Waduh mbak..sungguh cerita yang menyedihkan, tak terasa sayapun terhanyut
dlm cerita ini. Tolong dech mbak..., kalo ada cerita seperti ini jangan di
kirimkan, apalagi sayapun termasuk wanita yg bekerja dari pagi hingga
malam, dan anak sayapun saya tinggal dirumah. Sebenarnya sayapun ingin terus
nungguin anak dirumah, dan sangat mencintai anak saya, tapi kebutuhan terus
mendesak utk tetap bertahan spt ini. Sebelumnya saya minta ma'af
sebesar-besarnya pada mbak Deisy, atau mungkin saya yg terlalu cengeng utk
membaca artikel spt. ini. Sekali lagi mohon ma'af.
----- Original Message -----
From: Deisy <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: Fatma Indira <[EMAIL PROTECTED]>; Niken Koeshendarti
<[EMAIL PROTECTED]>; Teti Aisyah <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Thursday, December 14, 2000 1:17 PM
Subject: [balita-anda] Fw : Mandiin Donk
FW: Mandiin DonkCerita ini bagus buat direnungkan...
Deisy
----------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------
-----------------
----------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------
---------------
Sebagian wanita menganggap tugas wanita lebih sebagai manajer
di rumahnya tanpa perlu dipusingkan urusan dapur dan merawat
anak yang lebih pantas dilakukan oleh para bawahan, alias
pembantu ataupun baby-sitter. Peran sosial dan aktualisasi
diri menjadi lebih utama. Di sisi lain, tidak sedikit wanita
yang tetap "teguh" dan bangga dengan kesibukan seputar urusan
dapur dan diaper ini. Mereka cukup puas dengan imbalan surga
untuk jerih payahnya membenamkan muka di asap "sauna" mazola
(minyak goreng) dan berparfumkan aroma popok bayi.
Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi
ini. Seperti saya tulis di muka, sudah banyak para ulama dan
ustadz yang memberikan arahan. Saya hanya ingin bertutur tentang
seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya. Semasa kuliah ia
tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi.
Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang
terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang
profesi yang akan digelutinya.
Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum
Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip,
beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih
menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk
beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat
pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi,
meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka lahir ketika
Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan
tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu
diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf
terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Tentunya
filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.
Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan
Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke
kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya
pernah bertanya, "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal?"
Dengan sigap Rani menjawab: "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Everything is ok."
Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya
walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby-sitter betul-betul
mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan
pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu
semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif
kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani
bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang.
Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil
dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun,
Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu ia dan suaminya
menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum
memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi
bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya.
Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek.
Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan.
Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang
bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtua sibuk, Alif tetap
tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak
seperti Alif.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif
menolak dimandikan baby-sitternya. "Alif ingin bunda mandikan."
ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat
diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk
agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya. Peristiwa
ini berulang sampai hampir sepekan,"Bunda, mandikan Alif" begitu
setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif
sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta
perhatian.
Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby-sitter.
"Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency".
Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late.
Allah sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu
dipanggil pemiliknya. Rani, bundanya tercinta, yang ketika
diberitahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat.
Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan
anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil
terbaring kaku. "Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih,
namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil,
kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang
tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya kan?" "Aku di sebelahnya
ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan?".
Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan"
lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak.
Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk.
"Aku ibunya!" serunya kemudian, "Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan
Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan
itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil
mengais-kais tanah merah..
***
Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang
pembagian tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita
juga bergelayut: "Mandikan aku, Bunda." Akankah kita menolak?
Ataukah menunggu sampai terlambat?
>> Cake, parcel lebaran & bunga2 Natal? Klik, http://www.indokado.com
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]