Made Wiryana wrote:
>
> Indonesia menyukai "elitisme" untuk dunia pendidikan, dengan kata lain hanya
> memperhatikan yang puncak-puncak saja).  Artinya sekolahan baik hanya ukt
> orang pinter atau orang kaya saja.

Dulu, saya pernah wawancara Pak Kusmayanto (sewaktu masih jadi Rektor
ITB). Beliau bilang, "Biaya kuliah yang bagus itu mahal. Tapi kuliah
yang mahal belum tentu bagus". Dalam hati saya, "Sial! Bener juga
lagi".

> Bagaimana yg "sedang-sedang saja" ?
>
> Jawab sebagian besar kaum elite :
>
> "Biarkan saja, itu sudah nasib mereka, udah ndak pinter, ndak kaya lagi,
> jadi siap-siap saja jadi warga negara klas 2"

Saya melihat teman-teman saya yang sedang-sedang saja, justru terkadang
memiliki semangat juang yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang
datang dari kalangan lebih mampu. Yah, walau ini pada akhirnya
kasuistis juga sih. Cuma, bagi saya yang perlu digaris bawahi adalah
<u>semangat juang</u>. Kadang kalau dah mentok, mereka yang datang dari
kelas 1 mau juga kok membantu. Minimal banget, minjemin uang kalau
kiriman belum dateng atau nraktir makan atau minjemin buku. Atau
minjemin login AI3 yang udah kadaluarsa (sambil nge-lirik ke Mas Affan
:) )

Ah tapi mosok hidup mau dibuat kelas-kelas gitu sih. Gak asyik ah.
Setiap orang di dunia diciptakan dengan perannya masing-masing. So, get
your role and play it well.

> Bagaimana dengan kaum elite ? setelah selesai sekolah, mereka berhak memilih
> mana yang lebih enak, hidup di Indonesia, atau hidup di LN.

Bagi saya pribadi, asalkan berguna bagi orang banyak tidak masalah.
(Diskusi definisi nasionalisme dan berguna bagi orang banyak, ditutup
dulu untuk menghindari melebarnya topik :D)

Hidup sederhananya cuma memilih. Dan setiap pilihan tentu ada
konsekuensinya. 

> IMW
> 

Zaki Akhmad

Reply via email to