Memang susah kalau negara sudah terlanjur terjerat utang dan hidupnya sangat dependent terhadap pasar (baca : para kapitalis). Pilihan2 yang bisa diambil hanya optimasi lokal, yang selalu berdampak tidak memuaskan di sana-sini. Nyaris tidak pernah ada kebijakan yang radikal dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Terlebih para pengambil kebijakannya terlalu risk averse thd reaksi pasar, tapi sangat berani mengambil resiko utk mencelakai rakyat. Mungkin memang realita yang harus kita akui, bahwa bagi Indonesia pasar (sekali lagi baca : para kapitalis, yg bbrp gelintir jumlahnya) jauh lebih berkuasa daripada rakyat yang lebih dari 200 juta.
Tentu kondisi ini tidak langsung terjadi begitu saja sejak RI merdeka tahun 1945. Dalam pandangan saya, hanya presiden pertama RI yang sungguh2 negarawan, yang mempergunakan kekuasaannya semaksimal mungkin untuk kepentingan bangsa. Presiden2 selanjutnya, kita tahu track record kebijakannya :-( Deni Ridwan wrote: > > Saya sepakat dgn Bang Poltak, > > Tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan harga SUN pada saat ini salah > satunya merupakan kontribusi atas ketidak percayaan market atas APBN > akibat tingginya subsidi BBM. > Kalau harga BBM dipertahankan tapi nilai rupiah kemudian anjlok, sama > artinya pemerintah (dan BI) mempertahankan harga BBM tetap tapi > "menaikkan" harga semua barang lainnya. > Belum lagi kalau kita bicara ttg harga SUN. Jika harga SUN anjlok > tentu akan menambah cost of fund yg harus dikeluarkan pemerintah dalam > rangka menutup defisit anggaran (yg most likely bakal dibiayai dgn > menerbitkan SUN). > > Mohon koreksinya. > > Salam, > Kangdeni >