Buruknya poligini bukannya sudah saya kemukakan dan belum ditanggapi 
oleh Anda: mudharat paling besar ialah rusaknya struktur keluarga 
sehingga kualitas membesarkan dan mendidik anak jadi 
terkompromikan.  Tidak heran jika kualitas generasi penerus menjadi 
buruk dan tidak dapat bersaing dg bangsa2 lain sehingga banyak 
masyarakat muslim termarginalisasikan.

Uang berlebih yg dapat dibelikan gizi dan alat2 belajar yg lebih utk 
anak2 menjadi berkurang.  Apakah bukti2 ini tidak cukup bagi Anda?

Kalau Anda ingin mempertahankan terbelakangnya generasi peneris kita 
lebih baik Anda pikir dua kali.

Sebagai khalifah bumi adalah tanggung jawab kita memikirkan 
kesejahteraan keluarga dan kualitas hidup masa depan.  Ini tanggung 
jawab kita.  Kualitas hidup bukan cuma 7 menit di atas kasur!

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "rsa" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Seolah poligini itu bukan sebuah lembaga pernikahan layaknya 
> monogami. apa sih yang buruk (kalo memang ada, dan bukan krn 
> pelakunya) dari poligini yang pada monogami tidak ada: pelecehan, 
> kekerasan, ketidak adilan.
> 
> Pada monogami malah plus serong/selingkuh, jajan, simpanan/bawah 
> tangan.
> 
> salam,
> rsa
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <aldiy@> wrote:
> >
> > Jadi sebenarnya Poligami sangat dibatasi oleh hukum Indonesia?
> > - boleh berpoligami karena isteri sakit, gila atau nggak punya 
anak 
> > (sakit tentunya yang tergolong penyakit kritis atau terminal?)
> > - PP no 10 untuk pegawai negeri
> > - mesti ada ijin isteri (yang juga mewakilkan anak?)
> > 
> > Jadi kebanyak poligamor melanggar UU Perkawinan ya?  Katanya 
mesti 
> > dibuat PP untuk membuat sanksi pelanggaran ini?  Saya kira ini 
> > penting supaya para pejabat, artis, ustaz, pengusaha yang 
> > berpoligami bisa dikenakan hukuman, paling tidak mikir dulu 
sebelum 
> > rencana berpoligami. Kalau kena hukuman kan berarti dipermalukan 
di 
> > publik, nah inilah yang ditakutkan mereka.
> > 
> > Mestinya media juga selalu men-disclose informasi ini, bahwa 
para 
> > poligamor anu melanggar UU Perkawinan, dan itu adalah jelek 
banget -
> > sebagai bagian dari pendidikan publik dan kode jurnalistik.  
> > 
> > Di Indonesia ini apa yang diperbuat para seleb dan pejabat 
memang 
> > jadi fenomena, karena jadi panutan masyarakat kecil yang dalam 
> > posisi rentan kalau menjalankan poligami.
> > 
> > Lepas dari persoalan hukum, para poligami cowok mestinya 
menerima 
> > kenyataan, kalau mereka berpoligami mesti siap2 menerima juga 
> > isterinya (mungkin) berpoligami jugak. Legowo gitu.
> > 
> > salam
> > Mia
> > 
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dwi W. Soegardi" 
> > <soegardi@> wrote:
> > >
> > > http://www.rahima.or.id/SR/21-07/Opini2.htm
> > > 
> > > Wawancara dengan Dra. Pinky Saptandari, MA.
> > > (Staf Khusus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
> > > Bidang Perempuan dan Anak)
> > > 
> > > Dalam Kenyataan Praktik Poligami
> > > Seringkali Melanggar Hak Perempuan dan Anak
> > > 
> > > T: Kaum laki-laki melakukan poligami dengan alasan 
diperbolehkan 
> di
> > > alquran, bahkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seolah-olah
> > > memperbolehkan laki-laki berpoligami. Misalnya dalam pasal 3 
ayat 
> 2
> > > disebutkan pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk 
> > beristri
> > > lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
> > > bersangkutan. Bagaimana Anda melihat realitas ini?
> > > 
> > > Agama dan hukum positif (UU Perkawinan) di Indonesia 
sebenarnya 
> > tidak
> > > melarang dilakukannya praktek poligami. Namun yang menjadi 
> masalah 
> > dan
> > > perhatian kami (pihak Kementerian Negara Pemberdayaan 
Perempuan) 
> > lebih
> > > kepada proses pelaksanaan poligami itu sendiri. Kebanyakan 
praktek
> > > poligami yang dilakukan, hampir semuanya tidak sesuai dengan 
apa 
> > yang
> > > seharusnya menjadi aturan-aturan poligami itu sendiri. Kami 
> menilai
> > > pada proses awalnya saja sudah terjadi pelanggaran. Juga pada 
> > proses
> > > perkawinannya sendiri, seringkali hak-hak perempuan menjadi 
> > terabaikan
> > > baik itu bagi istri pertama (terutama), kedua, ketiga dan 
> > seterusnya.
> > > 
> > > T: Bisa Anda contohkan praktik-praktik pengabaian hak tersebut?
> > > 
> > > Di pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, disebutkan beberapa 
> > alasan
> > > seorang laki-laki bisa melakukan poligami. Alasan itu antara 
lain
> > > apabila istri dalam kondisi tidak sehat, gila, dan tidak punya 
> > anak.
> > > Tapi ironisnya sekarang, kendati si istri tidak gila, punya 
anak, 
> > dan
> > > sehat, toh suami tetap kawin lagi. Jadi ada berbagai upaya 
> > pengabaian
> > > syarat, yang sebetulnya justru syarat itu diadakan untuk 
> melindungi
> > > kaum perempuan.
> > > 
> > > T: Jadi apa yang perlu dilakukan untuk melindungi kaum 
perempuan?
> > > 
> > > Ya tentunya harus mengembalikan pelaksanaan syarat-syarat 
tersebut
> > > secara konsisten. Ini perlu, agar poligami itu tetap bisa 
> > dijalankan
> > > namun dalam jalur yang benar. Sekarang hampir 90% praktik 
poligami
> > > adalah poligami-poligamian yang mengatasnakan agama. Yang 
> > sebetulnya
> > > itu melanggar agama dan hukum positif. Peraturan mensyaratkan 
> kalau
> > > seorang laki-laki yang sudah beristri ingin menikah lagi, maka 
> > syarat
> > > mutlak dia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari istri
> > > pertamanya. Tapi yang terjadi sekarang kan, tidak begitu. Rata-
> rata
> > > para pelaku poligami, baru memberitahu sesudah me- nikahi istri
> > > mudanya.
> > > 
> > > T: Mengapa pengaturan soal poligami ini diperlukan?
> > > 
> > > Oh tentunya biar tidak menggampangkan praktik poligami. 
Walaupun
> > > perkawinan poligami dibenarkan secara agama maupun hukum 
positif,
> > > hendaknya dilakukan menurut aturan yang berlaku, dipikirkan
> > > masak-masak dampaknya, dan bukan hanya penutupan dari persoalan
> > > syahwat saja. Realitas sekarang seolah-olah syahwat itu 
dibenarkan
> > > oleh jargon "daripada maksiat mendingan kawin lagi". Kalau
> > > membandingkan - poligami jangan dibandingkan dengan 
> perselingkuhan.
> > > 
> > > T: Perlukah aturan poligami diperluas?
> > > 
> > > Poligami sering kali dikaitkan dengan PP No. 10 Tahun 1983 
(Izin
> > > Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) yang diperkuat dengan PP 
No. 
> 45
> > > Tahun 1990. Mengapa perlu ada pengaturan dan mengapa kita ingin
> > > memperluas PP ini bukan hanya PNS saja tapi juga pejabat 
publik. 
> > Sebab
> > > pejabat publik sekarang tidak semuanya PNS, ada yang menjadi 
> > presiden,
> > > menteri, DPR, bupati, walikota yang mana mereka ini menjadi 
tokoh
> > > panutan. Coba bayangkan, seorang gubernur yang memimpin sebuah
> > > provinsi ketahuan punya istri lebih dari satu, bagaimana dengan
> > > masyarakatnya? Ini seakan-akan memberi legitimasi pada yang 
sudah
> > > berpoligami maupun yang akan melakukannya.
> > > 
> > > T: Apakah ada kepentingan politik di balik upaya memperluas PP 
> > tersebut?
> > > 
> > > Sekarang ini ada kebutuhan untuk memperluas bukan saja PNS, 
tetapi
> > > pejabat publik. Sayangnya upaya ini mendapatkan reaksi cukup 
> keras.
> > > Pada awalnya Presiden sebenarnya sudah cukup tegas, tapi 
mungkin
> > > karena ada tekanan-tekanan maka beliau mengambangkan lagi 
> persoalan
> > > itu. Kami melihat sebenarnya ini kesempatan yang sangat baik, 
> bukan
> > > bermaksud menghukum pelaku atau membuat orang tidak bisa 
melakukan
> > > poligami. Tapi bagaimana caranya undang-undang dan peraturan
> > > perundangan-undangan itu benar-benar punya "gigi". Jangan 
sampai 
> > kita
> > > membuat peraturan hanya untuk dilanggar dan si pelanggar tidak 
> kena
> > > sanksi hukum yang tegas.
> > > 
> > > T: Ini berkaitan dengan masalah teladan untuk masyarakat luas?
> > > 
> > > Oh iya. Orang bertanya-tanya mengapa persoalan pernikahan 
kedua 
> Aa 
> > Gym
> > > (seorang ustad) diributkan. Pertama karena selama ini dia 
adalah 
> > orang
> > > yang selalu menggembar-gemborkan keluarga Sakinah. Kedua ia 
adalah
> > > role model (tokoh panutan), ia itu messenger (pembawa pesan). 
> Kalau
> > > pembawa pesannya saja berperilaku seperti itu, maka para suami 
> akan
> > > mengatakan "aku kan mengikuti apa yang menjadi idolamu (idola
> > > ibu-ibu). Bukannya kita tidak setuju kalau ia menikah lagi. 
Itu 
> hak
> > > dia tapi apakah pernikahan itu sudah dilakukan secara benar dan
> > > jujur?.
> > > 
> > > T: Tapi kan, pelaku poligami rata-rata tidak jujur?
> > > 
> > > Justru itu. Kalau kita bercermin pada kasusnya PW (seorang 
> > pengusaha
> > > rumah makan), kita tahu bahwa pelaku poligami cenderung menjadi
> > > pembohong. Pw mengatakan pernikahan-pernikahannya telah 
mendapat 
> > restu
> > > dari istri pertamanya. Tapi kemudian ia sendiri mengakui telah
> > > berbohong. Ternyata ia tidak pernah meminta izin kepada 
istrinya 
> > untuk
> > > menikahi istri kedua dan ketiga. Pw mengatakan kepada istri 
kedua 
> > dan
> > > ketiganya bahwa ia telah mendapat izin dari istri pertama. 
Dalam 
> > hal
> > > ini yang melakukan pembohongan bukan hanya pelaku tapi juga 
KUA 
> dan
> > > kelurahannya. Oleh kelurahan kadang-kadang pelaku diklaim 
sebagai 
> > duda
> > > guna mempercepat proses. Mata rantai kebohongan-kebohongan di 
> balik
> > > perkawinan poligami itu lah yang harus diatur. Kalau 
perkawinan 
> > yang
> > > dibangun atas kebohongan berarti tidak sesuai aturan, kalau 
tidak
> > > sesuai aturan apakah itu sah?
> > > 
> > > T: Menurut Anda, apa solusi dari realitas tersebut?
> > > 
> > > Kita harus menengok kembali UU Perkawinan. Harus ada sejenis
> > > pengkajian ulang. Dicari kesalahannya di mana. Mengapa undang-
> > undang
> > > ini tidak mampu membuat orang yang ingin poligami – 
berpoligamilah
> > > yang benar, jika tidak ingin berpoligami yang benar maka tidak 
> usah
> > > melakukan karena akan kena sanksi tegas. Tapi sekarang kan 
tidak.
> > > Orang bebas-bebas saja melakukan poligami. Terlebih kita harus
> > > mengerti bahwa UU Perkawinan ini lahir sebelum ada konvensi-
> > konvensi
> > > yang kita telah sepakati seperti CEDAW (Konvensi tentang 
> > Penghapusan
> > > Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU PKDRT 
> > (Penghapusan
> > > Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan UU Perlindungan Anak. Ada 
> > beberapa
> > > hal yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi misalnya dalam UU
> > > Perkawinan batas minimal usia nikah bagi perempuan adalah 16 
> tahun.
> > > Padahal, dalam UU Perlindungan Anak yang disebut anak-anak 
batas
> > > umurnya adalah 18 tahun. Jadi kalau kita melegalkan perkawinan 
> bagi
> > > perempuan umur 16 tahun berarti kita melegitimasi perkawinan 
anak-
> > anak
> > > dong. Seharusnya undang-undang yang lama mengikuti undang-
undang 
> > yang
> > > baru.
> > > 
> > > Izin istri dan syarat-syarat poligami yang diatur oleh UU 
> > Perkawinan
> > > seringkali diabaikan, "ditabrak" oleh para pelaku poligami. 
Hal 
> ini
> > > seringkali menyebabkan banyak kasus perkawinan tidak tercatat 
> > (nikah
> > > siri) sebagai jalan untuk melapangkan poligami. Komentar Anda?
> > > Itulah alasannya mengapa sistem hukum kita perlu ditata 
kembali, 
> > bukan
> > > hanya pada peraturan perundang-undangannya saja tapi 
> > implementasinya
> > > (perangkatnya dan pengadilannya). Apabila ada seseorang yang 
> > melakukan
> > > perkawinan poligami sesuai dengan persyaratan-persyaratan itu
> > > seharusnya diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan kita 
agar
> > > bisa menjadi contoh poligami yang benar. Poligami yang tidak 
benar
> > > atau tidak memenuhi syarat-syarat tidak usah pengadilan 
memberi 
> > izin
> > > sebab itu termasuk pelanggaran hukum. Kalau itu pelanggaran 
hukum 
> > maka
> > > siapapun yang terlibat, apakah pelakunya, KUA, atau 
kelurahannya 
> > harus
> > > mendapatkan sanksi.
> > > 
> > > T: Dibandingkan negara-negara Islam (Maroko,Tunisia) yang sudah
> > > memiliki peraturan ketat soal poligami ini, apakah Indonesia 
> > memiliki
> > > peluang untuk mengatur poligami secara ketat juga?
> > > 
> > > Tentu saja bisa. Wong kalau mau menerapkan UU Perkawinan 
secara 
> > benar,
> > > sebenarnya peraturan di Indonesia itu sudah bagus dan ketat. 
Tapi
> > > kenyataannya undang-undang ini paling banyak dilanggar orang. 
> > Siapapun
> > > yang melakukan poligami tidak sesuai dengan prosedur dalam UU
> > > Perkawinan sebetulnya bukan perkawinan poligami dan bisa 
dikenakan
> > > sanksi. Namun kenyataannya masyarakat Indonesia tidak. Titik 
> > kelemahan
> > > kita pada Law Inforcement (penerapan hukumnya).
> > > 
> > > T: Apakah UU Perkawinan tidak memiliki sanksi hukumnya?
> > > 
> > > Ada, tapi murah sekali sanksinya. Sanksinya itu denda-denda 
yang 
> > sudah
> > > tidak relevan lagi. Misalnya kawin tanpa izin istri aja, 
sanksinya
> > > hanya denda. Indonesia sangat bisa memperlakukan peraturan 
yang 
> > sangat
> > > ketat, sepanjang kita konsisten dalam semangat untuk melindungi
> > > hak-hak warga negara. Berbicara hak-hak warga negara di dalam 
UU
> > > Perkawinan berarti ada hak perempuan dan anak, bukan saja 
haknya
> > > laki-laki sebagai subjek pelaku poligami.
> > > 
> > > T: Gagasan merevisi UU Perkawinan ini sudah terdengar lama, 
tapi
> > > mengapa sulit masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) ?
> > > 
> > > Semangat untuk merevisi UU Perkawinan dan PP No. 10 Tahun 1983 
> dan 
> > PP
> > > No. 45 Tahun 1990 sebenarnya sudah sejak dulu. Alasannya 
karena 
> > kita
> > > melihat begitu banyaknya celah-celah yang harus diformulasi 
> kembali
> > > supaya lebih tegas dan melindungi. Waktu itu yang paling 
banyak 
> > tidak
> > > setuju dari Departemen Agama. Nasib UU Perkawinan sama seperti 
UU
> > > Perlindungan Anak, istilahnya "tidak seksi "untuk 
diperjuangkan 
> > oleh
> > > pengambil keputusan politik. Memperjuangkan UU Perlindungan 
Anak 
> > saja
> > > 18 tahun baru selesai. UU Perkawinan masuk dalam wilayah yang 
> > sangat
> > > privat jadi ada yang terganggu juga kalau UU Perkawinan diotak-
> > atik.
> > > 
> > > T: Maksud "tidak seksi" ?
> > > 
> > > Selain konflik kepentingannya besar ada pula anggapan bahwa 
tidak 
> > ada
> > > keuntungan untuk membicarakan UU Perkawinan. Kombinasi dari 
itulah
> > > yang membuat UU Perkawinan ratingnya tidak tinggi untuk 
> > diperjuangkan.
> > > Itulah mengapa sebabnya momentum kemarin itu (pernikahan kedua 
Aa 
> > Gym)
> > > sangat sayang kalau dilewatkan.
> > > 
> > > T: Apa harapan Anda terhadap upaya untuk menghapus praktik-
praktik
> > > poligami khususnya di Indonesia?
> > > 
> > > Saya berharap UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT 
> > menjadi
> > > UU yang saling mendukung, tentunya apa yang sudah kita peroleh
> > > sekarang yaitu UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT harus juga 
> > diakomodir
> > > di dalam revisi UU Perkawinan. Karena dengan demikian akan ada
> > > sinkronisasi sehingga tidak terkesan bahwa ketika kita getol
> > > memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak 
kekerasan 
> di
> > > dalam rumah tangga ternyata ada UU yang sebetulnya memberikan 
satu
> > > peluang untuk perempuan menjadi korban di dalam rumah tangga 
> > melalui
> > > praktik-praktik poligami yang tidak bertanggung jawab. Harapan 
> saya
> > > harus ada kemauan untuk melakukan sinkronisasi tiga UU ini 
> sehingga
> > > tidak tumpang-tidih, saling melindungi dan melengkapi. 
Diharapkan 
> > juga
> > > pada tataran masyarakat tidak menimbulkan kerancuan, mau pakai 
> yang
> > > mana? Kalau para pelaku sih selalu mencari celah, misalnya 
> celahnya
> > > ada di UU Perkawinan lalu ia akan menggunakan itu atau ia akan 
> > lari ke
> > > agama.
> > > 
> > > T: Ada hal penting lainnya yang ingin disampaikan?
> > > 
> > > Oh ya soal perkawinan misalnya. Begitu mudahnya pihak laki-laki
> > > melaksanakannya, sehingga menafikan hak istri untuk mengatakan 
ya 
> > atau
> > > tidak dan melupakan hak anak-anak. Menurut saya poligami tidak 
> saja
> > > bentuk pelangggaran terhadap hak perempuan tapi juga hak anak. 
> > Ketika
> > > seorang laki-laki memiliki istri empat dan setiap istri 
memiliki 
> > anak,
> > > bukankah ada hak-hak anak yang terlanggar? Keberadaan seorang 
ayah
> > > sangat dibutuhkan pada saat anak sedang punya masalah. Ketika 
sang
> > > anak ingin curhat si ayah justru ada di rumah istri ketiga. 
> > Sehingga
> > > pelanggarannya bukan pada ketidakadilan gendernya saja, tapi 
juga
> > > pelanggaran pada hak-hak anak.
> > > 
> > > T: Terima kasih Mbak Pinky. Selamat berjuang untuk menegakkan 
hak
> > > perempuan dan anak di bumi pertiwi ini...]
> > >
> >
>


Kirim email ke