Saya punya segerombolan bestfriend laki2, dan -herannya saya cuma punya sedikitttt best-friend perempuan. Awalnya saya pikir lebih enak bersahabat sama cowok, karena gak ribet cara mikirnya ... tapi akhirnya ketika saya pikir2 bestfriend saya yang cewek pun ternyata orgnya sama cara berpikirnya kayak saya, ga mau ribet juga ... hehehe
Sahabat2 cowok saya semuanya sudah beristri. Malah satu ada yang mantan pacar pas SMA, tapi sekarang kita udah yakin seyakin-yakinnya bahwa memang kita pasnya jadi temen aja. Jadi biarpun dipaksain kayak apa (dan ini udah terjadi berkali-kali) kita ga bisa lagi saling jatuh cinta.. karena belangnya udah ketauan semua kali yeee... kikikik... Istri2 sahabat saya, tidak ada satupun yang cemburu sama saya. Kenapa ya? Mungkin karena saya ga kliatan sebagai sosok yang harus dicemburui? Ya ga tau juga.. mungkin saya ga cukup sexy untuk dicemburui kaleee... hihihi. Tapi itu penting, bagaimana saya sebagai perempuan yang hadir duluan dalam kehidupan suami2 mereka, dapat menempatkan diri sebagai orang yang bisa dipercaya untuk si istri juga. Walo mereka ga pernah cemburu sama saya, tapi saya sebenarnya rada jaga jarak sama istri2 mereka. Bukannya apa2, sahabat2 saya nih ternyata ga semuanya pria2 yang setia pada istrinya. Jadi atas nama brotherhood, saya memilih untuk tetap berada di pihak sahabat saya ... hiks hiks... Saya pernah cerita kan kalo salah satu sahabat saya ada yang saat ini terlibat perselingkuhan, yang saya ketahui detil ceritanya.... Ini dilema, kalau istri2 mereka terlalu dekat sama saya, saya kan jadi ga enakan sama mereka. Jadi saya memilih jaga jarak saja. Nah... perkembangannya sekarang, sahabat saya itu sekarang sedang dalam rencana akan menceraikan istrinya untuk bisa bersama dengan pacar barunya. Saya sudah tawarkan opsi poligami, tapi si sahabat ga ngerasa istrinya bisa akur sama pacarnya. So cerai adalah opsi yang diambil sahabat saya. Saya sedih melihatnya. Karena di awal pernikahan mereka, saya sempat ngiri dengan keharmonisan rumah tangga mereka dan bagaimana sahabat saya menjaga keluarganya dengan baik. Tapi ternyata keharmonisan itu akan segera diakhirinya hanya karena sahabat saya jatuh cinta (dengan teramat sangat) pada perempuan lain. Kalau mau dicengeng2kan, saya kasihan pada istrinya yang tidak bekerja, anaknya yang seumuran anak saya. Mereka tidak lagi akan merasakan kehidupan yang sekarang mereka rasakan. Tapi yaaa itulah hidup! Dengan segala resikonya... Soal istri pertama dan kedua yang menurut mbak Ni jadi korban struktural, menurut saya untuk zaman sekarang ga terlalu tepat lagi. Karena saya mengenal beberapa teman yang dengan sadar dan sesadar2nya memilih jadi istri kedua, tanpa paksaan dan atas keinginan mereka sendiri. Mereka benar2 tahu apa yang mereka lakukan, dan pengorbanan mereka sebagai istri kedua, demi tetap membuat nyaman si istri pertama dalam kehidupannya, sungguh luarbiasa ... Luar biasa. Tanpa disuruh, tanpa dipaksa, mereka memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk kenyamanan istri pertama. Tapi satu hal yang saya catat, para istri kedua ini adalah perempuan2 mandiri. Mereka bisa hidup tanpa harus dinafkahi oleh suami dan mereka punya banyak kesibukan yang akhirnya membuat mereka tak sempat memikirkan kecengengan2 dalam rumah tangga. Sementara istri pertama yang ibu rumah tangga, hanya mengharap nafkah dari suami. So tentu dia banyak waktu untuk menangisi hidupnya dan mencoba memahami kenapa dia akhirnya terpaksa memilih opsi untuk hidup berpoligami seperti sekarang. Terakhir katanya mereka sudah rukun dan damai, mereka luangkan waktu sebulan sekali untuk hang out bersama, tanpa suami dan anak2. Ngupi2 di Kafe atau belanja baju di ITC, sebagaimana layaknya dua perempuan bersahabat. Sumpah, saya menitikkan airmata melihat sahabat saya bisa seperti itu. Perjuangannya untuk mendapatkan maaf dan kasih sayang dari si istri pertama sungguh tak mampu saya bayangkan. Pada akhirnya, untuk perempuan mandiri, menikah adalah pilihan. Menikah hayuk. Tak menikah pun tak mengapa. Menikah jadi istri kesekian pun so what gitu loh. Ketika sudah menikah, suami mo kawin lagi dan kita ga setuju, ya cerai saja. Gitu aja kok repot. :) Fer! On 8/2/08, h.s nurbayanti <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Mbak fero, > > Yg pertama, selalu merasa tidak aman. Outputnya bisa jadi posesif dan agak2 > psikopat. > Buat dia, pasangan itu barang yg harus dilindungi, by all means. Sekalipun > si pasangannya yg salah, tetap dibela. > Pokoknya, perempuan lain yg salah, meski salah sasaran sekalipun. > Dalam konteks ini, mana bisa menciptakan rasa trust antar perempuan yg > dibilang mbak mia? > > Saya pernah dicemburui istri seorang teman yg emang pecemburu berat. Teman2 > saya ngakak, karena menurut mereka saya ini gak bisa ngegoda laki2, hahaha.. > Sayang ma orang sih bisa (karena saya orangnya emang romantik hehehe) tapi > menggoda dalam konteks nakal, apalagi bukan pacar/suami sendiri, bukan > tipenya dah. Mereka sih ngakak, saya gak bisa ngakak. Wong saking > cemburunya, sampe melakukan tindakan yg menghalangi rejeki saya. Jadi, > ladang pekerjaan saya ditutup ma dia. Kok ada yg sampai hati berbuat begitu? > Dan "lucu"nya, saya benar2 gak selingkuh ma suaminya dia dan semua orang tau > ini. Benar2 salah sasaran. Gak bisa dianalisa dan dipahami. Paling cuma bisa > berkomentar: some people are simply nuts :-) Karena komitmen saya pada > persaudaraan antar perempuanlah, saya tidak melabrak, judes atau cemberut ma > dia sedikitpun (kalau muka jutek, itu pasti karena lagi banyak kerjaan > hehehe). Cuma bisa cengengesan sambil geleng2 kepala aja. > > Ps. Soal poligami, ya saya bela perempuannya dong... istri pertama dan kedua > hehe.. > Perempuan kan korban struktural, hehehe... > >