----- Original Message ----- 
From: [EMAIL PROTECTED]
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Sunday, February 03, 2008 2:58 PM
Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Soeharto dan Kebijakan Anti-Tionghoa --> 
Gunawan Kurnia


Sdr Jimmy,

Anda rupanya cukup puas hanya bisa bicara bhs mandain. apakah belajar
membaca, menulis dan terlebih sastra tionghoa dan fisafat tiongkok tidak
penting bagi masyarakat Tionghoa?

Dada :
Bahasa mandarin memang penting , tapi bukan segala-galanya........
Sastra dan bahasa asing lain juga penting untuk di pelajari . Setiap orang 
ada spesialisasi masing - masing ......dan minat serta bakat masing-masing..
***


jika target anda hanya minimal begini, ya anda cukup mengandlkan
pendidikan di rumah. dan apakah anda tahu? orang tua saya meski totok, tak
bisa bhs mandarin dan setengah buta huruf? lantas bgmn mau mengajar saya
bhs dan sastra mandarin?

Dada :
Non Scolae Sed Vitae Discimus ,
Selepas dari bangku formal pun manusia tetap lah belajar sampai hari 
tua.......Dan pendidikan formal penting , tapi bukan 
segala-galanya.......Banyak orang sukses , tapi gagal dalam pendidikan 
formal......
Anda tahu Bill Gates........


***


Anda begitu yakin dng usaha pribadi, tapi anda sendiri tak berhasil
melakukannya, ini omongan apa? anda berani mengatakan kakak2 anda
berhasil, seberhasil apakah? apakah bisa menandingi yng di sekolah formal?
coba ketemukan saya dng mereka, minimal di dunia maya, saya akan melihat
buktinya.

Dada :
Tulisan anda itu menekankan pendidikan formal , hanya untuk menunjang 
argument bahwa Suharto anti - Tionghoa ( atau anda anti - Suharto)
Anda seorang arsitek , apa bisa mengalahkan Tadao Ando yang tidak menempuh 
pendidikan formal ?

****

Saya sendiri yang telah keras berusaha juga tak berani mengatakan telah
berhasil, bagimana anda yang belum berhasil yakin akan hasilnya sistem
anda?

Justru karena mengalami sendiri beratnya berjuang sendirian menguasai bhs
dan sastra Tionghoa, saya bisa memaklumi orang lain yang menyerah karena
keadaan. jangan sombong ah..

Dada :
Please stop grumbling .......
Jangan menyalahkan keadaan , jangan menyalahkan orang lain , yang menentukan 
nasib anda adalah diri anda sendiri .....
Orang Yahudi mengalami penindasan sepanjang masa , sampai harus mengalami 
holocaust ..........toh budaya dan etnis tetap eksis ........
Lebih baik anda manfaatkan keahlian anda , membantu tenglang2 lain untuk 
belajar bahasa mandarin , lebih bagus lagi klo gratis

ZFy

> Bung Zhou,
>
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED] wrote:
>>
>> Sdr Jimmy,
>>
>>
>> 1. Mengapa harus melawan? jika anda membenarkan Suharto, untuk apa
>> melawan? jika anda berniat melawan, harus yakin dulu yang anda lawan
>> memang salah! jika menyatakan salah saja anda segan, omongan melawan itu
>> hanya basa basi.
>
> Pertama, tidak ada yg absolut benar-salah. Suharto ada salah, juga ada
> benarnya. Ke-2, mari coba melihat dengan perspektif
> "tantangan-hambatan" daripada "benar-salah". 'Kebijakan' rejim suharto
> menimbulkan banyak hambatan, saya setuju. Tapi toh, berpulang pada
> kita sendiri kan, apakah kita mau menyerah pada hambatan tersebut;
> atau malah menemukan cara kreatif mengatasi hambatan tersebut.
>
> Tantangan-hambatan, itulah perspektif yang (keluarga) saya pakai.
> (dan) Saya merasakan manfaatnya.
>
> Btw, saya tidak segan mengatakan suharto salah/benar. Yg saya segan
> (atau bahkan tidak setuju) adalah mengambinghitamkan semua kesalahan
> pada suharto. Mungkin disinilah perbedaan cara pandang kita.
>
>> 2. Apa anda tidak sadar, pendidikan lewat sekolah adalah yang paling
>> efektif, efisien dan ekonomis? jika pendidikan dalam rumah bisa nandingi
>> yang di sekolah, apa gunanya lembaga sekolah?
>
> Ehm, tidak sepenuhnya benar lho pak. Pendidikan formal (sekolah)
> mungkin memang berperan besar ttg tambahan ilmu pengetahuan
> (knowledge). Tetapi soal keahlian (skills), apalagi kepribadian
> (characters), diasah diluar sekolah. Kepribadian bahkan diasah melalui
> pendidikan keluarga (dalam rumah).
>
> Yg kita bicarakan bukankah soal 'kebudayaan tionghoa' yg kemudian saya
> coba kerucutkan menjadi adat, tradisi, dan bahasa. Apakah utk
> mengajarkan ke-3 hal tersebut diatas, mutlak memerlukan sekolah
> formal? Utk kualitas 'bahasa akademik/sastra' mungkin memang harus
> dilatih disekolah formal. Tetapi utk bahasa sehari2, apa perlu?
>
> Lembaga pendidikan formal (sekolah) hanyalah satu bagian (kecil tapi
> penting) dari pendidikan seumur hidup yang kita jalankan, bukankah
> demikian? Tetapi pendidikan informal (e.g. keluarga, lingkungan, dll)
> juga tidak kalah penting.
>
> Btw, sistem pendidikan di indonesia saat ini, memungkinkan adanya
> 'homeschooling'. Di luar negeri, sudah dimulai cukup lama. Apakah ada
> perbedaan kualitas 'lulusan'nya? well, kita lihat saja nanti.
>
>> 3. meski ada niat belajar sekalipun, jika kondisi di luar rumah tak
>> kondusif, pasti hasilnya takkan memadai. misalnya, mau baca buku tak ada
>> yang jual, mau bergaul tak ada lawan bicara. mau meneruskan sekolah tak
>> bisa, lantas untuk apa belajar susah2?
>
> Soal PILIHAN bukan? si kakak-kakak saya terbukti bisa fasih berbahasa
> mandarin tuh. Saudara2 sepupu saya juga 'jago'. Sayanya aja yg karena
> MALAS, maka tidak bisa berbahasa sebaik mereka.
>
> Mereka2 ini (bukan hanya di keluarga saya lho, saya yakin juga mungkin
> cukup banyak yg seperti ini, terutama generasi ke-3), tidak mengeluh
> soal nggak ada buku, ataupun lawan bicara, dll.
>
> Cth lain, bahasa inggris. Mungkin kita masih bisa beli buku2 berbahasa
> inggris (dengan harga selangit). tetapi, toh jarang sekali ada lawan
> bicara. Tetapi kenapa banyak yang mau belajar bahasa inggris? kenapa
> ada yg gagal dan ada juga yg berhasil? Belum tentu mereka yg belajar
> bahasa inggris berencana sekolah di sekolah berbahasa inggris.
>
> Jadi, menimbang hal2 diatas. Saya lebih condong memilih utk melihat
> faktor internal daripada menyalahkan eksternal.
>
>> 4. Sehebat2nya perlawanan individu, takkan sanggup melawan sistem
>> pendidikan yang dijalankan pemerintah. mungkin ada satu dua yang
> berhasil
>> lolos dari jeratan sistem, hasilnya bagaimanapun terbatas. apakah anda
>> harus menyalahkan mereka2 yang tak berdaya melawan ini ?
>
> Buat apa disalahkan? Berbeda dengan anda, saya tidak menyalahkan
> siapapun utk kegagalan 'pribadi'. Kemampuan berbahasa, pengetahuan
> budaya, adalah hal yg sifatnya 'pribadi'. Kita memilih utk belajar
> bahasa, maupun belajar budaya; maka kita bisa. Tapi kalau memilih utk
> 'malas' (seperti yg saya alami), ya gagal lah :p.
>
> Contoh lain, ada mata pelajaran bahasa inggris di SD sampai
> universitas. Tapi permisi tanya, apakah mereka2 tersebut PASTI bisa
> berbahasa inggris dengan baik? Jangankan bahasa inggris, kita belajar
> bahasa dan budaya indonesia dari TK sampai universitas saja, masih
> kesulitan berbahasa dan berbudaya indonesia yang baik.
>
> Terhadap mereka2 yg merasa 'takkan sanggup' yg bisa dilakukan adalah
> menunjukkan bahwa mereka PUNYA PILIHAN. Keputusan ada ditangan mereka
> sendiri, mau 'maju' bagus, mau 'tidak maju' ya juga terserah.
>
>> 5. Sekarang kita lihat contoh Malaysia, singapore dan indonesia, tingkat
>> penguasaan bhs mandarin di ketiga negeri ini ber-beda2, malaysia paling
>> baik, indonesia terparah, singapore di tengah, menurut anda ini karena
>> pilihan individu atau karena politik pendidikan pemerintah?
>
> Pilihan individu.
>
> Di malaysia, mereka memilih memasukkan anak mereka ke sekolahan
> berbahasa pengantar mandarin. Seringnya exposure thd bahasa mandarin,
> sedikit banyak melatih para murid utk dapat berbahasa mandarin.
>
> Di Indonesia, kita (mungkin) memilih utk tidak mengajarkan bahasa
> mandarin di rumah. Akibatnya, di sekolah tidak ada bhs mandarin,
> dirumah juga jarang sekali dipakai. Maka, tidak heran bila 'parah'
> (meminjam kalimat anda).
>
> Di belanda, misalnya, setahu saya tidak ada sekolah berbahasa
> pengantar mandarin. Tapi anak2 para imigran cina, masih fasih
> berbahasa (bahkan mungkin menulis) mandarin tuh. Karena apa? saya duga
> karena pendidikan di rumah masing2.
>
>> 6. sekarang saya mau tanya ke anda, anda termasuk yang melawan atau
>> menyerah? dan bagaimana hasilnya? apa setara dng hasil lembaga
> pendidikan
>> formal?
>
> saya termasuk yg melawan tapi dihambat oleh kemalasan saya sendiri
> hahahahahha :p. Baik buruknya hasil, adalah karena kuat lemahnya
> kegigihan saya utk belajar.
>
> Saya bandingkan kemampuan saya berbahasa mandarin dan inggris.
> Keduanya saya pelajari dengan otodidak. Cuma saya lebih tekun belajar
> bhs inggris. Meskipun disekolah diajarkan grammar, tapi justru grammar
> saya yg paling parah dalam test kemampuan berbahasa inggris. Test
> membaca dan mendengar malah yg bagus (dan 2 'kemampuan' tersebut saya
> latih secara otodidak).
>
> Bahasa mandarin, karena malas (bukan menyerah) ya akhirnya so-so gitu
> aja. pernah kursus menulis/membaca. Tapi putus tengah jalan. Akhirnya
> yg tersisa malah dari yg diajarkan oleh orangtua saya melalui
> percakapan sehari2.
>
> Jadi, bagi saya, ini adalah soal PILIHAN :). No one to be blaimed
> except myself.
>
> Nah sekarang, anda bisa berbahasa mandarin dengan baik, sementara
> adik2 anda tidak bisa; itu karena suhartokah?
>
>
> salam,
> jimmy
>
>


 

Reply via email to