P. Sudja dan Mbak Vieb,

Jadinya seru ya bernostalgia tentang jl. Lamandau dan sekitarnya.
Nyambung sedikit, saya pernah menginap semalam di rumah P. Sudja di
Jl. Lamandau. Waktu itu sekitar tahun 2005 kalau nggak salah. Saya
bersama seorang teman dari desa Pemaron, Pak Dewa Made Suarsana.
Lamandau sangat dekat dengan Blok M Mall, saya dan P. Dewa ditraktir
makan malam di Blok M Mall tsb.

Ada kejadian lucu, Sepulang dari makan malam, sesampai di rumah dan
setelah mengobrol sebentar, eh tiba-tiba mati lampu di rumah P. Sudja.
Saya waktu itu keheranan, kok bisa ya mantan pejabat PLN seperti P.
Sudja (pernah menjabat Direktur LMK PLN), lampunya dimatikan oleh PLN.
Ini pasti kebangetan. Saya waktu itu jadi menghubung-hubungkan juga
antara kedatangan saya dkk siang itu ke DPR RI memprotes PLTGU
Pemaron, peran P. Sudja yang membantu perjuangan penolakan PLTGU
Pemaron, dan lampu yang mati tiba2. Selidik-punya selidik, telpon
sana, telpon sini oleh P. Sudja, akhirnya ketahuan bahwa rupanya ada
trafo yang terbakar disekitar Lamandau.

Mengenai uraian P. Sudja, saya pikir sudah sangat jelas dan bisa
dipahami. Sudut pandang p. Sudja adalah "least cost" dalam produksi
energi untuk memenuhi kebutuhan energi. Bahwa sampai saat ini batubara
belum tertandingi oleh sumber-sumber energi lainnya dalam hal
menghasilkan biaya pembangkitan energi yang paling murah. Selain itu,
melalui batubara juga dimungkinkan pembangkitan energi listrik dalam
kapasitas besar, dimana hal ini sangat sulit dilakukan melalui
renewable energy. Oleh karena itulah, negara-negara industri besar
akan sangat sulit meninggalkan batubara.Tetapi batubara tidak hanya
memiliki keunggulan, dia juga punya banyak kelemahan. Salah satu yang
paling disorot adalah keluaran gas CO2 nya.

Setiap sumber energi memiliki kelebihan maupun kekurangannya, oleh
karena itu solusi setiap wilayah akan sangat berbeda. Solusi pemenuhan
listrik untuk di jawa akan berbeda dengan solusi untuk kalimantan, dan
juga akan berbeda untuk bali.

Setelah kita memahami plus minus setiap sumber energi tsb, maka
diskusi mari kita fokuskan : Solusi apa yang terbaik untuk bali ?

salam
wisnaya

On 1/19/08, Nengah Sudja <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Yth M Vieb,
> Restauran Mendawai tak ada lagi , setelah pemiliknya meninggal .Sekarang
> jadi kantor. Anaknya Adji Notonegoro, jadi   perancang busana & pengusaha
> pakaian,  punya toko boutiq  di Jl. Barito III.
>
> Dokter anak di Jl. Melawai sudah tidak ada. Kalau ngak salah itu dr.
> Hutagalung, anak perempuannya kawin dengan
> Prof. Drs. Adnyana Manuaba dari Udayana. Yang  dulu tinggal di Jl. Lamandau
> III /no7 , Almarhum  Pak Manuaba (bukan Prof), dengan Ibu + 3 anak laki2..
> Orang tua  Prof. Adnyana Manuaba,  Pak Manuaba, dulu  anggota DPR (dari)
> PNI sampai 1968 .
>
> Di Jl. Mendawai Raya sekarang bayak restaurannya. Dan  banyak rumah-rumah
> baru dibangun, bertingkat tiga.
> Di Jl Lamandau III kini dibangun banyak rumah bertigkat gaya minimalis.
> Sudah lain suasananya dengan  tahun 1970-an.
>
> Sekali-sekali kalau ke Jakarta, tengoklah lagi RW11, Jl. Lamandau/ Jl.
> Mendawai.
> Silahkan mampir.
>
> SALAM.
> Nengah Sudja.
>
>
>
> From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
> Asana Viebeke Lengkong
> Sent: Saturday, January 19, 2008 2:39 PM
> To: bali@lp3b.or.id
> Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
>
> P Sudja,
>
> Saya masih di Sungai Pawan ketika 68 an, kalau ingat rumah kita penuh sesak
> oleh mahasiswa th 72 an karena kakak saya hilang di pantai Kuta, kami putra
> putri dari Kusumatirta S. Gautama di Sungai Pawan No. 2 persis di depan
> rumah Sukada; wah dunia kecil sekali ya..... dulu kus plus di Mendawai IV
> terus pindah ke Sungai Pawan bawah dekat pasar burung di barito itu....
>
> Wahyu pelukis terkenal pindah dan tinggal di Bali, restaurant mendawai masih
> ada? Salah satu nenek saya tinggal persis di depan Prof. Manuaba; Salah satu
> kakek saya yang menciptakan stenography Karundeng; dan di Lamandau ketika
> nenek tinggal dengan putrinya (tante saya) yang nikah dengan Dan Maukar yang
> pernah coba tembak Sukarno ti istana Bogor dari pesawat terbang; putri nya
> yang lain dapat Mahaputra dari RI; wah seru ya pak sejarah sejarah kita....
>
> Wah seru deh... Dokter anak terkenal sekali masih di Jl. Mendawai?
>
> salam, vieb
> ----- Original Message -----
> From: Nengah Sudja <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
> To: bali@lp3b.or.id
> Sent: Saturday, January 19, 2008 1:20 PM
> Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
>
> Yth. M Viebeke, Semeton Sareng Sami
>
> Wah rupanya apa yang saya uraikan,  diskusi yang kami lakukan tak mudah atau
> belum dapat dimengerti, ya.
> Maafkan, .... saya akan coba menyampaikan penjelesan lebih lanjut.
> Agar diskusi lebih mudah akan saya jawab mengacu pada urutan pertanyaan/
> tanggapan yang disampaikan.
>
> Wah saya ini hanya mampu baca baca saja karena terlalu serem untuk saya
> bicara soal listrik (sangat sadar bahwa ada masyaraakt yang belum menikmati
> listrik, dan juga banyak yang masih punya kemampuan ekonomi lemah jadi kalau
> pakai listrik juga susah)
> Ngak ada  yang serem, perlu ulang baca kembali, mana yang tidak dimengerti
> tanyakan. Ratio elektrifikasi (RE) di Indonesia
> sekitar 59 % ; di Bali 70,62 % (Statistik PLN 2006). RE didefinisikan, ratio
> jumlah rumah tangga yang telah memperoleh sambungan listrik (PLN) dari
> seluruh jumlah rumah tangga.
> Pelanggan PLN  daya terpasang 450 VA (umumnya untuk rumah tangga "miskin"),
> kalau hemat  pembayaran listriknya  bisa
>  Rp 10 000- Rp 15000  per bulan. Atau rata-rata dibawah Rp 500 per hari.
> Apakah  pemakaian minyak tanah untuk lampu
> sentir atau lampu "stormking"  dapat lebih murah?. Pilihan terbaik  bagi
> masyarakat sambungan  listrik PLN. Bagi masyarakat yang miskin sekali (
> tidak mampu menerangi rumahnya di malam hari) memang mereka tidak punya
> pilihan.
>
>  Baca punya baca.... kita ini sedang berjuang katanya untuk 'renewable
> energy' salah satu upaya adaptasi climate change.... sedang kan P Sudja
> bicara terus mengenai batu bara.......... ..... saya bingung juga ini karena
> diskusinya jadi alot juga ya... kesepakatan bersamanya nggak kelihatan.....
> sedangkan kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2, tapi
> kalau soal sosial lain lagi jawabannya....
> Apa adaptasi climate change hanya dengan  renewable energy ? Tidak, bisa
> melalui berbagai cara, ada juga yang bilang bangun PLTN misalnya. Saya
> mengartikan adaptasi climate change , bagaimana mengatur pemenuhan kebutuhan
> energi dunia tanpa menyebabkan ada  perubahan iklim, terutama oleh gas rumah
> baca khususnya CO2. Untuk memenhui kebutuhan energi dunia, energi fossil
> masih merupakan pilihan termurah. Minyak untuk trasportasi , batubara untuk
> pembangkitan tenaga listrik. Ambil contoh Jepang impor 170 juta ton (2006),
> Amerika Serikat  pemakaian batubara-nya  999 juta ton (2006). Karena
> murahnya. Penghematan pemakaian fossil perlu dilakukan terutama oleh Negara
> industri.
>
> Ingat  diskusi  ini  mulai dengan rencana pembangunan PLTU Celekan Bawang,
> yang dikritik akan menyebabkan pemanasan global, pengrusakan hutan-hutan
> dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi seakan-akan  renewable energy
> merupakan solusinya untuk Bali. Saya mencoba terus menjelaskan bahwa
> renewable energy mahal. Batubara masih merupakan solusi termurah,
> mengapa kita  menolak batubara (asal perencanaan dan dampak lingkungannya
> diatur, ambang batas dijaga)?.
> Negara maju saja masih terus memilih pemakian batubara untuk pembangkitan
> tenaga listriknya, bahkan bersedia membeli emisi CO2 sehingga tetap bisa
> memakai fossil/batubara. Saya terpaksa  terus bicara batubara karena
> pembahasannya belum jelas dan belum selesai. Di Koran Kompas ( 19/1/08,
> halaman 23) ditayangkan pengupasan, pengrusan  lokasi lingkungan
> pertambangan PT Andaro di Kalimantan Selatan. Mengerikan kalau dibiarkan dan
> tidak dilakukan reklamasi. Indonesia produksi
> 2007 sebesar 200 juta ton, pemakaian di dalam negeri 40 juta ton, 160 juta
> diekspor untuk pengembangan Negara lain.
>
> .saya bingung juga ini karena diskusinya jadi alot juga ya..... Diskusi
> walaupun alot tetap diperlukan, yang penting pembahasan terus jalan. Diskusi
> itu perlu rincian. "The Devil is in Details.".  Even the grandest project
> depends on the success of the smallest components.Kutu-kutu hanya bisa
> diketemukan dalam rinciaan.  Jadi jangan enggan atau malas tetapi sabar
> untuk terus melakukan dialog.
>   kesepakatan bersamanya nggak kelihatan.... Apa ya? Saya kira diskusi
> terakhir sudah mulai ada titik terang " putiknya"........ biodiesel bisa
> menggantikan solar pada tingkat harga minyak bumi diatas 60 $ perbarrel
> (kalau harga biodiesel Rp. 3500 per liter). Sedangkan
> tarif listrik 7 sen $ per kWh (berbasis mixed fuel didominasi batubara)
> biodiesel  tidak bisa bersaing. Contoh yang jelas, banyak hotel, restoran
> yang mempunyai  generator diesel sebagai cadangan. Ketika pasokan listrik
> PLN tak terganngu, diesel cadangan tak diopersikan (karena listrik PLN lebih
> murah). Kalau PLN mati, diesel generator cadangan baru dioperasikan. Kalau
> mau lebih hemat lagi, bahan bakar generator cadangan yang semula pakai solar
> diganti dengan biodiesel. Tapi biodiesel tak lebih murah dari listrik PLN.
> kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2 . Apa ya?
> Tergantung dari apa yang dibicarakan dan teknik mana? Beberapa
> masalah teknik tingkat pastiannnya berbeda, di geologi misalnya 2x2 belum
> tentu 4 , bisa 3,5 atau bisa 5, bahkan pengakuan ahlinya!?
> tapi kalau soal sosial lain lagi jawabannya.... Contoh lain lagi, ilmu
> sosial lebih besar  tingkat ketidakpastian (uncertainty)-nya , selera serta
> budaya tingkah laku manusia, masyarakat.
>
> Sebagai sesepuh tentu kita ingin tau sebenarnya di belakang pengertian dari
> dua sisi berseberangan ini?  Batubara versus renewable energy versus area
> abu abu?  Kok pakai sesepuh, apa relevansinya? Tak ada relevansinya dengan
> kakek, laki, perempuan, ataupun anak kecil. Yang menentukan, isi  pendapat
> yang disampaikan, termasuk pendapat dari rakyat kecil, apa bisa diterima?.
> Kehidupan modern perlu pasokan energi , baik batubara maupun  renewable
> energy. Masalahnya  mana yang dapat memberikan solusi optimal, artinya
> solusi dengan biaya termurah, tanpa melanggar syarat batas seperti  ambang
> lingkungan hidup, tingkat keandalan. Abu-abu terjadi karena masalahnya tidak
> atau belum dimengerti, malahan   tidak  mau melakukan pembahasan atau
> mencari rinciannya.
> Padahal kata orang   keindahan itu justeru ada pada  rinciannya. "God  is in
> Details." ( para undagi, pematung, architet Le Corbusier, seniman sering
> menemukannya).
>
> Saya bukan pejantan, tapi berani aja tanya tanya..... hehe . ... jantan
> karena berani bertanya.
> Saya terpaksa menjelaskan panjang lebar , ingat kelakar teman,  apa itu
> Kukubima. ( Kalau Kurang  Bini Marah). He,he.........jadi terpaksa beri
> penjelasan panjang .... misi  megesah amedik , boleh kan. Agar  sedikit
> santai, mudah-mudahan bisa lebih mudah  dimengerti. Kalau masih  belum
> dimengerti bisa diulang lagi..... enak kok ...asal sabar, tahan.
>
> P Gde Wisnaya, moderator milis ini, satu jurusan dengan saya, jurusan
> elektro, kiranya diberi moderasi agar lebih mudah mengerti uraian saya.
> Tolong, ya, terima kasih. Buatkan kesimpulan kalau sudah disepakati.
>
> Saya tinggal sejak 1968 di Lamandau (Raya) No.21. Dari Jl. Barito ke kiri
> terus ke Jl. Lamandau III ( Pak Manuaba, Jl. Lamandau III. no.7) memotong
> Jl. Lamandau dan kalau terus  rumah saya (rumah nusuk sate). Mary Pangestu
> tinggal di Jl Lamandau No.16, nomor genap. Setahun yang lalu Ibu Pangestu
> (ibunya Mary) meninggal dunia. Pak Sukada bersebelahan dengan rumah
> Pangestu, sudah lama meninggal. Sekarang rumah itu dihuni oleh Sonny Sukada
> dan adik perempuannya. Oh jadi tinggal di Jl. Sungai Pawan, ya, sekarang
> dinamai Jl. Lamandau IV. Untung sekolah di PSKD, bukan di SMP Bulungan yang
> sering tawuran, larinya lalu ke Jl. Lamandau.
>
> M Vieb, kemarin Kamis 18-1- 08 saya menyaksikan pembongkaran pasar kios
> bunga, kios ikan hias di Jl. Barito, walaupun sehari sebelumnya ada demo
> penolakan pembongkaran. Sulit beri tanggapan,  kita tak tahu rincian
> masalahnya. Yang jelas 508 lebih pedagang kecil (dan penanam bunga0
> kehilangan sumber kehidupan mereka. Banyak asset mereka yang hilang, rusak,
> seorang  wanita diinjak-injak kakinya oleh petugas pengamanan. Kok belum
> bisa dilakukan secara demokratis, tanpa kekerasan, ya?
>
> Mulai 20 s/d 25 Januari, saya keluar planet Lamandau , jadi selama itu saya
> absen dari kegiatan internet .
>
> SALAM.
> Nengah Sudja.
>  -----Original Message-----
> From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
> Asana Viebeke Lengkong
> Sent: Thursday, January 17, 2008 7:17 PM
> To: bali@lp3b.or.id
> Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
> P Sudja selamat malam,
>
> Wah saya ini hanya mampu baca baca saja karena terlalu serem untuk saya
> bicara soal listrik (sangat sadar bahwa ada masyaraakt yang belum menikmati
> listrik, dan juga banyak yang masih punya kemampuan ekonomi lemah jadi kalau
> pakai listrik juga susah)
>
> Baca punya baca.... kita ini sedang berjuang katanya untuk 'renewable
> energy' salah satu upaya adaptasi climate change.... sedang kan P Sudja
> bicara terus mengenai batu bara...... saya bingung juga ini karena
> diskusinya jadi alot juga ya... kesepakatan bersamanya nggak kelihatan.....
> sedangkan kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2, tapi
> kalau soal sosial lain lagi jawabannya.....
>
> Sebagai sesepuh tentu kita ingin tau sebenarnya di belakang pengertian dari
> dua sisi berseberangan ini?  Batubara versus renewable energy versus area
> abu abu?
>
> Saya bukan pejantan, tapi berani aja tanya tanya..... hehe
>
> Di Lamandau sudah berapa lama? apa dekat dengan rumah dari Prof. Manuaba
> yang dulu atau lebih dekat ke rumahnya Mary Pangestu?  Saya ketika kecil
> tinggal di rumah pojok di jalan Sungai Pawan lo Pak.....  Sempat masuk sd di
> PSKD yang pojok itu di depan rumah soalnya.. jadi kalau bel bunyi baru lari
> lari... Disana apa Keluarga Sukada masih ada?  Dulu keluarga Kus Plus juga
> ada di seputaran sana.....
>
> salam, vieb
> ----- Original Message -----
> From: Nengah Sudja <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
> To: bali@lp3b.or.id
> Sent: Thursday, January 17, 2008 1:10 PM
> Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
>
>
> Yth. Pak Wijaya Kusuma , Semeton Sareng Sami,
>
> Terima kasih atas input - inputnya. Yang jelas, membandingkan biodiesel
> tentu saja dengan solar, baik dari
> segi harga sampai dengan unjuk kerja engine. Membandingkan biogas tentu saja
> dengan lpg, dsb.
> Nah, sekarang saya  mengerti apa yang Anda maksud, biodiesel bersaing dengan
> solar.
> Ketika  harga solar  Rp.3500 per liter. Setara  tingkat harga 59,20 US $per
> barrel.
> Sementara,  harga minyak sudah berada pada tingkat 100 US$ per barrel.
> Tetapi biodiesel tidak bisa bersaing dengan tarif  listrik  berbasis mixed
> fuel yang didominasi batubara.
> Untuk  pembangkitan beban puncak dengan  gas turbin atau diesel power plants
> yang
> masih memakai solar,  biodiesel  bisa bersaing, tapi  tergantung pada
> keadaan setempat,
> bila tak ada pengganti solar misalnya  tidak tersedianya  gas alam atau
> hydro peaking unit. Jadi
> biodiesel bisa bersaing sebagai subsitusi solar, pada tingkat harga lebih
> murah dari solar.
>
> Sekalipun nantinya PLN atau Indonesia Power menggunakan jalur Jawa-Bali,
> masih banyak tenaga diesel yang ada di lapangan.
> Mulai dari genset, traktor, kapal laut, transportasi darat, dll, yang
> kebutuhan akan solar juga tinggi.
> Sementara itu, daya beli masyarakat sudah menurun.
> Kalau saluran 500 kV Jawa-Bali dibangun , pasokan biodiesel untuk PLN akan
> nol atau kecil kebutuhannya ,
> (hanya  untuk tambahan cadangan demi keamanan pasokan, saat terjadi
> pemadaman total, kalau pembangkit
> solar PLN masih dipertahankan di Bali).
> Potensi pemakaian biodiesel  justeru ada diluar  PLN   untuk sektor industri
> dan transpotasi. Di luar Jawa masih
>  banyak pembangkit listrik pakai solar, tapi sedang diupayakan mulai diganti
> dengan pembangkit batubara satuan kecil.
>
> Maaf pak Sudja, mengenai harga itu relatif dan tergantung bagaimana proses
> di hulu. Mulai dari pembibitan hingga
> pengolahan. Yang jelas, biaya produksi kami jelas kurang dari Rp. 3500 per
> liter.
> Saya mengerti harga itu relatif, yang penting  berapa harga yang ditawarkan
> di pasar. Yang saya pertanyakan dengan harga
> di hilir ( di pasar)  Rp.3500 per liter, berapa penghasilan yang diperoleh
> para petani di hulu (untuk bisa bayar bibit, perolehan
> upah yang pantas, sepadan agar  tetap mau menanam jarak) ?
> Posting saya mengacu pada upaya I Silvia mencari  alternatif solusi
> pemenuhan kebutuhan listriknya. Saya sampaikan
> yang termurah masih sambungan dari PLN  7 c/kWh, yang berbasis mixed fuel
> yang didominasi batubara.
> Malahan posting saya dimulai dengan tanggapan sebelumnya terkait  penolakan
> pembangunan PLTU Celukan Bawang
> yang dikaitkan dengan pemanasan global. Padahal  batubara merupakan bahan
> bakar murah untuk pembangkitan
> tenaga listrik. Jepang (yang lebih kecil luasnya dari Indonesia) mengimpor
> batubara 170 juta ton (2006) sedangkan
> Indonesia pemakaian batubaranya  baru 40 juta ton (2006). Mengapa  batubara
> yang merupakan sumberdaya energi murah mesti ditolak? Pengotoran, emisi
> perlu diatur dan dikendalikan. Itulah inti permasalahan perundingan
> perubahan iklim
> yang masih berlanjut sesudah di Bali.   Penolakan saya pada pembangunan PLTU
> Celukan Bawang bukan karena dipakainya batubara tetapi karena alasan tidak
> ada studi kelayakan yang sepatutnya diajukan dulu kepada masyarakat (public
> acceptance).
>
> Pak Sudja, kami berupaya mengembangkan renewable energy ini dengan tujuan
> seperti postingan sebelumnya.
> Pak Wijaya, saya angkat topi (kata orang Eropa), saya hargai kegigihan  Anda
> unutk mengembangkan
> renewable energy. You are a real dedicated engineer. Dunia ini dibangun oleh
> para insinyur , seperti
> Thomas  Edison, Rudolf Diesel. Para fisikawan  bekerja untuk menemukan
> konsep/ prisip dasarnya,
> para insinyurlah  yang meneruskan dengan kegigihan, fanatik....... made it
> workable, available, reliable.
> Para ekonomi  menimbang kelayakan, para pejabat (/penjahat)  yang membuat
> keputusan yang sering ngawur,
> pengusaha / penguasa /penjahat yang ambil untung dan ...........rakyat yang
> buntung.
>
> Kalau Bapak berkenan, bisa bantu kami. Misalnya, biodiesel kami bisa diuji
> coba secara gratis di LITBANG PLN (dulu LMK) dan
> disertifikasi. Kalau bagus, bisa dilanjutkan agar memperoleh sertifikasi
> dari luar negeri.
> Dengan senang hati akan saya bantu. Kalau sudah ada technical specification
> -nya. Akan saya bicarakan
> dengan Kepala LITBANG / Kepala Jasa Teknik.
>
> Saya kira pada tahap ini, diskusi kita baru muncul putiknya, belum menjadi
> bunga, semoga kelak bisa berbuah.
> Terima kasih untuk P Gde Wisnaya, pencipta  web site lp3b, patriarki,
> pejantan, bukan bangkung , pejantanpun
> kalau mau diskusi juga bisa reproduktif.
>
> SALAM .
> Nengah Sudja.
> Jl. Lamandau  Raya No.21,
> Kebayoran Baru,
> JAKARTA 12130.
> Tel. 720 3143.
> Fac. 720 1690.
> E-mail: [EMAIL PROTECTED]
>  -----Original Message-----
> From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
> Wijaya Kusuma
> Sent: Tuesday, January 15, 2008 9:42 PM
> To: bali@lp3b.or.id
> Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
> Pak Nengah Sudja dan saudara semuanya,
>
> Terima kasih atas input - inputnya. Yang jelas, membandingkan biodiesel
> tentu saja dengan solar, baik dari
> segi harga sampai dengan unjuk kerja engine. Membandingkan biogas tentu saja
> dengan lpg, dsb.
> Maaf pak Sudja, mengenai harga itu relatif dan tergantung bagaimana proses
> di hulu. Mulai dari pembibitan hingga
> pengolahan. Yang jelas, biaya produksi kami jelas kurang dari Rp. 3500 per
> liter.
>
> Sekalipun nantinya PLN atau Indonesia Power menggunakan jalur Jawa-Bali,
> masih banyak tenaga diesel yang ada di lapangan.
> Mulai dari genset, traktor, kapal laut, transportasi darat, dll, yang
> kebutuhan akan solar juga tinggi.
> Sementara itu, daya beli masyarakat sudah menurun.
>
> Pak Sudja, kami berupaya mengembangkan renewable energy ini dengan tujuan
> seperti postingan sebelumnya.
> Kalau Bapak berkenan, bisa bantu kami. Misalnya, biodiesel kami bisa diuji
> coba secara gratis di LITBANG PLN (dulu LMK) dan disertifikasi. Kalau bagus,
> bisa dilanjutkan agar memperoleh sertifikasi dari luar negeri.
>
> Salam,
>
> Wijaya.
>
>
>
> __________ NOD32 2788 (20080113) Information __________
>
> This message was checked by NOD32 antivirus system.
> http://www.eset.com
>
>
> __________ NOD32 2788 (20080113) Information __________
>
> This message was checked by NOD32 antivirus system.
> part000.txt - error - unknown compression method
>
> http://www.eset.com
>


-- 
Gde Wisnaya Wisna
Jl.Dewi Sartika Utara 32A
Singaraja-Bali
website : www.lp3b.com

--  
Milis Diskusi Anggota LP3B Bali Indonesia.

Publikasi     : http://www.lp3b.or.id
Arsip         : http://bali.lp3b.or.id
Moderators    : <mailto: [EMAIL PROTECTED]>
Berlangganan  : <mailto: [EMAIL PROTECTED]>
Henti Langgan : <mailto: [EMAIL PROTECTED]>

Kirim email ke