http://www.rahima.or.id/SR/21-07/Opini2.htm

Wawancara dengan Dra. Pinky Saptandari, MA.
(Staf Khusus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Bidang Perempuan dan Anak)

Dalam Kenyataan Praktik Poligami
Seringkali Melanggar Hak Perempuan dan Anak

T: Kaum laki-laki melakukan poligami dengan alasan diperbolehkan di
alquran, bahkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seolah-olah
memperbolehkan laki-laki berpoligami. Misalnya dalam pasal 3 ayat 2
disebutkan pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristri
lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Bagaimana Anda melihat realitas ini?

Agama dan hukum positif (UU Perkawinan) di Indonesia sebenarnya tidak
melarang dilakukannya praktek poligami. Namun yang menjadi masalah dan
perhatian kami (pihak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan) lebih
kepada proses pelaksanaan poligami itu sendiri. Kebanyakan praktek
poligami yang dilakukan, hampir semuanya tidak sesuai dengan apa yang
seharusnya menjadi aturan-aturan poligami itu sendiri. Kami menilai
pada proses awalnya saja sudah terjadi pelanggaran. Juga pada proses
perkawinannya sendiri, seringkali hak-hak perempuan menjadi terabaikan
baik itu bagi istri pertama (terutama), kedua, ketiga dan seterusnya.

T: Bisa Anda contohkan praktik-praktik pengabaian hak tersebut?

Di pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, disebutkan beberapa alasan
seorang laki-laki bisa melakukan poligami. Alasan itu antara lain
apabila istri dalam kondisi tidak sehat, gila, dan tidak punya anak.
Tapi ironisnya sekarang, kendati si istri tidak gila, punya anak, dan
sehat, toh suami tetap kawin lagi. Jadi ada berbagai upaya pengabaian
syarat, yang sebetulnya justru syarat itu diadakan untuk melindungi
kaum perempuan.

T: Jadi apa yang perlu dilakukan untuk melindungi kaum perempuan?

Ya tentunya harus mengembalikan pelaksanaan syarat-syarat tersebut
secara konsisten. Ini perlu, agar poligami itu tetap bisa dijalankan
namun dalam jalur yang benar. Sekarang hampir 90% praktik poligami
adalah poligami-poligamian yang mengatasnakan agama. Yang sebetulnya
itu melanggar agama dan hukum positif. Peraturan mensyaratkan kalau
seorang laki-laki yang sudah beristri ingin menikah lagi, maka syarat
mutlak dia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari istri
pertamanya. Tapi yang terjadi sekarang kan, tidak begitu. Rata-rata
para pelaku poligami, baru memberitahu sesudah me- nikahi istri
mudanya.

T: Mengapa pengaturan soal poligami ini diperlukan?

Oh tentunya biar tidak menggampangkan praktik poligami. Walaupun
perkawinan poligami dibenarkan secara agama maupun hukum positif,
hendaknya dilakukan menurut aturan yang berlaku, dipikirkan
masak-masak dampaknya, dan bukan hanya penutupan dari persoalan
syahwat saja. Realitas sekarang seolah-olah syahwat itu dibenarkan
oleh jargon "daripada maksiat mendingan kawin lagi". Kalau
membandingkan - poligami jangan dibandingkan dengan perselingkuhan.

T: Perlukah aturan poligami diperluas?

Poligami sering kali dikaitkan dengan PP No. 10 Tahun 1983 (Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) yang diperkuat dengan PP No. 45
Tahun 1990. Mengapa perlu ada pengaturan dan mengapa kita ingin
memperluas PP ini bukan hanya PNS saja tapi juga pejabat publik. Sebab
pejabat publik sekarang tidak semuanya PNS, ada yang menjadi presiden,
menteri, DPR, bupati, walikota yang mana mereka ini menjadi tokoh
panutan. Coba bayangkan, seorang gubernur yang memimpin sebuah
provinsi ketahuan punya istri lebih dari satu, bagaimana dengan
masyarakatnya? Ini seakan-akan memberi legitimasi pada yang sudah
berpoligami maupun yang akan melakukannya.

T: Apakah ada kepentingan politik di balik upaya memperluas PP tersebut?

Sekarang ini ada kebutuhan untuk memperluas bukan saja PNS, tetapi
pejabat publik. Sayangnya upaya ini mendapatkan reaksi cukup keras.
Pada awalnya Presiden sebenarnya sudah cukup tegas, tapi mungkin
karena ada tekanan-tekanan maka beliau mengambangkan lagi persoalan
itu. Kami melihat sebenarnya ini kesempatan yang sangat baik, bukan
bermaksud menghukum pelaku atau membuat orang tidak bisa melakukan
poligami. Tapi bagaimana caranya undang-undang dan peraturan
perundangan-undangan itu benar-benar punya "gigi". Jangan sampai kita
membuat peraturan hanya untuk dilanggar dan si pelanggar tidak kena
sanksi hukum yang tegas.

T: Ini berkaitan dengan masalah teladan untuk masyarakat luas?

Oh iya. Orang bertanya-tanya mengapa persoalan pernikahan kedua Aa Gym
(seorang ustad) diributkan. Pertama karena selama ini dia adalah orang
yang selalu menggembar-gemborkan keluarga Sakinah. Kedua ia adalah
role model (tokoh panutan), ia itu messenger (pembawa pesan). Kalau
pembawa pesannya saja berperilaku seperti itu, maka para suami akan
mengatakan "aku kan mengikuti apa yang menjadi idolamu (idola
ibu-ibu). Bukannya kita tidak setuju kalau ia menikah lagi. Itu hak
dia tapi apakah pernikahan itu sudah dilakukan secara benar dan
jujur?.

T: Tapi kan, pelaku poligami rata-rata tidak jujur?

Justru itu. Kalau kita bercermin pada kasusnya PW (seorang pengusaha
rumah makan), kita tahu bahwa pelaku poligami cenderung menjadi
pembohong. Pw mengatakan pernikahan-pernikahannya telah mendapat restu
dari istri pertamanya. Tapi kemudian ia sendiri mengakui telah
berbohong. Ternyata ia tidak pernah meminta izin kepada istrinya untuk
menikahi istri kedua dan ketiga. Pw mengatakan kepada istri kedua dan
ketiganya bahwa ia telah mendapat izin dari istri pertama. Dalam hal
ini yang melakukan pembohongan bukan hanya pelaku tapi juga KUA dan
kelurahannya. Oleh kelurahan kadang-kadang pelaku diklaim sebagai duda
guna mempercepat proses. Mata rantai kebohongan-kebohongan di balik
perkawinan poligami itu lah yang harus diatur. Kalau perkawinan yang
dibangun atas kebohongan berarti tidak sesuai aturan, kalau tidak
sesuai aturan apakah itu sah?

T: Menurut Anda, apa solusi dari realitas tersebut?

Kita harus menengok kembali UU Perkawinan. Harus ada sejenis
pengkajian ulang. Dicari kesalahannya di mana. Mengapa undang-undang
ini tidak mampu membuat orang yang ingin poligami – berpoligamilah
yang benar, jika tidak ingin berpoligami yang benar maka tidak usah
melakukan karena akan kena sanksi tegas. Tapi sekarang kan tidak.
Orang bebas-bebas saja melakukan poligami. Terlebih kita harus
mengerti bahwa UU Perkawinan ini lahir sebelum ada konvensi-konvensi
yang kita telah sepakati seperti CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan
Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU PKDRT (Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan UU Perlindungan Anak. Ada beberapa
hal yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi misalnya dalam UU
Perkawinan batas minimal usia nikah bagi perempuan adalah 16 tahun.
Padahal, dalam UU Perlindungan Anak yang disebut anak-anak batas
umurnya adalah 18 tahun. Jadi kalau kita melegalkan perkawinan bagi
perempuan umur 16 tahun berarti kita melegitimasi perkawinan anak-anak
dong. Seharusnya undang-undang yang lama mengikuti undang-undang yang
baru.

Izin istri dan syarat-syarat poligami yang diatur oleh UU Perkawinan
seringkali diabaikan, "ditabrak" oleh para pelaku poligami. Hal ini
seringkali menyebabkan banyak kasus perkawinan tidak tercatat (nikah
siri) sebagai jalan untuk melapangkan poligami. Komentar Anda?
Itulah alasannya mengapa sistem hukum kita perlu ditata kembali, bukan
hanya pada peraturan perundang-undangannya saja tapi implementasinya
(perangkatnya dan pengadilannya). Apabila ada seseorang yang melakukan
perkawinan poligami sesuai dengan persyaratan-persyaratan itu
seharusnya diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan kita agar
bisa menjadi contoh poligami yang benar. Poligami yang tidak benar
atau tidak memenuhi syarat-syarat tidak usah pengadilan memberi izin
sebab itu termasuk pelanggaran hukum. Kalau itu pelanggaran hukum maka
siapapun yang terlibat, apakah pelakunya, KUA, atau kelurahannya harus
mendapatkan sanksi.

T: Dibandingkan negara-negara Islam (Maroko,Tunisia) yang sudah
memiliki peraturan ketat soal poligami ini, apakah Indonesia memiliki
peluang untuk mengatur poligami secara ketat juga?

Tentu saja bisa. Wong kalau mau menerapkan UU Perkawinan secara benar,
sebenarnya peraturan di Indonesia itu sudah bagus dan ketat. Tapi
kenyataannya undang-undang ini paling banyak dilanggar orang. Siapapun
yang melakukan poligami tidak sesuai dengan prosedur dalam UU
Perkawinan sebetulnya bukan perkawinan poligami dan bisa dikenakan
sanksi. Namun kenyataannya masyarakat Indonesia tidak. Titik kelemahan
kita pada Law Inforcement (penerapan hukumnya).

T: Apakah UU Perkawinan tidak memiliki sanksi hukumnya?

Ada, tapi murah sekali sanksinya. Sanksinya itu denda-denda yang sudah
tidak relevan lagi. Misalnya kawin tanpa izin istri aja, sanksinya
hanya denda. Indonesia sangat bisa memperlakukan peraturan yang sangat
ketat, sepanjang kita konsisten dalam semangat untuk melindungi
hak-hak warga negara. Berbicara hak-hak warga negara di dalam UU
Perkawinan berarti ada hak perempuan dan anak, bukan saja haknya
laki-laki sebagai subjek pelaku poligami.

T: Gagasan merevisi UU Perkawinan ini sudah terdengar lama, tapi
mengapa sulit masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) ?

Semangat untuk merevisi UU Perkawinan dan PP No. 10 Tahun 1983 dan PP
No. 45 Tahun 1990 sebenarnya sudah sejak dulu. Alasannya karena kita
melihat begitu banyaknya celah-celah yang harus diformulasi kembali
supaya lebih tegas dan melindungi. Waktu itu yang paling banyak tidak
setuju dari Departemen Agama. Nasib UU Perkawinan sama seperti UU
Perlindungan Anak, istilahnya "tidak seksi "untuk diperjuangkan oleh
pengambil keputusan politik. Memperjuangkan UU Perlindungan Anak saja
18 tahun baru selesai. UU Perkawinan masuk dalam wilayah yang sangat
privat jadi ada yang terganggu juga kalau UU Perkawinan diotak-atik.

T: Maksud "tidak seksi" ?

Selain konflik kepentingannya besar ada pula anggapan bahwa tidak ada
keuntungan untuk membicarakan UU Perkawinan. Kombinasi dari itulah
yang membuat UU Perkawinan ratingnya tidak tinggi untuk diperjuangkan.
Itulah mengapa sebabnya momentum kemarin itu (pernikahan kedua Aa Gym)
sangat sayang kalau dilewatkan.

T: Apa harapan Anda terhadap upaya untuk menghapus praktik-praktik
poligami khususnya di Indonesia?

Saya berharap UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT menjadi
UU yang saling mendukung, tentunya apa yang sudah kita peroleh
sekarang yaitu UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT harus juga diakomodir
di dalam revisi UU Perkawinan. Karena dengan demikian akan ada
sinkronisasi sehingga tidak terkesan bahwa ketika kita getol
memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan di
dalam rumah tangga ternyata ada UU yang sebetulnya memberikan satu
peluang untuk perempuan menjadi korban di dalam rumah tangga melalui
praktik-praktik poligami yang tidak bertanggung jawab. Harapan saya
harus ada kemauan untuk melakukan sinkronisasi tiga UU ini sehingga
tidak tumpang-tidih, saling melindungi dan melengkapi. Diharapkan juga
pada tataran masyarakat tidak menimbulkan kerancuan, mau pakai yang
mana? Kalau para pelaku sih selalu mencari celah, misalnya celahnya
ada di UU Perkawinan lalu ia akan menggunakan itu atau ia akan lari ke
agama.

T: Ada hal penting lainnya yang ingin disampaikan?

Oh ya soal perkawinan misalnya. Begitu mudahnya pihak laki-laki
melaksanakannya, sehingga menafikan hak istri untuk mengatakan ya atau
tidak dan melupakan hak anak-anak. Menurut saya poligami tidak saja
bentuk pelangggaran terhadap hak perempuan tapi juga hak anak. Ketika
seorang laki-laki memiliki istri empat dan setiap istri memiliki anak,
bukankah ada hak-hak anak yang terlanggar? Keberadaan seorang ayah
sangat dibutuhkan pada saat anak sedang punya masalah. Ketika sang
anak ingin curhat si ayah justru ada di rumah istri ketiga. Sehingga
pelanggarannya bukan pada ketidakadilan gendernya saja, tapi juga
pelanggaran pada hak-hak anak.

T: Terima kasih Mbak Pinky. Selamat berjuang untuk menegakkan hak
perempuan dan anak di bumi pertiwi ini...]


=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke