Pan Bima,
Saya tuliskan dulu apa yang saudara tulis dengan judul Bali Memerlukan RUTR 
Kelistrikan, yang sudah hampir lima tahun. Sepertinya kita tidak beranjak jauh, 
padahal sudah bertahun - tahun kita berbicara yang beginian.

Kutipan Tulisan saudara:
Bali yang diandalkan meraup devisa melalui kegiatan budaya dan pariwisatanya 
ternyata memiliki sistem kelistrikan yang kurang menggembirakan. Kalau mau 
percaya, ada hubungan sebab akibat antara disparitas pembangunan yang terjadi 
di Bali dengan kelemahan sistem kelistrikan Bali tersebut. Mengapa ? Karena 
sejauh ini pusat pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di Bali bagian Selatan 
sebagai akibat infrastruktur sistem kelistrikan Bali yang terlalu mendukung 
atau setidaknya diorientasikan untuk perkembangan pembangunan Bali Selatan. 
Sementara infrastruktur kelistrikan di Bali Utara sangat seadanya dan untuk 
Bali Timur bahkan terlalu lemah. Akan tetapi PLN bisa saja berkilah, bahwa 
sistem kelistrikan di Bali bagian selatan sekarang ini paling andal disebabkan 
disanalah pusat beban yang terbesar. Dari sudut pertimbangan bisnis, demikian 
wajar jika PLN lebih menggarap konsumen yang "gemuk" dan jelas-jelas memberikan 
keuntungan finansial.

Berdasarkan pemahaman ini, adalah wajar bila Bali segera perlu menyusun RUTR 
Sistem Kelistrikan yang baru. Didalamnya perlu dipikirkan penempatan 
pembangkit-pembangkit listrik yang akan dibangun, penempatan GI yang baru, 
penambahan jaringan SUTET 150 kV yang diperlukan agar Bali berkembang secara 
merata, pemilihan jenis-jenis pembangkit yang cocok untuk Bali, penentuan 
kapasitas terpasang untuk 10 tahun kedepan, dan juga harus dipikirkan bagaimana 
pasokan listrik di Bali tanpa suplai dari Jawa dll. RUTR ini juga harus 
memperhatikan konsep Tri Hita Karana (THK), keselarasan dan keseimbangan dengan 
lingkungan, karena konsep THK ini sudah terbukti mampu menjaga kelestarian alam 
Bali.

Saya tampilkan pula komentar Alm Dr. Nyoman Bangsing:

Kalau jujur pada diri saya sendiri, saya akan katakan Bali tidak perlu 
mempunyai pembangkit listrik sendiri. Kenapa demikian? Dalam satu artikel di 
harian ini, seseorang mencoba mencari alasan, kenapa Bali memerlukan pembangkit 
listrik. Salah satau alasan yang dikemukakan adalah Bali akan kehilangan 
peluang bisnis, apabila pasokan listrik dari Jawa tiba-tiba terputus. Apabila 
kita lihat sekilas, tampaknya suatu alasan yang masuk akal, mengingat sebagian 
kebutuhan listrik Bali memang dipasok dari Pulau Jawa. 

Apabila logika di atas kita kembangkan, selama ini apabila orang dari Bali 
ingin melakukan transaksi bisnis ke luar Bali, termasuk ke luar negeri, Bali 
sangat tergantung pada perusahaan telekomunikasi yang ada di Tanah Air. Tentu 
pertanyaannya, bagaimana kalau tiba-tiba kabel yang menghubungkan Pulau Jawa 
dan Bali terputus, apakah Bali tidak akan kehilangan kesempatan bisnisnya? 
Apakah dengan demikian, Bali mesti mempunyai perusahaan telekomunikasi sendiri? 
Konsep pemikiran di atas masih bisa diperluas, di mana kita semua tahu, betapa 
vitalnya peranan satelit yang dimiliki pemerintah kita dalam menunjang 
komunikasi antarpulau, bahkan antarnegara. Pertanyaan yang sama, bila nanti 
kita tidak mendapat layanan dari satelit yang ada, apakah Bali mesti membeli 
satelit sendiri? 

Dari pengalaman masa lalu, pariwisata Bali goyang akibat terjadinya Perang 
Teluk. Pariwisata Bali juga goyang akibat pengeboman WTC. Bila logika yang kita 
anggap benar itu kita perluas lagi, agar pariwisata Bali tidak goyang, apakah 
Bali mesti menggantikan peran negara Amerika Serikat sebagai polisi dunia? 
Pertanyaan-pertanyaan di atas dimaksudkan agar kita tidak terjebak dalam pola 
pikir yang sempit. Bahwa Bali perlu listrik memang ya, namun bukan berarti Bali 
mesti membangun pembangkit listrik sendiri. Selama masih menjadi bagian dari 
negara kesatuan Republik Indonesia, kenapa mesti takut? Pemerintah Indonesia 
bisa saja menambah kapasitas daya yang terpasang pada pembangkit listrik yang 
telah ada di Pulau Jawa. 

Tanggapan dari saya:

Energi yang berasal dari biomass, adalah berasal dari waste/sampah/limbah. 
Energi ini sangat potensial untuk dikembangkan di Bali karena sumber energinya 
tersedia melimpah sepanjang tahun. Energi yang ditimbulkan dari biomass  ini 
bervariasi dari 12 hingga 160 kWatt. Rencana strategis untuk mengembangkan 
teknologi ini ke depannya adalah dengan jalan mendorong kalangan industri untuk 
mengolah hasil limbah mereka menjadi sumber energi, serta mempergunakan energi 
yang dihasilkan tersebut untuk kegiatan industri lainnya. Rencana ini akan 
dikerjakan dengan memanfaatkan sampah di semua TPA di Bali.

Energi yang berasal dari panas matahari (solar), untuk sementara ini baru 
dipergunakan pada proses pemanasan air dalam skala rumah tangga. Energi dari 
panas matahari ini juga dapat diaplikasikan untuk penerangan, televisi dan 
radio, komunikasi dan pendinginan. Harga sel surya yang relatif mahal untuk 
ukuran Indonesia menyebabkan rendahnya minat masyarakat untuk mempergunakan 
energi ini. Rencana strategis untuk mengembangkan teknologi ini ke depannya 
adalah dengan jalan mengupayakan harga sel surya semurah mungkin. Bagi para 
investor juga sangat bermanfaat, karena akan mempercepat BEP mereka.

Energi yang berasal dari angin sangatlah tergantung pada aliran dan kecepatan 
angin yang berhembus. Meskipun hal tersebut kini telah dapat diatasi, namun 
pemakaian energi angin di Bali saat ini masih sebatas untuk penerangan dan 
menggerakkan pompa air, serta teknologinya baru sebatas demonstrasi saja. 
Energi ini perlu untuk dtumbuh kembangkan lebih lanjut.

Energi yang berasal dari micro hydro adalah energi yang memiliki prospek yang 
bagus untuk di masa depan. Energi ini hanya memanfaatkan energi potensial dan 
kinetis dari aliran air, tanpa harus membuat waduk/tanggul/dam yang tinggi, 
serta tanpa harus mengurangi dan mengotori air itu sendiri. Melihat debit 
aliran air di Bali yang relatif kecil namun terjal dan berliku serta 
dipergunakan untuk irigasi dalam sistem subak, maka energi micro hydro ini 
sangatlah menjanjikan, dalam hubungannya dengan upaya pengembangan kelistrikan 
di Bali, khususnya pada rural area. Dengan demikian, sistem subak di Bali tidak 
lagi hanya mengatur debit aliran air untuk irigasi, melainkan juga untuk 
mengatur aliran air untuk pembangkit tenaga listriknya. Suatu upaya ganda untuk 
melestarikan sistem subak di Bali. Energi micro hydro saat ini juga telah 
mencapai tahap komersial dan pembuatannya telah dilakukan di Indonesia. 
Penanganan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan energi micro hydro adalah 
upaya pembinaan dan pengaturannya serta kemungkinan interkoneksi dengan 
jaringan listrik yang telah terpasang.

Beberapa persyaratan dari uap panas yang diperlukan untuk membangkitkan tenaga 
geothermal, adalah:
. Dry steam (uap panas yang kering) dengan tekanan 35 bar absolut
. Temperatur sekitar 240 C
. Kandungan gas (Belerang, dsb) adalah rendah, sekitar 1,5% berat

Untuk dapat membangkitan energi maka diperlukan konsumsi uap panas rata - rata 
sebesar 1.66 kg/s/MW. Dengan demikian, untuk kapasitas pembangkit listrik yang 
sebesar 70 MW maka secara matematis diperlukan konsumsi uap panas rata - rata 
adalah 116,9 kg/s, atau setara dengan 420.840 kg/jam uap panas, atau setara 
dengan 421 ton uap panas setiap jamnya.
Pada kondisi seperti tersebut, dimana tekanan uap panas adalah sebesar 35 bar 
absolut dan dengan temperatur 240 C, maka massa jenis uap panas adalah sebesar 
18,182 kg/m3. 

Secara matematis, kajian ekologis tersebut dipaparkan sebagai berikut. Untuk 
mendapatkan kapasitas 421 ton uap panas setiap jamnya dengan massa jenis 18,182 
kg/m3, maka volume air yang diperlukan untuk dikonversi menjadi uap adalah 
sebesar 23.155 m3, atau setara dengan 23,16 Mega liter. Bila satu truk tangki 
air berisi 12.000 liter, maka jumlah minimum yang harus diinjeksikan, untuk 
dapat menjadi renewable, adalah setara dengan 2.000 truk tangki setiap jamnya. 
Jumlah suplay air murni tersebut dapat dikurangi apabila uap panas yang telah 
dipergunakan di dalam pembangkit tenaga didinginkan menjadi cairan dengan 
menggunakan cooling tower, dimana cairan tersebut kemudian diinjeksikan kembali 
ke dalam tanah agar siklus energi dapat diperbaharui. Akan tetapi, jumlah 
cairan yang dihasilkan oleh cooling tower tersebut tetap dalam skala kecil. Hal 
ini dapat dikaji berdasarkan massa jenis uap air yang hanya 1,82% dari massa 
jenis air. Dengan demikian, hanya 1,82% dari 23,16 Mega liter air yang dipenuhi 
dari proses siklus uap, sedangkan sisanya sangat tergantung pada kandungan air 
tanah ataupun air permukaan tanah.

Mari kita diskusi lebih lanjut, serta harus ada solusi untuk itu. Hasilnya kita 
bawa ke institusi terkait, termasuk para wakil rakyat kita.

Salam,

Wijaya. 

  ----- Original Message ----- 
  From: Pan Bima 
  To: bali@lp3b.or.id 
  Sent: Wednesday, January 23, 2008 9:04 PM


  On 1/21/08, Made Wirata <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Yth. Rekan-Rekan,

    > Dalam damai,
    >
    > Viebeke
    >

Kirim email ke