Kembali ke DB, secara global memang terpinggirkan, buktinya hingga saat ini
manajemen kasus (obat, strandard treatment) masih belum terlalu memuaskan
(bandingkan dengan HIV yang baru kemaren sore sudah ada obatnya), demikian
juga untuk pencegahan (belum ada vaksin DB).  Satu satunya cara adalah
dengan memotong rantai penularan melalui rekayasa lingkungan.  Tapi born
environmentalis menurutku tidak cukup untuk memotong rantai penularan
penyakit ini.  Nyamuk aedes sebagai vektonya punya karakteristik yang unik,
senang dan akan berkembang biak pada genangan air yang bersih/jernih, tidak
tercampur langsung dengan tanah (berbeda dengan malaria yang nyamuknya malah
suka air di rawa2 tergenang).  Jadi, cara memotong jalan hidup nyamuk ini
juga dengan menghilangkan air bersih tergenang, dan ini berarti mengubah
cara/budaya kita berinteraksi dengan air bersih dengan menghilangkan budaya
menyimpan air yang ada saat ini.  Hilangkan bak mandi, pakailah shower,
buatlah peraturan agar konstruksi rumah tidak membuat genangan air diatap
(drainase yang bagus). Jelas ini adalah "revolusi" budaya mandi dan bikin
rumah kita yang tidak begitu saja mudah dirubah, meskipun kita seorang
environmentalist (dulu sempat berdebat cukup seru dengan partner domestik
sebelum bisa diputuskan untuk menghilangkan bak mandi dan mengganti hanya
dengan pancuran air saja).

 Plus membutuhkan keterlibatan supra struktur, yang bisa memastikan bahwa
suplai air bisa lancar sehingga orang tidak merasa perlu lagi menampung air
di bak mandi, karena bisa dipastikan akan ada air saat dibutuhkan untuk
mandi.

Hemat saya, untuk kasus DB memang perlu gerakan yang lebih peubahan budaya
yang lebih masif daripada "sekedar" menata lingkungan.

regards,
Donnie

Masalah DB misalnya, yang tentu terkait dengan keharmonisan
> lingkungan seperti sampah, got, tata letak, dll. Kita lupa bahwa
> manusia2 Indonesia adalah BORN ENVIRONMENTALIST. Kita punya
> kecenderungan inheren dengan keharmonisn lingkungan, apabila
> tercerabut maka kita akan kehilangan sebagian dari diri kita, dan
> kurang berfungsi. Contoh banget: Bandung.
>
> Sebagian pejabat dan tokoh tampil cantik tentang isu lingkungan
> (mumpung lagi KTT Bali), tapi mereka memahaminya secara politis saja,
> bahkan sering artifisial, dalam arti nggak nyambung ke bawah dan ke
> implementasinya. Padahal, masyarakat Indonesia itu semua lahir
> sebagai 'aktivis lingkungan'.
>
> Aku kasih contoh saja. Saya bukan aktivis lingkungan, sungguh, wong
> keahlian saya mengelola keuangan kok. Tapi saya percaya bahwa saya
> adalah salah satu born environmentalit yang berusaha membawa ini
> mencuat dalam kesadaran yang utuh, dan saya mengharap yang sama dari
> orang2 lain karena itu alamiah dan realistis saja.
>
> Tapi ada gap yang demikian besar di antara kita, kalangan atas dan
> bawah tentang persepsi lingkungan ini. Aku setel dimana-mana di
> kantor (cluster elit) di rumah di tetangga (cluster menengah-bawah)
> video Al Gore Inconvenient Truth itu. Apa mereka ada perhatian?
> nggak! katanya pelem kok ngobrol mlulu...:-( Aku canangkan sekian %
> setiap proyek untuk penanaman pohon dan taat lingkungan, tapi apakah
> kita patuh itu? Nggak...itu sama sekali bukan prioritas di kesadaran
> kita.
>
> Aku sampe kluarin hadis, nabi tuh di jaman perang wanti2 jangan
> nebang pohon, apalagi kita sekarang...pada manggut2 tapi tetep saja
> dilewatin kapan bisa. Mungkin orang juga pada nyaris bosen aku
> ngomongin kearifan lokal nya baduy dalam kalo soal lingkungan.
>
> Apa itu bukan persoalan moral? Iyalah, kita tahu memasuki resiko
> lingkungan yang dahsyat, tapi nggak mo partisipasi apa-apa, bahkan
> mengkhianati kearifan lokal kita sendiri.
>
> Sementara di kalangan sebagian elit isu lingkungan jadi sekedar tanda
> tangan atau semacam 'pakta'. Sebel juga berhadapan dengan institusi
> atau orang yang sama yang terdepan dalam isu lingkungan seperti KTT
> ini, tapi pas di lapangannya malah memble, bahkan menyingkirkan
> ketaatan lingkungan itu sendiri. Dimana moralnya? Pasti jawabannya
> ini soal prioritas. Tapi prioritas kalau nggak menyemati persoalan
> resiko lingkungan itu kan moral hazzard namanya.
>
> Ini akibat dari menindaklanjuti isu lingkungan HANYA dari perspektif
> gerakan politik yang elit dan luar, sementara kita nggak mengukuhkan
> akar kita sendiri.
>
> Namun tentu saja, keadaan berubah. Ada cluster2 di masyarakat di
> sekeliling kita yang sudah bergerak menata lingkungan, dan kebanyakan
> dimotori ibu2 perempuan2 yang memang akrab lingkungan dari sononya.
> Cluster atau irisan ini akan makin membesar, kalau arahnya betul, dan
> akan diadopsi oleh para elit (bapak2), yang dengan bangganya
> menandatangani pakta lingkungan....
>
> salam
> Mia
>
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>,
> "donnie ahmad"
> <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > Satu hal yang menarik dari fenomena AIDS yang tidak ditemui pada
> penyakit
> > atau fenomena sosial lainnya adalah bertemunya semua komunitas
> masyarakat
> > (dengan segala identitasnya) dalam satu tempat dan peristiwa.
> Contohnya ya
> > kemarin pas Hari AIDS. Kembali di jogja, hari minggu pagi, hampir
> semua
> > komunitas (birokrat seperti pak Sultan dan kepala dinas terkait,
> waria, psk,
> > masyarakat marginal lainnya, mahasiswa dan pelajar, rektor,
> agamawan, bahkan
> > anak TK yang ikut drum band) tumplek bleg jadi satu dan saling
> > berkomunikasi. Kalaupun ada yang berpretensi negatif, sepertinya
> hanya
> > tertahan dalam diri, karena semua orang mencoba berempati. Saya
> pikir ini
> > kok seperti blessing in disguise, karena kesadaran terhadap bahaya
> AIDS
> > meningkatkan kesadaran sosial kita.
> > Masalah stigma dan diskriminasi jelas selalu ada, meskipun akan
> berubah
> > berdasarkan semakin umumnya penyakit tersebut, tidak akan kita
> hilangkan.
> > Bahkan di Afrika Selatan dimana proporsi HIV di populasi umum ada
> yang
> > mendekati 40% stigma tetap ada bahkan presiden mereka sempat
> ignorance
> > terhadap penyakit ini, tapi toh akhirnya realitas akan memaksa
> orang untuk
> > sadar dan bertindak. Masalahnya tinggal kesadarannya itu cukup
> terlambat
> > atau tidak. Di Indonesia saya pikir kesadaran itu cukup ada
> (bahkan ada
> > mantan menag yang juga aktivis AIDS), tinggal pada tataran praktis
> > intervensi masih banyak kontroversi terutama antara pengusung
> gerakan moral
> > normatif vs pengusung pemutusan rantai penularan praktis.
> >
> > kenapa AIDS dan bukan DB, saya rasa terkait dengan politik
> ditingkat global
> > dimana AIDS merupakan ancaman negara dunia 1 juga sementara DB
> hanyalah
> > ancaman negara tropik yang notabene adalah dunia 3, dan
> dikategorikan
> > sebagai neglected disease.
> >
> > Donnie
> >
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke