> 
> Aya deui anu kairong ku bank2 badag siga kieu. Marketing na gampil
> pisan. Kolaborasi jeung (organisasi) ulama... ditanggung halal bakal
> loba client na!
> 

Kabeneran manggihan ieu deuih.... Uhm, konsep marketing teologis teh
geus dipake geuning? ;))R

Bukan Sembarang Fatwa
Oleh Novriantoni
22/12/2003

Soal status bunga bank menurut hukum Islam kembali menimbulkan
perdebatan. Ini berasal dari salah satu hasil Rapat Kerja Nasional
Majelis Ulama Indonesia (Rakornas MUI) 2003 yang berakhir di Jakarta,
Selasa kemarin (16/12/2003) yang memutuskan bahwa bunga bank
(interest) hukumnya haram. Menurut MUI, semua transaksi yang berjalan
atas dasar sistem bunga, sudah memenuhi unsur-unsur riba yang
diharamkan. Perdebatan itu wajar terjadi, sebab di kalangan ulama
sendiri masih berlangsung silang pendapat yang cukup pelik dan tidak
mengenal kata putus tentang pokok soal ini. Sebagian mengharamkan,
yang lain membolehkan, dan banyak juga yang memberlakukan status hukum
darurat. Jadi, tak apalah kalau fatwa MUI kali ini dibaca sebagai
bagian dari kontestasi fatwa saja. 

Soal status bunga bank menurut hukum Islam kembali menimbulkan
perdebatan. Ini berasal dari salah satu hasil Rapat Kerja Nasional
Majelis Ulama Indonesia (Rakornas MUI) 2003 yang berakhir di Jakarta,
Selasa kemarin (16/12/2003) yang memutuskan bahwa bunga bank
(interest) hukumnya haram. Menurut MUI, semua transaksi yang berjalan
atas dasar sistem bunga, sudah memenuhi unsur-unsur riba yang
diharamkan. Perdebatan itu wajar terjadi, sebab di kalangan ulama
sendiri masih berlangsung silang pendapat yang cukup pelik dan tidak
mengenal kata putus tentang pokok soal ini. Sebagian mengharamkan,
yang lain membolehkan, dan banyak juga yang memberlakukan status hukum
darurat. Jadi, tak apalah kalau fatwa MUI kali ini dibaca sebagai
bagian dari kontestasi fatwa saja.

Komentar juga bermunculan menanggapi hal ini. Hamzah Haz, Wakil
Presiden RI dari partai Islam, secara eksplisit keberatan dengan fatwa
tersebut. Hamzah menganjurkan untuk mengikuti fatwa ulama lain yang
menghalalkan. Menurut Hamzah, sebagian ulama bahkan menghalalkan bunga
bank, karena masih dianggap dalam porsi yang wajar dan layak, kecuali
sudah berlebih-lebihan dan mengandung unsur eksplotasi.

Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Syafi'i Ma'arif, juga tak mampu
menyembunyikan ketidaksepakatannya. Dia menilai fatwa itu
"tergesa-gesa" dan khawatir justru akan menjadi bumerang bagi MUI.
Fatwa itu juga dinilai potensial untuk tidak berlaku efektif di
lapangan, selain karena kurang sensitif dengan kondisi
sosial-politik-ekonomi yang ada, juga disebabkan kurang
mempertimbangkan skala prioritas dalam penuntasan persoalan bangsa.
Syafi'i misalnya membandingkan fatwa ini dengan gerakan anti-korupsi
yang menjadi agenda utama NU dan Muhammadiyah. Sudah menjadi
pengetahuan umum, pemberantasan korupsi merupakan agenda terpenting
bangsa karena sudah menjadi virus yang menggerogoti daya tahan kita
sebagai bangsa.

Menyikapi Fatwa MUI

Sebenarnya, fatwa MUI ini bisa saja diabaikan dan tidak ditanggapi
secara serius. Sebab, sekalipun sebagian ulama memberi hukum bunga
bank haram, akhirnya individu-individu dalam masyarakat juga yang
berhak menentukan sikap. Fatwa MUI dapatlah dipandang sebagai salah
satu alternatif pendapat saja. Dalam mekanisme hukum Islam, fatwa
ulama dianggap tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (ghaira
mulzimah). Dalam tradisi keislaman yang tak mengenal lembaga klerikal,
fatwa hanya bersifat opsional.

Hanya yang agak merisaukan, KH Ma'ruf Amin sebagai Ketua Badan
Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (DSN) mengklaim bahwa fatwa
tersebut wajib diikuti dan bersifat mengikat masyarakat Islam
Indonesia sejak diputuskan (Media Indonesia, 17/12/2003).
Penegasan-penegasan seperti itu, tak pelak mengundang kita untuk
menganalisis persoalan ini secara lebih lanjut. Fatwa MUI, dengan
begitu dapat dibaca sebagai "bukan sembarang fatwa".

Lihatlah efek fatwa ini di lapangan. Menurut hasil polling SMS yang
dilakukan Media Indonesia dan www.detik.com, sampai hari Jum'at pukul
13.30 (19/12) lalu, sebanyak 1.798 SMS atau setara dengan 54,58 %
suara merasa mantap untuk menerapkan fatwa MUI di lapangan. Mereka
sudah pasang kuda-kuda untuk pindah rekening dari bank konvensional ke
bank syariah yang konon bebas riba. Hanya 45,42 % atau 1.496 SMS yang
mengaku tidak terpengaruh fatwa tersebut. Meski pooling ini tidak
mewakili umat Islam Indonesia keseluruhan, paling tidak, memberi
gambaran awal tentang pengaruh fatwa dalam mengubah perilaku umat Islam.

Maka dari itu, analisis lanjut tentang konteks keluarnya fatwa MUI ini
perlu dilakukan. Kuat dugaan, fatwa MUI kali ini tak lepas dari
"pesanan" pihak tertentu dan demi kepentingan pihak pemesan.
Persoalannya tidak lagi sekedar persoalan halal-haramnya bunga bank.
Soal halal-haramnya sudah menjadi perdebatan klasik Islam yang
melelahkan. Tudingan banyak mengarah kepada unit-unit bank syariah
yang saat ini sedang tumbuh merekah di Tanah Air. Sebagian kalangan
mengkhawatirkan fatwa tersebut dijadikan entry-point untuk mendesak
pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang menguntungkan
perbankan syariah di satu pihak, dan merugikan bank konvensional dan
atau kepentingan nasional di lain pihak. Salah satu indikasinya dapat
dicermati dari ungkapan Ketua ICMI, Muslimin Nasution. Menurutnya,
karena (fatwa) sudah terlanjur keluar, Bank Indonesia harus
mempercepat pelbagai proses yang berkaitan dengan perbankan syariah.

Dari indikasi di atas, konteks pengeluaran fatwa MUI tak bisa
dipisahkan dengan fenomena tumbuh merekahnya unit-unit perbankan
syariah di Indonesia. Pada tingkat hipotetis, fatwa tersebut diharap
menyumbangkan argumen normatif-keagamaan untuk mendongkrak minat
masyarakat bertransaksi dengan perbankan syariah. Fatwa itu juga bisa
digunakan sebagai "iklan teologis" untuk mempromosikan produk-produk
perbankan syariah.

Kalaupun fakta itu yang tersembunyi di balik fatwa MUI, sebenarnya
juga tidak menjadi soal dan bisa ditoleransi. Kalangan teoretisi dan
praktisi perbankan syariah sah-sah saja mendesakkan fatwa untuk
menguatkan argumen normatif-keagamaan bagi institusi perbankan
syariah. Sebaliknya, perbankan konvensional juga berhak keberatan dan
kalau perlu memintakan semacam counter fatwa. Fatwa dibalas fatwa.
Perang fatwa bisa saja terjadi, sekalipun mungkin tidak perlu dan
hanya mereduksi persoalan bangsa.

Yang paling dikuatirkan banyak orang dari fatwa tersebut adalah
implikasinya yang tidak terduga. Fatwa tersebut bisa menyebabkan
hijrah dana besar-besaran dari bank-bank konvensional ke bank syariah.
Polling SMS di atas menggambarkan sebagian efek dari fatwa MUI pada
level mikro. Sementara, banyak kalangan masih meragukan kesiapan
infrastruktur perbankan syariah untuk menerima "anugerah".

Lebih Penting dari Fatwa

Hanya saja, pihak MUI dan perbankan syariah juga perlu waspada dan
berbenah diri. Sekalipun aspek-aspek non-ekonomis sangat mempengaruhi
interaksi umat Islam terhadap dunia perbankan, pada akhirnya soal
pertimbangan rasional (rational choice) juga tetap sangat menentukan.
Promosi produk dengan mengandalkan fatwa, pada masa tertentu bisa
menjadi tidak bermakna. Ini bisa terjadi bila masyarakat mengambil
pertimbangan-pertimbangan paling masuk akal tentang mana yang lebih
unggul dari opsi-opsi perbankan yang tersedia. Lebih dari itu,
kompetisi negatif dengan anjungan fatwa, juga potensial untuk
diselewengkan secara manipulatif dan berakibat kontraproduktif untuk
perbankan syariah sendiri.

Akhirnya, sindiran Ketua PP Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif menjadi
relevan dan perlu dipertimbangkan lagi, "jika bank-bank syariah
berkinerja baik dan mampu berkompetisi secara fair, orang akan
cenderung memilihnya. Tapi kalau belum-belum sudah meminta fatwa, saya
takut justru akan menjadi bumerang." Terakhir, semoga bumerang fatwa
yang sudah terlontar tidak berbalik mencelakakan si empunya.[]

* Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, aktivis Jaringan Islam Liberal.
^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=467

Kirim email ke