Yth M Vieb,
Restauran Mendawai tak ada lagi , setelah pemiliknya meninggal .Sekarang
jadi kantor. Anaknya Adji Notonegoro, jadi perancang busana & pengusaha
pakaian, punya toko boutiq di Jl. Barito III.
Dokter anak di Jl. Melawai sudah tidak ada. Kalau ngak salah itu dr.
Hutagalung, anak perempuannya kawin dengan
Prof. Drs. Adnyana Manuaba dari Udayana. Yang dulu tinggal di Jl.
Lamandau
III /no7 , Almarhum Pak Manuaba (bukan Prof), dengan Ibu + 3 anak
laki2..
Orang tua Prof. Adnyana Manuaba, Pak Manuaba, dulu anggota DPR (dari)
PNI sampai 1968 .
Di Jl. Mendawai Raya sekarang bayak restaurannya. Dan banyak rumah-rumah
baru dibangun, bertingkat tiga.
Di Jl Lamandau III kini dibangun banyak rumah bertigkat gaya minimalis.
Sudah lain suasananya dengan tahun 1970-an.
Sekali-sekali kalau ke Jakarta, tengoklah lagi RW11, Jl. Lamandau/ Jl.
Mendawai.
Silahkan mampir.
SALAM.
Nengah Sudja.
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
Asana Viebeke Lengkong
Sent: Saturday, January 19, 2008 2:39 PM
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
P Sudja,
Saya masih di Sungai Pawan ketika 68 an, kalau ingat rumah kita penuh
sesak
oleh mahasiswa th 72 an karena kakak saya hilang di pantai Kuta, kami
putra
putri dari Kusumatirta S. Gautama di Sungai Pawan No. 2 persis di depan
rumah Sukada; wah dunia kecil sekali ya..... dulu kus plus di Mendawai IV
terus pindah ke Sungai Pawan bawah dekat pasar burung di barito itu....
Wahyu pelukis terkenal pindah dan tinggal di Bali, restaurant mendawai
masih
ada? Salah satu nenek saya tinggal persis di depan Prof. Manuaba; Salah
satu
kakek saya yang menciptakan stenography Karundeng; dan di Lamandau ketika
nenek tinggal dengan putrinya (tante saya) yang nikah dengan Dan Maukar
yang
pernah coba tembak Sukarno ti istana Bogor dari pesawat terbang; putri
nya
yang lain dapat Mahaputra dari RI; wah seru ya pak sejarah sejarah
kita....
Wah seru deh... Dokter anak terkenal sekali masih di Jl. Mendawai?
salam, vieb
----- Original Message -----
From: Nengah Sudja <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
To: bali@lp3b.or.id
Sent: Saturday, January 19, 2008 1:20 PM
Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
Yth. M Viebeke, Semeton Sareng Sami
Wah rupanya apa yang saya uraikan, diskusi yang kami lakukan tak mudah
atau
belum dapat dimengerti, ya.
Maafkan, .... saya akan coba menyampaikan penjelesan lebih lanjut.
Agar diskusi lebih mudah akan saya jawab mengacu pada urutan pertanyaan/
tanggapan yang disampaikan.
Wah saya ini hanya mampu baca baca saja karena terlalu serem untuk saya
bicara soal listrik (sangat sadar bahwa ada masyaraakt yang belum
menikmati
listrik, dan juga banyak yang masih punya kemampuan ekonomi lemah jadi
kalau
pakai listrik juga susah)
Ngak ada yang serem, perlu ulang baca kembali, mana yang tidak
dimengerti
tanyakan. Ratio elektrifikasi (RE) di Indonesia
sekitar 59 % ; di Bali 70,62 % (Statistik PLN 2006). RE didefinisikan,
ratio
jumlah rumah tangga yang telah memperoleh sambungan listrik (PLN) dari
seluruh jumlah rumah tangga.
Pelanggan PLN daya terpasang 450 VA (umumnya untuk rumah tangga
"miskin"),
kalau hemat pembayaran listriknya bisa
Rp 10 000- Rp 15000 per bulan. Atau rata-rata dibawah Rp 500 per hari.
Apakah pemakaian minyak tanah untuk lampu
sentir atau lampu "stormking" dapat lebih murah?. Pilihan terbaik bagi
masyarakat sambungan listrik PLN. Bagi masyarakat yang miskin sekali (
tidak mampu menerangi rumahnya di malam hari) memang mereka tidak punya
pilihan.
Baca punya baca.... kita ini sedang berjuang katanya untuk 'renewable
energy' salah satu upaya adaptasi climate change.... sedang kan P Sudja
bicara terus mengenai batu bara.......... ..... saya bingung juga ini
karena
diskusinya jadi alot juga ya... kesepakatan bersamanya nggak
kelihatan.....
sedangkan kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2,
tapi
kalau soal sosial lain lagi jawabannya....
Apa adaptasi climate change hanya dengan renewable energy ? Tidak, bisa
melalui berbagai cara, ada juga yang bilang bangun PLTN misalnya. Saya
mengartikan adaptasi climate change , bagaimana mengatur pemenuhan
kebutuhan
energi dunia tanpa menyebabkan ada perubahan iklim, terutama oleh gas
rumah
baca khususnya CO2. Untuk memenhui kebutuhan energi dunia, energi fossil
masih merupakan pilihan termurah. Minyak untuk trasportasi , batubara
untuk
pembangkitan tenaga listrik. Ambil contoh Jepang impor 170 juta ton
(2006),
Amerika Serikat pemakaian batubara-nya 999 juta ton (2006). Karena
murahnya. Penghematan pemakaian fossil perlu dilakukan terutama oleh
Negara
industri.
Ingat diskusi ini mulai dengan rencana pembangunan PLTU Celekan
Bawang,
yang dikritik akan menyebabkan pemanasan global, pengrusakan hutan-hutan
dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi seakan-akan renewable energy
merupakan solusinya untuk Bali. Saya mencoba terus menjelaskan bahwa
renewable energy mahal. Batubara masih merupakan solusi termurah,
mengapa kita menolak batubara (asal perencanaan dan dampak lingkungannya
diatur, ambang batas dijaga)?.
Negara maju saja masih terus memilih pemakian batubara untuk pembangkitan
tenaga listriknya, bahkan bersedia membeli emisi CO2 sehingga tetap bisa
memakai fossil/batubara. Saya terpaksa terus bicara batubara karena
pembahasannya belum jelas dan belum selesai. Di Koran Kompas ( 19/1/08,
halaman 23) ditayangkan pengupasan, pengrusan lokasi lingkungan
pertambangan PT Andaro di Kalimantan Selatan. Mengerikan kalau dibiarkan
dan
tidak dilakukan reklamasi. Indonesia produksi
2007 sebesar 200 juta ton, pemakaian di dalam negeri 40 juta ton, 160
juta
diekspor untuk pengembangan Negara lain.
.saya bingung juga ini karena diskusinya jadi alot juga ya..... Diskusi
walaupun alot tetap diperlukan, yang penting pembahasan terus jalan.
Diskusi
itu perlu rincian. "The Devil is in Details.". Even the grandest project
depends on the success of the smallest components.Kutu-kutu hanya bisa
diketemukan dalam rinciaan. Jadi jangan enggan atau malas tetapi sabar
untuk terus melakukan dialog.
kesepakatan bersamanya nggak kelihatan.... Apa ya? Saya kira diskusi
terakhir sudah mulai ada titik terang " putiknya"........ biodiesel bisa
menggantikan solar pada tingkat harga minyak bumi diatas 60 $ perbarrel
(kalau harga biodiesel Rp. 3500 per liter). Sedangkan
tarif listrik 7 sen $ per kWh (berbasis mixed fuel didominasi batubara)
biodiesel tidak bisa bersaing. Contoh yang jelas, banyak hotel, restoran
yang mempunyai generator diesel sebagai cadangan. Ketika pasokan listrik
PLN tak terganngu, diesel cadangan tak diopersikan (karena listrik PLN
lebih
murah). Kalau PLN mati, diesel generator cadangan baru dioperasikan.
Kalau
mau lebih hemat lagi, bahan bakar generator cadangan yang semula pakai
solar
diganti dengan biodiesel. Tapi biodiesel tak lebih murah dari listrik
PLN.
kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2 . Apa ya?
Tergantung dari apa yang dibicarakan dan teknik mana? Beberapa
masalah teknik tingkat pastiannnya berbeda, di geologi misalnya 2x2 belum
tentu 4 , bisa 3,5 atau bisa 5, bahkan pengakuan ahlinya!?
tapi kalau soal sosial lain lagi jawabannya.... Contoh lain lagi, ilmu
sosial lebih besar tingkat ketidakpastian (uncertainty)-nya , selera
serta
budaya tingkah laku manusia, masyarakat.
Sebagai sesepuh tentu kita ingin tau sebenarnya di belakang pengertian
dari
dua sisi berseberangan ini? Batubara versus renewable energy versus area
abu abu? Kok pakai sesepuh, apa relevansinya? Tak ada relevansinya
dengan
kakek, laki, perempuan, ataupun anak kecil. Yang menentukan, isi
pendapat
yang disampaikan, termasuk pendapat dari rakyat kecil, apa bisa
diterima?.
Kehidupan modern perlu pasokan energi , baik batubara maupun renewable
energy. Masalahnya mana yang dapat memberikan solusi optimal, artinya
solusi dengan biaya termurah, tanpa melanggar syarat batas seperti
ambang
lingkungan hidup, tingkat keandalan. Abu-abu terjadi karena masalahnya
tidak
atau belum dimengerti, malahan tidak mau melakukan pembahasan atau
mencari rinciannya.
Padahal kata orang keindahan itu justeru ada pada rinciannya. "God is
in
Details." ( para undagi, pematung, architet Le Corbusier, seniman sering
menemukannya).
Saya bukan pejantan, tapi berani aja tanya tanya..... hehe . ... jantan
karena berani bertanya.
Saya terpaksa menjelaskan panjang lebar , ingat kelakar teman, apa itu
Kukubima. ( Kalau Kurang Bini Marah). He,he.........jadi terpaksa beri
penjelasan panjang .... misi megesah amedik , boleh kan. Agar sedikit
santai, mudah-mudahan bisa lebih mudah dimengerti. Kalau masih belum
dimengerti bisa diulang lagi..... enak kok ...asal sabar, tahan.
P Gde Wisnaya, moderator milis ini, satu jurusan dengan saya, jurusan
elektro, kiranya diberi moderasi agar lebih mudah mengerti uraian saya.
Tolong, ya, terima kasih. Buatkan kesimpulan kalau sudah disepakati.
Saya tinggal sejak 1968 di Lamandau (Raya) No.21. Dari Jl. Barito ke kiri
terus ke Jl. Lamandau III ( Pak Manuaba, Jl. Lamandau III. no.7) memotong
Jl. Lamandau dan kalau terus rumah saya (rumah nusuk sate). Mary
Pangestu
tinggal di Jl Lamandau No.16, nomor genap. Setahun yang lalu Ibu Pangestu
(ibunya Mary) meninggal dunia. Pak Sukada bersebelahan dengan rumah
Pangestu, sudah lama meninggal. Sekarang rumah itu dihuni oleh Sonny
Sukada
dan adik perempuannya. Oh jadi tinggal di Jl. Sungai Pawan, ya, sekarang
dinamai Jl. Lamandau IV. Untung sekolah di PSKD, bukan di SMP Bulungan
yang
sering tawuran, larinya lalu ke Jl. Lamandau.
M Vieb, kemarin Kamis 18-1- 08 saya menyaksikan pembongkaran pasar kios
bunga, kios ikan hias di Jl. Barito, walaupun sehari sebelumnya ada demo
penolakan pembongkaran. Sulit beri tanggapan, kita tak tahu rincian
masalahnya. Yang jelas 508 lebih pedagang kecil (dan penanam bunga0
kehilangan sumber kehidupan mereka. Banyak asset mereka yang hilang,
rusak,
seorang wanita diinjak-injak kakinya oleh petugas pengamanan. Kok belum
bisa dilakukan secara demokratis, tanpa kekerasan, ya?
Mulai 20 s/d 25 Januari, saya keluar planet Lamandau , jadi selama itu
saya
absen dari kegiatan internet .
SALAM.
Nengah Sudja.
-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
Asana Viebeke Lengkong
Sent: Thursday, January 17, 2008 7:17 PM
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
P Sudja selamat malam,
Wah saya ini hanya mampu baca baca saja karena terlalu serem untuk saya
bicara soal listrik (sangat sadar bahwa ada masyaraakt yang belum
menikmati
listrik, dan juga banyak yang masih punya kemampuan ekonomi lemah jadi
kalau
pakai listrik juga susah)
Baca punya baca.... kita ini sedang berjuang katanya untuk 'renewable
energy' salah satu upaya adaptasi climate change.... sedang kan P Sudja
bicara terus mengenai batu bara...... saya bingung juga ini karena
diskusinya jadi alot juga ya... kesepakatan bersamanya nggak
kelihatan.....
sedangkan kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2,
tapi
kalau soal sosial lain lagi jawabannya.....
Sebagai sesepuh tentu kita ingin tau sebenarnya di belakang pengertian
dari
dua sisi berseberangan ini? Batubara versus renewable energy versus area
abu abu?
Saya bukan pejantan, tapi berani aja tanya tanya..... hehe
Di Lamandau sudah berapa lama? apa dekat dengan rumah dari Prof. Manuaba
yang dulu atau lebih dekat ke rumahnya Mary Pangestu? Saya ketika kecil
tinggal di rumah pojok di jalan Sungai Pawan lo Pak..... Sempat masuk sd
di
PSKD yang pojok itu di depan rumah soalnya.. jadi kalau bel bunyi baru
lari
lari... Disana apa Keluarga Sukada masih ada? Dulu keluarga Kus Plus
juga
ada di seputaran sana.....
salam, vieb
----- Original Message -----
From: Nengah Sudja <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
To: bali@lp3b.or.id
Sent: Thursday, January 17, 2008 1:10 PM
Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
Yth. Pak Wijaya Kusuma , Semeton Sareng Sami,
Terima kasih atas input - inputnya. Yang jelas, membandingkan biodiesel
tentu saja dengan solar, baik dari
segi harga sampai dengan unjuk kerja engine. Membandingkan biogas tentu
saja
dengan lpg, dsb.
Nah, sekarang saya mengerti apa yang Anda maksud, biodiesel bersaing
dengan
solar.
Ketika harga solar Rp.3500 per liter. Setara tingkat harga 59,20 US
$per
barrel.
Sementara, harga minyak sudah berada pada tingkat 100 US$ per barrel.
Tetapi biodiesel tidak bisa bersaing dengan tarif listrik berbasis
mixed
fuel yang didominasi batubara.
Untuk pembangkitan beban puncak dengan gas turbin atau diesel power
plants
yang
masih memakai solar, biodiesel bisa bersaing, tapi tergantung pada
keadaan setempat,
bila tak ada pengganti solar misalnya tidak tersedianya gas alam atau
hydro peaking unit. Jadi
biodiesel bisa bersaing sebagai subsitusi solar, pada tingkat harga lebih
murah dari solar.
Sekalipun nantinya PLN atau Indonesia Power menggunakan jalur Jawa-Bali,
masih banyak tenaga diesel yang ada di lapangan.
Mulai dari genset, traktor, kapal laut, transportasi darat, dll, yang
kebutuhan akan solar juga tinggi.
Sementara itu, daya beli masyarakat sudah menurun.
Kalau saluran 500 kV Jawa-Bali dibangun , pasokan biodiesel untuk PLN
akan
nol atau kecil kebutuhannya ,
(hanya untuk tambahan cadangan demi keamanan pasokan, saat terjadi
pemadaman total, kalau pembangkit
solar PLN masih dipertahankan di Bali).
Potensi pemakaian biodiesel justeru ada diluar PLN untuk sektor
industri
dan transpotasi. Di luar Jawa masih
banyak pembangkit listrik pakai solar, tapi sedang diupayakan mulai
diganti
dengan pembangkit batubara satuan kecil.
Maaf pak Sudja, mengenai harga itu relatif dan tergantung bagaimana
proses
di hulu. Mulai dari pembibitan hingga
pengolahan. Yang jelas, biaya produksi kami jelas kurang dari Rp. 3500
per
liter.
Saya mengerti harga itu relatif, yang penting berapa harga yang
ditawarkan
di pasar. Yang saya pertanyakan dengan harga
di hilir ( di pasar) Rp.3500 per liter, berapa penghasilan yang
diperoleh
para petani di hulu (untuk bisa bayar bibit, perolehan
upah yang pantas, sepadan agar tetap mau menanam jarak) ?
Posting saya mengacu pada upaya I Silvia mencari alternatif solusi
pemenuhan kebutuhan listriknya. Saya sampaikan
yang termurah masih sambungan dari PLN 7 c/kWh, yang berbasis mixed fuel
yang didominasi batubara.
Malahan posting saya dimulai dengan tanggapan sebelumnya terkait
penolakan
pembangunan PLTU Celukan Bawang
yang dikaitkan dengan pemanasan global. Padahal batubara merupakan bahan
bakar murah untuk pembangkitan
tenaga listrik. Jepang (yang lebih kecil luasnya dari Indonesia)
mengimpor
batubara 170 juta ton (2006) sedangkan
Indonesia pemakaian batubaranya baru 40 juta ton (2006). Mengapa
batubara
yang merupakan sumberdaya energi murah mesti ditolak? Pengotoran, emisi
perlu diatur dan dikendalikan. Itulah inti permasalahan perundingan
perubahan iklim
yang masih berlanjut sesudah di Bali. Penolakan saya pada pembangunan
PLTU
Celukan Bawang bukan karena dipakainya batubara tetapi karena alasan
tidak
ada studi kelayakan yang sepatutnya diajukan dulu kepada masyarakat
(public
acceptance).
Pak Sudja, kami berupaya mengembangkan renewable energy ini dengan tujuan
seperti postingan sebelumnya.
Pak Wijaya, saya angkat topi (kata orang Eropa), saya hargai kegigihan
Anda
unutk mengembangkan
renewable energy. You are a real dedicated engineer. Dunia ini dibangun
oleh
para insinyur , seperti
Thomas Edison, Rudolf Diesel. Para fisikawan bekerja untuk menemukan
konsep/ prisip dasarnya,
para insinyurlah yang meneruskan dengan kegigihan, fanatik....... made
it
workable, available, reliable.
Para ekonomi menimbang kelayakan, para pejabat (/penjahat) yang membuat
keputusan yang sering ngawur,
pengusaha / penguasa /penjahat yang ambil untung dan ...........rakyat
yang
buntung.
Kalau Bapak berkenan, bisa bantu kami. Misalnya, biodiesel kami bisa
diuji
coba secara gratis di LITBANG PLN (dulu LMK) dan
disertifikasi. Kalau bagus, bisa dilanjutkan agar memperoleh sertifikasi
dari luar negeri.
Dengan senang hati akan saya bantu. Kalau sudah ada technical
specification
-nya. Akan saya bicarakan
dengan Kepala LITBANG / Kepala Jasa Teknik.
Saya kira pada tahap ini, diskusi kita baru muncul putiknya, belum
menjadi
bunga, semoga kelak bisa berbuah.
Terima kasih untuk P Gde Wisnaya, pencipta web site lp3b, patriarki,
pejantan, bukan bangkung , pejantanpun
kalau mau diskusi juga bisa reproduktif.
SALAM .
Nengah Sudja.
Jl. Lamandau Raya No.21,
Kebayoran Baru,
JAKARTA 12130.
Tel. 720 3143.
Fac. 720 1690.
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
Wijaya Kusuma
Sent: Tuesday, January 15, 2008 9:42 PM
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a)
Pak Nengah Sudja dan saudara semuanya,
Terima kasih atas input - inputnya. Yang jelas, membandingkan biodiesel
tentu saja dengan solar, baik dari
segi harga sampai dengan unjuk kerja engine. Membandingkan biogas tentu
saja
dengan lpg, dsb.
Maaf pak Sudja, mengenai harga itu relatif dan tergantung bagaimana
proses
di hulu. Mulai dari pembibitan hingga
pengolahan. Yang jelas, biaya produksi kami jelas kurang dari Rp. 3500
per
liter.
Sekalipun nantinya PLN atau Indonesia Power menggunakan jalur Jawa-Bali,
masih banyak tenaga diesel yang ada di lapangan.
Mulai dari genset, traktor, kapal laut, transportasi darat, dll, yang
kebutuhan akan solar juga tinggi.
Sementara itu, daya beli masyarakat sudah menurun.
Pak Sudja, kami berupaya mengembangkan renewable energy ini dengan tujuan
seperti postingan sebelumnya.
Kalau Bapak berkenan, bisa bantu kami. Misalnya, biodiesel kami bisa
diuji
coba secara gratis di LITBANG PLN (dulu LMK) dan disertifikasi. Kalau
bagus,
bisa dilanjutkan agar memperoleh sertifikasi dari luar negeri.
Salam,
Wijaya.
__________ NOD32 2788 (20080113) Information __________
This message was checked by NOD32 antivirus system.
http://www.eset.com
__________ NOD32 2788 (20080113) Information __________
This message was checked by NOD32 antivirus system.
part000.txt - error - unknown compression method
http://www.eset.com