Permasalahan pornografi dan kejahatan seks, memang menurut saya pendapat anda 
benar. Kalau tidak hubungan antar keduanya secara langsung. Nmaun keduanya akan 
berhubungan ketika pembahasan menjurus ke arah moralitas pelakunya, baru akan 
ada sebuah hubungan yang erat. Namun, sekali lagi, moralitas adalah sebuah hal 
yang subyektif dan tidak dapat semudah itu dihakimi tanpa menilai nilai-nilai 
yang dianut oleh masyarakat sekitarnya.

Nah, kemudian anda berbicara mengenai ketidakadilan dalam syariah Islam 
menyangkut tidak boleh melampiaskan nafsu seks-nya seseorang yang tidak mampu 
menafkahi calon istrinya. Anda katakan HAL ini sebagai suatu ketidak adilan?!? 
Anda bodoh atau apa, Ny. Mus? Kalau syariah Islam mengijinkan hal tersebut, 
baru hal ini akan menjadi tidak adil bagi sang perempuan yang akan dinikahi.

Selain daripada itu, untuk hal pelampiasan nafsu seks, beberapa ulama 
menganjurkan onani sebagai solusi dalam kasus yang demikian. Jadi bukannya 
tidak ada solusi untuk sang pria yang kebetulan belum mampu secara finansial 
untuk menikah.

Yang menjadi kebohongan disini adalah, pernyataan anda kalau pria tersebut 
TIDAK BOLEH menikah oleh syariah Islam. Karena jika anda membaca Hadits Rasul, 
dimana banyak sahabat Nabi menikah dalam keadaan serba kekurangan, maka 
pernyataan anda tersebut gugur dengan sendirinya. Artinya, seseorang itu 
diijinkan menikah jika memang sudah ada pasangan yang mau menikah dengannya. 
Tidak semata dipandang dari kemampuan finansialnya saja. Pertanyaan besarnya 
disini, adakah wanita yang ingin menghabiskan waktu sisa hidupnya dengan pria 
yang tidak mampu menjamin keamanan dan kenyamanan-nya sebagai seorang manusia 
(sandang, pangan, papan) ?

Semoga anda adalah termasuk golongan kaum yang berpikir.
 Salam,
Stephanus Iqbal




________________________________
From: muskitawati <muskitaw...@yahoo.com>
To: zamanku@yahoogroups.com
Sent: Thu, January 7, 2010 1:08:35 PM
Subject: [zamanku] Tanpa Pornografi Sekalipun, Nafsu Sex Memang Sudah Membara 
!!!

  
Tanpa Pornografi Sekalipun, Nafsu Sex Memang Sudah Membara !!!

Tanpa Pornografi tidak pernah nafsu sex itu bisa hilang, karena pada dasarnya 
nafsu sex itu memang normal dimiliki semua mahluk bukan cuma manusia.  Bedanya, 
hanya manusia yang harus mengekang nafsu sexnya, sedangkan binatang ataupun 
mahluk lain mereka bisa melampiaskannya secara alamiah tanpa kekangan.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan atau kekerasan sex itu 
meningkat dengan adanya pornografi.

Padahal pendapat ini sangat menyesatkan karena dari zaman dulu sebelum adanya 
pornografi juga kejahatan sex sudah tinggi bahkan lebih tinggi daripada 
sekarang, namun siapa dizaman dulu yang mencatat masalah kejahatan sex waktu 
itu sehingga bisa dibandingkan persentasenya dengan dizaman sekarang???  Bahkan 
dizaman dulu kejahatan dan kekerasan sex tidak dianggap pelanggaran hukum 
bahkan bukan kesalahan.

Dari zaman purba, orang sudah tahu, masalah sex itu adalah masalah alamiah yang 
harus mencapai pemuasan, sedangkan masalah caranya itu yang kemudian menjadi 
bahan2 budaya masyarakatnya.

Yang paling purba, pelampiasan sex itu dilakukan melalui perang tanding, dan 
pemenangnya yang bisa mendapatkannya, sedangkan yang kalah kalo tidak mati bisa 
juga melarikan diri.

Tapi dengan berkembangnya budaya, kesadaran manusia juga makin berkembang, kita 
sadar kebutuhan sex itu bukan hanya yang kuat saja yang boleh menikmatinya tapi 
semua baik yang kuat maupun yang lemah harus bisa diatur untuk mendapatkan 
kesempatan yang sama, yaitu sama2 bisa melampiaskannya.  Dari sinilah kemudian 
berkembang cara2 pelampiasan sex agar tidak menimbulkan kekerasan, antara lain 
masturbasi, pornografi dll.  Jadi masturbasi dan pornografi ini hanyalah satu 
contoh saja cara untuk menghindarkan kekerasan pelampiasan sex, bukan menjadi 
penyebab meningkatnya kekerasan sex.

Memahami kekerasan sex dan pelampiasan sex ini seharusnya dimulai dari dasar, 
yaitu dasar yang bebas dari ikatan etika atau moral.  Barulah setelah bangun 
dasar ini dipahami, maka perkembangannya yang lebih luas ditambah aturan berupa 
ikatan etika dan moral yang tujuannya bukan cuma sikuat saja yang berhak untuk 
menikmati pelampiasan sex melainkan semua orang berhak menikmatinya.  Dan demi 
keadilan inilah kemudian dikembangkan etika moral antara lain bahwa hubungan 
sex itu harus dibatasi hanya sama2 mau tanpa ada satupun pihak yang dipaksa.  
Atas dasar ini pula kemudian berkembang lagi UU berupa pernikahan yang 
tujuannya memang melindungi para pelaku itu sendiri.  Betul, UU pernikahan 
bertujuan melindungi para pelaku yang saling melampiaskan nafsu sex-nya satu 
kepada yang lainnya, tapi kalo kita bisa memahami dasarnya seperti yang saya 
kemukakan diatas, maka kitapun akan menyadari, bahwa pelaku sex yang memang 
atas dasar saling menyukai meskipun tanpa
 diikat pernikahan sekalipun tetap harus dilindungi secara sama dengan mereka 
yang menikah resmi.

Cobalah kita bandingkan dengan UU Syariah Islam, yang membolehkan seorang suami 
beristeri lebih dari satu dengan syarat sanggup secara ekonomi memberi nafkah 
kepada isterinya.  Padahal syarat ini bukan cuma berlaku kepada seorang suami 
yang beristeri banyak, bahkan semua suami yang cuma punya isteri satu sekalipun 
syaratnya sama, yaitu harus mampu memberi nafkah kepada isterinya.

Dengan kata lain, dalam ajaran Islam berlaku bahwa seorang laki2 yang tidak 
mampu memberi nafkah kepada isterinya tidak boleh beristri, artinya tidak boleh 
melampiaskan nafsu sex-nya.

Tentu hal ini tidak mungkin karena akibatnya akan terjadi kekerasan sex, karena 
biar bagaiamanapun bisa nikah atau tidak bisa nikah nafsu sex itu perlu 
pelampiasan, miskin atau kaya, sama2 memerlukan pelampiasan sex, laki2 atau 
perempuan juga sama2 kebutuhannya akan pelampiasan sex.

Salah jadinya kalo hanya orang yang mampu saja yang boleh melampiaskan sex 
sedangkan yang tidak mampu dilarang melampiaskan sexnya kalo berdasarkan UU 
Syariah ini.  Ternyata Syariah Islam itu pun kemudian berkembang, dan bukan 
berarti mereka yang tidak mampu itu dilarang melampiaskan nafsu sex-nya, karena 
untuk mereka yang tidak mampu disediakan budak2 untuk melampiaskan nafsu sexnya.

Celakanya, ajaran seperti ini juga ternyata jadi konyol, bagaimana mungkin 
orang yang tidak mampu atau lemah ekonominya bisa punya budak.  Dari zaman nabi 
Muhammad sekalipun mereka yang bisa punya budak adalah orang kuat, adalah 
mereka yang kaya, mereka yang kuasa, mana mungkin si miskin bisa punya budak 
jelas malah jadi budak bukan memperbudak.

Jadi bohong kalo dikatakan Syariah Islam itu sempurna karena tidak menjawab 
cara pelampiasan nafsu sex bagi mereka yang papa, tidak mampu, bukan penguasa, 
dan melampiaskan nafsu sex kepada budak meskipun katanya tidak diharamkan 
tetapi tetap hanya bisa dilakukan mereka yang kaya dan yang kuasa bukan yang 
miskin.  Apalagi, apabila sesorang kedapatan berhubungan sex bukan dengan 
budaknya atau dengan budak milik orang lain....  maka berlakulah hukum rajam, 
inilah ketidak adilan bukan lagi keadilan.

Demikianlah, dari landasan semua yang saya tulis diatas, maka anda bisa 
merenungkan sendiri bahwa mau tidak mau harus diakui, bahwa PORNOGRAFI BISA 
MENCEGAH, MENURUNKAN, BAHKAN MENGHINDARI TERJADINYA KEKERASAN SEX dan jangan 
dianggap menjadi penyebab terjadinya peningkatan kekerasan sex.

Meningkatnya kekerasan sex bukan disebabkan adanya pornografi, melainkan adanya 
pembatasan2 bagi hanya orang2 tertentu saja yang kaya, yang kuasa yang bisa 
melampiaskan nafsu sex-nya baik kepada budak2nya maupun kepada wanita2 yang 
di-poligamy- nya.

Pornografi sesungguhnya, merupakan alat bagi mereka yang tidak mampu juga bisa 
melampiaskan sexnya tanpa harus melakukan kekerasan dan pornografi juga 
membantu suksesnya seorang individu untuk bermasturbasi.

Kembali kepada kejujuran diri sendiri dalam membahas masalah yang paling 
alamiah ini secara benar2 bijaksana yang dizaman modern sekarang dibutuhkan 
kesadaran bahwa pelampiasan sex itu merupakan kebutuhan semua tanpa embel2 
mampu atau tidak mampu memberi nafkah.

Ny. Muslim binti Muskitawati.


 


      

Kirim email ke