Numpang nimbrung; Cuma lagi suka baca koran
Poligami di negara2 yg notabene mayoritas Islam,
bahkan melakukan poligami bisa kena denda ratusan juta.
Silakan lihat tulisan di Kompas yg mengulas kisah2 poligami di berbagai negara
beserta sanksinya [ kalo tidak salah di rubrik, swara/humaniora]


Salam
l.meilany


  ----- Original Message ----- 
  From: Mia 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, July 13, 2007 4:28 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Re: Praktik Poligami Seringkali Melanggar Hak 
Perempuan dan Anak


  Jadi sebenarnya Poligami sangat dibatasi oleh hukum Indonesia?
  - boleh berpoligami karena isteri sakit, gila atau nggak punya anak 
  (sakit tentunya yang tergolong penyakit kritis atau terminal?)
  - PP no 10 untuk pegawai negeri
  - mesti ada ijin isteri (yang juga mewakilkan anak?)

  Jadi kebanyak poligamor melanggar UU Perkawinan ya? Katanya mesti 
  dibuat PP untuk membuat sanksi pelanggaran ini? Saya kira ini 
  penting supaya para pejabat, artis, ustaz, pengusaha yang 
  berpoligami bisa dikenakan hukuman, paling tidak mikir dulu sebelum 
  rencana berpoligami. Kalau kena hukuman kan berarti dipermalukan di 
  publik, nah inilah yang ditakutkan mereka.

  Mestinya media juga selalu men-disclose informasi ini, bahwa para 
  poligamor anu melanggar UU Perkawinan, dan itu adalah jelek banget -
  sebagai bagian dari pendidikan publik dan kode jurnalistik. 

  Di Indonesia ini apa yang diperbuat para seleb dan pejabat memang 
  jadi fenomena, karena jadi panutan masyarakat kecil yang dalam 
  posisi rentan kalau menjalankan poligami.

  Lepas dari persoalan hukum, para poligami cowok mestinya menerima 
  kenyataan, kalau mereka berpoligami mesti siap2 menerima juga 
  isterinya (mungkin) berpoligami jugak. Legowo gitu.

  salam
  Mia

  --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dwi W. Soegardi" 
  <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  > http://www.rahima.or.id/SR/21-07/Opini2.htm
  > 
  > Wawancara dengan Dra. Pinky Saptandari, MA.
  > (Staf Khusus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
  > Bidang Perempuan dan Anak)
  > 
  > Dalam Kenyataan Praktik Poligami
  > Seringkali Melanggar Hak Perempuan dan Anak
  > 
  > T: Kaum laki-laki melakukan poligami dengan alasan diperbolehkan di
  > alquran, bahkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seolah-olah
  > memperbolehkan laki-laki berpoligami. Misalnya dalam pasal 3 ayat 2
  > disebutkan pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk 
  beristri
  > lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
  > bersangkutan. Bagaimana Anda melihat realitas ini?
  > 
  > Agama dan hukum positif (UU Perkawinan) di Indonesia sebenarnya 
  tidak
  > melarang dilakukannya praktek poligami. Namun yang menjadi masalah 
  dan
  > perhatian kami (pihak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan) 
  lebih
  > kepada proses pelaksanaan poligami itu sendiri. Kebanyakan praktek
  > poligami yang dilakukan, hampir semuanya tidak sesuai dengan apa 
  yang
  > seharusnya menjadi aturan-aturan poligami itu sendiri. Kami menilai
  > pada proses awalnya saja sudah terjadi pelanggaran. Juga pada 
  proses
  > perkawinannya sendiri, seringkali hak-hak perempuan menjadi 
  terabaikan
  > baik itu bagi istri pertama (terutama), kedua, ketiga dan 
  seterusnya.
  > 
  > T: Bisa Anda contohkan praktik-praktik pengabaian hak tersebut?
  > 
  > Di pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, disebutkan beberapa 
  alasan
  > seorang laki-laki bisa melakukan poligami. Alasan itu antara lain
  > apabila istri dalam kondisi tidak sehat, gila, dan tidak punya 
  anak.
  > Tapi ironisnya sekarang, kendati si istri tidak gila, punya anak, 
  dan
  > sehat, toh suami tetap kawin lagi. Jadi ada berbagai upaya 
  pengabaian
  > syarat, yang sebetulnya justru syarat itu diadakan untuk melindungi
  > kaum perempuan.
  > 
  > T: Jadi apa yang perlu dilakukan untuk melindungi kaum perempuan?
  > 
  > Ya tentunya harus mengembalikan pelaksanaan syarat-syarat tersebut
  > secara konsisten. Ini perlu, agar poligami itu tetap bisa 
  dijalankan
  > namun dalam jalur yang benar. Sekarang hampir 90% praktik poligami
  > adalah poligami-poligamian yang mengatasnakan agama. Yang 
  sebetulnya
  > itu melanggar agama dan hukum positif. Peraturan mensyaratkan kalau
  > seorang laki-laki yang sudah beristri ingin menikah lagi, maka 
  syarat
  > mutlak dia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari istri
  > pertamanya. Tapi yang terjadi sekarang kan, tidak begitu. Rata-rata
  > para pelaku poligami, baru memberitahu sesudah me- nikahi istri
  > mudanya.
  > 
  > T: Mengapa pengaturan soal poligami ini diperlukan?
  > 
  > Oh tentunya biar tidak menggampangkan praktik poligami. Walaupun
  > perkawinan poligami dibenarkan secara agama maupun hukum positif,
  > hendaknya dilakukan menurut aturan yang berlaku, dipikirkan
  > masak-masak dampaknya, dan bukan hanya penutupan dari persoalan
  > syahwat saja. Realitas sekarang seolah-olah syahwat itu dibenarkan
  > oleh jargon "daripada maksiat mendingan kawin lagi". Kalau
  > membandingkan - poligami jangan dibandingkan dengan perselingkuhan.
  > 
  > T: Perlukah aturan poligami diperluas?
  > 
  > Poligami sering kali dikaitkan dengan PP No. 10 Tahun 1983 (Izin
  > Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) yang diperkuat dengan PP No. 45
  > Tahun 1990. Mengapa perlu ada pengaturan dan mengapa kita ingin
  > memperluas PP ini bukan hanya PNS saja tapi juga pejabat publik. 
  Sebab
  > pejabat publik sekarang tidak semuanya PNS, ada yang menjadi 
  presiden,
  > menteri, DPR, bupati, walikota yang mana mereka ini menjadi tokoh
  > panutan. Coba bayangkan, seorang gubernur yang memimpin sebuah
  > provinsi ketahuan punya istri lebih dari satu, bagaimana dengan
  > masyarakatnya? Ini seakan-akan memberi legitimasi pada yang sudah
  > berpoligami maupun yang akan melakukannya.
  > 
  > T: Apakah ada kepentingan politik di balik upaya memperluas PP 
  tersebut?
  > 
  > Sekarang ini ada kebutuhan untuk memperluas bukan saja PNS, tetapi
  > pejabat publik. Sayangnya upaya ini mendapatkan reaksi cukup keras.
  > Pada awalnya Presiden sebenarnya sudah cukup tegas, tapi mungkin
  > karena ada tekanan-tekanan maka beliau mengambangkan lagi persoalan
  > itu. Kami melihat sebenarnya ini kesempatan yang sangat baik, bukan
  > bermaksud menghukum pelaku atau membuat orang tidak bisa melakukan
  > poligami. Tapi bagaimana caranya undang-undang dan peraturan
  > perundangan-undangan itu benar-benar punya "gigi". Jangan sampai 
  kita
  > membuat peraturan hanya untuk dilanggar dan si pelanggar tidak kena
  > sanksi hukum yang tegas.
  > 
  > T: Ini berkaitan dengan masalah teladan untuk masyarakat luas?
  > 
  > Oh iya. Orang bertanya-tanya mengapa persoalan pernikahan kedua Aa 
  Gym
  > (seorang ustad) diributkan. Pertama karena selama ini dia adalah 
  orang
  > yang selalu menggembar-gemborkan keluarga Sakinah. Kedua ia adalah
  > role model (tokoh panutan), ia itu messenger (pembawa pesan). Kalau
  > pembawa pesannya saja berperilaku seperti itu, maka para suami akan
  > mengatakan "aku kan mengikuti apa yang menjadi idolamu (idola
  > ibu-ibu). Bukannya kita tidak setuju kalau ia menikah lagi. Itu hak
  > dia tapi apakah pernikahan itu sudah dilakukan secara benar dan
  > jujur?.
  > 
  > T: Tapi kan, pelaku poligami rata-rata tidak jujur?
  > 
  > Justru itu. Kalau kita bercermin pada kasusnya PW (seorang 
  pengusaha
  > rumah makan), kita tahu bahwa pelaku poligami cenderung menjadi
  > pembohong. Pw mengatakan pernikahan-pernikahannya telah mendapat 
  restu
  > dari istri pertamanya. Tapi kemudian ia sendiri mengakui telah
  > berbohong. Ternyata ia tidak pernah meminta izin kepada istrinya 
  untuk
  > menikahi istri kedua dan ketiga. Pw mengatakan kepada istri kedua 
  dan
  > ketiganya bahwa ia telah mendapat izin dari istri pertama. Dalam 
  hal
  > ini yang melakukan pembohongan bukan hanya pelaku tapi juga KUA dan
  > kelurahannya. Oleh kelurahan kadang-kadang pelaku diklaim sebagai 
  duda
  > guna mempercepat proses. Mata rantai kebohongan-kebohongan di balik
  > perkawinan poligami itu lah yang harus diatur. Kalau perkawinan 
  yang
  > dibangun atas kebohongan berarti tidak sesuai aturan, kalau tidak
  > sesuai aturan apakah itu sah?
  > 
  > T: Menurut Anda, apa solusi dari realitas tersebut?
  > 
  > Kita harus menengok kembali UU Perkawinan. Harus ada sejenis
  > pengkajian ulang. Dicari kesalahannya di mana. Mengapa undang-
  undang
  > ini tidak mampu membuat orang yang ingin poligami - berpoligamilah
  > yang benar, jika tidak ingin berpoligami yang benar maka tidak usah
  > melakukan karena akan kena sanksi tegas. Tapi sekarang kan tidak.
  > Orang bebas-bebas saja melakukan poligami. Terlebih kita harus
  > mengerti bahwa UU Perkawinan ini lahir sebelum ada konvensi-
  konvensi
  > yang kita telah sepakati seperti CEDAW (Konvensi tentang 
  Penghapusan
  > Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU PKDRT 
  (Penghapusan
  > Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan UU Perlindungan Anak. Ada 
  beberapa
  > hal yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi misalnya dalam UU
  > Perkawinan batas minimal usia nikah bagi perempuan adalah 16 tahun.
  > Padahal, dalam UU Perlindungan Anak yang disebut anak-anak batas
  > umurnya adalah 18 tahun. Jadi kalau kita melegalkan perkawinan bagi
  > perempuan umur 16 tahun berarti kita melegitimasi perkawinan anak-
  anak
  > dong. Seharusnya undang-undang yang lama mengikuti undang-undang 
  yang
  > baru.
  > 
  > Izin istri dan syarat-syarat poligami yang diatur oleh UU 
  Perkawinan
  > seringkali diabaikan, "ditabrak" oleh para pelaku poligami. Hal ini
  > seringkali menyebabkan banyak kasus perkawinan tidak tercatat 
  (nikah
  > siri) sebagai jalan untuk melapangkan poligami. Komentar Anda?
  > Itulah alasannya mengapa sistem hukum kita perlu ditata kembali, 
  bukan
  > hanya pada peraturan perundang-undangannya saja tapi 
  implementasinya
  > (perangkatnya dan pengadilannya). Apabila ada seseorang yang 
  melakukan
  > perkawinan poligami sesuai dengan persyaratan-persyaratan itu
  > seharusnya diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan kita agar
  > bisa menjadi contoh poligami yang benar. Poligami yang tidak benar
  > atau tidak memenuhi syarat-syarat tidak usah pengadilan memberi 
  izin
  > sebab itu termasuk pelanggaran hukum. Kalau itu pelanggaran hukum 
  maka
  > siapapun yang terlibat, apakah pelakunya, KUA, atau kelurahannya 
  harus
  > mendapatkan sanksi.
  > 
  > T: Dibandingkan negara-negara Islam (Maroko,Tunisia) yang sudah
  > memiliki peraturan ketat soal poligami ini, apakah Indonesia 
  memiliki
  > peluang untuk mengatur poligami secara ketat juga?
  > 
  > Tentu saja bisa. Wong kalau mau menerapkan UU Perkawinan secara 
  benar,
  > sebenarnya peraturan di Indonesia itu sudah bagus dan ketat. Tapi
  > kenyataannya undang-undang ini paling banyak dilanggar orang. 
  Siapapun
  > yang melakukan poligami tidak sesuai dengan prosedur dalam UU
  > Perkawinan sebetulnya bukan perkawinan poligami dan bisa dikenakan
  > sanksi. Namun kenyataannya masyarakat Indonesia tidak. Titik 
  kelemahan
  > kita pada Law Inforcement (penerapan hukumnya).
  > 
  > T: Apakah UU Perkawinan tidak memiliki sanksi hukumnya?
  > 
  > Ada, tapi murah sekali sanksinya. Sanksinya itu denda-denda yang 
  sudah
  > tidak relevan lagi. Misalnya kawin tanpa izin istri aja, sanksinya
  > hanya denda. Indonesia sangat bisa memperlakukan peraturan yang 
  sangat
  > ketat, sepanjang kita konsisten dalam semangat untuk melindungi
  > hak-hak warga negara. Berbicara hak-hak warga negara di dalam UU
  > Perkawinan berarti ada hak perempuan dan anak, bukan saja haknya
  > laki-laki sebagai subjek pelaku poligami.
  > 
  > T: Gagasan merevisi UU Perkawinan ini sudah terdengar lama, tapi
  > mengapa sulit masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) ?
  > 
  > Semangat untuk merevisi UU Perkawinan dan PP No. 10 Tahun 1983 dan 
  PP
  > No. 45 Tahun 1990 sebenarnya sudah sejak dulu. Alasannya karena 
  kita
  > melihat begitu banyaknya celah-celah yang harus diformulasi kembali
  > supaya lebih tegas dan melindungi. Waktu itu yang paling banyak 
  tidak
  > setuju dari Departemen Agama. Nasib UU Perkawinan sama seperti UU
  > Perlindungan Anak, istilahnya "tidak seksi "untuk diperjuangkan 
  oleh
  > pengambil keputusan politik. Memperjuangkan UU Perlindungan Anak 
  saja
  > 18 tahun baru selesai. UU Perkawinan masuk dalam wilayah yang 
  sangat
  > privat jadi ada yang terganggu juga kalau UU Perkawinan diotak-
  atik.
  > 
  > T: Maksud "tidak seksi" ?
  > 
  > Selain konflik kepentingannya besar ada pula anggapan bahwa tidak 
  ada
  > keuntungan untuk membicarakan UU Perkawinan. Kombinasi dari itulah
  > yang membuat UU Perkawinan ratingnya tidak tinggi untuk 
  diperjuangkan.
  > Itulah mengapa sebabnya momentum kemarin itu (pernikahan kedua Aa 
  Gym)
  > sangat sayang kalau dilewatkan.
  > 
  > T: Apa harapan Anda terhadap upaya untuk menghapus praktik-praktik
  > poligami khususnya di Indonesia?
  > 
  > Saya berharap UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT 
  menjadi
  > UU yang saling mendukung, tentunya apa yang sudah kita peroleh
  > sekarang yaitu UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT harus juga 
  diakomodir
  > di dalam revisi UU Perkawinan. Karena dengan demikian akan ada
  > sinkronisasi sehingga tidak terkesan bahwa ketika kita getol
  > memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan di
  > dalam rumah tangga ternyata ada UU yang sebetulnya memberikan satu
  > peluang untuk perempuan menjadi korban di dalam rumah tangga 
  melalui
  > praktik-praktik poligami yang tidak bertanggung jawab. Harapan saya
  > harus ada kemauan untuk melakukan sinkronisasi tiga UU ini sehingga
  > tidak tumpang-tidih, saling melindungi dan melengkapi. Diharapkan 
  juga
  > pada tataran masyarakat tidak menimbulkan kerancuan, mau pakai yang
  > mana? Kalau para pelaku sih selalu mencari celah, misalnya celahnya
  > ada di UU Perkawinan lalu ia akan menggunakan itu atau ia akan 
  lari ke
  > agama.
  > 
  > T: Ada hal penting lainnya yang ingin disampaikan?
  > 
  > Oh ya soal perkawinan misalnya. Begitu mudahnya pihak laki-laki
  > melaksanakannya, sehingga menafikan hak istri untuk mengatakan ya 
  atau
  > tidak dan melupakan hak anak-anak. Menurut saya poligami tidak saja
  > bentuk pelangggaran terhadap hak perempuan tapi juga hak anak. 
  Ketika
  > seorang laki-laki memiliki istri empat dan setiap istri memiliki 
  anak,
  > bukankah ada hak-hak anak yang terlanggar? Keberadaan seorang ayah
  > sangat dibutuhkan pada saat anak sedang punya masalah. Ketika sang
  > anak ingin curhat si ayah justru ada di rumah istri ketiga. 
  Sehingga
  > pelanggarannya bukan pada ketidakadilan gendernya saja, tapi juga
  > pelanggaran pada hak-hak anak.
  > 
  > T: Terima kasih Mbak Pinky. Selamat berjuang untuk menegakkan hak
  > perempuan dan anak di bumi pertiwi ini...]
  >



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke