Nambahin saja dari keterangan mbak puji.

Memang untuk penggantian dari hutang puasa ini ada beberapa pendapat ulama
yang berbeda dan masing2 memiliki dalil untuk menguatkan pendapat nya
tersebut. Ada yg mengganti dgn qodho puasa ada juga yg mengganti dgn fidyah
saja, jika kita bertanya pada ustadz/dzah  pun biasanya akan mendapat
jawaban berbeda sesuai dgn keilmuan yg telah mereka dapatkan dan pendapat
mana yg lebih rajih(kuat) mereka pilih sesuai kadar keilmuan mereka.

Kajian ilmiah yg pernah saya ikuti pun walaupun dgn ustadz2 dari manhaj yang
sama, mereka bisa mengambil pendapat yg lebih rajih pun berbeda. Beberapa
hal yg bs sy simpulkan :
Untuk yg mengambil pendapat hal penggantian secara :

a. Qodho

maka dibayar sesegera mungkin (ini lebih baik) akan tetapi jika hal tersebut
tidak memungkinkan, misal si ibu bener2 rapat dlm hal anak, tahun ini hamil
tahun berikut menyusui tahun berikutnya hamil lagi trus menyusui lagi hingga
bertahun2 berturut2nya maka kembali pada qoidah asal yakni, fattaqulloha
mastatho'tum (bertakwalah dgn semampumu) dalam arti bayar puasanya pas dia
sdh mampu membayar (tapi nggak boleh jadi bermudah2 ya, jadi lalai, malah
lupa utangnya, harus bener2 dihitung) .
Pun jika si ibu meninggal sebelum smpt membayar maka ahli warisnya lah yg
harus membayar hutang puasanya.

b. Fidyah

maka dibayar dengan hitungan 1 hari hutang puasa dengan dibayar 1x makan
lgkp (normalnya org makan) dan membayarnya setelah seseorang sudah berhutang
puasa. Misalnya hari ini hutang paling ndak nanti sore atau hari sesudahnya
baru membayar fidyah. Bukan kita membayar sebelum berhutang, misal dibyr
full 29 atau 30hari (karena perkiraan tdk bisa puasa sama sekali misal)
sebelum ramadhan atau baru jalan ramadhan beberapa hari.  Teknisnya, bisa
dibayar tiap hari dan bisa dikumpulkan beberapa hari sekaligus, boleh ke 1
orang atau beberapa orang fakir miskin sekaligus.Tidak ada ketentuan baku.

Hanya yg perlu diingat, sebaiknya pembayaran ini berupa makanan sebagai mana
artian dr Qs  2:184 ttg fidyah itu sendiri, jika berupa uang senilai makanan
(maaf hukumnya tidak tahu, tapi saya sndiri memilih utk menghindari), jadi
jika memang tidak sempat membuat makanan fidyah sndiri saya akan minta
bantuan org yg bisa memasakkan (dgn membayar sejumlah uang) untuk membuat
sekian porsi makanan untuk dibagi matang kepada penerima fidyah.

Mungkin ini sdkt dari yg saya belajar ya.

Wallohu a'lam bish showwab.


Rita

2010/8/9 Tri Puji Rahayu <tprah...@indovision.tv>

> Mbak Yanti yang punya niat baik untuk berpuasa...semoga diberi kekuatan
> oleh
> Allah untuk menjalankan ibadah puasa ya.
>
> Baru minggu lalu dibahas di pengajian kantor dengan uztazah Erika Dewi. Lc
> memang awalnya ada 2 pendapat mbak, yaitu :
> 1. Ibu hamil yang meninggalkan puasa karena takut dirinya sakit maka hanya
> wajib membayar fidhiyah tanpa harus mengganti dengan puasa lagi.
>
> 2. Ibu hamil yang meninggalkan puasa karena takut si janin kenapa-kenapa,
> maka wajib bayar fidiyah dan mengganti puasanya juga.
>
> Seiring dengan kajian-kajian dan ijma, maka ulama kontemporer mengeluarkan
> pendapat. Bahwa ibu hamil yang meninggalkan puasanya baik karena khawatir
> terhadap anaknya atau terhadap dirinya sendiri hanya berkewajiban membayar
> fidiyah saja.
> Hal ini dengan pertimbangan jika si ibu tahun depan dihadapkan dengan waktu
> menyusui dan kalau hamil lagi, jika ibu harus membayar fidiyah dan puasa
> juga , kapan hutang si ibu bisa lunas ? Sedangkan Allah tidak akan
> memberatkan hambanya dalam hal beribadah maka diambil keputusan seperti di
> atas.
>
> Fidiyah itupun nilainya hanya sekali kita makan lo, bukan seharian ya.
> Contoh : Ibu A tidak puasa selama 10 hari karena hamil.
> Maka fidiyahnya = 10 x nilai makanan yang dimakan sekali dalam sehari
>                          = 10 x Rp 10.000 = Rp 100.000
>
> Kenapa sekali makan ? karena selama puasa, kita tidak makan kan cuma makan
> siang saja.Sedangakan sahur dan malam kita sudah makan lagi. Jadi yang
> dinilai itu yang makan siangnya saja.
> Dibayarnya pun sebaiknya sebelum lebaran, tapi kalau blm ada rejeki, bisa
> kapan saja sebelum bertemu lebaran tahun berikutnya.
>
> Semoga keterangan ini bisa membantu ya mbak.
>
>
>

-- 
Ummu Faishol 'Abdurrahmaan

Kirim email ke