adi wrote:
> pada kenyataannya buku itu pun masih mahal. profile don't speculate :-)
> buku untuk mahasiswa itu tugas perpustakaan. kalau itu kurang, biarlah
> yang mampu saja yang membeli buku.
>
> saya sebetulnya agak miris dengan thread ini, mestinya judulnya dosen
> dan mahasiswa. dosen yang brengsek bukan karena mahasiswanya brengsek
> dan sebaliknya. dua-duanya masalah (kalau ada) yang perlu diselesaikan
> masing-masing.

Wah jangan memiliki persepsi miris dengan thread ini Mas Adi. Kalau Mas
Adi kan karyanya sudah banyak. Profil Mas Adi juga sudah pernah dimuat
di InfoLinux Desember kan. Kalau saya yang masih script-kiddies ini,
yang harusnya miris. Kok dari dulu gak pernah belajar-belajar supaya
naik pangkat.

Yang Pak Budi katakan itu benar. Saya bisa membajak buku dengan
gampangnya. Nah, gara-gara terlalu gampang saya jadi kehilangan
semangat untuk belajar. Easy come, easy go. No pain, no gain.
Katakanlah di perpustakaan mampu menyediakan buku-buku
bagus-nan-cantik. Tapi tetap saja saya malas ke perpustakaan. Saya kan
tidak terbiasa dengan budaya baca-tulis. Jadinya saya lebih tertarik ke
lab-komputer. Menyalakan yahoo-messenger untuk chatting, atau main
online game. Fire in the hole?

Mengenai yang mampu saja yang beli buku, itu bisa relatif. Seberapa
besar anggaran belanja kita untuk buku? Seberapa besar anggaran untuk
beli pulsa HP? Saya menemukan kenikmatan membaca saya ketika buku itu
buku asli. (Bacaan saya masih buku-buku sosial ya). Lalu apakah semua
buku yang menarik bagi saya, saya beli? Pada prakteknya tidak. Saya
mencoba disiplin dengan membuat wish-list daftar buku yang ingin saya
miliki. Tapi pada prakteknya, ini jarang berhasil. Saya begitu mudah
sekali tergoda untuk membeli buku.

Namun karena kiriman orang tua terbatas, tidak semua buku bisa saya
miliki dong. Kemudian jadilah otak kreatif harus jalan. Beruntunglah
saya memiliki banyak teman baik yang mau saling bertukar buku dengan
saya. Kalau teman-teman baik saya tidak punya, saya harus lebih kreatif
lagi. Jadi anggota perpustakaan di banyak perpustakaan. Kalau lagi
tertarik dengan ilmu agama, saya jalan-jalan ke perpustakaan masjid.
Tidak cuma satu masjid lho! Lagi tertarik dengan budaya Prancis,
jalan-jalan ke CCF. Pengen tahu dunia penelitian di Indonesia, main ke
LIPI. Cari buku pemrograman, mampir ke Informatika.

Sayangnya kalau banyak main ke perpustakaan, waktu main saya untuk hal
lainnya jadi habis deh. Nah kalau sudah begini, baru saya
mempertimbangkan perlu/tidak memiliki buku tersebut. Dan belakangan
saya baru sadar, ternyata memang tidak semua buku harus dimiliki.

> kenyataannya: daya saing lulusan perguruan tinggi kita tidak tinggi di
> dunia international (itu pun kalau masih diperhitungkan di dunia
> international), alias ayam sayur bin jago kandang. salah siapa? sistem
> pendidikan? sarana/prasarana (perguruan tinggi)? mahasiswa/masyarakat?

Salah saya sendiri, karena saya belum bisa mendefinisikan "legenda
pribadi" saya mau jadi apa. Kalau saya dari dulu sudah terbayang ingin
menjadi seorang jagoan di dunia sosial, mengapa saya memilih kuliah di
Elektro ITB? Salah sendiri kena racun passing-grade tinggi.

> pilih jawaban dari pertanyaan di bawah yang anda anggap paling benar.
>
> 1) kalau A diajar B dan tidak berhasil, maka kemungkinannya:
> A) A goblok
> B) B goblok
> C) A dan B goblok
> D) bukan salah satu di atas (alias penampakan ponirah).

Saya pilih E.
E) Penampakan buku-buku sosial.

> hayooh, mana akuntabilitasnya. hayooh diberesin dulu. mahasiswa yang
> malas membaca? buanyaaaak. dosen yang males membaca? buanyaaak.
Ngacung! Saya Mas Adi. Malas membaca buku-buku teknis dan EE-related.

> makanya turunin SPP/Uang gedung biar kesempatan orang yang gemar membaca
> masuk PT lebih besar.
Hmm tidak se-sederhana ini Mas Adi. Kan setiap penyakit ada obatnya
masing-masing. Dan bagi saya setiap keputusan pasti ada sisi positif
dan negatifnya. Dan berbicara soal keputusan menaikkan/menurunkan
SPP/uang gedung itu ada di tangan decision maker, para pengambil
keputusan. Nanti diskusinya bisa looping lagi ke: baru nyadar kuliah
itu mahal, mekanisme penerimaan mahasiswa baru, mekanisme DO, dll.

Saya tahu sedikti buku-buku kritik soal sekolah/kuliah. Berikut
diantaranya: De-schooling society, buku-buku Ivan Illich. Buku "Sekolah
para Sang Juara" juga bagus. Buku ini menceritakan keunikan setiap
orang, dan bagaimana membuat anak-anak berani unggul dengan keunikannya
masing-masing. Totto Chan juga bagus deh. Cerita soal gadis kecil
Jepang yang gara-gara dia terlalu unik terpaksa dikeluarkan
dari sekolah konvensional.

> padahal, kalau saya ngomong soal akuntabilitas PT itu yang ada di kepala
> saya cuman pendidikan setingkat strata 1. gimana kalau strata 2 ?
> ho..ho..ho.. (ketawanya jin kartubi). gimana pendidikan magister
> whatever? ho..ho..ho (ketawa bapaknya jin kartubi), gimana pendidikan
> strata 3? hi..hi.. (yang ini tuyulnya mbak yul) karena pendidikan strata
> 3 produk anak bangsa belum bisa jadi komoditi.
>
> Salam,
>
> P.Y. Adi Prasaja

"Karena kamu belum lulus juga strata 1", seru jin Zaki tertawa
terbahak-bahak :) 
Zaki Akhmad

Kirim email ke