Ah Bung Opheng sih terlalu optimis. Setiap orang bisa punya usul segudang, tapi yg menentukan kan ketua panitianya. Makanya setiap ada orang mau berpartisipasi thd sebuah acara, hrs tanya dulu: siapa yg mimpin? Jika sehaluan ya ikut, jika tdk ngapain maksa? Nanti pasti kecewa. Realistislah.
Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -----Original Message----- From: "Ophoeng" <opho...@yahoo.com> Date: Tue, 02 Feb 2010 11:06:07 To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio & Li Thang GUS DUR Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, Bung Rico, dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana? Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. Kata Confusius: "Journey of a thousand miles, begins with but a single step". Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama. Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan. Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap salah itu. Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya? Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih "What we are now is what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now." - Buddha(?) Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang ada bagian dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), lalu diberi catatan: "Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan." Seperti monumen Hiroshima - Nagasaki di Jepang itu. Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung kuno lain yang masih ada (kalau bisa). Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut sumbang saran dan bertukar pikiran. Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun dulu, mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau ratusan tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang begitu peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu bercirikan khas Tionghua Indonesia. Memang sih TMII itu cuma 'taman hiburan berthema', tapi rasanya ndak ada salahnya juga kalau kita punya 'simbol' budaya di sana. Hidup memang penuh simbolik juga toh? Lha, upacara dan ritual itu juga bukankah banyak mengandung simbol-simbol perlambang untuk sesuatu yang luhur? Kalau mau ada bio yang bisa dipakai, mestinya juga ndak apa-apa. Seperti halnya candi-candi kuno itu kabarnya juga masih suka dipakai untuk upacara tertentu toh? Eh, jangan lupa, kalau masih ada tempat, juga tolong diusulkan untuk bangun satu resto makanan khas Tionghua Babah (Indonesia) ya. Juga ada 'pabrik' tahu jaman kuno (masih pake gilingan batu) yang tanpa pengawet tapi awet, pabrik dodol yang masih pake langseng dan ngegelepung berasnya pake alu begitu (barusan lihat pabrik dodol di Tangerang yang masih tradisionil dan kuno tuh!), dan makanan lain-lain yang khas tionghua Indonesia. Hasil produksinya bisa dijual dengan cap dan harga yang sepadan, keuntungan bisa dimasukkan ke dalam kocek yayasan. Tentang nama-nama penyumbang diabadikan, saya pikir ndak masalah. Terlepas apakah orang menyumbang ingin 'dapat nama', rasanya itu masih dalam batas-batas wajar dan sejak dulu pun selalu dilakukan hal yang sama - lihat saja di kelenteng, pasti ada nama-nama penyumbangnya waktu kelenteng itu didirikan, juga waktu renovasi. Saya lihat di film-film yang dibuat oleh Da-ai TV, orang-orang yang menyumbang untuk rumah sakit juga ndak pantang disebutkan namanya tuh. Begitu saja sih sedikit cuap-cuap dari pendoyan makan enak ini. Kalau ada yang salah, sila dikoreksi, kalau ada yang kurang ya mangga ditambahkeun atuh, euy! Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang Selatan --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ibcindon" <ibcin...@...> wrote: Yth para rekan milis, Menarik sekali diskusi yang yang terus berlangsung di milis mengenai lahan yang dicadangkan di TMII. Maaf saya ingin urun rembuk. Beberapa waktu yang lalu ketika semua sedang berduka cita atas meninggalnya Gus Dur pernah tercetus usulan ( emosionil ?? )membangun klenteng peringatan untuk Gus Dur. ( entah serius , entah main-maina ??? ) Usulan ini hilang tanpa jejak…………………. J) Saya jadi terpikirkan, istilah klenteng di Indonesia merupakan pengertian tempat beribadat agama Tionghoa. Konsep yang sudah diterima masyarakat semua. Kalu membangun klenteng akan banyak komentar tidak senang dari masyarakat luas, meskipun mungkin sekedar salah pengertian saja. Dalam hal TMII bagaimana kalau kita gunakan untuk suatu lahan tempat performance, belajar dan mempelajari budaya. Mirip TIM Jakarta. Bangunan utama dapat diberi nama BUN BIO GUS DUR ( tempat budaya GUS DUR ) atau pun LI THANG GUS DUR ( Hall/aula pembelajaran GUS DUR ). Dilengkapi dengan perpustakaan, semacan CHINESE HERITAGE CENTER di SINGAPORE, yang sekarang dipimpin oleh Prof. LEO SURYADINATA . Management dapat mengelola program yang terarah yang tetap dan teratur dilokasi ini. Mungkin acara budaya TiongHoa, pameran, acara kesenian, diskusi, ceramah, seminar dst, dst. Income pemeliharaan dapat dengan menyewakan HALL / LITHANG untuk upacara dan pesta. Lahan parkir luas sudah pasti, pesta taman pun dapat diselengarakan disana. Dengan srana gtaman serba mirip HangChow atau Sihu. Melihat kecenderungan masyarakat klas the have di Jakarta yang suka show off , jika fasilitas yang disediakan serba luas dan nyaman rasanya sarana ini tidak akan pernah kekurangan peminat sepanjang tahun. Juga keinginan memperingati GUS DUR akan teringat sepanjang waktu. Pemeiliharaan dan penelitian budaya Tionghoa di Indonesia dapat terselengarakan secara berkesinambungan……….. Banyak tujuan dapat diperoleh pada waktu yang bersamaan….. MARI KITA BAHAS BAIK-BAIAK……………………………. Kenapa tidak ?????? Salam erat, Sugiri.