Seolah poligini itu bukan sebuah lembaga pernikahan layaknya monogami. apa sih yang buruk (kalo memang ada, dan bukan krn pelakunya) dari poligini yang pada monogami tidak ada: pelecehan, kekerasan, ketidak adilan.
Pada monogami malah plus serong/selingkuh, jajan, simpanan/bawah tangan. salam, rsa --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Jadi sebenarnya Poligami sangat dibatasi oleh hukum Indonesia? > - boleh berpoligami karena isteri sakit, gila atau nggak punya anak > (sakit tentunya yang tergolong penyakit kritis atau terminal?) > - PP no 10 untuk pegawai negeri > - mesti ada ijin isteri (yang juga mewakilkan anak?) > > Jadi kebanyak poligamor melanggar UU Perkawinan ya? Katanya mesti > dibuat PP untuk membuat sanksi pelanggaran ini? Saya kira ini > penting supaya para pejabat, artis, ustaz, pengusaha yang > berpoligami bisa dikenakan hukuman, paling tidak mikir dulu sebelum > rencana berpoligami. Kalau kena hukuman kan berarti dipermalukan di > publik, nah inilah yang ditakutkan mereka. > > Mestinya media juga selalu men-disclose informasi ini, bahwa para > poligamor anu melanggar UU Perkawinan, dan itu adalah jelek banget - > sebagai bagian dari pendidikan publik dan kode jurnalistik. > > Di Indonesia ini apa yang diperbuat para seleb dan pejabat memang > jadi fenomena, karena jadi panutan masyarakat kecil yang dalam > posisi rentan kalau menjalankan poligami. > > Lepas dari persoalan hukum, para poligami cowok mestinya menerima > kenyataan, kalau mereka berpoligami mesti siap2 menerima juga > isterinya (mungkin) berpoligami jugak. Legowo gitu. > > salam > Mia > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dwi W. Soegardi" > <soegardi@> wrote: > > > > http://www.rahima.or.id/SR/21-07/Opini2.htm > > > > Wawancara dengan Dra. Pinky Saptandari, MA. > > (Staf Khusus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan > > Bidang Perempuan dan Anak) > > > > Dalam Kenyataan Praktik Poligami > > Seringkali Melanggar Hak Perempuan dan Anak > > > > T: Kaum laki-laki melakukan poligami dengan alasan diperbolehkan di > > alquran, bahkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seolah-olah > > memperbolehkan laki-laki berpoligami. Misalnya dalam pasal 3 ayat 2 > > disebutkan pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk > beristri > > lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang > > bersangkutan. Bagaimana Anda melihat realitas ini? > > > > Agama dan hukum positif (UU Perkawinan) di Indonesia sebenarnya > tidak > > melarang dilakukannya praktek poligami. Namun yang menjadi masalah > dan > > perhatian kami (pihak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan) > lebih > > kepada proses pelaksanaan poligami itu sendiri. Kebanyakan praktek > > poligami yang dilakukan, hampir semuanya tidak sesuai dengan apa > yang > > seharusnya menjadi aturan-aturan poligami itu sendiri. Kami menilai > > pada proses awalnya saja sudah terjadi pelanggaran. Juga pada > proses > > perkawinannya sendiri, seringkali hak-hak perempuan menjadi > terabaikan > > baik itu bagi istri pertama (terutama), kedua, ketiga dan > seterusnya. > > > > T: Bisa Anda contohkan praktik-praktik pengabaian hak tersebut? > > > > Di pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, disebutkan beberapa > alasan > > seorang laki-laki bisa melakukan poligami. Alasan itu antara lain > > apabila istri dalam kondisi tidak sehat, gila, dan tidak punya > anak. > > Tapi ironisnya sekarang, kendati si istri tidak gila, punya anak, > dan > > sehat, toh suami tetap kawin lagi. Jadi ada berbagai upaya > pengabaian > > syarat, yang sebetulnya justru syarat itu diadakan untuk melindungi > > kaum perempuan. > > > > T: Jadi apa yang perlu dilakukan untuk melindungi kaum perempuan? > > > > Ya tentunya harus mengembalikan pelaksanaan syarat-syarat tersebut > > secara konsisten. Ini perlu, agar poligami itu tetap bisa > dijalankan > > namun dalam jalur yang benar. Sekarang hampir 90% praktik poligami > > adalah poligami-poligamian yang mengatasnakan agama. Yang > sebetulnya > > itu melanggar agama dan hukum positif. Peraturan mensyaratkan kalau > > seorang laki-laki yang sudah beristri ingin menikah lagi, maka > syarat > > mutlak dia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari istri > > pertamanya. Tapi yang terjadi sekarang kan, tidak begitu. Rata- rata > > para pelaku poligami, baru memberitahu sesudah me- nikahi istri > > mudanya. > > > > T: Mengapa pengaturan soal poligami ini diperlukan? > > > > Oh tentunya biar tidak menggampangkan praktik poligami. Walaupun > > perkawinan poligami dibenarkan secara agama maupun hukum positif, > > hendaknya dilakukan menurut aturan yang berlaku, dipikirkan > > masak-masak dampaknya, dan bukan hanya penutupan dari persoalan > > syahwat saja. Realitas sekarang seolah-olah syahwat itu dibenarkan > > oleh jargon "daripada maksiat mendingan kawin lagi". Kalau > > membandingkan - poligami jangan dibandingkan dengan perselingkuhan. > > > > T: Perlukah aturan poligami diperluas? > > > > Poligami sering kali dikaitkan dengan PP No. 10 Tahun 1983 (Izin > > Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) yang diperkuat dengan PP No. 45 > > Tahun 1990. Mengapa perlu ada pengaturan dan mengapa kita ingin > > memperluas PP ini bukan hanya PNS saja tapi juga pejabat publik. > Sebab > > pejabat publik sekarang tidak semuanya PNS, ada yang menjadi > presiden, > > menteri, DPR, bupati, walikota yang mana mereka ini menjadi tokoh > > panutan. Coba bayangkan, seorang gubernur yang memimpin sebuah > > provinsi ketahuan punya istri lebih dari satu, bagaimana dengan > > masyarakatnya? Ini seakan-akan memberi legitimasi pada yang sudah > > berpoligami maupun yang akan melakukannya. > > > > T: Apakah ada kepentingan politik di balik upaya memperluas PP > tersebut? > > > > Sekarang ini ada kebutuhan untuk memperluas bukan saja PNS, tetapi > > pejabat publik. Sayangnya upaya ini mendapatkan reaksi cukup keras. > > Pada awalnya Presiden sebenarnya sudah cukup tegas, tapi mungkin > > karena ada tekanan-tekanan maka beliau mengambangkan lagi persoalan > > itu. Kami melihat sebenarnya ini kesempatan yang sangat baik, bukan > > bermaksud menghukum pelaku atau membuat orang tidak bisa melakukan > > poligami. Tapi bagaimana caranya undang-undang dan peraturan > > perundangan-undangan itu benar-benar punya "gigi". Jangan sampai > kita > > membuat peraturan hanya untuk dilanggar dan si pelanggar tidak kena > > sanksi hukum yang tegas. > > > > T: Ini berkaitan dengan masalah teladan untuk masyarakat luas? > > > > Oh iya. Orang bertanya-tanya mengapa persoalan pernikahan kedua Aa > Gym > > (seorang ustad) diributkan. Pertama karena selama ini dia adalah > orang > > yang selalu menggembar-gemborkan keluarga Sakinah. Kedua ia adalah > > role model (tokoh panutan), ia itu messenger (pembawa pesan). Kalau > > pembawa pesannya saja berperilaku seperti itu, maka para suami akan > > mengatakan "aku kan mengikuti apa yang menjadi idolamu (idola > > ibu-ibu). Bukannya kita tidak setuju kalau ia menikah lagi. Itu hak > > dia tapi apakah pernikahan itu sudah dilakukan secara benar dan > > jujur?. > > > > T: Tapi kan, pelaku poligami rata-rata tidak jujur? > > > > Justru itu. Kalau kita bercermin pada kasusnya PW (seorang > pengusaha > > rumah makan), kita tahu bahwa pelaku poligami cenderung menjadi > > pembohong. Pw mengatakan pernikahan-pernikahannya telah mendapat > restu > > dari istri pertamanya. Tapi kemudian ia sendiri mengakui telah > > berbohong. Ternyata ia tidak pernah meminta izin kepada istrinya > untuk > > menikahi istri kedua dan ketiga. Pw mengatakan kepada istri kedua > dan > > ketiganya bahwa ia telah mendapat izin dari istri pertama. Dalam > hal > > ini yang melakukan pembohongan bukan hanya pelaku tapi juga KUA dan > > kelurahannya. Oleh kelurahan kadang-kadang pelaku diklaim sebagai > duda > > guna mempercepat proses. Mata rantai kebohongan-kebohongan di balik > > perkawinan poligami itu lah yang harus diatur. Kalau perkawinan > yang > > dibangun atas kebohongan berarti tidak sesuai aturan, kalau tidak > > sesuai aturan apakah itu sah? > > > > T: Menurut Anda, apa solusi dari realitas tersebut? > > > > Kita harus menengok kembali UU Perkawinan. Harus ada sejenis > > pengkajian ulang. Dicari kesalahannya di mana. Mengapa undang- > undang > > ini tidak mampu membuat orang yang ingin poligami berpoligamilah > > yang benar, jika tidak ingin berpoligami yang benar maka tidak usah > > melakukan karena akan kena sanksi tegas. Tapi sekarang kan tidak. > > Orang bebas-bebas saja melakukan poligami. Terlebih kita harus > > mengerti bahwa UU Perkawinan ini lahir sebelum ada konvensi- > konvensi > > yang kita telah sepakati seperti CEDAW (Konvensi tentang > Penghapusan > > Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU PKDRT > (Penghapusan > > Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan UU Perlindungan Anak. Ada > beberapa > > hal yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi misalnya dalam UU > > Perkawinan batas minimal usia nikah bagi perempuan adalah 16 tahun. > > Padahal, dalam UU Perlindungan Anak yang disebut anak-anak batas > > umurnya adalah 18 tahun. Jadi kalau kita melegalkan perkawinan bagi > > perempuan umur 16 tahun berarti kita melegitimasi perkawinan anak- > anak > > dong. Seharusnya undang-undang yang lama mengikuti undang-undang > yang > > baru. > > > > Izin istri dan syarat-syarat poligami yang diatur oleh UU > Perkawinan > > seringkali diabaikan, "ditabrak" oleh para pelaku poligami. Hal ini > > seringkali menyebabkan banyak kasus perkawinan tidak tercatat > (nikah > > siri) sebagai jalan untuk melapangkan poligami. Komentar Anda? > > Itulah alasannya mengapa sistem hukum kita perlu ditata kembali, > bukan > > hanya pada peraturan perundang-undangannya saja tapi > implementasinya > > (perangkatnya dan pengadilannya). Apabila ada seseorang yang > melakukan > > perkawinan poligami sesuai dengan persyaratan-persyaratan itu > > seharusnya diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan kita agar > > bisa menjadi contoh poligami yang benar. Poligami yang tidak benar > > atau tidak memenuhi syarat-syarat tidak usah pengadilan memberi > izin > > sebab itu termasuk pelanggaran hukum. Kalau itu pelanggaran hukum > maka > > siapapun yang terlibat, apakah pelakunya, KUA, atau kelurahannya > harus > > mendapatkan sanksi. > > > > T: Dibandingkan negara-negara Islam (Maroko,Tunisia) yang sudah > > memiliki peraturan ketat soal poligami ini, apakah Indonesia > memiliki > > peluang untuk mengatur poligami secara ketat juga? > > > > Tentu saja bisa. Wong kalau mau menerapkan UU Perkawinan secara > benar, > > sebenarnya peraturan di Indonesia itu sudah bagus dan ketat. Tapi > > kenyataannya undang-undang ini paling banyak dilanggar orang. > Siapapun > > yang melakukan poligami tidak sesuai dengan prosedur dalam UU > > Perkawinan sebetulnya bukan perkawinan poligami dan bisa dikenakan > > sanksi. Namun kenyataannya masyarakat Indonesia tidak. Titik > kelemahan > > kita pada Law Inforcement (penerapan hukumnya). > > > > T: Apakah UU Perkawinan tidak memiliki sanksi hukumnya? > > > > Ada, tapi murah sekali sanksinya. Sanksinya itu denda-denda yang > sudah > > tidak relevan lagi. Misalnya kawin tanpa izin istri aja, sanksinya > > hanya denda. Indonesia sangat bisa memperlakukan peraturan yang > sangat > > ketat, sepanjang kita konsisten dalam semangat untuk melindungi > > hak-hak warga negara. Berbicara hak-hak warga negara di dalam UU > > Perkawinan berarti ada hak perempuan dan anak, bukan saja haknya > > laki-laki sebagai subjek pelaku poligami. > > > > T: Gagasan merevisi UU Perkawinan ini sudah terdengar lama, tapi > > mengapa sulit masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) ? > > > > Semangat untuk merevisi UU Perkawinan dan PP No. 10 Tahun 1983 dan > PP > > No. 45 Tahun 1990 sebenarnya sudah sejak dulu. Alasannya karena > kita > > melihat begitu banyaknya celah-celah yang harus diformulasi kembali > > supaya lebih tegas dan melindungi. Waktu itu yang paling banyak > tidak > > setuju dari Departemen Agama. Nasib UU Perkawinan sama seperti UU > > Perlindungan Anak, istilahnya "tidak seksi "untuk diperjuangkan > oleh > > pengambil keputusan politik. Memperjuangkan UU Perlindungan Anak > saja > > 18 tahun baru selesai. UU Perkawinan masuk dalam wilayah yang > sangat > > privat jadi ada yang terganggu juga kalau UU Perkawinan diotak- > atik. > > > > T: Maksud "tidak seksi" ? > > > > Selain konflik kepentingannya besar ada pula anggapan bahwa tidak > ada > > keuntungan untuk membicarakan UU Perkawinan. Kombinasi dari itulah > > yang membuat UU Perkawinan ratingnya tidak tinggi untuk > diperjuangkan. > > Itulah mengapa sebabnya momentum kemarin itu (pernikahan kedua Aa > Gym) > > sangat sayang kalau dilewatkan. > > > > T: Apa harapan Anda terhadap upaya untuk menghapus praktik-praktik > > poligami khususnya di Indonesia? > > > > Saya berharap UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT > menjadi > > UU yang saling mendukung, tentunya apa yang sudah kita peroleh > > sekarang yaitu UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT harus juga > diakomodir > > di dalam revisi UU Perkawinan. Karena dengan demikian akan ada > > sinkronisasi sehingga tidak terkesan bahwa ketika kita getol > > memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan di > > dalam rumah tangga ternyata ada UU yang sebetulnya memberikan satu > > peluang untuk perempuan menjadi korban di dalam rumah tangga > melalui > > praktik-praktik poligami yang tidak bertanggung jawab. Harapan saya > > harus ada kemauan untuk melakukan sinkronisasi tiga UU ini sehingga > > tidak tumpang-tidih, saling melindungi dan melengkapi. Diharapkan > juga > > pada tataran masyarakat tidak menimbulkan kerancuan, mau pakai yang > > mana? Kalau para pelaku sih selalu mencari celah, misalnya celahnya > > ada di UU Perkawinan lalu ia akan menggunakan itu atau ia akan > lari ke > > agama. > > > > T: Ada hal penting lainnya yang ingin disampaikan? > > > > Oh ya soal perkawinan misalnya. Begitu mudahnya pihak laki-laki > > melaksanakannya, sehingga menafikan hak istri untuk mengatakan ya > atau > > tidak dan melupakan hak anak-anak. Menurut saya poligami tidak saja > > bentuk pelangggaran terhadap hak perempuan tapi juga hak anak. > Ketika > > seorang laki-laki memiliki istri empat dan setiap istri memiliki > anak, > > bukankah ada hak-hak anak yang terlanggar? Keberadaan seorang ayah > > sangat dibutuhkan pada saat anak sedang punya masalah. Ketika sang > > anak ingin curhat si ayah justru ada di rumah istri ketiga. > Sehingga > > pelanggarannya bukan pada ketidakadilan gendernya saja, tapi juga > > pelanggaran pada hak-hak anak. > > > > T: Terima kasih Mbak Pinky. Selamat berjuang untuk menegakkan hak > > perempuan dan anak di bumi pertiwi ini...] > > >