At 08:55 AM 5/28/2008, you wrote:

>Oleh: Amran Nasution
>
>Harga bahan bakar minyak (BBM) naik akhir Mei 2008. Itu sudah keputusan
>Pemerintah SBY-YK. Mahasiswa bisa saja menolak dan melakukan demonstrasi
>merata hampir di seluruh Indonesia, dari Padang sampai Kendari, dari Jakarta
>sampai Ternate. Tapi harga bensin tetap harus naik.
>Para ekonom atau pengamat bisa saja protes. Kwik Kian Gie siap dengan
>hitung-hitungan bahwa tak betul rakyat disubsidi lewat harga BBM. Pemerintah
>ternyata sudah memperoleh keuntungan berlipat-lipat selama ini, dengan
>menjual bensin Rp 4500/liter. ''Mau debat dengan siapa saja, di mana saja,
>dari dulu saya siap. Tapi mereka diam saja,'' kata mantan Kepala Bappenas
>itu.


Apa iya Pak Kwik itu ekonom?
Menurut saya Pak Kwik itu politikus.  Beliau secara de facto sudah 
berhenti menjadi ekonom sejak beliau mengatakan "Minyak Indonesia 
harganya nol".

Mengapa?  Karena semua ekonom tahu bahwa harga adalah fungsi dari 
supply (pasokan) dan demand (permintaan).  Bila ada sesuatu harganya 
nol -- itu cuma bisa terjadi bila tidak ada pasokannya (contoh barang 
imajinatif) atau tidak ada demandnya.  Dan sangat jelas bahwa minyak 
Indonesia tidak memenuhi kedua hal tersebut.

Selain itu, harga juga bisa diterjemahkan sebagai ongkos 
(cost).  Bukan cuma cost yang ditimbulkan saat ini - tetapi juga 
opportunity cost di masa depan.  Menganggap sesuatu tidak ada 
cost-nya jelas merupakan distorsi realita.  Dan bila ekonomi tidak 
terkait dengan realita -- saya tidak tahu lagi mahluk apa yang sedang 
diomongkan.

Atas hal tersebut maka saya berpendapat semua pendapat Pak Kwik 
adalah semata-mata pendapat seorang politikus BUKAN seorang 
ekonom.  Semata-mata karena beliau sudah berhenti berpikir seperti 
seorang ekonom.

>Ekonom dan anggota DPR Drajat Wibowo bisa saja bersikukuh tak ada mashalat
>dengan APBN sekali pun harga BBM tak naik. Ia ajari cara menyusun APBN,
>antara lain, dengan menunda pembayaran cicilan utang.

Utang yang mana?
Bagian besar dari utang Indonesia adalah dalam bentuk SUN (Surat 
Utang Negara) yang dimiliki oleh warga Indonesia dan juga investor 
asing (kira-kira 15%).  Bagian besar dari SUN itu dipegang oleh 
perbankan nasional, dana pensiun, asuransi, reksa dana dll.

Apa Drajat Wibowo berani mempertanggung jawabkan hal itu kepada para 
investor lokal semisal para pensiunan misalnya?

Kalau pemerintah menunda membayar cicilan utang tersebut -- maka yang 
celaka tentunya adalah sistem keuangan nasional.  Bila harga SUN 
hancur karena pemerintah "menunda" pembayaran utangnya (a.k.a. 
ngemplang) - maka tingkat bunga akan naik (karena harga obligasi 
bergerak berlawanan dari yield) -- dan ini bisa merusak seluruh 
sistem keuangan nasional -- sekaligus menghancurkan kepercayaan 
terhadap rupiah.

Bila rupiah tidak lagi dipercaya -- orang akan pegang mata uang 
asing.  Mungkin mata uang Timor Leste.
Dan itu berarti kedaulatan Indonesia sudah berpindah ke pemerintah 
negara tersebut.


>Dengan itu Drajat ingin menunjukkan adalah bohong pernyataan yang
>menyebutkan APBN akan jebol kalau harga minyak tak dinaikkan. Ia prihatin,
>begitu harga BBM naik harga semua kebutuhan pokok turut naik pula. Maka
>rakyat yang selama ini daya belinya sudah merosot, menjadi korban.
>Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, menunjukkan begitu.

Siapa sih yang mau harga minyak naik?
Siapa sih yang senang harga minyak bumi naik? (mungkin Ahmadinejad dan Chavez)

Itu berarti kenaikan BBM 2008 memang terpaksa dilakukan.
Ongkosnya memang mahal (baik itu ongkos ekonomi atau ongkos politik) 
-- TETAPI kalau tidak dilakukan maka ongkos yang harus ditanggung 
akan menjadi JAUH lebih mahal lagi.

Ongkos tersebut akan muncul dalam bentuk defisit anggaran yang 
melebar.  Dan untuk setiap pertumbuhan defisit -- harus tersedia uang 
untuk menutupnya.  Bila defisit melebar sampai 2% dari APBN 2008 -- 
itu berarti setara dengan 2% x Rp. 4800 Trilyun = Rp. 96 Trilyun.

Dari mana bisa dapat duit Rp. 96 Trilyun...?


Kirim email ke