakit itu  tidak mungkin dibawa ke 
sidang pengadilan untuk diproses perkaranya.  Maka ditunggu sampai yang 
bersangkutan dalam kondisi kesehatan yang memungkinkan ia tampil di 
pengadilan.

Namun, yang terpenting ialah bahwa dalam era reformasi dan demokratisasi 
dewasa ini ,  sekali-kali tak diperkenankan adanya usaha untuk  
memperpanjang sampai  berlarut-larut  situasi seperti semasa rezim 
orba.  Ketika itu  negara ini samasekali tidak menggubris hukum. 
Keadilan hanya bagi yang berkuasa.  

Sudah waktunya negeri ini, bangsa ini, nasion ini, negara Republik 
Indonesia ini:  
PUTAR HALUAN,  Banting Setir.  Berbuatlah untuk menjadikan negara ini 
benar-benar  NEGARA HUKUM.

Mulailah  Siapapun yang bersalah, yang melakukan pelanggaran hukum, 
yang terlibat dalam pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, 
seperti  semasa erzim Orba-nya  Presiden Suharto,  tanpa terkecuali  --  
harus diproses sesuai prinsip-prinsip hukum dan keadilan, sesuai UUD 
negara  RI , sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari suatu negara hukum, 
suatu  RECHTSTAAT.

Penguasa  dewasa ini, pemerinah sekarang  ini, segenap lembaga judisal 
dan legeslatif,   serta seperangkat biorkrasi dan elitenya yang 
bertengger di situ,   akan tetap menjadi  cemoohan yang  memuakkan 
bagi rakyat,   bila pada saat kita sedang berusaha hendak menegakkan 
negara hukum,  hendak mengakhiri situasi "impunity",   mengubah 
ketiadaan hukum, -  muncul pelbagai usul, saran dan ide untuk  
''memaafkan Suharto"  mengingat apa yang dikatakan  "jasa-jasanya" 
selama menjabat sebagai presiden RI.  Digunakanlah pula argumentasi   
"kemanusiawian" untuk melimpahkan belas kasihan pada orang yang paling 
bertanggung-jawab atas amburadulnya negara hukum Republik Indonesia.

Orang-orang  dan fihak-fihak tertentu, terutama dari kalangan elite yang 
"ikut mujur" dengan berkuasanya rezim Orba,  buru-buru mengajukan  
alasan ''kemanusiawian" dan segala macam pertimbangan  untuk  apa yang 
mereka
bilang  "melupakan masa lampau", agar kita bisa "memandang kedepan", 
memulai dengan "halaman baru"  dsb. Mereka-mereka itu ,  adalah 
orang-orang  yang selama ini  tetap saja  memicingkan matanya,   
menyumbat telinga hatinya terhadap imbauan dan ketukan hati  serta  
penderitaan para korban  "Peristiwa 1965" dan keluarganya yang 
kesemuanya meliputi sekitar 20 juta warganegara Indonesia yang tak 
bersalah, yang sampai saat ini terus-merus didiskriminasi  dan di 
stigmatisasi, atas tuduhan dan fitnahan  terlibat dengan peristiwa 
G30S,  tanpa bukti dan tanpa dasar hukum apapun.

Usul dan saran seperti itu,   adalah suatu usaha untuk menutup mata  
masyarakat terhadap pelanggaran  dan kejahatan yang dilakukan  oleh 
mantan  Presiden Suharto.  Yang hakikatnya adalah suatu kejahatan 
terhadap kemanusiaan.  Usul-usul  untuk memaafkan Suharto adalah  suatu 
usaha yang kasar dan berbahaya untuk memutihkan kejahatan-kejahatan dan 
pelanggaran hukum yang dilakukan dan yang berlangsung atas tanggungjawab 
mantan presiden Suharto.

Wahai penguasa dan golongan elite!!:
 Bertanyalah pada hati nurani masing-masing dengan segala kejujuran dan 
keterbukaan: --- Bisakah dihapuskan begitu saja tanggung-jawab Suharto 
atas penyerobotan kekuasaan negara dari mantan Presiden Sukarno ketika 
itu,   dengan menyalah gunakan SUPERSEMAR. Bisakah tutup mata terhadap  
konspirasi  Jendral Suharto dan kliknya yang   memulai suatu kampanye 
persekusi dan eksekusi terhadap  ratusan ribu bahkan mungkin sampai 3 
juta (menurut kata-kata mantan panglima RPKAD Jendral Sarwo Edhi) rakyat 
Indonesia yang tidak bersalah. Bisakah dimaafkan dan di

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER - IBA Putri AIDIT dan Pengantar GOENAWAN MOHAMMAD,

2006-05-15 Thread I. Bramijn



IBRAHIM ISA dari BIJLMER

Senin, 15 Mei 2006.

IBA Putri AIDIT dan Pengantar GOENAWAN MOHAMMAD


Bukalah dunia internet yang berbahasa Indonesia beberapa hari ini. 
Begitu banyak berita, tanggapan, ulasan, komentar, --- mencerminkan 
pelbagai sikap dan pandangan. Baik yang pro maupun kontra. Yang 
terpesona, heran 
dan etika penguasa>. Yang marah -- betul-betul marah, tertegun, 
terpesona tak habis fikir < bisa-bisanya penguasa mengambil 
langkah-fatal menjerumuskan lebih lanjut kehidupan hukum di negara ini>. 
Berita-berita itu adalah sekitar "political will" penguasa untuk "m e m 
b e b a s k a n  tersangka, tertuduh, pasién SUHARTO" dari segala 
tuntutan hukum. Bahan-bahan yang kukumpulkan sekitar kasus itu dari 
mailing list, sudah lebih dari 50 halaman. Masih bertambah terus. Mulai 
dari komentar pendek, sampai artikel yang banyak halaman. Memang, 
soalnya soal besar. Menyangkut haridepan nasion muda ini.

Pekan lalu sudah kusiapkan tulisan untuk "menyambut" perkembangan 
terakhir tsb di Indonesia. Masih kutahan sebentar, sambil menunggu 
perkembangan lebih lanjut. Juga, karena pada tanggal 9 Mei yang lalu 
sudah kutulis  sebuah kolom:  "Manusiawikah mengadili pasién Suharto?". 
Sudah ada reaksi pula. "Tentu, dong"; "Mengapa tidak"? Begitu antara 
lain tanggapan pembaca.

Nah,  ---  ditengah-tengah mengalirnya berita-berita sekitar 
"pembebasan" Suharto, terbacalah sebuah news-item yang menyejukkan. Yang 
menggugah, mengharukan, menambah optimisme akan kemampuan dan mutu 
berfikir bangsa ini, dan oleh karena itu perlu disambut. Dengan sebuah  
seruan BRAVO.
Berita yang dimaksud adalah tentang terbitnya buku baru HASTA MITRA, 
0leh IBARRURI PUTRI ALAM, Anak Sulung D.N. Aidit. 
harga eceran: RP. 60.000.> Dihitung dalam euro, kurang lebi 7 euro.  

Sebelumnya, itu kira-kira sebulan yang lalu, telah kuterima dari Jusuf 
Isak, dikirim lewat e-mail, sebuah foto halaman cover buku tsb. 
Terpampang di situ foto Iba dan dibelakangnya, gambar ayahnya, DN Aidit 
sedang melambaikan tanggannya. Berwarna merah jambu. Joesoef Isak juga 
memberikan kata pengantar terhadap buku Iba, tetapi aku belum menerimanya.

Melihat cover buku Iba itu, entah mengapa aku segera teringat pada 
gambar cover buku Dr Ciptaning, "AKU BANGGA JADI ANAK PKI". Terus ke 
buku Hasan Raid, "ISLAM KOMUNIS", yang terbit beberapa tahun yang lalu. 
Semua itu menunjukkan bahwa karya-hukum awal Orba, TAP MPRS No. 
XXV/1966, yang melarang PKI, ajaran Marxisme dan Leninisme, itu tak 
berdaya samasekali mencegah terbit dan beredarnya buku-buku tsb. TAP 
MPRS tsb sudah lama jadi impoten.

Entah mengapa seolah-oleh penguasa disambar petir. Mereka tidak 
berkutik. Apalagi berani bertindak. Melalui jalan belakang, menggerakkan 
aktivis-aktivis "sweeping" juga tidak. Penguasa tak punya nyali untuk 
melarang buku-buku "KOM" tsb. Lihat saja, Tetralogi Pramoedya dan semua 
buku Pram yang terang sudah sejak zaman Orba dikeluarkan larangan oleh 
rezim Orba, tokh tidak ada tindakan Jaksa Agung untuk membeslahnya. 
Memang bikin orang bertanya. Pertanda sudah waktunya untuk mengubur TAP 
MPRS No. XXV/1966 yang sudah lama menjadi bangkai-busuk itu.

Mengapa penguasa tak bergeming untuk bertindak sesuai dengan TAP MPRS No 
XXV/1966? Kemungkinan besar sekali, andaikan Kejaksaan Agung bertindak 
melarang buku Dr Ciptaning seperti pernah dituntut oleh Hamzah Haz, 
mantan wapres pemerintah Megawati,-- melarang buku-buku yang dianggap 
melanggar TAP MPRS No XXV, 1966, -- maka itu akan tambah mencoreng-hitam 
imago-hukum penguasa yang memang sudah sejak lahirnya cacad itu. Di sini 
penguasa, kejaksaan, tampaknya sedikit "tahu dir". Bisa jadi ada juga 
perasaan "malu hati". Bisa dipastikan bahwa mahasiswa-hukum tahun 
pertama sekalipun, akan mengerti bahwa melarang buku-buku tsb adalah 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI, bertentangan dengan HAM. 
Apalagi Indonesia baru saja dipilih jadi anggota Dewan HAM PBB. Masih 
hendak memberlakukan TAP MPRS No. XXV/196, bukah  itu sama saja seperti 
orang yang "menepuk air didulang, memercik muka sendiri". Seperti 
dijelaskan oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid,TAP MPRS No 
XXV/1966 adalah bertentangan dengan UUD RI, bertentangan dengan HAM.

* * *

Tujuan pertama tulisan ini sesungguhnya lebih banyak hendak ikut 
menyebar-luaskan berita tentang terbitnya buku baru Hastra Mitra, 
Ibaruri Putri Alam, Anak Sulung DN Aidit. Untuk memberikan tanggapan 
apalagi resensi belum bisa. Karena buku tsb belum ditangan. Entah kapan 
buku tsb sampai di Eropah, belum jelas. Akan kutanyakan kepada Iba.

Jadi, tulisan ini banyak tertuju untuk menyambut pengantar sahabatku 
GOENAWAN MOHAMMAD atas buku tsb. Untuk menyatakan penghargaan kepada 
Goenawan Mohammad.

Ketika kudengar dari Josoef Isak bahwa Goenawan Mohammad akan memberikan 
kata pengantar terhadap buku Iba, tambah rasa respekku terhadap 
Goenawan. Karena aku tahu, bahwa pada tahun-tahun terakhir pemerintah 
Presiden Sukarno, Goenawan Mohamad punya b

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- IBA Putri AIDIT dan Pengantar GOENAWAN MOHAMMAD,

2006-05-15 Thread I. Bramijn




> IBRAHIM ISA dari BIJLMER
> 
Senin, 15 Mei 2006.
>
> IBA Putri AIDIT dan Pengantar GOENAWAN MOHAMMAD
> 
>
> Bukalah dunia internet yang berbahasa Indonesia beberapa hari ini. 
> Begitu banyak berita, tanggapan, ulasan, komentar, --- mencerminkan 
> pelbagai sikap dan pandangan. Baik yang pro maupun kontra. Yang 
> terpesona, heran 
> moral dan etika penguasa>. Yang marah -- betul-betul marah, tertegun, 
> terpesona tak habis fikir < bisa-bisanya penguasa mengambil 
> langkah-fatal menjerumuskan lebih lanjut kehidupan hukum di negara 
> ini>. Berita-berita itu adalah sekitar "political will" penguasa untuk 
> "m e m b e b a s k a n  tersangka, tertuduh, pasién SUHARTO" dari 
> segala tuntutan hukum. Bahan-bahan yang kukumpulkan sekitar kasus itu 
> dari mailing list, sudah lebih dari 50 halaman. Masih bertambah terus. 
> Mulai dari komentar pendek, sampai artikel yang banyak halaman. 
> Memang, soalnya soal besar. Menyangkut haridepan nasion muda ini.
>
> Pekan lalu sudah kusiapkan tulisan untuk "menyambut" perkembangan 
> terakhir tsb di Indonesia. Masih kutahan sebentar, sambil menunggu 
> perkembangan lebih lanjut. Juga, karena pada tanggal 9 Mei yang lalu 
> sudah kutulis  sebuah kolom:  "Manusiawikah mengadili pasién 
> Suharto?". Sudah ada reaksi pula. "Tentu, dong"; "Mengapa tidak"? 
> Begitu antara lain tanggapan pembaca.
>
> Nah,  ---  ditengah-tengah mengalirnya berita-berita sekitar 
> "pembebasan" Suharto, terbacalah sebuah news-item yang menyejukkan. 
> Yang menggugah, mengharukan, menambah optimisme akan kemampuan dan 
> mutu berfikir bangsa ini, dan oleh karena itu perlu disambut. Dengan 
> sebuah  seruan BRAVO.
> Berita yang dimaksud adalah tentang terbitnya buku baru HASTA MITRA, 
> 0leh IBARRURI PUTRI ALAM, Anak Sulung D.N. Aidit. 
> halaman; harga eceran: RP. 60.000.> Dihitung dalam euro, kurang lebi 7 
> euro. 
> Sebelumnya, itu kira-kira sebulan yang lalu, telah kuterima dari Jusuf 
> Isak, dikirim lewat e-mail, sebuah foto halaman cover buku tsb. 
> Terpampang di situ foto Iba dan dibelakangnya, gambar ayahnya, DN 
> Aidit sedang melambaikan tanggannya. Berwarna merah jambu. Joesoef 
> Isak juga memberikan kata pengantar terhadap buku Iba, tetapi aku 
> belum menerimanya.
>
> Melihat cover buku Iba itu, entah mengapa aku segera teringat pada 
> gambar cover buku Dr Ciptaning, "AKU BANGGA JADI ANAK PKI". Terus ke 
> buku Hasan Raid, "ISLAM KOMUNIS", yang terbit beberapa tahun yang 
> lalu. Semua itu menunjukkan bahwa karya-hukum awal Orba, TAP MPRS No. 
> XXV/1966, yang melarang PKI, ajaran Marxisme dan Leninisme, itu tak 
> berdaya samasekali mencegah terbit dan beredarnya buku-buku tsb. TAP 
> MPRS tsb sudah lama jadi impoten.
>
> Entah mengapa seolah-oleh penguasa disambar petir. Mereka tidak 
> berkutik. Apalagi berani bertindak. Melalui jalan belakang, 
> menggerakkan aktivis-aktivis "sweeping" juga tidak. Penguasa tak punya 
> nyali untuk melarang buku-buku "KOM" tsb. Lihat saja, Tetralogi 
> Pramoedya dan semua buku Pram yang terang sudah sejak zaman Orba 
> dikeluarkan larangan oleh rezim Orba, tokh tidak ada tindakan Jaksa 
> Agung untuk membeslahnya. Memang bikin orang bertanya. Pertanda sudah 
> waktunya untuk mengubur TAP MPRS No. XXV/1966 yang sudah lama menjadi 
> bangkai-busuk itu.
>
> Mengapa penguasa tak bergeming untuk bertindak sesuai dengan TAP MPRS 
> No XXV/1966? Kemungkinan besar sekali, andaikan Kejaksaan Agung 
> bertindak melarang buku Dr Ciptaning seperti pernah dituntut oleh 
> Hamzah Haz, mantan wapres pemerintah Megawati,-- melarang buku-buku 
> yang dianggap melanggar TAP MPRS No XXV, 1966, -- maka itu akan tambah 
> mencoreng-hitam imago-hukum penguasa yang memang sudah sejak lahirnya 
> cacad itu. Di sini penguasa, kejaksaan, tampaknya sedikit "tahu dir". 
> Bisa jadi ada juga perasaan "malu hati". Bisa dipastikan bahwa 
> mahasiswa-hukum tahun pertama sekalipun, akan mengerti bahwa melarang 
> buku-buku tsb adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI, 
> bertentangan dengan HAM. Apalagi Indonesia baru saja dipilih jadi 
> anggota Dewan HAM PBB. Masih hendak memberlakukan TAP MPRS No. 
> XXV/196, bukah  itu sama saja seperti orang yang "menepuk air 
> didulang, memercik muka sendiri". Seperti dijelaskan oleh mantan 
> Presiden RI, Abdurrahman Wahid,TAP MPRS No XXV/1966 adalah 
> bertentangan dengan UUD RI, bertentangan dengan HAM.
>
> * * *
>
> Tujuan pertama tulisan ini sesungguhnya lebih banyak hendak ikut 
> menyebar-luaskan berita tentang terbitnya buku baru Hastra Mitra, 
> Ibaruri Putri Alam, Anak Sulung DN Aidit. Untuk memberikan tanggapan 
> apalagi resensi belum bisa. Karena buku tsb belum ditangan. Entah 
> kapan buku tsb sampai di Eropah, belum jelas. Akan kutanyakan kepada Iba.
>
> Jadi, tulisan ini banyak tertuju untuk menyambut pengantar sahabatku 
> GOENAWAN MOHAMMAD atas buku tsb. Untuk menyatakan penghargaan kepada 
> Goenawan Mohammad.
>
> Ketika kudengar dari Josoef Isak bahwa Goenawan Mohammad akan 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- IBA Anak AIDIT, Dan Pengantar JOESOEF ISAK

2006-05-16 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-
Selasa, 16 Mei 2006.

IBA Anak AIDIT, Dan Pengantar JOESOEF ISAK
---
Pagi ini, Selasa - 16 Mei 2006, ketika membuka compuer dan "berkelana" 
di media internet, kujumpai pesan sahabat baikku JOESEOF ISAK, yang 
belum lama kembali dari kunjungannya ke Republik Rakyat Tiongkok. 
Joesoef melampirkan Kata Pengantar yang dibuatnya untuk buku Ibarurri 
Putri Alam, Anak Sulung D.N. Aidit. Ketika aku menulis tentang kata 
Pengantar Goenawan Mohammad untuk buku Iba kemarin, kuberitakan bahwa 
aku belum menerima Kata Pengantar Joesoef. Sekarang Kata Pengantar itu 
sudah ada padaku, dan segera akan kusiarkan. Terima kasih Cup! <"Cup" 
adalah nama penggilan akrab untuk Joesoef Isak>.

Barangkali kebetulan. Kemungkinan besar samasekali tidak kebetulan, 
bahwa buku Ibarurri - Anak Sulung Aidit, yang tebalnya lebih 400 halaman 
itu, kata pengantarnya dari dua tokoh pejuang kebebasan pers, kebebasan 
menyatakan pendapat. Juga tidak kebetulan bahwa Joesoef Isak dan 
Goenawan Mohammad adalah dua wartawan kawakan yang akhir tahun lalu 
memperoleh WERTHEIM AWARD, dari Wertheim Foundation , 
untuk peranan mereka dalam perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia, 
untuk usaha EMANSIPASI nasion Indonesia.
Tentu tidak asing bagi pembaca bahwa selain dari Wertheim Foundation, 
Joesoef Isak dan Goenawan Mohammad telah memperoleh pengharagaan  
dari pelbagai lembaga mancanegara yang berkepedulian atas perjuangan 
untuk kebebasan menyatakan pendapat.

Ibarurri Aidit, adalah seorang aktivis demi bangsa Indonesia. Ia bukan 
pengarang, bukan politikus, juga bukan orang prominen. Ia dikenal dan 
menjadi terkenal karena a.l. ia ditemui oleh mantan Presiden Abdurrahman 
Wahid ketika beliau berkunjung ke Paris. Mantan Presiden ke-3 Republik 
Indonesia itu, sengaja mengatur agar ketika berfoto bersama, Iba duduk 
disampingnya. Ini suatu "gebrakan" dan terobosan sekaligus. Gebrakan 
yang kesekian kalinya dari Gus Dur, untuk membangunkan masyarakat kita 
dari tidur setengah koma, akibat terlalu banyak dicekoki obat-bius Orba, 
sehingga tidak mampu dan tidak berani berfikir bebas. Begitu dengar nama 
Komunis, begitu dengar Iba anak Aidit, sudah ancang-ancang untuk 
menjauhinya, seperti menghadapi sakit menular yang fatal.

Benar sekali apa yang ditandaskan Joesoe Isak dalam kata pengantarnya:
"Kita selalu berpendapat bahwa krisis intelektual yang meliput seluruh 
bangsa
saat ini jauh lebih parah daripada krisis moneter, krisis ekonomi, 
krisis keamanan
dan berbagai krisis lainnya, lebih-lebih lagi karena elit kita tidak 
sadar bahwa
virus kerancuan mindset atau kerangka berpikir itu sudah merasuk otak bangsa
dalam stadium tinggi. Berbagai krisis yang sedang dihadapi akan sulit 
diatasi selama
induk krisis tidak dibongkar dan dibenahi.

"Hadirnya kebebasan berpendapat seperti buku Ibarruri ini menjadi 
latihan bagi kita semua untuk membiasakan menerima dan menghormati
pendapat orang lain. Demikian Joesoef Isak.

Inilah yang hendak kuangkat. Ini juga yang disoroti oleh Joesoef Isak 
dalam Kata Pengantarnya --- yaitu Kebebasan Berfikir, Berani dan Mampu 
Berfikir Bebas. Dan ini pulalah yang dilakukan Iba dengan menulis buku 
roman sejarah biografinya. Seperti ditulis Goenawan Mohammad dalam kata 
pengantarnya, Iba berani menyatakan bahwa ia dulunya seorang penganut 
Komunisme, --- Berani juga mengatakan bahwa sekarang ia seorang penganut 
Budhisme. Iba berani menulis buku, diterbitkan dan memaklumkan bahwa ia 
adalah anak D.N.Aidit, mantan Ketua PKI dan mantan Menko Republik 
Indonesia. Seorang Menko Republik Indonesia, seorang politkus pemimpin 
Partai Komunis Indonesia salah seorang pimpinan MPRS, yang tanpa proses 
pengadilan apapun telah dieksekusi oleh Orba, sesudah disebar luaskan 
fitnah dan tuduhan terhadapnya, tanpa ia bisa membela diri. Lalu Iba 
mengatakan: Inilah aku anak ayahku, DN Aidit almarhum. Suatu keberanian. 
Karena, bukankah disebabkan trauma yang begitu mendalam akibat siksaan, 
teror dan kekejaman luiar biasa di bawah rezim Jendral Suharto, maka 
tidak sedikit anak-anak, sanak keluarga, istri, adik, abang, suami, 
istri, Oom-oom dan Tante-Tante yang pada ganti nama di masa periode 
Orba. Karena begitu diketahui intel dan aparat penguasa, bahwa ada 
saling hubungan yang bagaimanapun dengan PKI atau yang diduga PKI atau 
Kiri lainnya, maka akibatnya tidak tanggung-tanggung. Stigmatisasi dan 
diskriminasi terhadap para keluarga korban 1965 tak terperikan dan amat 
sulit digambarkan. Itulah sebabnya, banyak di antara mereka yang masih d 
i a m . Sebagian karena trauma, sebagian lagi disebabkan oleh rasa 
takut. Takut, . . . . jangan-jangan zaman jahiliah rezim Orbanya Suharto 
 akan kembali lagi.Bukankah dewasa ini sedang sibuk-sibuknya 
penguasa dan pendukungnya mencari jalan dan cara untuk memutihkan 
multi-kejahatan Suharto semasa ia berkuasa? Bisakah disalahkan bila ada 
kesan kuat sekali, bahwa 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - SUHARTO PENYEROBOT KEKUASAAN NEGARA, TAK MUNGKIN BEBAS HUKUM !

2006-05-19 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA

Jumat,  19 Mei 2006

SUHARTO  PENYEROBOT KEKUASAAN NEGARA, TAK MUNGKIN BEBAS HUKUM !

Beberapa  waktu terakhir ini,  berita-berita mengenai status hukum 
mantan Presiden Suharto simpang siur bak layang-layang putus dalam  
suatu pertandingan adu-layangan. Tampak jelas sekali usaha 
pontang-panting elite kekuasaan untuk "menyelamatkan" Suharto dari 
tanggung-jawabnya sebagai presiden Republik Indonesia yang  selama lebih 
dari 30 tahun memerintah negeri ini dengan kekerasan militer dan 
kekejaman dengan melakukan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah 
Indonesia.

Belum lama ini tersiar lagi berita baru yang menyatakan bahwa Presiden 
Yudhoyono, telah mengambil keputusan untuk menghentikan prosedur , untuk 
apa yang dikatakan "mengendapkan" keputusan yang semula dimaksudkan 
untuk membebaskan Suharto dari tuntutan hukum. Kedengaran berbagai 
konsep misterius dan tersirat menuver untuk akhirnya tokh membebaskan 
Suharto dari segala tuntutan. "Bola  pembebasan"  Suharto, yang 
dioperkan oleh Jusuf Kalla untuk ditendangkan ke gawang negara Republik 
Indonesia,  oleh gelandang Jusril Izha Mahendra, sementara ini mandul 
tampaknya. Bisa diduga bahwa kemandulan ini akibat dari reaksi keras 
masyarakat terhadap rencana pembebasan Suharto.

Bangsa ini, terutama generasi mudanya,   patutlah selalu diingatkan:  
--- Jangan  sekali-kali  mengabaikan sejarah. Jangan sekali-kali 
melupakan bahwa sampai detik ini  mengenai masalah pelanggaran HAM 
terbesar yang dilakukan mantan presiden Suharto, tanggungjawabnya atas 
persekusi, represi dan pembunuhan masal  ekstra-judisial yang meliputi 
lebih dari sejuta warganegara yang tak bersalah,  penyerobotan kekuasaan 
negara yang dilakukan Suharto dari Presiden Sukarno,   melalui 
penyalahgunaan "SUPERSEMAR",  dan kemudian mengenakan  tahanan rumah  
terhadap Presiden Sukarno, menjadikannya tahanan politik sampai akhir 
hidup beliau   mengenai semua hal itu,  ---   mantan Presiden 
Suharto yang masih hidup sekarang ini     tak  pernah dimintai 
pertanggunganjawabnya oleh penguasa eksekutf, legeslatif maupun 
judikatif. Dipertanyakanpun tidak!

Pada periode menggeloranya gerakan massa menuntut Reformasi dan 
Demokratisasi yang menyebabkan tergulingnya mantan Presiden Suharto,  
ketika itu,  masih terdengar santer tuntutan massa dan masyarakat agar 
mantan Presiden Suharto diseret ke meja pengadilan,  atas pelanggaran 
utama yang dilakukannyua --- yaitu pelanggaran HAM terbesar  serta  
perebutan kekuasaan negara dengan cara merangkak. Tapi elite kekuasaan  
memang  pandai  menyulap tuntutan hukum yang fundamentil tsb, 
memperkecilnya sedemikian rupa,  serta membatasinya hanya pada kasus 
korupsi dalam kaitannya dengan tanggungjawab nya atas tujuh yayasan yang 
ditanganinya sendiri dan penggelapan uang negara beberapa trilyun 
rupiah.  Dengan demikian penguasa telah melecehkan Gerakan Reformasi!

*   *  *

Kiranya perlu  jelas terlebih dulu, apa dan bagaimana sesungguhnya  s t 
a t u s    p o l i t i k   mantan Presiden Suharto. Bukankah status 
politik seorang mantan kepala negara lebih menentukan terbanding status 
hukumnya?.

Mantan Presiden Suharto adalah seorang presiden ke-2  RI,  yang naik 
singgasana kekuasaan politik dan militer  melalui penyerobotan kekuasaan 
atas TNI dan kemudian atas negara. Ini berlangsung a.l. melalui 
langkah-langkah sbb:

1. Tindakan pembangkangan,  yaitu sikap insubordinasi terhadap  
instruksi Presiden Panglima Tertinggi Ir Sukarno. Insuboddinasi atas 
keputusan Presiden Panglima Tertinggi yang  menentukan Jendral Mayor 
Pranoto Reksosamudro untuk  menjadi penanggungjawab sehari-hari  
memimpin TNI AD sesudah terjadinya pembunuhan atas 6 perwira tinggi 
TNI-AD dalam peristiwa G30S. Ketika itu Jendral Mayor Suharto,  yang 
menjabat panglima KOSTRAD, mensabot keputusan Presiden RI tsb, dan 
menunjuk dirinya sendiri sebagai panglima TNI-AD.

2. Merekayasa pembubaran sidang kabinet Presiden Sukarno  yang sedang 
mengadakan rapat di Istana Negara (Maret 1966), melalui pengepungan  
oleh  kesatuan bersenjata di bawah pimpinan  KOSTRAD.

3. Merekayasa,  melalui 3 orang jendral AD,   menekan dan memaksa 
Presiden Sukarno untuk mengeluarkan  "Surat Perintah Sebelas Maret",  
.

4. Menyalahgunakan SUPERSEMAR untuk melakukan pembubaran  parpol PKI dan 
merebut kekuasaan pemerintahan dan negara.

5. Merekayasa sidang MPRS menelorkan  Tap MPRS No XXV/1966; dan Tap MPRS 
No XXXIII/1967 yang memfitnah, menuduh, melorot dari jabatan 
kepresidenanan, kemudian mengenakan tahanan rumah terhadap Presiden RI 
Sukarno.

6. Memberlakukan  mekanismme kekuasaan  negara   menurut konsep   
"DWIFUNGSI ABRI", yang telah menjadikan Republik Indonesua negara tanpa 
hukum, negara dimana berlaku "impunity". Negara dimana kekuasaan multak 
ada pada tentara dan panglimanya  - Jendral Suharto.

Kesemua tindakan-tindakan Jendral Suharto tsb diatas,  terutama  yang 
bersangkutan dengan pembunuhan atas lebih sejuta warganega

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 26 MAY 2006

2006-05-25 Thread I. Bramijn



> ===
> IBRAHIM ISA'S   SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 26 MAY 2006
> ===
> SBY leaves Soeharto case to law enforcers
> Awakening day reaches new heights
> Structural and cultural conflict within NU
> --
> May 21, 2006
> SBY leaves Soeharto case to law enforcers
>
> The Jakarta Post, Jakarta
>
> After coming under attack for his soft stance on the critically ill 
> former dictator Soeharto, President Susilo Bambang Yudhoyono has 
> delegated the ex-president's corruption case to law enforcement.
>
> Yudhoyono said he would not intervene in the legal process on Soeharto 
> "so as not to make mistakes" and because he wanted to see the 
> supremacy of the law be upheld.
>
> "I'm not supposed to interfere so let law enforcers handle it," he 
> told student activists in Bandung, while street protests demanding 
> Soeharto's trial continued in major cities throughout the country 
> Saturday.
>
> The statement clarified Cabinet Secretary Yusril Ihza Mahendra's 
> announcement last week that Yudhoyono would drop Soeharto's case and 
> then rehabilitate his name.
>
> Yudhoyono made the statement in front of 11 student leaders from 
> various universities in Bandung, who gave him a petition demanding 
> that his administration consistently pursue political and educational 
> reforms as it had promised.
>
> The statement came a week after he stirred national resentment by 
> saying he would not decide anything on the Soeharto case until the 
> controversy settled down.
>
> Critics say Yudhoyono should take a firm stance on Soeharto, while the 
> former president's supporters have demand clemency and his opponents a 
> fair trial.
>
> Adding fuel to the debate was Attorney General Abdul Rahman Saleh's 
> decision to stop the corruption charges on the grounds Soeharto was 
> too sick to stand trial. Abdul Rahman tried to calm the public by 
> promising he would file a civil case against Soeharto to regain his 
> money and assets.
>
> Soeharto was charged in 2000 with embezzling US$419 million and Rp 1.3 
> trillion through seven of his charitable foundations during his 32 
> year reign over Indonesia. The legal proceedings were postponed the 
> same year, when doctors declared Soeharto to have suffered permanent 
> brain damage after a stroke.
>
> But his political opponents are demanding Soeharto be taken to court 
> for his alleged crimes against humanity, such as the killing of 
> hundreds of thousands of suspected communists in 1965 and the 
> thousands of deaths that were the result of the 1989-1998 military 
> operation in Aceh.
>
> In Jakarta, spokesman for the People's Consultative Assembly (MPR) 
> Hidayat Nurwahid and long-time critic of Soeharto Amien Rais and 
> thousands of students elsewhere stepped up the pressure for Soeharto's 
> trial.
>
> Nurwahid said Soeharto's trial should continue because an 1998 MPR 
> decree on corruption eradication explicitly requiring Soeharto and his 
> cronies be taken to court remains in place.
>
> The MPR decree was drafted as part of the political reforms to be 
> pursued after the fall of Soeharto.
>
> "Reformation should not stop and Soeharto has to be tried," he said.
>
> Amien Rais said to pardon Soeharto without due legal process, as the 
> former dictator's supporters were demanding, was unacceptable.
>
> "If this happens, it would set a bad precedent in which corrupt top 
> officials could demand the same thing," he said.
>
> Students took to the streets in Palembang, South Sumatra; Makassar, 
> South Sulawesi; Semarang and Surabaya, demanding Soeharto should be 
> brought to trial and his assets be seized for the state.
>
> In Makassar, scores of students picketed the local prosecutors' 
> office, demanding the Attorney General's Office revoke its decision to 
> halt criminal charges against Soeharto.
>
> In Surabaya, hundreds of students clashed with police who blocked 
> their way to the state-owned radio station, RRI, where they planned to 
> air their demands. No injuries were reported.
> 
> May 21, 2006
> Awakening day reaches new heights
> The Jakarta Post, Jakarta, Bandung
> Carpe diem might well describe the way National Awakening Day was 
> observed Saturday, with various groups using the moment to highlight 
> various causes great effect.
> A band of seasoned politicians gathered at an historic building in 
> Central Jakarta, Gedung Joeang '45, to announce their dissatisfaction 
> with the government's granting of the management of the country's rich 
> natural resources to foreign companies.
> Former People's Consultative Assembly speaker Amien Rais used the 
> event to lash out at the government, saying it had acted "awkwardly" 
> by letting foreign companies reap most of the profits.
> "

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - SBY Ber-"ZIG-ZAG", Berjanji SHT Diserahkan Penegak Hukum

2006-05-25 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA

Jumat, 26 Mei 2006.


SBY  Ber-"ZIG-ZAG",  Berjanji  SHT Diserahkan Penegak Hukum

Kemarin bisa dibaca di media ( a.l. di Jakarta Post), bahwa Presiden SBY 
mengambil sikap  baru lagi mengenai KASUS SUHARTO. SBY membuat  
pernyataan baru  di muka  para mahasiswa di Bandung  yang   mengadakan 
aksi menuntut keras agar Suharto bagaimanapun harus diadili.

Inilah sikap terbaru SBY ---  Menyerahkan KASUS SUHARTO  kepada para 
penegak hukum.

Dilihat dari satu segi,  sikap baru SBY ini  bisa dinilai menunjukkan 
bawah SBY  wataknya memang ragu-ragu. Maka ia bersikap "ZIG-ZAG",  
"maju-mundur". Orang Jakarta biasa mengatakannya sebagai  suatu sikap: 
"Yang sebentar begini, sebentar begitu . . . . ". Tetapi,  marilah kita 
ambil baiknya saja.   Dengan demikian bisalah difahami  penilaian yang 
mengatakan bahwa sebagai Presiden,  SBY itu memang  seyogianya mengambil 
sikap yang "hati-hati". Tidak kesusu.  Beliau  (Presiden)  ternyata mau 
mendengarkan dan memperhatikan suara-suara yang berkumandang di kalangan 
masyarakat, mulai dari mahasiswa, sarjana, politisi, budayawan dan 
"orang-orang biasa".  Lalu mengendapkannya. Gaya SBY memang berbeda 
dengan gaya Wapres JK.  Beliau ini memang seratus perses pendukung Suharto.

Ternyata lapisan luas bangsa yang tidak  rela Suharto 
di-bebashukum-kan,   benar bila dikatakan mencerminkan   fikiran  
sebagian besar masyarakat. Mereka,  tanpa sedikitpun keraguan menyatakan 
dan menuntut agar Suharto,   --  tidak peduli  bagaimanapun kondisi 
kesehatannya,  betapapun besar apa yang dikatakan "jasa-jasanya",  ia 
tetap harus diadili.   Meskipun ia mantan presiden yang sedang sakit,   
sedang uzur,  Suharto sekali-kali tidak boleh diperlakukan sebagai 
warganegara yang berdiri di luar jangkauan hukum. Siapapun di negara ini 
statusnya seharusnya  sama di hadapan hukum.  Lebih-lebih bila diingat 
bahwa, selama  berkuasa  lebih dari 32 tahun, Presiden Jendral Suharto 
selama itu terus menerus ada di luar hukum, tidak terjangkau oleh 
pengadilan. Atau, bagaimanalah menggambarkannya. Pokoknya,  ketika itu  
Presiden Jendral Suharto  berada jauh diluar kemampuan lembaga hukum 
manapun untuk menjangkaunya. Bukan saja Suharto, seluruh keluarganya ada 
dalam posisi diluar jangkauan hukum, berkat perlindungan rezim Orba yang 
dipimpinnya.

Entah bagaimana  selanjutnya  para penegak hukum  akan mengurus kasus 
perkara Suharto. Karena, bukankah Jaksa Agung sudah mengeluarkan 
pernyataan  menghentikan perkara Suharto. Bukankah Yusril Ihza Mahendra 
luar biasa "aktif" pontang-panting berkunjung  ke Suharto untuk 
menyampaikan "berita  pengampunan perkaranya"?. Sempat pula Yusril  
berucap bahwa Suharto menyatakan terimakasihnya .

Lalu muncul pendapat SBY bahwa ia mengendapkan dulu kasus Auharto.  
Disusul kemudian dengan sikap baru SBY, yaitu  akan menyerahkan perkara 
Suharto kepada para penegak hukum!  

Semua itu menunjukkan betapa bernafsunya para pendukung Suharto untuk 
membebaskan Suharto dari semua tuntutan.

Juga memberikan gambaran bahwa masyrakat kita cukup kritis dan waspada! 
Cepat dan berani berraksi secara mantap. Menunjukkan pula bahwa  
semangat Reformasi dan Demokratisasi masih  memberikan inspirasinya pada 
bangsa ini.

Tidak sia-sialah gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang menggelora 8 
tahun yang lalu.

*    *    *  

Begitu hiruk-pikuknya pada pendukung Suharto mencari jalan  keluar untuk 
menyelamatkan mantan Presiden Orba itu.  "Padahal"  tuntutan pengadilan 
terhadapnya itu  "terbatas" sekali. Hanya  pada tuduhan  menggelaplan 
uang negara sebesar US $ 419 juta dan Rp  1,3  trilyun yang dicurinya 
melalui tujuh yayasan yang didirikan dan dikuasainya sendiri.

Cobalah fikir:  Belum lagi tindak korupsi lainnya, yang jumlahnya 
meliputi bermilyar-milyar dolar AS,  yang "belum ketahuan" oleh  para 
penegak hukum. Entah disimpan dimana barang curian itju.  Lalu  ini:  
Belum lagi pelanggaran HAM terbesar yang dilakukannya dengan pembantaian 
masal dalam tahun-tahun sesudah peristiwa G30S.  Belum lagi kasus 
pembangkangan  Jendral Suharto terhadap Presiden Panglima Tertinggi Ir 
Sukarno dalam tahun 1965, 1966. Dan kemudian penyerobotan kekuasaasn 
negara. Belum lagi kekerasan yang berlaku a.l.  dalam peristiwa Malari, 
Tanjung Priok dan   Mei 1998. Belum lagi serangan agresi, pendudukan dan 
aneksasi terhadap Timor Timur. Semua  pelanggaran Suharto itu telah 
menimbulkan korban yang begitu besar dan penderitaan yang begitu luas di 
kalangan bangsa kita dan bangsa Timor Timur.

Itu semua berlangsung didibawah tanggung jawab langsung mantan Presiden  
Jendral Suharto. Tidakkah logis  dan wajar bahwa itu semua  harus 
ditangani dan diurus oleh para penegak hukum negara ini.  Para penegak 
hukum harus bertindak demikian,  kalau  benar-benar hendak menegakkan 
negara ini menjadi negara hukum Republik Indonesia.

*  *  *

Gus Dur mengajukan suatu modus.  Tipikal modus seorang pemimpin agama 
dan politik yang bertekad menegak

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER - 'APAKAH MASALAH PAK HARTO PANTAS DIJADIKAN PRIORITAS?"

2006-05-28 Thread I. Bramijn



IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-
Minggu, 28  Mei 2006.

'APAKAH MASALAH PAK HARTO PANTAS DIJADIKAN PRIORITAS?"

Dalam salah  satu artikel  di media ini,  ada penulis yang dengan nada 
mengeluh  bertanya:  "Apakah masalah Pak Harto pantas dijadikan 
prioritas"?  

Jelas,  pemerintah dewasa ini, elite yang berkuasa, baik secara langsung 
ataupun tak langung, belakangan ini memang memprioritaskan  "masalah Pak 
Harto". Tampaknya,  salah satu penyebab utamanya ialah memburuknya 
kesehatan Suharto, sampai perlu diopname di rumah sakit dan menjalani 
operasi. Kemudian diberitakan bahwa keadaan kesehatannya kritis dan 
sementara tokoh dan elite, sampai pada Presiden  Susilo Bambang 
Yudhoyono,  pergi menjenguk pasien Suharto.

Dalam pertanyaan yang diajukan "apakah masalah Pak Harto pantas 
dijadikan prioritas", jelas --- pertanyaan itu bisa langsung ditujukan 
kepada para pendukung dan pencinta Suharto.  Sedangkan bagi rakyat 
biasa,  untuk wong cilik,  "orang awam", "kita-kita" ini,   semuanya 
punya prioritas lain  samasekali. Seperti  pernah sahabat baruku, Brian 
seorang berbangsa Amerika,  menyatakan dalam suatu percakapan kami belum 
lama:

"Masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ialah bagaimana untuk 
bisa survive".   

Tambahan lagi  bangsa kita belakangan ini menghadapi  musibah  besar, 
disebabkan  aktif kembalinya gunung Merapi.  Kemudian akhir pekan lalu, 
timbulnya gempa bumi di  Bantul, dekat Jogyakarta. Menurut berita 
sementara,  sudah lebih 3.500  penduduk yang jatuh korban. Puluhan ribu 
lagi kehilangan rumah dan miliknya.

Maka bila timbul pertanyaan  yang meresahkan, "apakah masalah Pak Harto 
pantas dijadikan prioritas", bisalah kiranya dijawab sederhana. Kalau 
masalahnya, adalah untuk membebaskan Suharto dari segala tuntutan 
hukum,  jelas rakyat tidak punya kepentingan samasekali untuk 
membebaskan Suharto. Yang diinginkan ialah diungkapnya kebenaran dan  
diberlakukannya keadilan sekitar kasus Suhrto.  Rakyat juga tidak ada 
kepentingan sedikitpun memprioritaskan masalah Suharto, karena, bukankah 
masalahnya sudah di tangan pengadilan?

Yang mendesak diurus  ialah, agar keputusan Jaksa Agung dan Pengadilan 
Negeri Jakarta Selatan,  untuk tidak lagi menuntut Suharto,  yang jelas  
keliru itu, -- dengan segera dibatalkan!  Kesimpulan SBY belakangan 
ini agar masalah Suharto diserahkan kepada para penegak hukum, adalah 
sesuai dengan kebiasaan prosedur hukum..

Tetapi menjadi  perhatian  dan kekhawatiran kita semua, karena,  
kebijakan  para  "penegak hukum"  seperti yang ditunjukkan oleh sikap 
Jaksa Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,  yang "menghentikan 
perkara  tindak korupsi Suharto",  justru bertentangan dengan misi dan 
tugas penegak hukum dari suatu negara hukum,  yang harus memproses, 
mengurus, menangani kasus korupsi Suharto dan kasus-kasus besar  
menyangkut Suharto lainnya, bahkan kasus Suharto yang terbesar, seperti 
pelanggaran HAM terbesar sejak periode permulaan berdirinya Orba dalam 
tahun 1965.

Bila direnungkan kembali,   timbulnya perdebatan pro dan kontra sekitar  
kehendak penguasa untuk membebaskan Suharto, ---  berakar dan bermula 
pada  kegiatan "grasah-grusuh" dan "pontang-pantingnya"  para pendukung 
Suharto  < yang menonjol a.l. Wapres Jusuf Kalla dan Yusril Ihza 
Mahendra,  yang tak peduli apakah keinginan mereka itu sesuai dengan   
prinsip keadilan, kebenaran serta hukum,  atau tidak",  begitu kesusu 
hendak secepat mungkin  membebaskan Suharto dari segala tuntutan hukum. 
Tampaknya, mereka ingin, sebelum Suharto menemui ajalnya, agar  secepat 
mungkin menghapuskan dosa-dosa dan noda-noda Suharto.

Macam-macam dalih yang dikedepankan. Mulai dari masalah kesehatan  
sampai ke imbauan pada  rasa "kemanusiaan". Bahkan ada yang menyatakan 
bahwa ketimbang kesalahan-kesalahannya,  "jasa-jasa"  Pak Harto sebagai 
bapak "pembangunan bangsa", adalah jauh lebih besar.

Stop, stop, . . . .  nanti dulu.  Apa dan siapa yang dibangun?  
Pembangunan ekonomi negeri? Bagaimana ekonomi negeri kita dewasa ini?  
Anak-anak sekolah menengahpun tahu bahwa keadaan ekonomi  negeri sebagai 
akibat dari kebijaksanaan politik dan ekonomi Orba,  sudah beberapa 
tahun ini,  berada dalam situasi kritis. Pengangguran bertambah terus.  
Inflasi tak  ada tanda-tanda akan berhenti. Kekayaan bumi dan  lautan 
Indonesia, sudah digadaikan  Orba kepada kaum modal multi-nasional. 
Utang negeri? Entah berapa keturunan lagi baru bisa dilunasi. 
Hutan-hutan sudah  pada ludes.  Jumlah penduduk Indonesia yang hidup di 
bawah garis kemiskinan bertambah terus. Jutaan anak-anak tak mampu untu 
bersekolah. Jumlah yang putus sekolah juga bertambah terus.
Taraf pendidikan bangsa ini merosot di banding pada periode pemerintahan 
Presiden Sukarno.  

Dalam keadaan negeri yang amburadul  seperti yang kita alami 
sekarangini,  kaum penguasa, elite birokrasi dan militernya,  beserta 
para pendukungnya, malah berderet-deret antri  pada "menengok Suharto" 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON C. JAVA (BANTUL) EARTHQUAKE, 29 MAY 2006

2006-05-29 Thread I. Bramijn



---
IBRAHIM ISA'S  -   FOCUS  ON C. JAVA (BANTUL)  EARTHQUAKE, 29 MAY 2006
---
Disaster nation
Help begins arriving in Indonesian quake zone with death toll at 4,300
Indonesia says earthquake's economic impact not large
--
DISASTER NATION  --   The Jakarta Post Editorial
Television reports of disasters in the country now come with melancholy 
tunes, most notably the ballads of Ebiet G. Ade. Since the 2004 
earthquake and tsunami in Aceh, his song Berita kepada Kawan (News to a 
friend) seems to have become the official theme song for tragedies.
While scientists rush for explanations every time a natural disaster 
strikes, it is inevitable that many ordinary people look inward and ask 
what sins they may have committed to anger God and nature.
Ebiet's lyrics are once again being heard on Metro TV. As Yogyakartans 
were anxiously anticipating a possible eruption by Mt. Merapi, a strong 
earthquake rocked the province and surrounding areas early Saturday. In 
his ballad, Ebiet speculates that the disasters in the archipelago are 
because God is "tired of our behavior".
We may scoff at the elderly and religious who agree with Ebiet, who say 
we have been cursed with earthquakes and tsunamis, landslides, floods 
and bird flu because of our sins. But in the wake of the prompt 
outpouring of condolences and aid from all corners of the globe in 
response to this latest tragedy, it would not hurt us to check our bad 
habits -- mainly corruption.
World leaders and the international community are always generous in 
delivering humanitarian aid to the victims of disasters here. And they 
are kind enough not to come out and say why they are anxious every time 
they help us. They worry that their assistance will be misused and 
stolen, as has happened in previous disasters. Unfortunately, there are 
Indonesians heartless enough to exploit their suffering compatriots and 
steal the aid they so desperately need.
Greed, which clouds common sense, is an alternative explanation for the 
country's disasters, apart from the archipelago's hazardous location in 
the so-called Ring of Fire. Witness the destruction of forests and 
poorly constructed infrastructure, likely the result of people skimming 
money from the budgets for these projects. Many buildings here are all 
too easily damaged in earthquakes, despite claims of solid design.
And, as if forgetting that corruption remains our worst enemy, many of 
us, including religious leaders, have been occupied in recent months 
with trying to secure the passage of a pornography bill. The controversy 
over this bill, aimed at improving the nation's morality, has become a 
national preoccupation, at times accompanied by violence, while those 
involved in corruption live their lives undisturbed.
When mosques in some areas of Aceh were the only structures left 
standing after the tsunami, it was pointed to by some as a sign that He 
protects the God-fearing. It may be true that God protected those 
mosques, but few gave thought to the possibility that these places of 
worship remained standing because those responsible for their 
construction were too afraid to steal money from the construction 
budgets, fearing the wrath of those who commissioned the mosques, or 
perhaps of God himself.
Apart from curbing greed, a little education about how to reduce the 
losses and damage from natural disasters would go a long way. As a 
country prone to disasters, we need to learn from Japan, for instance, 
how to take preventive measures and raise awareness among the public 
about how to respond to earthquakes.
In yet another difficult period, we thank domestic donors and 
volunteers, and the international community for their immediate 
assistance. From our previous experiences with disasters, we hope every 
measure is taken to ensure every rupiah of donated money goes to those 
who are entitled to it. Then Ebiet's words would no longer be relevant, 
of a people who repeat their mistakes and remain "proud of their follies".
---
HELP BEGINS ARRIVING -- DEATH  TOLL AT 4,300
BANTUL, Yogyakarta (AP): A UN plane loaded with tents and emergency gear 
landed near Indonesia's quake zone on Monday as survivors cleared debris 
or stood on roads lined with crumpled buildings pleading for money to 
buy food.
The government lowered the official death toll from Saturday's 
6.3-magnitude quake on Java island from nearly 5,000 to 4,315, after 
revising figures for the hard-hit regency of Klaten, said Andi 
Hanindito, the Social Ministry's head of emergency relief.
An estimated 200,000 people have been left hom

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- KWIK KIAN GIE, --- DR CIPTANING, --- MEGAWATI, DAN PDI-P

2006-05-30 Thread I. Bramijn



IBRAHIM  ISA dari BIJLMER
--
30 Mei 2006.

KWIK  KIAN GIE, --- DR CIPTANING,  --- MEGAWATI,  DAN PDI-P

"Aku akan tetap mengeritik", inilah yang dijadikan judul oleh Kwik Kian 
Gie dalam tulisannya  baru-baru ini (Suara Merdeka, 30 Mei 2006). Kolom 
Kwik itu  menggugat kebijaksanaan Wapres Jusuf Kalla/Pemerintah  yang 
telah memberikan hak mengelola Blok Cepu (salah satu sumber minyak kita 
yang kaya)  kepada  sebuah maskapai minyak Amerika. Kwik bahkan 
"menantang"   Jusuf Kalla berdebat di muka umum mengenai kebijaksanaan 
minyak pemerintah. Bisa  dipastikan bahwa  JK tak punya nyali untuk 
menerima tantangan Kwik tsb.  Pertama-tama tentu, karena Jusuf 
Kalla/Pemerintah tak punya dasar kuat untuk mempertahankan kebijaksanaan 
menyerahkan kekayaan bumi tanah air itu kepada sebuah maskapai Amerika.  
Lagipula apa JK bisa berdebat dan berargumentasi sebagaimana layaknya 
seorang wapres?  Amat diragukan. Makin  kebijaksanaan ini didiskusikan  
secara terbuka di media, akan semakin terungkap  bahwa kebijaksanaan 
pemerintah tsb sudah menyeyerahkan kekayaan alam Indonesia  kepada 
kekuasaan  finansiel-ekonomi negara adikuasa Amerika Serikat.

Kwik juga menantang agar Pertamina, yang merupakan pengelola salah satu 
sumber kekayaan Indonesia yang terbesar,   agar  pembukuannya dibikin 
transparan.  Agar  dengan demikian bisa dikontrol oleh rakyat. 
Beranikah, atau bersediakah para penggede pemerintah dan penguasa 
Pertamina membiarkan dirinya dikontrol oleh rakyat?

Tampaknya motto untuk berani melakukan kritik,   bukan barang baru bagi  
Kwik Kian Gie.
Aku ingat   Alkisah, suatu ketika: --  Kwik  punya pendapat lain 
dari pendapat  Ketua Umum partainya . Entah apa pertimbangannya,  
Megawati Sukarnoputri, yang juga kepala pemerintahan dan kepala negara 
ketika itu, dengan keras mendukung  Jendral Sutiyoso  yang  juga adalah 
orang Golkar,   supaya terus menduduki jabatan kepala daerah Jakart 
Raya. Mega tidak mengajukan  calon dari partainya sendiri, PDI-P.

Wah, jadi ramé di dalam PDI-P. Karena para wakil PDI-P di DPRD Jakarta, 
ketika itu punya calon lain. Kwik  yang semula tidak setuju dengan 
politik Mega,  . . . .  akhirnya pasrah. Dan  Mega yang sempat turun 
tangan, akhirnya yang  menang. Kwik . . . memahaminya!! 
diyakinkan tampaknya>.  Artinya Kwik  "memahami" sikap Ketua Umum-nya.  
Bagaimana persis yang dimaksudkan dengan "memahami"  ketua umumnya itu, 
juga tidak jelas.  Orang hanya bisa  menduga-duga saja.

Aku mengingatkan kembali pada episode tsb, bukan ada maksud  
mengkorek-korek kembali  kebijaksanaan Mega yang  mendukung Sutiyoso. 
Dan  juga bukan untuk mempertanyakan apakah belakangan ternyata tepat 
politik Mega mendukung Sutiyoso untuk terus menjadi gubernur Jakarta.  
---  Sekadar untuk mengingatkan  saja,  bahwa kalau  Kwik Kian Gie 
itu  yakin dan merasa  perlu,  ia  tidak segan-segan untuk berbeda 
pendapat dengan ketua partainya sendiri sekalipun. Dan berani menyatakan 
perbedaan pendapatnya tsb diketahui orang.  Biar perbedaan itu diketahui 
oleh anggota-anggota partai dan bahkan oleh umum.  Ini   gejala baik. 
Ini adalah langgam  yang sehat dan perlu dianjurkan  dipraktekkan  oleh 
parpol-parpol lainnya,  dalam usaha untuk mentrapkan  kehidupan 
demokrasi dan transparansi yang sehat  di dalam maupun di luar partai 
masing-masing.

Dalam kasus lainnya, --  Kwik menunjukkan   bahwa ia berani  mengeritik 
sesuatu yang dianggapnya tidak baik, meskipun itu berasal dari partainya 
sendiri.  Pernah ia menyatakan bahwa PDI-P adalah partai yang paling 
korup. Terang saja,  para elite PDI-P tidak suka mendengar celetukan  
demikian itu. Meskipun hal itu mungkin sekali memang benar, paling tidak 
banyak benarnya.

Bukan rahasia  lagi, bahwa sudah lama  kalangan "konservatif" di 
kalangan elite PDI-P berusaha keras untuk "memecat"  Kwik dari PDI-P. 
Mereka-mereka itu juga punya sikap yang sama terhadap dr Ciptaning, yang 
kini jadi anggota DPR mewakili PDI-P.  Mereka ingin "menyingkirkan" dr 
Ciptaning dari PDI-P. Mereka ribut-ribut ketika dr Ciptaning dicalonkan  
oleh PDI-P dalam pemilu y.l.

Masih ingat nama dr Ciptaning?  Jauh pada zaman Orba  ia aktif mengelola 
klinik-klinik rakyat. Untuk rakyat setempat yang tidak mampu,  tak 
dipungut bayaran  bila dirawat di situ.  Dr Ciptaning ketika itu amat 
populer di kalangan rakyat setempat dan di daerah Jawa Barat.

Siapa dr Ciptanaing?

Belum lama, ketika  dua orang anggota Komnasham berkunjung ke Belanda,  
di Den Haag dilangsungkan cakap-cakap dengan sementara masyarakat 
Indonesia di Belanda. Kebetulan aku ambil bagian dalam diskusi di situ. 
Sambil lalu, entah disengaja atau tidak,  salah seorang anggota 
Komnasham yang dari PDI-P,   berucap bahwa  di kantornya dr Ciptaning, 
anggota DPR dari PDI-P , terpampang di dinding di belakang meja 
tulisnya, sebuah poster besar. Bunyi poster itu:  "AKU BANGGA JADI ANAK 
PKI". Tentu pembaca masih ingat,  sekali tempo, ketika Hamzah Haz  masih
Wapres RI, 

[wanita-muslimah] BRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 02 JUNE 2006

2006-06-02 Thread I. Bramijn



-
IBRAHIM ISA'S   -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 02 JUNE 2006
-
AGO wrong to drop Soeharto case: Survey
New party vows to change political culture
RI needs strong leaders: Reformists
---

AGO wrong to drop Soeharto case: Survey
Tiarma Siboro, The Jakarta Post, Jakarta, 2 JUNE 06
Sixty-five percent of people in a recent survey think the government was 
wrong in abandoning its prosecution of former president Soeharto for graft.
The poll of 438 people in Jakarta, released by the Indonesian Survey 
Circle (LSI) here Thursday, said 65 of those questioned thought the 
Attorney General's Office was acting unfairly when it dropped the 
state's criminal case.
The survey was conducted in the city over four days from May 17-21, a 
few days after Attorney General Abdul Rahman Saleh announced the AGO's 
decision. It used a random sampling method.
A similar percentage said the government should have the final say 
whether Soeharto should be pardoned if a court found him guilty of graft.
"Most respondents want the state to continue due process against 
Soeharto to enforce the principle of equality before the law," LSI 
director Denny JA said.
Circle executive Denny Indrayana said the support for a possible 
government pardon of Soeharto, should he be found guilty, reflected the 
people's uncertainty about Soeharto's health at the time the survey was 
held.
Soeharto, who turns 85 on May 8, was discharged from the Pertamina 
Hospital on Wednesday after almost a month of medical care. After an 
initial operation to remove a 40-cm section of his colon, Soeharto had 
two more rounds of surgery to stop internal bleeding. At times, doctors 
said his condition was critical but he has since made a steady recovery.
"What has come as a surprise is that 63.9 percent of the respondents 
praised Soeharto's leadership, especially the way he developed the 
nation's economy," Indrayana said.
Most people in the sample said the economy under Soeharto was better 
than under the current administration, Indrayana said.
"Only 17.9 percent of the respondents thought Soeharto had failed in 
leading the country and only 5 percent of them blame him for the 
country's setbacks," Denny said.
The LSI proposed the government issue a decree to allow Soeharto to be 
tried in absentia.
"If the court declares Soeharto innocent of graft, the state should 
rehabilitate his name. But if he is found guilty, the government can 
always pardon him," Denny said.
In 2000, a team of doctors ruled Soeharto had suffered permanent brain 
damage after a series of mild strokes, and was unfit to stand trial for 
graft charges worth about US$569 million because he could not follow a 
line of questioning.
Since then, successive governments have been reluctant to reexamine the 
leader or restart proceedings.
-
New party vows to change political culture
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
-- 02 JUNE 06  --  A breakaway faction of the Indonesian Democratic 
Party of Struggle (PDI-P) has officially registered as the country's 
28th political party, a move that the faction's supporters say will 
spell doom for the PDI-P.
Hundreds of party leaders and supporters from the newly named Renewal 
Democratic Party (PDP) stopped traffic Thursday when they marched 10 
kilometers from their party headquarters on Jl. Sisingamangaraja in 
South Jakarta to the Justice and Human Rights Ministry in Kuningan, also 
South Jakarta.
Laksamana Sukardi, a former state enterprises minister under president 
Megawati Soekarnoputri's administration, and now PDP coordinator, said 
the party was set up to reform Indonesia's political culture, which he 
said remained "feudalistic", and to defend pluralism.
The PDP was created when senior leaders split from the nationalist PDI-P 
in December last year, after a group lead by Laksamana lost a bitter 
fight to reform the party at its national congress. The party, which has 
a leadership council instead of a single leader, has become the 14th new 
group to register since the 2004 legislative elections.
Laksamana claimed PDP party members reached into the millions and was 
optimistic it would perform better in the 2009 general elections than 
the PDI-P.
He said the party was an inclusive, nationalist grouping, which would 
promote pluralism through a reinterpretation of the state ideology 
Pancasila and a return to principles enshrined in the Constitution.
The PDP has already established chapters in 32 provinces, branches in 70 
percent of regencies and municipalities and 60 percent of the nation's 
subdistricts. The Political Party Law requires all political groups to 
field offices in at least in 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON WOMEN'S RIGHTS - 09 MARCH 2006

2006-03-09 Thread I. Bramijn


*IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON WOMEN'S RIGHTS - 09 MARCH 2006*



*+ INDONESIAN Women take to streets to condemn sharia, porn bill*

*+ Karzai Urges End to Violence Against Women*

*+ First Kuwaiti Woman Minister Breaks Psychological Barrier*

*+ 4,769 Cases of Abuse*

---

*INDONESIAN Women take to streets to condemn sharia, porn bill*

The Jakarta Post, Jakarta, 09 March 06


Women's groups took to the nation's streets Wednesday to voice their

opposition to sharia law and the controversial pornography bill, both

which they said unfairly criminalized women's sexuality and behavior.


Demonstrations across the country to mark International Women's Day

also called on the government to reduce basic commodity prices and do

more to stop crimes where women were victimized, like human

trafficking and domestic violence.


In Nanggroe Aceh Darussalam, around 1,000 women protested against what

they said was the unfair implementation of sharia law in the province.


Activists told The Associated Press the "sharia police" -- religious

vigilantes enforcing the rules -- were detaining women who did not

wear traditional Muslim headscarves or were found walking outside at

night unaccompanied by a man.


The women said the laws were unfair as they curtailed women's freedoms

but not men's.


About 200 women rallied in Jakarta to voice their opposition to the

pornography bill, which is currently before the House of

Representatives. The bill if passed would encroach on basic freedoms,

including the right to personal expression, they said.


Marching from the State Palace to the House of Representatives

building, the women said the controversial bill was a move back to the

bad old days where women had little autonomy.


The bill bans people from kissing in public and fines or jails women

for exposing "sensitive" body parts, which could include their hair,

shoulders and legs.


Artists could also be prosecuted for including nudity in their works.


The women said the bill targeted women without examining the core

issues in pornography that mostly involved men, capitalism and the

patriarchal system.


The bill has been supported by Muslim organizations throughout the

country. Muslims account for an estimated 92 percent of country's

total population.


Supermodel Olga Lidya, who joined the protest, said the bill blamed

women for being the cause of moral degradation.


"The government should instead focus on improving education," she

said. Pornography definitions had already been incorporated into the

existing Criminal Code but were never properly enforced, she said.


The protesters called for the government to focus more of its

attention on cases of human trafficking and domestic violence, two

issues they said were being overlooked by the administration.


In Surabaya and Yogyakarta, demonstrators also called on the

government to decrease fuel prices and abandon a proposed electricity

price hike. High prices for basic commodities ended up hurting women

and children the most, they said.


Women also needed better working conditions, including regulations for

more maternity leave, they said. (10)

-

*Karzai Urges End to Violence Against Women*

AGENCIES ---KABUL, 9 March 2006 — Afghan women have won a range of 
rights since the hard-line Islamic Taleban regime was ousted but they 
are still being oppressed, President Hamid Karzai said yesterday, 
calling for a campaign to end violence against women. “We have achieved 
successes in various dimensions during the past four years,” Karzai told 
a function marking International Women’s Day, referring to the late 2001 
defeat of the Taleban at the hands of US and Afghan opposition forces.


“But this journey has not ended ... women especially are being 
oppressed, there are still women and young girls who are being married 
to settle disputes in Afghanistan, young girls are married against their 
will,” he said. Women, especially in conservative, rural areas, are 
sometimes given away in marriage to settle disputes. Karzai called for 
an end to the practice. “I hope that tribal chiefs, scholars and 
influential people raise their voices against this oppression,” he said.


During Taleban rule, women were forced to wear an all enveloping burqa 
while venturing outdoors and even then, had to be escorted by their 
husbands or another male relative. Women who went out alone faced a 
beating at the hands of the feared religious police. Girls’ education 
was also banned and virtually all women were forbidden from working.


Afghanistan’s new constitution has enshrined equal rights for women and 
Karzai hailed the fact that women held nearly 28 percent of seats in the 
two chambers of a newly elected parliament. Today

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- "SUPERSEMAR" --- suatu LEGITIMASI KUP Terhadap PRESIDEN SUKARNO.

2006-03-10 Thread I. Bramijn
Kolom  IBRAHIM ISA

Jum'at, 10 Maret 2006.

"SUPERSEMAR" --- suatu LEGITIMASI KUP Terhadap PRESIDEN SUKARNO.


Besok, Sabtu 11 Maret, genap 40 tahun dikeluarkannya dokumen 'misterius' 
yang terkenal dengan nama  " S U P E R S E M A R ". Sengaja aku tulis 
'misterius', diantara dua tandakutip. Karena, nyatanya  hingga detik 
ini, hanya Jendral Suharto saja yang mengetahui dimana dokumen asli 
SUPERSEMAR itu disembunyikan.
Sampai hari ini Jendral Suharto masih bungkam seribu bahasa mengenai 
kasus SUPERSEMAR. Akibatnya, a.l. bila bicara soal SUPERSEMAR, yang 
diketahui bahwa di Jakarta ada Yayasan Supersemar, yang didirikan oleh 
dinasti Cendana. Kegiatannya a.l. membabagi-bagikan beasiswa. Akhirnya 
terungkap juga bahwa Yayasan Supersemar tsb adalah lembaga yang 
didirikan Suharto untuk  menggelapkan/mencuri kekayaan negara. Ini mudah 
dilakukannya, karena Yayasan Supersemar ketuanya adalah Suharto sendiri, 
yang dengan lancar memperoleh dana besar-besaran dari bank-bank pemerintah.

SUPERSEMAR adalah salah satu titik balik dalam sejarah pergolakan 
politik di Indonesia. Salah satu bentuk konspirasi yang paling canggih 
dalam kasus perebutan kekuasaan yang pernah terjadi di negeri kita. 
Demikian lihaynya perekayasaan SUPERSEMAR, sehingga terdengar komentar, 
bahwa dengan menandatangani SUPERSEMAR, Presiden Sukarno menandatangani 
VONISNYA SENDIRI.

Karena misteri yang menyelubungi Supersemar, maka tersiarlah pelbagai 
ceritera, dugaan dan spekulasi tentang bagaimana sesungguhnya isi 
SUPERSEMAR. Dipertanyakan dimana barang itu sekarang. Pernah diberitakan 
bahwa almarhum Jendral Jusuf mengetahui dimana keberadaan dokumen tsb. 
Menurut berita yang tersiar, hanyallah setelah beliau meninggal dunia, 
barulah bisa diungkap selubung misteri yang menutupi SUPERSEMAR. Jendral 
Jusuf sudah beberapa waktu meninggal dunia, namun, tak ada pengungkapan 
itu. Tentu orang masih ingat bahwa almarhum Jendral Jusuf adalah salah 
seorang dari jendral-jendral AD yang 'menemui' dan 'berembuk' dengan 
Presiden Sukarno di Istana Bogor. Beberapa saat setelah itu,  Presiden 
Sukarno menandtangani dokumen misterius tsb.

Itulah sebabnya, dewasa ini sebagian besar masyarakat, termasuk kaum 
cendekiawan dan para 'historikus' kita, tidak banyak tahu mengenai 
kebenaran yang sesungguhnya sekitar SUPERSEMAR tsb. Gawat juga, kaum 
cendekiawan termasuk para sejarawannya, seolah-olah tidak ada kegairahan 
untuk meneliti, menstudi dan mengungkap kebenaran dari satu periode 
sejarah kita. Satu periode, tetapi periode yang teramat penting, periode 
ketika Presiden Sukarno digulingkan dengan cara yang istimewa dan khas 
Jendral Suharto. Jelasnya cara yang inkonsitusionil. G30S dituduh 
melakukan perebutan kekuasaan, melakukan pemberontakan, pengkhianatan 
negara. Tokoh-tokohnya diajukan ke pangadilan MAHMILUB -- suatu 
pengadilan yang dibentuk dan diatur oleh penguasa militer --, dijatuhi 
hukuman, ada yang seumur hidup, termasuk hukuman mati, dan telah 
dieksekusi. Pengadilan tsb sudah lama usai. Tetapi siapaun tahu bahwa 
pengadilan tsb hanyalah show belaka, sandiwara untuk menutupi keadaan 
yang sebenarnya dan meligitimasi kekejaman-kekejaman dan pelanggaran HAM 
yang telah, sedang dan terus berlangsung selama rezim Orba.

Meleset samasekali bila menyimpulkan bahwa SUPERSEMAR dikeluarkan untuk 
mengatasi 'krisis nasional', seperti klaim sementara politisi. Dari 
keterangan dan fakta-fakta yang diketahui adalah jelas, bahwa  yang 
mendesak Presiden Sukarno mengeluarkan  SURAT PERINTAH SEBELAS MARET, 
, adalah perwira-perwira tinggi yang bertanggung jawab atas 
timbulnya krisis pemerintahan Presiden Sukarno. Adalah perwira KOSTRAD 
tsb yang mengerahkan 'kesatuan bersenjata siluman'  mengepung Istana Merdeka ketika di situ sedang dilangsungkan 
sidang Kabinet di bawah pimpinan Presiden Sukarno. Atas nasihat para 
pengawalnya demi untuk keselamatan beliau, Presiden Sukarno terpaksa 
menyingkir ke Istana Bogor. Ke situlah Presiden Sukarno 'dikejar', 
kemudian 'ditodong' untuk mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret.

Untuk menyelamatkan situasi,  -- mengatasi keadaan darurat yang 
dimanupulasi oleh Jendral Suharto dengan klik AD yang bisa dikuassainya 
---,  melalui perumusan yang dianggap bisa dipertanggungjawabkan, di 
bawah tekanan, Bung Karno berusaha membuat perumusan Supersemar 
sedemikian rupa agar sedapat mungkin bisa digunakan untuk menyelamatkan 
bangsa dan negara dari usaha Jendral Suharto cs untuk sepenuhnya 
menguasai pemerintahan dan negara. Tetapi usaha Presiden Sukarno itu 
gagal, beliau digulingkan dari jabatan kepresidenan, dan praktis 
dikenakan tahanan rumah sampai ajal beliau.

Meskipun hingga saat ini tidak diketahui dimana disimpan SUPERSEMAR yang 
otentik, namun, tidaklah  terlalu sulit untuk mengetahui dan mengerti 
apa sebenarnya isi surat perintah Presiden Sukarno yang menjadi populer 
dengan nama: "SUPERSEMAR".

Membaca teks  Supersemar yang tersiar,  kemudian menelusuri  
tindakan-tinda

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- SUPERSEMAR dan Canang "AWAS PKI"

2006-03-13 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
--
Selasa,  14 Maret 2006.

SUPERSEMAR dan  Canang "AWAS PKI"
-
Kalaupun   masih ada sedikit saja kejujuran pada diri sendiri,  andaikan 
suara  hati sanubari masih terdengar meski sayup-sayup sekalipun, maka 
--- betapapun tidak sampai hati untuk  membantah bahwa   "SUPERSEMAR" 
itu,  <"Surat Perintah Sebelas Maret 1966",  ditandatangani oleh 
Presiden Sukarno tertuju kepada Letnan Jendral Suharto>,     yang 
akhir-akhir ini begitu banyak ditulis dan dibicarakan, berkenaan dengan 
peristiwa 40 th yang lalu,  suatu peristiwa bagaimana Jendral Suharto 
bersengkelit, bermanuver dan berskonspirasi,  dengan tujuan  
''menggondol pengabsahan''  atas perebutan kekuasaan negara yang sudah 
dimulainya sejak pagi tanggal 1 Oktober 1965,    bahwa  SUPERSEMAR 
yang itu,   adal a hs u a t uc a r a -  k h a sd a l a m
s e j a r a h  
 p e r e b u t a nk e k u a s a a n  . yang  teramat canggih dan 
lihay,   di sepanjang sejarah Indonesia.  Melebihi  kelihayan dan 
kelicikan bahkan seorang agen-rahasia Inggris  James Bond,  dalam 
cerita  berseri detektip mengerikan (thriller)   karangan penulis Ian 
Fleming, a.l.  "Live and let die" atau "From a view to kill". Cuma 
saja,  dalam drama 1965 dimana  "Anak Desa dari Godean"  berperanan  
sebagai  "jagoannya" ---  adalah ceritera beneran yang berlipat ganda  
melebihi  kegananasan dan petualangannya terbanding  cerita  James Bond  
dalam "Live and let die". Dalam episode drama 1965-66  "Anak Desa dari 
Godean" dan  komplotannya, memang berhasil  menang terus  dengan 
menikmati segala kemewahan dunia,  atas dikorbankannya lebih sejuta 
orang Komunis, diduga Komunis atau simpatisan Komunis atau pendukung 
Presiden Sukarno yang  mati dibantai. Selanjutnya lebih duapuluh juta 
keluarga para korban sampai kini masih didiskriminasi dan 
distigamtisasi. Dan korban terbesar tidak lain adalah Presiden Sukarno 
sendiri, menjadi tahanan sampai ajalnya.

'' Merangkak atau tidak-merangkak'', apa yang dilakukan Jendral Suharto 
dalam  PEREBUTAN KEKUASAAN, atau KUDETA  tsb adalah suatu perbuatan yang 
paling khianat yang pernah dilakukan oleh seorang bawahan terhadap 
atasannya. Bagaiman   surat perintah kepada dirinya bisa disulapnya 
menjadi surat vonis mati terhadap pemberi surat perintah tsb.

Betul, kalau sedikit saja masih ada semangat menghormati fakta-fakta,  
orang tidak  bisa membantah bahwa,  sang dalang yang mengirimkan tiga 
orang jendral TNI untuk  '' mendesak''  Presiden Sukarno mengeluarkan 
surat perintah tsb adalah Jendral Suharto yang pura-pura sakit tidak 
hadir dalam sidang kabinet di Istana Negara pada tanggal 11 Maret 1965 
itu.  Karena ia sibuk mengatur  ''pasukan siluman''   "yang tak dikenal" 
(menurut laporan Brigjen Sabur Komandan Pasukan Pengawal Istana 
CAKARABIRAWA kepada Presiden Sukarno yang sedang memimpin sidang kabinet 
tsb), untuk mengepung dan "menggiring"  Presiden Sukarno ke Istana Bogor.

Bukankah sesudah ''memperoleh''  SUPERSEMAR tsb, tiga jendral itu 
melapor kepada Jendral Suharto? Bukankah tiga jendral tsb menyatakan 
kepada Presiden Sukarno bahwa adalah Jendral Suharto yang mampu  '' 
menenteramkan''  dan ''menstabilkan''   situasi tanah air yang 
''gawat''. Bukankah akhirnya bisa diketahui juga, bahwa yang bikin 
situasi 'menjadi 'gawat' dan ''tidak stabil''  adalah pembangkangan, 
insubordinasi  yang dilakukan oleh Jendral Suharto terhadap Presiden 
Sukarno, ketika Presiden Sukarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro 
untuk mengoper pimpinan harian Angkatan Darat/TNI, sesudah 6 jendral 
dibunuh dalam peristiwa G30S.  Situasi menjadi ''gawat''   
sesungguhnya,  disebabkan oleh Jendral Suharto   yang atas keputusannya 
sendiri sudah mengambil oper pimpinan TNI tanpa meminta terlebih dahulu 
persetujuan Presiden Panglima Tertinggi Sukarno.

Sulitkah untuk menyimpulkan  bahwa, manuver, komplotan  dan komspirasi 
sekitar SUPERSEMAR,  adalah rentetetan langkah-langkah dan taktik-taktik 
para pengkomplot yang kemudian berhasil menyingkirkan  Presiden Sukarno, 
yang notabene dalam Supersemar  ditegaskan benar, bahwa  makna  
Supersemar itu  punya titik berat untuk menjaga kewibawaan dan 
keselamatan  Presiden Sukarno serta ajaran-ajaran revolusioner beliau.  

Dengan demikian,  tidakkah sulit pula untuk menarik kesimpulan yang 
wajar dari peristiwa itu, bahwa apa yang dilakukan oleh Jendral Suharto 
terhadap pemerintah Presiden, terhadap Presiden Sukarno pribadi adalah 
suatu PENGKHIANATAN yang LAKNAT, adalah  SUATU PEMBERONTAKAN terhadap 
wewenang pemerintahan dan Presiden Republik Indonesia.

Tetapi masih saja ada orang-orang,  khususnya mereka yang berkat 
kekuasaan Orba memperoleh kedudukan dan keuntungan besar selama lebih 
dari 30 tahun,  yang hendak menghapuskan, menggelapkan,  memelintir 
fakta-fakta sekitar SUERSEMAR 1966.

Mereka menempuh cara klasik, yaitu mengalihkan perhatian mas

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S --- FOCUS On PAPUA ELECTION -

2006-03-14 Thread I. Bramijn
*=*

*IBRAHIM ISA'S --- FOCUS On PAPUA ELECTION -*

*=*

*++ Bulk of Papua votes still uncounted*

*++ W. Irian election commission faces tough questions *

*++ W. Irian Jaya political showdown brewing *

*++ W. Irian Voters defy Violent Threats*

*++ Abraham out in front in polls*

*===*

*Bulk of Papua votes still uncounted *

Nethy Dharma Somba, The Jakarta Post, Jayapura

Although the winner is scheduled to be announced by the end of the 
month, about 60 percent of the vote from Friday's direct gubernatorial 
election had yet to be counted Monday.

"The winner will be announced in a plenary meeting on March 30," 
chairman of the Papua General Elections Commission (KPUD) Marthen Ferry 
Kareth said Monday.

As of 2 p.m. Monday, the provisional vote count reached 40 percent of 
about 1.4 million registered voters across the province.

Four of Papua's 19 regencies -- Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai and 
Waropen -- still had yet to file their vote counts due to transportation 
and communication problems. Keerom regency, whose polling station was 
flooded Friday, has submitted its results.

Results from the four regencies are expected to reach Papua KPUD in the 
next three to four days.

Yahukimo deputy regent Daniel Rendeng said Monday the regency's election 
office was awaiting the arrival of results from some areas.

"Up to now, vote counting results in Yahukimo could not be reported 
because we don't have them all yet. We just sent planes to remote 
districts today (Monday) to collect the results. Results would then be 
reported to the Yahukimo KPUD in the regency's capital city Sumohai," 
Daniel told The Jakarta Post from Yahukimo.

The provisional vote count at Papua KPUD, with results screened at the 
governor's office in Jayapura, showed former governor Barnabas Suebu was 
still in the lead in the election, which was held after two 
postponements due to preparation problems.

As of 2 p.m. Monday, Barnabas and running mate Alexander Hessegem, who 
were endorsed by the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) 
garnered 214,674 votes, or 31.32 percent of those cast so far.

Barnabas was followed by Lukas Enembe with 185,702 votes (27.10 
percent); Golkar Party's John Ibo with 161,749 (23.60 percent); Constant 
Karma with 73,843 (10.8 percent); and Dick Henk Wabiser with 49,389 (7.2 
percent).

Kareth said the provisional vote count remained tentative because less 
than half of the total had been counted.

"The placings still can change because we're waiting for the remaining 
60 percent of votes which have yet to be reported to the KPUD," he said.

He advised Papuans not to trust results from institutions other than the 
KPUD.

"Other people or institutions could hold vote counting but it cannot be 
compared to the KPUD's results, which is based on a manual counting 
process," he said.

Following the close of polling stations on Friday, a quick count 
conducted by the Indonesia Survey Circle found Barnabas had a commanding 
lead and predicted he was the likely winner. 

*W. Irian election commission faces tough questions *

Hyginus Hardoyo, The Jakarta Post, Manokwari

Former Sorong regent Abraham Octovianus Atururi maintained his lead in 
the West Irian Jaya direct gubernatorial election Monday amid threats by 
an opponent to take the local election commission to court.

According to the Provincial Election Commission (KPUD) chairperson 
Regina Sauyai, the number of votes counted as of 6 p.m. Monday was 
206,444, or about 50 percent of the total of 406,651 valid votes

Abraham and his running mate Rahimin Katjong were well in the lead with 
60.9 percent votes, while Yorrys Th. Raweyai remained a distant second 
with 21.2 percent and Dortheus Asmuruf in last with 17.8 percent.

"The results are provisional, but later we will have the official 
figures," Regina said.

She added that Saturday's election, held after being postponed twice 
last year, proceeded without significant disruptions.

According to KPUD's schedule, the counting would be held at the village 
level March 12-14, the district level March 15-17 and the regency/city 
level March 18-20.

"The vote-counting process is still going on at the lower level. We're 
grateful that we have received plenty of data so far," Regina said.

She played down allegations by candidates who have charged that the 
election was not legitimate since less than 50 percent of voters turned 
out, arguing that it was too early to respond because the counting was 
still underway.

However, she expressed optimism that there would be better than a 
50-percent turnout.

"Even now, some 50 percent of votes have been counted. So we will see 
the result. According to election regulations, if a pair gets 25 percent 
of votes, they can be declared the election's winner. So let's wait," 
Regina elucidated.

According to article

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- "INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden",, (1)

2006-03-17 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER

Jum'at, 17 Maret 2006.

"INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden"

(1)

Pembaca yang tak faham berbahasa Belanda, tentu akan bertanya-tanya, 
mengapa pula penulis memakai judul berbahasa Belanda. Bukankah,  sasaran 
tulisan ini adalah pembaca Indonesia? Memang betul, tetapi tokh dengan 
sengaja judul kutulis dalam bahasa aslinya, bahasa Belanda. "Indonesia 
De Ontdekking van Het Verleden"  adalah 
judul dari pameran benda-benda historis Indonesia. Diselenggarakan di 
sebuah g e r e j a  --  (ya, di gereja, --- Di Belanda sini adalah 
sesuatu yang biasa, pameran-pameran atau rapat-rapat bahkan konferensi 
ataupun seminar dan ceramah, dilangsungkan di sebuah gereja -- Dengan 
demikian, kecuali untuk tempat beribadah, Rumah Tuhan itu dimanfaatkan 
secara langsung, efisien dan praktis untuk kepentingan masyarakat) -- De 
Nieuwe Kerk Dam Amsterdam.

Pameran benda-benda sejarah Indonesia terselanggara berkat adanya 
kerjasama antara Musium Nasional Indonesia di Jakarta dengan Rijksmuseum 
voor Volkenkunde di Leiden.

Jumlah benda-benda sejarah Indonesia yang dipamerkan disitu tidak kurang 
dari 300 buah jumlahnya. Kerjasama Belanda-Indonesia ini nyata telah 
menghasilkan buah yang, tidak saja berguna dalam rangka mempromosi 
saling mengenal dan mengerti lebih lanjut tentang Indonesia di kalangan 
masyarakat Belanda, tetapi juga di kalangan ribuan turis asing yang 
membanjiri Amsterdam musim ini. Pada gilirannya kerjasama semacam ini 
jelas mempromosi dan mendorong maju perkembangan hubungan baik antara 
kedua bangsa dan negeri: Indonesia dan Belanda.

Ya, sudah lama memang rencana kami, suami istri, untuk mengunjungi 
pameran bersejarah tsb. Yang dimulai pada tanggal 17 Desember 2005, dan 
baru akan berakhir pada tanggal 17 April 2006 nanti. Jadi, kalau masih 
ada yang berminat, masih ada waktu sebulan lagi. Saranku ini tentu 
dimaksudkan untuk teman-teman yang tinggal di Belanda, Belgia ataupun 
Jerman. Yang jaraknya bisa dicapai sehari pulang-pergi.

Tetangga kami, Meneer Haydeman, editor penerbitan Buurthuis Haag en 
Veld, ketika berpapasan jalan dengan kami beberapa hari yang lalu, 
mengingatkan lagi kepada kami, agar jangan lupa berkunjung ke pameran 
bersejarah itu. "Het is geweldig, mooi", katanya. "Kalian harus 
melihatnya", tambahnya pula.

Begitulah, pada hari Kemis kemarin, bersama istriku Murti dan putri 
sulung kami, Pratiwi Keuning, kami mengunjungi pameran benda-benda 
sejarah Indonesia di gereja 'De Nieuwekerk Dam', Amsterdam. Pratiwi 
bersepeda saja dari rumahnya di Oudeschans, sedangkan kami menumpang 
Metro Lijn 54 dari  Halte Metero Bullewijk, jarak 10 menit jalan kaki 
dari rumah kami, menuju ke Centraal Station Amsterdam. Dari situ naik 
tram no 1 dan turun di Halte kedua De Dam. Kami berjandji bertemu dengan 
Pratiwi di pertokoan Bijenkorf.  Ia mengajak kami makan siang bersama 
dulu di restoran Bijenkorf di tingkat tiga. Dari situ bertiga kami jalan 
kaki lima menit  menuju gereja 'De Nieuwekerk Dam, ke pameran 
"Indonesia: De Ontdekking van Het Verleden".

Seperti dijelaskan oleh penyelenggara pameran "INDONESIA:De Ontdekking 
van Het Verleden", tujuan pameran juga untuk mengisahkan: Antara lain 
tentang adanya  situasi "antara ketegangan dan keterpikatan 
(fascinatie)". Dan tentang antipati an kebencian, yang nyata tampak 
dalam proses mengumpulkan koleksi arkeologi dan ilmu bangsa-bangsa di 
kepulauan Nusantara. Sejarah atau ceritera tentang kegiatan pengumpulan 
tsb di Hindia Belanda dulu tak dapat diragukan adalah  jabaran dari 
hubungan-hubungan/imbangan kekuasaan pada waktu itu. Benda-benda indah 
tsb dikumpulkan dalam situasi sengketa.

Kata-kata yang tsb diatas, adalah perumusan yang semi-diplomatik. 
Bagiku, diterjemahkan dalam kata-kata sehari-hari yang mudah dimengerti, 
yang ces pleng --- situasi  yang dimaksud itu adalah situasi di mana 
bangsa Indonesia berada dalam penindasan kejam kolonialisme Belanda.

Benarlah kiranya introduksi yang diberikan untuk pameran tsb bahwa, 
Indonesia dan Nederland punya relasi, punya hubungan yang kompleks. 
Dilihat dari kenyataan masa lampau kolonial, ketika Nederland menguasai 
sebagian terbesar dari kepulauan Nusantara, terdapat hubungan intens 
antara kedua negeri. Hubungan 'saling menarik dan saling menolak', 
simpati dan anti-pati, hubungan persahabatan dan permusuhan.

Pernah aku tulis, bahwa hubungan itu adalah hubungan "love and hate 
relation". Supaya jangan salah mengerti, dari fihak kita bangsa 
Indonesia, yang kita "hate", yang kita sebagai bangsa benci adalah 
kolonialisme Belanda. Kita tidak pukul rata, sperti Yusril, membenci 
Belanda sebagai bangsa, sebagai negeri, secara keseluruhan. Di mana-mana 
di dunia ini, bukankah bangsa atau rakyat itu, punya sifat-sifat baik, 
positif --- tetapi juga punya segi-segi negatifnya. Mengenai kebudayaan 
Belanda di pelbagai bidang, seni-lukis, literatur, musik,  dsb, rakyat 
dan bangsa kita menghargai 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON THE ANTI-PORNO BILL - 18 March 2006

2006-03-18 Thread I. Bramijn
==
IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON THE ANTI-PORNO BILL - 18  March 2006
==
Who is fit to be the moral arbiter of dress sense?
Religion in the public sphere
Porn bill set to to undergo overhaul
==
Who is fit to be the moral arbiter of dress sense?
Soeryo Winoto, The Jakarta Post, Jakarta
Thank God! Finally, the government has made its position clear on the 
controversial pornography bill.
State Minister for Women's Empowerment Meutia Hatta Swasono said 
Wednesday the focus of the bill should be on limiting the distribution 
of obscene materials, not prosecuting personal conduct, especially the 
conduct of women.
The day before, the chairman of the House committee deliberating the 
bill, Balkan Kaplale, said the bill on pornography would focus on 
pornographic materials and their distribution.
Meutia and Kaplale demonstrated strength of leadership and clear 
thinking among all the absurdity in the House surrounding this bill, 
including those legislators who insist the bill target personal conduct, 
particularly of women who wear a "certain" type of clothing.
This change in the emphasis of the bill was made only after waves of 
public protests, the latest by about 500 performers of the traditional 
tayub dance in Surakarta on Wednesday. Though the government was slow to 
respond to the public outcry, it could no longer ignore all the voices 
opposed to the bill.
While the legal definition of pornography here remains hazy, it is 
interesting to consider the American Family Association's online 
definition of pornography. This definition states, "Pornography is 
sexually explicit pictures, writing or other material whose primary 
purpose is to cause sexual arousal."
Given that women are the target of the bill, it is pretty clear the 
House committee deliberating the bill is dominated by men. This 
underlines the results of a survey conducted in the U.S. by Harris  
views about pornography. This may help us understand why the majority of 
the protesters against the bill are women.
Of the many surprises surrounding the deliberation of the porn bill, the 
biggest is that none of the committee members have been able to offer a 
clear definition of what exactly constitutes pornography.
What is defined as pornography in the bill differs very little from the 
definitions of porn offered in articles 282, 283 and 284 of the 
Interactive Inc. and released in September 2004. The survey found 57 
percent of women believe pornography is demeaning to women, and showed 
that men and women differ in theirCriminal Code, which have in the past 
been used to prosecute people from the entertainment world, including 
models.
The Criminal Code clearly is still relevant and workable. The problem 
seems to be the classic one of poor law enforcement.
Perhaps the House committee deliberating the bill should have considered 
the American Family Association's definition of pornography, whose key 
words are "to cause sexual arousal".
So, can a woman's outfit be considered sexually explicit material? 
Probably, since men apparently are so easily aroused, at least according 
to the original draft bill. This just highlights the absurdity of the 
definition of pornography. So how can the House committee decide 
something is pornographic when the exact definition of pornography is so 
unclear?
Perhaps inspired by the absurdity of the House members, the Tangerang 
mayoralty has passed its own regulation on prostitution, which has drawn 
criticism for targeting women. The mayoralty, however, remains unbowed 
and is preparing another regulation on the dress of female students.
Since the 1950s, students in the country have been playing a game of 
hide-and-seek with their teachers and a kind of moral police over their 
clothes. In those days female students were not the only targets. Boys 
with tight trousers, called Napoleons, had to be extra careful out on 
the street to avoid being caught by the police, who would insert a 
bottle inside the leg of their trousers. If the trousers proved to be so 
tight the bottle would not fit, the officer would slit the pants. And 
nobody complained or questioned the legality of the officers' actions.
In the 1970s, a lot of teens got into trouble over their hair. Quite a 
few boys sporting Beatles-like hairdos received unwanted haircuts from 
their teachers in front of their classmates. Teachers were also prone to 
confiscating "Beatles" shoes from unlucky fashion wanna-bes.
The authorities and teachers defended their actions by arguing that 
young people had to be protected from "destructive Western culture".
History clearly shows that the authorities here have always been 
impractical idealists who have turned quite trivial matters into major 
affairs. And if fashion caused moral decay among the young, as the 
authorities believed at the t

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON PAPUA'S FREEPORT-23 MARCH 2006

2006-03-23 Thread I. Bramijn
-
IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON PAPUA'S FREEPORT-23 MARCH 2006
--
Probable reasons for the violence in Papua
Freeport told to improve environmental controls at Papua mine
Political elite told not to fan protests
Death toll in Papua clash rises to 5
--
Probable reasons for the violence in Papua
Aleksius Jemadu, Bandung -- The Jakarta Post, 23 March.
The student protest in front of Cendrawasih State University in Abepura 
on March 16, 2006 was not an ordinary one. Otherwise the protesters 
would not have gone so far as to kill three riot policemen and an Air 
Force officer. It must have been a climax of an accumulation of 
frustration on the part of the Papuans, who have become desperate in the 
midst of a political game among the political elite, who compete for 
control over and economic appropriation in the province.
An expert on inter-state conflict, Michael Brown (1996), says that we 
have to distinguish the underlying from proximate causes of an internal 
conflict. The underlying causes of internal conflict concern mass-level 
factors, such as economic injustice and political repression.
The problem with these underlying factors is that we cannot predict when 
an outbreak of violence is going to occur. Therefore, according to 
Brown, we have to find the proximate causes of the conflict. In most 
cases, the spread of violence is triggered by a struggle of power among 
political leaders, in which the grassroots have no part at all.
It should be noted that students played an important role in initiating 
the protest against the state authority. They represented the educated 
section of the Papuan people, who are increasingly critical and cynical 
about how the political leaders in Jakarta and Papua have been dealing 
with the region's future.
As far as the Papuan students are concerned, the presence of the U.S. 
gold mine subsidiary PT Freeport Indonesia on Papuan soil is a modern 
symbol of a very powerful collaboration between external powers, whose 
main business is how to perpetuate their profit-making activities 
without disruption by local people.
There is no doubt that President Susilo Bambang Yudhoyono is committed 
to the use of peaceful means in resolving the conflict in restive 
provinces like Papua and Aceh. It goes without saying that the Papuans 
are watching carefully how the central government is going to award some 
political and economic concessions to the Acehnese through the 
formulation of the law on the governance of Aceh. Such a comparison is 
inevitable as the Papuans also want similar treatment.
Although it is not yet clear how the House of Representatives will 
translate the principles mentioned in the Helsinki Memorandum of 
Understanding on Aceh peace, the central government has implicitly 
admitted that it has to go beyond the special autonomy law in addressing 
the grievances of the Acehnese.
There is even a prospect of having local political parties in Aceh. In 
fact, recently some political activists declared the establishment of 
the first local political party in Aceh, called the Acehnese People's 
Party (Partai Rakyat Aceh or PRA).
At the same time, there is no clear indication that the central 
government will treat Papua the same. Nor is there any honest confession 
on the part of the central government that it has failed to empower the 
grassroots through the implementation of the 2001 Law on Special 
Autonomy for Papua.
In fact, the home minister has played down the objections raised by the 
chairman of the Papuan People's Assembly (MRP), Agus Alue Alua, who 
urged a delay to the local election in West Irian Jaya. According to the 
MRP, the establishment of new provinces in Papua should be proposed by 
the Papuans themselves and not imposed from above by the central 
government.
It is interesting to see that the opposition to the formation of West 
Irian Jaya province came as the students were demanding Freeport's 
closure. There are several reasons behind the protest.
First, they consider the establishment of the new province a blatant 
insult to the MRP, whose members are to be respected. The election of 
the West Irian Jaya governor delegitimized the MRP in front of its 
constituents.
Second, in the eyes of the students, the establishment of the new 
province will only lead to the strengthening of control by the central 
government as such a policy will create new civilian and security 
bureaucracies representing Jakarta's interests.
Third, although the local elections have been peacefully conducted, the 
Papuan students suspect that the central government has been 
instrumental in inciting conflict among the Papuan leaders themselves. 
Th

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Dubes Indonesia ABDUL IRSAN - BRAVO!

2006-03-26 Thread I. Bramijn
Kolom IBRAHIM ISA

Minggu, 26 Maret 2006.

Dubes Indonesia ABDUL IRSAN - BRAVO!
==

Mengapa dirasakan perlu menulis tentang Dubes Abdul Irsan? Bukan karena 
penulis memang mengenal dia secara pribadi. Tak lain dan tak bukan, 
disebabknan oleh sikapnya yang dirsakan tak ada duanya. Sang Dubes minta 
maaf atas perilaku-korupsi yang terjadi di KBRI Tokyo oleh seorang staf 
KBRI -- jadi, korupsi atau "pungli" yang dilakukan oleh "anak-buahnya".

Sebagai kepala perwakilan Abdul Irsan merasa sepenuhnya bertanggungjawab 
atas tindak korupsi yang berlaku di KBRI Tokyo. Dan dia merasa bahwa dia 
harus menanggung risikonya dan siap untuk mengundurkan diri sebagai 
kepala perwakilan. Sikap sebagai pemimpin, sebagai kepala perwakilan, di 
saat di lingkungan tanggungjawbnya telah terjadi korupsi, Dubes Abdul 
Irsan berani memikul tanggungjawab atas perbuatan salah yang dilakukan 
oleh "orang bawahannya" -- Sikap inilah yang selama ini belum pernah 
penulis saksikan di negeri kita. Apalagi pada waktu periode Orba ketika 
kultur Korupsi Kolusi dan Nepotisme telah menjadi budaya kehidupan para 
elite pemimin-pemimpin di pemerintahan dan birokrasi, militer dan dunia 
bisnis.

Maka, tanpa ragu-ragu patut disampaikan penghargaan kepada Dubes Abdul 
Irsan. Dengan tindakannya itu Dubes Irsan, disadarinya atau tidak, telah 
memberikan teladan yang patut dicontoh oleh rekan-rekannya di 
Kementerian Luar Negeri, pemerintahan dan seluruh masyarakat.

Korupsi atau "pungli" yang terjadi di KBRI Tokoyo itu, sebenarnya tidak 
spektakuler. Pasti bukan ukuran korupsi sebesar yang dilakukan oleh 
dinasti Cendana dan kepala mafiosonya, Jendral Suharto. Juga tidak 
sebesar korupsi yang dilakukan oleh para jendral sampai ke koter-koter 
di pedesaan. Namun, korupsi adalah korupsi. Maka Abdul Irsan dengan 
serius bersikap terhadap tindak korupsi tsb.

Mari kita ikuti berita yang dimuat s.k. Kompas, a.l.:

Kompas Jumat, 24 Maret 2006
Dubes Minta Maaf
Tokyo, Kompas - Duta Besar Indonesia untuk Jepang Abdul Irsan meminta 
maaf sedalamnya kepada Kepala Negara, pimpinan lembaga pemerintahan, 
pimpinan DPR, dan juga kepada masyarakat karena telah terjadi pungutan 
liar (pungli) menyangkut pemberian visa bagi orang asing di Kedutaan 
Besar Republik Indonesia di Tokyo.Dalam wawancara dengan pembantu Kompas 
Richard Susilo pekan ini, Abdul Irsan mengakui dia mengetahui adanya 
pungli itu setelah ada pemeriksaan oleh tim Inspektorat Jenderal 
Departemen Luar Negeri (Deplu), 7-11 Februari.

”Langsung saat itu juga saya panggil oknum Kepala Imigrasi KBRI, dia 
mengakui dan minta maaf. Saat itu juga saya katakan, karena saya merasa 
gagal membina staf saya, saya mau mundur dari jabatan duta besar. Saya 
sangat menyesalkan adanya kejadian ini, apalagi di akhir karier saya 
yang rencananya akhir April akan kembali ke Indonesia setelah berpamitan 
dengan kaisar dan para pejabat di Jepang sesuai kewajiban diplomatik,” 
ujarnya. Demikian pemberitaan s.k. Kompas.**

Pak Irsan -- begitulah ia disapa sehari-hari baik oleh anak-buahnya di 
KBRI Den Haag, maupun oleh sahabat dan kenalan, ketika ia masih menjabat 
dubes di Belanda. Bagi masyarakat Indonesia Holland, nama Abdul Irsan 
tidak asing. Tidak asing, -- bukan begitu saja, karena sudah lama 
dikenal. Tidak demikian, Abdul Irsan tidak asing lagi bagi masyarakat 
Indonesia di Belanda, disebabkan oleh sikapnya. Suatu sikap dan 
pendirian yang lain terbanding dubes RI di Nederland yang sebelumnya. 
Kemungkinan besar, perbedaan antara Dubes Abdul Irsan dengan dubes-dubes 
yang sebelumnya di Nederland, ialah: Karena adalah semasa jabatannya di 
luarnegeri, waktu itulah terjadi perubahan besar di Indonesia. Yaitu: 
Berakhirnya dengan formal periode rezim Orba di Indonesia. Yaitu pada 
waktu jatuhnya Presiden Suharto yang dihempas oleh gelombang gerakan 
reformasi dan demokratisasi yang bergelora dengan maraknya menjelang 
paro kedua 1998.

Dubes Irsan --- Sebagian besar masa dinasnya sebagai diplomat, mengabdi 
pemerintahan Orba. Sebelum diangkat menjadi dubes di Tokyo, Irsan 
mewakili Orba di Holland. Mengenai apa yang terjadi pada masa Orba, --- 
dalam suatu pembicaraan terbuka di KBRI - saat itu gerakan Reformasi dan 
Demokratisai di Indonesia masih vokal, -- Abdul Irsan dengan jujur dan 
lugu menyatakan,  bahwa, ia, Irsan, bukan tidak sadar tentang keburukan Orba, praktek 
KKN dsb. Tetapi ia tidak berani seperti kaum muda yang dengan 
blak-blakkan dan vokal menyatakan kritisi mereka terhadap politik dan 
budaya Orba. Saya takut, kata Irsan, saya selalu harus ingat akan nasib 
keluarga dan rumah-tangga saya. Saya tidak seberani yang muda-muda. 
Demikian Abdul Irsan.

Gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang menggelora pada bulan Mei 1998 
hingga tergulingnya Presiden Jendral Suharto, telah membawa Indonesia ke 
tahap yang lain lagi dalam perkembangannya. Tahap reformasi dan 
demokratisasi. Insya Allah.

Inilah latar belakang 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON RELATION WITH ''FREEPORT'' , AUSTRALIA, 28 MARCH 2006

2006-03-28 Thread I. Bramijn
--

IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON RELATION WITH ''FREEPORT'' , AUSTRALIA, 28 
MARCH 2006
-
GOVT REBUKED FOR NOT SUING ''FREEPORT'
PROTESTS WILL NOT AFFECT FOREIGN INVESTMENTS
GOVT WONT ''CUT TIES'' WITH AUSTRALIA
-
GOVT REBUKED FOR NOT SUING ''FREEPORT''
Tb. Arie Rukmantara, The Jakarta Post, Jakarta
Legal experts have slammed the government for not taking legal action 
against PT Freeport Indonesia over its alleged violations of the 
country's environmental laws.
The environmental law experts said there was no reason for a delay in 
legal action, which was mandated in the government's working contract 
with the U.S.-owned copper and gold mining firm.
State Minister for the Environment Rachmat Witoelar last week said 
Freeport's Grasberg mine in Papua had violated environmental standards 
on acid drainage and tailings disposal.
The company had also not secured a permit to dump its tailings into 
local rivers, Rachmat said.
The government has said it would give the company time to comply with 
the regulations and has threatened to sue if Freeport failed to improve 
its waste disposal standards by the end of the year.
"The findings of the government's environmental audit clearly show that 
Freeport has violated our environmental laws. It has also violated the 
working contract," said Andri Akbar, a senior legal advisor to 
non-governmental organization GreenLaw.
Activists speculated the government was worried a legal dispute with the 
firm would stop work at the mine, depriving the state of revenue, and 
might only be settled through international arbitration.
The government and Freeport first signed a working contract in 1967 and 
extended it in 1991, allowing the company to extract minerals in the 
province until 2021.
Andri said all working contracts signed by the government and foreign 
mining companies, including Freeport, contained articles on 
environmental standards, which firms must abide by.
"Should a company violate the country's environmental law, then it has 
violated its contract," he said.
Article 16 and 26 of the 1991 working contract, a copy of which was 
obtained by The Jakarta Post, stipulate that Freeport must comply with 
by the country's environmental regulations and say the government has 
the right to halt the company's operations if they are found to have 
harmed the environment.
Andri said under the 1997 Environment Law, the government could slap 
administrative sanctions on Freeport, revoke its license to operate or 
file civil or criminal lawsuits against it.
"The government can even take Freeport to international arbitration for 
violating the (working contract) agreement," he said.
If managers of the mine are found criminally liable for environmental 
misconduct, they could face 15 years' jail and a Rp 750 million (about 
US$82,000) fine.
An environmental law lecturer at East Java's Airlangga University, 
Suparto Wijoyo, said the 1997 law required the government to prosecute 
all violators.
Indro Sugiantoro of the Indonesian Center for Environmental Law said the 
government's hesitance to sue Freeport proved it had no intention of 
upholding the law.
"Any act to avoid enforcing the law is a crime in itself," he said.
Freeport executives could not be reached for comment. However, in a 
statement sent to The Jakarta Post last week, the company reiterated it 
had complied with Indonesian laws and pledged to cooperate with the 
government to improve the environmental management of the mine.

PROTESTS WILL NOT AFFECT FOREIGN INVESTMENTS
A series of violent protests targeting American companies operating in 
Indonesia has recently raised concern about security for foreign 
investment. James Castle, president of the American Chamber of Commerce 
in Indonesia, talked to The Jakarta Post's Anissa S. Febrina on the 
impact of the unrest on the investment climate here.
Question: Many say protests in mining areas hurt the investment climate 
here. Will the impact be really significant and what lessons can be 
learned from them?
Physical disturbances and demonstrations are never good for business, so 
they do have a negative impact. Having said that, everywhere in the 
world natural resource investments are controversial. People in the 
mining industry see this as a concern and they appreciate the response 
of the Indonesian government, which has confirmed its support for these 
investments and sees the benefits. In the last five years or so, mining 
investment here has been very low because there was a doubt that the 
govern

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- MUSLIMIN L.FARRAKHAN, CUBA dan KITA

2006-03-30 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA  dari BIJLMER
-
Kemis, 30 Maret 2006

MUSLIMIN L.FARRAKHAN, CUBA  dan KITA


Akhir pekan ini, rencanaku akan merampungkan tulisan tentang Ultah ke-30 
"The Dirty War"  di Argentina.  Peristiwa itu di seluruh Argentina di 
diperingati  secara khidmat dan besar-besaran  pada tanggal  25 Maret 
yang lalu. Kiranya pembaca tahu apa yang dimaksud dengan "The Dirty War" 
di Argentina. Saat itu, tiga puluh tahun yang lalu,  Jendral Jorge 
Videla merebut kekuasan dan mendirikan  suatu junta militer - Orba-nya- 
Argentina. Dalam periode "The Dirty War" itu menurut pemberitaan dari 
Argentina kira-kira 30.000 orang, terdiri dari para pemimpin dan 
anggota-anggota serikat buruh, organisasi mahasiswa, dan aktivis politik 
lainnya yang prodem yang menentang junta militer telah ditangkap, 
ditahan, disiksa dan . . . . . dihabisi.  Mengenai watak rezim junta 
militer Videla di Argentina itu ada kesamaan besar dengan rezim 
Orba--nya Jendral Suharto. Kedua-duanya adalah rezim diktatur militer. 
Kedua-duanya melakukan pelanggaran HAM besar-besaran. Kedua-duanya 
akhirya terguling oleh gerakan pro demokrasi. Namun, antara Argentina 
dan Indonesia sekarang ada bedanya. Dan perbedaan itu cukup besar. 
Kesitulah aku bermaksud menulis. Sebenarnya sudah hampir rampung tulisan 
itu. Tinggal sedikit lagi selesai. Kufikir akan kusiarkan akhir pekan 
ini. Tap akhirnya  kutunda dulu.

Hari ini topik lain yang kutulis. Itu berkenaan dengan Amerika, Cuba dan 
ada hubungannya juga dengan keadaan kita. Bukan Amerikanya George W. 
Bush. Tetapi Amerika-nya salah seorang tokoh Islam berkulit Hitam, lebih 
populer dikenal dengan nama Louis Farrakhan. Dimana letak menariknya 
tokoh Islam Amerika Hitam Louis Farrakhan ini?

Yang membikin menarik ialah kesan, fikiran, kesimpulan tokoh agama 
(Islam) Afro-American, mengenai suatu negeri sosialis. Kesan atau 
kesimpulannya itu sehubungan dengan kunjungannya belum lama ke Cuba. Ia 
tergolong tokoh pimpinan Islam di Amerika. Mengapa aku anggap menarik. 
Karena ini adalah kesan dan tanggapan seorang tokoh Islam mengenai apa 
yang terjadi di Cuba dewasa ini. Orang tahu bahwa Cuba, adalah sebuah 
negeri Sosialis, dipimpin oleh partai Komunis. Nah, apa tidak menarik 
topik ini? Bisa orang bilang bagaimana ini, seorang tokoh Islam simpati 
dengan negeri sosialis yang di bawah Partai Komunis. Bukankah, biasanya, 
apa saja yang komunis, atau berbau Komunis, komentar pers Barat -- 
asosiasinya biasa:  "Itu a-theis, itu "anti-agama", bahkan "Awas itu 
anti-Tuhan".  

Nah, bagaimana mungkin, -- kok ada komentar yang positif mengenai negeri 
yang dipimpin oleh orang-orang Komunis? Notabene yang mengomentari 
secara positif itu adalah seorang tokoh Islam Afro-America.

Aku anggap topik ini menarik dan patut diperhatikan, mungkin ada gunanya 
bagi pembaca, sebagai pembuka fikiran. Karena, bukankah di negeri kita 
ini   sekarang ini sebagai berikut 
keadaannya: Di sementara kalangan, terutama di kalangan yang berkuasa, 
begitu dengar kata  k o m u n i s ,  maka dalam fikirannnya dan biasanya 
juga diutarakan: Awas bahaya laten komunis! Di Indonesia orang masih 
belum lupa, pernyataan Panglima Pangdam Jaya belum lama. "Awas, bahaya 
bangkitnya kembali PKI!", ujar sang Jendral TNI itu. Tidak salah bila 
disimpulkan bahwa, reaksi seperti itu, di negeri kita,  penyebabnya yang 
utama barangkali karena propaganda Orba yang telah berlangsung lebih 
dari 30 tahun mengenai  "kebiadaban dan bahaya Komunis". Maka akibatnya, 
orang sudah tidak lagi mau capé-capé menggunakan otaknya sendiri. Ikuti 
saja kesimpulan Orba.  Patuhi saja "his master's voice". Akhirnya 
fikirannya sendiri jadi lumpuh.  Sudah tidak percaya lagi pada kemampuan 
diri sendiri untuk berfikir secara mandiri. Bagi cara berfikir seperti 
itu, kesimpulannya sudah harga mati. Komunis? Itu pasti jeleknya! Maka 
harus ditentang, harus dilawan. Dibasmi!

Namun, di sementara kalangan muda Islam di Indonesia, yang syukur 
alhamdulillah, jumlahnya tidak kecil, masih segar kemampuannya untuk 
berfikir sendiri. Antara lain  mereka ini terdapat di kalangan kaum muda 
Islam yang tergolong Islam Liberal.  Kantornya di Utan Kayu, Jakarta, 
yang nyaris kena "sweeping" oleh sementara golongan Islam lainnya. Kalau 
pembaca berkenan ingin menelusuri lebih lanjut mengenai pemikiran yang 
hidup dikalangan muda Islam lainnya, maka hal ini bisa a.l. diteliti 
dari buku berjudul "ISLAM KIRI-Jalan Menuju Revolusi Sosial". Ditulis 
oleh Eko Prasetyo, sekarang  manajer Penerbit Insist Press dan ketua 
divisi program Pusham UII.

Tulisanku ini dimaksudkan, insya Allah, untuk menggugah pembaca agar 
mempertimbangkan sebuah artikel yang ditulis oleh  penulis Cuba, Nidia 
Diaz, dari  "Granma International" ( Havana, 28 Maret 2006).
Lengkapnya tulisan Diaz dalam bahasa Inggris bisa dibaca dalam situs mereka.

Yang kiranya penting dari kesan Louis Farrakhan seusai mengunjungi Cuba 
ialah bahwa: "Amerika Serikat Haru

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - Focus -INDONESIAN MOSLEMS

2006-03-31 Thread I. Bramijn

IBRAHIM ISA'S - Focus -INDONESIAN MOSLEMS

Muslim scholars take Blair to task on foreign policy
Muslim students put Blair on the spot
Islam atop RI-UK agenda
Let's revive reliogious tolerance on all sides
-

Muslim scholars take Blair to task on foreign policy
Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta
Britain should withdraw its troops from Iraq and stop favoring Israel 
over Palestine, Muslim scholars told British Prime Minister Tony Blair 
in a lively meeting here Thursday.
Syarif Hidayatullah State Islamic University rector Azyumardi Azra said 
British foreign policy needed to make multilateral dialog a priority 
rather than military action.
"Blair said there would be a re-orientation of his foreign policies that 
regard such issues, although he did not elaborate," Azyumardi said after 
the meeting.
"On the Iraq War, for instance, he said Britain would withdraw its 
troops only after the United Nations and members of the Organization of 
the Islamic Conference manage to consolidate themselves in order to 
replace British and American troops."
Azyumardi said there would be no end to extremism and terror in Iraq as 
long as Western troops, regarded locally as the root of the problem, 
remained in the conflict-torn country.
The five Islamic leaders are known as moderates on social and political 
issues.
"He didn't respond specifically to our requests, but hopefully tonight 
he will wake up and realize our suggestions make good sense," Din 
Syamsuddin, leader of the country's second largest Muslim group 
Muhammadiyah, was quoted as saying by AP.
Blair said his administration treated Indonesia as a friend and ally in 
the fight against terrorism. Both countries had suffered from terror 
attacks, he said, and thus had a common interest in stamping out such 
activities.
Terrorism could not be defeated without greater understanding between 
people of different faiths and between Western and Muslim countries, he 
said.
"And there's no greater place to make that case than here in Indonesia."
During the meeting, both governments welcomed a memorandum of 
understanding on cooperation between Indonesian and British police.
The Muslim leaders also urged Blair's administration to support the 
peace process between Israel and Palestine following the elections in 
the two countries.
President Yudhoyono said the two countries had agreed to sponsor more 
interfaith dialog to reduce gaps between Islam and non-Muslim nations. 
They would also pursue new approaches toward the amicable resolution of 
future conflicts, including terrorism and the Middle East.
"We shouldn't simplify the problem, as if this was between the 
extremists and the moderates, or the West versus Islam. There's always a 
more radical element in any religion, which we have an obligation to 
approach wisely and fairly. The approach isn't linear but rather 
progressive," he said.
Meanwhile, the Indonesian Mujahiddin Assembly, the hard-line group 
founded by convicted terrorist Abu Bakar Ba'asyir, criticized the 
meeting with Blair as "meaningless" because it did not involve it and 
other extremist organizations.
"The dialog will be incomprehensive and meaningless, unless it includes 
parties considered radical like the Islam Defender Front and the 
Indonesian Mujahiddin Assembly," MMI spokesman Fauzan Al-Anshori told 
Antara on Thursday.
Blair's meeting resembled how Britain, the United States and Israel were 
dealing with the Israeli-Palestinian problem, he said. The three nations 
would only deal with the Palestinian Al Fatah group, despite hard-line 
party Hamas' legitimate victory in the recent elections.
--
Muslim students put Blair on the spot
Ivy Susanti, The Jakarta Post, Jakarta
British Prime Minister Tony Blair felt the heat Thursday afternoon, and 
it was not only from the sweltering weather.
Students of Darunnajah Islamic boarding school in South Jakarta grilled 
Blair on a wide range of issues, from UK-U.S. relations and the Iraq 
War, the wearing of headscarves in UK schools, the Middle East peace 
process and freedom of religion in his country.
The first British leader to visit here in 21 years emerged from his 
testing question time by saying there was the need to "build the bridge 
of understanding" between Muslim and Western worlds.
The youthful-looking 52-year-old opened his visit by offering the 
traditional Islamic greeting of Assalamualaikum (peace be with you), and 
said he felt honored to be at the school, which adheres to moderate Islam.
Six students from the group of 150 were given the chance to ask 
questions, with Reza Rizky Ramadhan the first to fire away.
"Has Your Excellency ever a

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS : INDONESIAN MORALS ON PORNO, 02.04.06,,WHY SUCH A FUSS??

2006-04-01 Thread I. Bramijn


*===*

*IBRAHIM ISA'S - FOCUS : INDONESIAN MORALS ON PORNO, 02.04.06 *

*WHY SUCH A FUSS??*

*===*

*Will the real government of RI please stand up! *

*Kissing ritual gives porn bill the kiss-off *

*Political Porn: Autonomy means repression against women *

*===*

*Will the real government of RI please stand up!*

*B. Herry-Priyono*, Jakarta

Imagine you were a newcomer to Indonesia. Like any new arrival in a new 
place, the first few weeks may be filled with excitement about newly 
found experiences. Then the reality principle sets in, and these days 
you probably would observe a brouhaha caused by fierce fights over a 
bill on pornography. Back home, such a bill may be a matter of fact, for 
it is simply common sense that the sales of pornographic materials must 
be regulated. So, why such a fuss?

This is a land of the extremes. Many aspects of public life in Indonesia 
have recently been pounded by a wave of extremism. The need for a strong 
government has been turned into authoritarianism, the expansion of a 
market economy has been taken as a license for market fundamentalism, 
and the clamor for civil society has been twisted into communal 
tribalism. The controversy over the porn bill is part of the story, not 
of authoritarianism and market fundamentalism, but of communal tribalism.

As many observers have correctly noted, the bill has nothing to do with 
the regulation of pornography. My colleague at the Driyarkara School of 
Philosophy, Franz Magnis-Suseno, has offered an acid test. If indeed the 
bill has something to do with that noble effort, it must be able to 
distinguish between "pornography", "sensuality" and "eroticism". Nay, 
the bill has failed the test, and failed miserably (/The Jakarta Post/, 
March 10, 2006). What is the bill about then?

It is here that opinions differ. Not a few accounts seem to have 
understood the issue as rooted in the problem of state authoritarianism, 
and the porn bill is simply another case of the stubbornly authoritarian 
state that refuses to die out. In the process of firming up its grip, 
the state is trying, yet again, to encroach on the private lives of 
citizens in matters of how to dress and present their bodies or parts of 
their bodies in public. In this view, the struggle is directed against 
the draconian tendency of the state, and the banners are littered with 
"state terrorism" jargons.

Of course, a struggle against the porn bill has to start from somewhere. 
And if the starting point is a resistance against state 
authoritarianism, so be it. But as the causal factors begin to show up 
more plainly, it is somewhat clear that calling the porn bill a form of 
state authoritarianism is like barking up the wrong tree.

Let us start with a simple question: who is the state? The state does 
not and cannot act! It is the people within the state institutions who 
act. To say that "the state encroaches on the private lives of the 
citizens" is simply shorthand for saying that "policy makers within the 
state institutions" do so. But who are these policy makers? Are they 
people from the executive, legislative or judiciary bodies? In all 
likelihood, there is not even a uniform voice; not within the 
legislative, the executive or judiciary branches.

In many respects, branding the porn bill state terrorism is like calling 
an empty room a terrorist. The state is an arena, quite like a boxing 
ring. As much as the boxing is conducted by the boxers, and not by the 
arena, so is the porn bill devised not by the state, but by the people 
within the state institutions. These people may assemble in one, two, 
three or many political parties, or they could assemble as an alliance 
of diverse interests. In any case, it is against this specific alliance, 
and not against the state as an impersonal institution, that the 
struggle should be waged.

No doubt the task of identifying the political alliance that 
thoughtlessly advances the porn bill is wrought with dangers. Very often 
the truth in politics can be gauged not from what appears, but from a 
hypothetical image that has plausibility in the visceral world. So, let 
us imagine that for sometime I have been running a political party in a 
country called Megalomania, whose population suffers so much from 
miseria (misery). In the process of winning the support of grassroots 
citizens, I could not but base the platform of my party on a 
compassionate ideology.

But of course, motive plays a quite outrageous part in politics. It is 
only me and my trusted lieutenants who know exactly that the time has 
arrived for the party to launch a more specific agenda, that is, to 
conquer the land of Megalomania with a rule based on what is written in 
the Holy Book that I and my lieutenants believe. Other people may call 
it theocracy or 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- BACA ASWI ADAM‭ ‬- ‭ ‬SEKITAR TERORISME NEGARA ORBA SAMPAI KE- ‭ ‬LIANG KUBUR,

2006-04-04 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER

04‭ ‬April‭ ‬2006

BACA ASWI ADAM‭ ‬-‭ ‬SEKITAR TERORISME NEGARA ORBA SAMPAI KE-‭ ‬LIANG KUBUR


Membaca resensi yang dibuat oleh cendekiawan sejarah Dr Aswi Warman 
Adam,‭ ‬ahli peneliti utama LIPI,‭ ‬membuat hatiku tergerak minta 
perhatian pembaca untuk juga ikut membaca resensi yang dibuat oleh Aswi 
Adam tentang buku studi yang ditulis oleh Ariel Heryanto.‭ ‬Tentunya 
nanti kalau pembaca berhasil memiliki atau meminjamnya lebih interesan 
lagi untuk membaca langsung buku Ariel Heryanto tsb.

Dalam suatu resensi biasa dikemukakan,‭ ‬diangkat dan ditonjolkan oleh 
penulis resensi apa yang baginya paling menarik,‭ ‬penting dan perlu 
diketahui dan difikirkan bersama oleh pembaca.‭ ‬Sering bisa kita baca 
dalam resensi itu kritik‭  ‬dan atau pujian penulis resensi atas buku 
yang dibicarakan.‭

Namun bisa juga yang dikemukakan ialah kesimpulan sang peresensi sendiri 
atas buku yang diresensinya.

Meskipun buku Ariel Heryanto,‭ ‬dosen senior pada Melbourne Institute of 
Asian Languages and Societies,‭ ‬Australia,‭ ‬berjudul‭ (‬dalam bahasa 
Inggris‭) ‬--‭  "‬State Terrorism and Political Identity in Indonesia:‭ 
‬Fatally Belonging‭ ‬--‭ ‬belum kubaca sendiri,‭ ‬namun,‭ ‬karena yakin 
pada integritas Aswi Adam‭ ‬--‭ ‬yang kebetulan‭  ‬sempat kukenal 
pribadinya ketika berdiksui di Leiden tempohari‭ ‬,‭ ‬aku berani 
kemukakan di sini bahwa kesan atau kesimpulan Aswi Adam mengenai buku 
Ariel Heryanto,‭ ‬--‭ ‬benar adanya‭!

Ini yang‭  ‬a.l.‭ ‬ditulis Aswi Adam:‭ (‬Kutip‭)

"MODEL ORDE BARU
---
‭  ‬"Terorisme negara telah berlangsung selama era Orde Baru.‭ ‬Berbagai 
kelompok masyarakat telah menjadi korban seperti preman‭ (‬kasus 
pembunuhan misterius tahun‭ ‬1980-an‭) ‬dan kelompok Islam‭ (‬kasus 
Woyla,‭ ‬Tanjung Priok dan Talangsari‭)‬.‭  
   
  "Namun terorisme yang paling lama dan paling intensif adalah teror 
terhadap mereka yang dianggap terlibat peristiwa‭ ‬1965.‭ ‬Diawali 
dengan pembantaian setengah juta‭ (‬menurut penulis buku ini sekitar‭  
‬satu juta‭) ‬dan penahanan ratusan ribu orang lainnya,‭ ‬pencabutan 
paspor warga Indonesia di luar negeri pasca‭ ‬1965,‭ ‬pembuangan ke 
pulau Buru‭ (‬1969-1979‭)‬,‭ ‬dilanjutkan dengan pemberian stigma 
terhadap korban‭ ‬1965‭ ‬dan keluarganya.‭
   
  "Tahun‭ ‬1981‭ ‬dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang 
melarang mereka dan keluarga untuk menjadi PNS,‭ ‬anggota militer dan 
polisi dan jabatan strategis lainnya di masyarakat.‭
   
  "Dendam sejarah diabadikan melalui film,‭ ‬pembuatan museum dan 
monumen dan pendidikan di sekolah.‭ ‬Pengambinghitaman PKI sebetulnya 
menjadi alat bagi elit penguasa militer dan pemerintah otoriter Orde 
Baru untuk melakukan represi terhadap politikus pembangkang,‭ ‬musuh 
potensial dan upaya untuk meletimasikan tanggungjawabnya terhadap 
pembunuhan masa lalu.‭ (‬Kutipan selesai‭)

Masih ada satu lagi kutipan resensi Aswi Adam yang kiranya perlu 
diperhatikan ialah sbb:‭ (‬Kutip‭)


  "Untuk kasus‭ ‬1965,‭ ‬terorisme negara itu tidak hanya dilakukan 
aparat tetapi juga didukung oleh kalangan Islam.‭ ‬Kelompok ini menjadi‭ 
"‬pelaku‭" ‬dalam peristiwa‭ ‬1965‭ ‬meski mereka juga menjadi‭ 
"‬korban‭" ‬dalam periode berikutnya.‭ ‬Akar konflik ini tentu bisa 
ditelusuri pada periode setelah Indonesia merdeka‭ (‬peristiwa Madiun‭ 
‬1948,‭ ‬rivalitas politik dalam pemilu‭ ‬1955,‭ ‬aksi sepihak PKI,‭ 
‬dst‭)‬.‭
   
  "Di Aceh,‭ ‬Jenderal Ishak Juarsa meminta pendapat ulama setelah 
meletus G30S.‭ ‬Ulama Aceh mengeluarkan fatwa bahwa‭ "‬aliran komunisme 
haram dan anggota partai ini kafir‭" (‬prasaran Tgk Abdullah Ujong 
Rimba,‭ ‬1965‭)‬.‭ ‬Fatwa senada juga dikeluarkan Muhammadiyah November‭ 
‬1965‭ (‬makalah Hasan Ambary,‭ ‬2001‭)‬.‭
   
  "Wacana religius semacam ini yang menyebabkan penolakan terhadap 
jenasah korban‭ ‬1965‭ ‬untuk dimakamkan kembali di Temanggung,‭ ‬Jawa 
Tengah,‭ ‬Maret‭ ‬2001.‭ ‬Jadi setelah mati pun sekian puluh tahun,‭ 
‬jasad orang komunis itu masih belum terterima di bumi Pancasila.‭  
‬Teror terus berlangsung sampai ke liang kubur.
‭(‬Kutipan selesai‭)‬.

Selanjutnya silakan pembaca menelusuri sendiri lengkapknya resensi Dr 
Aswi Adam atas buku Ariel Heryanto,‭ ‬sbb:‭ (‬Disiarkan a.l.‭ ‬oleh 
HKSIS,‭  ‬sbb:

DR ASWI WARMAN ADAM,‭
Sebuah Resensi atas buku Ariel Heryanto

STATE TERRORISM AND POLITICAL IDENTITY IN INDONESIA:‭ ‬FATALLY BELONGING
++
Ariel Heryanto,‭  ‬London:‭ ‬Routledge,‭ ‬2006,‭ ‬242‭ ‬pg.

Resensi ini dimuat pada majalah Tempo,‭ ‬edisi‭ ‬3-9‭ ‬April‭ ‬2006‭ 
‬dengan beberapa perubahan.

Buku ini dapat dijadikan model tentang keseimbangan antara teori-teori 
sosial mutakhir dengan analisis berbasis empiris untuk mengkaji sebuah 
peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia kontemporer.‭

TERORISME ORDE BARU

Bila belakangan ini pembicaraan tentang terorisme didominasi unsur warga 
sipil dan kelompok non-negara,‭ ‬Ariel Heryanto,‭ ‬dosen senior pada 
M

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON INDONESIA-AUSTRALIAN RELATION, 05.04.06

2006-04-05 Thread I. Bramijn
===
IBRAHIM ISA'S -  FOCUS ON INDONESIA-AUSTRALIAN RELATION, 05.04.06 
===

SBY WANTS REVIEUW OF AUSSIE TIES

QESTIONING AUSTRALIAN ASYLUM GRANTING POLICY

GETS FACTS RIGHT AND FOCUS ON THE REAL PROBLEM



SBY WANTS REVIEUW OF AUSSIE TIES

Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta

President Susilo Bambang Yudhoyono called Monday for a review of 
cooperation with Australia amid the festering visa row, and urged 
Canberra to reaffirm its support of the country's integrity.

Yudhoyono, acknowledging that relations were going through a difficult 
period, said there was the need to hold serious diplomatic meetings to 
review strategic and comprehensive cooperation between the two countries.

"We need to look at agreements, such as the cooperation in illegal 
migration that has taken place frequently in the past years. (We need to 
examine) the actual ethics and ramifications of the support that 
Australia asserts about Indonesia's sovereignty, including Papua," he said.

"We have to discuss it at such a level because, with all due respect to 
Australia who claims to support Indonesia, it needs to ensure (the 
support) is reflected in a more precise implementation."

"Relations between Indonesia and Australia are indeed entering a 
difficult time and are full of challenges, but it does not mean this 
cannot be overcome, as long as the two countries have good faith and 
sincerity in maintaining their friendship," he added.

Yudhoyono said March's granting of visas to 42 of 43 Papuans who arrived 
by boat in northern Australia in January diminished Indonesian sovereignty.

He believed better communication would have prevented the visa decision 
that triggered the discord.

"Had there been communication, good exchange of information and a 
willingness to look at the issue thoroughly from the two perspectives 
like I had hoped for, I believe there would have been a much better 
choice than what Australia chose," he said.

The Papuans claimed they feared prosecution from Indonesian authorities, 
but Jakarta says no member of the group was not sought by the authorities.

Yudhoyono, who said he personally considered the granting of the 
three-year visas "unrealistic and ... one-sided", added the legal 
aspects of the move must be considered because of their affect on 
bilateral relations.

Nevertheless, the President said he believed Jakarta and Canberra were 
still committed to building a good relationship and respecting each 
other's interests.

"Thus, I really hope that we will be able to sit down together and 
really make sure that both of us have the goodwill and openness in the 
friendship. It requires a completely open framework in the cooperation 
to try to solve bilateral issues."

Yudhoyono said the situation was not helped by the publication of a 
crude caricature of himself in Australia, which followed one of 
Australian Prime Minister John Howard and Foreign Minister Alexander 
Downer in a daily here last week.

He urged restraint on all sides, saying that a lesson should be learned 
from the controversy earlier this year about the publication of 
caricatures of the Prophet Muhammad in various media around the world.

"Such cartoons are agitative, destructive and only act to heighten 
emotions among the public. A war of caricatures, a war between media, a 
war of statements won't reach any solution, but only problems. Many big 
conflicts, including the world wars, started from a mere gimmick," he said.

Rakyat Merdeka early last week depicted Howard and Foreign Downer as 
copulating dingoes, with Howard saying: "Alex, I want Papua."

In apparent retaliation, the Weekend Australian printed Saturday a 
cartoon depicting Yudhoyono as a dog copulating with a stereotypically 
depicted Papuan and saying: "Don't take this the wrong way. No offense 
intended". ***

-

QESTIONING AUSTRALIAN ASYLUM GRANTING POLICY

Yasmi Adriansyah, Oxford

The granting of Temporary Protection visas by the Australian authorities 
to 42 Indonesians from Papua Province has caused diplomatic problems 
between the two countries. Indonesia has called its envoy home while 
waiting for a convincing explanation and further reaction from the 
Australian Government. Diplomatic ties between the two have plummeted, 
instead of peaking as they should have after a recent official visit by 
Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono to Australia.

Indonesia's position is clear -- Australia should not have granted any 
visas since the Papuans were not under threat or facing political abuse. 
Furthermore, Indonesia knows that Australia officially recognizes 
Indonesia's integrity and does not support the Papuan separatists. 
Hence, granting visas to

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA DARI BIJLMER -- KEBEBASAN BERAGAMA dan BERKEYAKINAN dalam "BHINNEKA TUNGGAL IKA"

2006-04-07 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA DARI BIJLMER
---
Jumat, 07 April 2006

KEBEBASAN BERAGAMA dan BERKEYAKINAN dalam "BHINNEKA TUNGGAL IKA"

Mengingat relevansi dan urgensinya masalah yang dipersoalkan terhadap 
kelanjutan eksistensi dan haridepan bangsa kita, di bawah ini diSiarkan 
kembali, dua berita yang kiranya amat penting, sbb:

Pertama: Adalah "PETISI BERSAMA ALIANSI KEBANGSAAN untuk KEBEBASAN 
BERAGAMA dan BERKEYAKINAN" dan
Pernyataan Gus Dur bahwa MENGEKANG KEBEBASAN BERAGAMA dan BERKEYAKINAN
"ITU PIDANA".

Dalam kehidupan yang nyata sehari-hari, terasa dan bisa disaksikan bahwa 
ancaman terhadap eksistensi dan haridepan bangsa ini terkait erat dengan 
pemecahan secara tepat masalah-masalah yang dihadapi, terutama masalah 
separatisme dan masalah kebebasan beragama dan berkayakinan. Itulah 
sebabnya ada baiknya dua newsitems yang disiarkan di bawah ini, 
disiarkan seluas mungkin, demi tercapainya pembaca sebanyak-banyaknya. 
Yang hendak disoroti di sini kali ini ialah masalah kebebasan beragama 
dan berkeyakinan.

Adalah benar samasekali seperti apa yang ditegaskan Abdurrahman Wahid, 
salah seorang kiayi Islam, juga populer disebut sebagai guru-bangsa, 
serta yang mempunyai pengetahuan dan pandangan mutakhir mengenai agama 
Islam dan kehidupan agama di dunia internasional,  bahwa, "jika ada 
warga negara yang bertindak melawan ketentuan UUD 1945, misalnya 
mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan umat lain, maka ia telah 
melanggar hukum. “Itu pidana!”.

Gus Dur juga menekankan bahwa "Kendati kebebasan beragama dan 
berkeyakinan seseorang telah dinyatakan dengan jelas dalam UUD 45, namun 
kebebasan seseorang itu tidak boleh mengganggu agama dan keyakinan orang 
lain.“Masalahnya pemerintah juga mengganggu kebebasan beragama ini. 
Pemerintah itu tugasnya hanya mengatur supaya jangan ada pelanggaran 
agama. Itu saja!”

Apa yang ditegaskan oleh Gus Dur, memang teramat penting, karena 
sering-sering adalah penguasa, adalah pemerintah, yang dalam tindakannya 
justru melanggar apa yang sudah ditentukan dalam UUD-RI, dalam hal ini 
yang menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Salah satu prinsip yang penting dan hakiki dan falsafah negara Republik 
Indonesia, ialah "Bhinneka Tunggal Ika". "Perbedaan dalam Kesatuan" atau 
"Unity in Diversity". Suatu prinsip g a l i h dan sekaligus pilar dari 
peri kehidupan nasion Indonesia, yang memancarkan semangat dan jiwa 
toleransi yang teramat besar.

Dalam Bhinneka Tunggal Ika tercakup prinsip Kebebasan Beragama dan 
Berkeyakinan. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Kebebasan beragama 
serta Berkeyakinan adalah tiga hal yang tak bisa dipisah-pisahkan.

Betapa bijaksananya Bung Karno ketika menggali kembali Pancasila dari 
bumi pemikiran bangsa kita, serta menjadikannya falsafah negara Republik 
Indonesia. Betapa pula bijaksana dan toleransi para pemimpin Indonesia 
yang telah membicarakan dan menyimpulkan bahwa falsafah negara bangsa 
ini adalah Pancasila. Pembaca silakan membaca dan mempelajari serta 
mempertimbangkan dua bahan yang dikutip di bawah ini, yaitu:
PETISI BERSAMA ALIANSI KEBANGSAAN untuk KEBEBASAN BERAGAMA DAN 
BERKEYAKINAN, yang disetujui dan didukung oleh pelbagai organisasi dan 
perorangan penting dalam masyrakat kita, serta penegasan Gus Dur bahwa 
Mengekang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, hukumnya adalah"PIDANA".

* * * *
(Kutipan)
Petisi Bersama
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kami percaya tanah air Indonesia merupakan kurnia Tuhan bagi semua orang 
yang menghuninya. Dan kami percaya, kemajemukan bangsa dan masyarakat 
Indonesia juga merupakan rahmat Tuhan yang layak disyukuri, dipelihara 
dan dijunjung tinggi dengan semangat kebersamaan dan kesetaraan. Di atas 
tanah air tercinta inilah, atas dasar ideologi Pancasila, Negara 
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan untuk melindungi dan 
menaungi seluruh warganegara, tanpa memandang ras, jenis kelamin, warna 
kulit, adat istiadat, maupun agama dan kepercayaan.

Akan tetapi, setelah enam dasawarsa perjalanan NKRI, kami prihatin 
menyaksikan masih suburnya praktik-praktik diskriminasi dan penafian 
atas hak-hak kebebasan berkeyakinan. Padahal hak-hak itu merupakan 
gugusan hak paling asasi yang dianugerahkan Tuhan pada segenap manusia, 
dan itu tak dapat dikurangi dalam bentuk apapun, oleh siapa pun, dan 
dalam keadaan apapun.

Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen yang menjadi pegangan 
hidup bersama seluruh warga NKRI, sudah menegaskan jaminan 
konstitusional tersebut dengan tegas: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak 
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak 
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan 
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut 
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa 
pun.” (pasal 28I, ayat 1, UUD 1945 Amandemen).

Selain UUD 1945 yang telah diamandemen yang merupakan karya jenius para 
pe

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIA-NETHERLANDS RELATION, 09 APRIL 2006.

2006-04-09 Thread I. Bramijn
==

IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIA-NETHERLANDS RELATION, 09 APRIL 2006.



*INDONESIA OFFERS VISA-ON-ARRIVAL TO DUTCH CITIZENS*

Netherlands 'respects' RI territorial integrity

Balkenende praat met moslimleiders in Indonesië (in Dutch language)

*---*

*INDONESIA OFFERS VISA-ON-ARRIVAL TO DUTCH CITIZENS*

*Rendi Akhmad Witular*, The Jakarta Post, Jakarta

Indonesia will soon ease visa procedures for Dutch citizens as part of 
efforts to strengthen bilateral ties in the economic and tourism sectors.

The decision was eventually taken after a long-standing suspicion on the 
Indonesian side that the policy could be misused by Dutch 
non-governmental organization (NGO) activists to enter the country and 
help campaign for an independent Papua and Maluku.

President Susilo Bambang Yudhoyono said Saturday that the government had 
reviewed its visa policy, which would include the granting of the visa 
on arrival (VOA) facility to several countries including the Netherlands.

"To boost cooperation between the two countries and to woo more tourists 
and businesspeople to Indonesia, there will be a (visa policy) review 
that will lead to the granting of visas on arrival," said Yudhoyono in a 
joint press conference with visiting Dutch Prime Minister Jan Peter 
Balkenende.

Balkenende, wrapping up a two-day visit to Indonesia, welcomed 
Indonesia's decision, saying that such a facility had long been sought 
by Dutch businesspeople who were interested in investing in Southeast 
Asia's largest economy.

"We have discussed an issue that is very sensitive for the 
businesspeople, that is the VOA facility. It is an important element for 
strengthening our economic ties, and I thank you for that," said 
Balkenende.

Dutch investment in Indonesia increased by 81 percent last year to 
US$472 million from $260 million in 2004. The two-way trade value 
between the two countries also increased by 20 percent to $2.6 billion 
last year.

At present, Indonesia has granted VOA facilities to 34 countries in 
order to attract around 5.5 million foreign tourists this year, as well 
as potential investors in the real sector.

The Netherlands, Sweden and Greece are among the few European countries 
that do not enjoy this facility due to various reasons. The government 
recently announced a plan to give Sweden the facility.

Sources at the Presidential Palace cited the alleged involvement of 
several Dutch NGOs in funding the operation of separatist groups in 
Maluku and Papua as the main reason behind the government's reluctance 
to provide the facility.

"The decision to grant the VOA is because our intelligence service is 
now capable of identifying foreigners entering the country to campaign 
or finance secessionist activities," said the source.

During the meeting, Prime Minister Balkenende also reaffirmed his 
country's full support for the territorial integrity of Indonesia.

"With the president, I talked about the Papua autonomy laws and the 
implementation of these laws. The Netherlands fully respects the 
territorial integrity of Indonesia, and there could be no doubt about 
the matter," he said.

Yudhoyono pledged that the government would boost development spending 
and supervision in the rebellious province.

He said the government had allocated around US$1.4 billion this year for 
programs aimed at improving Papuans' welfare.

Papua is the country's poorest province. It is home to a simmering 
separatist rebellion which have gone on unabated for 35 years.




*Netherlands 'respects' RI territorial integrity *

/World News - April 08, 2006/

*Abdul Khalik*, The Jakarta Post, Jakarta

Visiting Dutch Prime Minister Jan Peter Balkenende reiterated Friday his 
country's full support for the territorial integrity of Indonesia, 
including Papua's integration into Indonesia.

Balkenende began a two-day working visit to Indonesia, the home to the 
world's largest Muslim population, with a meeting with leaders of the 
country's two largest Muslim organizations.

"It is important to underline that we fully respect the territorial 
integrity of Indonesia," he told a press briefing after a discussion 
with Muhammadiyah chairman Din Syamsuddin and Nahdlatul Ulama (NU) 
deputy secretary-general Endang Turmudzi at Muhammadiyah's office.

Balkenende's trip, the first by a Dutch premier since 1995, comes amid 
growing interest by Western nations in Indonesia, the world's fourth 
most populous nation with vast natural resources.

"We also know that there are laws about autonomy in Indonesia about the 
area concerned, but that is a domestic issue. Of course, we have 
discussed that in the past and of course we are following the discretion 
of the autonomy and the implementation of the law for Indonesia, but 
that is the respo

[wanita-muslimah] Kolom: IBRAHIM ISA -- PENDIRIAN NASION INDONESIA Tentang 'MASALAH PAPUA'

2006-04-11 Thread I. Bramijn
*Kolom: IBRAHIM ISA *
---
Selasa, 11 April 2006

*PENDIRIAN NASION INDONESIA Tentang 'MASALAH PAPUA' *
=

Tidak kebetulan bahwa Presiden R.I. sendiri tampil di media untuk 
menyatakan pendirian pemerintah Republik Indonesia mengenai "masalah 
Papua". Perkembangan ini berkaitan dengan memuncaknya akhir-akhir ini 
"sengketa" antara Indonesia dengan Australia. Penyebabnya yang 
terpenting a.l. ialah: diberikannya "visa sementara" kepada 42 warga 
Indonesia asal Papua yang minta asilum kepada pemerintah Australia.

Kebijaksanaan pemerintah Australia tsb secara implisit dan eksplisit 
membenarkan klaim yang diajukan oleh 42 warga Indonesia asal Papua tsb 
sekitar "kasus Papua". Suatu perkembangan yang oleh sementara kalangan 
di Australia termasuk di mancanegara dimanfaatkan betul untuk 
membenarkan politik mereka yang mengarah ke "balkanisasi" Indonesia. 
Suatu politik yang sudah lama dan terus mereka praktekkan. Dengan a.l. 
memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan separatis di Indonesia, 
sperti di Aceh, Maluku dan Papua.

Pemberian "visa sementara" oleh pemerintah Australia kepada 42 warga 
Indonesia asal Papua, telah memberikan "angin baru", memperkuat dukungan 
lagi pada tuntutan untuk suatu "Papua Merdeka" yang lepas dari Republik 
Indonesia.

 Dalam pernyataannya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono 
baru-baru ini ---yang boleh juga dibilang sebagai suatu peringatan 
dialamatkan pada fihak asing --- , agar JANGAN CAMPUR TANGAN DI PAPUA! 
Ini adalah pendirian pemerintah Republik Indonesia. Sekaligus 
memanifestasikan pendirian bangsa Indonesia sebagai suatu nasion yang 
berdaulat, yang tetap bertekad untuk mempertahankan kesatuan dan 
persatuan Negara Republik Indonesia, nasion
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke

Maka di bawah ini dikutip berita sekitar pernyataan SBY, dalam bahasa 
Inggris.

Di media internet cukup banyak bisa ditemukan tulisan mengenai "kasus" 
PAPUA..
Tidak sedikit yang memberikan alasan dan argumentasi membenarkan 
berdirinya "Papua merdeka" lepas dari Republk Indonesia. Alasan yang 
dikemukakan cukup banyak. Maka dirasakan perlu ada jawaban atau tulisan 
yang memadai terhadap pelbagai alasan dan argumentasi tsb.

Masih jelas dalam ingatan kita, bahwa tidak kurang dari seorang 
sejarawan Belanda, dr. P.J. Drooglever, yang bekerja atas tugas yang 
diberikan oleh Kementerian Luarnegeri Belanda kepada Instituut voor 
Nederlandse Geschiedenis (INS). Hasil studinya itu diterbitkan oleh 
Lembaga Sejarah Belanda , INS (15 November 2005). Dalam buku yang 
dijuluki sebagai buku tentang hak-menentukan nasib sendiri Papua, dr 
Drooglever menyimpulkan bahwa terdapat ketidak- beresan dalam referendum 
kembalinya Irian Barat ke Republik Indonesia. Bukankah ini sama saja 
dengan menyatakan bahwa masuknya kembali Nieuw Guinea  , Irian Barat seperti yang 
sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, kita namakan 
wilayah Republik Indonesia itu, kedalam Republik Indoneisa, --- sebagai 
suatu tindakan yang ''tidak sah''. Kasarnya suatu manipulasi dari 
jurusan Republk Indonesia, suatu pembohongan atau suatu rekayasa.

Meskipun bukan suatu karya ilmiah yang merupakan hasil studi yang 
mendalam tentang "kasus Papua", namun tulisan M. Wahid Supriyadi, Konsul 
Jendral Indonesia di Australia mengenai Papua, dimuat di s.k. The Age, 
cukup jelas dan beralasan. Tulisan M. Wahid, mengemukakan alasan dan 
argumentasi mengapa dinyatakan bahwa Irian Barat, Papua, adalah bagian 
yang tak terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia. Itulah sebabnya 
tulisan M.W. Suriyadi itu baik untuk dibaca dan dipelajari. Di bawah ini 
dikutip tulisan Wahid , menurut teks aslinya dalam bahasa Inggris.

Sehubungan dengan kesewenang-wenangan aparat  di 
Papua serta pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua di waktu lalu dan 
masih berlaku, hal ini tidak berdiri sendiri. Pelanggaran HAM terbesar 
oleh fihak penguasa, oleh aparat terhadap warganegara sendiri, sudah 
sejak berdirinya Orba  sampai 
jatuhnya Presiden Suharto dan tegaknya perintahan Indonesia sebagi hasil 
pemilu, - masih belum ditangani dan diurus dengan baik oleh fihak 
eksekutif, legeslatif dan judikatif. Pengurusan pelangaran HAM adalah 
kewajiban pemerintah dan lembaga judisial Indonesia. Selama hal ini 
belum dilakukan oleh pemerintah dan lembaga judisial Indonesia, maka 
situasi "impunity" di Indonesia, masih berlangsung terus. Maka belum 
bisa dikatakan bahwa Republik Indonesia, benar-benar adalah suatu 
rechtsstaat, suatu negara hukum.

Namun hal itu  yaitu pelanggaran HAM yang masih belum ditangani dan 
diurus secara baik dan tuntas, adalah terlepas dari kasus status Papua 
sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia. Sebagimana halnya dengan 
Aceh dan Maluku, pelanggaran HAM yang masih belum diurus dimanapun itu 
terjadi di wilayah Indonesia, samasekali tidak dibenarkan tindakan dan 
kegiata

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- BAHASA PERSATUAN Yang MEMPERSATUKAN,,

2006-04-13 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER

-

Kemis, 13 April 2006.


BAHASA PERSATUAN Yang MEMPERSATUKAN



Tulisan ini kubuat karena tergugah oleh tulisan sahabatku Goenawan Mohammad, 
budayawan Indonesia yang kuhormati. Ia menulis sehubungan dengan masalah BAHASA 
INDONESIA.

GOENAWAN MOHAMAD +++  Bila orang membaca nama Goenawan Mohamad, segera teringat 
pada  Komunitas Utan Kayu, di Jakarta dan pada Mingguan TEMPO yang oleh rezim 
Orba pernah diberangus, populernya "dibreidel". Pasalnya, karena ketika itu, 
TEMPO berani punya fikiran berbeda dengan penguasa dan (ini penting) berani 
pula menyatakannya secara terbuka. 

Teringat juga, bahwa Orba yang diangkat sebagai rezim yang lebih demokratis 
terbanding pemerintah Presiden Sukarno, begitu ditabuhi dan digendangi oleh 
banyak elite dan cendekiawan Indonesia ketika tampil di cakrawala kekuasaan 
Indonesia -- sahut bersahutan dengan pers Barat -- sebagai suatu rezim yang 
"terbuka" serta  yang memulai suatu "kultur baru", yang menampilkan "kebebasan 
pers"  -- Rezim yang pada awalnya digendangi sebagai suatu pemerintahan yang 
berbeda dengan pemerintahan Sukarno, yang "otoriter". Seolah-olah "lupa 
ingatan" mereka itu, bahwa rezim Orba yang itu-itu juga, yang justru pada hari 
kelahirannya, memulai kariernya dengan memberangus semua, sekali lagi s e m u a 
, pers Kiri dan moderat yang mendukung Presiden Sukarno. Menjadikan informasi 
monopoli tunggalnya sendiri.

Pram pernah mengingatkan, bahwa t e n t a r a   yang mengobrak-abrik rumahnya 
membeslah dan mendukinya sampai sekarang, yang memporak-porandakan semua 
dokumentasi dan naskahnya, dan mengasingkannya ke pulau Buru, ---  adalah 
tentara yang persis sama dengan tentara yang pernah memenjarakannya pada zaman 
pemerintahan tahun 1950-an. Nah, tentara yang memberangus mingguan TEMPO, yang 
dipimpin Goenawan Mohamad itu, adalah tentara yang sama pula dengan tentara 
yang digendangi sebagai rezim yang lebih memberikan "kebebasan pers" terbanding 
pemerintahan Presiden Sukarno.

Tulisan ini dimaksudkan untuk bicara soal bahasa Indonesia. Maka kembali ke 
masalah bahasa Indonesia. Aku pernah menulis bahwa ketika aku membaca salah 
satu buku (semacam ensiklopedi bahasa di dunia) untuk menemukan sesuatu tentang 
bahasa Indonesia. Ternyata bahasa Indonesia oleh ensi itu tidak dikatagorikan 
sebagai bahasa dunia.
Alasannya, karena penggunaannya di dalam masyarakat Indonesia, dianggap (dalam 
jumlah totalnya)tidak seberapa. Karena, keluarga Indonesia , umumnya 
menggunakan bahasa daerah di rumahnya masing-masing. Dengan pertimbangan itu 
yang dimasukkan sebagai bahasa dunia (dari Indonesia)  adalah bahasa Jawa. 
Sungguh mati, ini bikin aku betul-betul tercengang. Tetapi pertimbangan yang 
dikemukakan oleh penyusun buku ensi itu, harus diakui cukup beralasan. Meskipun 
kuingat, selama aku mengajar di sekolah-sekolah dasar, menengah dan sekolah 
menengah atas,  -- tujuh tahun lamanya --- yang kugunakan adalah BAHASA 
INDONESIA. Jadi, kupikir, bahasa Indonesia, -=-- itulah bahasa bangsa 
Indonesia. Maka seharusnya masuk dalam ensiklopedia bahasa-bahasa dunia. Tetapi 
tidak. Bahasa Indonesia tidak dianggap bahasa dunia. Itulah pendapat mereka. 
Biar saja!
Yang dianggap bahasa dunia adalah BAHASA JAWA. Karena jumlah yang menggunakan 
bahasa Jawa di Indonesia adalah jumlah MAYORITAS bangsa Indonesia.

Disinilah ceriteranya yang interesan, kenyataaan yang mengagumkan.
Mengapa bangsa Indonesia yang mayoritasnya adalah bangsa Jawa, BISA MENERIMA, 
bahwa bahasa penghubung untuk bangsa kita, adalah BAHASA INDONESIA. Bisa kita 
bolik-balik literatur mengenai lahir dan perkembangan bahasa Indonesia, 
seingatku tak pernah kita, bangsa Indonesia, mempersoalkan bahwa sebaiknya 
bahasa untuk bangsa Indonesia, adalah bahasa yang digunakan oleh mayoritas 
bangsa ini.

Di sini ada pengaruh kuat dari SUMPAH PEMUDA, 28 Oktober, 1928, yang pernah ada 
yang bilang itu hanya pengaruh simbolik saja. Sumpah Pemuda antara lain 
memakukan dalam sejarah bahwa  bahasa Indonesia menjadi bahasa perjuangan, 
perjuangan anti-kolonial, perjuangan untuk kemerdekaan, keadilan dan kemakmuran.

Memang begitulah nyatanya, bangsa kita ini sejak lahirnya, jelas adalah bangsa 
yang berjuang. Untuk menang dalam perjuangan itu, sadar harus punya kekuatan 
besar. Dan untuk memiliki kekuatan yang besar, sadar pula,  harus bisa bersatu 
dan mempersatukan. Bersatu dalam aspirasi, bersatu dalam bahasa, dan bersatu 
dalam kehiduopan realitas.

Dari kenyataan  bahwa sebagai suatu nasion muda, kita bersatu mengenai 
bahasa persatuan yang harus digunakan, --- yang ingin kuangkat di sini, ialah 
semangat TOLERANSI BESAR yang menjadi kepribadian bangsa muda ini. Halmana 
dibuktikannya dalam memilih bahasa persatuan. Juga memanifestasikan bahwa 
bangsa ini punya sifat unggul, yaitu watak REALIS yang kuat sekali. 

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mempersatukn. Inilah kekuatannya 
yang teramat besar.

Itulah yang hendak kutambahk

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- BAHASA PERSATUAN Yang MEMPERSATUKAN,,

2006-04-13 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER

-

Kemis, 13 April 2006.


BAHASA PERSATUAN Yang MEMPERSATUKAN



Tulisan ini kubuat karena tergugah oleh tulisan sahabatku Goenawan 
Mohammad, budayawan Indonesia yang kuhormati. Ia menulis sehubungan 
dengan masalah BAHASA INDONESIA.

GOENAWAN MOHAMAD +++  Bila orang membaca nama Goenawan Mohamad, segera 
teringat pada  Komunitas Utan Kayu, di Jakarta dan pada Mingguan TEMPO 
yang oleh rezim Orba pernah diberangus, populernya "dibreidel". 
Pasalnya, karena ketika itu, TEMPO berani punya fikiran berbeda dengan 
penguasa dan (ini penting) berani pula menyatakannya secara terbuka.

Teringat juga, bahwa Orba yang diangkat sebagai rezim yang lebih 
demokratis terbanding pemerintah Presiden Sukarno, begitu ditabuhi dan 
digendangi oleh banyak elite dan cendekiawan Indonesia ketika tampil di 
cakrawala kekuasaan Indonesia -- sahut bersahutan dengan pers Barat -- 
sebagai suatu rezim yang "terbuka" serta  yang memulai suatu "kultur 
baru", yang menampilkan "kebebasan pers"  -- Rezim yang pada awalnya 
digendangi sebagai suatu pemerintahan yang berbeda dengan pemerintahan 
Sukarno, yang "otoriter". Seolah-olah "lupa ingatan" mereka itu, bahwa 
rezim Orba yang itu-itu juga, yang justru pada hari kelahirannya, 
memulai kariernya dengan memberangus semua, sekali lagi s e m u a , pers 
Kiri dan moderat yang mendukung Presiden Sukarno. Menjadikan informasi 
monopoli tunggalnya sendiri.

Pram pernah mengingatkan, bahwa t e n t a r a   yang mengobrak-abrik 
rumahnya membeslah dan mendukinya sampai sekarang, yang 
memporak-porandakan semua dokumentasi dan naskahnya, dan mengasingkannya 
ke pulau Buru, ---  adalah tentara yang persis sama dengan tentara yang 
pernah memenjarakannya pada zaman pemerintahan tahun 1950-an. Nah, 
tentara yang memberangus mingguan TEMPO, yang dipimpin Goenawan Mohamad 
itu, adalah tentara yang sama pula dengan tentara yang digendangi 
sebagai rezim yang lebih memberikan "kebebasan pers" terbanding 
pemerintahan Presiden Sukarno.

Tulisan ini dimaksudkan untuk bicara soal bahasa Indonesia. Maka kembali 
ke masalah bahasa Indonesia. Aku pernah menulis bahwa ketika aku membaca 
salah satu buku (semacam ensiklopedi bahasa di dunia) untuk menemukan 
sesuatu tentang bahasa Indonesia. Ternyata bahasa Indonesia oleh ensi 
itu tidak dikatagorikan sebagai bahasa dunia.
Alasannya, karena penggunaannya di dalam masyarakat Indonesia, dianggap 
(dalam jumlah totalnya)tidak seberapa. Karena, keluarga Indonesia , 
umumnya menggunakan bahasa daerah di rumahnya masing-masing. Dengan 
pertimbangan itu yang dimasukkan sebagai bahasa dunia (dari Indonesia) 
adalah bahasa Jawa. Sungguh mati, ini bikin aku betul-betul tercengang. 
Tetapi pertimbangan yang dikemukakan oleh penyusun buku ensi itu, harus 
diakui cukup beralasan. Meskipun kuingat, selama aku mengajar di 
sekolah-sekolah dasar, menengah dan sekolah menengah atas,  -- tujuh 
tahun lamanya --- yang kugunakan adalah BAHASA INDONESIA. Jadi, kupikir, 
bahasa Indonesia, -=-- itulah bahasa bangsa Indonesia. Maka seharusnya 
masuk dalam ensiklopedia bahasa-bahasa dunia. Tetapi tidak. Bahasa 
Indonesia tidak dianggap bahasa dunia. Itulah pendapat mereka. Biar saja!
Yang dianggap bahasa dunia adalah BAHASA JAWA. Karena jumlah yang 
menggunakan bahasa Jawa di Indonesia adalah jumlah MAYORITAS bangsa 
Indonesia.

Disinilah ceriteranya yang interesan, kenyataaan yang mengagumkan.
Mengapa bangsa Indonesia yang mayoritasnya adalah bangsa Jawa, BISA 
MENERIMA, bahwa bahasa penghubung untuk bangsa kita, adalah BAHASA 
INDONESIA. Bisa kita bolik-balik literatur mengenai lahir dan 
perkembangan bahasa Indonesia, seingatku tak pernah kita, bangsa 
Indonesia, mempersoalkan bahwa sebaiknya bahasa untuk bangsa Indonesia, 
adalah bahasa yang digunakan oleh mayoritas bangsa ini.

Di sini ada pengaruh kuat dari SUMPAH PEMUDA, 28 Oktober, 1928, yang 
pernah ada yang bilang itu hanya pengaruh simbolik saja. Sumpah Pemuda 
antara lain memakukan dalam sejarah bahwa  bahasa Indonesia menjadi 
bahasa perjuangan, perjuangan anti-kolonial, perjuangan untuk 
kemerdekaan, keadilan dan kemakmuran.

Memang begitulah nyatanya, bangsa kita ini sejak lahirnya, jelas adalah 
bangsa yang berjuang. Untuk menang dalam perjuangan itu, sadar harus 
punya kekuatan besar. Dan untuk memiliki kekuatan yang besar, sadar 
pula,  harus bisa bersatu dan mempersatukan. Bersatu dalam aspirasi, 
bersatu dalam bahasa, dan bersatu dalam kehiduopan realitas.

Dari kenyataan  bahwa sebagai suatu nasion muda, kita bersatu 
mengenai bahasa persatuan yang harus digunakan, --- yang ingin kuangkat 
di sini, ialah semangat TOLERANSI BESAR yang menjadi kepribadian bangsa 
muda ini. Halmana dibuktikannya dalam memilih bahasa persatuan. Juga 
memanifestasikan bahwa bangsa ini punya sifat unggul, yaitu watak REALIS 
yang kuat sekali.

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mempersatukn. Inilah 
kekuatannya yang teramat besar.

Itulah yang hendak kutamba

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- IN MEMORIAM -- T.M. SIREGAR

2006-04-14 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA*
*---*
*JUMAT, 14 APRIL 2006*

*IN MEMORIAM -- T.M. SIREGAR*
Trijanus Mulya SIREGAR, yang di kalangan banyak sahabatnya dikenal sebagai PAK 
LÉ, telah tutup usia dalam usia mendekat 84 th. Ia lahir di Papande Muara, 
Danau Toba, Sumatra Utara, pada tanggal 15 Agustus 1922. Meninggal kemarin, 
hari Kemis, 13 April 2006, di RS Cikini, Jakarta. Ia meninggalkan seorang istri 
yang dikenal dengan nama Zus Riani, putri Batak yang medok bahasa Jawanya.

T.M. Siregar dikenal banyak kawan sebagai orang yang antusias, hangat terhadap 
kawan dan luar biasa bersemangat. Lagipula giat dan rajin belajar, tidak peduli 
umurnya sudah  demikian lanjut dan kesehatannya tidak begitu baik. Bukti bahwa 
Pak Lé kita ini, sungguh-sungguh dan serius belajar selama masih bisa belajar, 
ialah prestasi yang dicapainya dengan meraih gelar PhD  pada 
Universitas Wageningen (2000), Nederland. Desertasi yang dibuatnya ialah 
mengenai hasil studi terhadap perubahan sosialis di pedesaan Tiongkok. 

Buku hasil studinya itu berjudul: 
CHINA' ECONOMIC REFORM -- From Rural Focus to International Market.

Masih teringat betapa T.M.Siregar dengan teliti, rapi dan serius 
mengumpulkan bahan studinya ketika masih berdiam di Tiongkok. Di 
Tiongkoklah T.M. Siregar mengambil kesimpulan mengadakan studi terhadap 
Tiongkok Sosialis, terutama mengenai perubahan ekonomi sosialis di 
Tiongkok sesudah Revolusi Kebudayaan Proletar. T.M. Siregar berkeyakinan 
perubahan yang terjadi di pedesaan Tiongkok adalah suatu pelaksanaan 
dari strategi pembangunan dan pengembangan ekonomi pedesaan. Menuju 
kepada suatu Tiongkok sosialis yang kuat di bidang perindustrian, 
pertanian dan pertahanan.

Dalam suatu kesempatan kami berbincang-bincang setelah ia memperoleh gelar 
Ph.D-nya, T.M Siregar mengemukakan keyakinannya bahwa adalah perlu bagi bangsa 
kita untuk mengikuti perubahan  Tiongkok mengadakan perubahan besar dalam 
pengelolaan ekonomi nasional. Khususnya sesudah Tiongkok menempuh politik 
perubahan dan keterbukaan, menuruti konsep pembangunan ekonomi Sosialis 
Tiongkok. T.M. Siregar mengatakan perlunya akhli-akhli pertanian Indonesia 
menarik pelajaran dari pengalaman dari praktek perubahan ekonomi di pedesaan 
Tiongkok. Agar bisa menarik manfaatnya demi kepentingan pembangunan ekonomi 
pertanian negeri kita atas dasar prinsip-prinsip ekonomi yang telah ditetapkan 
oleh UUD Republik Indonesia. 

Setahu saya T.M. Siregar adalah satu-satunya orang Indonesia yang lama bermukim 
di Tiongkok dan menggunakan kesempatan dan waktunya untuk secara khusus 
menstudi Tiongkok. Kongkritnya perubahan di bidang pertanian di Tiongkok. Ia 
melakukannya tidak semata-mata dari pandangan ilmiah, tetapi lebih penting lagi 
kiranya, dari pandangan bahwa jalan sosialis yang ditempuh Tiongkok bisa 
dijadikan bahan pertimbangan penting bagi Indonesia yang ekonomi pedesaannya 
masih menghadapi pelbagai kendala dan kesulitan yang masih belum teratasi.

T.M. Siregar menulis bukunya tentang Tiongkok,  adalah sebagai pernyataan rasa 
persahabatannya dengan rakyat Tiongkok, yang telah memungkinkan ia bersama 
istri bermukim cukup lama di Tiongkok, ketika paspornya dicabut oleh Orba, atas 
tuduhan dan fitnahan yang tak beralasan samasekali. T.M. Siregar berangkat ke 
luar negeri pada waktu pemerintahan Presiden Sukarno (1964)untuk menempuh studi 
ekonomi di Berlin. Meskipun melalui pelbagai kesulitan akhirnya T.M Siregar 
tokh berhasil menunaikan tugas yang diberikan pemerintah kepadanya untuk 
menempuh studi di luarnegeri (Nederland).

Keterlibatan dan kepeduliannya terhadap Indonesia juga tampak dari kegiatannya 
di masyarakat ketika tinggal di negeri Belanda. Bersama-sama kami sejumlah 
teman: T.M. Siregar, A.S. Munandar, F.F Fanggidaej, S. Kartasasmita dan saya, 
kami mendirikan Stichting Azie Studies, Onderzoek en Informatie, dengan tujuan 
a.l. yang terpenting memperkenalkan selain Asia khusus Indonesia, di pelbagai 
bidang kepada dunia luar, khususnya Belanda, demi mempromosi hubungan baik 
kedua negeri dan rakyat. Inisiatif pembentukan Azie Studies itu datang dari 
T.M.Siregar.

T.M. Siregar telah tiada, tetapi mengenai dirinya, usaha dan kegiatan dan 
cita-citanya akan selalu menjadi kenangan berharga untuk kita semua. Ia pantas 
dijadikan contoh dalam banyak hal menyangkut kepedulian terhadap tanah air dan 
bangsa dan perkembangan ilmu di Indonesia. Dengan buku yang ditulisnya mengenai 
Tiongkok, T.M. Siregar telah menanamkan sebatang lagi pohon persahabatan 
penting antara Indonesia dengan Tiongkok.

Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan Y.M.E.

Simpati sebesar-besarnya tercurah pada istri yang ditinggalkan, Zus Riani 
tercinta. 

Prestasi yang dicapai dalam perjalanan hidupnya, tak terpisahkan dari rasa 
cinta kasih sayang dan perhatian luar biasa yang diberikan istrinya, Zus Riani, 
kepada dirinya, T.M. Siregar. ***















 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and po

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- < 2 >,"INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden",

2006-04-18 Thread I. Bramijn
Kolom IBRAHIM ISA
-
Selasa, 18 April 2006.

< 2 >
"INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden"
  

Persis sebulan yang lalu  (17 Maret 2006) dalam kolom ini ditulis 
tentang  "INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden" , yang "nyeberang"  ke fihak Republik 
Indonesia, berjuang bersama kekuatan bersenjata Republik Indonesia, 
melawan tentara Belanda. Sesudah Indonesia merdeka, Poncke Princen 
sepenuhnya berjuang untuk demokrasi dan HAM di Indonesia.

Dalam fikiran kita jelas bahwa orang-orang Belanda tsb adalah sebagian 
dari bangsa Belanda, yang maju fikirannya, yang progresif, yang 
revolusioner. Ada yang demokrat, ada yang Kristen; ada yang sosialis dan 
tidak sedikit yang komunis. Itu tadi adalah menifestasi kongkrit 
"hubungan cinta" antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia.

Di segi  lain, sejarah Belanda juga tidak bisa melupakan warganegara 
Indonesia, kebanyakan anggota PI  Holland, yang 
bergabung dengan kekuatan perlawanan (verzet strijders) Belanda terhadap 
pendudukan Nazi Jerman. Ternasuk patriot-patriot Indonesa yang telah 
mencucurkan darahnya demi kebebasan negeri Belanda dari pendudukan 
Jerman dalam Perang Dunia II.

KEMAJUAN -- Dalam Hubungan INDONESIA-BELANDA PERLU DISAMBUT ---  dan 
DIKEMBANGKAN.
Pameran yang berlangsung di  De Nieuwe Kerk Amsterdam tsb adalah 
serentetan peristiwa dan kegiatan dalam hubungan Indonesia Belanda, yang 
menunjukkan perkembangan hubungan antara kedua negeri dan rakyat yang 
membaik. Bisa dicatat bahwa kunjungan Wakil PM dan Menlu Belanda Bot 
yang resmi mewakili Pemerintah Belanda ikut merayakan Hari Kemerdekaan 
Indonesia 17 Agustus tahun yang lalu, merupakan tonggak baru dalam 
sejarah hubungan dua negeri, Indonesia-Belanda.

Karena  pada saat kunjungan ke Indonesia itu, secara resmi dan hakiki  
pemerintah Belanda mengakui bahwa Hari Kemerdekaan Indonesia, adalah 
pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian pemerintah Belanda 
"mengkoreksi"  pendirian semula yang selama puluhan tahun 
dipertahankannya, yaitu bahwa Indonesia "baru merdeka" setelah Kerajaan 
Belanda "menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada pemerintah negara 
Republik Indonesia Serikat" dalam bulan Desember 1949, sesuai 
persetujuan  Konferensi Meja Bundar.

Jangan ragu untuk mengatakan bahwa sikap baru pemerintah Belanda tsb 
adalah suatu kemajuan dalam hubungan Indonesia-Belanda.

Ketika baru-baru ini, PM Peter Balkenende berkunjung ke Jakarta, ia 
membuat langkah positif, dengan menyatakan secara jelas, bahwa Kerajaan 
Belanda mengakui dan menghormati kedaulatan  Repbulik Indonesia. Ini ada 
hubungannya dengan masalah separatisme di Papua, yang dengan sokongan 
dan dukungan luar, menuntut pemisahan diri dari Republik Indonesia, dan 
melakukan kegiatan separatis.

Langkah sambutan dari Presiden Yudhoyono ialah menyatakan bahwa dalam 
waktu dekat, warganegara Belanda tidak lagi diharuskan meminta visa dulu 
di KBRI  untuk masuk ke Indonesia, dan bisa mengambil VOA, visa on 
arrival, di lapangan terbang internasional Indonesia.

Selanjutnya  kedua negeri bersepakat untuk mengembangkan dan meluaskan 
hubungan ejibinu  dan kebudayaan.

Dalam tulisan berikut, akan dikemukakan bahwa di bidang penulisan 
sejarah Indonesia, yang dilakukan oleh fihak Belanda, bisa dicatat 
kemajuan-kemajuan yang positif.

Ini bisa  dilihat antara lain dari buku GESCHIEDENIS VAN INDONESIË, yang 
disterbitkan dalam rangka Pameran Benda-benda Sejarah Indonesia, di De 
Nieuwe Kerk, Amsterdam, yang berakhir hari ini.  (Bersambung)  ***













 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- < 2 >,"INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden",

2006-04-18 Thread I. Bramijn
Kolom IBRAHIM ISA
-
Selasa, 18 April 2006.

< 2 >
"INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden"


Persis sebulan yang lalu  (17 Maret 2006) dalam kolom ini ditulis
tentang  "INDONESIA: De Ontdekking van Het Verleden" , yang "nyeberang"  ke fihak Republik
Indonesia, berjuang bersama kekuatan bersenjata Republik Indonesia,
melawan tentara Belanda. Sesudah Indonesia merdeka, Poncke Princen
sepenuhnya berjuang untuk demokrasi dan HAM di Indonesia.

Dalam fikiran kita jelas bahwa orang-orang Belanda tsb adalah sebagian
dari bangsa Belanda, yang maju fikirannya, yang progresif, yang
revolusioner. Ada yang demokrat, ada yang Kristen; ada yang sosialis dan
tidak sedikit yang komunis. Itu tadi adalah menifestasi kongkrit
"hubungan cinta" antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia.

Di segi  lain, sejarah Belanda juga tidak bisa melupakan warganegara
Indonesia, kebanyakan anggota PI  Holland, yang
bergabung dengan kekuatan perlawanan (verzet strijders) Belanda terhadap
pendudukan Nazi Jerman. Ternasuk patriot-patriot Indonesa yang telah
mencucurkan darahnya demi kebebasan negeri Belanda dari pendudukan
Jerman dalam Perang Dunia II.

KEMAJUAN -- Dalam Hubungan INDONESIA-BELANDA PERLU DISAMBUT ---  dan
DIKEMBANGKAN.
Pameran yang berlangsung di  De Nieuwe Kerk Amsterdam tsb adalah
serentetan peristiwa dan kegiatan dalam hubungan Indonesia Belanda, yang
menunjukkan perkembangan hubungan antara kedua negeri dan rakyat yang
membaik. Bisa dicatat bahwa kunjungan Wakil PM dan Menlu Belanda Bot
yang resmi mewakili Pemerintah Belanda ikut merayakan Hari Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus tahun yang lalu, merupakan tonggak baru dalam
sejarah hubungan dua negeri, Indonesia-Belanda.

Karena  pada saat kunjungan ke Indonesia itu, secara resmi dan hakiki
pemerintah Belanda mengakui bahwa Hari Kemerdekaan Indonesia, adalah
pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian pemerintah Belanda
"mengkoreksi"  pendirian semula yang selama puluhan tahun
dipertahankannya, yaitu bahwa Indonesia "baru merdeka" setelah Kerajaan
Belanda "menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada pemerintah negara
Republik Indonesia Serikat" dalam bulan Desember 1949, sesuai
persetujuan  Konferensi Meja Bundar.

Jangan ragu untuk mengatakan bahwa sikap baru pemerintah Belanda tsb
adalah suatu kemajuan dalam hubungan Indonesia-Belanda.

Ketika baru-baru ini, PM Peter Balkenende berkunjung ke Jakarta, ia
membuat langkah positif, dengan menyatakan secara jelas, bahwa Kerajaan
Belanda mengakui dan menghormati kedaulatan  Repbulik Indonesia. Ini ada
hubungannya dengan masalah separatisme di Papua, yang dengan sokongan
dan dukungan luar, menuntut pemisahan diri dari Republik Indonesia, dan
melakukan kegiatan separatis.

Langkah sambutan dari Presiden Yudhoyono ialah menyatakan bahwa dalam
waktu dekat, warganegara Belanda tidak lagi diharuskan meminta visa dulu
di KBRI  untuk masuk ke Indonesia, dan bisa mengambil VOA, visa on
arrival, di lapangan terbang internasional Indonesia.

Selanjutnya  kedua negeri bersepakat untuk mengembangkan dan meluaskan
hubungan ejibinu  dan kebudayaan.

Dalam tulisan berikut, akan dikemukakan bahwa di bidang penulisan
sejarah Indonesia, yang dilakukan oleh fihak Belanda, bisa dicatat
kemajuan-kemajuan yang positif.

Ini bisa  dilihat antara lain dari buku GESCHIEDENIS VAN INDONESIË, yang
disterbitkan dalam rangka Pameran Benda-benda Sejarah Indonesia, di De
Nieuwe Kerk, Amsterdam, yang berakhir hari ini.  (Bersambung)  ***














Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment  
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S ---- FOCUS ON : THE TNI AS MERCHANTS OF DEATH

2006-04-20 Thread I. Bramijn




IBRAHIM ISA'S    FOCUS ON :   THE TNI  AS MERCHANTS OF DEATH
-- 
-
***  War business , The Jakarta Post Editorial. 20 April 2006.
***  Govt denies RI gunrunner's claims
***  Weapons purchaser claims order was for TNI
---
War business , The Jakarta Post Editorial. 20 April 2006.
The ongoing legal process of two Indonesian nationals in Hawaii accused 
of illegal arms purchase is not only a slap in the face for the nation, 
but also an indication of a long-standing illicit arms business 
involving individuals and groups at home.
The fact that Hadiyanto Joko Djuliarso and Ignatius Ferdinand Suharli 
are certified Indonesian Military (TNI) arms brokers and were on a 
mission to procure defense equipment when the United States federal 
authorities arrested them on April 9 has quickly dragged the Indonesian 
government into the case.
A statement by Hadiyanto's lawyer Alvin Nishimura in the opening session 
of his client's hearing Monday that all of the weapons -- with a total 
value of about US$1 million -- were "for Indonesian interests" looks to 
support the suspicion, although Defense Minister Juwono Sudarsono denies 
it.
The U.S. authorities also questioned two Indonesian Air Force officers 
who had accompanied the brokers to Hawaii, but found no evidence that 
they had any role in the transaction which Juwono said was outside the 
government's knowledge.
What transpires in the scandal is that arms procurement remains prone to 
fraudulent practices due to what has been the secret nature of the 
business. Open tenders are absent, restricting the business mainly to 
cronies of the ruling regime and of course military circles.
Still fresh in our mind is the media fanfare in December 2004 over 
alleged bribes paid by British tank manufacturer Alvis Vehicle Ltd. 
amounting to US$31 million in the mid-1990s to president Soeharto's 
eldest daughter Siti Hardijanti Rukmana to secure the purchase of 100 
armored cars, including tanks, to Indonesia.
Investigation into the case reached a dead end after both the Defense 
Ministry and the Corruption Eradication Commission (KPK) said they found 
no evidence of irregularities in the deal, although Indonesia had to pay 
two and a half times the amount that Singapore paid for each of the tanks.
KPK is now shifting its focus to an alleged case of fraud in the 
purchase of two Russian-made Mi-17 helicopters by the Army, which may 
implicate the force's former chief Gen. Ryamizard Ryacudu, whose 
nomination as TNI chief was overruled by President Susilo Bambang 
Yudhoyono.
Arms business as a source of military income could be detected from the 
Indonesian Corruption Watch (ICW) data, which revealed that most of the 
military's shopping sprees in the period when the U.S. slapped an arms 
embargo on Indonesia due to its poor human rights record in East Timor 
were littered with highly irregular transactions. This has continued 
despite the reform movement, according to the report.
Such a concern surfaced prior to the visit of U.S. State Secretary 
Condoleezza Rice to Indonesia last month. Human rights groups demanded 
that Washington delay any assistance to the TNI as it had yet to deliver 
on its reform pledges, which included its exit from businesses and an 
end to corrupt practices like inflating the price of weapons' purchases.
Juwono has admitted that the military is badly in need of extra income 
due to limited defense budget, which covers only one-third of the actual 
military spending. As the practice has lasted for decades, however, he 
said efforts to minimize it was the most realistic objective.
The minister has introduced a government-to-government arrangement that 
will cut the role of brokers down to size as the only sanctioned arms 
procurement scheme, but it apparently needs time to come into effect fully.
However, we fear the new policy, if enacted, will not stop the 
unscrupulous business, which has definitely wasted public money, unless 
a thorough investigation is conducted and justice is upheld against 
whoever has been involved. The probe into who ordered Sidewinder 
missiles, handguns and sniper rifles through Hadiyanto and Suharli could 
mark a starting point in law enforcement.
The fact that Sidewinder is the most widely used air-to-air missile in 
the West and Indonesia alike, should lead investigators to the orderer.
It may be a coincidence that the two brokers work for the Air Force, 
which is now taking its turn in holding the TNI chief post. The 
Indonesian government will be perceived as feigning ignorance of the 
illegal arms purchase, which perhaps is only the tip of the iceberg, if 
it waits for the American court to unveil the truth or adop

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Memperingati Ultah Ke- 127 Pejuang Perempuan Indonesia -- R.A. KARTINI - - < 21April 1879 - 21 April 2006>

2006-04-20 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA

20 April 2006

Memperingati  Ultah Ke- 127  Pejuang  Perempuan Indonesia  --  R.A. 
KARTINI  - -  < 21April 1879 - 21 April 2006>

Lebih satu-seperempat abad yang lalu,  bumi Nusantara ini, Jepara, Jawa 
Tengah,  bahagia menyaksikan kelahiran seorang R.A.Kartini.  Kalender 
mencatat  peristiwa besar itu, ---  21 April 1879. Hidup Kartini  
teramat singkat.  Beliau meninggal dalam usia  sangat muda,  25 tahun. 
Hari yang menyedihkan itu  adalah 17 September 1904,  lokasi:  -- Rembang.  

Namun, dalam waktu yang begitu singkat R.A. Kartini telah melakukan 
hal-hal yang luarbiasa, yang historis, yang punya arti abadi dalam 
sejarah perkembangan budaya Indonesia sebagai suatu nasion muda.

Aku teringat sejak zaman kolonial Hindia Belanda dulu, masyarakat 
Indonesia yang berkepedulian terhadap nasib bangsa, khususnya kaum 
mudanya, lebih khusus lagi, kaum perempuannya, selalu memperingati 21 
April sebagai hari yang mulya.  Tak teringat lagi siapa yang menulis 
lagu tsb, -- pada hari peringatan itu, selalu dinyanyikan Lagu Raden 
Adjeng Kartini yang sampai kini selalu masih terngiang-ngiang di 
telingaku. Kuingat betul,  di ruang rapat umum peringatan HARI KARTINI 
ketika itu,  di depan sekali selalu dipajang di situ potret  ukuran 
besar R.A. KARTINI.

Yang kuingat dari  pidato-pidato yang diucapkan para pembicara ketika 
itu, adalah  mengenai kepeloporan  R. A. Kartini dalam usaha beliau 
untuk memajukan pendidikan di kalangan kaum perempuan Indonesia.  
Tentang  kegigihan perjuangan beliau,  sesuai syarat-syarat yang ada 
pada waktu itu,  menurut caranya sendiri, dalam perlawanannya terhadap 
belenggu adat istiadat feodal yang mengikat dan menindas  serta menghina 
kaum perempuan Indonesia umumnya.  Keharusan dipingit setelah mencapai 
usia 12 tahun, adalah salah satu dari diksriminasi dan penindasan 
feodalisme terhadap kaum perempuan ketika itu.  Setelah tamat 
Europeesche Lagere School (ELS)
--sekolah dasar  elit berbahasa Belanda  --   berakhirlah bagi Kartini 
dunia pendidikan resmi.  

Namun, perekembangan fikirannya dan rasa keadilannya tidak berhenti 
dengan  dipaksakannya dunia "pingitan"  kepadanya. Penguasaannya yang 
baik atas bahasa Belanda yang diperolehnya dari pendidikan di ELS, 
merupakan dasar dan kesempatan baik baginya untuk  terus memperluas 
pengetahuan dan kontak-kontaknya, terutama dengan  sahabatnya di Eropah, 
memperluas wacana pandangan dan pemikirannya dalam pengabdiannya 
terhadap  usaha pencerahan terutama di kalangan kaum perempuan 
Indonesia. Tercatat bahwa salah satu  dari sedemikian banyak   
penerbitan dan literatur  yang dibaca Kartini adalah  MAX HAVELAAR . . . 
.  karangan Dr Douwes Dekker alias  MULTATULI. Pada gilirannya pemikiran 
dan visi Kartini dicurahkannya dalam surat-suratnya yang kemudian 
diterbitkan sebagai buku yang terkenal dengan nama  HABIS GELAP 
TERBITLAH TERANG.

Dalam surat-surat dan percakapannya  Kartini dengan kritis  
mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa 
diwajibkan untuk dipahami.  Diungkapkannya  bahwa dunia ini akan lebih 
damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk 
berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita 
daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas 
nama agama itu..."

* * *

Satu hal yang tak akan kulupakan, ialah perasaan yang ada pada setiap 
kali peringatan Hari Kartini pada periode sebelum kita mencapai 
kemerdekaan nasional. Terasa benar  bahwa peringatan itu, adalah  hari  
peringatan kita bersama sebagai bangsa Indonesia.  Bahwa peringatan  
HARI KARITINI  adalah  HARI PERINGATAN BANGSA INDONESIA.  Suatu  hari 
peringatan dari seorang tokoh perempuan Indonesia yang memperjuangkan 
keadilan bagi kaumnya.  

Kata-kata,   apalagi pidato seperti  yang kursakan itu,  memang tak 
terucapkan  pada zaman kolonial atau zaman pendudukan Jepang.  Namun, 
hal itu  DIRASAKAN BETUL SEDALAM-DALAMNYA.   Kesan, perasaan dan kesan 
tak terucapkan ini justru menyentuh  kalbu masing-masing mendalam 
sekali. Tak salah, kesan yang mendalam itu, ialah kesan bahwa yang 
sedang diperingati ini, adala sesuatu, adalah tokoh perempuan Indonesia 
yang MEMPERJUANGKAN KEADILAN.

Maka bila puluhan tahun kemudian  negara Republik Indonesia dan bangsa 
kita menilai dan mengakui R.A. Karaini  sebagai PAHLAWAN NASIONAL 
INDONESIA  --- maka hal itu sepenuhnya sesuai  dan benar adanya.

Memanifestasikan perasaan dan sikap bangsa kita terhadap R.A. Kartini,   
pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan 
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964,  yang menetapkan  R.A. 
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari 
lahir Kartini, tanggal 21 April,  sebagai hari besar yang diperingati 
setiap tahun.

Di sinilah jasa besar yang kiranya masih belum banyak disoroti dan 
diangkat tentang peranan R.A. Kartini, sebagai pemikir dan pencerah 
bangsa kita dal

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON - KARTINI DAY - 21 APRIL 2006

2006-04-21 Thread I. Bramijn



===
IBRAHIM ISA'S  -  FOCUS  ON -  KARTINI DAY  - 21 APRIL 2006
===
ATTAINING EQUAL DIGNITY, THE JKT POST EDITORIAL
NEW KARTINI IN HIGH DEMAND
---
ATTAINING EQUAL DIGNITY,  THE JAKARTA POST EDITORIAL
What is it that women want? That was the exasperated query of one 
lawmaker in the face of protests over the pornography bill. "We're 
trying to protect you!" he told an ungrateful group of demonstrators.
What "the fairer sex" wants has been a mystery for centuries. These days 
there are piles of reference books, magazines, laws, conventions and 
studies to help try and answer this question -- and they all basically 
say that women want a decent life for themselves and their families. 
Just the same as men.
The birth of national heroine RA Kartini, commemorated every April 21, 
is a good time to reflect on where women stand today as Indonesia 
travels the road to democracy.
A safe guess would be based on the experiences of other countries, where 
women have found that the democratic strides of their countries do not 
necessarily translate into better well-being for themselves.
One example of this can be seen in a number of regional regulations here 
on morality, where women find they have become the targets. It seems a 
community's morality and crime rate hinge so crucially on the appearance 
and decorum of women, that they must be placed under a curfew and their 
attire regulated. The greater level of democracy marked by the 
introduction of regional autonomy has somehow become a freedom to make 
up your own rules, no matter how ridiculous they may be.
One cannot say Indonesia respects gender equality because leaders have 
turned a blind eye to these regional morality regulations, issued in an 
attempt to assert local identity and ideals. The latest area reportedly 
mulling over morality policies is Depok mayoralty, south of Jakarta, 
even though the nearby Tangerang mayoralty has already shown the 
potential harm to residents by such regulations. These harms include the 
wrongful arrest of women as suspected prostitutes because they happen to 
be out on the streets after 7 p.m.
Coincidentally, such regulations likely ensure support for local 
political elites, who want to be seen as righteous in these troubling 
times of rapid, uncertain change. And appeasing the fickle elite in the 
regions does no harm to a central government facing no end of headaches.
However, allowing women to become objects of discriminatory policies, 
whether deliberately or not, negates all efforts at emancipation that we 
claim to have made -- we like to point to all our women leaders, CEOs 
and legislators.
Kartini, the daughter of a 19th century noble Javanese family, strove to 
fight feudalism and its discrimination against commoners, including 
women. The struggle of this woman, who died during labor, was far from 
perfect -- she become a second wife, to the disappointment of many 
readers of her history -- and it is the job of subsequent generations to 
pick up where our predecessors like Kartini left off.
In the context of regional regulations, questions must also be raised of 
women themselves. For all the loud protests by women's groups, they have 
not been loud enough. And women themselves often give their elected 
leaders the benefit of the doubt regarding moralistic policies, in their 
shared hope for a better society.
Many more voices are needed to encourage local leaders to drum up 
support through other means -- such as maximizing available resources to 
provide the best possible education, health care and other public 
services for residents.
Many of the consumer surveys so closely watched by the manufacturers of 
goods and services and the advertising agencies show that women have 
taken the lead in making decisions on household spending.
Given the common belief that women are ultimately responsible for the 
welfare of their families, apart from determining the decency and 
righteousness of whole nations, convincing women that their local 
leaders care about them and their families would go a long way come 
election time.
That is one reason to push women's rights, along with the grueling 
effort to make authorities aware that emancipating half the population 
is central to any attempts at progress.



NEW KARINI IN HIGH DEMAND
Duncan Graham, Surabaya
Compared to their Middle East sisters, Indonesian women are liberated. 
The nation's fifth president was a woman. There are women in high places 
in government and business, though not many. Only eight percent of 
legislators are women.
To the average hail-and-farewell visitor who just notes dress and public 
behavior, females seem as free as in the West. But try looking deeper.
A good place to start is newspaper wanted columns for sales and 
admin

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED WEEKEND INDONESIAN NEWS ---- Colorful --- Against endorsement pornography bill --- rally enchants Jakarta

2006-04-23 Thread I. Bramijn




> IBRAHIM ISA'S  --  SELECTED WEEKEND INDONESIAN NEWS
> ==
> Colorful   ---  Against endorsement pornography  bill --- rally 
> enchants Jakarta
> ===
> The Jakarta Post, Jakarta - 22 April 2006.
>
> Hundreds of activists, artists and cultural communities -- decked out 
> in colorful garb -- bedazzled passersby and spectators along the 
> city's main thoroughfares Jl. Sudirman in South Jakarta and Jl. M.H. 
> Thamrin in Central Jakarta in a peaceful protest against the 
> endorsement of the pornography bill.
>
> No! To Zero Culture was the theme the protest organizer, Diverse But 
> One Alliance, picked to convey their message: The country is rich in 
> cultural diversity and therefore a law in the name of morality will 
> only be a conduit to destroy the harmony of that diversity.
> Saturday's event began with speeches at the National Monument (Monas).
>
> "The carnival is our way of reminding all parties, the legislature, 
> the government, and all Indonesians about our identity, an Indonesia 
> according to the republic's foundations, the 1945 Constitution, 
> Pancasila and its motto, unity through diversity," said alliance 
> chairwoman Shinta Nuriyah Wahid.
> Shinta, reminded everyone that the alliance was against all forms of 
> pornography, but passing a law that would regulate people's morality 
> would create a different situation.
>
> The bill, she said, had the potential to cause national disintegration 
> and it was an act of treason against the Constitution and Pancasila 
> which bound the country's many cultures.
> "...We also object to the use of a law which dehumanizes people," said 
> Shinta.
> In order to eradicate pornography, the lawmakers and the government 
> must make good use of the existing institutions and also take measures 
> against indecency in television programs, dismiss corrupt law 
> enforcers, make effective the Film Censorship Board (BSF), the 
> Indonesian Broadcasting Commission (KPI), and consistently uphold the 
> Criminal Code.
>
> Movie director Nia Dinata who also joined Saturday's protest said the 
> government and lawmakers must respect human rights and cultural 
> diversity.
> "If their is no diversity, there will be no more arts," she said.
> Prolific woman writer Ayu Utami said that the government had not been 
> doing what it should.
> "The panacea is already there but it has not been taken," said Ayu 
> about existing regulations which were enacted into law to control 
> pornography and indecency.
> "We can never heal a problem with the wrong medicine."
> One of the alliance's coordinators playwright Ratna Sarumpaet said 
> that the alliance had already made future plans to block the 
> endorsement of the bill.
>
> "We plan to hold a national congress on culture which will give birth 
> to the Indonesian culture manifesto," said Ratna.
> "If the legislature has still not taken action, we will hold another 
> festival which will be larger and with even more representatives from 
> all the regions."
> A 36-year-old housewife Siti Khomariah brought her two children along 
> to see the parade and the colorful performances to give support to the 
> activists fighting against the bill.
> She even let her children skip school to watch the rare protest.
>
> She asked The Jakarta Post about what would happen to housewives who 
> wore a nightdress at home and within their complexes. "Would they then 
> be arrested because of being considered indecent", she queried.
>
> "We are now even more convinced that we must not be oppressed," she 
> said. (10) ***
>







Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment 





  




  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "wanita-muslimah" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  











[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- (1),MENIMBA ILMU PERGI - - KE TIONGKOK,< Tanggapan atas Target 5.000 Siswa Indonesia Belajar Ke Tiongkok>

2006-04-25 Thread I. Bramijn



IBRAHIM ISA dari BIJLMER

Selasa, 25 April 2006
(1)
MENIMBA  ILMU  PERGI  - - KE TIONGKOK
< Tanggapan atas Target 5.000 Siswa Indonesia  Belajar Ke Tiongkok>

Akhir pekan lalu kubaca berita menggembirakan berikut ini (Kompas):

"5.000 Siswa Indonesia ditargetkan belajar ke China . Pemerintah China 
menargetkan 2006 ini jumlah siswa Indonesia yang belajar ke negara itu 
naik menjadi 5.000 siswa. Tahun 2004, jumlah siswa Indonesia di sana 
mencapai 3.750, meningkat 46,31 persen dari tahun sebelumnya.
" . . . . terutama setelah adanya politik luar negeri China yang 
terbuka. . . hubungan kerja sama China-Indonesia dalam bidang pendidikan 
juga terus berkembang, seiring dengan makin banyaknya jumlah siswa 
Indonesia yang menuntut ilmu di China," kata Zhou Bin, Konsulat 
Kebudayaan Kedutaan Besar China untuk Indonesia, Minggu (23/4), dalam 
pembukaan China Education Exhibition (CEE) 2006 di Hotel Kartika 
Chandra, Jakarta.
Liu Jianbo, Deputi Direktur Divisi Promosi Pendidikan dari Chinese 
Service Center for Scholary Exchange, menjelaskan, tahun 2005 ada 
sekitar 143.000 siswa mancanegara dari 190 negara yang menimba ilmu di 
China. Jumlah siswa Indonesia yang belajar di sana menempati peringkat 
kelima setelah Korea Selatan (30.000 siswa), Jepang (18.000 siswa), 
Amerika Serikat (8.000 siswa), dan Vietnam (5.000 siswa). Tahun ini 
China berharap 5.000 pelajar Indonesia bisa belajar di negeri itu.  
Jelas:  --- Setiap langkah dan perkembangan dalam hubungan Indonesia - 
Tiongkok seyogianya disambut dengan baik bahkan dengan antusias. Suatu 
hubungan persahabatan dan solidaritas yang digalang sejak berdirinya RRT 
oleh pemerintah Indonesia, sampai hubungan itu dirusak oleh Orba yang 
menjalankan serentetan politik anti-Tiongkok dan anti-etnis Tionghoa  
(yang mereka-mereka itu, adalah orang-orang Indonesia asal etnis 
Tionghoa, - - - adalah warganegara RI yang patuh dan setia pada RI).

Perkembangan hubungan dua negeri dan  dua bangsa, tidak bisa lain akan 
mendorong maju saling mengerti dan saling menghargai, serta saling 
menguntungkan antara dua bangsa besar di Asia ini.

INTERMEZO:
Cukup  menarik perhatian  -  kira-kira apa pertimbangannya  s.k. 
KOMPAS, menggunakan kata "CHINA"  dan bukan  kata "TIONGKOK"  dan juga 
bukan perkataan "CINA" 
lebih dari 30 tahun>,  di dalam pemberitaannya tsb.  Apakah itu sikap 
yang menunjukkan  hendak pilih jalan "netral"  dalam kontroversi antara 
pendapat yang lebih suka menggunakan perkataan "CINA" ,  dengan pendapat 
yang ingin kembali menggunakan perkataan "TIONGKOK", seperti yang 
digunakan secara resmi oleh Republik Indonesia sejak berdirinya - 
sampai Presiden Sukarno digulingkan oleh Jendral Suharto.  Pemerintahan 
Orba  secara sefihak  menggantikan penamaan  "TIONGKOK"  dengan kata 
"CINA". Yang oleh pendapat umum dilihat sebagai suatu sikap ORBA  yang 
mencerminkan permusuhannya  terhadap  Tiongkok ketika itu.

Hal ini dikoreksi sendiri oleh pemerintah Republik Indonesia, yang dalam 
bulan April 1994, menyatakan  kepada Pemerintah Tiongkok bahwa 
Pemerintah Indonesia setuju dalam dokumen resmi Bahasa Indonesia, 
mengubah sebutan nama "Cina"  menjadi "Tiongkok".

Nah, sudah resmi begini,  tokh,  - - -  12 tahun kemudian KOMPAS masih 
menggunakan kata sebutan lain untuk Tiongkok, yaitu "China".  apakah ini 
sekadar menunjukkan bahwa Kompas cenderung "English minded" ?  
Kompas memberikan penjelasannya bila berkenan>.
Sekian dulu komentar "pinggir"   terhadap  berita KOMPAS yang sengaja 
menggunakan kata sebutan "China" untuk  Tiongkok.

* * *

Mungkin  baik juga dibikin jelas terlebih dulu,   bagaimana  sebenarya 
posisi dan peranan Tiongkok Baru,  yang diproklamasikan pada tanggal 1 
Oktober 1949, dalam hubungan internasional.  Dengan demikian, kiranya 
akan lebih memudahkan pembaca untuk mengerti mengapa dianggap  memang 
penting bagi kita sebagai suatu nasion muda,  rebut waktu mengejar 
ketinggalan selama ini,  menggunakan sebaik-baiknya  setiap kesempatan 
untuk berusaha mengenal Tiongkok Baru,  menarik pelajaran dan 
memanfaatkan pengalaman  yang diperoleh RRT selama berdirinya. Itu 
semua  untuk kepentingan bangsa dan negeri kita.

Salah satu caranya ialah dengan melakukan studi yang teratur (khususnya 
badan-badan ilmu pengetahuan dan pendidikan), berencana dan serius  
terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di Tiongkok,  seperti 
a.l. dilakukan oleh (almarhum) T.M. Siregar,  dengan skripsinya di 
Universitas Wageningen, Belanda, mengenai perubahan kebijakan pertanian 
di perdesaan Tiongkok.  
Cara lain yang juga efektif ialah dengan mengirimkan siswa-siswa 
Indonesia untuk MENIMBA ILMU PERGI KE TIONGKOK. Atau mengundang dari 
Tiongkok untuk mengajar dan atau mengadakan kerja kosultasi,  para 
dosen, profesor  dan para cendekiawan di bidang ilmu pengatahuan laiinya.

Tentu, semua ini hanya bisa berlangsung dalam suasana pelaksanaan yang 
konsisten dari politik luarne

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Sekitar Kriteria Moral, "Playboy", Korupsi dan,Eksuksi Ekstra Judisial pada Peristiwa 1965 ---

2006-04-27 Thread I. Bramijn



Kolom IBRAHIM ISA
---
Kemis, 27 April 2006
Sekitar  Kriteria Moral, "Playboy", Korupsi dan
Eksuksi Ekstra Judisial  pada Peristiwa 1965 ---

Terrangsang oleh tulisan ASVI ADAM:  "Soekarno v Playboy" , 
April 2006>, mungkin ada baiknya dikuakkan sedikit sekitar kriteria  
MORAL dan ETIKA, dan memasukinya secara agak santai.  Meskipun,  - - -  
harus ditandaskan bahwa masalah Moral dan Etika, adalah masalah yang 
paling tidak boleh dianggap  s a n t a i  . Kalaulah boleh dibicarakan 
di sini  masalah dasar,  soal fundamen dan kelanjutan hidup masyarakat 
manusia yang sehat, maka dasar dan fundamen itu adalah  m o r a l  dan   
e t i k a  masyarakat bersangkutan.

Di negeri Belanda ini, pemerintahan  Jan Peter Balkenende dari Partai 
Kristen Demokrat,  memulai  pekerjaannya sebagai Perdana Menteri 4 tahun 
yang lalu, dengan mengumandangkan semboyan  agar seluruh bangsa 
mengutamakan, menjunjung tinggi   -- "Normen en Waarden".  Dalam bahasa 
Indonesia  artinya  "Norma-norma dan Nilai-nilai".  Intinya masalah 
Moral dan Etika.  Meskipun ternyata  selama periode pemerintahannya, 
kecuali daya beli rakyat (kecil) yang merosot, kenaikan pelbagai pajak,  
inflasi, pengangguran dan pengurangan pelbagai subsidi pemerintah yang 
dialokasikan bagi pemberdayaan masyarakat,  masalah Moral dan Etika 
Masyarakat, khususnya moral dan nilai (watak) elitenya, bukan saja tidak 
membaik, tetapi tampak tanda-tanda memburuk.

Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono, ketika memulai pemerintahannya, 
mendengungkan  a.l. semboyan pemberantasan korupsi. Karena menyadari 
juga bahwa  masyarakat sudah betul-betul muak, jenuh dengan paraktek 
korupsi yang terjadi di dalam masyarakat kita. Terutama di kalangan 
elitenya,  sehingga dengan tepat (barangkali)  dinyatakanlah bahwa 
korupsi di Indonesia sudah membudaya.  Maksudnya sudah struktural,  
menjadi biasa melakukan korupsi itu. Kalau tidak melakukannya dianggap 
aneh dan memang betul lalu dibilang, "ah orang itu sok sekali". Dan 
tidak jarang sekali, yang tidak "mau ikut-ikutan (korupsi)" itu , 
betul-betul di-isolasi. Kalau berani buka mulut apalagi melaporkan 
pelaku korup di atas, maka bisa dipastikan akan disingkirkan. Bisa-bisa 
di-PHK-kan.

Korupsi sudah struktural, dari atas sampai ke kelurahan dan kampung.  
Sudah menjadi sebagian dari kebudayaan Indonesia.  Sering diomongkan 
begitu, karena dilihat begitulah kenyataannya. Tetapi mungkin terlalu 
sederhana dan gampang-gampangan untuk menyatakan bahwa seluruh budaya 
Indonesia sudah kejangkitan korupsi.   Segala sesuatu selalu mengandung  
pelbagai segi dan sifatnya. Karena, nyatanya  di negeri kita tercinta 
ini,  ada budaya yang korup  
sekaligus merupakan kejahatan besarnya dalam sejarah Indonesia>. Juga, 
dan ini segi yang utama,  ada budaya Indonesia yang memanifestasikan 
watak sejati bangsa ini, yang tradisionil dan yang mengandung 
norma-norma dan nilai-nilai, yang mencerminkan kearifan dan moral serta 
etika bangsa Indonesia, turun temurun.  

Mungkin  disebabkan oleh kejahatan  kultur korupsi itu tadi, yang 
menyebabkan  Asvi Adam mengangkat masalah korupsi sebagai  k r i t e r i 
a  atau  u k u r a n   untuk mengukur kemerosotan  moral dan etika.  

Mungkin betul  juga apa yang diceriterakan seorang teman yang baru 
kembali dari Jakarta,   bahwa dewasa ini,  bukan tidak ada  yang 
dikerjakan pemerintah SBY dalam rangka menangani kasus korupsi.  Malah 
dikatakan  penanganan koruptor lebih banyak terbanding sebelumnya. Tapi, 
kata komentar lain,   koruptor-koruptor "kakap-kakap" seperti dinasti 
Cendana dengan Jendral Suharto di daftar teratas,  nyatanya tak 
dilanjutkan perkaranya. Seperti sudah tidak ada soal lagi.  Begitu juga  
terhadap para petinggi dan jendral-jendral yang bergelimang korupsi 
selama puluhan tahun masih bebas saja menikmati hasil korupsinya selama 
puluhan tahun ini.

Dipertanyakan orang, -  apakah  seyogianya tidak  lebih baik bagi 
pemerintah ini,  DPR dan parpol-parpol yang berkiprah menelorkan  "RUU 
Anti Porno", yang semakin populer disebut sebagai "undang-undang porno" 
itu  ---  agar lebih menyibukkan dirinya dengan  mengutamakan 
pemantauan, pelacakan dan penanganan kasus-kasus korupsi, ketimbang 
mengurusi bagaimana perempuan dan priya Indonesia harus berbusana, agar 
tidak saling menggiurkan. Karena yang mereka lakukan sekarang ini adalah 
menyibukkan diri menjadikan kaum perempuan sebagai obyek pemantauannya.

Pada akhir  artikelnya itu Asvi Adam menyimpulkan, bahwa . . .  

"dapat ditarik benang merahnya bahwa kemerosotan akhlak dan majalah 
erotis adalah dua hal berbeda. Ukuran kemerosotan moral menjadi kabur 
bila dikaitkan dengan gambar porno. Sebetulnya lebih tepat bila 
kriterianya adalah korupsi.

Misalnya, ketika Soekarno berhenti, dia meninggalkan utang USD 2,5 
miliar, sedangkan saat Soeharto turun, dia mewariskan utang (pemerintah 
dan swasta) 60 kali lipat, yaitu USD 150 miliar.

Menurut Prof Soemitro Djojohadikusumo, terjadi kebocoran 30 per

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- Santai-Santai Ber- "KONINGINNEDAG" di AMSTERDAMSE POORT - BIJLMER

2006-04-29 Thread I. Bramijn



IBRAHIM ISA dari BIJLMER

Sabtu, 29 April 2006.

Santai-Santai Ber- "KONINGINNEDAG" di AMSTERDAMSE POORT -  BIJLMER

Tadi siang,  meskipun mendung dan angin sejuk (sekali) menggigit kuduk, 
sebagaimana biasa pada  kesempatan  hari libur nasional  Belanda,  yaitu 
pada  "Koninginne dag",  Murti dan aku keluar jalan-jalan ke 
Winkelcentrum Amsterdamse Poort. Jarak 10 menit berjalan santai  dari 
rumah kami.  Mungkin saja ada yang menarik dan murah yang akan dibeli. 
Belum tentu memerlukannya. Tetapi begitulah biasanya, lihat-lihat, 
pegang-pegang. Akhirnya beli juga. Kadang-kadang harga barang yang 
dijual pada hari "Koningenne dag" betul murah, dibanding dengan harga di 
toko pada hari-hari biasa.

Kami putar-putar di situ lalu terus ke Arena Boulevaard. Suatu daerah 
baru Bijlmer. Di situ berdiri  dengan megahnya, stadion  Klab Sepakbola 
Amsterdam- Ajax yang baru. Stadion sepakbola  serba-guna,  yang dalam 
sekejap bisa disulap menjadi tempat kegiatan kebudayaan, seperti  
pertunjukan musik, tari- tarian, dsb.

Andaikata,  hujan deras turunpun,  semua kegiatan di dalam stadiun bisa 
berlangsung dengan nyaman. Karena stadion Ajax yang modern ini,  atapnya 
bisa buka-tutup  ecara otomatis menurut kemauan. Di seberangnya  ada 
Heineken Music Hall.  Dan  ada pelbagai supermark besar, mulai dari 
yang  menjual alat-alat olag raga sampai pakaian olah raga yang bermerek 
dan mahal-mahal itu,   ada toko serba ada  khusus untuk anak-anak,  
supermark mebel sampai pada supermark yang menjual alat-alat eletronik 
terbesar di Amsterdam, mungkin juga  paling besar di Belanda,  yang 
bernama Mediamark.  Dimana-mana ada cafe dan restoran.

Semua bangunan itu mendampingi stasiun Amsterdam Bijlmer yang sedang 
dibangun baru. Akan selesai tahun 2007. Aku tidak menyembunyikan 
kekagumanku pada akhli-akhli bangunan Belanda.  Misalnya, mereka 
memperbaharui, memugar stasiun-keretapi pusat Amsterdam, yang  antik 
itu,  dengan hanya sedikit saja mempengaruhi kegiatan  kereta-api 
nasional dan internasional yang mampir dan berangkat ke atau dari 
Amsterdam. Pokoknya lalu-lintas k.a. jalan biasa.  Bagian bangunan  
lama  pada pokoknya diganti dengan yang baru, tanpa mengubah wajah 
luarnya yang klasik. Karena gedung Centraal Station Amsterdam, seperti 
halnya banyak bangunan tradisionil indah di Belanda,  tergolong, 
bangunan monumen nasional Belanda, yang tak boleh diubah  bagian 
luarnya. Bagian dalamnya boleh dimodernisasi  kayak apapun, asal jangan 
mengusik bagian luarnya yang merupakan bangunan klasik tradionsil itu.  
Disinilah keistimewaan dan kelihayan  para  akhli bangunan  Belanda itu. 
Mereka  meruntuhkan yang lama, menegakkan yang baru, tanpa secara 
keseluruhan, mengganggu kegiatan masyarakat yang memerlukan jalannya 
kereta-api yang normal dan tepat pada waktunya.

Stasiun kereta-api  Amsterdam Bijlmer,  baru tahun depan diresmikan 
pembukaannya. Stasiun ini termasuk stasiun kereta api yang paling modern 
di Belanda.  Di dekat situ ada Sekolah Tinggi Ekonomi,  dimana tampak 
banyak mahasiswa asing, a.l.   dari Tiongkok yang belajar di situ.   Di 
daerah tempat kami itu, kuhitung paling sedikit ada 4 bank-bank besar 
Belanda, seperti ING-Bank, ABN-Amro, Rabo Bank, dan GWK.  Pokoknya 
Amsterdam Bijlmer membangun terus, tambah modern dan tambah indah. 
Meninggalkan  Bijlmer lama yang dalam ingatan  banyak orang,  dianggap 
sebagai daerah yang tak aman, banyak orang menggunakan ganja,  dan 
penduduknya  yang berkulit berwarna itu dianggap kurang sopan dan 
terlibat dalam kegiatan kriminil. Itu semua berangsur-angsur sudah 
menjadi catatan sejarah belaka.  

* * *

Masyarakat yang ramai merayakan  "Koninginne dag",  hari raya 
Ratu, seperti biasa pula, terdiri dari orang-orang Belanda yang disebut 
"alochtoon".  Karena situasi daerah tempat kami tinggal mayoritas 
warganya adalah yang  "non-pri". Ada yang hitam kulitnya, keriting 
rambutnya, indah melengkung bulu matanya dan putih bersih giginya. 
Mereka itu kebanyakan asalnya dari Suriname. Tidak sedikit yang dari 
Afrika -- Ghana, Nigeria, Kongo, Ethiopia, Somalia, dll. Juga ada yang 
asal Arab,  Maroko, Tunisia,  Mroko dan Aljazair. Ada yang asal Timur 
Tengah -- terutama India,  Bangladesh, Iran  dan Pakistan. Tidak sedikit 
yang dari Afganistan.  Juga ada yang etnis Tionghoa. Ada yang bule-bule 
yang berasal dari Bosnia,  Polandia dan sementara negara Eropah - yang 
dulunya negeri  dikenal sebagai negeri-begeri blok Eropah Timur. 
Kebanyakan sudah w.n. Belanda. Dan berbahasa Belanda.

Memang dunia ini betul  banyak berubah. Winkelcentrum Amsterdamse Poort, 
Nederland, -- mayoritas pendudukya berkulit hitam, sawo matang dan 
kuning. Banyak yang kopi susu.  Hasil pekawinan yang bule dengan yang 
hitam. Semua itu sudah tidak aneh lagi. Sudah  menjadi biasa. Meskipun 
tidak boleh memutlakkan bahwa di Belanda sudah samasekali tidak ada lagi 
diskriminasi terhadap yang non-pri, apalagi terhadap yang asal Afrika 
atau Asia. Tetapi me

[wanita-muslimah] Stichting WERTHEIM -- IN MEMORIAM PRAMOEDYA ANANTA TOER

2006-04-30 Thread I. Bramijn



Stichting WERTHEIM
---
LEIDEN - AMSTERDAM

30 April 2006


IN MEMORIAM PRAMOEDYA ANANTA TOER
=
Dengan amat terkejut dan sedih sekali ,  kami menerima berita 
meninggalnya Pramoedya Ananta Toer  pada tanggal 30 April pagi di rumah 
beliau di Jakarta. Pramoedya mencapai usia 81 th.
Simpati kami sebesar-besarnya tertuju kepada Ibu Maemoenah Toer dan 
seluruh keluarga yang ditinggalkan.

Pram telah tiada. Namun, suri teladan  yang beliau tinggalkan untuk 
generasi kini dan mendatang untuk seluruh bangsa Indonesia,  teladan 
dalam berkarya sebagai sastrawan yang dibimbing dan setia pada  
cita-cita kebebasan dan keadilan bagi setiap warga, bagi bangsa dan 
tanah air adalah abadi.
Pramoedya Ananta Toer, bukan saja seorang sastrawan kontemporer 
Indonesia yang besar yang telah menghasilkan karya-karya sastra  yang 
sejajar dengan karya-karya sastra dunia yang maju, tetapi di atas 
segala-galanya beliau adalah seorang sastrawan yang berjuang demi 
emansipasi bangsa dan tanah airnya, demi kebenaran dan keadilan.

Karya-karya Pramoedya yang mencerminkan kecintaannya yang teramat besar 
pada tanah air dan bangsa, pada rakyat kecil yang miskin dan papa, 
tertindas dan tereksploitasi,  daya juang dan keberanian yang tak 
kunjung padam, telah dan akan terus memberikan inspirasi pada kita semua.

Mengikuti dengan penuh perhatian kegiatan dan usaha Pramudya Ananta 
Toer, demi usaha emansipasi bangsa Indonesia, Stichting Wertheim, yang 
bertujuan mendorong maju usaha dan kegiatan untuk memajukan usaha 
emansipasi bangsa, dalam tahun 1995 dengan bangga telah menyampaikan 
HADIAH WERTHEIM , sebagai tanda penghargaan atas usaha 
dan kegiatan Pramoedya.

Pemberian Wertheim Award kepada Pramoedya Ananta Toer dalam  tahun 1995, 
di saat masih berkuasa di Indonesia rezim Orba,  tidak kebetulan. 
Karena  mendiang Prof Wertheim pribadi,  yang   selama hidupnya telah 
menjalin  kepedulian yang tak putus-putusnya terhadap perjuangan 
emansipasi bangsa Indonesia,  punya perhatian khusus dan istimewa 
terhadap Pramoedya Ananta Toer dan telah pula menjalin tali persahabatan 
yang mendalam dengan Pram.

Prof. Wertheim memberikan penilaian dan penghargaan tinggi kepada 
Pramoedya Ananta Toer, sebagai sastrawan Indonesia   yang tak pernah 
absen dalam kegiatan demi cita-citanya meskipun bertahun-tahun lamanya 
kebebasannya telah dirampas oleh rezim otoriter  yang sempat kuasa di 
Indonesia lebih dari tiga dasawarsa.  

Pram telah tiada. Tetapi kenang-kenangan terhadap Pram yang amat 
berkepedulian dengan perjuangan demi kebebasan menyatakan pendapat, 
keadilan dan kebenaran, akan selalu ada dalam ingatan kita semua.

Dengan karya-karya sastranya yang maju dan bernilai Pram  telah  
memberikan sumbangannya dan memperkaya khazanah sastra dunia yang maju.

Ketua    :  Dr C.J.G. Holtzappel
Wakil Ketua :  Dr  Go Gien Tjwan
Sekretaris :  Ibrahim Isa






Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment 








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Women
  
  
Islam
  
  
Muslimah
  
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "wanita-muslimah" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  











[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS --- ON PRAMOEDYA ANANTA TOER, 1 MAY 2006

2006-05-01 Thread I. Bramijn



==
IBRAHIM ISA'S FOCUS  --- ON PRAMOEDYA ANANTA TOER,  1 MAY 2006
==

GOENAWAN  MOHAMMAD    
at PRAMOEDYA ANANTA TOER'S  FUNERAL  ---

Pram's funeral was moving.  
The sky was dark, and after  the body was lied
down inside the pit, many started to sing  'Internationale',
some with their left hands up as  the last salute.  

That piece of earth,  part of our tragic country,
received the body of the proud man who fought for our freedom
even from inside the jail.

Merdeka!
Goenawan

---
Stichting WERTHEIM
==
LEIDEN - AMSTERDAM

30 April 2006

IN MEMORIAM PRAMOEDYA ANANTA TOER
==
Dengan amat terkejut dan sedih sekali ,  kami menerima berita 
meninggalnya Pramoedya Ananta Toer  pada tanggal 30 April pagi di rumah 
beliau di Jakarta. Pramoedya mencapai usia 81 th.
Simpati kami sebesar-besarnya tertuju kepada Ibu Maemoenah Toer dan 
seluruh keluarga yang ditinggalkan.

Pram telah tiada. Namun, suri teladan  yang beliau tinggalkan untuk 
generasi kini dan mendatang untuk seluruh bangsa Indonesia,  teladan 
dalam berkarya sebagai sastrawan yang dibimbing dan setia pada  
cita-cita kebebasan dan keadilan bagi setiap warga, bagi bangsa dan 
tanah air adalah abadi.
Pramoedya Ananta Toer, bukan saja seorang sastrawan kontemporer 
Indonesia yang besar yang telah menghasilkan karya-karya sastra  yang 
sejajar dengan karya-karya sastra dunia yang maju, tetapi di atas 
segala-galanya beliau adalah seorang sastrawan yang berjuang demi 
emansipasi bangsa dan tanah airnya, demi kebenaran dan keadilan.

Karya-karya Pramoedya yang mencerminkan kecintaannya yang teramat besar 
pada tanah air dan bangsa, pada rakyat kecil yang miskin dan papa, 
tertindas dan tereksploitasi,  daya juang dan keberanian yang tak 
kunjung padam, telah dan akan terus memberikan inspirasi pada kita semua.

Mengikuti dengan penuh perhatian kegiatan dan usaha Pramudya Ananta 
Toer, demi usaha emansipasi bangsa Indonesia, Stichting Wertheim, yang 
bertujuan mendorong maju usaha dan kegiatan untuk memajukan usaha 
emansipasi bangsa, dalam tahun 1995 dengan bangga telah menyampaikan 
HADIAH WERTHEIM , sebagai tanda penghargaan atas usaha 
dan kegiatan Pramoedya.

Pemberian Wertheim Award kepada Pramoedya Ananta Toer dalam  tahun 1995, 
di saat masih berkuasa di Indonesia rezim Orba,  tidak kebetulan. 
Karena  mendiang Prof Wertheim pribadi,  yang   selama hidupnya telah 
menjalin  kepedulian yang tak putus-putusnya terhadap perjuangan 
emansipasi bangsa Indonesia,  punya perhatian khusus dan istimewa 
terhadap Pramoedya Ananta Toer dan telah pula menjalin tali persahabatan 
yang mendalam dengan Pram.

Prof. Wertheim memberikan penilaian dan penghargaan tinggi kepada 
Pramoedya Ananta Toer, sebagai sastrawan Indonesia   yang tak pernah 
absen dalam kegiatan demi cita-citanya meskipun bertahun-tahun lamanya 
kebebasannya telah dirampas oleh rezim otoriter  yang sempat kuasa di 
Indonesia lebih dari tiga dasawarsa.
Pram telah tiada. Tetapi kenang-kenangan terhadap Pram yang amat 
berkepedulian dengan perjuangan demi kebebasan menyatakan pendapat, 
keadilan dan kebenaran, akan selalu ada dalam ingatan kita semua.

Dengan karya-karya sastranya yang maju dan bernilai Pram  telah  
memberikan sumbangannya dan memperkaya khazanah sastra dunia yang maju.

Ketua    :  Dr C.J.G. Holtzappel
Wakil Ketua :  Dr  Go Gien Tjwan
Sekretaris :  Ibrahim Isa

Johanna Lederer
Mort de Pramoedya Ananta Toer
Association Loi 1901 pour L'amitié entre les Peuples Français et Indonésien

30 avril 2006
Pramoedya Ananta Toer 1925 - 2006

Ce matin à 8h30, heure locale, Pramoedya Ananta Toer est mort à son 
domicile à Jakarta.
Il était âgé de 81 ans.
Pramoedya Ananta Toer, un très grand écrivain indonésien, né en 1925 à 
Blora (Java), fut aussi le plus ancien prisonnier indonésien, assigné à 
résidence surveillée jusqu'en 1999,
Emprisonné d'abord par les Hollandais en 1947 jusqu'en 1949 au moment de 
la guerre d'indépendance
pour s'être engagé aux côtés du mouvement nationaliste indonésien
Ensuite, en 1960 par Soekarno, il fut détenu sans jugement pendant un an 
pour avoir dénoncé la discrimination politique à l'encontre de la 
communauté chinoise en Indonésie dans son livre "les Chinois en Indonésie".
Enfin, de 1965 à 1979, sous le règne de Soeharto, au bagne de Buru, pour 
ses positions considérées comme communistes.

C'est là qu'il écrivit sa tétralogie sur l'avènement du nationalisme 
indonésien :
Terre des hommes, Enfant de toutes les nations, Traces de Pas, La maison 
de verre.
Ces histoires, il les raconta d'abord à ses co-détenus avant de les 
écrire sur des feuilles qui furent
secrètement sorties de Buru p

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - Selected Indonesian News & Views, 18.01.06

2006-01-18 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA'S - Selected Indonesian News & Views, 18.01.06

=

* The Timika killings , Jakarta Post Editorial, 18 Jan 2006

* FBI still helping on probe into Timika shooting incident

*Acehnese starts to taste cash aid

*Archives to record Aceh conflict

*Air Force still bears PKI stigma

=

*The Timika killings* , Jakarta Post Editorial, 18 Jan 2006

An American teacher has survived a traumatic experience in Papua in
which her husband was killed, and has returned here in a bid to speed up
the search for justice for herself and the other victims of the shooting
incident in 2002.

The calm words of Patsy Spier, however, belie any sign of frustration
that she and the other victims and their families may have in that
search: "Pursuing this case is in both our countries' interests," she
said after meeting President Susilo Bambang Yudhoyono on Monday.

That "case" -- the ambush and fatal shooting of one Indonesian and two
American employees of PT Freeport Indonesia -- has been one of the few
remaining impediments to the full restoration of military ties between
Indonesia and the United States. Developments in this case were also the
sole reason for the significant progress in improving relations between
the two countries. Having convinced Congress that Indonesia was
cooperating with U.S. investigators in the search for the perpetrators,
Washington restarted a training program for Indonesian Military (TNI)
officers in February last year. By November, despite lingering
congressional concerns about resuming full military ties, U.S. Secretary
of State Condoleezza Rice waived the final restrictions for national
security reasons -- and the U.S. is again able to supply lethal weapons
to the TNI.

With relations normalized, the whole case would likely have been
forgotten if not for the recent arrests -- and Spier -- who has not let
the case drop.

With the support of dozens of human rights organizations, she has
lobbied Congress and the American and Indonesian presidents to raise the
issue.

We support her struggle and the authorities' efforts to bring the
perpetrators to justice.

And the progress so far has been encouraging: Police have arrested 12
people, including Antonius Wamang, identified as a ringleader of the
killers and who police say is a member of the Free Papua Movement (OPM).
Wamang had earlier been indicted by a U.S. federal court for his role in
the incident but had never been apprehended.

But there is still one lingering question -- how much was the military
involved -- if it was at all.

The authorities have been quick to lay the blame on Wamang, who
activists had previously linked to the TNI, and not the OPM. Now the
police are also blaming the conflict on another at-large OPM rebel,
Kelly Kwalik, who they say gave Wamang the order for the attacks.

Police say they have documentary evidence and testimony proving their
case. It will be vital for these documents to be properly scrutinized in
any trial to allay public reservations.

For there has never been a satisfactory answer to certain questions
raised by human rights organizations in Papua. Why were security
personnel in a normally tightly guarded area near the world's biggest
copper and gold mine absent during the attack, which lasted at least 30
minutes. Why did some of the survivors remember the shooters wearing
military uniforms?

More recent questions concern procedure: the allegations the suspects
were fooled into cooperating with the authorities because they thought
they would face trial in the U.S. -- instead they were handed over to
authorities here -- are worrying.

Many Indonesians are likely to be in favor of the unconditional lifting
of the U.S. military embargo, and there is no doubt international
cooperation is vital in many areas and certainly when combating
terrorism. But rushing to improve international ties by attempting to
brush an incriminating incident under the carpet, in the words of one
activist, would lead us instead to a "partnership of impunity."

Spier's struggle to find the truth, reminds us of another widow also
looking for justice -- Suciwati, the wife of murdered activist Munir.
What these women have gone through reflects what it takes for an
ordinary citizen to move on after their loss.

Spier says that settling this case is in the interests of both
countries. Citizens of all nations need to be sure that they are
protected wherever they are employed; and the U.S. government needs an
assurance of cooperation, especially from the world's largest Muslim
nation, in the war against terror.

For Indonesians, meanwhile, it is ultimately in our interest to know
whether we are still living under the reign of those who would like to
keep secrets from us. Those who kill with impunity, knowing they will
never face trial.

--

*FBI still helping on probe into Timika sho

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Rosihan Anwar Tentang: Mensyariat(Islam)-kan Indonesia.

2006-01-19 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA*

*19 Januari 2006*


*Rosihan Anwar Tentang: *

*Mensyariat(Islam)-kan Indonesia.*

*==*


Rosihan Anwar adalah wartawan kawakan ( dulu pernah Pemimpin Redaksi
Harian "Pedoman"). Belum lama ia menulis tentang masalah yang banyak
dipermasalahkan dan dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia yang
sekular dan multikultural ini.


Kesan yang diperoleh membaca tulisan Rosihan Anwar mengenai "Masalah
Mensyariatkan Indonesia", begini: Cukup blak-blakan dan bermanfaat
dibaca , a.l. karena itu pendapat seorang Rosihan Anwar. Sama seperti
pendapatnya tentang arti sejarah Konferensi Asia-Afrika, di Bandung
(1955), ketika ia menulis dalam rangka memperingati ultah ke-50
Konferensi Bandung tahun yang lalu. Baik dibaca oleh generasi muda yang
rendah hati, yang hendak mengetahui dan belajar dari peristiwa penting
tsb (Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955) dari seorang yang pernah
mengalaminya sendiri sebagai "kuli tinta".


Masalah yang dewasa ini banyak dipertanyakan dan dibicarakan dalam
masyarakat ialah sbb: "APAKAH NEGARA KITA INI AKAN MENJADI NEGARA ISLAM
seperti Iran, Pakistan, Arab Saudi, Sudan, Qatar dll negeri Teluk?".
"Apakah Republik Indonesia yang diproklamasikan dalam tahun 1945, dengan
motto BHINEKA TUNGGAL IKA, lama-lama akan menjadi suatu negara yang
berdasarkan hukum-hukum Islam? Yang didasarkan pada syariat Islam? -
Ataukah Republik Indonesia tecinta , bangsa Indonesia tercinta ini akan
selalu mampu dan berhasil mempertahankan Indonesia yang didasarkan pada
falsafah PANCASILA. Pancasila seperti yang dijelaskan oleh penggali
falsafah negara Pancasila, yaitu Bung Karno, diucapkan dalam pidato
beliau pada tanggal 1 Juni 1945. "


Bukan saja di kalangan bangsa kita, tetapi juga di kalangan mancanegara
, di saat sedang digejolak-gejolakkan isu global 'perang melawan
terorisme"; -- pertanyaan tsb sering muncul dan dipermasalahkan. Dengan
sendirinya masalah tsb dipersoalkan, karena, bukankah dalam beberapa
waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama oleh dunia
Barat, karena beberapa kali jadi sasaran pemboman terhadap masyrakat
sipil yang dilakukan oleh golongan Islam 'keras', atau fundamentalis.
Dunia sering diingatkan bahwa Indonesia merupakan negeri berpenduduk
Islam terbesar di dunia dewasa ini . Dirasakan "ancaman" bahwa Indonesia
cepat atau lambat akan menjadi 'negara Islam' sebagai sesuatu yang riil,
yang nyata.


Kalau tidak salah pada tanggal 10 Mei mendatang ini, Rosihan mencapai
umur 84th. Di saat mencapai usia Manula (Manusia Usia Lanjut), Rosihan
sering disebut sebagai 'wartawan senior'. S.k. "Pedoman", yang
dipimpinnya di zaman kepresidenan Sukarno, pernah diberangus karena
simpatinya dengan pemberontakan militer PRRI-Permesta. Pada zaman Orba
s.k. "Pedoman" terbit lagi, kemudian diberangus lagi oleh Suharto.


Ada yang menjuluki Rosihan Anwar sebagai wartawan 'sesepuh', karena
pengalaman dan umurnya itu. Rosihan pernah menulis kata pengantar untuk
buku Umar Said "Perjalanan Hidupku". Kata pengantar Rosihan itu boleh
dibilang kritis, tetapi nyat sekali berat sebelah dan arogan. Di dalam
kata pengantarnya itu, terungkap sikap Rosihan Anwar sebagai seorang
'diehard komunistophobi' . Ia menyimpulkan bahwa Umar Said adalah
komunis. Maka menurut Rosihan, Umar Said harus, kasarnya,  'bertobatl'.


Kalau tidak salah Rosihan, entah kapan, sudah lama jadi 'haji'. Ia
seorang Muslimin yang hendak memenuhi Lima Rukun Islam. Dalam "Tokoh
Indonesia.Com" tentang Rosihan Anwar ditulis, bahwa ia '/boleh dibilang
legenda hidup pers Indonesia/'. Selanjutnya dikatakan bahwa Rosihan
"/dinilai konsisten dalam berkarya sebagai wartawan". /Ditulis juga
bahwa Rosihan "/tetap tidak melupakan sejarah dan tradisi pers
Indonesia, yaitu mesti selalu tampil membela wong cilik. /


Kiranya baik dipertanyakan di sini, bagaimana sesungguhnya sikap
Rosihan, yang dikatakan 'mesti selalu tampil membela wong cilik', 
Ketika Jendral Suharto memulai kup-merangkak (creeping coup d 'état),
sibuk menggulingkan Presiden Sukarno. Ketika Jendral Suharto melakukan
kampanje persekusi dan supresi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan
menangkap, menyiksa, memenjarakan, membuang serta melakukan pembantaian
masal terhadap warganegara (Wong Cilik) yang tidak bersalah, yang PKI
atau yang dituduh PKI - yang Marxis maupun yang nasionalis Kiri, ---
patut dipertanyakan bagaimana sikap Rosihan Anawar yang dikatakan "mesti
selalu tampil membela wong cilik". Sejauh catatan yang diketahui ,
kiranya tidak pernah Rosihan tampil membela para koban peristiwa 1965,
para eks-tapol beserta keluarganya yang berjumlah lebih dari dua puluh
juta orang tak bersalah itu, yang sampai sekarang masih terus
didiskriminasi dan distigmatisasi oleh penguasa. Masih belum
direhabilitasi.Bagaimana Rosihan bersikap terhadap masalah tsb?


Rosihan juga dikenal sebagai seorang 'sosial-demokrat',. Ia dekat dengan
mantan Perdana Menteri (pertama) Republik Imdonesia, dan tokoh pemimpin
Partai So

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Rosihan Anwar Tentang: Mensyariat(Islam)-kan Indonesia.

2006-01-19 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA*

*19 Januari 2006*


*Rosihan Anwar Tentang: *

*Mensyariat(Islam)-kan Indonesia.*

*==*


Rosihan Anwar adalah wartawan kawakan ( dulu pernah Pemimpin Redaksi
Harian "Pedoman"). Belum lama ia menulis tentang masalah yang banyak
dipermasalahkan dan dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia yang
sekular dan multikultural ini.


Kesan yang diperoleh membaca tulisan Rosihan Anwar mengenai "Masalah
Mensyariatkan Indonesia", begini: Cukup blak-blakan dan bermanfaat
dibaca , a.l. karena itu pendapat seorang Rosihan Anwar. Sama seperti
pendapatnya tentang arti sejarah Konferensi Asia-Afrika, di Bandung
(1955), ketika ia menulis dalam rangka memperingati ultah ke-50
Konferensi Bandung tahun yang lalu. Baik dibaca oleh generasi muda yang
rendah hati, yang hendak mengetahui dan belajar dari peristiwa penting
tsb (Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955) dari seorang yang pernah
mengalaminya sendiri sebagai "kuli tinta".


Masalah yang dewasa ini banyak dipertanyakan dan dibicarakan dalam
masyarakat ialah sbb: "APAKAH NEGARA KITA INI AKAN MENJADI NEGARA ISLAM
seperti Iran, Pakistan, Arab Saudi, Sudan, Qatar dll negeri Teluk?".
"Apakah Republik Indonesia yang diproklamasikan dalam tahun 1945, dengan
motto BHINEKA TUNGGAL IKA, lama-lama akan menjadi suatu negara yang
berdasarkan hukum-hukum Islam? Yang didasarkan pada syariat Islam? -
Ataukah Republik Indonesia tecinta , bangsa Indonesia tercinta ini akan
selalu mampu dan berhasil mempertahankan Indonesia yang didasarkan pada
falsafah PANCASILA. Pancasila seperti yang dijelaskan oleh penggali
falsafah negara Pancasila, yaitu Bung Karno, diucapkan dalam pidato
beliau pada tanggal 1 Juni 1945. "


Bukan saja di kalangan bangsa kita, tetapi juga di kalangan mancanegara
, di saat sedang digejolak-gejolakkan isu global 'perang melawan
terorisme"; -- pertanyaan tsb sering muncul dan dipermasalahkan. Dengan
sendirinya masalah tsb dipersoalkan, karena, bukankah dalam beberapa
waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama oleh dunia
Barat, karena beberapa kali jadi sasaran pemboman terhadap masyrakat
sipil yang dilakukan oleh golongan Islam 'keras', atau fundamentalis.
Dunia sering diingatkan bahwa Indonesia merupakan negeri berpenduduk
Islam terbesar di dunia dewasa ini . Dirasakan "ancaman" bahwa Indonesia
cepat atau lambat akan menjadi 'negara Islam' sebagai sesuatu yang riil,
yang nyata.


Kalau tidak salah pada tanggal 10 Mei mendatang ini, Rosihan mencapai
umur 84th. Di saat mencapai usia Manula (Manusia Usia Lanjut), Rosihan
sering disebut sebagai 'wartawan senior'. S.k. "Pedoman", yang
dipimpinnya di zaman kepresidenan Sukarno, pernah diberangus karena
simpatinya dengan pemberontakan militer PRRI-Permesta. Pada zaman Orba
s.k. "Pedoman" terbit lagi, kemudian diberangus lagi oleh Suharto.


Ada yang menjuluki Rosihan Anwar sebagai wartawan 'sesepuh', karena
pengalaman dan umurnya itu. Rosihan pernah menulis kata pengantar untuk
buku Umar Said "Perjalanan Hidupku". Kata pengantar Rosihan itu boleh
dibilang kritis, tetapi nyat sekali berat sebelah dan arogan. Di dalam
kata pengantarnya itu, terungkap sikap Rosihan Anwar sebagai seorang
'diehard komunistophobi' . Ia menyimpulkan bahwa Umar Said adalah
komunis. Maka menurut Rosihan, Umar Said harus, kasarnya,  'bertobatl'.


Kalau tidak salah Rosihan, entah kapan, sudah lama jadi 'haji'. Ia
seorang Muslimin yang hendak memenuhi Lima Rukun Islam. Dalam "Tokoh
Indonesia.Com" tentang Rosihan Anwar ditulis, bahwa ia '/boleh dibilang
legenda hidup pers Indonesia/'. Selanjutnya dikatakan bahwa Rosihan
"/dinilai konsisten dalam berkarya sebagai wartawan". /Ditulis juga
bahwa Rosihan "/tetap tidak melupakan sejarah dan tradisi pers
Indonesia, yaitu mesti selalu tampil membela wong cilik. /


Kiranya baik dipertanyakan di sini, bagaimana sesungguhnya sikap
Rosihan, yang dikatakan 'mesti selalu tampil membela wong cilik', 
Ketika Jendral Suharto memulai kup-merangkak (creeping coup d 'état),
sibuk menggulingkan Presiden Sukarno. Ketika Jendral Suharto melakukan
kampanje persekusi dan supresi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan
menangkap, menyiksa, memenjarakan, membuang serta melakukan pembantaian
masal terhadap warganegara (Wong Cilik) yang tidak bersalah, yang PKI
atau yang dituduh PKI - yang Marxis maupun yang nasionalis Kiri, ---
patut dipertanyakan bagaimana sikap Rosihan Anawar yang dikatakan "mesti
selalu tampil membela wong cilik". Sejauh catatan yang diketahui ,
kiranya tidak pernah Rosihan tampil membela para koban peristiwa 1965,
para eks-tapol beserta keluarganya yang berjumlah lebih dari dua puluh
juta orang tak bersalah itu, yang sampai sekarang masih terus
didiskriminasi dan distigmatisasi oleh penguasa. Masih belum
direhabilitasi.Bagaimana Rosihan bersikap terhadap masalah tsb?


Rosihan juga dikenal sebagai seorang 'sosial-demokrat',. Ia dekat dengan
mantan Perdana Menteri (pertama) Republik Imdonesia, dan tokoh pemimpin
Partai So

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON EAST TIMOR,,FRIDAY, 20 JAN 2006

2006-01-20 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON EAST TIMOR*

*FRIDAY, 20 JAN 2006*

**

*East Timor launches truth commission*

*Indonesia's E Timor abuses listed*

*E. Timor rights group calls for debate on alleged atrocities*

*==*

Monday, 21 January, 2002, 16:05 GMT - BBC

*East Timor launches truth commission*


Seven commissioners were sworn in

East Timor has taken the first step towards healing the rifts in its 
society by inaugurating a Truth and Reconciliation Commission to deal 
with atrocities committed during the 25 years of occupation by 
Indonesian forces.

The commission is expected to operate for at least two years and work in 
conjunction with East Timor's judicial system.

It will focus on atrocities committed between 1975, when Portuguese 
colonial rule collapsed in East Timor, and 1999, when Indonesia - which 
invaded the island a year after the Portuguese left - finally pulled out 
following a United Nations-sponsored plebiscite.

Between 100,000 and 200,000 East Timorese are estimated to have died in 
the early years of the occupation, many from starvation or disease.

The head of the UN transitional administration in East Timor (UNTAET), 
Sergio Vieira de Mello, said the commission would provide the people 
with an official ear to listen to their grievances and acknowledge their 
past suffering.


And he said it would provide an opportunity for genuine and long-lasting 
reconciliation.

The commission will deal with more minor offences, trying to reconcile 
the perpetrators and victims.

But - unlike its South African equivalent - it will not offer an amnesty 
to those who admit to serious crimes like murder or rape. Their cases 
will be passed on for prosecution in the normal courts.

The Timorese leader, Xanana Gusmao, said the seven commissioners faced 
an enormous challenge, but they would be helped by the support and moral 
courage of the people.

The commissioners will first undergo a period of training from 
international experts of the truth and reconciliation commissions of 
South Africa and Guatemala.

They will then begin work setting up offices throughout East Timor, but 
so far no date has been set for the first hearings.

The seven commissioners, who include a former political prisoner, a 
Catholic priest and a nurse, were sworn in at a former UN compound in 
the East Timorese capital, Dili.

*Violent withdrawal*

The final withdrawal of Indonesian troops in 1999 was traumatic.

At least 1,000 people were killed before and after the vote for 
independence and almost all the infrastructure was destroyed.

Much of the violence was committed by East Timorese militia gangs 
recruited and trained by the Indonesian army.

The commission has just two years to document the huge number of human 
rights violations which took place during this period.

---


*Indonesia's E Timor abuses listed *, BBC, 20 jan 2006

East Timor's President Xanana Gusmao wants to move on

*A report into Indonesia's conduct during its 24-year annexation of East 
Timor says that as many as 180,000 civilians died of hunger or illness.*

It documents abuses committed by Indonesian security forces, including 
the use of starvation as a weapon.

East Timor's president will formally hand over the report to the United 
Nations on Friday.

Indonesia has dismissed the report, saying it is time for the two 
countries to look to the future.

"We have agreed to co-operate for reconciliation and for solving our 
problems, therefore there is no need to look into the past because that 
does not help," Indonesia's State Secretary Yusril Ihza Mahendra said.

A copy of the document has been leaked to The Australian newspaper, 
which has published extensive details.

The 2,500-page report, produced by the East Timorese Commission for 
Reception, Truth and Reconciliation, makes profoundly disturbing 
reading, according to the BBC's Jakarta correspondent, Rachel Harvey.



EAST TIMOR

*1975:* Indonesia invades after colonial power Portugal withdraws

Indonesia's often brutal rule opposed by Fretilin fighters

*1999:* More than 1,000 people killed over independence referendum

*2002:* East Timor becomes independent nation


Based on testimony from thousands of witnesses, the report documents a 
catalogue of abuses committed by Indonesian security forces.

Starvation, rape, torture and execution-style killings were all used as 
part of what the report describes as a "systematic plan".

"Rape, sexual slavery and sexual violence were tools used as part of the 
campaign designed to inflict a deep experience of terror, powerlessness 
and hopelessness upon pro-independence supporters," the report says, 
according to The Australian.

The report said that Indonesia's policy of deliberate starvation could 
have cost the lives of between 84,000 and 183,000 people between 1975 
and 1999.

*Reluctant to publish*

It is understood the report is also critic

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- Dari AMSTERDAM BIJLMER ke Festival Literatur Internasional "WINTERNACHTEN 2006" Den Haag

2006-01-22 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA dari BIJLMER*

---

*Minggu, 22 Januari 2006.*



*Dari AMSTERDAM BIJLMER ke Festival Literatur Internasional 
"WINTERNACHTEN 2006" Den Haag*

*==*

Mengapa menyebut nama BIJLMER? Kok seperti menantang layaknya? Pasti 
bukan untuk menantang.


Aku menulis, bekerja dari berpangkalan di rumah kami di Bijlmer; 
Amsterdam Bijlmer. Aku punya kamar kerja sendiri, lengkap dengan 
buku-buku, dokumentasi dan . . . . computer plus printer. Kalau hendak 
menulis dewasa ini, dan mengirimkannya ke pelbagai alamat agar tulisan 
itu bisa mencapai pembaca, -- : Maka tidak bisa tidak harus memiliki 
Computer dan printernya sekaligus. Harus bisa mengakses internet. Di 
situlah dunia informasi dan komunikasi yang bukan alang-kepalang luas 
dan juga mendalam terbuka dihadapan kita untuk dimanfaatkan semaksimal 
mungkin.


Ada yang bertanya: Mengapa pakai nama B i j l m e r . Apa tidak 'isin' 
ceritera kemana-mana bahwa domisilinya di B i j l m e r. Bukankah suatu 
ketika banyak orang pada pindah dari Bijlmer, antara lain, karena 
pertimbangan itu. Ada yang pindah ke bagian lain dari Amsterdam. Atau ke 
kota lain. Banyak yang pindah ke Almere, suatu perkampungan perumahan 
baru. Serpertinya lebih nyaman untuk mengatakan, tinggal di Almere, 
ketimbang diketahui tinggal di Bijlmer.


Memang ada kesengajaan, aku nyebut nama Bijlmer. Ada maksud untuk 
menghancurkan 'tabu' sekitar nama Bijlmer. Betul, hampir duapuluh tahun 
yang lalu, ketika kami baru tinggal di Bijlmer, nama Bijlmer 
diasosiasikan dengan 'orang berkulit Hitam", kriminalitas, heroin, 
pengangguran, dsb. Dan di Bijlmer betul juga, kebanyakan penduduknya 
adalah yang di Belanda disebut 'alochtoon' . Di Indonesia minoritas 
begitu akan dinamakan "non-pri".


Tapi jangan salah tafsir, 'non-pri' di Indonesia tidak sama dengan 
'alochtoon' di Belanda. Di Belanda formalnya ada undang-undang atau 
peraturan yang mendenda bahkan menahan pelaku diskriminasi rasial. 
Tetapi di Indonesia diskriminasi rasial terhadap 'non-pri'  didasarkan 
pada ketentuan dan kebijaksanaan penguasa. Jadi, di Indonesia 
mendiskriminasi 'non-pri' - w.n. keturunan Tionghoa, adalah 'sah' hukumnya.


Memang banyak 'alochtoon' yang sudah menjadi w.n. Belanda, sudah jadi 
"Londo". Tetapi warna kulitnya tetap tidak "bulé". Belanda 'hitam' atau 
Belanda 'sawo matang'. Kalau berbelanja di Winkelcentrum Amsterdamse 
Poort (Bijlmer) layaknya kita seperti berbelanja di pasar di Paramaribo, 
Suriname. Jumlah orang 'bule' yang berbelanja di situ bisa dihitung 
dengan jari.


Nah, etnik ini sering diasosiasikan dengan tadi itu, kriminalitas, 
heroin , pengangguran dsb. Maka sementara orang ada yang merasa 'risih' 
bila tinggal di suatu tempat yang kebanyakan penduduknya adalah orang 
"Londo-alochtoon". Kufikir, bagaimana hendak melawan rasisme, bila dalam 
fikiran sendiri 'orang-orang yang berwana', masih merasa malu bila 
tinggal diantara orang-orang berwarna.


Padahal kriminil-kriminal kakap, koruptor dan manipulator kaliber 
internasional di Belanda ini adalah Londo yang 'bulé-lé' itu. Maka, 
jangan bilang bahwa di Nederland yang sudah lama "demokratis", 
"multikultural" dan "kapitalis" tingkat atas ini, sudah bérés semua. 
Jangan kira yang disebut kebudayaan Barat yang diklaim lebih unggul 
ketimbang kebudayaan Moslem atau budaya negeri sedang berkembang 
lainnya, --- benar-benar dalam kenyataan 'norma dan nilai-nilai' budaya 
yang 'maju' itu sudah diberlakukan dalam kehidupan sehati-hari. Nasion 
Belanda sudah ratusan tahun umumnya, tetapi ketika Balkenende naik jadi 
perdana menteri 3 tahun yang lalu, salah satu motonya adalah 'MEMUIHKAN 
NORMA DA NILAI-NILAI' bangsa Belanda.


Tetapi sekarang Bijlmer sedang dipugar. Stasiun kereta-api baru yang 
sedang dibangun akan menjadi stasiun k.a. yang termoderen di Belanda. 
Dari Utrecht dan Selatan Belanda bila hendak dengan kereta api ke 
Schiphol, sudah bisa langsung. Aku sengaja "mempopulerkan" nama Bijlmer, 
juga supaya orang tahu, bahwa Bijlmer tidak seperti yang diomongkan 
orang. Bahwa Bijlmer juga berkembang dan maju mengikuti zaman. Tidak 
percaya? Pergi saja jalan-jalan ke Bijlmer, terutama ke Arena Boulevard, 
di situ dengan megahnya berdiri Stadion Ajax Arena. Stadion dari club 
bola Amsterdam.


Aku juga mau ceritera bahwa dari Amsterdam Bijlmer ke Den Haag, tempat 
dilangsungkannya WINTERNACHTEN,jarak itu tidak dekat. Dan ongkosnya 
pulang balik untuk dua orang bisa habis hampir 30 Euro. Untuk pergi dari 
Amsterdam Bijlmer ke Den Haag, rata-rata diperlukan waktu dua jam lebih. 
Dan itu menggunakan metro dan kereta api yang umumnya cepat dan tepat 
waktu berangkat dan tibanya. Sekian dulu lah tentang Bijlmer.


Ceriteraku ini mengenai "weekend" yang lalu. Suatu "weekend" yang santai 
tetapi bermutu. Singkat tetapi mengesankan. Sederhana tetapi indah. Wah, 
apa itu ya? Untuk menghadiri evenement itu kami tidak perlu membeli 
ticket, karena diundan

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- "Keunggulan" Kapitalisme

2006-01-24 Thread I. Bramijn
*IBRAHIM ISA dari BIJLMER*

**

*Selasa, 24 Januari 2006*


*"Keunggulan" Kapitalisme *

*-*

PERTAMA-TAMA R A L A T:

Dalam tulisan *IBRAHIM ISA dari BIJLMER*, Minggu, 22 Januari yl, 
berjudul "Dari AMSTERDAM BIJLMER ke Festival Literatur Internasional 
"WINTERNACHTEN 2006" Den Haag", terdapat kekelilruan yang perlu diralat. 
Kekeliruan terdapat pada alinea ke-18; kalimat tsb seharusnya berbunyi 
sbb: "Inilah a.l. kesan singkat Munandar: Salah seorang pembicara 
'keynote' adalah seorang *p r i y a* berasal dari Iran bernama Afshin 
Ellian. Ia menyatakan bahwa di "dunia Islam tak ada kebebasan menyatakan 
pendapat". Kekeliruan kedua ada pada alinea ke-23, baris ke-6; 
seharusnya berbunyi, sbb: "Talkshow dipandu oleh Paul van de Gaag, 
karyawan pada Siaran *Radio/TV VPRO*, Hilversum. Dengan demikian 
kekeliruan telah diralat.


* * *


Sudah beberapa waktu y.l. ada rencanaku untuk menulis tentang sikap 
sementara tokoh pemerintah, DPR dan TNI sekitar laporan Komisi Kebenaran 
Timor Timur mengenai tanggung jawab Indonesia -- TNI-Orba -- yang selama 
24 tahun menduduki Timor Timur dan telah menimbulkan korban lebih dari 
100.000 rakyat Timor Timur. Sikap mereka-mereka itu yang a.l. diutarakan 
oleh Sekretaris Kabinet Yusril Ihza Mahendra; Ketua DPR Agung Leksono 
dan Panglima TNI Endriatno, sangat memalukan, picik dan kekanak-kanakan. 
Hanya memanifestasikan "nasionalisme-sempit" dan "ketidak-jujuran", 
kengganan untuk mengakui kesalahan fatal yang telah dilakukan sendiri 
(oleh TNI-Orba). Ketiadaan rasa tanggungjawab terhadap pelanggaran HAM 
begitu besar yang dibuat oleh TNI-Orba terhadap rakyat Timor Timur. 
Mengenai ini seyogianya perlu ditulis agak panjang lebar. Pers Indonesia 
sepantasnya tidak tinggal diam mengenai soal ini.


*Raja Mobil FORD Akan Pecat 30.000 Karyawan ; Tutup 14 Pabrik*


Tetapi kali ini, penulisan tentang Timor Timur tsb ku-tanggunghkan dulu, 
karena lebih terrangsung untuk menanggapi sedikit tentang rencana raja 
mobil FORD, untuk memecat sekitar 30.000 karyawannya dan menutup 14 
pabriknya di bagian Utara AS.


Hari ini aku lebih pagi turun ke lantai dasar flat kami, untuk mengambil 
koran pagi langganan kami "de Volkskrant". Perlu untuk membaca berita 
yang kudengar dari BBC, sekitar rencana perusahaan raja mobil Ford 
memecat puluhan ribu buruhnya. Aneh juga, berita yang begitu ramai 
dikomentari pers dunia, tapi "de Volkskrat" masih belum ada. Brangkali 
masih 'mikir-mikir' bagaimana mengomentarinya. Atau mungkin berita tsb 
terlambat diterimanya. Sudah tidak sempat lagi untuk memberikan tanggapan.


Amerika Serikat, kita tahu, adalah 'simbolnya', 'pusatnya' kapitalisme 
dunia. Sekarang ini, AS adalah negara 'adikuasa' tunggal di dunia, 
sesudah runtuhnya Uni Sovyet. Oleh mantan Presiden Reagan dan banyak 
pakar dan penulis pembela sistim kapitalisme, di mancanegara maupun di 
Indonesia, -- runtuhnya 'Tembok Berlin' dan Uni Sovyet beserta Comecon 
plus Pakta Warsawa, --- dengan bangga dan sombong diklaim sebagai 
kemenangan mutlak 'kapitalisme' atas 'komunisme'.


Suatu pernyataan yang agak aneh; tidak didukung oleh fakta. Karena 
sebagai suatu sistim ekonomi, 'komunisme' itu belum ada di dunia ini. 
Khrushchov pernah bertepuk dada bahwa dalam abad ke-20 Uni Sovet akan 
mulai memasuki sistim komunisme. Tetapi hal itu tak pernah terjadi. 
Khruschov keburu digulingkan. Mao Tse-tung menempuh kebijaksanaan 'maju 
melompat besar' dan membangun 'komune rakyat', untuk mempercepat 
realisasi 'komunisme' di Tiongkok. Tetapi itupun gagal. Ditambah lagi 
dengan diluncurkannya 'Revolusi Kebudayaan', ekonomi nasional Tiongkok 
nyaris ambruk total. Teng Hsioping yang mengambil oper kendali 
kepemimpinan Republik Rakyat Tiongkok, menempuh jalan 'sosialisme 
Tiongkiok'. Hasilnya, ialah seperti yang bisa dilihat sendiri. Dunia 
Barat melihat Tiongkok sekarang yang menempuh jalan 'sosialisme 
Tiongkok' tsb dikhawatirinya akan menjadi suatu 'super power' yang 
menyaingi AS, Jepang dan Eropah Barat.


Jadi, di dunia ini nyatanya tidak ada satupun negeri yang melaksanakan 
sistim ekonomi 'komunisme'. Seperti yang mereka katakan sendiri, sistim 
yang mereka sedang bangun adalah 'sistim sosialis'. Itupun masih dalam 
proses 'eksperimen'.


Baiklah, sekarang kita kembali mengenai kapitalisme yang dikatakan telah 
mengungguli sistim-sistim lainnya di dunia. Apa betul kapitalisme telah 
demikian unggulnya di dunia?


Rencana pemecatan 30.000 karyawannya dan penutupan 14 pabrik-pabriknya 
di Amerika Utara, dijelaskan, karena Ford menderita kerugian. Supaya 
jangan lebih rugi lagi, maka 'terpaksa' puluhanribu buruh-buruhnya 
dipecati. Pada hal tahun lalu pernah dinyaatakan bahwa setahun penuh 
y.l. (2005) secara keseluruhan Ford tetap untung, mencapai sebesar US$ 
2,5 milyar (BBC, 23 Jan 2006). Tahun lalu juga General Motors Co 
(Amerika Utara) mengumumkan rencananya akan menghemat US$ 2,5 milyar 
dengan memecat 30.000 buruh-buruhnya di pabrik-pabriknya di 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS ON EAST TIMOR, 26 JAN 2006.

2006-01-25 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA'S FOCUS ON EAST TIMOR, 26 JAN 2006.

*==*

*-- Xanana's meeting with Susilo cancelled *

*-- The UN Timor report: Still a pebble in our shoe? *

*==*

*Xanana's meeting with Susilo cancelled*

JAKARTA (AFP): A meeting between the Indonesian and East Timorese 
leaders was cancelled Wednesday and a trip to Dili by a reconciliation 
body scrapped, amid tension over a report on atrocities which the 
Indonesian military committed there.

The secretary of East Timorese President Xanana Gusmao said last week 
that Xanana would meet President Susilo Bambang Yudhoyono on Friday to 
brief him about the internationally-funded report.

Xanana delivered the report, which said at least 102,800 Timorese died 
as a result of Indonesia's 24-year occupation, to UN Secretary General 
Kofi Annan last Friday.

But palace press official Garibaldi Sujatmiko said no meeting was 
scheduled.

"It's not on the agenda," he said, declining to elaborate.

The London-based /Financial Times/ said that anger in the Indonesian 
capital over the report had forced the visit to be called off, according 
to officials from both countries.

It reported that East Timor's ambassador to Jakarta, Arlindo Macal, said 
Tuesday that the cancellation marked the first time since 1999 that 
Indonesia had torpedoed an official meeting.

The ambassador told /AFP/ that the meeting had been proposed for Friday 
by the East Timorese government.

"But this morning, we received an official verbal note from the 
government which said that because of unpredictable engagements of the 
president, the meeting could not be held," Macal said, added that he 
hoped another date would be proposed.

/The Financial Times/ said Jakarta was upset by Xanana's decision to fly 
to New York to submit the report to the UN personally, and also upset 
that its contents were leaked to the media.

The report was compiled by the Commission for Reception, Truth and 
Reconciliation (CAVR) in East Timor. More than 7,000 victims testified 
on human rights violations committed between April 1974and October 1999.

It blamed the deaths, most of them due to hunger and illness, on the 
policies of Indonesia's military toward East Timor's civilian population.

CAVR submitted its report to the East Timorese government months ago. 
But Xanana, who played down its findings during Friday's handover, had 
wanted to keep it under wraps for fear of irritating its powerful 
neighbor. (**)



*The UN Timor report: Still a pebble in our shoe?*

*Ati Nurbaiti*, The Jakarta Post, Jakarta, 25.01.06

The denial of former occupiers of their deeds, through the omission or 
near invisibility in the history they teach their children, is 
disturbing, to say the least, in the eyes of the formerly oppressed.

We sense such resentment from older Indonesians who survived Japanese 
occupation, for instance, when they hear reports of Japan's reluctance 
to revise its history books, so young Japanese can understand the 
atrocities committed by the country's soldiers during World War II.

Fast-forward to 10 years from now and try to imagine how the history 
books in Timor Leste, formerly East Timor, will depict Indonesia.

What Indonesians are taught is that our freedom fighters struggled to 
their last drop of blood against cruel Dutch and Japanese occupiers. 
Regarding East Timor, our children are still taught that in 1975 we came 
to the rescue after Portugal abandoned its impoverished colony, and that 
we lost many brave men fighting the Fretilin rebels, helping to save the 
world from a potentially dangerous communist power.

Last Friday, the world heard a different version of what took place in 
East Timor. A dapper Timor Leste President Xanana Gusmao delivered to 
the United Nations a report from the young nation's Truth, Reception and 
Reconciliation Commission. The report is said to be over 2,000 pages 
thick, containing the testimony of over 7,000 people who experienced 
life under Indonesia.

We know from leaked fragments of the report not only that some 183,000 
East Timorese are said to have died directly and indirectly as a result 
of the 24-year occupation, but also that murder, torture, rape and 
starvation were deliberately used as weapons to ensure the subservience 
of the populace.

The report only confirms what was reported for decades by foreign 
journalists and activists -- but it is now an official document of the UN.

Indonesians seem to sense, or hope, the report will not cause any major 
turmoil in the international community. Indonesia has already gone 
through the humiliation of losing East Timor, and Timor Leste is 
naturally going through the teething problems of a new and poor country 
-- with only its much larger neighbor to rely on. The big powers that 
assisted Timor Leste in the separation have largely left to help people 
elsewhere.

Xanana himself has repe

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Memasuki 'TAHUN-ANJING' --- Dengan Memperkuat,,Pembangunan NASION INDONESIA

2006-01-26 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA*

*-*

*Jumát, 27 Januari 2006.*


*Memasuki 'TAHUN-ANJING' --- Dengan Memperkuat *

*Pembangunan NASION INDONESIA*


Apakah judul kolom ini terlalu opstimis, menjurus ambisius? Atau 
barangkali bisa dianggap berbau 'nasionalistis' ? Jelas, tidak!


Karena, -- puluhan tahun yang lalu, sejak b a n g s a Indonesia 
memulai perjuangan melawan kolonialisme Belanda untuk mencapai 
kemerdekaan bangsa dan tanah air, sebagai suatu bangsa yang masih muda 
sekali, masalah perjuangan kemerdekaan, selalu berkaitan dan menyatu 
dengan masalah pembangunan nasion Indonesia.


Maka, dari segi ini, pernyataan atau mungkin lebih tepat disebut p r o k 
l a m a s i SUMPAH PEMUDA 28 Oktober 1928, bukanlah suatu kebetulan. Di 
satu segi ia cetusan hasrat yang didasarkan atas kesadaran bahwa tujuan 
mulya untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa dan tanah air, tidak bisa 
terpisah dari usaha persatuan seluruh bangsa. Sedangkan persatuan bangsa 
sangat erat kaitannya dengan masalah pembangunan nasion Indonesia.


Perjuangan melawan kolonialisme Belanda sampai saat bersejarah 
diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 
1945, --- dilanjutkan dengan perjuangan untuk membela Republik Indonesia 
dari rongrongan, subversi neo-kolonialisme dan imperialisme, adalah 
tahap-tahap dan periode perjuangan yang kaya dengan nama-nama para 
pejuang pendahulu dan pahlawan bangsa. Kita mengenal nama-nama 
pejuang-pejuang nasion yang mencerminkan pelbagai suku bangsa Indonesia, 
seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Semaun, Alimin, K.H. Wahid Hasjim, Sukarno 
dll -- asal suku-bangsa Jawa; Moh. Hatta, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, 
Syahrir, Haji Agus Salim, dll dari suku-bangsa di Sumatra; Leimena, 
Latuharhary, dll dari suku-bangsa di Maluku; L.N. Palar, Sam Ratulangi, 
A. Mononutu, Salawati Daud, dll --- dari sukubangsa di Sulawesi, dan 
banyak lagi dari suku-bangsa lainnya di Indonesia. Juga tidak 
ketinggalan pejuang nasional Indonesia berasal bangsa asing, seperti 
Setia Budi (Douwes Dekker), Dahler dll -- dari etnik Indo-Belanda, -- 
Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Tjoa Sek Ien, John Lie, Tan Po Goan, 
Ong Eng Die dll , dari etnik - Tionghoa, dan banyak lainnya. 
Keseluruhannya itu adalah mutiara-mutiara dalam sejarah bangsa, yang 
menunjukkan betapa demi kemerdekaan tanah air dan bangsa serta 
pembangunan nasion Indonesia, mereka-mereka itu telah memberikan dharma 
baktinya kepada tanah air dan bangsa.


Dewasa ini kita telah melalui pelbagai fase perjuangan bangkit 
berdirinya nasion Indonesia, dengan telah direbutnya kembali kebebasan 
demokratis, seperti hak untuk menyatakan pendapat, berorganisasi, 
kebebasan pers, dll. Namun, masalah pembangunan nasion Indonesia masih 
tetap merupakan salah satu tugas inti yang masih terus harus 
diperjuangkan, untuk mencapai cita-cita terlaksananya hak-hak demokrasi 
sepenuhnya, HAM, keadilan dan kemakmuran yang merata, serta Indonesia 
yang bersatu dan menyatu dari Sabang sampai Merauké.


Memasuki tahun baru Imlek 2006, menyambut TAHUN ANJING, kita menghadapi 
kenyataan positif bahwa, Imlek bukan lagi suatu hari raya bagi 
warganegara Indonesia asal etnik-Tionghoa semata-mata. Pemerintah pasca 
Reformasi telah mengambil keputusan bahwa hari raya Imlek adalah (salah 
satu) hari raya nasional Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari Hari 
Raya Imlek sudah lama menjadi hari raya yang dirayakan bersama oleh 
penduduk Indonesia. Berbeda dengan apa yang terjadi selama periode Orba 
ketika diskrimninasi terhadap w.n.i. asal etnik Tionghoa adalah politik 
resmi penguasa. Sejak gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang telah 
berhasil menggulingkan pemerintahan Jendral Suharto, banyak terjadi 
perubahan; khususnya yang menyangkut perlakuan sama terhadap w.n. asal 
etnik Tionghoa. Ini adalah hasil perjuangan s e l u- -r u h kekuatan 
Reformasi dan Demokratisasi. Hasil usaha susah payah seluruh bangsa.


Tokh, harus dicatat bahwa sisa-sisa politik diskriminasi Orba terhadap 
wargananegara sendiri, khususnya terhadap asal etnik Tionghoa masih 
tampak dan dirasakan. Oleh karenanya hal itu masih merupakan salah satu 
program aksi dan perjuangan yang harus diteruskan.


Yang perlu diperhatikan ialah bahwa perjuangan itu tidak seharusnya dan 
pula tidak mungkin mencapai tujuan akhirnya, bila ia dilakukan secara 
tersendiri-tersendiri dan terpisah-pisah dari perjuangan untuk demokrasi 
secara keseluruhan. Untuk bisa mencapai hasil yang diharapkan hal itu 
harus dilakukan sebagai bagian dari perjuangan yang lebih hesar dan 
menyeluruh untuk demokrasi, HAM dan keadilan sosial; lagipula harus 
dilakukan tanpa membeda-bedakan apakah korban pelanggaran hak-hak 
manusia itu, berasal dari warganegara asal etnik tertentu. Seyogianya 
perjuangan dilakukan tanpa memilah-milih apakah para korban tsb berasal 
dari peristiwa pembantaian 1965, peristiwa Malari, peristiwa Tanjung 
Priok, Mei 1998 dan lain-lain korban pelanggaran HAM oleh penguasa. 
Ataukah itu akib

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- FOCUS on ACEH, ISLAM -- 30.01.06

2006-01-30 Thread I. Bramijn
=

**IBRAHIM ISA'S -- FOCUS on ACEH, ISLAM -- 30.01.06 **

*=*

*** * * Aceh, the crucial step**

*** * * Radicalism and authoritarianism **

** * * 'Hijra' toward good governance*



**Aceh, the crucial step** , The Jakarta Post Editorial, 30.01.06

The government submitted the final draft of its Aceh government bill to
the House of Representatives on Thursday, a major step following the
historic peace agreement signed in Helsinki last August by Indonesia and
the Free Aceh Movement (GAM).

All eyes will be on the House when it begins deliberating the bill,
which must be passed ahead of elections in Aceh the Helsinki agreement
says should be held in April.

This newspaper reported on Saturday that sections of the draft bill are
in accordance with the agreement, such as the schedule of the elections.
Other sections raise questions about the government's goodwill,
including the proposed clause allowing for the redrawing of Aceh's
borders to form new districts, regencies or provinces. It brings to mind
the battle of wills between Jakarta and Papua, whose leaders often beg
to differ with the government's claim that major decisions are always
taken in their best interest.

It is our sincere hope enough members of the House will, when
deliberating the Aceh bill, be able to open their hearts and minds to
the hopes and wishes of the Acehnese, and to the spirit of peace in the
Helsinki agreement. This is crucial to balancing the hawks, who must be
seen by their patrons and supporters to be defending the "interests" and
very existence of the nation as we know it.

Already, there has been a perceivable dominance of the debate
surrounding the issue of government in Aceh by "nationalists". They are
usually much louder than their opponents and find a ready audience,
because Indonesians, including members of the press, have been brought
up to understand that the legacy of the unitary state must be preserved
at all costs, given the sacrifices of our brave freedom fighters --
never mind that Indonesia itself may have later acted as a ruthless
colonialist, using violence as a tool of suppression and robbing whole
communities of their livelihoods.

The resulting absence of any need to look at the issue from the eyes of
those in Aceh who have grown up surrounded by soldiers and violence,
coupled with nationalist groups raising the dreadful image of losing
another province, like we lost East Timor, clears the way for
legislators always on the lookout for any concessions to GAM, either for
the sake of the nation, or to help them keep their seats in elections in
2009.

It was a torturous road to Helsinki itself, with many earlier failed
attempts at peace. Ironically, the devastating tsunami on Dec. 26, 2004,
was a major factor in bringing the two sides together to reach an
agreement to end the violence in the province.

To us, it is unthinkable, though far from impossible, that all of the
suffering of the Acehnese could just be forgotten as politicians debate
this draft bill. But the signs that this could be the case first
appeared as far back as when the negotiators were meeting in Helsinki
and the final agreement was announced. Acehnese crowded around their
television sets and rejoiced at the prospect of peace, finally, and a
sense of security for themselves and their families.

But in Jakarta, some legislators were already baring their red-and-white
souls, saying concessions like local political parties were a betrayal
and a potential threat to the unitary state.

What if the Acehnese who remained rebels at heart mustered enough
support and won the elections, paving the way for another calamity like
East Timor?

On the front line defending the legacy of founding president Sukarno was
his daughter, former president Megawati Soekarnoputri, of the Indonesian
Democratic Party of Struggle, and the self-proclaimed woman leader, or
"Cut Nyak" of Aceh.

It was she who felt that the Helsinki agreement threatened the existance
of the Indonesian state.

The rhetoric was toned down a bit as President Susilo Bambang Yudhoyono
and Vice President Jusuf Kalla, who held a friendly meeting with GAM
leaders in Finland's capital on Jan. 20, reiterated their commitment to
the peace process.

The fate of the people of Aceh now lies in the hands of legislators. We
can only hope they will remember the millions of Acehnese who are
looking to the future as they try to overcome their losses from war and
natural disaster, and defeat their colleagues in the House who are only
looking to elections in 2009.

---

**Radicalism and authoritarianism **

**M Hilaly Basya*, Jakarta*

*In Islam, the authoritative texts are the Koran and Hadith of Prophet*
*Muhammad. Both are the main reference in the life of Muslim

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON HUSSEIN TRIAL - 31 Jan 06

2006-01-31 Thread I. Bramijn
*-
IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON HUSSEIN TRIAL - 31 Jan 06*

*-*

 Hussein trial descends into a legal farce*

 Saddam Hussein hearings: a show trial orchestrated in Washington*

*-*

*Hussein trial descends into a legal farce*

By Peter Symonds
31 January 2006



When it resumed last Sunday, the trial of Saddam Hussein soon became a 
shambles, once again underlining the bogus character of the court set up 
and managed by the Bush administration.

Under pressure to speed up proceedings, the newly-installed chief judge, 
Raouf Abdel-Rahman, told the court that he would not tolerate political 
speeches. “Any irrelevant remarks will be struck from the record, and 
anyone who breaks the rules will be removed from the courtroom and tried 
as if he were present,” he declared.

Abdel-Rahman ordered Barzan Ibrahim al Tikriti forcibly removed when the 
former Iraqi intelligence chief questioned the legitimacy of the court, 
describing it as “a bastard child”. Tikriti, who has cancer, was 
complaining over the lack of proper medical treatment. Four bailiffs 
seized Tikriti and physically dragged him out of the courtroom.

Amid shouts of “Down with the traitors! Down with America!” by the 
defendants, Abdel-Rahman threatened to prosecute one of the defence 
lawyers, Salih Armouti, a Jordanian. “You have incited your clients and 
we will start criminal proceedings against you,” the judge declared, 
ordering that the lawyer also be removed from the court.

The rest of the defence team walked out in protest, ignoring repeated 
threats from Abdel-Rahman that they would not be allowed to return. 
Hussein protested over the imposition of court-appointed lawyers as his 
defenders and left the court, denouncing the chief judge.

When the proceedings finally resumed, the four main defendants, along 
with their defence lawyers, had either been removed or left the 
courtroom in protest. Yet the chief judge continued with the trial for 
the next three hours, taking evidence from witnesses, which went 
unchallenged by the court-appointed defence lawyers.

Hussein and his co-defendants have been charged with the killing of 148 
men and teenage boys from the mainly Shiite town of Dujail in 1982. The 
murders took place following an assassination attempt on Hussein by 
members of the Shiite-based Da’wa Party in the midst of the Iran-Iraq war.

The court and its US advisers narrowly defined the charges against 
Hussein quite deliberately. For the Da’wa Party, which is prominent in 
the current Iraqi puppet regime, the prosecution of the Dujail massacre 
will help to bolster its flagging support among Shiites. For Washington, 
the atrocity conveniently has no obvious connection to the US 
administration of the day.

The Bush administration has been concerned from the outset to prevent 
Hussein from using any trial, as former Yugoslav president Slobodan 
Milosevic has done, to expose the complicity of the US in the crimes 
alleged against him. Washington insisted that Hussein be tried in Iraq, 
rather than by an international tribunal, so as to maintain tight 
control over the proceedings.

However, the trial, which began on October 19, has gone from one crisis 
to the next. The former chief judge, Rizgar Muhammad Amin, tried to give 
the trial a veneer of legitimacy by appearing to be even-handed and 
allowing Hussein and his defence lawyers the opportunity to challenge 
proceedings. He was bitterly criticised by government ministers and in 
the US for failing to control proceedings tightly enough.

Visiting Baghdad in late December, Senator Arlen Specter, chairman of 
the US Senate Judiciary Committee, told Amin that he was disappointed 
that Hussein had been allowed to “dominate” the trial. “You have a 
butcher who has butchered his own people, a torturer who has tortured 
his own people. The evidence ought to be presented in a systematic way 
which would show that there’s been quite an accomplishment in taking 
[Hussein] out,” he declared. In other words, the purpose of the trial 
was not to determine Hussein’s guilt but to politically justify the 
illegal US-led occupation of Iraq.

Amin resigned as chief judge on January 9, saying he was fed up with 
criticism from high-ranking government officials. The remainder of the 
five-judge panel hearing the case designated Judge Said Hammashi to 
replace Amin but he quickly came under fire. Ali Lami, head of the 
government’s de-Baathification commission, accused Hammashi of being a 
former member of Hussein’s Baath Party. Hammashi denied the accusation 
but was transferred off the case and Abdel-Rahman appointed in his place.

This blatant political manipulation of the court provoked warnings from 
the US-based Human Rights Watch (HRW) last week that the entire process 
may be seen as illegitimate. “The demand for Pres

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON MALUKU AND PAPUA

2006-02-01 Thread I. Bramijn
*==*

*IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON MALUKU AND PAPUA*

*==*

*Separatism in Papua: Perceptions or misperceptions on Papuans *

*Two Maluku terror suspects could get firing squad *

*--*

*Two Maluku terror suspects could get firing squad*

*M. Azis Tunny*, The Jakarta Post, Ambon

Ambon prosecutors on Tuesday asked for death sentences for two Muslim 
militants accused of plotting a February 2004 attack on a karaoke bar in 
which two people were killed.

Prosecutors told the Ambon District Court that Idi Amin Tabrani 
Pattimura, alias Ongen Pattimura, and Fatur Datu Armen should face the 
death penalty for masterminding the Feb. 14 attack on the Villa karaoke 
bar in Hative Besar village, Teluk Ambong Baguala district.

The pair have been charged under the 2003 Law on Terrorism.

Prosecutors said Ongen and Fatur led a group armed with six weapons, 
including three M-16 rifles.

"The weapons used to belong to the hard-line Laskar Jihad group," a 
prosecutor, Nunik Triyana, said.

Members of the group police accuse of carrying out the attack are Ismail 
Yamsehu, Syarif Tarabubun, Ridwan Lestaluhu, Ancu Pary, Nachrum 
Wailissahalong, Samsul Bahri Sangadji, Muthalib Patty, Thaha Assagaf, La 
Udin, La Ode Rusdi, Rusli Amiluddin and Mitho.

Police formally charged some of these men in earlier trials, Nunik said.

The two victims in the karaoke bar attack -- Siti Ratnawaty and Yondry 
Patiruhu -- were both shot in the head, Nunik said. After the attack, 
the group's weapons were hidden at the State Institute for Islamic 
Studies in Ambon.

"(Ongen and Fatur) planned acts of terrorism to spread fear among the 
public, kill people and to destroy public property," Ridwan Massry, 
another prosecutor, said at Fatur's trial.

Ongen, a resident of Batumerah in Ambon, is a father of four who comes 
from Latu village in Western Seram regency. A former political science 
student at the State Institute for Islamic Studies, he owns a cafe at 
Batumerah and once stood as a legislative candidate for the Prosperous 
Justice Party in the 2004 general election.

Fatur, from Makassar, South Sulawesi, came to Ambon as a member of the 
Laskar Jundullah and Wahdah Islamiyah militant groups. He later married 
a local woman, and lived in Ambon as a fuel seller.

Known locally as a religious teacher, police also believe he has 
information about another attack on a Lokki Police Mobile Brigade 
(Brimob) post in May 16 last year. Six people died in that attack, 
including five police officers.

The trial of the two suspects was heavily guarded, with a truck of 
Brimob police officers escorting the pair to and from the court. Twenty 
more policemen in riot gear also stood guard at the court's entrance gate.

Tensions were high during the trial, with at least 100 people, who 
claimed to be members of the suspects' families, staging a noisy rally 
outside the courthouse. When the group heard the prosecutors had 
demanded death sentences for Ongen and Fatur, some became hysterical and 
several women fainted.

Sity Wakano, Ongen's aunt, said she believed the trial was politically 
motivated. "This is not fair. Why haven't the masterminds of the Jan. 
19, 1999, case, which led to a riot in Maluku, been arrested and 
sentenced? What about those who incited the arson of the Maluku 
governor's office and the legislative building; why haven't they also 
been caught and put on trial?"

In a separate trial, another militant, Asep Jaja, is also facing the 
death penalty for his alleged involvement in two attacks -- one at 
Wamsisi village and another on the Lokki Brimob post.


TERROR DETERRENCE: Asyad Massry, a prosecutor in the trial of suspected 
terrorist Fatur Datu Armen, is surrounded by heavily armed guards after 
a session at the Ambon District Court. Other prosecutors were also well 
protected before and after Monday's hearings. /(JP/Azis Tunny)// /

//



*Separatism in Papua: Perceptions or misperceptions on Papuans*

*Benny YP Siahaan*, Jakarta -- Jkt Post Editorial, 1 FEb 2006.

On the surface, recent developments in Papua province look promising. 
These could be best epitomized by the decision of the government to pass 
a special autonomy law in 2001 and the establishment of Papuan's 
People's Council (MRP) in 2005. It was expected that the decisions would 
cater to the needs and concerns of Papuans and diminish separatist 
aspirations in the province. Indeed, theoretically and empirically, 
autonomy has been able to quash rebellions and separatism in various 
parts of the world.

However, despite the positive development, separatist aspirations in 
Papua are not subsiding. Besides Aceh, separatism in Papua is considered 
one of the most stubborn rebellions confronting the Indonesian

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- 'PANTA REI' ----- Di Mana-Mana

2006-02-03 Thread I. Bramijn
IBRAHIM ISA dari BIJLMER

--

Jum át, 03 Februari 2006.

*'PANTA REI' - Di Mana-Mana*

*===*

Menelusuri berita perkembangan di pelbagai bidang kehidupan masyarakat 
manusia, yang berlangsung di segenap penjuru dunia, --- bagiku adalah 
suatu kebutuhan. Kebutuhan yang sudah menjadi kebiasaan. Suatu kebiasaan 
yang lahir di tengah-tengah kehidupan itu sendiri.


Dorongan yang paling kuat timbul dari: --- Hasrat yang selalu ingin 
tahu. Apa gerangan yang terjadi di luar kita. Bagaimana dan apa yang 
difikirkan orang lain mengenai pelbagai hal dan masalah. Apakah pada 
orang lain terdapat kebenaran yang masih belum terungkap. Salah satu 
tujuan yang diharapkan ialah, menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, 
-- memeriksa kembali, apakah yang difikirkan sendiri selama ini, apa 
sudah benar dan sesuai dengan kenyataan. Maksud hati hendak mengikuti 
kearifan yang terungkapkan dalam kata-kata mutiara: 'THINK AND RETHINK'.


Dalam kehidupan masyarakat zaman mutakhir, sungguh, tidak terlalu sulit 
untuk melakukan proses 'Think and Re-Think". Asal saja mau mengambil 
waktu untuk melakukannya. Bukankah ilmu dan teknologi di bidang 
komunikasi sudah begitu berkembang dan melesat terus. Tak pernah terjadi 
sebelumnya, terpampang di hadapan mata, samudra informasi yang bisa 
diperoleh lewat siaran radio, TV, dan media pers. Dengan menjamurnya 
perusahaan tilpun HP, yang saling bersaing dengan gairahnya, maka 
berhubungan lewat SMS dari satu pojok dunia ke pojok yang berlawanan, 
melakukan komunikasi langsung dan tak langsung, hampir tak terbatas. 
Menjadi lebih mudah dan murah adanya . Apalagi ditambah dengan 
penggunaan computer berikut akses ke internet, --- bagi yang beruntung 
bisa memilikinya, atau menyewanya di internet-cafe,  maka adakah 
lagi alasan yang sahih, untuk terus berpangku tangan, asyik 'ngeloni' 
lamunan masa lampau? Suatu 'impian' yang dalam bahasa asingnya sering 
dikatakan no s t a l g i. Dengan kata lain: merekareka masa mendatang 
tanpa memiliki informasi yang cukup, tanpa THINK AND RE-THINK.


Tokh tidak bisa dielakkan bahwa n o s t a l g i itu, -- juga merupakan 
bagian dari kehidupan yang wajar. Yang tanpa dirancangkan, tanpa 
dikehendaki, tiba-tiba muncul dalam benak manusia.


Ungkapan "PANTA REI" umum digunakan untuk menyatakan perubahan yang tak 
henti-hentinya berlangsung dalam peri kehidupan manusia. Apakah itu 
kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, atau bidang lainnya. Sering 
juga dikatakan bahwa kehidupan itu sendiri adalah suatu proses "PANTA 
REI" yang tak kunjung henti.


Menurut catatan sejarah yang tertulis, ungkapan 'PANTA REI' dikemukakan 
oleh salah seorang akhli filsafat Junani kuno, H e r a c l i t u s 
namanya. Ia hidup sekitar tahun 540-an SM . PANTA REI 
artinya SEMUA MENGALIR. Segala sesuatu mengalir, segala sesuatu BERUBAH. 
Tidak ada yang tetap, tidak ada yang abadi. Yang abadi itu adalah p e r 
u b a h a n itu sendiri. Heraclitus mengatakan bahwa kita tidak mungkin 
turun kesungai yang sama, karena air yang mengalir di sungai itu 
bergerak terus. Yang lewat seketika berlalu, dan mengalir air yang baru, 
lain dari yang terdahulu.


Sayang sekali, kearifan manusia lebih dua ribu tahun yang lalu tsb 
banyak dilupakan orang. Bila sedang berada 'di atas angin', seperti 
halnya orang-orang dari rezim Orba, tokoh-tokoh seperti mantan Presiden 
Suharto, keluarganya dan segenap pendukungnya, mengidamkan, memimpikan 
bahwa 'kejayaan' Orde Baru akan abadi, paling tidak sepanjang hidup 
mereka dan keturunannya.


Di sebelah lainnya, --- juga. rakyat kecil yang tertindas dan 
didiskriminasi, kaum nasionalis progresif pendukung Bung Karno, golongan 
Kiri, Komunis, Demokrat dan orang-orang yang mendambakan keadilan, tidak 
sedikit yang putus asa. Ketika itu mereka amat mengkhawatirkan bahwa 
rezim Orde Baru yang bergelimang dengan KKN dan melakukan penindasan HAM 
tanpa bandingnya dalam sejarah kita, akan berlangsung terus. Karena, --- 
Orde Baru, dengan tentara dan Golkarnya, begitu berkuasa. Merajai, -- 
boleh dikatakan - semua bidang kehidupan. Mereka mengangkangi setiap 
pelosok . Di pojok manapun ada 'orang-orang' mereka. Yang transparan 
'legal' maupun yang berselubung, yang misterius dan yang preman. Maka, 
tidak ada yang menduga bahwa pada bulan Mei 1998 akan terjadi PERUBAHAN.


PANTA REI. Segala sesuatu berubah. Tidak ada yang abadi! -- Gerakan 
Reformasi dan Demokratisasi meledak dan bergejolak! Presiden Jendral 
Besar Suharto dipaksa turun panggung. "Lengser keprabon", kata para 
pemujanya! Cukup lama, 32 tahun, tetapi tokh akhirnya tumbang juga 
penguasa tunggal Indonesia asal Godéan kemudian bermukim di Jalan Cendana !


Mei 1998. --- Adili Suharto! Gantung Suharto - Bubarkan Golkar! . . . . 
teriak lantang ratusan ribu pengunjuk rasa di jalan-jalan Jakarta, 
Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Manado dan banyak kota-kota lainnya 
di Nusantara. Tuntutan itu datang langsung dari para p

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON INDON. ECONOMY

2006-02-06 Thread I. Bramijn
*=*

*IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON INDON. ECONOMY*

==

*+ + Iflation looms high*

*+ + 200 BUMN officials probed over graft *

*+ + Indonesia overseas debt $61.04b at end 2005 *

**




*Iflation looms high* , Jakarta Post Editorial, 06-02-2006

The 1.36 percent monthly inflation in January, as against a deflation of 
0.04 percent last December, is quite worrisome because almost half of 
the increase in the consumer price index was generated by price rises 
caused by supply shocks, not by the demand side, which could be resolved 
with monetary tools.

The Central Statistics Agency (BPS) announced last week that 0.72 
percent of the 1.36 percent headline inflation was core inflation -- 
price rises caused by normal changes in the demand-supply equation. The 
other 0.64 percent was generated by extreme changes in the prices of 
basic needs, notably rice and processed food and transportation 
services, due to supply shocks, which could be triggered either by 
supply shortages, disruptions in distribution or increases in the prices 
of goods.

Since rice production this year is estimated to be slightly larger than 
last year's output level of 32.5 million tons and the government did not 
make any changes in the administered prices of basic goods or services 
last month, the supply shocks that triggered price hikes of between 10 
and to 23 percent in rice and processed food should have been caused by 
disruptions in distribution.

Natural disasters such as flooding and landslides that took place in 
many parts of the country caused major damage to already inadequate 
roads and bridges and adversely affected the distribution of numerous 
essential goods.

Inflationary pressure is estimated to remain persistently strong within 
the next two to three months due to several factors. First, because the 
rainy season will end only later this month, distribution networks are 
expected to return to normal only by next month; second, since rice 
harvests are to begin only later this month or early March, the rice 
price, which accounts for more than 35 percent of the consumer price 
index, will remain higher than the government-set retail ceiling price; 
and third, the public's inflation expectations will remain high due to 
the government plan to raise electricity rates within the next few weeks.

The high inflation and the U.S. Fed's decision last week to further 
raise its key interest rate to 4.5 percent could become a strong 
pressure or temptation for the central bank to further tighten its 
monetary stance by raising its benchmark short-term interest rate (BI 
rate) from its current level of 12.75 percent.

The central bank is indeed facing a dilemma with regards to its monetary 
management. If the interest rate differentials between Indonesia and the 
United States become negative for rupiah assets, portfolio investors may 
shift their investment in rupiah securities to dollar assets, setting 
off downward pressure on the rupiah.

However, because the core inflation last month was only 0.72 percent or 
9.68 percent on a year-on-year basis, it would be counter productive and 
even an inflation overkill if the central bank immediately jacked up its 
interest rate as it did in early November after the announcement of 8.70 
percent monthly inflation in October due to the doubling of fuel prices.

The high inflation last month was by no means entirely a monetary 
phenomenon because 0.64 percent of the 1.36 percent rise in the consumer 
price index was fueled by the supply shocks associated with weather and 
seasonal patterns.

A tighter monetary measure may simply worsen the price level and 
economic growth. Moreover, as the finance minister estimated last 
October, higher interest rates would affect the fiscal sustainability 
and consequently raise the country's sovereign risks because every one 
percentage point rise in the BI interest rates would increase the 
interest costs of the government bonds by Rp 3.5 trillion (US$350 million).

The biggest challenge for the government now is to devote the bulk of 
the fiscal stimulus (pump priming) it will spend this year to 
infrastructure improvement to facilitate the flow of goods. The 
long-awaited new package of reform measures to help businesses control 
their costs has become even most imperative.

On the other hand, Bank Indonesia is facing the formidable task of 
striking a balance by maintaining the interest rate differentials high 
enough to prevent capital flight to dollar assets, and yet not too high, 
thereby choking businesses with a punitively tight credit crunch and 
causing more bad loans.







*200 BUMN officials probed over graft*

*Apriadi Gunawan*, The Jakarta Post, Medan

At least 200 officials at state-owned companies (BUMNs) are being 
investigated for their alleged involvement in graft and abuse of 
authorit

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BACA Tulisan ASWI ADAM: PRAMUYDA A. TOER Sebagai SEJARAWAN

2006-02-08 Thread I. Bramijn
*Kolom IBRAHIM ISA
-
Rabu, 8 Februari 2006

BACA Tulisan ASWI ADAM: PRAMUYDA A. TOER Sebagai SEJARAWAN
*

Tuisan sejarawan Ahli Peneliti Utama LIPI, Dr Aswi Warman Adam, sungguh 
baik dan perlu sekali diperhatikan dan didalami. Ditulis dengan kritis 
dan dengan pandangan sejarah yang berbeda dengan pandangan kebanyakan 
sejarawan Indonesia sekarang. Aswi Adam mentrapkan pandangan sejarah 
yang maju!

Penting a.l. untuk diperhatikan dan didalami, apa yang ditulis Aswi Adam 
tentang Pram, a.l.:

*"Tahun 2001, dalam Kongres Nasional Sejarah Indonesia, saya mengajukan 
beberapa nama untuk menjadi anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan 
Indonesia). Apresiasi itu diberikan kepada tokoh yang tidak 
berpendidikan formal sejarah atau berprofesi sehari-hari sebagai 
sejarawan, namun dianggap berjasa dalam penulisan sejarah Indonesia.

Hanya dua orang yang disetujui, yaitu Rosihan Anwar dan Ramadhan K.H., 
sedangkan Pram tidak diterima. Padahal, para sejarawan Indonesia lainnya 
dapat belajar banyak dari karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Dia 
demikian dihargai di luar negeri, namun di tanah airnya sendiri hanya 
dipandang sebelah mata. Negeri ini memang penuh ironi."

*Catatan Aswi Adam tsb mendorong kita untuk menyadari betul, bahwa 
masyarakat kita ini, khususnya pemerintah, termasuk banyak 
cendekiawannya, inklusif banyak sejarwannya, fikirannya masih 
'tradisionil' kultur Orba, belum bebas dari bias dan apriorisme, 
sehingga tidak bisa, -- belum mampu -- untuk berfikir secara ilmiah.

Pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah yang tidak bias yang tidak 
berat sebelah, yang tidak diplintir, yang tidak direkayasa, khususnya 
mengenai sejarah bangsa sendiri, merupakan syarat yang penting dalam 
usaha untuk mencapai usaha rekonsiliasi nasional. Untuk memberikan dasar 
yang kokoh bagi usaha pembangunan bangsa dan usaha pemulihan persatuan 
nasional uang lebih wajar dan menyeluruh.

Mungkin dengan memandang dari segi ini, bisa ditelaah dan dicari 
penyebabnya, mengapa sampai dewasa ini, meskipun sudah ada UU KKR 
(Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang sudah beberapa 
waktu disahkan oleh DPR, serta, nama-nama calon untuk duduk di Komisi 
tsb (42 orang) yang sudah pula diajukan kepada Presiden, namun sampai 
dewasa ini masih belum ada tanda-tanda Komisi tsb akan segera dibentuk 
(21 orang). Agar dengan demikian pekerjaan KKR bisa segera dimulai.

Maka dirasakan sekali --- Betapa perlunya usaha yang lebih besar, lebih 
luas dan lebih berani lagi ke arah PENCARAHAN FIKIRAN BANGSA ini. Suatu 
usaha yang sudah sejak lama dilakukan a.l. oleh Pramudya Ananta Toer, 
dengan karya-sastranya.

Silakan membaca lengkapnya pendapat Aswi Adam mengenai Pram sebagai 
sejarawan, seperti terlampir di bawah ini.


* * *

LAMPIRAN :
JAWA POS, Rabu, 08 Feb 2006,



*Pram sebagai Sejarawan*

===

*Oleh ASWI WARMAN ADAM*
Tak pelak lagi, Pramoedya Ananta Toer yang berulang tahun ke-81 pada
6 Februari 2006 adalah seorang sastrawan besar Indonesia calon
penerima hadiah Nobel. Namun, sedikit sekali yang mengulas perannya
sebagai sejarawan (W.F.Wertheim, Abdurrachman Suryomihardjo,
Onghokham dan terakhir Hilmar Farid).

Saya sendiri pernah menulis tinjauan buku tentang Kronik Revolusi
yang disusunnya bersama Koesalah Subagyo Tour/Ediati Kamil serta
sebuah kolom mengenai Jalan Raya Pos.

Dalam Hoakiau di Indonesia (1960), dia menggugat politik
anti-Tionghoa yang dilancarkan pemerintah dengan dukungan militer.
Buku itu dilarang dan Pram ditahan tanpa peradilan hampir setahun.
Dalam buku tersebut, Pram memperlihatkan peran dan kedudukan orang
Tionghoa dalam perjalanan sejarah.

Dia, misalnya, mengkritik kemurnian ras yang menjadi landasan
politik anti-Tionghoa warisan kolonial (walau tesis yang diajukan
Pram cukup eksentrik, misalnya, tentang "vlek biru" yang
ditinggalkan tentara Mongol pada pantat bayi Asia dan Eropa). Pram
mempertanyakan keaslian orang Indonesia, bahkan mempertanyakan
"Indonesia" sebagai sebuah konsep.

Setelah keluar dari penjara, dia mengumpulan tulisan tentang Kartini
dan mendapat tawaran mengajar sejarah di Universitas Respublica
(kini Trisakti). Sejarawan Onghokham menceritakan bahwa dia sering
bertemu dengan para mahasiswa di Perpustakaan Pusat, Jalan Merdeka
Barat, dan ternyata mereka diminta Pram untuk mengumpulkan data
tentang asal-usul dan perkembangan gerakan nasionalis 1898-1918 yang
kemudian menjadi diktat kuliah Sejarah Modern Indonesia (1964).

Arsip Pram itu kemudian dibakar tentara pada 1965 walaupun Onghokham
tatkala menulis disertasi sempat membacanya di perpustakaan Yale
University, AS.

Jasa Pram adalah mengubah perspektif sejarah. Dia mencairkan
kebekuan sejarah dengan ide baru dan tokoh baru. Bila selama ini
H.O.S. Cokroaminoto yang diangg

[wanita-muslimah] *IBRAHIM ISA'S FOCUS - CARTOON CONTROVERSY*

2006-02-08 Thread I. Bramijn


*IBRAHIM ISA'S FOCUS  -  CARTOON CONTROVERSY*




*Cartoon controversy, The Jakarta Post Editorial.*

*Prophet Muhammad cartoons and freedom of expression , Al Afghani.*

*Prophet Muhammad cartoons neither clever nor funny , Gwynne Dyer.*

*===*

*Cartoon controversy* , The Jakarta Post Editorial, 09.02.06

What the Danish newspaper /Jyllands-Posten/ did in September was
absurd. It failed to exercise self-restraint or consider what is fit
to print. Publishing 12 cartoons degrading the Prophet Muhammad was
certain to enrage Muslims, most of whom believe any visual depiction
of the Prophet is forbidden.

The controversy stems from a cartoon competition organized by the
Danish paper specifically designed to gauge how well Muslims in
Europe respond to criticism. Judging from the fiery reaction, they
are likely to conclude European Muslims are not European enough
because they are easily inflamed.

Indonesia had its own experience with sectarian-tinged reporting
during the conflict between Christians and Muslims that flamed up in
the late 1990s on the eastern island of Ambon. Both sides had their
own newspapers, which fanned the hatred daily. This accomplished
nothing other than increasing the number of people killed in the
conflict, with the number of victims eventually running into the
thousands.

Although these were only small regional papers, it was still the
worst practice of press freedom. The conflict ended only after the
two sides grew too tired to fight. The lesson learned: press freedom
used to fan hatred only drives people to kill each other.

Emotions continue to run high over the Prophet Muhammad cartoons and
there is fear the controversy will grow even more out of hand than
it already has, especially after more newspapers in Europe
republished the cartoons, either as an expression of support for the
Danish paper or to illustrate articles about the controversy.

Demonstrators attacked the Danish and Norwegian embassies in several
Muslim countries over the weekend. Protesters damaged the Swedish
Embassy in Syria. Iran has recalled its ambassador to Denmark in
protest, and has formed a committee to review trade ties with
countries where newspapers have published the cartoons.

Whereas the Indonesian experience in Ambon was local, the cartoon
controversy has become global. The violence in Ambon, and similar
conflagrations elsewhere in the country, was preceded by decades of
economic mismanagement that bred social ills, including corruption,
the breaking up of social cohesion and an unhealthy gap between rich
and poor. The seeds of the religious conflict in Ambon, and also in
Poso, were sown by years of tension between Muslims and Christians.

That tension stemmed from various factors, including questionable
government policies, a Constitution that officially recognizes only
six religions and the long-held pretense that relations between
different faiths are always harmonious.

Examining the wider context behind the cartoon controversy could
shed some light on the issue. Waves of Muslim immigrants have
changed the complexion of Europe. In recent years the war on terror
has loomed in the background. The United States has invaded
Afghanistan and Iraq. France recently experienced unprecedented
riots across the country by largely marginalized immigrants.

European newspapers certainly have the legal right to publish the
cartoons, and Muslims have the right to become angry, including
Muslims in Indonesia. By exercising freedom of the press, the
newspapers violated the civil rights of Muslims. In the eyes of
Muslims, it was a deliberate provocation against Islam.

This is a case where civil rights clash with legal rights; the civil
right to live without being offended and the legal right of press
freedom. In the end, this cartoon contest was an ill-conceived test.
The Danish paper should have realized it was dealing with a
sensitive issue that was a wrong fit for assessing the tolerance of
European Muslims, and the publication of the cartoons should have
been rejected on moral grounds.

But now is the time to calm emotions. This is not a case of "either
with us or against us". There is a middle ground where agreement can
be achieved.

Resentment stemming from nonreligious issues like injustice,
government repression and power struggles among the elite can
manifest itself as a religious conflict. In the Indonesian
experience, clashes between people of different faiths is often only
the tip of the iceberg. After all, "religiou

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- PRESS FREEDOM AND BELIEVERS, 09 FEB. 2006

2006-02-09 Thread I. Bramijn

> ==
> IBRAHIM ISA'S  --  PRESS FREEDOM AND BELIEVERS, 09 FEB. 2006
> ==
> Reality check for freedom
> Muslim lampooning vs. Press Freedom
> Accepting pluralism is hard to do
> ==
> Reality check for freedom , The Jakarta Post Editorial.
> The uproar over the cartoons of the Prophet Muhammad has yet to blow 
> over. Violent protests continue, while even more editors decide to 
> reprint the pictures, and as the list of casualties rises. But however 
> ugly this affair has become, it cannot change the tenet of the press; 
> a public, free forum for an exchange of information, ideas and 
> expression -- that the decision to print or not to print should remain 
> with the media, and the media alone.
> This is not a belief that everyone shares, especially in the light of 
> the ongoing furor. But the belief that there should be no censorship 
> of the press must be the consensus of the Indonesian media and its 
> public, particularly as we are reminded over and over again that civil 
> liberties, such as freedom of speech and the press, are not to be 
> taken for granted.
> Today is officially National Press Day, an opportune time to take 
> stock of our freedoms. A glance at the list of bills that our 
> legislators are preparing suggests that they don't want the public to 
> have all that much freedom. Take, for instance, the bills on 
> pornography and state secrecy.
> There is also the bill on freedom of access to information, which 
> seems to have stalled, and the controversial new regulations on 
> broadcasting. These regulations impact upon foreign, private and 
> community broadcasters, and are seen as a potential entry point for 
> government intervention in press freedom. They are thus a clear 
> reminder for the public to be vigilant of the government's penchant to 
> control what their citizens can hear, view or listen to. The 
> government claims to be a "facilitator" for the media, while its 
> authority in affairs such as content of media programs, as mentioned 
> in the regulations, raises questions about how far the facilitator 
> will keep its distance from the electronic media and the Indonesian 
> Broadcasting Commission.
> Broadcast associations said last week that they accepted the 
> regulations, despite protests from other media organizations and the 
> Commission. They said that while the regulations may not be perfect, 
> at least they would be able to operate under clear legal guidelines.
> Apart from the new regulations, the press still faces daily 
> challenges. In a rally to highlight national press day, journalists in 
> Bandung on Tuesday "apologized" in public for, among other things, 
> bowing to business and government pressure, and "for our stupidity in 
> accepting bribes."
> Such pressure and gross lack of professionalism -- the wide acceptance 
> of bribes being just one example -- contributes to the support which 
> the government and politicians can gain in their attempts to curb 
> media freedom. This is made much easier by the absence of a consensus 
> on the need for liberties, such as press freedom and freedom of 
> expression. Whether our need for a "Big Brother" is based in culture 
> or not, it remains a legacy of living for three decades under the 
> Soeharto regime, despite all the euphoria over reformasi. The need for 
> independent thought and expression, the media being among the public 
> channels for such independence, must be campaigned for constantly.
> And a less than professional press, which is still a feature of much 
> of our media, is a major enemy of itself, for it obstructs freedom and 
> the ability of the public to access the information that shapes their 
> lives.
> ---
> Muslim lampooning vs. Press Freedom
> Most Western commentators cited in international and local media, 
> including The Jakarta Post, defending the publication of caricatures 
> of our beloved prophet, Muhammad, in a Danish paper, Jyllands-Posten, 
> and reprinted in many other Western publications, have cited the 
> sacredness of press freedom and decry the fanaticism of Muslims, who 
> in their views are just "too narrow-minded to enjoy satire".
> Maybe these commentators are the ones too thick and too insensitive to 
> understand the beauty and rationale of Islam's teachings. What none of 
> these self-proclaimed press freedom defenders understand is that to us 
> ordinary Muslims, the visualization or visual representation of 
> Prophet Muhammad, or other prophets attacks the very core of our beliefs.
> Visualization could lead to deification and idolatry, which would be 
> counter to the basics of Islam's teachings that there is only one God, 
> who is manifested in his creations all around us. Visualization could 
> endanger Islam's abstract concept o

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS, 13.02.06

2006-02-12 Thread I. Bramijn
==
IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS,  13.02.06
=
Supreme Court rules in favor of 'Tempo'
Denmark asks its citizens to leave Indonesia
Four arrested in attack on Ahmadiyah
=

February 10, 2006
Supreme Court rules in favor of 'Tempo'
Muninggar Sri Saraswati, The Jakarta Post, Jakarta
The Indonesian media received a welcome gift for National Press Day on 
Thursday, when the Supreme Court cleared Tempo weekly chief editor 
Bambang Harymurti of defaming businessman Tomy Winata.
A panel of three justices, led by Chief Justice Bagir Manan, heard 
Bambang's judicial review using the Press Law, not the Criminal Law used 
by the lower courts in originally finding Bambang guilty of defamation.
"The panel of justices heard the review filed by Bambang Harymurti and 
acquitted him on all charges," announced Justice Djoko Sarwono, the 
Supreme Court spokesman and a member of the panel of justices.
The Supreme Court overturned the decision of the lower courts, which had 
found Bambang guilty and sentenced him to a year in prison for libeling 
Tomy. The case stemmed from a story that Tempo ran in March 2003 under 
the headline Ada Tomy di Tenabang? (Is Tomy in Tanah Abang?).
In the story, it was suggested that Tomy won the right to renovate the 
Tanah Abang textile market, one of the largest in Indonesia with over 
5,000 stalls, before a fire devastated the market, raising questions 
about whether the businessman had a hand in the blaze.
Djoko said the justices unanimously agreed to hear the judicial review 
under the Press Law instead of the Criminal Code, which allows for the 
jailing of journalists for defamation.
"We want to ensure journalists have protection," he said, adding the 
caveat that such protection was only afforded journalists who worked 
according to journalistic ethics.
Bambang welcomed the decision, saying, "This is not my victory, but a 
victory for all Indonesian journalists."
He added that Tempo would make sure journalists and the legal 
authorities across the country heard about the decision, and the 
precedent it set for future defamation cases involving journalists.
Lawyer Darwin Aritonang, who represents Tempo, said the case was a 
milestone because of the Supreme Court's decision to use the Press Law 
to hear a defamation case involving the media.
"This is truly a victory for all journalists in the country," he said.
However, Djoko said the decision did not establish jurisprudence for 
other defamation cases involving journalists.
"We chose to improvise because journalists would not be protected if we 
used the Criminal Code," he said.
To serve as jurisprudence, the Supreme Court's decision must be used by 
the courts to decide other defamation cases involving the media, Darwin 
explained.
"Journalists here still have more work to do, which is to convince 
justices and judges to apply this decision to other cases," he said, 
adding that the Supreme Court is currently hearing a judicial review 
involving Tempo reporters Ahmad Taufik and T. Iskandar in a separate case.
Tomy launched a series of criminal defamation cases against Tempo 
magazine, Koran Tempo daily and Tempo senior journalist Goenawan Mohamad 
after the Tanah Abang story ran in March 2003. Several of the defamation 
cases are pending.
---
Denmark asks its citizens to leave Indonesia
COPENHAGEN (AP): Denmark urged its citizens to immediately leave 
Indonesia, saying they were facing an "imminent" danger from an 
extremist group over the prophet drawings.
Saturday's warning came hours after Denmark announced it had withdrawn 
embassy staff from Indonesia, Iran and Syria - countries where Danish 
embassy buildings have been attacked by rioting mobs protesting the 
cartoons.
"There is concrete information that indicates that an extremist group 
actively will seek out Danes in protest of the publication of the 
Muhammad drawings," the ministry said in a statement. It did not name 
the group.
All Danes should leave the country as soon as possible because they were 
facing "a significant and imminent danger," the ministry said, adding 
the threat was focused on the eastern part of Java, but could spread to 
other parts of the country,including Bali.
Earlier Saturday, the Foreign Ministry said it withdrew all Danish staff 
from Indonesia and Iran after they had received threats. Diplomats were 
also pulled from Syria because they were not getting enough protection 
from authorities, the ministry said.
The Danish ambassador to Lebanon left earlier this week after the 
embassy building in Beirut was burned by protesters.The small 
Scandinavian country is shell-shocked by the wave of anti-Danish 
protests, some of them violent, that have spread across the Muslim world.
Danish paper Jyllands-Posten, which ublished the cartoons in September, 
apol

  1   2   >