Yth para rekan milis,

 

Menarik sekali diskusi yang yang  terus berlangsung di milis mengenai lahan 
yang dicadangkan di TMII.

 

Maaf saya ingin urun rembuk.

 

Beberapa waktu yang lalu ketika semua  sedang berduka cita  atas meninggalnya 
Gus Dur pernah  tercetus  usulan ( emosionil ?? )membangun  klenteng peringatan 
untuk Gus Dur. ( entah serius , entah main-maina ??? )

 

Usulan ini hilang tanpa jejak………………….  J)

 

 

Saya jadi terpikirkan, istilah klenteng di Indonesia  merupakan pengertian 
tempat beribadat  agama Tionghoa. 

 

Konsep yang sudah diterima masyarakat semua. Kalu membangun klenteng akan 
banyak komentar tidak senang dari masyarakat luas, meskipun mungkin sekedar 
salah pengertian saja.

 

Dalam hal  TMII  bagaimana kalau kita  gunakan untuk suatu lahan tempat 
performance, belajar dan mempelajari  budaya. Mirip TIM  Jakarta.

 

Bangunan utama dapat diberi nama  BUN BIO  GUS DUR  ( tempat  budaya  GUS DUR ) 
  atau pun LI THANG  GUS  DUR  ( Hall/aula  pembelajaran GUS DUR ). 

 

Dilengkapi dengan perpustakaan, semacan CHINESE   HERITAGE CENTER di SINGAPORE, 
yang sekarang dipimpin   oleh Prof.  LEO SURYADINATA  .

 

Management  dapat mengelola program yang terarah   yang tetap dan teratur  
dilokasi ini. Mungkin  acara  budaya TiongHoa, pameran, acara kesenian, 
diskusi, ceramah, seminar dst, dst.

 

Income pemeliharaan dapat dengan menyewakan HALL / LITHANG  untuk upacara dan 
pesta.  Lahan parkir luas sudah pasti,  pesta  taman pun dapat diselengarakan 
disana.

 Dengan srana gtaman serba mirip HangChow  atau Sihu.

 

Melihat kecenderungan masyarakat klas the have  di Jakarta yang suka show off  
, jika fasilitas yang disediakan serba luas dan nyaman rasanya  sarana ini 
tidak akan pernah kekurangan peminat sepanjang tahun.

 

Juga keinginan memperingati  GUS DUR akan teringat sepanjang waktu.

 

Pemeiliharaan  dan penelitian budaya Tionghoa di Indonesia dapat 
terselengarakan secara berkesinambungan………..

 

Banyak tujuan dapat diperoleh pada waktu yang bersamaan…..

 

 

MARI KITA BAHAS BAIK-BAIAK…………………………….  Kenapa tidak ??????

 

 

Salam erat,

 

Sugiri.

 

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] 
On Behalf Of zho...@yahoo.com
Sent: Tuesday, February 02, 2010 8:17 AM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: Bls: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

 

  

Pak Irawan,
Terlepas dari masalah pembongkaran bangunan lama, tujuan dan manfaat dari taman 
budaya di taman mini itu sendiri sangat meragukan. Ini bukan masalah emosi, 
tapi sudah masalah rasional. Ditinjau dari aspek sosial, budaya maupun dari 
kacamata akademis arsitektur juga sangat absurd menggelikan. 

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

  _____  

From: "Dr. Irawan" <drira...@indonesiamedia.com> 

Date: Mon, 1 Feb 2010 11:26:26 -0800

To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>

Subject: Re: Bls: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

 

  

Saya rasa Azura -Mazda ada benarnya , dengan tanpa mengurangi hormat kami 
kepada para tokoh2 yang menyesalkan pembongkaran situs2 budaya Tionghoa jadul 
yang lalu. Jadi Pak Tjandra Gozhali juga jangan mendesak terus beliau2 ini yang 
masih emosi. Ibaratnya jangan ngebangunin macan tidur. Sebab mereka para tokoh2 
budaya disini juga ada caranya sendiri untuk mempreservasi budaya Tionghoa.

Sekarang yang penting agar panitia pembangunan itu coba approach ke pihak2 
lainnya, dengan segala option yang mungkin bisa jalan , contoh ikut sertakan 
ormas lainnya , jangan hanya dikungkungi oleh satu ormas saja. Atau pihak2 
swasta lainnya yang berminat , tentunya tidak ada free lunch, pokoknya dicari 
win-win solution. 

Saya hargai usaha Pak Tjandra membantu Pak Teddy, memang sebagai Post Media 
harus berbuat kearah itu. Semoga Post Media tetap langgeng. 

Untuk Pak David Kwa, mohon maaf kalau ada omongan owe yang sala

Soja,
Dr.Irawan.,

2010/2/1 Azura-Mazda <extrim_blue...@yahoo.com>

  


Menurut keterangan, Pa Harto menawarkan India & Arap, masing-masing
1hektar. Tapi India & Arap merasa tidak perlu membangun anjungan di sana.
Reason aslinya, saya ndak tau. 

Karena para tokoh Tionghoa cenderung murah hati, ke 2 lahan itu dibeli.
Harganya saya ga tau. Lalu ada penambahan tanah yg juga dibeli dari
masyarakat setempat. Saya kira tidak ada paksaan. Yg ada negosiasi.
Buktinya tidak pernah ada kabar bentrok warga vs pihak TMII. 

Dari 4 hektar itu, ada danau & area parkir. Jadi bangunnnya sendiri
tidak luas-luas amat. 

Soal nama-nama donatur, kita ini menghargai setiap budi yg diberikan
oleh orang laen. Sekecil apa pun kemurahan hati ya harus dihargai.
Salah satunya mungkin dengan mengukir nama-nama donatur. 

Tapi kalo sbagian orang Tionghoa saja tidak senang dengan adanya
anjungan model begini, saya kira non-tionghoa mungkin juga ada
yg berpikiran sama. Bisa memicu konflik sosial. 

Soal arsitektur Tionghoa, menurut bbrp orang tua petinggi PSMTI
adalah semacam permintaan Pa Harto secara pribadi. Sebagai
masyarakat yg patuh sama orang tua ya dituruti maunya pak Harto.
Alasannya pun saya tidak tau. Entah berpikir ya identitas Tionghoa
memang seperti itu. Apa salahnya? Saya pribadi tidak sino-phobic. 

Lebi menarik, kenapa India & Arap menolak? Kalo analisanya konflik
sosial, maka keputusan langkah pimpinan India & Arap sudah tepat. 

Karena permintaan Pa Harto, maka pihak penyerang anjungan ini
ya mestinya jangan maki si Tionghoa. Tapi coba pertanyakan ke
Pa Harto sendiri donk....


Huangdi Bless U

--- Pada Sen, 1/2/10, dkhkwa <dkh...@yahoo.com> menulis:


Dari: dkhkwa <dkh...@yahoo.com>
Judul: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 1 Februari, 2010, 2:51 AM

  



Pa Tjandra,

Yang owe dengar dari “sumber yang bisa dipercaya”, tanah aslinya adalah 1 ha, 
“Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.” 
Tapi, karena tanah selebihnya dibeli dari penduduk entah dengan sukarela atau 
paksa “bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan lahan tsb 
dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa Tedy juga pensiunan petinggi 
ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur maka lahan tsb sekarang 
terbebaskan.” Jadi, kalau sekarang luasnya 4,5 ha, apa anehnya? Orang boleh 
beli koq, bukan pengasih babe ato yang semasa berkuasanya menindas orang 
TIONGHOA, untuk “menebus dosa”??? Bukankah kata pepatah, “ada uang, ada barang”?

Luasnya yang jau melebihi anjungan dari daerah-daerah lain di Indonesia apa 
tidak dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan sosial? Apalagi bangunan yang 
hendak dibuat adalah “main building Taman Budaya Tionghoa yg megah (ada pagoda 
segala dan danau buatan di kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk perayaan Peh 
Chun).” Yang dibangun bukanlah replika dari gedung bekas kediaman tokoh 
masyarakat Anu dari daerah Anu di Indonesia, yang tak asing bagi sebagian 
orang, tapi sesuatu yang benar-benar asing, karena tidak ada di Indonesia, yang 
tukang-tukangnya “diimpor” langsung dari Tiongkok, sedangkan anjungan-anjungan 
lain toch mengambil contoh, misalnya, Keraton Yogyakarta yang memang aslinya 
benar-benar ada di Yogya. “Disain ini bukan replika dari rumah kuno para tuan 
tanah Tionghoa, tetapi sama sekali baru.” Kenapa bersikap “alergi” betul 
terhadap para tuan tanah atau pejabat TIONGHOA, sementara etnis LAIN 
biasa-biasa saja terhadap para pemimpin seperti para raja, sultan atau bupati 
mereka? 

Ataukah anjungan Tionghoa Indonesia isinya adalah replika Cikim-snia (Kota 
Terlarang) di Pakknia (Beijing), Danau Se’ou (Xihu) di Hangciu (Hangzhou), 
lengkap dengan pohon Yangliu-nya segala, Taman-taman Souciu (Suzhou), Pailau 
(Gerbang) dari Emui (Xiamen), dsb. Kalau orang mau melihat bangunan Tionghoa 
asli di Tiongkok, kenapa mereka harus ke Taman Mini? Kenapa tidak terbang saja 
langsung ke Beijing, Shanghai, Hangzhou, Suzhou, Xiamen, Guangzhou, Shenzhen? 
Di sana malah lebih bagus, bukan tiruan seperti kita, tapi asli loh!!! Yang owe 
tahu, di Shenzhen juga dibikin miniatur seperti di kita, China Folk Cultures 
Village, tapi kan mereka menampilkan beragam bangunan berdasarkan kelompok 
etnik yang memang ADA di Tiongkok, bukan mendisain bangunan-bangunan baru yang 
“ngga karuan juntrungannya”!!! (PCMIIW) Lalu ke mana orang harus pergi bila 
ingin mencari dan mempelajari bangunan ala TIONGHOA INDONESIA, kalau bangunan 
asli yang ada sudah dihancurkan dan replikanya yang dibuat sesuai aslinya pun 
tidak ada? Apakah sejarah dan jatidiri Tionghoa Indonesia mau dihapuskan, 
digantikan dengan sejarah non-Tionghoa Indonesia versi Taman Mini 
yang―lagi-lagi―“ngga karuan juntrungannya”??? 

Owe harep itu perkara tida nanti sampe kajadian pada generatie muda kita sampe 
kapan juga. Muhun maaf seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com 
<http://mc/compose?to=budaya_tionghua%40yahoogroups.com> , Tjandra Ghozalli 
<ghozalli2002@ ...> wrote:

Bab. 1 

Dear members, 

Memang soal sumbangan bukan hal mudah. Historisnya dahulu pa Harto menyerahkan 
lahan TMII kepada pak Tedy hanya 1 ha untuk warga Tionghoa sedang 1 ha lagi utk 
warga India dan 1 ha lagi utk warga Arab. Tetapi dalam perjalanannya lahan 
untuk warga India dan Arab dikembalikan ke pa Harto, karena menurut mereka, 
sulit mendapatkan dana dari warga mereka yang umumnya tidak kompak. Lalu pa 
Harto serahkan semuanya kepada pa Teddy.. Entah kenapa pa Tedy terlalu “PD” 
mungkin dianggapnya warga Tionghoa yg populasinya no.3 setelah warga Jawa dan 
Sunda serta terkenal dengan kekompakannya dan suka saling bantu (itu sebabnya 
ada legenda yg menyatakan orang Tionghoa cepat maju karena di antara mereka 
suka saling tolong), ditambah lagi banyak warga Tionghoa sudah berhasil dalam 
bidang usaha - masa sih dalam waktu 6 tahun anjungan tidak jadi? Maka diterima 
semuanya, bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan lahan 
tsb dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa Tedy juga pensiunan 
petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur maka lahan tsb sekarang 
terbebaskan. Tapi setelah 6 tahun toh lahan tersebut belum terbangun main 
buildingnya. Padahal anjungan tetangganya (anjungan Kong Hu Cu) yg jauh lebih 
muda telah berdiri dgn megah (tentu anda tahu kenapa demikian). Nah sekarang 
ketua umum PSMTI yg baru yakni pa Rachmat (katanya orang terkaya no.140 di 
Asia) menyatakan dalam orasi di Munas PSMTI bulan Nopember silam, bahwa kalau 
dia terpilih jadi ketua umum maka dalam kurun 4 tahun dia akan bangun main 
building Taman Budaya Tionghoa yg megah (ada pagoda segala dan danau buatan di 
kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk perayaan Peh Chun). Disain ini bukan 
replika dari rumah kuno para tuan tanah Tionghoa, tetapi sama sekali baru. 
Selain itu beliau juga minta partisipasi dari warga Tionghoa utk 
menyukseskannya, karena Taman Budaya Tionghoa Indonesia ini nantinya bukan 
milik PSMTI namun milik kita semua. Nah, sebaiknya kita lihat saja apakah janji 
pa Rachmat dapat dipenuhinya? (biasanya calon pemimpin suka lupa janjinya kalau 
sudah diangkat ��" mudah2an tidak demikian). Tapi bagi para sianseng yg 
kebetulan berjiwa sosial serta berkeinginan dan berkemampuan, dipersilahkan 
ikut menyumbang via Dompet Peduli di majalah POST Media. RGDS. Tjandra G 

Bab 2 

Saya adalah pengamat dari miliser Pecinta Kereta-api Indonesia. Karena hobi 
saya adalah model kereta api. Di milis Pecinta Kereta-api Indonesia ada 
kegiatan untuk menyelamatkan lokomotif tua. Pada tahun 2008 silam Pecinta 
Kereta-api Indonesia telah berhasil menyelamatkan lokomotif diesel BB-200 dan 
lokomotif listrik “bon-bon” CC-300 yang tadinya sudah mau dikiloin oleh PJKA 
sebagai besi tua. Selain itu member milis ini juga telah berhasil menghidupkan 
kembali stasiun Tanjung Priok yg tadinya sudah mau dijual untuk dijadikan Plaza 
Tanjung Priok.. Tetapi berkat perjuangan mereka yg gigih akhirnya wali kota 
Jakarta Utara setuju untuk memugar stasiun tersebut. Uniknya para member milis 
ini tak segan segan beli cat, amplas, dan peralatan lainnya dari kocek sendiri, 
lalu setiap Sabtu dan Minggu mereka pergi ke dipo lokomotif Jatinegara dan 
Manggarai untuk merenovasi lokomotif tua beramai ramai. Hanya bagian mesin yg 
dikerjakan oleh PJKA, selebihnya anggota milis Pecinta Kereta-api yang 
melakukannya. Setelah selesai renovasi (dengan cat baru dan bisa jalan) maka 
diadakan acara syukuran dan difoto untuk majalah komunitas mereka “Kereta Api”. 
Saya juga setuju kalau di kalangan miliser Budaya Tionghua mau merenovasi 
bangunan tua seperti itu ��" mungkin ada member yang mau menjadi penggerak 
“swadaya renovasi bangunan tua Tionghoa Indonesia”? Di mana secara beramai 
ramai dan gotong royong merenovasi peninggalan sejarah tersebut ��" kami dari 
majalah POST Media sepenuhnya mendukung kegiatan ini dan kami akan meliputnya 
mulai dari A hingga Z. Mari kita segera ambil aksi nyata untuk membuktikan 
bahwa kita peduli terhadap bangunan sejarah warga Tionghoa, seperti halnya 
Pecinta Kereta-api Indonesia peduli dengan lokomotif tua dan bangunan (stasiun) 
tua. Sambil menunggu tanggapan dari para sianseng ��" saya mohon maaf bila ada 
kesalahan kata. RGDS. Tjandra G


"

Kirim email ke