Menurut keterangan, Pa Harto menawarkan India & Arap, masing-masing
1hektar. Tapi India & Arap merasa tidak perlu membangun anjungan di sana.
Reason aslinya, saya ndak tau. 

Karena para tokoh Tionghoa cenderung murah hati, ke 2 lahan itu dibeli.
Harganya saya ga tau. Lalu ada penambahan tanah yg juga dibeli dari
masyarakat setempat. Saya kira tidak ada paksaan. Yg ada negosiasi.
Buktinya tidak pernah ada kabar bentrok warga vs pihak TMII. 

Dari 4 hektar itu, ada danau & area parkir. Jadi bangunnnya sendiri
tidak luas-luas amat. 

Soal nama-nama donatur, kita ini menghargai setiap budi yg diberikan
oleh orang laen. Sekecil apa pun kemurahan hati ya harus dihargai.
Salah satunya mungkin dengan mengukir nama-nama donatur. 

Tapi kalo sbagian orang Tionghoa saja tidak senang dengan adanya
anjungan model begini, saya kira non-tionghoa mungkin juga ada
yg berpikiran sama. Bisa memicu konflik sosial. 

Soal arsitektur Tionghoa, menurut bbrp orang tua petinggi PSMTI
adalah semacam permintaan Pa Harto secara pribadi. Sebagai
masyarakat yg patuh sama orang tua ya dituruti maunya pak Harto.
Alasannya pun saya tidak tau. Entah berpikir ya identitas Tionghoa
memang seperti itu. Apa salahnya? Saya pribadi tidak sino-phobic. 

Lebi menarik, kenapa India & Arap menolak? Kalo analisanya konflik
sosial, maka keputusan langkah pimpinan India & Arap sudah tepat. 

Karena permintaan Pa Harto, maka pihak penyerang anjungan ini
ya mestinya jangan maki si Tionghoa. Tapi coba pertanyakan ke
Pa Harto sendiri donk....


Huangdi Bless U

--- Pada Sen, 1/2/10, dkhkwa <dkh...@yahoo.com> menulis:

Dari: dkhkwa <dkh...@yahoo.com>
Judul: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 1 Februari, 2010, 2:51 AM







 



  


    
      
      
      



Pa Tjandra,



Yang owe dengar dari “sumber yang bisa dipercaya”, tanah aslinya adalah 1 ha, 
“Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.” 
Tapi, karena tanah selebihnya dibeli dari penduduk entah dengan sukarela atau 
paksa “bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan lahan tsb 
dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa Tedy juga pensiunan petinggi 
ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur maka lahan tsb sekarang 
terbebaskan.” Jadi, kalau sekarang luasnya 4,5 ha, apa anehnya? Orang boleh 
beli koq, bukan pengasih babe ato yang semasa berkuasanya menindas orang 
TIONGHOA, untuk “menebus dosa”??? Bukankah kata pepatah, “ada uang, ada barang”?



Luasnya yang jau melebihi anjungan dari daerah-daerah lain di Indonesia apa 
tidak dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan sosial? Apalagi bangunan yang 
hendak dibuat adalah “main building Taman Budaya Tionghoa yg megah (ada pagoda 
segala dan danau buatan di kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk perayaan Peh 
Chun).” Yang dibangun bukanlah replika dari gedung bekas kediaman tokoh 
masyarakat Anu dari daerah Anu di Indonesia, yang tak asing bagi sebagian 
orang, tapi sesuatu yang benar-benar asing, karena tidak ada di Indonesia, yang 
tukang-tukangnya “diimpor” langsung dari Tiongkok, sedangkan anjungan-anjungan 
lain toch mengambil contoh, misalnya, Keraton Yogyakarta yang memang aslinya 
benar-benar ada di Yogya. “Disain ini bukan replika dari rumah kuno para tuan 
tanah Tionghoa, tetapi sama sekali baru.” Kenapa bersikap “alergi” betul 
terhadap para tuan tanah atau pejabat TIONGHOA, sementara etnis LAIN 
biasa-biasa saja terhadap para pemimpin
 seperti para raja, sultan atau bupati mereka? 



Ataukah anjungan Tionghoa Indonesia isinya adalah replika Cikim-snia (Kota 
Terlarang) di Pakknia (Beijing), Danau Se’ou (Xihu) di Hangciu (Hangzhou), 
lengkap dengan pohon Yangliu-nya segala, Taman-taman Souciu (Suzhou), Pailau 
(Gerbang) dari Emui (Xiamen), dsb. Kalau orang mau melihat bangunan Tionghoa 
asli di Tiongkok, kenapa mereka harus ke Taman Mini? Kenapa tidak terbang saja 
langsung ke Beijing, Shanghai, Hangzhou, Suzhou, Xiamen, Guangzhou, Shenzhen? 
Di sana malah lebih bagus, bukan tiruan seperti kita, tapi asli loh!!! Yang owe 
tahu, di Shenzhen juga dibikin miniatur seperti di kita, China Folk Cultures 
Village, tapi kan mereka menampilkan beragam bangunan berdasarkan kelompok 
etnik yang memang ADA di Tiongkok, bukan mendisain bangunan-bangunan baru yang 
“ngga karuan juntrungannya”!!! (PCMIIW) Lalu ke mana orang harus pergi bila 
ingin mencari dan mempelajari bangunan ala TIONGHOA INDONESIA, kalau bangunan 
asli yang ada sudah dihancurkan dan
 replikanya yang dibuat sesuai aslinya pun tidak ada? Apakah sejarah dan 
jatidiri Tionghoa Indonesia mau dihapuskan, digantikan dengan sejarah 
non-Tionghoa Indonesia versi Taman Mini yang―lagi-lagi―“ngga karuan 
juntrungannya”??? 



Owe harep itu perkara tida nanti sampe kajadian pada generatie muda kita sampe 
kapan juga. Muhun maaf seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.



Kiongchiu,

DK



--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli <ghozalli2002@ ...> 
wrote:



Bab. 1 



Dear members, 



Memang soal sumbangan bukan hal mudah. Historisnya dahulu pa Harto menyerahkan 
lahan TMII kepada pak Tedy hanya 1 ha untuk warga Tionghoa sedang 1 ha lagi utk 
warga India dan 1 ha lagi utk warga Arab. Tetapi dalam perjalanannya lahan 
untuk warga India dan Arab dikembalikan ke pa Harto, karena menurut mereka, 
sulit mendapatkan dana dari warga mereka yang umumnya tidak kompak. Lalu pa 
Harto serahkan semuanya kepada pa Teddy. Entah kenapa pa Tedy terlalu “PD” 
mungkin dianggapnya warga Tionghoa yg populasinya no.3 setelah warga Jawa dan 
Sunda serta terkenal dengan kekompakannya dan suka saling bantu (itu sebabnya 
ada legenda yg menyatakan orang Tionghoa cepat maju karena di antara mereka 
suka saling tolong), ditambah lagi banyak warga Tionghoa sudah berhasil dalam 
bidang usaha - masa sih dalam waktu 6 tahun anjungan tidak jadi? Maka diterima 
semuanya, bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan lahan 
tsb dari penduduk ilegal yg suka main
 keras. Untung pa Tedy juga pensiunan petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa 
orang donatur maka lahan tsb sekarang terbebaskan. Tapi setelah 6 tahun toh 
lahan tersebut belum terbangun main buildingnya. Padahal anjungan tetangganya 
(anjungan Kong Hu Cu) yg jauh lebih muda telah berdiri dgn megah (tentu anda 
tahu kenapa demikian). Nah sekarang ketua umum PSMTI yg baru yakni pa Rachmat 
(katanya orang terkaya no.140 di Asia) menyatakan dalam orasi di Munas PSMTI 
bulan Nopember silam, bahwa kalau dia terpilih jadi ketua umum maka dalam kurun 
4 tahun dia akan bangun main building Taman Budaya Tionghoa yg megah (ada 
pagoda segala dan danau buatan di kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk 
perayaan Peh Chun). Disain ini bukan replika dari rumah kuno para tuan tanah 
Tionghoa, tetapi sama sekali baru. Selain itu beliau juga minta partisipasi 
dari warga Tionghoa utk menyukseskannya, karena Taman Budaya Tionghoa Indonesia 
ini nantinya bukan milik PSMTI namun milik
 kita semua. Nah, sebaiknya kita lihat saja apakah janji pa Rachmat dapat 
dipenuhinya? (biasanya calon pemimpin suka lupa janjinya kalau sudah diangkat 
��" mudah2an tidak demikian). Tapi bagi para sianseng yg kebetulan berjiwa 
sosial serta berkeinginan dan berkemampuan, dipersilahkan ikut menyumbang via 
Dompet Peduli di majalah POST Media. RGDS. Tjandra G 



Bab 2 



Saya adalah pengamat dari miliser Pecinta Kereta-api Indonesia. Karena hobi 
saya adalah model kereta api. Di milis Pecinta Kereta-api Indonesia ada 
kegiatan untuk menyelamatkan lokomotif tua. Pada tahun 2008 silam Pecinta 
Kereta-api Indonesia telah berhasil menyelamatkan lokomotif diesel BB-200 dan 
lokomotif listrik “bon-bon” CC-300 yang tadinya sudah mau dikiloin oleh PJKA 
sebagai besi tua. Selain itu member milis ini juga telah berhasil menghidupkan 
kembali stasiun Tanjung Priok yg tadinya sudah mau dijual untuk dijadikan Plaza 
Tanjung Priok. Tetapi berkat perjuangan mereka yg gigih akhirnya wali kota 
Jakarta Utara setuju untuk memugar stasiun tersebut. Uniknya para member milis 
ini tak segan segan beli cat, amplas, dan peralatan lainnya dari kocek sendiri, 
lalu setiap Sabtu dan Minggu mereka pergi ke dipo lokomotif Jatinegara dan 
Manggarai untuk merenovasi lokomotif tua beramai ramai. Hanya bagian mesin yg 
dikerjakan oleh PJKA, selebihnya anggota
 milis Pecinta Kereta-api yang melakukannya. Setelah selesai renovasi (dengan 
cat baru dan bisa jalan) maka diadakan acara syukuran dan difoto untuk majalah 
komunitas mereka “Kereta Api”. Saya juga setuju kalau di kalangan miliser 
Budaya Tionghua mau merenovasi bangunan tua seperti itu ��" mungkin ada member 
yang mau menjadi penggerak “swadaya renovasi bangunan tua Tionghoa Indonesia”? 
Di mana secara beramai ramai dan gotong royong merenovasi peninggalan sejarah 
tersebut ��" kami dari majalah POST Media sepenuhnya mendukung kegiatan ini dan 
kami akan meliputnya mulai dari A hingga Z. Mari kita segera ambil aksi nyata 
untuk membuktikan bahwa kita peduli terhadap bangunan sejarah warga Tionghoa, 
seperti halnya Pecinta Kereta-api Indonesia peduli dengan lokomotif tua dan 
bangunan (stasiun) tua. Sambil menunggu tanggapan dari para sianseng ��" saya 
mohon maaf bila ada kesalahan kata. RGDS. Tjandra G





    
     

    
    


 



  






      Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih 
cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. 
Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/

Kirim email ke