Bung Zhou,

> Yang kami perbincangkan di sini adalah
> Pilihan bagi seluruh masyarakat Tionghoa! Kalau Saya mempertanyakan
apakah
> anda cukup puas, ini sebenarnya adalah pancingan untuk mempertanyakan
> apakah anda cukup puas kalau seluruh masyarakat Tionghoa seperti itu.

Kalau 'seluruh' komunitas tionghoa memilih demikian, ya lalu kenapa?
bagi saya nggak masalah tuh. Bagi saya, budaya itu dinamis. Apapun
hasil interaksi antar budaya (ataupun intra pelaku budaya), bagi saya,
sama baik/buruknya. Saya tidak ingin (dan berwenang) untuk menilai
apakah suatu perkembangan budaya itu 'memuaskan' atau tidak.

> Demikian juga ketika saya mempertanyakan mengenai pentingnya penguasaan
> bahasa tulis, sastra dan fisafat, tentu bukan untuk orang perorang. Tapi
> untuk perkembangan seluruh komunitas tionghoa, bahkan untuk perkembangan
> budaya Indonesia sendiri. 

Bung, tidak semua orang 'perlu' belajar kebudayaan secara formal dan
mendalam. Tidak semua orang perlu menjadi sarjana sastra. Jadi saya
rasa mengaitkan variable perkembangan budaya dan variable kuantitas
sarjana sastra/filsafat, mungkin hanya akan menghasilkan korelasi yang
rendah (atau bahkan tidak ada).

> Jika penguasan rata2 bahasa dan budaya orang
> Indonesia jauh lebih rendah dari negeri lain, bagaimanapun ini adalah
> sebuah keterbelakangan. Ini tidak khusus untuk bahasa dan budaya
tionghoa
> saja, juga untuk bahasa dan budaya lain. Seperti halnya, kita toh tidak
> merasa puas menghasilkan orang2 yang pandai berbahasa Inggris tapi baca
> Koran pun tak bisa!

Mati hidupnya, berkembang atau menyusutnya suatu budaya, biasanya
hasil dari 'seleksi alam'. Ada banyak contoh dimana budaya tidak
'dikekang' toh tetap saja mati/punah. Ada yg sangat dikekang, toh
malah berkembang amat luas.

Lalu saya agak bingung dengan kalimat "Jika penguasan rata2 bahasa dan
budaya orang Indonesia jauh lebih rendah dari negeri lain,
bagaimanapun ini adalah sebuah keterbelakangan". Yg saya tangkap,
seolah2 membandingkan kebudayaan suatu bangsa dengan bangsa lainnya.
Agak kontradiktif karena, kalo rata2 penguasaan bahasa dan budaya
rendah, maka ini menjadi suatu 'perkembangan' dan melahirkan 'budaya'
baru. Praktisnya gini, kalo ternyata orang indonesia lebih mampu
menggunakan bahasa slank/prokem, maka kosakata/tata bahasa bahasa
indonesiapun 'berevolusi' menjadi seperti bahasa slank/prokem. Lalu
apa memungkinkan utk membandingkan bahasa indonesia ejaan prokem dan
ejaan 90-an atau ejaan 60-an misalnya.

> Dalam dunia pendidikan, tentu tidak semua orang bisa mencapai level
> tinggi, ini lumrah. Tapi jika hampir semua orang karena kondisi hanya
> dimungkinkan mencapai level rendah, ini suatu kemunduran besar yang
> menyedihkan!  

Belum tentu. Tujuan pendidikan tinggi dan dasar/menengah kan berbeda2.
Dan pendidikan yang tinggi (maupun kuantitas orang yg menguasai
pendidikan tinggi) bukan key factor utk perkembangan budaya (CMIIW).
Berbicara budaya, seringkali adalah soal keahlian/kemampuan yang
mungkin lebih sering dipelajari di luar sekolah (misal tari2an, musik,
dll). Memang ada sekolah khusus, biasanya lebih mengarah pada
perkembangan tari, musik, bahasa, sastra, etc. Dan saya duga, jumlah
'sarjana'nya pun relative tidak banyak.

> Semua orang punya pilihan, itu memang benar, tapi bagaimana
> jika yang memilih untuk maju terhalang oleh sistem politik yang
represif,
> apakah ini cukup adil? Anda memilih membaca sastra dlm bhs Inggris, lalu
> bagaimana jika ada orang yang mau memilih memperdalam sastra dan
filsafat
> tionghoa sekalipun menurut sebagian orang "mutunya sangat rendah"?
Apakah
> ada terbuka pilihan luas untuk itu?

Tentu tidak adil. Apalagi bila sisem politik tersebut bernuansa
otoritarian (pendapat ini akan berubah bila bernuansa demokrasi). Nah
pertanyaan menariknya, apakah komunitas tionghoa saat itu memilih utk
'maju' ataukah memilih pasrah menerima nasib/kekangan? Jika mereka
memilih utk 'maju', terlepas dari represi politik, masih ada cara2
lain utk 'maju'. Sederhananya, kursus bahasa, meskipun sembunyi2,
mungkin akan sangat penuh, dan banyak tempat kursus. Tapi saya sangsi
bahwa itu yg terjadi saat rejim orba. Utk lingkup kota surabaya
misalnya, dengan penduduk tionghoa sekitar 200 rb (asumsi 10% total
penduduk), mungkin hanya ada kurang dari 100 tempat kursus mandarin
(ataupun guru privat). Bila mayoritas memilih utk 'memelihara' bahasa,
dan gigih belajar bahasa, maka seharusnya tiap2 tempat kursus (100
tempat anggaplah) mempunyai sekitar 1500-2000 'murid'. Tapi
kenyataannya kan tidak demikian. Ya anda bisa saja berargumen bahwa
mereka tidak punya uang, dll. Zaman orba itu, ada cukup banyak kok
tempat kursus mandarin yang sangat murah, bahkan gratis.

Nah ini lho yang saya coba utarakan melalui 'introspeksi' diri.

> Setiap zaman tentu punya kendalanya sendiri2, zaman ortu saya(70 tahun
> yang lalu) di Tiongkok sana, sedikit yang bisa sekolah tinggi, bisa
tamat
> sd saja sudah hebat. Tapi zaman semakin maju, apakah anda mau kembali ke
> masa silam? Kalau ortu saya tak berpendidikan karena miskin, apakah
> generasi selanjutnya yang sudah mampu tak boleh berharap pendidikan yang
> lebih baik? Jika cara pendidikan yang layak dihalangi, mengapa tak boleh
> protes?

Boleh saja protes. Hanya yang tidak pada tempatnya (menurut saya), ya
protes menyalahkan orang lain atas kegagalan diri sendiri.

Perbedaan lain, anda begitu mengandalkan sekolah formal sebagai wadah
utama pembentukan. Sementara saya membuka mata saya pada media
alternatif, seperti pendidikan rumah, ataupun kursus. Meski tidak ada
sekolah, toh saat itu, masih ada tawaran kursus dari tempat les,
klenteng, dan juga gereja dan tempat ibadah lainnya.

Mereka punya pilihan, meskipun mungkin terbatas dan tidak maksimal.
Tetapi sudahkah mereka memanfaatkan pilihan tersebut dengan optimal?

> Kalau tidak karena Suharto, adik2 saya pasti menguasai bhs mandarin
> seperti saya, karena mereka bisa sekolah dng baik, itu jelas. Jangan
saya
> yang lantas disalahkan karena tak mengajar mereka dng baik! Ini logika
> mana? Dng logika anda, anda akan setuju saja jika sekarang pemerintah
> membubarkan semua sekolah resmi, dan menyuruh kakak2 di rumah
mengantikan
> sang guru? Toh hasilnya sama saja? Lalu kalau hasilnya buruk, salahkan
> saja kakaknya!

Wahahahaha, lagi2 anda bermain ekstrim. Saya rasa, orang2 dulu, tanpa
mengikuti sekolah (karena mahal) juga bisa berbahasa mandarin kan? Ada
memang yg menguasai bahasa mandarin karena bersekolah, tapi tidak
sedikit juga yg bisa bukan karena sekolah.

Guru adalah seorang yang memiliki pengetahuan DAN bisa mengajarkan
pengetahuan tersebut kepada orang lain. Siapa saja bisa jadi guru,
dalam hal2 yang dia kuasai baik. Jadi guru tidak hanya ada di sekolah
resmi.

Ambil contoh lain lagi, sewaktu kita kecil dulu, dan belum sekolah.
Kenapa kita bisa berbahasa indonesia/mandarin? Mungkin anda akan
mengelak dengan mengatakan 'kan kita belum bisa menulis'. Ada
benarnya, tetapi 'belum bisa' tersebut kan karena di rumah kita juga
tidak diajar menulis. Coba kalo selain diajar berbicara kita juga
diajar menulis, tentu kita juga bisa menulis.

Jangan salah sangka dulu. Bagi saya, keunggulan sekolah formal,
terletak pada sistematika pengajaran mereka yg lebih teratur, terukur,
dan terarah. Namun keberhasilan siswa ya kembali lagi pada ybs, apakah
bisa mengikuti dengan baik, dll. Sekolah formal juga berguna untuk
mengajarkan 'struktur' dan logika2/cara pikir2 dibelakang suatu tata
bahasa (dalam kaitan dengan bahasa).

Sederhananya, sewaktu belum sekolah kita dengan mudah mengatakan "saya
makan nasi". Tanpa mengeri bahwa 'saya' adalah subyek dan nasi adalah
obyek, dan makan sebagai predikat, dimana tata bahasa indonesia
tersusun kurang lebih S-P-O. Btw, tolong koreksi bila saya salah
menyebut SPO, heheheh sudah agak2 lupa. (see, bahkan sudah belajar
belasan tahun, saya toh masih belum nyantol teori tata bahasa
indonesia. Masak saya harus nyalahkan orang lain atas ketidakmampuan
saya ini?).

> Di Negara Eropa, yang komunitas tionghoanya tak cukup banyak, tentu
sulit
> menyediakan sekolah tionghoa. Lembaga kursus hasilnya tentu akan
jauh dng
> sekolah resmi! Adik2 saya juga pernah kursus, tapi tetap gagal.

Wei, jangan berburuk sangka dulu. Ada lembaga kursus yg hasilnya bagus
lho. Misalnya IALF utk pengajaran bahasa inggris. Ada juga suatu
lembaga kursus mandarin di surabaya, yg murid2 tingkat advance mereka
juga punya 'kualitas'. Tentu, tidak semua tempat kursus seperti itu.
Dan tidak semua sekolah resmi juga berkualitas baik. Pendekatan
fatalistik dalam hal ini tidak tepat, menurut saya.

> Jelas menunjukkan, bhw system pendidikan sekolah lebih
> berdampak luas dibandingkan hasil pendidikan rumah.

Setuju berdampak luas. Yang saya tidak setuju itu adalah menganggap
sekolah sebagai satu2nya faktor keberhasilan seseorang utk menguasai
suatu pengetahuan. Padahal peran serta aktif dari yang bersangkutan
utk mau belajar, dll, seharusnya yang lebih penting/menentukan
keberhasilan atau kegagalannya.

Itulho yg saya pertanyakan. Apakah kita sudah memilih utk berperan
aktif memelihara 'budaya' tionghoa? Apakah 'kemunduran' tersebut HANYA
akibat kekangan rejim orba?

> Misalnya saya tak menyalahkan dia kalau sekarang dialek
> tionghoa kedudukannya kalah oleh bhs mandarin. Karena ini alami.

Belum tentu alami. Bisakah kita protes kenapa bahasa pengantarnya
bukan dialek lokal? Bukankah penggunaan mandarin sebagai pengatar
disetiap sekolah juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk 'kekangan'
atau 'pemaksaan' atas dialek lokal?

Silahkan bung zhou menyalahkan suharto. Toh itu pilihan bebas bung
Zhou. Saya pribadi memilih utk introspeksi supaya saya bisa melangkah
maju. Tentu cara orang utk menciptakan dorongan maju berbeda2. Ada yg
dengan cara menyalahkan orang lain, ada yg dengan otokritik. Saya bisa
saja tidak setuju dengan cara penyalahkan orang lain, tapi kan saya
nggak bisa maksa orang lain utk juga tidak setuju hehehehe.

> Perlu anda ketahui, saya sendiri tak duduk di sekolah tinggi sastra
> mandarin, pendidikan formal bhs Tionghoa saya hanya sampai klas 4
SD. Jadi
> kalau saya menuntut semua orang bisa memiliki peluang untuk
berpendidikan
> tinggi, itu bukan karena saya sombong, tapi karena saya merasakan
kerugian
> yang sangat saat terputus pendidikan secara dini. Anda tak pernah benar2
> memiliki, maka anda tak pernah merasa kehilangan.

Mungkin anda benar. Saya mungkin tidak merasa memiliki budaya tionghoa
sebagaimana anda mendefiniskan budaya tionghoa. Saya memiliki budaya
tionghoa yg mungkin berbeda dengan paham anda. Sehingga saya tidak
merasa kehilangan 'budaya tionghoa' anda saat itu terjadi. Semoga bung
zhou dapat memahami argumen ini.

> Anda terus menekankan segi usaha dan perjuangan pribadi dalam menyikapi
> keadaan yang tak kondusif. Mungkin anda lupa, di mana2, yang namanya
> pahlawan dan pejuang hanyalah segelintir, mayoritas rakyat adalah
> mayoritas yang diam, yang hanya bisa pasrah menerima keadaan. Seperti
> dulu, semua rakyat desa dan pegawai negeri digiring untuk menyoblos
> Golkar, berapakah yang berani melawan? apakah anda harus menyalahkan
kaum2
> lemah ini karena tak berusaha melawan?

SEkali lagi, buat apa menyalahkan mereka. Kalau saya pribadi sih,
lebih memilih, memberikan 'kesadaran' atau tepatnya informasi, bahwa
mereka bisa memilih utk pasrah, atau melawan, atau menerima dengan
baik. keputusan mereka, apapun itu, ya harus dihargai. 

Itulah yg disebut dengan pemberdayaan masyarakat (community
empowerment). Bila kita berusaha mengarahkan mereka, itu disebut
manipulasi, unfortunately.

Btw, mereka bukan lemah. Mereka hanya dikondisikan utk 'tampak' lemah,
dan 'dianggap' lemah oleh masyarakat lainnya. Jika anda memandang
mereka 'lemah', maka, sadly speaking, andapun 'termakan' dengan
strategi 'pelemahan' tersebut. Anda punya pilihan utk menolak
pengondisian ini, tetapi bung zhou juga punya pilihan lain tentunya.

> Saya setuju seruan anda untuk tdk terus mengeluh tapi diam2
berusaha, tapi
> usaha ini seharusnya bukan hanya untuk diri sendiri!  Jika anda hanya
> menekankan usaha anda pribadi untuk mendidik keluarganya sendiri.
> Bagaimana untuk mayoritas lain yang pasrah saja? Apakah anda hanya bisa
> menyalahkan mereka, seperti menyalahkan mereka2 dulu yang nyoblos
golkar?
> Tidakkah ada kewajiban bagi kita yang sadar untuk mengubah keadaan ini,
> seperti gerakan mahsiswa yang menuntut pergantian rezim Orba?

Kita punya kewajiban tentunya. Itu yg saya lakukan dengan memberikan
otokritik. Didalam 'keluarga sendiri' harus berani menunjukan borok.

Makanya, selain mengusahakan kondisi yg kondusif. Faktor paling
penting yaitu kemauan 'maju' itulah yang harus ditimbulkan. Utk
menimbulkan itu, mau tidak mau, otokritik yang tajam harus
disampaikan. Cara kita yang mungkin berbeda.

Btw, sejak kapan saya menyalahkan org yg memilih golkar?


salam,
jimmy

Reply via email to