Wilujeng ka pak Mamat naskahna dimuat di Tribun Jabar, enyaan nya ari nulis 
kudu daria, teu cukup ku ngan beja, tapi datang ka sungapanana nu ngangon meri 
di Rancaoray. Sakali deui wilujeng!




________________________________
Dari: MSasmita <kuringm...@gmail.com>
Kepada: urangsunda@yahoogroups.com
Cc: MSasmita <kuringm...@gmail.com>
Terkirim: Ming, 22 November, 2009 09:04:13
Judul: [Urang Sunda] Ngangon Meri

Mimitina rada hese neangan nu ngangon meri di kota Bandung, waktu ngadenge 
beja loba di Rancaoray, biur ka ditu, enya we geuning di Rancaoray mah sawah 
ge lega keneh atuh nu ngangon meri ge loba. Kabeneran harita teh sanggeus 
panen, jadi pas pisan. Ngobrol jeung pangangon meri teh rada rineh, da encan 
pada miang. Hasilna artikel pondok dimuat dina Tribun Jabar poe Saptu 
tanggal 21 Nop 2009, dina rubrik Podium.
Ieu artikelna :

BELAJAR DARI PENGGEMBALA ITIK.

Oleh : MAMAT SASMITA



Ngangon meri adalah pekerjaan menggembala itik. Menurut kamus umum bahasa 
Indonesia bebek itu itik. Tetapi bagi sebagian orang Sunda ada yang 
mengartikan bebek itu entog. Sedangkan itik itu adalah meri. Dipinggir jalan 
sering dijumpai warung makan yang menyajikan bebek goreng, dapat dipastikan 
itu adalah meri yang digoreng, bukan entog.



Ujar penggembala itik, melakukan pekerjaan ini dituntut kejujuran. Sebab 
kalau tidak jujur itiknya suka bertelur dimana saja, bisa di sawah, di jalan 
sehingga penggembala sulit menemukannya, istilah mereka kababayan. Itu 
artinya rugi. Itik sepertinya mengerti isi hati tuannya. Kalau 
penggembalanya jujur, itik akan membalas dengan sepenuh hati dan disiplin. 
Itik akan bertelur di kandang setelah subuh, tepat waktu. Tuannya tinggal 
mengambil telur, itulah keuntungan buah kejujuran.

Kejujuran bagi penggembala itik tidak perlu diklaim melalui kata-kata 
apalagi  ditayangkan televisi, karena kejujuran adalah dirinya. Kejujuran 
purba setiap manusia. Bahasa kejujuran pengangon meri bukan verbal, tetapi 
isi hati yang diimplementasikan dalam tindak perbuatan. Disadari betul bahwa 
dirinya dan itik adalah satu kesatuan utuh sebuah mesin pencetak telur, 
pencetak kesejahteraan. Bukan bentuk hubungan buruh dan majikan apalagi 
bentuk hubungan militeristik, jendral dan prajurit.  Alat untuk menunjukan 
kekuasaan hanyalah sebuah tongkat yang namanya pangilang. Sebilah batang 
bambu kecil yang panjang untuk mengarahkan itik kemana harus pergi.



Ketika musim panen tiba, dimana sawah setelah dipanen seolah tak lagi 
bertuan, itulah tempat kesenangan itik, segera pindah tempat untuk 
menggembala menuju sawah setelah panen. Kegiatan pindah menggembala itu 
disebut mangkalan. Aturan utama mangkalan adalah tidak mengganggu hak dan 
kewenangan orang lain. Jangan sampai itik merambah sawah yang belum dipanen, 
bila itu terjadi petaka akan tiba.

Antar penggembala itik saling menjaga agar tidak terjadi persaingan tidak 
sehat dalam hal memilih tempat menggembala. Bila terjadi kehilangan itik 
karena pindah kelompok ke kelompok penggembala lain, disitu ada dialog, 
sekali lagi kejujuranlah landasannya. Yang merasa itiknya tiba-tiba 
bertambah, sang penggembala akan nyalabarkeun, bertanya siapa yang merasa 
kehilangan. Tidak ada saling klaim adu argumentasi berkepanjangan 
memperebutkan kebenaran, tidak ada ego pribadi, ego sektoral apalagi nama 
Tuhan tak perlu dibawa-bawa kalau hanya untuk meyakinkan orang lain.



Penggembala sangat paham akan itik, mungkin dia sedang sakit atau barangkali 
sedang birahi. Itik tak bisa bersuara hanya wek wek wek baik saat kenyang 
ataupun lapar. Untuk memahaminya membaca dari kedip mata dan bahasa 
tubuhnya. Itulah kearifan.

Dia hapal betul perkembangan itik  dari sejak menetas sampai dewasa. Anak 
itik (meri) yang baru menetas disebut titit, umur satu bulan disebut bijil 
bulu gigir selanjutnya disebut bijil bulu dada. Bila telah berumur dua bulan 
disebut bulu sapotong selanjutnya disebut nyapit atau herang. Pada usia 5 
atau 6 bulan disebut beger cai, bila telah mulai belajar bertelur disebut 
babaya. Apabila itik tak lagi produktif atau tak mau bertelur disebut 
gumurut, sedangkan meri yang sejak kecil sampai dewasa tak pernah bertelur 
disebut bajir.

Penggembala adalah pemimpin, pemimpin bagi dirinya, itik bagian dari 
dirinya, memahami dengan sepenuh hati. Karena memahami dengan sepenuh hati, 
kebenaran atau lebih tegasnya lagi kejujuran tak perlu direkayasa, tak perlu 
citra, kepongahan simulakra tak ada gunanya. Itik itu senang di air yang 
berlumpur, maka citra yang ditampilkan adalah siap berlumpur.  Pakaian dan 
topi (dudukuy) sebatas menghindari dari tiupan angin dan menghindari 
sengatan matahari, dasi dan kerah putih tak ada artinya.



Penghasilan penggembala meri jangan dikira kecil, mungkin gaji jaksa, polisi 
atau pegawai negri juga bisa kalah. Bila jumlah meri yang diangon sekitar 
200 ekor, maka hasil optimal sekitar 190 butir telor setiap hari, artinya 
sekitar 190 ribu rupiah masuk kantong per hari, itu kalau dijual ke bandar 
tapi kalau dijual langsung ke pasar bisa dapat lebih dari 200 ribu rupiah. 
Padahal untuk medapatkan uang sebesar itu yang diucapkan oleh penggembala 
itik hanya rriii...rrriii (mungkin singkatan dari meri), tidak lebih tidak 
kurang. Tak perlu bersilat lidah, tidak perlu mengobral kata, bagi 
penggembala itik kata-kata bukan komoditas. Memang penggembala itik citranya 
kalah jauh, kalah gagah dengan pegawai negri, kalah gagah dengan hakim dan 
jaksa apalagi dengan polisi yang bertabur pangkat berwarna keemasan.



Kebahagiaan penggembala itik pada sore hari, saat itik telah masuk kandang 
sementara selama mangkalan. Kandang sementara terbuat dari bilah bambu 
sebesar telunjuk tidak terlalu tinggi sekitar setengah meter. Disusun dan 
dianyam dengan tali, seperti wide (dinding bambu yang bisa digulung) tetapi 
lebih pendek. Penggembala telah mandi, telah segar. Semua itik ditatap, 
semua telah makan kenyang, kadang tertawa melihat tingkah laku itik, dan 
yang paling penting ada harapan besok pagi dapat telur banyak. Itulah 
kebahagiaan sejati yang didapat dari kejujuran. Bukan kebahagiaan semu yang 
dibungkus oleh retorika dan citra. Sungguh, belajarlah pada itik dan 
penggembalanya untuk menyelesaikan masalah.





MAMAT SASMITA

Penggiat Rumah Baca Buku Sunda.

(Dimuat di koran Tribun Jabar rubrik Podium Sabtu 21 Nopember 2009)







------------------------------------

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
Yahoo! Groups Links




      Buat sendiri desain eksklusif Messenger Pingbox Anda sekarang! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Kirim email ke