Radar Banten 25 April 2007 hal 14


Kinerja Dewan dan Citra Buruk Parpol 

 

Oleh : Ali Nurdin

 

Sebanyak 31 Anggota DPRD Banten pekan lalu diberitakan tidak hadir alias 
mangkir pada saat Rapat Paripurna pengesahan Peraturan Daerah mengenai Sistem 
Perencanaan Pembangunan Daerah (SPPD). Rapat Paripurna DPRD Banten yang 
sesungguhnya tidak memenuhi kuorum itu akhirnya terpaksa dilanjutkan setelah 
dua kali diskors (Radar Banten, 20 April 2007).

Berita seperti ini semakin memperkuat kesan yang berkembang di masyarakat bahwa 
anggota DPRD kita memiliki kinerja yang buruk. Malas. Kalau rapat saja tidak 
hadir, bagaimana mungkin mereka mau bekerja sungguh-sungguh memperjuangkan 
kepentingan rakyat yang diwakilinya. Padahal Dewan sudah dibekali dengan 
sejumlah fasilitas dan kemewahan di atas rata-rata. Mereka dibangunkan kantor 
yang megah dan disediakan mobil. Pendapatannya bukan hanya gaji, tapi juga dari 
uang representasi, uang perumahan, uang komunikasi, uang transportasi, uang ini 
dan uang itu. Belum lagi beragam jenis honor yang biasa diterima. Bahkan untuk 
hadir rapat pun konon mereka ada honornya. 

Maka jangan salahkan publik yang bereaksi begitu keras menolak tambahan 
kemewahan yang akan diberikan kepada anggota Dewan, seperti terlihat saat 
penolakan pengadaan kendaraan, pengadaan laptop, dan dana komunikasi intensif 
belum lama ini. Publik perlu bukti bahwa uang yang telah mereka sumbangkan 
untuk membiayai segala kebutuhan wakil rakyat telah digunakan secara maksimal 
untuk kepentingan para pembayar pajak. Kalau tidak, maka persepsi publik 
terhadap kinerja Dewan akan terus miring, dan ini sangat tidak membantu dalam 
memulihkan citra partai politik di Indonesia yang saat ini tengah dalam 
sorotan. 

 

Citra Partai

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan lalu menunjukkan bahwa hanya 35 
persen pemilih yang merasa terwakili aspirasi dan kepentingannya oleh partai 
politik yang ada di Indonesia. Sedangkan 65 persen lainnya menganggap bahwa 
partai hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya saja. Jajak pendapat 
harian Kompas belum lama ini menyatakan bahwa hanya 23 persen masyarakat yang 
merasa puas dengan kinerja partai politik. Sementara 77 persen lainnya mengaku 
kecewa terhadap partai dan menilai partai tidak melaksanakan fungsi politiknya 
secara benar, termasuk fungsi dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat, 
melakukan rekruitmen politik, dan mengkritisi pemerintah.

Mungkin kita juga masih ingat hasil survei Transparency International Indonesia 
(TII) akhir tahun lalu menyimpulkan bahwa parpol dan parlemen termasuk dua 
lembaga terkorup di Indonesia dengan nilai 4,1 dan 4,2 dalam skala 1-5. Nilai 1 
adalah tidak korup (not at all corrupt) dan nilai 5 adalah sangat sangat korup 
(extremely corrupt). Dari penelitian ini juga terungkap bahwa parpol dan 
parlemen di Indonesia dinilai lebih korup dibandingkan  dengan parpol dan 
parlemen di Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan banyak negara lainnya.

Terpuruknya citra partai politik akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap 
partai semakin terkikis. Dalam jangka panjang hal ini akan sangat berpengaruh 
terhadap keberlangsungan sistem demokrasi yang saat ini dianggap sebagai salah 
satu sistem bernegara terbaik. Parpol adalah salah satu pilar demokrasi. Tidak 
ada demokrasi tanpa partai politik. Tidak akan ada demokrasi yang sehat tanpa 
partai politik yang terpercaya. Partai politik adalah lembaga yang diharapkan 
mampu mengartikulasikan kepentingan dan

aspirasi publik. Semakin mampu partai mengartikulasikan kepentingan publik di

pentas politik baik lokal maupun nasional, maka partai tersebut semakin 
berfungsi, dan akan membuat demokrasi makin bekerja.

Anggota Dewan semestinya sadar bahwa kiprah dan perilaku mereka sangat 
berpengaruh terhadap naik-turunnya citra partai di mata publik. DPR dan DPRD 
adalah perpanjangan tangan dari partai politik. Dalam sistem pemilihan kita, 
parpol adalah satu-satunya pintu masuk untuk menjadi anggota Dewan, tidak ada 
pintu lain. Melalui anggota Dewanlah publik dapat menilai secara terbuka 
bagaimana pemihakan sebuah partai terhadap rakyat. Sebab DPR dan DPRD pada 
umumnya adalah anggota atau pengurus parpol yang memiliki akses lebih leluasa 
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, juga akses atas publikasi media, 
dibandingkan dengan anggota atau pengurus partai yang tidak duduk di legislatif.

Karena itu, partai semestinya sangat berkepentingan kalau ada anggotanya di 
legislatif yang menjalankan tugas dengan buruk sehingga merugikan partai. 
Partai harus memiliki kontrol penuh terhadap terhadap para wakilnya di DPR dan 
DPRD, termasuk menegur, memberi sanksi bahkan memecat mereka yang tidak 
melaksanakan fungsi legislatifnya dengan baik. Celakanya, para anggota Dewan 
Yang Terhormat itu seringkali juga merangkap sebagai pengurus bahkan pimpinan 
tertinggi di partainya masing-masing. Para anggota Dewan ini pulalah yang 
sering menjadi penentu hitam-putihnya kebijakan partai. Sehingga partai menegur 
anggota Dewan, ibarat tangan kanan menegur tangan kiri. 

            Di sinilah kita melihat pentingnya partai menjaga jarak dengan 
anggota-anggotanya yang ada di Dewan. Pimpinan teras partai sebaiknya tidak 
perlu menjadi anggota DPR atau DPRD sehingga bisa berkonsentrasi melaksanakan 
fungsi-fungsi politik partai. Sebaliknya anggota Dewan yang non-pengurus partai 
diharapkan bisa lebih fokus menjalankan tugas-tugas legislatif tanpa harus 
disibukkan oleh urusan-urusan kepartaian. Tidak perlu lagi ada anggota Dewan 
yang mangkir dengan alasan "menjalankan tugas partai." Juga tidak perlu lagi 
ada pimpinan partai yang absen pada rapat penting partai karena alasan "sedang 
kunjungan kerja Dewan". Dengan demikian nantinya terjadi proses check and 
balance segitiga antara partai, anggota Dewan, dan konstituennya.

 

Soal Rekruitmen        

Soal rekrutmen menjadi salah satu isu penting menyangkut kinerja DPRD. Partai 
tidak mungkin mendapatkan calon anggota DPR dan DPRD yang baik tanpa melakukan 
proses rekrutmen secara obyektif. Dan kalau bahan dasarnya sudah tidak 
berkualitas, maka diolah dengan cara apapun anggota Dewan yang dihasilkan tetap 
tidak bisa diharapkan memiliki kinerja yang konclong.

            Setidaknya ada tiga indikator penting yang perlu diperhatikan 
partai dalam melakukan rekrutmen calon anggota Dewan, yakni kapasitas 
individual, integritas moral, dan basis dukungan massa. Bila perlu dapat 
ditambahkan indikator loyalitas kepartaian. 

            Kapasitas individual menjadi penting karena setiap anggota Dewan 
dalam tugas sehari-harinya akan berhadapan dengan eksekutif yang pada umumnya 
berpendidikan tinggi dan sudah berpengalaman di bidang pemerintahan. Tanpa 
kemampuan yang memadai, maka anggota DPR dan DPRD hanya akan menjadi mitra yang 
tidak seimbang dan cenderung menerima apapun yang ditawarkan eksekutif. Ini 
bisa seperti DPR jaman dulu yang sering disebut sebagai "tukang stempel 
pemerintah."

            Integritas moral dapat ditelusuri melalui rekam jejak 
(track-record) seseorang dalam waktu setidaknya lima tahun terakhir. Selain 
mempelajari data-data tertulis, parpol perlu melakukan cross-check kepada 
pihak-pihak yang bisa memberikan testimoni mengenai kualitas moral setiap orang 
yang akan dicalonkan menjadi anggota Dewan. Kader-kader yang pernah tersangkut 
masalah pidana dan cacat moral semestinya sudah gugur pada tahap awal seleksi, 
sehingga tidak berpotensi membebani partai seandainya jadi anggota Dewan.

            Soal dukungan massa bisa dengan mudah dilihat berdasarkan hasil 
pemilu. Kalau tidak ada perubahan, sistem pemilu kita masih akan mencoblos 
lambang partai dan nama caleg sekaligus atau salah satunya. Dengan cara ini 
dapat dengan mudah diketahui siapa caleg yang paling banyak dipilih rakyat. 
Namun, akan lebih sederhana lagi kalau sistem pemilu hanya mencoblos nama caleg 
yang ada di bawah lambang partai tertentu, dan tidak dibuka peluang mencoblos 
lambang partai. Caleg terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, dengan 
tetap mempertimbangkan gabungan suara dari para caleg dalam satu partai sebagai 
dasar untuk menentukan alokasi kursi secara proporsional. 

            Indikator loyalitas kepada partai bisa ditentukan berdasarkan 
intensitas pengabdian dan jenjang pengkaderan yang telah dilalui. Setiap partai 
pada umumnya sudah memiliki sistem dan jengang pengkaderan yang harus dilalui 
para kadernya secara linier. Namun sayangnya sistem penjenjangan ini sering 
dilanggar sendiri oleh para kader yang menginginkan jalan pintas menuju posisi 
pimpinan partai. Di sinilah partai berhadapan dengan nafsu politik dari para 
kadernya sediri sehingga sulit memperbaiki diri menjadi bagian dari sistem 
demokrasi yang terpercaya.

 

Seleksi Alam

Tidak ada yang dapat membantu memperbaiki citra partai dan anggota Dewan, 
selain elite partai dan anggota Dewan itu sendiri. Kita percaya bahwa partai 
yang bersungguh-sungguh melaksanakan fungsi-fungsi politiknya dengan baik akan 
mendapat apresiasi masyarakat yang tercermin melalui hasil pemilihan umum yang 
meningkat. Ada banyak cara, metode, teknik, dan trik untuk membuktikan komitmen 
partai kepada masyarakat. Yang dibutuhkan adalah kreativitas dan kemauan 
bekerja keras.  

Sebaliknya partai yang hanya mementingkan kelompoknya saja, yang hanya mengejar 
kekuasaan dan duit semata, yang pimpinannya tidak pernah turun ke masyarakat, 
yang anggota-anggota DPRD-nya banyak mangkir, pada akhirnya akan mendapat 
hukuman masyarakat berupa pengurangan dukungan pada saat pemilu. Demikianlah 
hukum alam yang telah berlaku selama ratusan tahun di dunia politik, dan akan 
terus berlaku ke depan. Wallahu'alam. 




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke