Pak Irawan,
Terlepas dari masalah pembongkaran bangunan lama, tujuan dan manfaat dari taman 
budaya di taman mini itu sendiri sangat meragukan. Ini bukan masalah emosi, 
tapi sudah masalah rasional. Ditinjau dari aspek sosial, budaya maupun dari 
kacamata akademis arsitektur juga sangat absurd menggelikan. 
 

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "Dr. Irawan" <drira...@indonesiamedia.com>
Date: Mon, 1 Feb 2010 11:26:26 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: Re: Bls: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

Saya rasa Azura -Mazda ada benarnya , dengan tanpa mengurangi hormat kami
kepada para tokoh2 yang menyesalkan pembongkaran situs2 budaya Tionghoa
jadul yang lalu. Jadi Pak Tjandra Gozhali juga jangan mendesak terus beliau2
ini yang masih emosi. Ibaratnya jangan ngebangunin macan tidur. Sebab mereka
para tokoh2 budaya disini juga ada caranya sendiri untuk mempreservasi
budaya Tionghoa.

Sekarang yang penting agar panitia pembangunan itu coba approach ke pihak2
lainnya, dengan segala option yang mungkin bisa jalan , contoh ikut sertakan
ormas lainnya , jangan hanya dikungkungi oleh satu ormas saja. Atau pihak2
swasta lainnya yang berminat , tentunya tidak ada free lunch, pokoknya
dicari win-win solution.

Saya hargai usaha Pak Tjandra membantu Pak Teddy, memang sebagai Post Media
harus berbuat kearah itu. Semoga Post Media tetap langgeng.

Untuk Pak David Kwa, mohon maaf kalau ada omongan owe yang sala

Soja,
Dr.Irawan.,

2010/2/1 Azura-Mazda <extrim_blue...@yahoo.com>

>
>
> Menurut keterangan, Pa Harto menawarkan India & Arap, masing-masing
> 1hektar. Tapi India & Arap merasa tidak perlu membangun anjungan di sana.
> Reason aslinya, saya ndak tau.
>
> Karena para tokoh Tionghoa cenderung murah hati, ke 2 lahan itu dibeli.
> Harganya saya ga tau. Lalu ada penambahan tanah yg juga dibeli dari
> masyarakat setempat. Saya kira tidak ada paksaan. Yg ada negosiasi.
> Buktinya tidak pernah ada kabar bentrok warga vs pihak TMII.
>
> Dari 4 hektar itu, ada danau & area parkir. Jadi bangunnnya sendiri
> tidak luas-luas amat.
>
> Soal nama-nama donatur, kita ini menghargai setiap budi yg diberikan
> oleh orang laen. Sekecil apa pun kemurahan hati ya harus dihargai.
> Salah satunya mungkin dengan mengukir nama-nama donatur.
>
> Tapi kalo sbagian orang Tionghoa saja tidak senang dengan adanya
> anjungan model begini, saya kira non-tionghoa mungkin juga ada
> yg berpikiran sama. Bisa memicu konflik sosial.
>
> Soal arsitektur Tionghoa, menurut bbrp orang tua petinggi PSMTI
> adalah semacam permintaan Pa Harto secara pribadi. Sebagai
> masyarakat yg patuh sama orang tua ya dituruti maunya pak Harto.
> Alasannya pun saya tidak tau. Entah berpikir ya identitas Tionghoa
> memang seperti itu. Apa salahnya? Saya pribadi tidak sino-phobic.
>
> Lebi menarik, kenapa India & Arap menolak? Kalo analisanya konflik
> sosial, maka keputusan langkah pimpinan India & Arap sudah tepat.
>
> Karena permintaan Pa Harto, maka pihak penyerang anjungan ini
> ya mestinya jangan maki si Tionghoa. Tapi coba pertanyakan ke
> Pa Harto sendiri donk....
>
>
> Huangdi Bless U
>
> --- Pada *Sen, 1/2/10, dkhkwa <dkh...@yahoo.com>* menulis:
>
>
> Dari: dkhkwa <dkh...@yahoo.com>
> Judul: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
> Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Tanggal: Senin, 1 Februari, 2010, 2:51 AM
>
>
>
>
>
> Pa Tjandra,
>
> Yang owe dengar dari “sumber yang bisa dipercaya”, tanah aslinya adalah 1
> ha, “Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar
> 2 ha.” Tapi, karena tanah selebihnya dibeli dari penduduk entah dengan
> sukarela atau paksa “bahkan serah terima juga tak lancar karena harus
> membebaskan lahan tsb dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa
> Tedy juga pensiunan petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur
> maka lahan tsb sekarang terbebaskan.” Jadi, kalau sekarang luasnya 4,5 ha,
> apa anehnya? Orang boleh beli koq, bukan pengasih babe ato yang semasa
> berkuasanya menindas orang TIONGHOA, untuk “menebus dosa”??? Bukankah kata
> pepatah, “ada uang, ada barang”?
>
> Luasnya yang jau melebihi anjungan dari daerah-daerah lain di Indonesia apa
> tidak dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan sosial? Apalagi bangunan yang
> hendak dibuat adalah “main building Taman Budaya Tionghoa yg megah (ada
> pagoda segala dan danau buatan di kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk
> perayaan Peh Chun).” Yang dibangun bukanlah replika dari gedung bekas
> kediaman tokoh masyarakat Anu dari daerah Anu di Indonesia, yang tak asing
> bagi sebagian orang, tapi sesuatu yang benar-benar asing, karena tidak ada
> di Indonesia, yang tukang-tukangnya “diimpor” langsung dari Tiongkok,
> sedangkan anjungan-anjungan lain toch mengambil contoh, misalnya, Keraton
> Yogyakarta yang memang aslinya benar-benar ada di Yogya. “Disain ini bukan
> replika dari rumah kuno para tuan tanah Tionghoa, tetapi sama sekali baru.”
> Kenapa bersikap “alergi” betul terhadap para tuan tanah atau pejabat
> TIONGHOA, sementara etnis LAIN biasa-biasa saja terhadap para pemimpin
> seperti para raja, sultan atau bupati mereka?
>
> Ataukah anjungan Tionghoa Indonesia isinya adalah replika Cikim-snia (Kota
> Terlarang) di Pakknia (Beijing), Danau Se’ou (Xihu) di Hangciu (Hangzhou),
> lengkap dengan pohon Yangliu-nya segala, Taman-taman Souciu (Suzhou), Pailau
> (Gerbang) dari Emui (Xiamen), dsb. Kalau orang mau melihat bangunan Tionghoa
> asli di Tiongkok, kenapa mereka harus ke Taman Mini? Kenapa tidak terbang
> saja langsung ke Beijing, Shanghai, Hangzhou, Suzhou, Xiamen, Guangzhou,
> Shenzhen? Di sana malah lebih bagus, bukan tiruan seperti kita, tapi asli
> loh!!! Yang owe tahu, di Shenzhen juga dibikin miniatur seperti di kita,
> China Folk Cultures Village, tapi kan mereka menampilkan beragam bangunan
> berdasarkan kelompok etnik yang memang ADA di Tiongkok, bukan mendisain
> bangunan-bangunan baru yang “ngga karuan juntrungannya”!!! (PCMIIW) Lalu ke
> mana orang harus pergi bila ingin mencari dan mempelajari bangunan ala
> TIONGHOA INDONESIA, kalau bangunan asli yang ada sudah dihancurkan dan
> replikanya yang dibuat sesuai aslinya pun tidak ada? Apakah sejarah dan
> jatidiri Tionghoa Indonesia mau dihapuskan, digantikan dengan sejarah
> non-Tionghoa Indonesia versi Taman Mini yang―lagi-lagi―“ngga karuan
> juntrungannya”???
>
> Owe harep itu perkara tida nanti sampe kajadian pada generatie muda kita
> sampe kapan juga. Muhun maaf seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.
>
> Kiongchiu,
> DK
>
> --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. 
> com<http://mc/compose?to=budaya_tionghua%40yahoogroups.com>,
> Tjandra Ghozalli <ghozalli2002@ ...> wrote:
>
> Bab. 1
>
> Dear members,
>
> Memang soal sumbangan bukan hal mudah. Historisnya dahulu pa Harto
> menyerahkan lahan TMII kepada pak Tedy hanya 1 ha untuk warga Tionghoa
> sedang 1 ha lagi utk warga India dan 1 ha lagi utk warga Arab. Tetapi dalam
> perjalanannya lahan untuk warga India dan Arab dikembalikan ke pa Harto,
> karena menurut mereka, sulit mendapatkan dana dari warga mereka yang umumnya
> tidak kompak. Lalu pa Harto serahkan semuanya kepada pa Teddy.. Entah kenapa
> pa Tedy terlalu “PD” mungkin dianggapnya warga Tionghoa yg populasinya no.3
> setelah warga Jawa dan Sunda serta terkenal dengan kekompakannya dan suka
> saling bantu (itu sebabnya ada legenda yg menyatakan orang Tionghoa cepat
> maju karena di antara mereka suka saling tolong), ditambah lagi banyak warga
> Tionghoa sudah berhasil dalam bidang usaha - masa sih dalam waktu 6 tahun
> anjungan tidak jadi? Maka diterima semuanya, bahkan serah terima juga tak
> lancar karena harus membebaskan lahan tsb dari penduduk ilegal yg suka main
> keras. Untung pa Tedy juga pensiunan petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa
> orang donatur maka lahan tsb sekarang terbebaskan. Tapi setelah 6 tahun toh
> lahan tersebut belum terbangun main buildingnya. Padahal anjungan
> tetangganya (anjungan Kong Hu Cu) yg jauh lebih muda telah berdiri dgn megah
> (tentu anda tahu kenapa demikian). Nah sekarang ketua umum PSMTI yg baru
> yakni pa Rachmat (katanya orang terkaya no.140 di Asia) menyatakan dalam
> orasi di Munas PSMTI bulan Nopember silam, bahwa kalau dia terpilih jadi
> ketua umum maka dalam kurun 4 tahun dia akan bangun main building Taman
> Budaya Tionghoa yg megah (ada pagoda segala dan danau buatan di kelilingi
> pohon Liang Liu yg indah utk perayaan Peh Chun). Disain ini bukan replika
> dari rumah kuno para tuan tanah Tionghoa, tetapi sama sekali baru. Selain
> itu beliau juga minta partisipasi dari warga Tionghoa utk menyukseskannya,
> karena Taman Budaya Tionghoa Indonesia ini nantinya bukan milik PSMTI namun
> milik kita semua. Nah, sebaiknya kita lihat saja apakah janji pa Rachmat
> dapat dipenuhinya? (biasanya calon pemimpin suka lupa janjinya kalau sudah
> diangkat ��" mudah2an tidak demikian). Tapi bagi para sianseng yg kebetulan
> berjiwa sosial serta berkeinginan dan berkemampuan, dipersilahkan ikut
> menyumbang via Dompet Peduli di majalah POST Media. RGDS. Tjandra G
>
> Bab 2
>
> Saya adalah pengamat dari miliser Pecinta Kereta-api Indonesia. Karena hobi
> saya adalah model kereta api. Di milis Pecinta Kereta-api Indonesia ada
> kegiatan untuk menyelamatkan lokomotif tua. Pada tahun 2008 silam Pecinta
> Kereta-api Indonesia telah berhasil menyelamatkan lokomotif diesel BB-200
> dan lokomotif listrik “bon-bon” CC-300 yang tadinya sudah mau dikiloin oleh
> PJKA sebagai besi tua. Selain itu member milis ini juga telah berhasil
> menghidupkan kembali stasiun Tanjung Priok yg tadinya sudah mau dijual untuk
> dijadikan Plaza Tanjung Priok.. Tetapi berkat perjuangan mereka yg gigih
> akhirnya wali kota Jakarta Utara setuju untuk memugar stasiun tersebut.
> Uniknya para member milis ini tak segan segan beli cat, amplas, dan
> peralatan lainnya dari kocek sendiri, lalu setiap Sabtu dan Minggu mereka
> pergi ke dipo lokomotif Jatinegara dan Manggarai untuk merenovasi lokomotif
> tua beramai ramai. Hanya bagian mesin yg dikerjakan oleh PJKA, selebihnya
> anggota milis Pecinta Kereta-api yang melakukannya. Setelah selesai renovasi
> (dengan cat baru dan bisa jalan) maka diadakan acara syukuran dan difoto
> untuk majalah komunitas mereka “Kereta Api”. Saya juga setuju kalau di
> kalangan miliser Budaya Tionghua mau merenovasi bangunan tua seperti itu ��"
> mungkin ada member yang mau menjadi penggerak “swadaya renovasi bangunan tua
> Tionghoa Indonesia”? Di mana secara beramai ramai dan gotong royong
> merenovasi peninggalan sejarah tersebut ��" kami dari majalah POST Media
> sepenuhnya mendukung kegiatan ini dan kami akan meliputnya mulai dari A
> hingga Z. Mari kita segera ambil aksi nyata untuk membuktikan bahwa kita
> peduli terhadap bangunan sejarah warga Tionghoa, seperti halnya Pecinta
> Kereta-api Indonesia peduli dengan lokomotif tua dan bangunan (stasiun) tua.
> Sambil menunggu tanggapan dari para sianseng ��" saya mohon maaf bila ada
> kesalahan kata. RGDS. Tjandra G
>
>
> "
> ------------------------------
>  Apakah saya bisa menurunkan berat badan?
> Temukan jawabannya di Yahoo! Answers! "
> 
>

Kirim email ke