[wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear, the veil - Global Warming

2007-03-22 Terurut Topik d. candraningrum
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Aisha" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Salam kenal juga mba Dewi, saya senang lihat tulisan-tulisannya mba
Dewi. Betul mba, berbagi ilmu - berbagi pengalaman itu memang wajib
hukumnya di milis..:)
> 
> Serius lagi...:), idealnya memang saat kita berkomunikasi langsung
atau melalui tulisan seperti di milis itu bisa saling mencerahkan
melalui ilmu atau pengalaman yang dialami atau dipunyai
anggota-anggotanya. Tapi, dunia ini kan penuh keragaman, termasuk
anggota-anggota milis. Misalnya ada orang yang merasa punya ilmu atau
pengalaman banyak sekali dan memandang rendah anggota lainnya, ada
yang senang ngomentari banyak postingan yang masuk tapi tidak jelas
maunya-asal komen aja, ada yang kalau ditanya malah muter gak karuan -
entah memang tidak tahu jawabannya atau memang tidak mau berbagi,
kalau tidak mau berbagi dan memandang yang lain lebih rendah, ngapain
juga ikutan milis seperti WM ya? Masuk saja milis satu arah yang
modelnya bikin satu tulisan lalu dikirim ke moderatornya, bukan milis
WM yang penuh dengan dialog antar anggotanya.
> 
> Dulu saya juga suka nunggu kalau nanya di milis, tapi lama-lama
harus pasang keikhlasan juga. Artinya jika kita menuliskan sesuatu di
milis yang menurut kita bagus atau menarik dan ingin ditanggapi yang
lain supaya kita tambah pinter tapi ternyata tidak ditanggapi, ya
sudah... belum rezekinya. Begitu juga ketika kita menanggapi tulisan
atau pendapat orang lain dan kita bertanya tapi tidak ditanggapi, ya
sudah ...belum rezekinya aja..:)
> 
> salam maniez..;)
> Aisha

salam maniez juga Mbak Aisha. nyantai aja mbak. rejeki itu "ada"
karena "tiada". dan "tiada" karena "ada". Apalah "ada-tiada". Kita
ini, perempuan papa, Maha Penyabar.



[wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear, the veil - Global Warming

2007-03-22 Terurut Topik d. candraningrum
Mas Dana yb.,

1. Sang Pater melihat Dunia
Sadar sepenuhnya kita akan kondisi "Paternalistik" ini, sebuah kondisi
subtil yang meletakkan sang "Pater" sebagai sumber otoritas. Otoritas
akan interpretasi sebuah komunitas terhadap dunianya. Kosmologi
perempuan dan anak-anak adalah kosmologi sang Pater. Kosmos yang
dilihat dan diberi makna secara aktif oleh sang Pater. Kosmologi ini
mapan. meresap-menjejap dalam institusi-institusi sosial-budaya secara
mapan. Diterima laiknya air yang mengalir. matahari yang bersinar.
bumi yang berputar. Menjadi "taken for granted". Menjadi "common
sense". Menjadi kenyamanan tersendiri bagi struktur yang telah membatu
dan mengeras.

2. Level of Horizon
Persoalan tak lagi benar atau salah lagi. "Cakrawala pemahaman" (lapis
pemahaman) sebuah komunitas untuk menuju dan melihat posisi timpang
perempuan ini, ibarat, menapaki jalan batu terjal. Karena "common
sense", mau tidak mau, dan harus, mutlak sekaligus, digegarkan,
diguncangkan, demi perubahan itu. Butuh banyak pemecah batu untuk
fakta keras ini.

Menuju "cakrawala pemahaman" ini ibarat jalan panjang. Jauh. dan
terjal. Makna berlapis. Dibuka. Disingkap. Satu-satu.

salam saya
dewi

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Salam kenal juga.  Memang pemahaman Islam yg sekarang ini masih
> paternalistik sehingga penuh dg sikap2 yg menomorduakan status
perempuan.
> 
> Memang kita harus terus memperjuangkan bahwa konsep HAM itu sebenarnya
> sebagian kecil dari Islam yg sesungguhnya.  Cuma yg sekarang belum
> pada sadar aja.
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "d. candraningrum"
>  wrote:
> >
> > Salam kenal Mas Dana, 
> > setuju sekali. bukankah "demos-kratos" itu "the power of the people",
> > dan bukan "theo-kratos", the power of God. Tuhan itu direpresentasikan
> > oleh mereka itu l... Yang paling pinter membaca Tuhan.
> > 
> > Syarat mutlak demos adalah nir-jender.
> > 
> > tubuh perempuan tak menentu,
> > berkelindan antara demos-theos
> > kratos?
> > 
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dan"  wrote:
> > >
> > > Agama modern itu harus spt supermarket.  Banyak tawaran tetapi
> > > konsumen berhak memilih apa yg disukainya selama tidak melanggar
> > > hukum.  Ada yg mau belanja satu gerobak silahkan, mau cuma satu
> > > keranjang kecil silahkan.
> > > 
> > > Pilihan harus ada pada perempuan, bukan cuma pakai jilbab tetapi
juga
> > > thd pilihan atas aborsi, pilihan atas suami, pilihan bekerja atau
> > > tidak, dsb.  Pakaian melekat pada tubuh, kehamilan melekat pada
tubuh,
> > > suami membebani tubuh, bekerja menggunakan tubuh. Hanya perempuan yg
> > > berhak menentukan apa bagaimana tubuhnya itu ingin digunakan.
> > > 
> > > Konsep yg menentukan bahwa laki2 yg berhak menentukan bagaimana
> > > perempuan menggunakan tubuhnya adalah konsep penjajahan atas diri
> > > sesama manusia.  Bertentangan dg HAM.
> > > 
> > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko  wrote:
> > > >
> > > > Mas Irwank berkata =
> > > >
> > > >   Global warming, sinar uv, 'menyentuh kulit'..
> > > > The veil, 'menangkal' .. tapi khusus untuk yang pake saja..
> > > > Kaum Adam piye? Pake kafiyeh? :-)
> > > > 
> > > >   ==
> > > >
> > > >   Jano - ko =
> > > >
> > > >   Hehehhehepinter tenan mas Irwank ini.
> > > >   Pertanyaan mbak candra sudah dijawab oleh Mas Irwank tuch
> > > >
> > > >   Ayo dibabar lagi dong mas Irwank,.setelah kulit kena sinar
> > > ultraviolet kira-kira yang terjadi apa hayo ? apakah bisa menjadi
> > > "kanker kulit"  ?, apakah hal tersebut juga terkait dengan kesehatan
> > > reproduksi ?, soale sel kanker itu kan katanya bisa menyebar.
> > > >
> > > >   Siapa yang bisa menjawab ?
> > > >
> > > >   Salam.
> > > >
> > > >   --oo0oo--
> > > >   
> > > > 
> > > > IrwanK  wrote:
> > > >   Global warming, sinar uv, 'menyentuh kulit'..
> > > > The veil, 'menangkal' .. tapi khusus untuk yang pake saja..
> > > > Kaum Adam piye? Pake kafiyeh? :-)
> > > > 
> > > > Gitu kali..
> > > > 
> > > > CMIIW..
> > > > 
> > > > Wassalam,
> > > > 
>

[wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear, the veil - Global Warming

2007-03-21 Terurut Topik d. candraningrum
Liebe Janaka,

Ada debu Sanskrit dalam namamu. 
Ada aliran sang Hindi dalam namamu. 
Ada seribu dewa dewi terpatri dalam namamu.

Jenis "demos" yang saya pilih? Jenis yang membuat Janaka bisa menulis
di milis ini. Jenis yang membuat Janaka bisa "tidak setuju" atau
"setuju" atas pendapat seseorang di milis ini. Jenis yang bisa
menguatkan semangat dialektika itu. 

Semangat proposisi "thesis-antithesis-thesis-antithesis..." yang
berkelindan sampai tak terhingga. Jenis yang membuat pembaca sekaligus
penulis pintar, cerdas, dan menghargai kemanusiaan dan Tuhan, sekaligus.

Menghargai kemanusiaan seorang manusia adalah syarat mutlak "demos".
Tuhan Maha Manusiawi. "Negara" dan sistemnya merupakan rumah mutakhir
kreasi manusia, demi, kemanusiaannya. Kemanusiaan yang diwujudkan dari
refleksi wajah Tuhan. Yang Kasih, Cinta, Pelindung, Penyayang,
Penyabar, Adil.

salam kemanusiaan untuk Janaka, 
dewi

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mbak Candra berkata :
> 
>   setuju sekali. bukankah "demos-kratos" itu "the power of the people",
> dan bukan "theo-kratos" , the power of God. Tuhan itu direpresentasikan
> oleh mereka itu l... Yang paling pinter membaca Tuhan.
> 
> ===
>
>   Jano - ko :
>
>   Pertanyaan yang ringan dan sederhana saja, kalau boleh tahu
demokrasi yang dianut oleh mbak candra itu "demokrasi" yang mana ?
soale kan demokrasi itu banyak "macamnya". Pertanyaan yang kedua apa
yang dimaksud atau apa definisi "people" didalam " the power of the
people" tersebut ?
>
>   Selamat pagi.
> 
>   --oo0oo--
>
>   
> "d. candraningrum" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   Salam kenal Mas Dana, 
> setuju sekali. bukankah "demos-kratos" itu "the power of the people",
> dan bukan "theo-kratos", the power of God. Tuhan itu direpresentasikan
> oleh mereka itu l... Yang paling pinter membaca Tuhan.
> 
> Syarat mutlak demos adalah nir-jender.
> 
> tubuh perempuan tak menentu,
> berkelindan antara demos-theos
> kratos?
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dan"  wrote:
> >
> > Agama modern itu harus spt supermarket. Banyak tawaran tetapi
> > konsumen berhak memilih apa yg disukainya selama tidak melanggar
> > hukum. Ada yg mau belanja satu gerobak silahkan, mau cuma satu
> > keranjang kecil silahkan.
> > 
> > Pilihan harus ada pada perempuan, bukan cuma pakai jilbab tetapi juga
> > thd pilihan atas aborsi, pilihan atas suami, pilihan bekerja atau
> > tidak, dsb. Pakaian melekat pada tubuh, kehamilan melekat pada tubuh,
> > suami membebani tubuh, bekerja menggunakan tubuh. Hanya perempuan yg
> > berhak menentukan apa bagaimana tubuhnya itu ingin digunakan.
> > 
> > Konsep yg menentukan bahwa laki2 yg berhak menentukan bagaimana
> > perempuan menggunakan tubuhnya adalah konsep penjajahan atas diri
> > sesama manusia. Bertentangan dg HAM.
> > 
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko  wrote:
> > >
> > > Mas Irwank berkata =
> > > 
> > > Global warming, sinar uv, 'menyentuh kulit'..
> > > The veil, 'menangkal' .. tapi khusus untuk yang pake saja..
> > > Kaum Adam piye? Pake kafiyeh? :-)
> > > 
> > > ==
> > > 
> > > Jano - ko =
> > > 
> > > Hehehhehepinter tenan mas Irwank ini.
> > > Pertanyaan mbak candra sudah dijawab oleh Mas Irwank tuch
> > > 
> > > Ayo dibabar lagi dong mas Irwank,.setelah kulit kena sinar
> > ultraviolet kira-kira yang terjadi apa hayo ? apakah bisa menjadi
> > "kanker kulit" ?, apakah hal tersebut juga terkait dengan kesehatan
> > reproduksi ?, soale sel kanker itu kan katanya bisa menyebar.
> > > 
> > > Siapa yang bisa menjawab ?
> > > 
> > > Salam.
> > > 
> > > --oo0oo--
> > > 
> > > 
> > > IrwanK  wrote:
> > > Global warming, sinar uv, 'menyentuh kulit'..
> > > The veil, 'menangkal' .. tapi khusus untuk yang pake saja..
> > > Kaum Adam piye? Pake kafiyeh? :-)
> > > 
> > > Gitu kali..
> > > 
> > > CMIIW..
> > > 
> > > Wassalam,
> > > 
> > > Irwan.K
> > > 
> > > On 3/21/07, d. candraningrum  wrote:
> > > >
> > > > Mbak Aisha, salam kenal. iya tuh. dulu saya tanya bang Jano ttg
> relasi
> > > > konstruksi kultural-politis-teologis

[wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear, the veil - Global Warming

2007-03-21 Terurut Topik d. candraningrum
Salam kenal Mas Dana, 
setuju sekali. bukankah "demos-kratos" itu "the power of the people",
dan bukan "theo-kratos", the power of God. Tuhan itu direpresentasikan
oleh mereka itu l... Yang paling pinter membaca Tuhan.

Syarat mutlak demos adalah nir-jender.

tubuh perempuan tak menentu,
berkelindan antara demos-theos
kratos?

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Agama modern itu harus spt supermarket.  Banyak tawaran tetapi
> konsumen berhak memilih apa yg disukainya selama tidak melanggar
> hukum.  Ada yg mau belanja satu gerobak silahkan, mau cuma satu
> keranjang kecil silahkan.
> 
> Pilihan harus ada pada perempuan, bukan cuma pakai jilbab tetapi juga
> thd pilihan atas aborsi, pilihan atas suami, pilihan bekerja atau
> tidak, dsb.  Pakaian melekat pada tubuh, kehamilan melekat pada tubuh,
> suami membebani tubuh, bekerja menggunakan tubuh. Hanya perempuan yg
> berhak menentukan apa bagaimana tubuhnya itu ingin digunakan.
> 
> Konsep yg menentukan bahwa laki2 yg berhak menentukan bagaimana
> perempuan menggunakan tubuhnya adalah konsep penjajahan atas diri
> sesama manusia.  Bertentangan dg HAM.
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko  wrote:
> >
> > Mas Irwank berkata =
> >
> >   Global warming, sinar uv, 'menyentuh kulit'..
> > The veil, 'menangkal' .. tapi khusus untuk yang pake saja..
> > Kaum Adam piye? Pake kafiyeh? :-)
> > 
> >   ==
> >
> >   Jano - ko =
> >
> >   Hehehhehepinter tenan mas Irwank ini.
> >   Pertanyaan mbak candra sudah dijawab oleh Mas Irwank tuch
> >
> >   Ayo dibabar lagi dong mas Irwank,.setelah kulit kena sinar
> ultraviolet kira-kira yang terjadi apa hayo ? apakah bisa menjadi
> "kanker kulit"  ?, apakah hal tersebut juga terkait dengan kesehatan
> reproduksi ?, soale sel kanker itu kan katanya bisa menyebar.
> >
> >   Siapa yang bisa menjawab ?
> >
> >   Salam.
> >
> >   --oo0oo--
> >   
> > 
> > IrwanK  wrote:
> >   Global warming, sinar uv, 'menyentuh kulit'..
> > The veil, 'menangkal' .. tapi khusus untuk yang pake saja..
> > Kaum Adam piye? Pake kafiyeh? :-)
> > 
> > Gitu kali..
> > 
> > CMIIW..
> > 
> > Wassalam,
> > 
> > Irwan.K
> > 
> > On 3/21/07, d. candraningrum  wrote:
> > >
> > > Mbak Aisha, salam kenal. iya tuh. dulu saya tanya bang Jano ttg
relasi
> > > konstruksi kultural-politis-teologis antara "poligami" dan
"pembunuhan
> > > husein", tak dijawab. kasian yah. yang nanya sampai nunggu terus
nih.
> > > berbulan-bulan lagi. Bukankah berbagi ilmu itu wajib yah. biar
sesama
> > > saudara tercerahkan.
> > > salam saya mbak,
> > > dewi
> > >
> > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com
> ,
> > > "Aisha" 
> > >
> > > wrote:
> > > >
> > > > Mba Dewi,
> > > > Dulu sebelum memakai nama Jano Ko, bapak ini memakai nama
Sutiyoso.
> > > Dulu juga saya pikir ada hubunganya dengan wayang, saya pikir
janaka,
> > > tapi kalau tidak salah dulu penjelasannya blio itu dari bahasa Jawa,
> > > dua kata jano dan kata ko, lupa lagi penjelasannya, maaf banyak
lupa,
> > > mudah-mudahan tidak kena alzheimer..;)
> > > >
> > > > Jika mba Dewi bertanya minta penjelasan pak Jano, ingat-ingat
> > > komentar mas Dwi tentang janokoisme, misalnya jika ada yang bertanya
> > > akan ditanya balik atau kalau dijawab malah tidak nyambung, atau
> > > mungkin seperti nasib teman kita lainnya di milis ini yang dari dulu
> > > tanya tentang blasphemy, gak dijawab-jawab. Tapi siapa tahu,
sekarang
> > > pak jano mau mencerahkan, ayo pak Jano, silahkan menjawab..:)
> > > >
> > > > salam
> > > > Aisha
> > > > ---
> > > > From : Dewi Candraningrum
> > > > Janaka, ada debu Sanskrit dalam namamu, konon Janaka adalah raja
> > > Mithila yang cerdas dan adiluhung dalam
> > > > kitab2 suci leluhur. Upanishad, Vedas, Shastras. Nama sanskrit
yang
> > > indah dan penuh makna. Berputrikan Sita.
> > > >
> > > > Jejak sungai, sang Hindi, yang mengalir dalam nama Janaka, amatlah
> > > magis.
> > > >
> > > > Janaka, sebelum saya melihat "keindahan Islam versi Janaka" itu,
> > > mohon hamba diberi pencerahan, apa hubungan "global warming" dan
"th

[wanita-muslimah] Re: “Tuhanku, Nikahi Aku”-tambahan

2007-03-21 Terurut Topik d. candraningrum
Salam kenal Mbak Chae, matur suwun atas point2 pentingnya mbak. jadi
banyak belajar. salam saya, dewi.

p.s.:
mitos telah sakral
mitos telah jadi penjara

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Lupa nambahin satu lagi padahal ini yang paling krusial...
> 
> 8. Pemahaman bahwa laki-laki adalah representative tunggal dari Tuhan
> bagi perempuan.
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae"
>  wrote:
> >
> > Semua itu terjadi ketika perempuan fungsikan hanya sebagai pelengkap
> > bagi eksistensi laki-laki dan frame seperti ini tumbuh sumbur di
> > kalangan umat Islam yang tetap mempertahankan status quo.
> > 
> > Untuk merubah frame patriakis dikalangan umat Islam harus terlebih
> > dahulu melakukan konstruk terhadap pemahaman umat Islam terhadap
> > Qur'an dan hadis tentang kedudukan perempuan.
> > 
> > Semisal:
> > 
> > 1. Pemahaman bahwa Hawa (perempuan) diciptakan untuk kepentingan Adam
> > (laki-laki)
> > 
> > 2. Pemahaman bahwa Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam
> > (laki-laki)
> > 
> > 3. Pemahaman bahwa perempuan diciptakan sebagai makhluk lemah yang
> > selalu harus mendapatkan perlindungan dari laki-laki.
> > 
> > 4. Pemahaman bahwa laki-laki diciptakan sebagai makhluk kuat yang
> > memiliki kewajiban melindungi perempuan.
> > 
> > 5. Pemahaman bahwa laki-laki diciptakan dengan fungsi sosial yang
> > lebih besar daripada perempuan.
> > 
> > 6. Pemahaman bahwa fungsi sosial perempuan ditentukan atau dibatasi
> > oleh kodratnya yaitu melahirkan dan menyusui.
> > 
> > 7. Pemahaman bahwa nilai perempuan baik itu secara fisik, rohani,
> > jasmani dan spritual ditentukan dari sudut pandang laki-laki.
> > 
> > dst..dst...
> > 
> > 
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, muhkito 
wrote:
> > >
> > > http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C-70%7CP
> > > 
> > > Rabu, 24 Januari 2007
> > > "Tuhanku, Nikahi Aku"
> > > 
> > > Oleh: Dewi Candraningrum
> > > 
> > > Pagi ini, udara di Harem Khatiwar terasa dungu. Pagi ini, Harem
> > Khatiwar 
> > > diguyur air mata sembilu. Sang Raj menikah untuk kali keempat. Raj 
> > > memiliki beberapa istana. Kepadanya kuasa publik diberikan secara 
> > > absolut. Publik adalah Raj. Dalam istananya, dibangunlah sebuah
> istana 
> > > kecil, harem, yang elok, dihiasi taman-taman nan indah. Kelok-kelok 
> > > rumput yang hijau dan desir angin menyapu kolam tempat mandi para 
> > > Rani-nya. Rani-rani itu berlarian ke sana ke mari menangkap
> kupu-kupu, 
> > > mencerabut bunga-bunga, dan daun-daun berbentuk segi tiga. Indah
> sekali 
> > > pemandangan di harem itu. Sang Raj yang lelah di sore hari dari 
> > > mengurusi persoalan publik, akan beristirahat dan memandang
> lekat-lekat 
> > > ketiga Rani yang dimilikinya. Mereka bak oase yang tak henti-henti 
> > > memancarkan cahaya benderangnya. Tapi pagi ini, udara Harem terasa 
> > > sesak. Raj menikah lagi. Menurut nasehat Mullah, Raj dapat menikahi 
> > > empat istri. Mullah pulalah yang telah menikahkannya, dengan
keempat 
> > > Rani-nya.
> > > 
> > > Dari beberapa kamar, muncul suara-suara yang berbeda-beda. Kamar
dari 
> > > istri tertua, sujud bertafakur. Memohon pada Dzat yang Maha Agung. 
> > > "Tuhanku, Nikahilah Aku," ucapnya lirih. Rani Sepuh menyisir
> rambutnya 
> > > yang mulai memutih. Acapkali dia betulkan sajadah yang terhampar di 
> > > hadapannya. Rani Sepuh berketetapan untuk menikah dengan jiwa
> abadinya, 
> > > menghilangkan suara tubuhnya. Pergi berhaji, mencari suci hati.
Telah 
> > > ditinggalkannya hiruk pikuk suara-suara tubuh. Telah ditutupnya
pintu 
> > > indera sembilan. Meninggalkan kenikmatan dari kesembilan indera
tubuh 
> > > yang dimilikinya. "Kepada Tuhanku, aku menuju," ucapnya lirih.
> > > 
> > > Dari kamar Rani Dwi terdengar kerisak suara kertas-kertas. Rani Dwi 
> > > sedang membaca. Dia adalah Rani paling cerdas dan pintar yang telah 
> > > dipilih oleh sang Raj untuk menjadi salah satu penasehat-nya.
> > Seringkali 
> > > Rani Tri cemburu sekali karena setiap kata-katanya selalu didengar
> oleh 
> > > Sang Raj. Sang Raj sangat mengagumi kecerdasan Rani Dwi. Rani Dwi
> yang 
> > > pendiam itu, adalah Rani yang dalam. Dijebloskannya suara tubuh-nya 
> > > dalam lembar-lembar kertas yang dia tulis. Rani Dwi, Rani Pemurung.
> > Rani 
> > > Dwi, Rani Pendiam. "Duhai filsuf-ku, sinarilah daku yang dungu ini, 
> > > nikahilah aku," ucapnya lirih.
> > > 
> > > Dari kamar Rani Tri terdengar gedubrak suara kayu. "Prang," 
> > > dilemparkannya bantal-bantal yang tersusun rapi di atas tempat
tidur 
> > > itu. Menangis tersedu-sedu, merah padam, wajah bening nan ayu itu. 
> > > Selama ini, dari ketiga istri Raj, Rani Tri-lah yang paling cantik. 
> > > Tapi, sekarang, dengan kehadiran Rani Catur, Rani Tri tak lagi yang 
> > > paling cantik. Rani Catur memiliki kualitas kecantikan yang lebih 
> > > superior darinya. Murung. Berhari-hari, tersedu-sedu dalam tangis. 
> > > Linglung, bergelas-gelas air mata tumpah. Tak digubris

[wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear, the veil - Global Warming

2007-03-21 Terurut Topik d. candraningrum
Mbak Aisha, salam kenal. iya tuh. dulu saya tanya bang Jano ttg relasi
konstruksi kultural-politis-teologis antara "poligami" dan "pembunuhan
husein", tak dijawab. kasian yah. yang nanya sampai nunggu terus nih.
berbulan-bulan lagi. Bukankah berbagi ilmu itu wajib yah. biar sesama
saudara tercerahkan.
salam saya mbak,
dewi

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Aisha" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Mba Dewi,
> Dulu sebelum memakai nama Jano Ko, bapak ini memakai nama Sutiyoso.
Dulu juga saya pikir ada hubunganya dengan wayang, saya pikir janaka,
tapi kalau tidak salah dulu penjelasannya blio itu dari bahasa Jawa,
dua kata jano dan kata ko, lupa lagi penjelasannya, maaf banyak lupa,
mudah-mudahan tidak kena alzheimer..;)
> 
> Jika mba Dewi bertanya minta penjelasan pak Jano, ingat-ingat
komentar mas Dwi tentang janokoisme, misalnya jika ada yang bertanya
akan ditanya balik atau kalau dijawab malah tidak nyambung, atau
mungkin seperti nasib teman kita lainnya di milis ini yang dari dulu
tanya tentang blasphemy, gak dijawab-jawab. Tapi siapa tahu, sekarang
pak jano mau mencerahkan, ayo pak Jano, silahkan menjawab..:)
> 
> salam
> Aisha
> ---
> From : Dewi Candraningrum
> Janaka, ada debu Sanskrit dalam namamu, konon Janaka adalah raja
Mithila yang cerdas dan adiluhung dalam
> kitab2 suci leluhur. Upanishad, Vedas, Shastras. Nama sanskrit yang
indah dan penuh makna. Berputrikan Sita.
> 
> Jejak sungai, sang Hindi, yang mengalir dalam nama Janaka, amatlah
magis.
> 
> Janaka, sebelum saya melihat "keindahan Islam versi Janaka" itu,
mohon hamba diberi pencerahan, apa hubungan "global warming" dan "the
veil"? Relasi logisnya bagaimana?
> 
> kiranya, mendapat pencerahan,
> dewi
> 
> p.s.: 
> mengapa tak ganti nama jadi "Abu" siapa gitu? Janaka kan penyangga
> "Shastra", Kitab Tertinggi dalam Hindu.
> 
> --- jano ko  wrote:
> > Mbak Candra, coba dech membaca info terbaru saat ini yang
> berkaitan dengan "Global Warming", setelah mbak candra banyak membaca
> tentang Global Warming, maka jano-ko yakin mbak candra akan mengatakan
> betapa indahnya Islam, betapa indahnya "the veil", silahkan
> > 
> > Salam
> > 
> > --oo0oo-- 
> > muhkito  wrote:
> > Source: 
> > http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20070112.F04
> > 
> > A women's right to wear, or not to wear, the veil
> > 
> > Opinion and Editorial - January 12, 2007
> > 
> > Dewi Candraningrum, Muenster, Germany
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>




[wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear, the veil - Global Warming

2007-03-20 Terurut Topik d. candraningrum
Janaka, ada debu Sanskrit dalam namamu, 

konon Janaka adalah raja Mithila yang cerdas dan adiluhung dalam
kitab2 suci leluhur. Upanishad, Vedas, Shastras. Nama sanskrit yang
indah dan penuh makna. Berputrikan Sita.

Jejak sungai, sang Hindi, yang mengalir dalam nama Janaka, amatlah magis.

Janaka, sebelum saya melihat "keindahan Islam versi Janaka" itu, mohon
hamba diberi pencerahan, apa hubungan "global warming" dan "the veil"?
Relasi logisnya bagaimana?

kiranya, mendapat pencerahan,
dewi

p.s.: 
mengapa tak ganti nama jadi "Abu" siapa gitu? Janaka kan penyangga
"Shastra", Kitab Tertinggi dalam Hindu.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   Mbak Candra, coba dech membaca info terbaru saat ini yang
berkaitan dengan "Global Warming",  setelah mbak candra banyak membaca
tentang Global Warming, maka jano-ko yakin mbak candra akan mengatakan
betapa indahnya Islam, betapa indahnya "the veil", silahkan
>
>   Salam
>
>   --oo0oo-- 
> 
> 
> muhkito <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   Source: 
> http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20070112.F04
> 
> A women's right to wear, or not to wear, the veil
> 
> Opinion and Editorial - January 12, 2007
> 
> Dewi Candraningrum, Muenster, Germany
> 
> A total of 23 of the more than 400 regencies and municipalities in 
> Indonesia have enacted sharia-based ordinances. In a country where 
> patriarchal textual interpretation is often justified, these ordinances 
> discriminate against women, especially regarding their access to the 
> public space and mode of dressing.
> 
> Under the ordinances, women cannot enter the public space after 10 p.m. 
> This obligation, which takes as its point of departure the 
> socio-cultural construction that men are the breadwinners of the
family, 
> denies women their economic rights. Women vendors, who dominate most of 
> the traditional markets in Indonesia, frequently start their work at 3 
> a.m., when most people are still asleep.
> 
> Instead of taking into account the social fact that women played 
> significant roles in work in the public space, the propagators of the 
> ordinances seek to confine women to the home. Indonesian women and men 
> have worked together to make a living since time immemorial. From the 
> social point of view, both are equal and the dream of gender
equality is 
> actually coming true with the expansion of women's education.
> 
> On the ordinances governing dress, women have to wear the jilbab
(Muslim 
> headscarf). It is true that after the fall of Soeharto, wearing the 
> jilbab represented a form of expression of freedom against the 
> restrictions imposed by Soeharto. At that time, women had the right "to 
> wear or not to wear the veil".
> 
> Today, however, women in the 23 regencies and municipalities concerned 
> have no choice at all but to wear Muslim dress. The state has robbed 
> women off their rights to decide whether to wear the jilbab or not.
> 
> Sharia has been interpreted in differing ways by Muslims. The
meaning of 
> the veil has also changed from civilization to civilization. Women have 
> also interpreted the veil that they wear differently. Some interpret
the 
> dress code as meaning that women can only show their palms and faces in 
> public. Other women insist that they are required only to dress 
> modestly, and that it is not necessary to wear the veil.
> 
> The veil controversy is a battle of identities in a global world in 
> which homogenization is an inevitable phenomenon that women have to
live 
> with.
> 
> Women's veils take various forms, from long black veils to short 
> colorful ones. The way women wear the veil also varies, with some
having 
> all of their hair covered, while others allow some of their hair to be 
> revealed.
> 
> The question for the state now is "on whose interpretation are all of 
> these sharia ordinances that oblige women to wear Islamic dress and the 
> veil based?" Whose rights are being ignored and denied by this 
> interpretation? Certainly, it is women's rights.
> 
> The current interpretation has circumscribed the rights of women in 
> these 23 regencies and municipalities. Failure to provide these rights 
> means that the state is denying the rights of women, who are also
citizens.
> 
> It will be true empowerment, therefore, if women can reclaim their 
> rights to dress as they like in the public space.
> 
> The denial of the women's basic rights to have access to the public 
> space after 10 p.m. and to dress as they please reveals the weaknesses 
> of public policy makers in understanding the spirit behind the founding 
> of the Republic of Indonesia.
> 
> Supporters of sharia are perhaps being guided by a patriarchal textual 
> understanding of sharia that views women as half-human beings who need 
> to be controlled more than men. They are also, perhaps, inspired by the 
> teaching of the sharia as a text, per se. They have forgotten how
sharia 
> is formulated, and th

[wanita-muslimah] Re: Female Minister killed for refusing to wear veil (Whose Right?)

2007-02-23 Terurut Topik d. candraningrum
Mas Dwi dan kawan-kawan WM yang baik,

Berikut sedikit pemikiran saya:

1. Interpretasi Perempuan Islam yang beragam
Perempuan Islam Indonesia, kalau saya perhatikan, telah menerjemahkan
makna "Jilbab" secara beraneka-ragam. Mereka memakai kerudung, tak
melulu karena interpretasi literer bahwa (a) "yang boleh terlihat di
publik adalah wajah dan telapak tangan". Ini juga menyangkut (b)
"politik identitas". Juga pula menyangkut (c) "social construct", yang
telah menjadi "public obligation" dan "public regime". Juga pula
menyangkut (d) "tirani negara atas hak perempuan". Yang terakhir ini,
saya sangat tidak setuju. Untuk yang (d), skala halusnya, ada dalam
ormas-ormas Islam di Indonesia.

Jika kita perhatikan, perempuan-perempuan Islam tersebar dalam
kantong-kantong epistemik itu. Kantong epistemik itu tidak terbatas
dari (a) sampai (d) saja. saya yakin masih ada kantong epistemik lain
yang digunakan perempuan sebagai alasan untuk berjilbab. semacam (e)
"social insecurity". karena bangunan patriarki yang sebegitu kuat,
demi keselamatan, perempuan memakai jilbab.

dan lain2. (f), (g), (h), (i), ... Ini menjadi hak setiap perempuan.
Menjadi latihan berpikir dan berkhidmat (sedemikian juga saya).

2. The Non-Monolithical Fikih
Sharia berjilbab telah pula diterjemahkan secara beragam oleh para
Mufassir. Aparatus itu adalah Ushul Fikih (the philosophy of
Interpretation) dan Asbabul Nuzul (the contextual history of a
particular verse). Kedua aparatus itu, menurut saya, semangatnya, sama
dengan, "hermeneutical cycle".

3. The right is in women's hands
Menurut saya, "hak dan kuasa" atas jilbab, seharusnya, diberikan
kepada perempuan, bukan kepada negara. Baik di negara Islam ataupun
non-Islam. Dengan demikian tidak ada diskriminasi lagi.


salam hangat dari Muenster,
dewi

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dwi W. Soegardi"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Setuju sekali siapa pun yang dizalimi wajib kita bela.
> 
> Masalahnya dalam kasus "jilbab di Aceh,"
> siapa menzalimi siapa?
> 
> - perempuan tak berjilbab menzalimi laki-laki yang ingin ghaddul bashar?
> - pemerintah islam yang menzalimi (mencambuki) perempuan tak berjilbab?
> 
> salam,
> DWS
> 
> 
> On 2/23/07, Flora Pamungkas <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >   Tindakan membunuh menteri wanita di Pakistan itu adalah kriminal dan
> > kriminal.
> > Perbuatan kriminal harus dihukum.
> > Soal bela-membela, kita wajib membela siapapun yang dizalimi.
> > Bahkan Allah pun akan mengabulkan jika ada doa dari orang kafir yang
> > dizalimi.
> > Tidak ada penghalang atas doa orang kafir ini.
> > Ini karena sangat murkanya Allah terhadap kezaliman.
> >
> >
> > Wassalam,
> > Flora
> >
> > Re: Female minister killed for refusing to wear veil
> > Posted by: "lestarin" [EMAIL PROTECTED]  lestarin
> > Thu Feb 22, 2007 6:19 pm (PST)
> > Yth. Pak Dana,
> >
> > Sebetulnya dimilis ini sudah makin kelihatan kok, siapa yang
> > sangat "mendewakan" soal jilbab dan siapa yang tidak:) jadi ketika
> > Pak Dana memfoward berita yang miris ini, maka masing-masing dalam
> > hati pasti sudah punya sikap sendiri. Yang barangkali akhirnya segan
> > lagi mendiskusikan, karena ujung-ujungnya ya begitu:(
> >
> > Jangan heran kalau nanti di Aceh, barangkali 10 atau 20 tahun lagi,
> > hal seperti ini kejadian, perempuan di bunuh karena tidak berjilbab.
> > Toh sekarang kalau 3 kali tertangkap tanpa Jilbab hukumannya resmi
> > dicambuk. Jadi secara hukum/ Qanun di perbolehkan untuk
> > menyakiti/menghukum perempuan tanpa jilbab.
> >
> > Saya merasa empati terhadap mba' Flora yang karena jilbabnya, maka
> > ketika melakukan perjalanan di negara-negara barat, di bandara lebih
> > lama diperiksa, di "curigai", dan otomatis mengalami tindak
> > diskriminasi. Saya pun mengutuk tindakan diskriminasi tersebut.
> > Tetapi saya tidak tahu, apakah ada empati dari teman-teman terhadap
> > kondisi sebaliknya, yakni ketika ada perempuan lain yang tidak
> > memakai jilbab mengalami diskriminasi atas dasar pakaiannya itu???
> > (Dicaci, dihujat, bahkan juga dihukum cambuk oleh sesama muslim).
> > Betapa sulit ternyata untuk bersatu menyuarakan tindakan
> > diskriminasi terhadap apa yang dialami kaum perempuan.
> >
> > Wassalam
> >
> > Lestari
> >
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com
,
> > "Dan" 
> > wrote:
> > ...
> > Herankah jika kita menjadi bingung dalam status kita sebagai muslim
> > > koq yag katanya saudara2 sesama muslim tingkah lakunya demikian
> > tidak
> > > Islami tetapi saudara2 ini wajib kita bela dengan nyawa kita hanya
> > > karena mereka juga mengaku muslim?
> > >
> > > Saya mengalami shock luar biasa atas insiden ini.
> >
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> >  
> >
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>




[wanita-muslimah] Fwd: Re: [hanif-net]- Studi Poligami

2006-12-18 Terurut Topik d. candraningrum
Mbak Mia yang baik,

saya lihat dukungan poligami dari kelompok yang memahami Islam 
secara tekstualias. hasil dari spesialisasi ilmu pengetahuan modern. 
kebanyakan mereka adalah kawan-kawan dari Hard Sciences atau Ilmu 
Natur (tapi ada juga yang endak). Modernitas telah 
menghasilkan "worldview2" yang saling terasing satu sama lain. Mohon 
dikoreksi kalau salah.

Saya sedang tidak mempertentangkan keduanya (tekstualis-
kontekstualis). karena ukuran keimanan seseorang bisa jadi dapat 
diukur juga dari simbol dan pemahaman. keduanya sama2 valid.

Jadi, dalam memahami agama, kebanyakan kawan yang mendukung Poligami 
menggunakan NALAR ERKLAEREN, yang seharusnya AGAMA itu dipahami 
dengan NALAR VERSTEHEN (menurut nalar Geisteswissensschaft).

Transisi di Indonesia ini dapat berjalan dengan lancar, terutama, 
kalau pintu dialog kedua kubu dicairkan. salah satunya dengan 
mencari "common under conscience", hikmah. Ciri khas masy Asia 
Tenggara kita tidak menyukai kekerasan dibanding saudara2 Muslim 
lain di belahan dunia lain. Saya masih optimis mbak.

sementara itu mbak,
dewi 

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Menarik point mba Dewi ini, bahwa kasus Aa Gym mencerminkan 
transisi 
> antara tradisional dan modern, dimana sebagian masyarakat 
memandang 
> bahwa Aa Gym 'terpeleset' dalam transisi ini.  BTW, bandingkan 
juga 
> dengan komunitas Abah Anom yang lebih tradisional, tapi 
kepoligamian 
> blio nggak menuai protes dari pengikutnya sendiri (pengagum Abah 
> Anom juga banyak dari perempuan feminis). 
> 
> Kalo saya perhatikan masyarakat tradisional di Jabar, makin jauh 
ke 
> sisi tradisional, perpoligamiannya makin berkurang.  Di kampung 
> Naga, desa Cibedug, sampai di masyarakat Banten Kanekes dimana 
> poligami dilarang sama sekali.  Apakah bisa disimpulkan 
> perpoligamian itu karena nilai2 tradisi bersentuhan dengan 
> kompleksitas dunia modern, lihat angka perceraian, kawin kontrak, 
> sirri yang relatif tinggi yang mungkin saja mengimplikasikan 
> fenomena 'serial monogami', untuk laki2 maupun perempuan.
> 
> Selain itu di masyarakat modern dimana fatwa agama dikukuhkan 
karena 
> orientasi fiqh dan karena patriarki, Aa Gym mendapat dukungan dari 
> masyarakat lapisan ini yang jelas-jelas merupakan masyarakat 
modern 
> yang berpendidikan tinggi, tapi mempromosikan poligami sebagai 
> bagian dari (tradisi) syariat Islam.
> 
> Salam
> Mia 
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "d. candraningrum" 
>  wrote:
> > 
> > C. DIALEKTIKA PRO-KONTRA POLIGAMI
> > 
> > Karena saya berangkat dari GEISTESWISSENSCHAFT (kosmologi 
sastra, 
> > agama dan filsafat), maka saya coba lihat persoalan ini dari 
kaca 
> > mata yang saya miliki. 
> > 
> > Pro-Kontra Poligami di Indonesia, sebenarnyalah, menunjukkan 
> adanya 
> > suatu enclave masyarakat transisi, dari masyarakat komunal 
> > (tradisional) ke masyarakat ego (modern). saya sedang tidak 
> > mempertentangkan keduanya, dan keduanya tidak berarti paradoksal.
> > 
> > 1. Pro-Poligami
> > Pro-poligami ini didukung oleh msyarakat dan individu yang 
> > mengafirmasi "ego komunal", secara relijius "ego ketuhanan". Teh 
> > Ninih telah menikah dengan Tuhan dan masyarakatnya, tinimbang 
> dengan 
> > Aa Gym. kelemahannya, adalah, bahwa ego Aa Gym menjadi superior 
> > dalam kosmologi masyarakat komunal-ketuhanan. Sejarah poligami, 
> > memang satu paket dengan sejarah segregasi perempuan (seperti 
saya 
> > tulis di Kompas dan JakPost). Jadi ketika Teh Ninih, ikhlas, dia 
> > sedang tidak mengklaim "ego", dia sedang mengklain "ego Tuhan".
> > 
> > Persoalannya adalah, Indonesia ini berada dalam dunia transisi, 
> > jamaah Aa Gym adalah jamaah transisi. Dalam banyak hal, Aa Gym, 
> > bahkan memperkuda aparatus modern untuk mem-verifikasi dakwah-
nya 
> > (lewat tivi, radio, dll, juga bisnis modern). Seandainya, Aa 
Gym, 
> > menjalankan dakwahnya secara "tarikat", yang jelas-jelas 
> > mengafirmasi sistem komunal, tentu Aa Gym tidak akan dihujat 
> media. 
> > Media yang didiami oleh Aa Gym telah mengafirmasi dunia "Ego".
> > 
> > 2. Kontra-Poligami
> > Masyarakat yang menolak poligami, telah matang dalam dunia ego, 
> > dunia spesialisasi, dunia modern. tatkala jelas terlihat 
> > bahwa "super ego" yang dimiliki Aa Gym telah menindas "Ego" Teh 
> > Ninih. Masyarakat ini melihat bahwa parade poligami Aa Gym dan 
> > beberapa pejabat negara adalah parada kelas atas. kelas ekonomi 
> > atas. jadi telah menghina kelas ekonomi bawah. Di sini mereka 
> > meliha

[wanita-muslimah] Fwd: Re: [hanif-net]- Studi Poligami

2006-12-17 Terurut Topik d. candraningrum
--- In [EMAIL PROTECTED], "d. candraningrum" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

--- In [EMAIL PROTECTED], "M Ikhsan Modjo" 
 wrote:
> Mas Akbar,
> Selain itu, lokus penelitian ekonom biasanya tidak spesifik ke 
masalah poligami, yang bukan bidang atau minimal isu mainstream di 
ilmu ekonomi, tapi keluarga dengan kepala keluarga perempuan, yang 
lebih memiliki implikasi kebijakan yang jelas. Misalnya, program BLT 
yang mengharuskan penerimaan uang subsidi oleh kepala keluarga 
perempuan - bukan yang kepala keluarga yang laki-laki - tentu bukan 
satu yang tidak jelas asal-usulnya.
 
> Salam,

Mas Ikhsan dan Akbar,
Kawan-kawan Milister HANIF,

Saya pengen memberi dukungan thesis Mas Ikhsan mengenai kemampuan 
perempuan dalam mengelola uang. Saya tidak sedang memparadokskan 
dengan kemampuan laki-laki. approach saya tetap pada kesetaraan laki-
laki dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. GENDER EQUALITY.

Di Darfur, Prof-nya Mas Norma bernama Banseca, menceritakan 
bagaimana bantuan PBB itu lebih sering diberikan kepada perempuan. 
karena mereka akan transformasikan dalam bentuk kebutuhan pangan dan 
kebutuhan domestik suatu desa. apabila bantuan itu jatuh di tangan 
laki-laki, biasanya ditransformasikan menjadi SENJATA. Ini sekali 
lagi, bukan sebuah thesis untuk menyalahkan laki-laki. tapi lebih 
pada konstruk budaya patriarki yang terlalu dominan. semestinyalah, 
masyarakat yang madani, adalah yang dapat men-SETARA-kan kosmologi 
perempuan dan laki-laki. 

Juga Amartya Sen, peraih Nobel yang prestisius itu, menemukan 
hilangnya perempuan. lebih besar daripada kematian manusia pas PD 
II. ini yang menyebabkan dia bersama tim membuat indeks untuk 
mengukur aksesibilitas perempuan thd hak-hak dasar dalam politik, 
ekonomi, budaya, sosial, yaitu GDI (gender dev index) dan GEM 
(gender empowerment index).

Juga Peraih nobel kita tahun ini, Muhammad Yunus, telah melukiskan 
kemampuan perempuan dalam mengelola uang. (Bisa dibaca di artikel di 
bawah).

Mereka ini adalah nabi-nabi baru, pejuang kesetaraan jender. 
Indonesia sedang enggan melahirkan nabi-nabi baru. yang ada adalah 
semangat-semangat jahiliyah yang dipromosikan bahkan, oleh orang 
sekelas ulama dan politisi Islam. 

Masih ada Hidayat Nur Wahid, semoga saja Hidayat Nur Wahid tetap ber-
jihad, tetap melakukan LAKU. Semoga saja dia tidak tertarik dengan 
perilaku Anis Matta, Hamzah Haz, Yahya Zaini, dll. Amin.

Mari berdoa untuk nabi-nabi baru kita. 

Selamat membaca dan salam hangat dari Jerman,
dewi candraningrum


Ini versi Der Spiegel (The Mirror) yang Inggris

http://www.spiegel.de/international/spiegel/0,1518,453234,00.html

"Woman Are Better with Money"

Nobel Prize winner Muhammad Yunus, 66, discusses the failure of
traditional development aid his successful use of microcredits in the
battle against poverty.

SPIEGEL: Professor Yunus, the United Nations' goal to cut global
poverty by half by the year 2015 remains as distant as ever.
Meanwhile, the number of starving people rose this year from 840 to
854 Million. What is going wrong with development aid?

Yunus: I see it primarily as an achievement of the UN to have brought
the global community to a consensus over this goal at the Millenium
Summit 2000. For, just a few years before that summit, we had begun
to notice that all hitherto attempts at tackling poverty had failed.

SPIEGEL: But that did nothing to alleviate hunger and poverty in the
world.

Yunus: Because unfortunately, shortly after the UN declaration,
terrorism, the Iraq war and the global war against terrorism threw
everything into disarray. The policies of United States President
George W. Bush derailed the entire process. Instead of concentrating
on the war against poverty, global attention is now focused on
another kind of slaughter -- on something that is intangible and yet
being tackled by all the possible military means we can muster. And
all the lofty declarations by world leaders about combatting poverty
that were lauded by the General Assembly turned out to be damp 
squibs.

SPIEGEL: Despite more than $106 billion in development aid that was
paid last year alone. You've settled for another path. What triggered
your idea to make microcredit and microloans available to the poorest
of the poor?

Yunus: At the university in Chittagong in southern Bangladesh, where
I taught for a while, there were no advisors -- neither from Dhaka
nor from abroad -- to tell us what to do. In the small village
neighboring the university and along with our students, who
themselves belonged to that village, we started a project against
poverty in 1976. Very soon, we noticed that the people were all
dependent on dubious money-lenders and loan sharks. We calculated
their collective debt and found it to be $27 dollars. I was shocked.
When we speak of development aid, we speak in terms of billions, but
never about how $27 can d

[wanita-muslimah] Fwd: Re: [hanif-net]- Studi Poligami

2006-12-17 Terurut Topik d. candraningrum
--- In [EMAIL PROTECTED], "d. candraningrum" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

Halo Akbar dan Mas Ikhsan,
Liebe Freunde HANIF-Milisters,

A. DISIPLIN KOSMOLOGI ILMU
Approach yang dipakai oleh Mas Ikhsan dan Akbar, keduanya dari 
disiplin "Ekonomi". dalam filsafat ilmu, Ekonomi, terletak di antara 
dua disiplin ilmu besar:

1. Geisteswissenschaft (boleh diterjemah bebas sbg Social Sciences)
tugas utama adalah VERSTEHEN-to understand.
2. Naturwissenschaft (boleh diterjemah bebas sbg Hard Sciences)
tugas utama adalah ERKLAEREN-to explain.

Ekonomi adalah pengkaji perilaku manusia, d.h.VERSTEHEN, dengan 
metodologi aritmatik, d.h. ERKLAEREN. Posisi ekonomi berada di 
antara kedua disiplin ilmu itu. Dewi, karena mempelajari sastra, 
berada dalam disiplin ilmu VERSTEHEN. Kalau kurang tepat, mohon 
dikoreksi.


B. VERIFIKASI-FALSIFIKASI
Akbar, telah menyebutkan kata "falsifikasi". Dalam pisau analisis 
ilmiah, ketika seseorang melakukan penelitian, tentu ada batas. 
dalam batas itu, atau sering disebut area study, seorang peneliti 
meletakkan hasil akhirnya sebagai VERIFIKASI. Tetu saja, verifikasi 
itu "hanya" akan berlaku dalam batas itu saja. hal ini, salah 
satunya diketahui dengan cara mem-FALSIFIKASI. FALSIFIKASI itu bukan 
dalam rangka menunjukkan bahwa penelitian si A adalah SALAH. 
Falsifikasi di sini, bermakna, bukan MENYALAHKAN, tapi menyebutkan 
batas dari VERIFIKASI itu. Ketika seseorang mengajukan Falsifikasi, 
seseorang menunjukkan keterbatasan teori A akan batas A. Tetapi, 
dibalik itu, dia sedang MENGUKUHKAN VERIFIKASI teori A atas batas A. 
biasanya, yang dilakukan selanjutnya dari sebuah aksi FALSIFIKASI 
adalah menunjukkan teori B atas area B. VERIFIKASI dan FALSIFIKASI 
itu, secara surface level, terlihat seperti menyalahkan satu sama 
lain, padahal, secara DEEP STRUCTURE, itu saling mengukuhkan dan 
memetakan studi masing-masing. 

Mengapa penelitian berkembang maju pesat, karena rantai "verifikasi-
falsifikasi-verifikasi-falsifikasi-sampai tak terhingga" ini 
dipahami secara holistik oleh peneliti-peneliti profesional yang 
menyadari betul akan keterbatasan konsep-nya. Rantai itu adalah 
rantai DIALEKTIKA. Dengan mengakui keterbatasan konsep-nya itu, 
sering kita lihat pula, peneliti-peneliti profesional selalu enggan 
mengatakan bahwa penemuannya yang paling valid atau paling benar. Ke-
enggan-an tersebut, salah satunya, dirasai oleh kesadaran peneliti 
akan keterbatasan ruang dan waktu. Ruang dan waktu inilah yang akan 
memberikan penjelasan yang berbeda atas suatu hal. misal, hal 
poligami. "Ruang dan waktu masyarakat komunal" dan "ruang dan waktu 
masyarakat modern" akan melihat poligami dengan "perspektif/kaca 
mata" yang berbeda.

C. DIALEKTIKA PRO-KONTRA POLIGAMI

Karena saya berangkat dari GEISTESWISSENSCHAFT (kosmologi sastra, 
agama dan filsafat), maka saya coba lihat persoalan ini dari kaca 
mata yang saya miliki. 

Pro-Kontra Poligami di Indonesia, sebenarnyalah, menunjukkan adanya 
suatu enclave masyarakat transisi, dari masyarakat komunal 
(tradisional) ke masyarakat ego (modern). saya sedang tidak 
mempertentangkan keduanya, dan keduanya tidak berarti paradoksal.

1. Pro-Poligami
Pro-poligami ini didukung oleh msyarakat dan individu yang 
mengafirmasi "ego komunal", secara relijius "ego ketuhanan". Teh 
Ninih telah menikah dengan Tuhan dan masyarakatnya, tinimbang dengan 
Aa Gym. kelemahannya, adalah, bahwa ego Aa Gym menjadi superior 
dalam kosmologi masyarakat komunal-ketuhanan. Sejarah poligami, 
memang satu paket dengan sejarah segregasi perempuan (seperti saya 
tulis di Kompas dan JakPost). Jadi ketika Teh Ninih, ikhlas, dia 
sedang tidak mengklaim "ego", dia sedang mengklain "ego Tuhan".

Persoalannya adalah, Indonesia ini berada dalam dunia transisi, 
jamaah Aa Gym adalah jamaah transisi. Dalam banyak hal, Aa Gym, 
bahkan memperkuda aparatus modern untuk mem-verifikasi dakwah-nya 
(lewat tivi, radio, dll, juga bisnis modern). Seandainya, Aa Gym, 
menjalankan dakwahnya secara "tarikat", yang jelas-jelas 
mengafirmasi sistem komunal, tentu Aa Gym tidak akan dihujat media. 
Media yang didiami oleh Aa Gym telah mengafirmasi dunia "Ego".

2. Kontra-Poligami
Masyarakat yang menolak poligami, telah matang dalam dunia ego, 
dunia spesialisasi, dunia modern. tatkala jelas terlihat 
bahwa "super ego" yang dimiliki Aa Gym telah menindas "Ego" Teh 
Ninih. Masyarakat ini melihat bahwa parade poligami Aa Gym dan 
beberapa pejabat negara adalah parada kelas atas. kelas ekonomi 
atas. jadi telah menghina kelas ekonomi bawah. Di sini mereka 
melihat Aa Gym memiliki "split-personality". Misal, ketika dia 
miskin, dia tidak akan poligami, karena dia tidak mampu. Ketika dia 
kaya, dia melakukannya. Masyarakat media, terutama, KHAWATIR, kalau 
langkah ini ditiru oleh kelas menengah ke bawah. ini akan jadi 
persoalan besa

[wanita-muslimah] Re: Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru

2006-12-17 Terurut Topik d. candraningrum
Hatur nuhun atas tambahan penjelasan-nya Mas Oman.

dewi

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "oman abdurahman" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Hermeneutika saya kira adalah kegiatan level prabu atau bengawan.
> 
> Banyak syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai level 
penafsir/hermeneutis.
> Jika di dunia akademis, seorang specialis atau level doktor 
barangkali yang
> tafsirannya bisa diandalkan. Dalam bidang agama, tuntutannya lebih 
tinggi.
> Paling tidak syarat-syarat untuk menjadi ulama yang tafsirannya 
dapat
> menjadi rujukan paling tidak harus adil, akhlaknya baik, menguasai 
ilmu2 Al
> Qur'an dan Al hadist serta ilmu-ilmu penunjang lainnya baik ilmu2 
keagamaan
> maupun ilmu-ilmu yang sering disebut sebagai ilmu dari barat. 
Lebih dari
> itu, berkaitan dengan Al Qur'an, ada level yang lebih tinggi lagi, 
berhubung
> untuk Al Qur'an ada yang disebut dengan ta'wil dan ada yang 
disebut dengan
> tafsir. Dalam salah satu mdzhab, seorang yang sudah mencapai level 
penafsir
> belum tentu mencapai level (boleh) mena'wil. Syarat sebagai 
pena'wil lebih
> tinggi lagi.
> 
> Secara keilmuan/akademis, sebelum membahas tafsir, seorang ahli 
tafsir
> mestilah menguraikan dulu sebuah wacana berdasarkan ilmu bahasa: 
etimologi
> dan leksikal (berdasarkan kamus). Dalam hal ini, makna bahasa yang 
terdapat
> di tengah masyarakat pun (sosiologi bahasa? maaf saya kurang tahu 
istilah
> persisnya yang jelas maksudnya adalah makna yang dipahami 
masyarakat dari
> masa ke masa juga) harus dibahas.
> 
> Lebih jauh dari itu, seorang penafsir mestilah adil. Ia harus 
membedakan
> atau menjelaskan tafsiran itu yang mana yang atas dasar keyakinan, 
yang mana
> yang lebih mendekati kebenaran menurutnya, dan yang mana yang 
merupakan
> fakta. Dalam prakteknya, amatlah sedikit yang mampu sampai ke 
tingkatan
> seperti itu. Jika keyakinan masih kental dengan nuansa subyektif, 
kebenaran
> masih dapat diperdebatkan, namun fakta adakalanya menyakitkan dan 
sering
> "ditafsirkan" menjadi kebenaran atau keyakinan.  Bernard Russel 
pernah
> berkata, kl - saya bahasakan kembali -: "Antara keyakinan, 
kebenaran, dan
> fakta lah yang terkadang sering menyakitkan namun - bagaimana pun 
itu -
> harus diterima".
> 
> Salam,
> manAR
> 
> 
> 
> On 12/16/06, d. candraningrum <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >   Mbak Ida yang baik dan temen2 WM semua,
> >
> > semoga sehat selalu. Maaf, saya belum tahu kalau Mbak Ida tanya 
saya
> > soal hermeneutika di sini (milis WM). hanya sesekali saja saya
> > mampir di WM.
> >
> > Terima kasih banyak Mbak atas apresiasinya (tulisan di Jurnal
> > Perempuan). Mengenai Hermeneutika (a la Yunani-Barat), ada bahasa
> > lain yang serupa, yaitu "ilmu tafsir" (a la Muslim). tapi, Pak
> > Syamsuddin ini tidak mau mengakui kalau "ilmu tafsir" itu adalah
> > juga pisau "hermeneutika". Keduanya memiliki esensi yang sama, 
meski
> > beda kata.
> >
> > cara bedah-nya ada beberapa tahap:
> >
> > A. Impersonal Other
> > 1. I talk about It
> > 2. I talk about They
> > 3. I talk with You
> > It, They dan You itu masih "impersonal", tidak menganggap orang 
lain
> > setara dengan kita. Ini biasa dilakukan pemikir yang
> > melihat/mengkritik konsep lain, dari kandang sendiri. Step ke-3 
ini,
> > masih yang paling aman dipakai, demi keselamatan identitas 
masing2.
> > Jadi tidak perlu memaksakan satu sama lain. tapi masih menganggap
> > orang lain sebagai orang lain. Dengan Step-3 ini kedua partisipan
> > saling mengakui kebenaran masing2, tapi, tidak memilih bahwa
> > partisipan lain juga mengungkapkan kebenaran.
> >
> > B. Personal Other
> > 4. We discuss, atau We talk each other
> > "We" ini memposisikan si peneliti/penerjemah sama dengan obyek
> > studi. Dengan step ke-4 ini, kita saling mengakui dan
> > menghargai "kebenaran" yang diproduksi oleh konsep lain. Step 4 
ini
> > mempercayai "universal conscience", bahwa setiap manusia, setiap
> > kosmologi yang berbeda, sebenarnyalah, memiliki KESAMAAN HIKMAH 
yang
> > tak terbantahkan.
> >
> > Sakit akut yang dimiliki "ras-etnis-umat agama-bangsa-dll" 
manapun
> > adalah manakala mereka berbicara ttg orang lain dengan memakai 
step
> > 1-2-3. Yang paling sehat adalah step nomor 4. Mbak Sirikit (dlm
> > tulisan Hypocrisy Poligamy & Potret Keliru Poligami) dan Pak
> > Syamsuddin (dalam tulisan Wahdatul Wujud dan Hermeneutika) ini
> > adalah tipikal pemikir di step 1-2-3. Belum memilih step ke-4.
> > Dengan step 4 ini, kita disyar

[wanita-muslimah] Re: Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru

2006-12-16 Terurut Topik d. candraningrum
Mbak Ida yang baik dan temen2 WM semua,

semoga sehat selalu. Maaf, saya belum tahu kalau Mbak Ida tanya saya 
soal hermeneutika di sini (milis WM). hanya sesekali saja saya 
mampir di WM.

Terima kasih banyak Mbak atas apresiasinya (tulisan di Jurnal 
Perempuan). Mengenai Hermeneutika (a la Yunani-Barat), ada bahasa 
lain yang serupa, yaitu "ilmu tafsir" (a la Muslim). tapi, Pak 
Syamsuddin ini tidak mau mengakui kalau "ilmu tafsir" itu adalah 
juga pisau "hermeneutika". Keduanya memiliki esensi yang sama, meski 
beda kata.

cara bedah-nya ada beberapa tahap:

A. Impersonal Other
1. I talk about It
2. I talk about They
3. I talk with You
It, They dan You itu masih "impersonal", tidak menganggap orang lain 
setara dengan kita. Ini biasa dilakukan pemikir yang 
melihat/mengkritik konsep lain, dari kandang sendiri. Step ke-3 ini, 
masih yang paling aman dipakai, demi keselamatan identitas masing2. 
Jadi tidak perlu memaksakan satu sama lain. tapi masih menganggap 
orang lain sebagai orang lain. Dengan Step-3 ini kedua partisipan 
saling mengakui kebenaran masing2, tapi, tidak memilih bahwa 
partisipan lain juga mengungkapkan kebenaran.

B. Personal Other
4. We discuss, atau We talk each other
"We" ini memposisikan si peneliti/penerjemah sama dengan obyek 
studi. Dengan step ke-4 ini, kita saling mengakui dan 
menghargai "kebenaran" yang diproduksi oleh konsep lain. Step 4 ini 
mempercayai "universal conscience", bahwa setiap manusia, setiap 
kosmologi yang berbeda, sebenarnyalah, memiliki KESAMAAN HIKMAH yang 
tak terbantahkan.

Sakit akut yang dimiliki "ras-etnis-umat agama-bangsa-dll" manapun 
adalah manakala mereka berbicara ttg orang lain dengan memakai step 
1-2-3. Yang paling sehat adalah step nomor 4. Mbak Sirikit (dlm 
tulisan Hypocrisy Poligamy & Potret Keliru Poligami) dan Pak 
Syamsuddin (dalam tulisan Wahdatul Wujud dan Hermeneutika) ini 
adalah tipikal pemikir di step 1-2-3. Belum memilih step ke-4. 
Dengan step 4 ini, kita disyaratkan keluar dari kosmologi konsep 
kita, dan meneropong yang lain, secara setara. Jika ini tulisan 
ilmiah-akademik, step 4 ini pilihan terbagus. Jika ini mengenai 
keyakinan, sebaiknya Step-3, tetapi, tentu saja, tidak mencampurnya 
dengan perspektif ilmiah. karena akan berbenturan secara disipliner.

Begitu mbak. menurut dewi. kita sambung diskusinya kalau Mbak Ida 
lagi ndak repot.

salam hangat dari Muenster,
dewi candraningrum

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Kalau saya sih Mas Ary, cuma binun aja sama penulis yg katanya 
sedang
> studi promosi yg ke dua (di Jerman pulak). Dari tulisan2nya 
kelihatan
> sih dia cukup well-informed tentang pemikiran dan perdebatan di 
bidang
> post modernism dan turunannya, cuma saya suka bingung sama
> argumentasi2 dan kesimpulan2nya, sepertinya penulis mengalami 
semacam
> split personality? 
> Saya bayangkan promotornya bingung juga kali yha 
> 
> Mungkin Mbak Dewi Candraningrum yg ahli posmo :) bisa menerangkan
> "missing link"nya penulis ini dimana. 
> 
> Mbak Dewi, analisis "Spivakian"nya terhadap RUUAPP (di Jurnal
> Perempuan) mencerahkan, saya suka bacanya.
> 
> Salim, 
> Ida
> 
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Ary Setijadi Prihatmanto"
>  wrote:
> >
> > fakta dan opini nyampur...jadi mirip propaganda...
> > menurut mas prend sendiri gimana?
> > 
> > - Original Message - 
> > From: "P|R|E|N|D|69" 
> > To: 
> > Sent: Friday, April 14, 2006 6:15 AM
> > Subject: [wanita-muslimah] Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru
> > 
> > 
> > (deleted)
> > 
> >   Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika
> > Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan 
gagasan "pemisahan
> teks dari
> > pengarangnya" sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih 
baik.
> Bahkan,
> > orang seperti Scleiermacher meng­aju­kan gagasan tentang
> kemungkinan
> > penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika 
gagasan ini
> > diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu mema­hami
> Al-Quran lebih
> > baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?
> > 
> > Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan
> Nasr Hamid
> > Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah "produk budaya" 
(muntaj
> > tsaqafy).
> > 
> > Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya, 
karya
> sastra
> > biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, 
maka itu
> > berarti telah memisahkan al-Quran dari "Pengarangnya", yaitu 
Allah SWT.
> > 
> > Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. Redaksinya 
pun
> berasal
> > dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab
> biasa. Dia
> > adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling 
mema­hami
> maknanya
> > adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para 
sahabat).
> > 
> > Jika teks Al-Qur`an dice­rabut dari penjelasan 
Rasu­lullah
> SAW dan
> > diletakkan dalam konteks paradigma "Marxis", maka maknanya tentu 
bisa
> > berubah secara mendasar. Jika Allah meng­haramkan babi, la

[wanita-muslimah] Re: Bukan Rumor, Aa Gym Kawin Lagi

2006-12-02 Terurut Topik d. candraningrum
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dwi W. Soegardi" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> suatu kali saya harap mbak Chae bersedia mewawancarai Aa Gym juga,
> biarpun imajiner juga :-)
> 
> salam,
> DWS


1. BAD NEWS, GOOD NEWS
Seleberitis kan macem2 Mas Dwi. Ada pekerja seni, artis, pejabat, 
politisi, penyanyi. Nha, kalau di Indonesia, ada tambahan satu lagi, 
yang bikin beda dari negara2-nya orang kafir, yaitu: Ustadz. Media 
sudah men-jual Zaenuddin MZ, demikian juga menyingkirkannya. Media 
juga sudah menjual Abdullah Gymnastiar, tapi belum menyingkirkannya. 
tapi, khusus, "dag dig dug der" AA GENIT ini mesti diliput abis. 
bukankah "bad news" itu "good news"? Jadi sebulan ini, kita 
tongkrongin terus aja AA GENIT ini. tahun depan, pasti media cari 
seleberitis lain, yang berjenis Ustadz loh! Kan ibu-ibu di MQ udah 
pada nangis tuh gara-gara ulah USTADZ GENIT itu.

2. AA GENIT LUCU DEH!
Sepertinya, wawancara imajiner Mbak Chae itu merupakan awal 
penyingkiran Ustadz bersurban, berhati durian ini. Maklum, ibu-ibu 
mesti banyak tontonan yang "lucu-lucu". Ibu-ibu yang pinter kan yang 
bisa ketawa terpingkal-pingkal dengan kisah tokoh genit bersurban 
ini.

3. TINGKATKAN STAMINA MENGHADAPI OLAH RAGA BARU
Buat AA GENIT, ada saran nih dari ibu-ibu. minum jamu gingseng yang 
rajin yah! kalau biasanya cuman makan telur satu, sekarang nambah 
lagi dong. Jangan lupa, tenggak madu sehari satu liter. biar ces 
pleng. sekarang toh keluarga telah menerima kedatangan pemain baru. 
menurut laporan wartawan infotainment Wanita Muslimah, berinisial HE-
MAN, di kolom HOT-GOSSIP, pemain baru ini konon "hot". :-)))

Buat TEH NINIH, sering-sering aja ke fitness, atau ke gym. biar 
tambah kenceng. tar kalah performa sama TEH RINI.

AA GYM, TEH NINIH & TEH RINI, selamat menempuh OLAH RAGA baru deh!


healthy body, healthy soul!
d



[wanita-muslimah] Re: Tanya kenapa........Teh Ninih???? - Al Husein akan terbunuh

2006-12-01 Terurut Topik d. candraningrum
AA Jano, hatur nuhun nasehat-nya. Mau minta nasehat lagi nih...

a. Separuh hidup saya, saya dedikasikan untuk menerjemahkan 
Sirah Ibnu Ishak: Kitab Sejarah Nabi Tertua, Volume 1, 2, 3 (2001, 
2002, 2003). Surakarta: Muhammadiyah University Press. Di sini 
diceritakan kisah-kisah teologis, sosial, kultural, politis seorang 
Nabi, bernama Muhammad. begitu juga sejarah "the Killed-Husein".

b. Juga menerjemahkan sufi hati-ku, Al Hallaj: Sang Sufi Martir 
karya Louis Massignon (2000). Yogyakarta: Fajar Pustaka Press.

dari kedua kisah figur penting itu (Husein dan Hallaj), sejauh saya 
memahami, sejauh saya menelisik, persoalan "pembunuhan", baik "the 
killed-Husein" dan "the mutilated-tormented-Hallaj", lebih 
menyangkut aspek politis. Jadi mereka terbunuh karena "political 
intrigues". 

Kira-kira, AA JANO bisa bantu saya, cara menghubungkan antara 
konstruksi kultural "poligami" dan konstruksi politis "pembunuhan" 
Husein? Bagaimana AA JANO melihat persoalan ini dari konstruksi 
teologis?

salaam,
dewi

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Chae membuat cerita :
>   
>   C: Teh Ninih, kalau poligami adalah ajaran Islam dan perintah 
Allah
> > SWT, lalu kenapa Nabi melarang Ali untuk menikah lagi untuk
> > berpoligami? ? apa Nabi tidak melaksanakan ajaran Islam dan 
> melanggar
> > perintah Allah?? apa menurut Teh Ninih Nabi teh kurang 
ilmunya jadi
> > enggak tahu kalau poligami ajaran Islam dan perintah dari 
Allah??
>   
>   =
>   
>   Jano-ko sedikit memberi info,
>   
>   Perbedaan antara Chae dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah, 
bahwa Chae  hanyalah manusia biasa sedangkan Kanjeng Nabi Muhammad 
SAW adalah Rasul  yang mempunyai hubungan yang "khusus" dengan Allah 
SWT.
>   
>   Dek d Candraningrum yang baik, cobalah baca sejarah nasib dari 
keluarga  Kanjeng Nabi Muhammad SAW, cobalah baca sejarah bagaimana 
Ali dan  putera-puteranya yang bernama Hasan dan Husein wafat, 
sangat  menyedihkan.
>   
>   Nabi Muhammad SAW sudah mendapat berita dari Allah SWT melalui 
Malaikat  Jibril tentang apa yang akan terjadi kepada kedua cucunya.
>   
>   ---
>   
>   Imam Ali as bercerita, "Aku pernah bertamu ke rumah Rasulullah 
SAWW dan   kulihat mata beliau berlinang air mata. Aku 
bertanya, "Wahai Nabi Allah, apakah   ada orang yang memurkakan 
Anda? Apa yang sedang menimpa Anda sehingga mata Anda   berlinang 
air mata?" Beliau menjawab, "Baru saja Jibril datang kepadaku dan 
ia   memberikan kabar kepadaku bahwa Al-Husein akan terbunuh di tepi 
sungai Eufrat".   
>   
>   Pada suatu hari Rasulullah SAWW sedang berada di rumah Ummi 
Salamah. Jibril   as turun dari langit. Rasulullah SAWW berkata 
kepadanya, "Jangan kau izinkan   siapapun masuk!" Tidak lama 
kemudian Al-Husein yang masih kecil datang   merengek-rengek untuk 
menemui kakeknya. Ummi Salamah mencegahnya seraya   menggendongnya 
supaya reda tangisannya. Ketika melihat tangisannya semakin   keras, 
ia akhirnya melepaskannya masuk. Lalu ia masuk dan langsung duduk 
di   pangkuan Rasulullah SAW. Seketika itu juga Jibril as berkata 
kepada Nabi SAWW,   "Sesungguhunya umatmu akan membunuh putramu 
ini". Rasulullah SAWW keluar dari   kamar sambil menggendong Al-
Husein as dengan hati yang sedih. Beliau langsung   menuju menemui 
para sahabat yang kala itu sedang duduk santai. Beliau bersabda   
kepada mereka, "Sesungguhnya umatku akan membunuh anak ini!" Di 
antara mereka   juga terdapat Abu Bakar dan Umar.
>   
>   Ketika Imam Ali as sampai di Nainawâ dalam perjalannya menuju 
Shiffîn,   beliau langsung berseru, "Sabarlah, wahai Abu Abdillah! 
Sabarlah, wahai Abu   Abdillah! Tepi sungai Eufrat!" Perawi 
bertanya, "Siapakah Abu Abdillah itu?"   Beliau menjawab, "Suatu 
hari aku bertamu kepada Rasulullah SAWW dan kulihat mata   beliau 
berlinangan air mata ... Beliau bersabda, "Baru saja Jibril as pergi 
dari   sini. Ia memberitahukan kepadaku bahwa Al-Husein akan 
dibantai di tepi sungai   Eufrat". 
>   
>   -
>   
>   Kita tidak pernah tahu alasan Nabi Muhammad SAW melarang Amirul  
Mukminin Ali bin Abi Tâlib bin Abdil Muttalib bin Hâsyim bin Abdi 
Manâf  bin Qusai Al-Qurasyi Al-Hâsyimî Al-Muttalibî At-Tâlibî as 
untuk menikah  lagi.
>   
>   Atau bisa saja .
>   
>   
>   
>   Semoga bermanfaat.
>   
>   
>   Wassalam
>   
>   
> 
> "d. candraningrum" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:  Mbak Chae 
pinter abis!
>   Hatur Nuhun!
>   
>   --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae" 
>wrote:
>   >
>   > "Bagaimana kal

[wanita-muslimah] Re: Tanya kenapa........Teh Ninih????

2006-12-01 Terurut Topik d. candraningrum
Mbak Chae pinter abis!
Hatur Nuhun!

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> "Bagaimana kalau Aa Gym nikah lagi?" tanya Bu Siti Fadilah.
> "Saya tahu, Aa sering dakwah ke luar kota dan butuh pendamping
> untuk mengurusnya. Sedangkan saya tidak selalu bisa bersama
> mendampinginya. Saya lebih sering berada di Bandung, mengurus anak-
anak
> 
> "Bagaimana kalau Aa Gym nikah lagi?" tanya Bu Siti Fadilah.
> "Saya tahu, Aa sering dakwah ke luar kota dan butuh pendamping
> untuk mengurusnya. Sedangkan saya tidak selalu bisa bersama
> mendampinginya. Saya lebih sering berada di Bandung, mengurus
> anak-anak dan berdakwah. Jadi, seandainya Aa menikah lagi, tak ada
> persoalan. Memang, sebagai perempuan tentu hati kecilnya keberatan.
> Tapi, kalau kita ingat bahwa poligami adalah ajaran Islam, perintah
> Allah SWT, dan hal itu bisa membawa kemaslahatan, saya rasa tidak
> masalah,"jawab Teh Ninih.
> 
> "Apa *nggak* dicarikan (calon istri) saja oleh Teh Ninih?" tanya
> Bu Siti Fadilah."Saya *nggak* mau mencarikan calon istrinya karena
> khawatir salah pilih dan tidak sesuai pilihan Aa," kata Teh Ninih
> sambil tertawa.
> 
> Mendengar pernyataan istrinya seperti itu, Aa Gym seolah merasa
> "tersanjung". Aa Gym pun langsung berkata, "Bu menteri, itulah 
jawaban
> istri yang *sholehah*
> 
> *
> 
> Kutipan di atas di copy paste dari berita yang di muat di harian
> Pikiran Rakyat yang diposting oleh temen di sini.
> 
> Seandainya saya bisa bertemu teh Ninih, ingin saya mengajukan 2
> pertanyaan saja sama Teh Ninih tapi kemungkinan kecil bagi saya 
untuk
> bertemu Teh Ninih dan bertanya langsung. Jadi saya bikin dialog
> imajiner saja a siapa tahu saya bisa sedikit banyak bisa tahu
> jawaban dari Teh Ninih atas pertanyaan saya.
> 
> chae: teh Ninih, kumaha damang??
> Teh Ninih (TN) : Sae, Alhamdulillah
> C: teh Ninih sebelumnya saya mengucapakan selamat...
> TN: Selamat apa'an???
> C: Selamat berjuang Teh, pasti perjuangan Teteh semakin berat 
dengan
> menjadi istri pertama. Jangankan jad istri pertama Teh, jadi istri
> satu-satunya aja sudah cukup berat apalagi jadi istri 
pertama...iyakan
> Teh??
> (TN enggak jawab, cuman senyum2 aja... (padahal kagak tahu jawab
> imajiner nya apa'an;) )
> C: Teh Ninih, kalau boleh tanya dan ingin tahu, apa alasan Teh 
Ninih
> mengijinkan AA Gym menikah lagi?
> TN:  "Saya tahu, Aa sering dakwah ke luar kota dan butuh pendamping
> untuk mengurusnya. Sedangkan saya tidak selalu bisa bersama
> mendampinginya. Saya lebih sering berada di Bandung, mengurus
> anak-anak dan berdakwah. Jadi, seandainya Aa menikah lagi, tak ada
> persoalan. 9Ini kutipan aslii loh!)
> C: Loh Teteh kumaha??? (dengan nada kaget!!!;) Teh Ninih, enggak 
mau
> mencontoh Siti Khadijah, beliau ini juga mengurus banyak anak belum
> lagi menjalankan bisnis sendiri yang mana bisnisnya dulu di zamanya
> termasuk skala pengusaha besar...konglomerat..selama 30 tahun
> sedangkan Nabi sendiri sibuk dengan urusan dakwah dan dakwahnya 
Nabi
> mah lebih berat ketimbang dakwahnya AA Gymditambah Nabi mah 
suka
> semedi di gunung lama...ya...jadi kalau dibandinkan sama AA Gym mah
> jauhhh atuh Teh Ninih Tapi Siti Khadjijah mah kagak aral 
subaha (
> berkeluh kesah..merasa repot) sampe-sampe menyerakan tanggung 
jawabnya
> sama perempuan lain...kumaha atuh Teh Ninih Teh??/
> TN: Tapi, kalau kita ingat bahwa poligami adalah ajaran Islam,
> perintah Allah SWT, dan hal itu bisa membawa kemaslahatan, saya 
rasa
> tidak masalah,"jawab Teh Ninih.
> C: Teh Ninih, kalau poligami adalah ajaran Islam dan perintah Allah
> SWT, lalu kenapa Nabi melarang Ali untuk menikah lagi untuk
> berpoligami?? apa Nabi tidak melaksanakan ajaran Islam dan 
melanggar
> perintah Allah?? apa menurut Teh Ninih Nabi teh kurang ilmunya jadi
> enggak tahu kalau poligami ajaran Islam dan perintah dari Allah??
> TN:"Kalau soal poligami, jika itu bisa membahagiakan Aa, Teteh ikut
> saja. Walaupun hal itu sangat berat buat seorang wanita, tapi Teteh
> mengharap mendapat surga. (dikuti dari warta kota yang dipoting 
temen WM)
> C: Loh..Teh Ninih, Siti Fatimah  melarang suaminya Ali ra 
berpoligami,
> apa Teteh Ninih pikir Siti Fatimah tidak berharap mendapatkan 
surga??
> apa orang-orang yang melarang suaminya berpoligami tidak akan 
mendapat
> kapling di surga?? atau menurut Teh Ninih kapling di surga khusus 
buat
> perempuan atau istri2 yang rela di poligami???
> TN: Salah satu syarat masuk surga adalah berbakti kepada suami," 
ucap
> Teh Ninih (kutipan dari warta kota)
> C: Tapi Teh Ninih, apa berbakti kepada suami itu harus sampai
> mengorbankan perasaan dan kebahagiaan kita sebagai istrinya?? apa 
Siti
> Fatimah yang menolak untuk di madu bsia dikatakan sebagai istri 
yang
> tidak berbakti?? bagaimana sih perasaan Teteh mengetahui 
kenyataanya
> kalau AA Gym menikah lagi dengan perempuan lain apalagi kalau
> perempuanya..ma'af2 yach Teh, tapi lebih ok dari sisi penampilan 
dan
> lebih muda...
> TN: "Kal

[wanita-muslimah] "Bagaimana Nasib DW di Daarut Tauhid?"

2006-11-30 Terurut Topik d. candraningrum
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/05/13/brk,2005
0513-04,id.html

Jawa Barat

Daarut Tauhid Bantah Ada Pelecehan Seks
Jum'at, 13 Mei 2005 | 04:49 WIB 

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid 
(DT), K.H. Abdullah Gymnastiar, membantah adanya pelecehan seksual 
yang dilakukan ustadz Daarut Tauhid berinisial AR terhadap DW, 
mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Bantahan 
ini dikemukakan Aa Gym, begitu biasanya Abdullah Gymnastiar 
dipanggil, dalam jumpa pers, di Bandung, Kamis (12/5). 

Bantahan itu merupakan pernyataan resmi DT menyikapi informasi yang 
dilansir beberapa media menyangkut kasus dugaan pelecehan seksual 
oleh AR, yang terjadi dua tahun lalu. Menurut Aa Gym, sehubungan 
dengan tidak ditemukannya bukti atas kasus tersebut, pihaknya sudah 
minta kedua pihak untuk bersumpah, dan membuat surat perjanjian agar 
tidak saling ganggu. ""Kalau sudah Demi Allah dan berani dilaknat, 
mungkin itu sudah cukup bagi kami,"katanya.

Disebutkan, kesepakatan untuk tidak saling mengganggu itu dilakukan 
pada 3 September 2004, dan dituangkan dalam surat perjanjian 
bermaterai Rp 6 ribu. Ishlah disaksikan, antara lain, Ustadz Deden 
Mikdad dari DT, dan Mupid Hidayat dari UPI. 

Aa Gym sendiri membenarkan jika AR pernah bekerja di DT. Tapi, yang 
bersangkutan telah mengundurkan diri. Menurut dia, pengunduran AR 
tak berkait dengan dugaan adanya pelecehan seksual tersebut. 

Di tempat terpisah, Rabu (11/5), DW mendatangi LBH Bandung, untuk 
mengadukan masalahnya. Poppy Yuliarti, pengacara lembaga ini mengaku 
DW sudah mewakilkan masalah itu padanya. Namun, ia belum bisa 
memberikan keterangan karena harus mengumpulkan alat bukti dan fakta-
fakta hukum yang bisa menjerat pelaku ke tindak pidana yang tepat. 
Kepada wartawan, Poppy menyatakan, masih ada korban lain di luar DW. 
Namun, ia tak mau menyebut jumlahnya. 

Saat dihubungi Tempo, beberapa waktu lalu, DW mengaku pelecehan itu 
terjadi pada 30 September 2003. Saat itu, dia datang ke DT karena 
ingin meminta bantuan atas permasalahan yang dideritanya. Ia juga 
ingin berkonsultasi soal ibunya yang sedang sakit.

Setiba di DT, DW langsung mencari Saeful Islam Mubaroz, ustadz yang 
sering dia dengar melalui Radio MQ. Namun, Saeful tak ada. Akhirnya, 
DW pergi ke Departeman Pendidikan DT, dan bertemu AR. Di tempat ini, 
AR sempat mendekati DW, memegang dada, bagian perut dan di 
bawahnya. "Tapi, saya hanya diam, dan kepala saya terasa berat. Saya 
yakin terkena hipnotis," katanya. 

Selanjutnya, dengan dalih pengobatan, DW dibawa AR ke sebuah hotel 
di Lembang. Di sinilah, AR menggauli DW laiknya suami-istri. Setelah 
itu, DW mendengar AR mengucap sebuah akad dengan mahar Rp 50 
ribu. "Dia mengatakan kalau kami sudah nikah,"katanya. 

Pada bagian lain, DW mengaku pernah berishlah dengan AR. Tapi, 
menurut DW, AR berkukuh tak pernah melakukan pelecehan seksual 
padanya. Hingga berita ini diturunkan, AR belum bisa dimintai 
konfirmasi. 

Fikri/Rana Akbari/Ike Agestu



[wanita-muslimah] "Akan kucuci kakimu Aa Gym"

2006-11-30 Terurut Topik d. candraningrum
Kado pernikahan untuk Aa Gym dan Teh Rini. Tulisan ini khusus untuk 
Teh Ninih dan Teh Rini. "Akan kucuci kakimu Aa Gym".

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/27/swara/3121685.htm 

Suamiku adalah Tuhan-ku 

Namaku Prithivi Maharani. Aku akan dinikahkan dengan seorang 
keturunan Brahmana. Ayahku menyediakan dowri, mahar dari pengantin 
perempuan. Terkadang merupakan kekayaan yang luar biasa banyak: 
kerajaan, misalnya, atau seratus ekor sapi bahkan. 

"Aku dinikahkan dalam upacara panjang dan berlangsung berhari-hari. 
Setelah selesai, kemudian, selamanya, sampai akhir hayatku, aku 
hidup di dalam zenana, semacam ruang terpisah di rumah suamiku, di 
mana aku tinggal bersama ibu mertua dan semua adik-kakak ipar 
perempuan. 

"Di zenana kami bermain bersama. Ibu mertuaku mengajari aku 
menjahit, memasak, dan terutama beribadah. Ibadah utama yang aku 
lakukan adalah memohon kepada dewa agar aku dianugerahi anak laki-
laki. Aku memasakkan makanan untuk suamiku dan anak-anakku. Tatkala 
suamiku meninggal, aku akan pergi bersamanya dalam api membara. 
Suamiku adalah Tuhan-ku." 

Kisah 

Kisah ini ditulis Cornelia Sorabji (1866-1954) dalam India Recalled 
(1936). Menerobos zenana dan bercakap bersama para perempuan—mulai 
dari gadis-gadis kecil yang telah menjadi istri sampai yang sudah 
menjadi janda—memberikan wujud "dunia antara". Dunia antara, tempat 
perlintasan makna, menjadi sumber inspirasi bagi novel dan 
memoarnya. 

Pada waktu itu, perempuan India dalam ortodoks Hindu tidak 
diperbolehkan bekerja di luar rumah atau bertatap muka dengan "dunia 
luar". Dan, melahirkan bayi laki-laki adalah impiannya. Suami mereka 
adalah tempat bakti dan ujung ritual ibadah sehari-hari. 

Ketika suaminya bangun pagi hari, sang istri mencuci kakinya. Dan, 
ketika memulai ritual setiap harinya, dioleskannya kunkum, titik 
merah di dahi di antara kedua matanya sebagai tanda "aku adalah 
istri-mu dan engkau adalah Tuhan-ku". 

Ketika suaminya meninggal, dia ikut mati bersamanya, membakar diri 
dalam api, suttee. Ketika suttee dilarang oleh Kolonial Inggris, 
janda-janda tersebut berpakaian selembar kain katun putih dan 
berpuasa setiap hari sampai akhir hayat menjemputnya dan tidak 
menikah lagi sebagai tanda kesetiaan. 

"Suamiku adalah Tuhan-ku" 

Kalimat "Suamiku adalah Tuhan-ku" memiliki interpretasi beragam, 
bergantung lokasi episteme si penerjemah berada. Ketika "agama 
pagan" atau "agama bumi" membimbing peradaban manusia, kekuatan dan 
posisi tawar alam dan tubuh manusia masih kuat. 

Bumi disebut sebagai ibu, tepatnya dewi ibu. Sungai disebut sebagai 
dewi kehidupan. Ritual-ritual agama menyatu dalam aktivitas alam. 
Tatkala bunga, buah, dan daun menjadi syarat wajib implementasi dari 
sebuah ritual. 

Alam tidak berada dalam genggaman tangan manusia. Manusia juga tidak 
diberi hak absolut atas alam. Suara alam dan suara tubuh menjadi 
nadi ritual sehari-hari. Dalam ruang epistemik agama-agama tersebut, 
manusia dan alam adalah dua sahabat satu sama lain. Berkelindan 
dalam kosmos dewa-dewi. 

Ini berbeda dengan pandangan agama-agama Semit di mana alam 
diciptakan untuk kepentingan manusia. Manusia diberi kewenangan 
nyaris absolut untuk menguasai alam demi kebutuhan hidupnya. Alam 
tak lagi istimewa seperti sebelumnya dan irama tubuh tak lagi 
penting. 

Praktik selibat adalah puncak penolakan terhadap tubuh. Tatkala 
suara tubuh menjadi penghalang menuju kesucian. Tatkala fakultas 
jiwa dan fakultas roh menempati posisi paling tinggi. Tatkala 
interpretasi tubuh mengalami pergeseran, dari yang suci menjadi yang 
dosa. 

"Suamiku adalah Tuhan-ku" dapat juga diinterpretasikan sebagai 
peniadaan tubuh perempuan atas tubuh laki-laki. Tatkala tubuh laki-
laki lebih superior daripada tubuh perempuan secara metafisik. 
Dengan demikian, beribadahlah kepada suamimu dan bercita-citalah 
memiliki bayi laki-laki daripada bayi perempuan. 

Misteri 

Tubuh adalah misteri yang menyimpan makna seluas imajinasi. 
Karenanya, masing-masing tradisi agama memberikan penjelasan berbeda-
beda tentang hakikat dan makna tubuh. Tubuh juga merupakan kunci 
misteri ketuhanan. 

Meski banyak tradisi agama menganggap tubuh sebagai sesuatu yang 
rendah, perlu dikekang dan dikendalikan, tidak ada yang sepenuhnya 
menolak tubuh. Kenyataannya, hanya dengan tubuhlah manusia menjadi 
manusia sehingga hanya melalui tubuh—baik dipuja maupun ditolak—
manusia bisa mencapai realitas lebih tinggi, yang adalah Brahma, 
Azura Mazda, Yahweh, Allah…. 

Perempuan-perempuan yang tersebar dalam beragam episteme tersebut 
sepertinya akan menerjemahkan tubuh mereka sesuai dengan kosmologi 
metafisik tersebut. 

Prithivi Maharani akan menerjemahkan tubuhnya sesuai dengan konsep 
Hindu ortodoks yang dianutnya, dan Cornelia Sorabji juga akan 
menerjemahkan tubuhnya sesuai dengan konsep Kristen yang dianutnya. 
Makna tubuh dapat ditelisik melalui kompleksitas tradisi, bukan 
sekadar rasionalitas dogmatis berdasarkan persepsi inderawi. 

Dengan kata lain, letak 

[wanita-muslimah] Farish A. Noor: Nusantara Women on Top

2006-11-27 Terurut Topik d. candraningrum
(Nusantara) Women On Top

Written by Farish A. Noor 

Monday, 18 September 2006  

The writing of history has become the most contested discursive 
terrain in Malaysian society of late. Historical discourse has 
become the battleground for competing wills, backed by clearly 
identifiable political interests as well. Those of the Islamist camp 
have attempted to re-write Malaysian history (and Malay history in 
particular) through the lens of political Islamism, giving 
everything an Islamist gloss even where/when it wasnt there. Hardly 
a surprise then that the pre-Islamic past of the Malays has received 
so little attention by the esteemed intellectuals and academics of 
the Islamist hue. 

So great has this discursive shift been that the younger generation 
of Malay-Muslims in this country might think that before the coming 
of Islam, the Malays as a race and culture did not even exist. 
(Presumably there were aliens in their place at the time.) But in 
their rush to write their revisionist accounts of the past, these 
Islamist scholars have also narrowed the scope of Malay culture and 
identity and reduced Malay history to a mere few hundred years. So 
great have been the changes that these days one is almost afraid to 
talk of the pre-Islamic past in the universities, for fear of being 
labeled as one of those nasty ` munafikin' dressed up in academic 
clothing... 

Another area of Malay history that has been completely overlooked is 
the role of the non-Malay communities in the development of 
Malaysian culture and politics, and even more importantly the role 
played by women (of all ethnic communities) in that development. 

There have only been a few notable examples to the contrary: A 
handful of studies on the role of women in the dominant political 
parties like UMNO have been written in the late 1970s and early 
1980s, but nothing much has followed in the wake of these 
developments. 

Worse still, a gender-sensitive approach to history has not been 
foregrounded in the writing of the early history of the Malay-
Indonesian archipelago, which leaves women today with little to fall 
back on when searching for positive examples of emancipated and 
politically active women who played a key role in the development of 
their respective polities. 

Again and again, the same excuses are brought to bear: History and 
historical writing has always been predicated on a specific notion 
of the rational independent subject as the primary agent for 
historical progress. 

History, we are told repeatedly, is the result of the labours of the 
happy few: Men with power and the ability to use it. That is why we 
continue to repeat the cliché that Columbus discovered the New 
World, that Peter the Great modernised the Russian state, that Tunku 
Abdul Rahman was the founder of independent Malaya/Malaysia. The 
efforts of the subaltern classes- the millions of nameless 
individuals whose identities are lost because they did not carry 
with them the keys to power, wealth and influence remain relegated 
to the margins. 

Women are doubly disadvantaged in this respect. Robbed of their 
political rights and access to gaining it, they have been the silent 
motors of history whose efforts have made history itself possible 
but whose identities remain lost forever. The fact that history has 
been (in the past at least) more often than not written by men makes 
it even more difficult for women to have a say in this discourse of 
sameness that speaks only of itself and to itself all the time. 

Whenever women have demanded their right to contribute to the 
writing of history, or at least to have their efforts recorded for 
posterity, they have been told time and again that they are part of 
a larger current which they need to identify themselves with. Women 
have been told, since time immemorial, that they play a vital role 
in society but whenever they seek to find their own histories and 
identities in the discourse of history itself, the end result is 
always the same: The presence of women is inevitably sublimated 
under the broader category of human history itself, which, by some 
quirk of fate, happens to be the history of men written by men! 

It was therefore a welcome change to find a work that looks at the 
role played by Malay-Muslim women in the political developments of 
the Malay archipelago, entitled `Wanita Utama Nusantara: Dalam 
Lintasan Sejarah' (Prominent Women of Nusantara: A Historical 
Overview). Published in Indonesia and supported by the Menteri 
Negara Urusan Peranan Wanita of Indonesia, the book which is edited 
by Ismail Sofyan, H. Hassan Basri and T. Ibrahim Alfian attempts to 
do what no other major textbook in Malaysia or Indonesia has done 
before: To highlight the role played by Malay-Muslim women in the 
political development of Indonesia (most notably in Aceh, North 
Sumatra) over the past three hundred years. (It is also comforting 
to note that Indonesia has at least produced