Rekan-rekan pengamat milis yang berbahagia,
Terimakasih banyak atas semua tanggapan yang luar biasa
banyak dan bervariasi. Ada beberapa isyu yang muncul;
namun sayang waktu saya lagi sangat terbatas. Kalau
ada waktu, mungkin nantinya akan saya balas isyu tersebut.
Untuk sementara, saya membalas
On 1/6/06, Mohammad DAMT [EMAIL PROTECTED] wrote:
- Dosen malas (jarang masuk, ngobyek terus, kalau masuk cuma kasih tugas) - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk) - Tidak kreatif (metodologi kuno dan itu-itu aja)
- Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang
On 1/8/06, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote:
Pengalaman kuliah dulu, banyak sekali dosen yang mirip kriteria di atas. Kadang mikir, ngapain masuk kelas! Baca bukunya aja mungkin lebih menarik.Kok kalau saya, lebih tertarik baca buku sosial ya. :D
Baca bukunya Postman Teaching as subversive
On 1/7/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
Dari sudut pandang lain,saya bingung sebenarnya jika dikatakan adamasalah dengan mahasiswa,parameternya apa ? apakah karena melihatkilasan kejadian di ruang kampus atau outputnya nanti setelah lulus,berilmu dan kemudian bekerja dan
On 1/6/06, James A [EMAIL PROTECTED] wrote:
--- adi [EMAIL PROTECTED] wrote: masalah yang dituduhkan sama: - mahasiswa kurang kritis - mahasiswa salah pilih - mahasiswa kurang motivasi
- mahasiswa malas - mahasiswa maunya minta disuapin - mahasiswa yang begini-begitu pokoknya bukan salah saya
Yang ini setuju sekali, ceritanya dulu pernah ngalami ada pelajaran yang
gurunya cuma masuk dua kali selama satu semester, ya dua kali, di awal
dan di akhir semester! Tapi ya gapapa orang saya akhirnya dapat A sih
*-P
Oh ya pertemuan terakhir itu bukan di kelas, tapi di rumah makan.
Dosen
Made Wiryana wrote:
Baca bukunya Postman Teaching as subversive ..
IMW
Terimakasih Pak Made untuk referensinya. Nanti saya tambahkan di daftar
buku-buku wish-list saya deh.
Zaki Akhmad
On 1/8/06, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote:
Budi Rahardjo wrote: usulan pak adi ini pernah juga didiskusikan. jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut: - bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga sehingga tidak bisa dibuat main-main
- kalau sudah masuk terus gugur,
Lha pas dikasih tugas berat, jawabnya sering maaf pak tadi malam saya
kecapean abis narik (lha kerjaannya narik angkot)
Kalau ini dibahas nanti jatuh2nya disimpulkan harusnya ada pendidikan
murah bin gratis di Indonesia :-)
Anyway kalau univ di Indonesia kemahalan ya mungkin lebih baik hijrah
On Sun, Jan 08, 2006 at 07:12:34PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
Lha pas dikasih tugas berat, jawabnya sering maaf pak tadi malam saya
kecapean abis narik (lha kerjaannya narik angkot)
Kalau ini dibahas nanti jatuh2nya disimpulkan harusnya ada pendidikan
murah bin gratis di
On 1/6/06, James A [EMAIL PROTECTED] wrote:
Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
- Dosen malas (jarang masuk, ngobyek terus, kalau masuk cuma kasih tugas)
- Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
- Tidak kreatif (metodologi kuno dan itu-itu aja)
- Ngga update knowledge
On Monday 09 January 2006 13:30, Jefri Abdullah wrote:
On 1/6/06, James A [EMAIL PROTECTED] wrote:
Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
- Dosen malas (jarang masuk, ngobyek terus, kalau masuk cuma kasih
tugas) - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
- Tidak kreatif
On 1/9/06, Ronny Haryanto [EMAIL PROTECTED] wrote:
Kalo memang salah, kenapa nggak enak?
Ya, kalo salah dalam memberikan materi memang benar kita harus
memberikan argumen, maksud saya disini adalah komplen dengan cara
dosen mengajar. Menurut pendapat saya, sulit sekali seorang dosen
dapat
On Monday 09 January 2006 15:44, Jefri Abdullah wrote:
On 1/9/06, Ronny Haryanto [EMAIL PROTECTED] wrote:
Kalo memang salah, kenapa nggak enak?
Ya, kalo salah dalam memberikan materi memang benar kita harus
memberikan argumen, maksud saya disini adalah komplen dengan cara
dosen mengajar.
On 1/6/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
Made Wiryana wrote: Saya kurang tahu apakah ini salah satu tradisi utk membentuk accountability di PT atau tidak, tapi di tempat saya (Gunadarma), biasanyaada rapat kerja semesteran (sebagian besar bagian datang) dan di sana kalau kita
On Fri, Jan 06, 2006 at 12:29:02AM -0800, James A wrote:
Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
...
Kondisi yang seperti ini membuat mahasiswa jadi terlatih seperti sekarang,
terlatih untuk
meniru dosennya !
sebenarnya ini masalah lain (yang harus diselesaikan juga). kalau
dosennya
Dari sudut pandang lain,saya bingung sebenarnya jika dikatakan ada
masalah dengan mahasiswa,parameternya apa ? apakah karena melihat
kilasan kejadian di ruang kampus atau outputnya nanti setelah lulus,
berilmu dan kemudian bekerja dan bermanfaat untuk orang lain ?
Mungkin pandangan saya terlalu
James A wrote:
Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
Oke-oke saja sih dibalik. Walau saya pribadi sih lebih suka melihat
dari sisi mahasiswa. Lha wong belum pernah ngerasian rasanya jadi
dosen. Padahal saya ada keinginan untuk jadi dosen lho. Cuma takut
kuliah S2 dan S3 nya. S1 aja
Budi Rahardjo wrote:
usulan pak adi ini pernah juga didiskusikan.
jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut:
- bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga
sehingga tidak bisa dibuat main-main
- kalau sudah masuk terus gugur, tempat yang terpakai
menjadi terbuang
--- adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
masalah yang dituduhkan sama:
- mahasiswa kurang kritis
- mahasiswa salah pilih
- mahasiswa kurang motivasi
- mahasiswa malas
- mahasiswa maunya minta disuapin
- mahasiswa yang begini-begitu pokoknya bukan salah saya
Apa gak pernah dianalisa dari sisi
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 00:29 -0800, James A menulis:
Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
- Dosen malas (jarang masuk, ngobyek terus, kalau masuk cuma kasih tugas)
- Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
- Tidak kreatif (metodologi kuno dan itu-itu aja)
-
On 1/6/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
bagaimana kalau perguruan tinggi melakukan test-case, pakai sistem
gugur?
- terima bbrp orang yang berminat (gratis)
- pakai sistem gugur, kurikulum ketat
- lulus langsung kerja
usulan pak adi ini pernah juga didiskusikan.
jawaban dari pihak sono
On 1/6/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
Barangkali biaya kuliah di
perguruan tinggi negeri yang jauh lebih mahal dari perguruan tinggi
swasta hanya ada di Indonesia.
hi hi hi ... tidak semua kan pak?
(saya masih sering tanda tangan permohonan beasiswa mahasiswa
yang penghasilan orang tuanya
On Tue, Jan 03, 2006 at 09:05:49PM +0700, Rahmat M Samik-Ibrahim wrote:
Berikut arsip pengalaman pelajaran membaca artikel ilmiah
yang berlangsung semester yang lalu. Pelajaran ini diikuti
secara setengah mati oleh 23 perserta. Artikel yang saya
anggap gampang ternyata masih sangat sulit bagi
On Fri, Jan 06, 2006 at 04:52:24PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
[perguruan tinggi *bertanggungjawab*, ya ... bertanggungjawab,
mencarikan dana bagi mahasiswa seperti itu.]
hasilnya? tidak digubris (dan mungkin ditertawakan).
itulah .. perlu pengukuran public accountability untuk PT :-)
menurut
On Fri, Jan 06, 2006 at 04:46:38PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut:
- bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga
sehingga tidak bisa dibuat main-main
- kalau sudah masuk terus gugur, tempat yang terpakai
menjadi terbuang
india cukup cerdik, barangkali tidak sampai gratis, tetapi sekolah di
sana murah, hasilnya? bisa kita lihat sendiri.
http://afsyuhud.blogspot.com/2005/11/indonesian-president-in-india-6-our.html
Langsung saja ya,kalau anda (maksudnya bapak2 di milis teknologia ini)
punya anak yang segera
On 1/6/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
On Fri, Jan 06, 2006 at 04:52:24PM +0700, Budi Rahardjo wrote: [perguruan tinggi *bertanggungjawab*, ya ... bertanggungjawab, mencarikan dana bagi mahasiswa seperti itu.] hasilnya? tidak digubris (dan mungkin ditertawakan).
itulah .. perlu pengukuran public
On 1/6/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
harus mau 'berpolitik' di kampus, _harus_ rajin mengurus kenaikanpangkat, dan satu hal yang penting, harus bisa mencetak kader.
Di tempat saya nggak usah sibuk-sibuk ngurusin kenaikan pangkat, sudah
ada orang yang ditugasin untuk mengurusi itu. Walau jumlah
Made Wiryana wrote:
On 1/6/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
On Fri, Jan 06, 2006 at 04:52:24PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
[perguruan tinggi *bertanggungjawab*, ya ... bertanggungjawab,
mencarikan dana bagi mahasiswa seperti itu.]
hasilnya? tidak digubris (dan mungkin
adi wrote:
hasil akhir analisis kritis makalah, seingat/menurut saya, adalah
kemampuan membaca (tidak harus membaca cepat) dan memahami hal-hal sbb:
- apakah makalah menyebutkan masalah dengan jelas
...deleted.
- apakah referensi dan jumlah referensi yang digunakan relevan
- potensi
On 1/7/06, Anto Satriyo Nugroho [EMAIL PROTECTED] wrote:
Hal itu dikarenakan diterimanya paper dalam suatu journal sangat
bergantung pada kepiawaian penulis-nya dalam mengemas ide. Kadang ide
sederhana pun kalau dapat ditulis dengan bagus, bisa jadi paper yang
menarik. Eksperimen tidak
Pada hari Kamis, tanggal 05/01/2006 pukul 08:25 +0700, Budi Rahardjo
menulis:
wah ... saya melihat pak adi ini sudah antipati dengan posting
saya. (silahkan disimak di email-emailnya yang cenderung
Wah saya lihatnya ga seperti itu loh. Biasa aja.
salah kalau pak adi berpendapat bahwa saya
Belajarnya sambil praktek mungkin lebih asyik. Bawa alat-alat peragabetulan. (Jadi ingat dulu belajar bahasa assembly untuk PDP-11,
sedangkan PDP-11-nya cuma ada dalam khayalan saja) Anggap saja murid2nyaitu anak TK semua, kalau nulis di papan yang besar-besar hurufnya, bawakarton warna-warni,
On 1/5/06, Mohammad DAMT [EMAIL PROTECTED] wrote:
...
Saya pikir kalau murid2nya tidak ada yg bertanya, ya tidak salah juga.
...
Kalau memang murid2nya bisa, nggak masalah.
Permasalahannya, ketika di-quiz/ujian, gak bisa!
Saya kasih contoh permasalahan:
buat sebuah program yang membuat
On Fri, 6 Jan 2006 01:19 am, James A wrote:
Kalau muridnya gak terlalu banyak, suruh bikin makalah, paksa maju ke
depan kelas untuk presentasi satu-per-satu.
Kasih topik2 yang menarik, misalnya:
- Kalau kamu jadi CEO Microsoft, apa yang bakalan kamu lakukan untuk
menghadapi gerakan open
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 01:32 +1100, Ronny Haryanto
menulis:
Lebih seru lagi kalo mereka suruh pilih sendiri topiknya (dosen bantu kasih
ide bbrp topik luas). Suruh mereka kirim proposal satu paragraf aja ( 100
Pengalaman waktu dulu, kalau murid disuruh pilih sendiri,
On 1/5/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote:
Kalau memang murid2nya bisa, nggak masalah.
Permasalahannya, ketika di-quiz/ujian, gak bisa!
Saya kasih contoh permasalahan:
buat sebuah program yang membuat matriks 5x5
kemudian isi sehingga matriks tersebut menjadi
1 0 0 0 0
1 1 0 0
On Fri, 6 Jan 2006 01:36 am, Mohammad DAMT wrote:
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 01:32 +1100, Ronny Haryanto
menulis:
Lebih seru lagi kalo mereka suruh pilih sendiri topiknya (dosen bantu
kasih ide bbrp topik luas). Suruh mereka kirim proposal satu paragraf aja
( 100
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 01:49 +1100, Ronny Haryanto
menulis:
utk diskusi ttg ide2. Nanti dosennya nanya, kamu tertariknya di apa?, kalo
gak ada yg dia tertarik ya memang repot. Dr jawaban dia kan bisa dibantu
Kamu tertariknya apa?
nggak tahu pak
Kalau tentang X bagaimana?
Mohammad DAMT wrote:
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 01:49 +1100, Ronny Haryanto
menulis:
utk diskusi ttg ide2. Nanti dosennya nanya, kamu tertariknya di apa?, kalo
gak ada yg dia tertarik ya memang repot. Dr jawaban dia kan bisa dibantu
Kamu tertariknya apa?
nggak tahu pak
On Thu, 5 Jan 2006, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
Zaki Akhmad wrote:
Muhamad Carlos Patriawan wrote:
Kalau saya dulu,kuncinya fokus dan determistik.Ketahui minatnya dimana.
Hidup sederhananya cuma sebatas memilih. Tapi ternyata untuk memilih
itu tidak mudah. Karena setiap pilihan ada
On Thu, Jan 05, 2006 at 04:59:01PM +0200, Mohammad DAMT wrote:
Kamu tertariknya apa?
nggak tahu pak
Kalau tentang X bagaimana?
ngga ngerti pak
Kalau Y?
sama pak, ga ngerti
suruh pulang saja sambil kasih formulir pendaftaran jurusan lain.
boleh percaya boleh tidak. masalah ini sudah ada
On Thu, Jan 05, 2006 at 03:07:27PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
Mestinya sich,dikasih gambaran juga,career path di dalam negeri dan di
luar negeri seperti apa,sebagian mahasiswa beranggapan kalau terlalu
tinggi ilmunya berakhir jadi dosen di Indonesia dan ilmunya tidak bisa
Muhamad Carlos Patriawan wrote:
Hehehe...masalah diatas persis seperti masalah yang diungkapkan Zaki.
He..he..hieu kok saya tertariknya malah Z. :D
Ya seperti yang saya sebutkan di looping negatif kemarin, gara-gara
wawasan saya sempit. Coba saya kenal Bang Carlos sejak tingkat 1,
tingkat
Pak Anto:
Tak kenal tak sayang ini merupakan kelanjutan dari Penelitian
Bidang Sistem Informasi Managemen di Indonesia (SIMDI):
Quo Vadis?
Bagaimana mungkin mengharapkan nama peneliti Indonesia
muncul dalam jurnal top seperti MISQ, ISR, dst.; sedangkan yang
pernah membaca, apa lagi teratur
Pak Samik yth.
Saya baru tahu kalau di Indonesia ada rintangan spt. yang
disebutkan. Di Jepang, rinkoh memang lebih umum dilaksanakan
di seminar lab. Kalau di Jepang, anak-anak Bachelor tingkat
akhir mulai masuk kehidupan lab. Mereka tergabung pada
satu laboratorium yang dipimpin seorang
Saya baru tahu kalau di Indonesia ada rintangan spt. yang
disebutkan.
Rintangannya ialah bahwa sebuah mata ajar ber-SKS
(mendapat nilai) perlu memiliki atribut-atribut keilmuan
tertentu. Saya rasa itu berlaku umum dan bukan
spesifik Indonesia.
Yang spesifik Indonesia (negara dunia ke tiga?)
On 1/5/06, Rahmat M Samik-Ibrahim [EMAIL PROTECTED] wrote:
Yang spesifik Indonesia (negara dunia ke tiga?) bahwa
mahasiswanya tidak terbiasa membaca bacaan ilmiah
berbahasa Inggris. Lebih menyedihkan, berpikir kritis
dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
suasana diskusi yang
Pak Samik yth.
Untuk rinkoh yang berupa seminar di lab., rinkoh itu hanya bentuk
pelaksanaannya
saja, tapi secara formal merupakan bagian dari mata kuliah tertentu.
Jadi ada
nilai/SKS nya.
Misalnya untuk undergraduate course di tempat saya sekarang, ada
matakuliah
yang namanya Special
Yang spesifik Indonesia (negara dunia ke tiga?)
mungkin lebih definitif lagi: negara dunia ke tiga BUKAN ex-kolonial
inggris.Terus terang saya tidak melihat ini dari lulusan India
misalnya.
bahwa
mahasiswanya tidak terbiasa membaca bacaan ilmiah
berbahasa Inggris.
Waduh,kenapa bisa begitu
On 1/4/06, Rahmat M Samik-Ibrahim [EMAIL PROTECTED] wrote:
...
Lebih menyedihkan, berpikir kritis
dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
suasana diskusi yang meriah di dalam sebuah kelas.
...
Tadinya saya pikir kejadian ini hanya spesifik di tempat
saya saja, tapi ternyata terjadi
Ass.wr.wb.
Pak Budi,
kalau boleh usul, caranya gini aja, bilang ke mahasiswanya :
Nilai hanya diberikan kepada mahasiswa yang berbicara (bertanya dan
berdiskusi) di dalam kelas, sisanya dapet NOL!
;)
wass.wr.wb.
-affan
On 1/5/06, Affan Basalamah [EMAIL PROTECTED] wrote:
Ass.wr.wb.
wa'alaikum salam wr wb
Pak Budi,
kalau boleh usul, caranya gini aja, bilang ke mahasiswanya :
Nilai hanya diberikan kepada mahasiswa yang berbicara (bertanya dan
berdiskusi) di dalam kelas, sisanya dapet NOL!
Saya akan coba,
On 1/5/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
Tips? tricks?
- seleksi
apa yang mau dilihat dari proses seleksi?
IQ? EQ? SQ? kemampuan bicara? berdiskusi?
atau apa? hint, please.
- turunkan uang gedung
- turunkan spp
kenapa perlu diturunkan? untuk menjaring orang-orang yang berjiwa
'mandiri'
Saya sebagai seorang mahasiswa yang berada di kelas pak Samik ingin
berusaha menjawab sedikit.
Entah karena dosennya atau apa, tapi kami cenderung lebih terbuka
untuk berdiskusi dan bertanya di dalam kelas2 Pak Samik ketimbang
dalam kelas lainnya.
Mungkin masalah aura :)
Tapi itu juga kembali
On 1/5/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote:
Tadinya saya pikir kejadian ini hanya spesifik di tempat
saya saja, tapi ternyata terjadi di tempat lain.
(Umum di Indonesia?)
Tanya ke pak Samik: Apakah mahasiswa berani bertanya
di kelas bapak? ;-)
Saya bingung karena untuk memancing
On Thu, 5 Jan 2006 10:38 am, Budi Rahardjo wrote:
asumsi kita tidak punya kendali dalam proses seleksi.
jadi, sudah diberikan sebuah kelas dengan kondisi apa adanya.
apa yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan proses diskusi?
atau ... memang sudah tidak ada harapan lagi? (hopeless?)
Dari
On Thu, 5 Jan 2006 10:39 am, Ferry Haris wrote:
Mungkin memang bukan cara yang baik, tapi biasanya pancingan yang
bersifat menguntungkan memang lebih kami sukai (as mahasiswa
tentunya), meski akan merepotkan sang dosen.
Misalnya saja waktu kuliah OS dulu, pak Samik memberikan kupon bagi
On 1/5/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote:
ini yang saya lihat dari pertanyaan Budi Rahardjo dan Rahmat M
Samik-Ibrahim, yang berasumsi: 'kita' OK, what's wrong with YOU?
atau bahkan (barangkali): 'saya' OK, what's wrong with YOU?
wah ... saya melihat pak adi ini sudah antipati dengan posting
On 1/5/06, Ronny Haryanto [EMAIL PROTECTED] wrote:
Dari dosen2 saya yg selama ini sukses membuat diskusi di kelas, mereka
biasanya habis nerangin sesuatu lalu melempar pertanyaan ke salah satu
mahasiswanya secara random (atau ada yg udah diincer). Pertanyaan seperti
gimana pendapat anda?,
On Thu, 5 Jan 2006 11:48 am, Ronny Haryanto wrote:
Lainnya (ini maksa, bukan encourage, saya kurang suka sebetulnya, tapi
kadang perlu): partisipasi biasanya bobotnya sekitar 10% dr total nilai,
tapi kalo partisipasinya 0 maka nggak dilulusin dr kelas itu. Bisa digabung
dg absensi utk memaksa
On Thu, Jan 05, 2006 at 08:25:22AM +0700, Budi Rahardjo wrote:
wah ... saya melihat pak adi ini sudah antipati dengan posting
saya. (silahkan disimak di email-emailnya yang cenderung
menyerang pribadi saya. hik hik hik. well, that's ok.)
waks .. saya kaget. masa sih? tolong kalau ada yang
baskara wrote:
Mengenai sistem rinkoh, terus terang, itu membosankan kalau materinya
tidak menarik buat mahasiswanya. Agar tertarik, materinya harus bisa
dimengerti. Materi yang mudah dimengerti mahasiswa, sebagai langkah
Ada untung-ruginya juga, pak. Kalau terlalu sulit, mahasiswa-nya lari
Wah topiknya Pak Samik jadi menarik nih. Saya tinggal ujian dulu
sehari, eh tiba-tiba tanggapan yang datang sudah begitu banyak. Saya
coba tanggapi mengikuti alur yang terjadi di topik ini ya. BTW, saya
baru download satu tulisan. Tulisannya Wira Perdana, Pak Samik.
Pertama dari tulisan Pak
Mengapa saya tidak mambaca jurnal ilmiah? Karena saya tidak tertarik.
Kalau saya dulu,kuncinya fokus dan determistik.Ketahui minatnya dimana.
Misalnya saya ternyata suka sekali membaca cara kerja protocols(core
networks),saya stop 100% bacaan diarea database atau operating sistem(
well,tetap
Muhamad Carlos Patriawan wrote:
Kalau saya dulu,kuncinya fokus dan determistik.Ketahui minatnya dimana.
Hidup sederhananya cuma sebatas memilih. Tapi ternyata untuk memilih
itu tidak mudah. Karena setiap pilihan ada konsekuensinya. Hi..hihi
Masalah Zaki sebenarnya adalah masalah kita
Pak Samik yth.
Sharing informasi ini sangat bermanfaat. Di Jepang, biasanya untuk
level S1 tingkat
akhir atau S2 ada sistem yang sama dengan yg dilakukan Pak Samik. Dalam
bahasa
Jepang disebut rinkoh. Ini sangat bermanfaat sebagai latihan mereka
yang ingin
menempuh jalur peneliti, agar terbiasa
68 matches
Mail list logo