Rekan2,

Setelah hampir selalu mendengar cerita mengenai ibu bekerja dan
dilemanya, dan kebanyakan berakhir dengan rasa bersalah si ibu yang
harus bekerja, atau menempatkan ibu bekerja dalam dilema, saya ingin
berbagi cerita ttg. seorang ibu bekerja yang saya kenal dekat. 

Saya tidak pinter menulis atau bercerita, jadi, diterima saja lah apa
adanya...:-)

--------------

Ketika menikah, ibu ini belum menyelesaikan kuliahnya di Fak.
Kedokteran. Suaminya seorang dokter. Sampai sesudah anaknya lahir (di
tangan suaminya, hmm... asyik ya ?), dia masih harus menyelesaikan masa
co-ass di RS. Itu masa yang berat buat mereka berdua. Tanpa dukungan
suaminya yg. jempolan, belum tentu ibu ini berhasil melampauinya...
Sesudah lulus jadi dokter, dia bekerja sbg. dosen di FK, dan sore
harinya melayani pasien di ruang prakteknya. 

Anak sulungnya, perempuan, diajar utk. mandiri. Meskipun anak ke-2,
laki-laki, baru hadir 11 tahun kemudian, tidak ada perlakuan istimewa
pada anak perempuannya hanya karena dia anak tunggal saat itu. Meskipun
tentu saja, mereka berdua penuh cinta pada anaknya tsb. 

Anak2nya tumbuh besar, terbiasa mengurus dirinya sendiri, buat PR tanpa
perlu disuruh-suruh, meskipun sesudah itu ibunya tetap memeriksakan.
Makan dengan menu yang ada di atas meja. "Di Ethiopia orang2 kelaparan,
habiskan susu / makananmu...", kata ibunya kalau mereka rewel nggak
doyan ini-itu.
Waktu itu sekitar tahun 80-an, Ethiopia sedang kelaparan berat. 

Apakah semuanya berjalan baik antara pekerjaan dan rumah tangga, tanpa
adanya pengorbanan ?
Oh, tidak juga. 

Banyak sekali pengorbanan yang diberikan si ibu tadi ditengah2
kesempatan meraih karir (dan uang) yang lebih tinggi. Tawaran utk.
bekerja di RS swasta terkenal dengan gaji yang waah..., dia tolak,
karena makan waktu banyak sekali di luar rumah. Tawaran utk. meneruskan
ke program Master dia tolak, karena harus keluar negeri.  Tapi suaminya
dia dorong utk. melanjutkan pendidikan ke luar negeri utk. program
master, meskipun berarti dia harus menangani seluruh urusan rumah
tangga di Indonesia sendirian, utk. beberapa lama. 

Dia tetap mengembangkan dirinya dengan mengikuti berbagai Kongres,
Seminar, pelatihan di dalam dan luar negeri ; tapi juga membatasi agar
kegiatan itu tidak menjadi penghalang bagi dia utk. bisa membimbing
anak2nya. Tidak lepas juga dari dukungan suaminya, yang bersedia
mengasuh anak2 dan mengurus rumah tangga bila ibu mereka tidak di
tempat. Tapi jika saat Kongres bertepatan dengan ujian semester
anak2nya, dia memilih menyerahkan jatah tempatnya pada orang lain. 

Pembatasan juga tidak hanya sebatas pada dunia kerja. Dunia sosial, spt.
arisan, kondangan dllnya, jika tidak perlu sekali utk. hadir, dia tidak
hadir. Ibu ini sadar, bahwa sebagai ibu bekerja, yang waktunya sudah
tersita banyak utk. pekerjaannya, waktu bebasnya tidaklah diisi lagi
dgn. kegiatan ini-itu. Untungnya, suaminya bukan pejabat teras, yang
mengharuskan dia utk. ikut arisan2 Dharma Wanita dlsbnya...:-) Jika
keduanya tidak mutlak hadir di suatu acara keluarga, salah satu tinggal
di rumah saja, menemani anak2nya. Ini juga termasuk pengorbanan, karena
tidak setiap orang merasa 'nyaman' pergi sendirian tanpa pasangan.

Saya pernah bertanya, apakah beliau tidak merasa risih atau menyesal,
melihat rekan2nya sudah jadi orang besar atau kaya, atau terkenal...?
Dia cuma bilang ,"Anakku adalah kekayaanku. Apa gunanya punya uang
berlebih, ngetop, tapi anakku tidak jadi orang ? Dengan uang berlebih
dan tidak ada bimbingan orang tua, uang dapat menjadi racun buat anak2"

Dulu saya menganggapnya klise. 

Tapi melihat kebahagiaannya ketika anak sulungnya diwisuda dari suatu
institut negeri ternama di Indonesia ini, April 1993 yl., tepat pada
hari ulang tahun pernikahannya yang ke 24, saya melihat dia begitu
'kaya'. Juga ketika dia mengabarkan 2 tahun yl., bahwa anak keduanya
lulus UMPTN, sepertinya dia berkata "Aku merasa begitu kaya"

Dia masih tetap berkarya hingga kini ; baru saja menyelesaikan 2 periode
sbg. Pembantu Dekan di Fakultas tempatnya mengabdi, meskipun menurut
pengakuannya ,"Ah, sekarang sudah nenek-nenek. Gigi juga sudah ada yang
copot". 

Ditengah2 kesibukannya, dia masih bisa bilang ke putrinya yg. waktu itu
sedang hamil,"Jangan beli bedong, nanti ibu yang menjahitkan dan
mengirimkannya ke Jkt." Dan masih menguatkan setiap kancing baju baru
yg. dibeli utk. anak dan suaminya, meskipun utk. memasukkan benang ke
lubang jarum, kadang2 harus dibantu oleh anak laki2nya...
Dan hingga kini tetap mengirimkan paket berisi 10kg jeruk dari Medan ke
Jakarta utk. anak dan cucunya, padahal ongkos kirimnya masih lebih mahal
daripada harga jeruknya...  

Dia seorang ibu bekerja yang saya kenal dekat...
Saya berharap bisa belajar dari kesederhanaannya sekaligus kekuatannya,
dan keberhasilannya dalam menyeimbangkan karir dan rumahtangganya.

-- 
        *
       /.\
      /.`.\               Salam,
      /';'\               Rien.
"`"`"/'. .'\"`"`"
     ^^[_]^^
(best viewed with Courier Font)


>> Cake, parcel lebaran & bunga2 Natal? Klik, http://www.indokado.com
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
















Kirim email ke