FW: Mandiin DonkCerita ini bagus buat direnungkan...



Deisy

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sebagian wanita menganggap tugas wanita lebih sebagai manajer 
di rumahnya tanpa perlu dipusingkan urusan dapur dan merawat 
anak yang lebih pantas dilakukan oleh para bawahan, alias 
pembantu ataupun baby-sitter.  Peran sosial dan aktualisasi 
diri menjadi lebih utama. Di sisi lain, tidak sedikit wanita 
yang tetap "teguh" dan bangga dengan kesibukan seputar urusan 
dapur dan diaper ini. Mereka cukup puas dengan imbalan surga 
untuk jerih payahnya membenamkan muka di asap "sauna" mazola 
(minyak goreng) dan berparfumkan aroma popok bayi. 
  
Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi 
ini. Seperti saya tulis di muka, sudah banyak para ulama dan 
ustadz yang memberikan arahan.  Saya hanya ingin bertutur tentang 
seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya.  Semasa kuliah ia 
tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. 
Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang 
terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang 
profesi yang akan digelutinya. 
  
Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum 
Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, 
beruntung Rani terus melangkah.  Sementara saya, lebih memilih 
menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk 
beluk hukum dan perundangan.  Beruntung pula, Rani mendapat 
pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi, 
meski berbeda profesi.  Alifya, buah cinta mereka lahir ketika 
Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan 
tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu 
diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf 
terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar: Alifya.  Tentunya 
filosofi yang mendasari  pemilihan nama ini seindah namanya pula. 
  
Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan 
Rani semakin menggila saja.  Frekuensi terbang dari satu kota ke 
kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya 
pernah bertanya, "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal?" 
Dengan sigap Rani menjawab: "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. 
Everything is ok." 
  
Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya 
walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby-sitter betul-betul 
mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan 
pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu 
semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif 
kalau Alif besar nanti."  Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani 
bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. 
Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu  yang berhasil 
dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun, 
Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu ia dan suaminya 
menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum 
memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi 
bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. 
  
Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak  yang suka merengek. 
Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. 
Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. 

Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil.  Sungguh keluarga yang 
bahagia, pikir saya.  Meski kedua orangtua sibuk, Alif tetap 
tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak 
seperti Alif. 
  
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif 
menolak dimandikan baby-sitternya.  "Alif ingin bunda mandikan." 
ujarnya.  Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat 
diperhitungkan, menjadi gusar.  Tak urung suaminya turut membujuk 
agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya.  Peristiwa 
ini berulang sampai hampir sepekan,"Bunda, mandikan Alif" begitu 
setiap pagi.  Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif 
sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta 
perhatian. 
  
Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby-sitter. 
"Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang.  Sekarang di Emergency". 
Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. 
Allah sudah punya rencana lain.  Alif, si Malaikat kecil keburu 
dipanggil pemiliknya.  Rani, bundanya tercinta, yang ketika 
diberitahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. 
Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan 
anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil 
terbaring kaku.  "Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih, 
namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, 
kami masih berdiri mematung.  Berkali-kali Rani, sahabatku yang 
tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya kan?" "Aku di sebelahnya 
ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan?". 
Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan" 
lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.  Hening sejenak. 
  
Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. 
"Aku ibunya!" serunya  kemudian, "Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan 
Alif.  Beri kesempatan bunda sekali lagi  saja, Lif".  Rintihan 
itu begitu menyayat.  Detik berikutnya ia bersimpuh sambil 
mengais-kais tanah merah.. 
                                            *** 
  
Sekali lagi, saya tidak ingin membahas  perbedaan sudut pandang 
pembagian tugas suami isteri.  Hanya saja, sekiranya si kecil kita 
juga bergelayut: "Mandikan aku, Bunda." Akankah kita menolak? 
Ataukah menunggu sampai terlambat? 
  


Kirim email ke