BTW, bicara soal kamar mandi, waktu dulu saya bikin kamar 
mandi 'kering' nggak pake bak, kerabat-tetangga pada protes 
berkomentar, kok rumah nggak punya bak mandi.  Sekarang mereka sudah 
terbiasa dengan kamar mandi saya, dan demen modelnya dan selalu 
bertanya berapa sih ongkos untuk bikin kamar mandi kayak gitu?

Namun demikian, seperti kata Pak Donnie juga, di seluruh Indonesia 
kita punya persoalan penataan air, karena Pemerintah nggak punya 
kebijakan tepat untuk itu (i.e 'portfolio' infrastruktur air).  
Sehingga di banyak daerah, apalagi yang minus - untuk 
mengkompensasikan lemahnya manajemen air, menjadi penting untuk 
setiap rumah memanfaatkan air tanah dan air hujan sekaligus, dengan 
sistem water catchment sederhana, yang manual tapi prosedurnya betul 
sehingga nggak menimbukan sarang DB.  Nyamuk itu cepet berevolusi 
menyesuaikan diri yah, bukan cuman manusianya yang jadi urban, tapi 
nyamuknya lebih cepet urbanised betah di air bersih hehe...Karena 
itu jangan kalah cepet dari nyamuk dong..

Di negerinya asal dananya sono, ilmuwan berlomba menemukan penyembuh 
AIDS, dan ghirah ini menetes ke dunia ketiga, ke kita. Ghirah ini 
sedemikian rupa sehingga dana segar itu masuk ke negeri ketiga, 
dengan mengasumsikan bahwa itulah prioritasnya - dengan kata lain 
mereka memproyeksikan kebutuhan mereka sendiri ke orang lain. Saya 
sama sekali nggak menyalahkan sikap mereka, karena kita nggak akan 
pernah maju kalau fokus pada kelemahan orang lain. Tapi supaya kita 
ngeh, paham prioritas kita sendiri, artinya paham kearifan lokal itu 
sendiri (i.e kebutuhan memerangi resiko DB), melakukan tawar-menawar 
yang gigih supaya sebagian dana itu disisihkan ke DB, misalnya loh.
Kalo kita gigih dan insistent kebanyakan berhasil kok, saya liat 
sendiri di lapangan.

Kearifan lokal: paham kebutuhan sendiri, misalnya memerangi DB. 
Dalam konteks yang lebih besar bahkan global, kearifan lokal ini 
mengantisipasi perubahan masa depan dari pedesaan menjadi perkotaan, 
dimana balatentara aedes akan makin betah.

Plural dan terbuka: orang Indonesia terbuka menerima pengaruh asing 
(termasuk dananya dong), dan ini sifat yang bagus dan jadi bekal 
menuju dunia global.  Namun ini mesti diimbangi dengan 
mempertahankan kearifan lokal seperti di atas dengan sikap yang 
gigih sekalipun mesti bertengkar dan berargumen, tarik urat, gitu.  
Gigih itu kan istiqomah.

Orang Indonesia itu gigih karakternya, dalam arti ketahanannya 
tinggi (resilient, contohnya pump nggak jalan air hujan pun jadi), 
dan ini mesti diungkapkan juga dengan kegigihan dalam bentuk lain 
misalnya dalam tawar menawar (insistent), dan nggak ragu untuk 
berdebat sekalipun menimbulkan konflik sementara dengan para 
penyandang dana/kapital bule, arab maupun cina.

Hasilnya? Dari 100% dana baru dari asing, mencapai persetujuan 60% 
untuk AIDS 40% untuk DB, misalnya loh.

salam
Mia  


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "donnie ahmad" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Kembali ke DB, secara global memang terpinggirkan, buktinya hingga 
saat ini
> manajemen kasus (obat, strandard treatment) masih belum terlalu 
memuaskan
> (bandingkan dengan HIV yang baru kemaren sore sudah ada obatnya), 
demikian
> juga untuk pencegahan (belum ada vaksin DB).  Satu satunya cara 
adalah
> dengan memotong rantai penularan melalui rekayasa lingkungan.  
Tapi born
> environmentalis menurutku tidak cukup untuk memotong rantai 
penularan
> penyakit ini.  Nyamuk aedes sebagai vektonya punya karakteristik 
yang unik,
> senang dan akan berkembang biak pada genangan air yang 
bersih/jernih, tidak
> tercampur langsung dengan tanah (berbeda dengan malaria yang 
nyamuknya malah
> suka air di rawa2 tergenang).  Jadi, cara memotong jalan hidup 
nyamuk ini
> juga dengan menghilangkan air bersih tergenang, dan ini berarti 
mengubah
> cara/budaya kita berinteraksi dengan air bersih dengan 
menghilangkan budaya
> menyimpan air yang ada saat ini.  Hilangkan bak mandi, pakailah 
shower,
> buatlah peraturan agar konstruksi rumah tidak membuat genangan air 
diatap
> (drainase yang bagus). Jelas ini adalah "revolusi" budaya mandi 
dan bikin
> rumah kita yang tidak begitu saja mudah dirubah, meskipun kita 
seorang
> environmentalist (dulu sempat berdebat cukup seru dengan partner 
domestik
> sebelum bisa diputuskan untuk menghilangkan bak mandi dan 
mengganti hanya
> dengan pancuran air saja).
> 
>  Plus membutuhkan keterlibatan supra struktur, yang bisa 
memastikan bahwa
> suplai air bisa lancar sehingga orang tidak merasa perlu lagi 
menampung air
> di bak mandi, karena bisa dipastikan akan ada air saat dibutuhkan 
untuk
> mandi.
> 
> Hemat saya, untuk kasus DB memang perlu gerakan yang lebih 
peubahan budaya
> yang lebih masif daripada "sekedar" menata lingkungan.
> 
> regards,
> Donnie
> 
> Masalah DB misalnya, yang tentu terkait dengan keharmonisan
> > lingkungan seperti sampah, got, tata letak, dll. Kita lupa bahwa
> > manusia2 Indonesia adalah BORN ENVIRONMENTALIST. Kita punya
> > kecenderungan inheren dengan keharmonisn lingkungan, apabila
> > tercerabut maka kita akan kehilangan sebagian dari diri kita, dan
> > kurang berfungsi. Contoh banget: Bandung.
> >
> > Sebagian pejabat dan tokoh tampil cantik tentang isu lingkungan
> > (mumpung lagi KTT Bali), tapi mereka memahaminya secara politis 
saja,
> > bahkan sering artifisial, dalam arti nggak nyambung ke bawah dan 
ke
> > implementasinya. Padahal, masyarakat Indonesia itu semua lahir
> > sebagai 'aktivis lingkungan'.
> >
> > Aku kasih contoh saja. Saya bukan aktivis lingkungan, sungguh, 
wong
> > keahlian saya mengelola keuangan kok. Tapi saya percaya bahwa 
saya
> > adalah salah satu born environmentalit yang berusaha membawa ini
> > mencuat dalam kesadaran yang utuh, dan saya mengharap yang sama 
dari
> > orang2 lain karena itu alamiah dan realistis saja.
> >
> > Tapi ada gap yang demikian besar di antara kita, kalangan atas 
dan
> > bawah tentang persepsi lingkungan ini. Aku setel dimana-mana di
> > kantor (cluster elit) di rumah di tetangga (cluster menengah-
bawah)
> > video Al Gore Inconvenient Truth itu. Apa mereka ada perhatian?
> > nggak! katanya pelem kok ngobrol mlulu...:-( Aku canangkan 
sekian %
> > setiap proyek untuk penanaman pohon dan taat lingkungan, tapi 
apakah
> > kita patuh itu? Nggak...itu sama sekali bukan prioritas di 
kesadaran
> > kita.
> >
> > Aku sampe kluarin hadis, nabi tuh di jaman perang wanti2 jangan
> > nebang pohon, apalagi kita sekarang...pada manggut2 tapi tetep 
saja
> > dilewatin kapan bisa. Mungkin orang juga pada nyaris bosen aku
> > ngomongin kearifan lokal nya baduy dalam kalo soal lingkungan.
> >
> > Apa itu bukan persoalan moral? Iyalah, kita tahu memasuki resiko
> > lingkungan yang dahsyat, tapi nggak mo partisipasi apa-apa, 
bahkan
> > mengkhianati kearifan lokal kita sendiri.
> >
> > Sementara di kalangan sebagian elit isu lingkungan jadi sekedar 
tanda
> > tangan atau semacam 'pakta'. Sebel juga berhadapan dengan 
institusi
> > atau orang yang sama yang terdepan dalam isu lingkungan seperti 
KTT
> > ini, tapi pas di lapangannya malah memble, bahkan menyingkirkan
> > ketaatan lingkungan itu sendiri. Dimana moralnya? Pasti 
jawabannya
> > ini soal prioritas. Tapi prioritas kalau nggak menyemati 
persoalan
> > resiko lingkungan itu kan moral hazzard namanya.
> >
> > Ini akibat dari menindaklanjuti isu lingkungan HANYA dari 
perspektif
> > gerakan politik yang elit dan luar, sementara kita nggak 
mengukuhkan
> > akar kita sendiri.
> >
> > Namun tentu saja, keadaan berubah. Ada cluster2 di masyarakat di
> > sekeliling kita yang sudah bergerak menata lingkungan, dan 
kebanyakan
> > dimotori ibu2 perempuan2 yang memang akrab lingkungan dari 
sononya.
> > Cluster atau irisan ini akan makin membesar, kalau arahnya 
betul, dan
> > akan diadopsi oleh para elit (bapak2), yang dengan bangganya
> > menandatangani pakta lingkungan....
> >
> > salam
> > Mia
> >
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%
40yahoogroups.com>,
> > "donnie ahmad"
> > <donnie.damana@> wrote:
> > >
> > > Satu hal yang menarik dari fenomena AIDS yang tidak ditemui 
pada
> > penyakit
> > > atau fenomena sosial lainnya adalah bertemunya semua komunitas
> > masyarakat
> > > (dengan segala identitasnya) dalam satu tempat dan peristiwa.
> > Contohnya ya
> > > kemarin pas Hari AIDS. Kembali di jogja, hari minggu pagi, 
hampir
> > semua
> > > komunitas (birokrat seperti pak Sultan dan kepala dinas 
terkait,
> > waria, psk,
> > > masyarakat marginal lainnya, mahasiswa dan pelajar, rektor,
> > agamawan, bahkan
> > > anak TK yang ikut drum band) tumplek bleg jadi satu dan saling
> > > berkomunikasi. Kalaupun ada yang berpretensi negatif, 
sepertinya
> > hanya
> > > tertahan dalam diri, karena semua orang mencoba berempati. Saya
> > pikir ini
> > > kok seperti blessing in disguise, karena kesadaran terhadap 
bahaya
> > AIDS
> > > meningkatkan kesadaran sosial kita.
> > > Masalah stigma dan diskriminasi jelas selalu ada, meskipun akan
> > berubah
> > > berdasarkan semakin umumnya penyakit tersebut, tidak akan kita
> > hilangkan.
> > > Bahkan di Afrika Selatan dimana proporsi HIV di populasi umum 
ada
> > yang
> > > mendekati 40% stigma tetap ada bahkan presiden mereka sempat
> > ignorance
> > > terhadap penyakit ini, tapi toh akhirnya realitas akan memaksa
> > orang untuk
> > > sadar dan bertindak. Masalahnya tinggal kesadarannya itu cukup
> > terlambat
> > > atau tidak. Di Indonesia saya pikir kesadaran itu cukup ada
> > (bahkan ada
> > > mantan menag yang juga aktivis AIDS), tinggal pada tataran 
praktis
> > > intervensi masih banyak kontroversi terutama antara pengusung
> > gerakan moral
> > > normatif vs pengusung pemutusan rantai penularan praktis.
> > >
> > > kenapa AIDS dan bukan DB, saya rasa terkait dengan politik
> > ditingkat global
> > > dimana AIDS merupakan ancaman negara dunia 1 juga sementara DB
> > hanyalah
> > > ancaman negara tropik yang notabene adalah dunia 3, dan
> > dikategorikan
> > > sebagai neglected disease.
> > >
> > > Donnie
> > >
> >
> >  
> >
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke