Kalo saya ditanya, apakah saya mendukung harga BBM naik? Saya jawab tidak. lho disuruh banyak lebih mahal siapa yg mau? ..
Soal perhitungan Subsidi BBM di APBN, di millis ini bertahun2 yg lalu, pernah dibahas. Itu tergantung cara pandang, apakah minyak yg diangkat dari bumi Indonesia ini mau dihargai nol (sebagaimana argument pak Kwik) atau mau dihargai sesuai harga minyak di pasar. Kalo dihargai nol, ya tinggal ditambah dg biaya pengolahan dan distribusi, segitulah yg harus dibayar rakyat, mungkin Rp. 3000/4000 per liter. Tapi artinya kita mengambil kekayaan bumi Indonesia secara murah untuk manfaat ekonomi sekarang. Kecuali kita yakin bahwa manfaat ekonomi yg bisa dihasilkan begitu besarnya sehingga dapat menutup ongkos2 ekonomi dimasa yg akan datang, termasuk kemungkinan akan habisnya cadangan minyak kita. Hanya dengan demikian, kita terhidar dari rasa bersalah kepada anak cucu kita karena kita menggunakan kekayaan Indonesia (baca cadangan BBM) sebanyak-banyaknya dengan murah. Saya sebenarnya rada "bosan" dengan jargon ekonomi liberal vis a vis dengan system ekonomi"whatever" , yg dikemukakan pak Kwik, Drajad kan "cuma" alternative solusi atau pendekatan dalam mengurus ekonomi. Jadi bukan benturan ideologi ekonomi. Apakah jika Kwik atau Drajad ditunjuk menjadi Menko Perekonomian, dia akan menghapuskan praktek kompetisi yg sehat? Apakah dia akan menasionalisasi Freeport, Exxon dll? Atau dia akan menurunkan harga BBM sampai dengan harga 0 + biaya penyulingan + biaya distribusi? Mengenai outsourcing, orang paling sering lupa terhadap manfaatnya. Karena di Indonesia, yg namanya "outsource" lebih diartikan untuk tipe pekerjaan "kelas rendah" semisal cleaning services, satpam, petugas karcis dll. Jelaslah kalo untuk pekerjaan seperti ini untuk di Indonesia secara umum sekarang supply lebih besar daripada demand. Dari kacamat ini seolah-olah, posisi tawar pekerja menjadi lebih rendah. Tapi ini ngak bener. Saya kasih contoh sederhana, di perbankan untuk kualitas service, bahkan komponen "satpam" ikut dinilai. Satpam sekarang bukan hanya sekedar penjaga pintu dengan kumis melintang, tapi dia harus menjadi greater yg baik, menanyakan kebutuhan nasabah dan bisa memberikan rekomendasi ke counter atau petugas bank yg paling tepat yg bisa melayani nasabah. Bisa dibayangkan jika tiba2 Satpam yg telah terlatih tetapi berstatus outsource, tiba2 mogok, apa yg terjadi? Bahkan karyawan bank pun tidak bisa menggantikan mereka. Jadi siapa yg bilang posisi tawar mereka rendah? Belum lagi untuk jasa public accountant, lawyer, tax consultant apakah bukan outsource juga, namanya? Apakah HRD mau bersusah punya "memelihara" karyawan untuk pekerjaan kelas tinggi, tapi hanya dibutuhkan sekali-kali seperti itu? . issue outsourcing jelas hanya untuk komoditas politik. mestinya yg didikusikan adalah strategic grand design untuk meningkatkan kualitas perusahaan dan karyawan outsourcing ini... Lalu, sebenarnya apa sih yg ditawarkan Amran Nasution selain menakut-nakuti dengan "blackwater" di Iraq yg dicap sebagai anak kandung ekonomi liberal? Salam, Oka Widana From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Yurnalis Sent: Wednesday, May 28, 2008 8:55 AM To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: [Keuangan] Kapitalisme-Laissez-Faire Oleh: Amran Nasution Harga bahan bakar minyak (BBM) naik akhir Mei 2008. Itu sudah keputusan Pemerintah SBY-YK. Mahasiswa bisa saja menolak dan melakukan demonstrasi merata hampir di seluruh Indonesia, dari Padang sampai Kendari, dari Jakarta sampai Ternate. Tapi harga bensin tetap harus naik. Para ekonom atau pengamat bisa saja protes. Kwik Kian Gie siap dengan hitung-hitungan bahwa tak betul rakyat disubsidi lewat harga BBM. Pemerintah ternyata sudah memperoleh keuntungan berlipat-lipat selama ini, dengan menjual bensin Rp 4500/liter. ''Mau debat dengan siapa saja, di mana saja, dari dulu saya siap. Tapi mereka diam saja,'' kata mantan Kepala Bappenas itu. Ekonom dan anggota DPR Drajat Wibowo bisa saja bersikukuh tak ada mashalat dengan APBN sekali pun harga BBM tak naik. Ia ajari cara menyusun APBN, antara lain, dengan menunda pembayaran cicilan utang. Dengan itu Drajat ingin menunjukkan adalah bohong pernyataan yang menyebutkan APBN akan jebol kalau harga minyak tak dinaikkan. Ia prihatin, begitu harga BBM naik harga semua kebutuhan pokok turut naik pula. Maka rakyat yang selama ini daya belinya sudah merosot, menjadi korban. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, menunjukkan begitu. ........... Yang hendak dikatakan, Foreign Policy bukan majalah yang diterbitkan dari pinggir got. Indonesia memang betul-betul negara gagal, satu kelompok dengan Sudan, Somalia, Iraq, Afghanistan, Zimbabwe, Ethiopia, atau Haiti. Salah satu ukurannya: pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Nah, kalau mau jujur, memang begitulah persis potret negeri kita sekarang. ............. Begitu pun kenyataannya tetap saja harga minyak harus naik. Apakah rakyat tambah menderita seperti dikhawatirkan Kwik Kian Gie atau Drajat Wibowo dan kawan-kawan, tak ada mashalat bagi pemerintah. Soalnya, ini sudah tak bisa ditawar. Ini sebetulnya untuk kepentingan ideologi. Ideologi? Barang siapa membaca buku terlaris dari Naomi Klein, The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (The Penguin Group, September 2007), akan terang-benderanglah motif sebenarnya di balik langkah pemerintah menaikkan harga BBM atau mengobral 37 perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) kepada asing. Itu semata-mata untuk menegakkan ideologi kapitalisme-laissez-faire, atau di sini dikenal sebagai sistem ekonomi liberal, yang dianut pemerintah kita. Inilah sistem ekonomi pasar yang menyerahkan urusan ekonomi kepada perusahaan swasta dengan campur tangan pemerintah sebisa mungkin dihilangkan. Sistem ini menginginkan pemerintah tidur saja. Pemerintah tetap tak boleh mencampuri urusan ekonomi, sekali pun hanya untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin. Dalam pandangan ideologi ini, jika pemerintah mengurusi perekonomian orang miskin, itu sama artinya melakukan redistribusi kekayaan, menyebabkan orang menjadi malas dan kehilangan kreativitas. Kalau orang jadi miskin, biarkan saja miskin. Karenanya dia disebut sistem laissez-faire, dari bahasa Perancis: biarkan terjadi. Ciri khasnya: deregulasi, pajak rendah (terutama untuk pengusaha kaya, agar mereka lebih cepat melakukan akumulasi modal untuk meningkatkan kemampuan bersaing), swastaisasi/privatisasi, anti-subsidi, anti-pengaturan upah buruh minimal, dan semacamnya. Tentang upah buruh, misalnya, serahkan saja kepada mekanisme pasar, jangan diatur-atur pemerintah atau serikat buruh. Mekanisme pasar akan bekerja menentukan upah yang pantas untuk buruh. Artinya, semua terserah pengusaha. Karena itu belum bisa terlaksana, dunia perburuhan kita memakai sistem buruh terputus (off-sourcing), sehingga posisi tawar pengusaha kuat ketika berhadapan dengan serikat buruh. ................ Coba bayangkan, militer saja diprivatisasi di Iraq. Pemerintah mengontrak perusahaan Amerika, Blackwater Worldwide - yang sebelumnya sudah terancam bangkrut - untuk proyek jasa pengamanan para kontraktor minyak dan proyek bisnis lainnya. Termasuk untuk mengamankan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan personalnya di kawasan zona hijau (Green-zone), Baghdad. Sekitar 30.000 pasukan Blackwater betul-betul mirip tentara dengan persenjataan lengkap berkeliaran di Baghdad dan sekitarnya. .............. ............... Padahal September lalu, sejumlah pasukan Blackwater, pengawal konvoi pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang berkunjung ke Baghdad, entah mengapa tiba-tiba menembaki kendaaran yang ada di jalan umum sekitarnya. Akibatnya, 17 orang meninggal, sejumlah lainnya luka-luka. Para pelaku penembakan sampai sekarang bebas tanpa diadili, dengan dalih belum ada undang-undangnya. Serangan dahsyat tsunami akhir 2004 di Sri Langka, tak luput dari inceran kaum kapitalis. Penanam modal asing bekerjasama dengan bank internasional memanfaatkan situasi panik akibat bencana, untuk menguasai garis-garis pantai yang indah. Di sepanjang pantai dengan cepat berdiri resor wisata yang megah, hotel, villa, motel, dan sebagainya, menyebabkan ratusan ribu nelayan yang semula mendiami kawasan itu, kini tergusur. Jelaslah sekarang bagaimana sistem kapitalisme global bekerja untuk mencapai tujuan: memanfaatkan momentum trauma kolektif dari suatu krisis, musibah atau bencana, untuk melaksanakan rekayasa sosial dan ekonomi di berbagai belahan bumi. [berlanjut....] [Non-text portions of this message have been removed]