Pak Irwank, mungkin titik temu akan terbentuk, kalau posisi masing-
masing (yang pro dan kontra poligami) sudah cukup jelas dan 
rasional.  Termasuk menpersepsikan poligami dan fenomenanya sebagai 
penyakit sosial.  Misalnya, persepsi beberapa temen di sini lebih 
meliat poligami sebagai dalil agama boleh atau nggak,  ketimbang 
poligami sebagai penyakit sosial dan sebagai dampak akibat daya 
tawar perempuan rendah di masyarakat.

Merubah persepsi itu meminta waktu panjang dan bergenerasi.  Karena 
itu posisi gerakan perempuan ini perlu didukung karena bertujuan 
menaikkan posisi daya tawar perempuan, misalnya melalui jalur hukum 
yang mestinya merefleksikan keadilan selain supply dan demand. Dalam 
feminism perempuan dan laki-laki feminis berjuang nggak pada titik 
yang sama, namun kudu selalu menyamakan atau sharing persepsi.

salam
Mia
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, IrwanK <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Apa gak capek bersitegang terus? Apa gak ada titik temu?
> Kalaupun misalnya polygami tiba" dilarang (baca: diharamkan),
> what's next? Enough is enough.. isn't it?
> 
> CMIIW..
> 
> Wassalam,
> 
> Irwan.K
> 
> On 12/11/06, Henny Irawati <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-735%7CX
> >
> > Senin, 11 Desember 2006
> > Gerakan Perempuan Tolak Poligami
> > Jurnalis: Henny Irawati
> > Tuhan, Tuhan, Tuhan, haruskah keadaan ini terus berlangsung 
berabad-abad.
> > Haruskah berabad-abad perempuan dihina dan diinjak-injak. Tidak. 
Tidak.
> > Keadaan ini harus berakhir. Permulaan dari akhir itu harus 
diadakan.
> >
> > Jurnalperempuan.com-Jakarta. Isi surat yang ditulis Kartini pada 
tanggal
> > 17 Oktober 1900 tersebut dikutip Gadis Arivia dalam konferensi 
pers yang
> > diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan, Sabtu (9/11) kemarin, 
di
> > kantornya. Gadis mengingatkan, sudah sebegitu lama gerakan 
perempuan
> > menentang poligami. Kartini, lanjut Gadis, pada akhirnya memang 
kalah. "Ia
> > termakan oleh poligami itu sendiri." Sebagaimana tercatat dalam 
sejarah,
> > Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati 
Rembang yang
> > sudah mempunyai 3 istri dan 6 orang anak. Meskipun 
Kartini "kalah", dalam
> > suratnya dia mengatakan, "poligami adalah kejahatan raksasa, 
egoisme
> > laki-laki."
> >
> > Pada 1912, seorang pejuang perempuan lain juga mengacungkan 
bendera perang
> > terhadap poligami. Dialah Roehana Koeddoes, yang menerbitkan 
Soenting
> > Melajoe. Dalam Soenting Melajoe Roehana Koeddoes mengatakan 
poligami harus
> > dilarang. Poligami itu merugikan perempuan. Daftar penentang 
poligami
> > semakin panjang dengan nama Raden Ayu Siti Sundari. Pada tahun 
1914, Raden
> > Ayu Siti Sundari mengatakan praktik-praktik poligami yang 
terjadi dalam
> > masyarakat kita sangat merugikan perempuan, menimbulkan korban, 
termasuk
> > korban anak-anak.
> >
> > Terkait soal kerugian dalam poligami, Sekjen ICRP (Indonesian 
Conference
> > on Religion and Peace) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menjelaskan 
beberapa
> > dampaknya. Pertama, meningkatkan angka kekerasan 
domestik. "Tidak saja
> > terjadi "pelukaan hati" tetapi juga kekerasan fisik," ungkapnya. 
Kedua,
> > kekerasan yang dialami anak juga terjadi peningkatan dalam 
keluarga yang
> > melakukan praktik poligami. Dampak ketiga, meningkatkan konflik 
keluarga.
> > "Kalau antara kedua istri bisa akur, bagaimana dengan anaknya, 
keluarganya,
> > masyarakatnya? Apakah mereka bisa harmonis?" Ketiga dampak ini 
merupakan
> > hasil penelitian yang dilakukan Lely Nurrohmah dari Rahima Pusat 
Pendidikan
> > dan Informasi Islam & Hak-Hak Perempuan yang siang itu hadir 
menjawab
> > pertanyaan-pertanyaan wartawan.
> >
> > Dampak terakhir, yang menurut Musdah paling jarang diangkat, 
bahwa suami
> > yang berpoligami berpotensi empat atau lima kali lebih besar 
menularkan
> > penyakit kanker mulut rahim. Oleh sebab itu, Musdah sendiri 
lebih mendukung
> > pandangan yang mengharamkan poligami. "Perlu disosialisasikan ke 
masyarakat,
> > interpretasi poligami itu tidak hanya seperti yang selama ini 
banyak
> > disampaikan, bahwa ia boleh. Menurut kajian-kajian yang 
dilakukan oleh
> > ulama-ulama kontemporer, poligami itu haram berdasarkan ekses-
ekses yang
> > ditimbulkan."
> >
> > Musdah mengakui, ada berbagai pendapat dalam memandang poligami. 
Ada yang
> > membolehkan, bahkan mewajibkan. Ada pula yang membolehkan tapi 
dengan
> > syarat-syarat yang sangat ketat. Sehingga sampai pada kesimpulan 
bahwa
> > poligami hanya boleh terjadi dalam keadaan darurat. "Kalau 
bicara darurat,
> > itu menjadi pasal karet," sesalnya. Yang patut diingat, 
pembatasan poligami
> > yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai 
suatu
> > cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan poligami 
secara gradual.
> > Pandangan inilah, yang dipercayai Musdah sebagai pandangan Islam 
yang
> > humanis, yang mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan.
> >
> > "Menurut para ulama, poligami diperbolehkan pada masa transisi. 
Ketika
> > Islam sudah mengalami kemajuan, poligami ini sudah bertentangan 
dengan
> > esensi ajaran Islam itu sendiri, yang mengabarkan keadilan, yang 
mengajarkan
> > kedamaian dalam tingkat keluarga sekalipun." Musdah menghimbau 
kepada
> > masyarakat untuk cerdas beragama. Agama itu harus sesuai dengan 
akal sehat
> > manusia. Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih bermakna: 
bermakna bagi
> > dirinya sendiri, bagi pasangannya, bagi sesama manusia, dan bagi 
alam
> > semesta. Musdah menegaskan, Islam adalah agama yang ramah 
terhadap
> > perempuan, sekaligus rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam 
semesta).
> >
> > Gerakan perempuan menentang poligami masih terus dilanjutkan. 
Pada Kongres
> > Perempuan pertama (1928) diteguhkan bahwa poligami harus 
dihentikan. Gerakan
> > ini disusul Gerakan Wanita Indonesia dan Perwari, dengan 
didukung fraksi
> > Wanita Parlemen terutama fraksi dari Partai Nasionalis Indonesia 
(PNI), yang
> > pada tahun 1950an mendesak negara untuk melarang poligami. 
Sayangnya,
> > langkah ini dihadang oleh dua organisasi Islam yang cukup besar, 
yakni
> > Masyumi dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia, yang menentang, 
meneror, bahkan
> > melecehkan gerakan perempuan, serta cukup membuat gentar gerakan 
perempuan
> > ini. "Baru pada 1954, ketika Soekarno menikah lagi dengan 
Hartini, gaung
> > anti poligami ini muncul lagi. Dan PNI secara radikal menyatakan 
Indonesia
> > harusnya hanya diperbolehkan monogami. Selebihnya harus 
dilarang," kisah
> > Gadis.
> >
> > Tahun 1974, lanjut Gadis, terjadi kompromi. Undang-undang 
Perkawinan No. 1
> > tahun 1974 mengatakan, diperbolehkan melakukan poligami tetapi 
tetap dengan
> > syarat-syarat yang sangat ketat. "Masalahnya, pada Abad 21 ini 
poligami
> > sudah tidak compatible lagi dengan HAM dan gerakan perempuan 
sekarang."
> > Sebagaimana dapat ditemui dalam sejumlah penelitian yang 
dilakukan LBH APIK,
> > IAIN, dan YJP sendiri yang menyebutkan 90 persen responden 
menyatakan
> > menolak poligami.
> >
> > Gadis menyatakan kegembiraannya atas langkah Menteri Negara 
Pemberdayaan
> > Perempuan Meutia Hatta yang akan merevisi UU Perkawinan 1974. 
Begitu juga
> > dengan pembicara-pembicara yang hadir, antara lain Hilaly Basya 
(JIMM,
> > Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), Masruchah (KPI, Koalisi 
Perempuan
> > Indonesia), dan Mujib Hermani (seorang anak laki-laki yang 
dibesarkan dalam
> > keluarga poligami). Dukungan juga diberikan oleh sejumlah LSM 
yang turut
> > menyetujui pernyataan yang dibacakan Mariana Amiruddin di awal 
acara. Mereka
> > adalah KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), LBH APIK (Lembaga 
Bantuan Hukum
> > Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), SP (Solidaritas 
Perempuan), IP
> > (Institut Perempuan), Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, 
PMII
> > (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Kapal Perempuan 
(Lingkaran
> > Pendidikan Alternatif untuk Perempuan), Pusat Kajian Wanita dan 
Gender
> > Universitas Indonesia, Rahima; Pusat Pendidikan dan Informasi 
Islam dan
> > Hak-Hak Perempuan, dan ICRP (Indonesian Conference on Religion 
and Peace).
> >
> > Apakah ini "permulaan dari akhir" itu? Itulah yang akan terus 
kita
> > perjuangkan.*
> >
> >
> > --
> > Best regards,
> > Rara                          mailto:[EMAIL PROTECTED]
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke